• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mewujudkan Islam yang Ramah Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mewujudkan Islam yang Ramah Lingkungan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Saat ini dunia maya Indonesia sedang 'digegerkan' oleh sebuah tulisan seorang warga Bulgaria yang tinggal di Bandung bernama Inna Savova. Dalam sebuah blog pribadinya (http://venusgotgonorrhea.wordpress.com), ia menulis artikel yang sangat provokatif berjudul “Bandung, the City of Pigs”, yang

mengekspresikan kekecewaan dan kekesalannya terhadap warga Bandung yang tidak peduli dengan lingkungan sekitar yang kotor, jorok, dan bau akibat perilaku orang-orang—tua-muda, laki-laki-perempuan, kaya-miskin, terpelajar-tidak terpelajar, dan seterusnya—yang sembrono dalam membuang sampah meski disediakan tong sampah dimana-mana.

Ia juga menyayangkan orang-orang yang cuek bahkan nyinyir apalagi membantu jerih-payahnya dan anaknya yang berusaha memulung barang-barang bekas dan membersihkan sampah yang berserakan. Savova bukan pemulung, tentu saja. Ia hanya ingin menggugah kesadaran warga untuk ikut berpartisipasi menciptakan lingkungan yang rapi, bersih, dan sehat seperti julukan Bandung sebagai 'Kota Kembang'. Sayang, kiatnya tidak berhasil. Alih-alih mendapat bantuan warga, mereka justru memandangnya sebelah mata.

Di Indonesia, pemulung memang dianggap sebagai 'profesi hina', dan aktivitas memulung dipandang sebagai pekerjaan kotor dan rendahan. Jika memang apa yang ia tulis dan saksikan itu benar, maka beban kerja Wali Kota Ridwan Kamil akan bertambah berat untuk mengtransformasi Bandung sebagaimana layaknya 'kota kembang' yang wangi dan segar. Kang Emil tidak hanya dituntut bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang bersih tetapi juga menciptakan mentalitas warganya agar berperilaku bersih pula.

Masalah lingkungan kumuh dan kotor memang bukan hanya masalah Bandung saja. Masalah 'perilaku jorok' juga bukan hanya monopoli warga Bandung. Pemandangan kumuh ini bisa dengan mudah ditemui di setiap daerah dan di semua tempat di negeri ini: pantai, kantor, taman, bandara, stasiun, jalan, halte, toilet dlsb. Ironisnya, setiap ada hal-hal yang tidak mengenakkan terjadi seperti bencana alam, penyakit akibat polusi, atau kesemrawutan kota, warga dengan ringannya menuding dan menyalahkan pemerintah seolah mereka tidak mempunyai andil secuilpun dalam menciptakan keburukan di daerahnya. Padahal ujung-pangkal dari bencana alam, kekumuhan, kekotoran, kejorokan, dan ketidakteraturan itu bisa jadi terletak pada 'mentalitas' dan 'budaya'

(2)

karatan, mendarah daging di dalam sanubari kita.

Alih-alih membantu program-program pemerintahan Jokowi-Ahok di Jakarta atau Ridwan Kamil di Bandung, misalnya, dalam membenahi kotanya yang amburadul, sebagian orang justru sibuk mengkritik, mengolok-olok,

menertawakan, meledek, atau sibuk mengirim SMS atau status sindiran di media jejaring sosial. Ini adalah contoh kecil dari 'mentalitas kerdil' dan 'budaya jorok' tadi.

Karena hampir 90% warga Indonesia adalah Muslim, maka sudah sepantasnya jika umat Islam juga ikut bertanggung jawab dan berkontribusi dalam

menciptakan baik-buruk, bersih-kotor, atau indah-kumuhnya sebuah

kota/daerah. Sayang, meskipun masalah kebersihan lingkungan dan wawasan ekologi mendapat tempat yang sangat spesial di dalam ajaran Islam, kaum Muslim cenderung mengabaikan masalah ini dan memandangnya sebagai sesuatu yang tidak memiliki konsekuensi teologis. Padahal masalah kebersihan adalah bagian fundamental dari keimanan seorang Muslim. Al-Qur’an dan Hadis juga berkali-kali menegaskan pentingnya menjaga keramahan lingkungan agar manusia terhindar dari bencana alam.

Kenapa umat Islam tidak menganggap penting masalah lingkungan sebagaimana ibadah ritual-individual? Kenapa umat Islam tidak tertarik melakukan

penghijauan, kebersihan, dan kegiatan lain yang bernuansa 'ramah lingkungan' dan mencegah berbagai mudarat (ekses negatif) yang mungkin ditimbulkan dari alam yang rusak dan tidak sehat? Sebaliknya, kenapa umat Islam lebih bergairah dan bersemangat mengikuti aktivitas-aktivitas ritual-keagamaan: pengajian, zikir massal, ceramah, ziarah atau “wisata rohani,” istigasah dan semacamnya?

Jawabannya sangat mudah: karena kaum Muslim beranggapan atau tepatnya berkeyakinan bahwa aktivitas ritual-keagamaan inilah yang mendatangkan pahala dan jaminan surga kelak di alam akhirat!

Sementara jika terjadi bencana alam seperti banjir bandang, umat Islam dengan enteng menganggapnya sebagai takdir Tuhan. Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan. Tuhan, selain pemerintah, selalu 'dikambinghitamkan” setiap terjadi malapetaka. Hampir-hampir tidak pernah, kita, menuduh diri kita sendiri sebagai subyek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka, bencana, dan

(3)

aktivitas ritual batin semacam ini. Akan tetapi 'terapi spiritual' jenis ini di samping merendahkan (bahkan 'mengolok-olok') martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang 'Maha Buas', juga dengan cara demikian berarti kita hendak 'cuci tangan'—melepaskan tanggung jawab—dari musibah kemanusiaan itu.

Padahal, jika kita menggunakan perspektif EF Schumacher dalam "A Guide for the Perplexed", masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis

kemanusiaan, dengan mentalitas kerdil individu, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi manusia terhadap Tuhan-nya! Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya kita—manusia dan umat beragama—yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan yang dikambinghitamkan.

Manusialah yang membuang sampah seenaknya sehingga lingkungan menjadi kumuh, bau, dan tercemar. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta. Perusakan lingkungan, pembalakan hutan secara besar-besaran, pembangunan perkampungan liar, pengerukan sumber daya alam, dan segala tindakan merusak alam lain merupakan 'sumber' malapetaka dan bencana tadi.

Bukankah Alquran sendiri telah mengingatkan bahwa: “Kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab”? Jika Al-Qur’an sendiri menganggap manusia sebagai otak dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan? Bukankah, kita umat manusia—jika mengikuti alur cerita kitab-suci agama Semit—pada dasarnya 'terlempar' ke dunia yang gersang dan tandus ini juga akibat 'kecerobohan' Adam yang tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, yakni kearifan ekologis? Sebab Adam dan Hawa telah memakan buah dan merusak 'pohon kekekalan' yang dilarang Tuhan.

Beberapa masalah di atas yang menimpa hampir semua umat beragama, tidak hanya kaum Muslim saja, antara lain, terkait dengan 'wawasan teologis'

pemeluknya. Wawasan teologis yang dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan dunia akhirat, kurang memberi respons proporsional mengenai masalah keduniaan. Dalam istilah Fazlur Rahman, wawasan umat Islam terlalu 'teosentris' bukan 'antroposentris”. Dalam bingkai 'teosentrisme' ini, umat Islam memandang masalah ibadah hanyalah yang berhubungan dengan ruang privat bukan ruang publik; bahwa pahala-dosa adalah berkaitan dengan

(4)

seperti ini tidak hanya berhenti di pemikiran tapi sudah menjadi bagian dari 'kebudayaan' umat Islam sendiri.

Akibat dari 'salah urus' dalam berteologi ini, spirit profetik dan cita-cita etik Al-Qur'an untuk menciptakan sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang bersih, ramah lingkungan, dan 'demokratis' terhadap alam tidak terwujud. 'Motto Islam' sebagai rahmatan lil alamin—rahmat bagi alam semesta, tidak hanya mahluk hidup seperti manusia dan hewan saja tetapi juga lingkungan dan jagat raya— hanya tinggal motto. Wejangan Nabi yang menganggap “Kebersihan sebagai bagian dari iman” juga hanya berhenti di bibir saja.

Tragisnya lagi, sebagian besar para ulama juga tidak menjadikan masalah ekologi ini sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah atau tujuan disyariatkannya Islam. Mungkin hanya Syeikh Yusuf Qardlawi yang menjadikan pemeliharaan

lingkungan (hifdz al-alam) sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah. Itupun sangat tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif.

Jelasnya, pemahaman dan watak demokratis Islam yang ramah lingkungan itu tidak merembes menjadi, istilah Syed Hosen Nasr, 'living tradition' dalam masyarakat Islam pasca kenabian. Disinilah perlunya menumbuhkan dan

mengembangkan kesadaran eco-theology atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis agar kaum Muslim membudayakan Islam yang berwawasan lingkungan.

. ***

Sebagai penutup tulisan singkat ini, mungkin ada baiknya para ulama serta tokoh dan umat Islam memperhatikan dan mencontoh apa yang telah dilakukan Kiai Tanthowi Musaddad dari Garut. Kiai eksentrik ini (saya memanggilnya "kiai lingkungan hidup”) suatu saat pernah mengadakan musyawarah para ulama untuk menghasilkan sebuah fatwa tentang lingkungan. Hasilnya? Wajib memelihara dan melestarikan lingkungan hidup.

(5)

berdosa besar dan hendak bertobat tidak perlu 'mojok' di dalam masjid, membaca istighfar ribuan kali, tetapi cukup dengan penghijauan!

Fatwa ini tentu saja 'sangat ekstrem' tetapi pesan yang ingin disampaikan Kiai Tanthowi dan para ulama Garut sangat jelas, yakni bencana alam bukanlah sebuah takdir Tuhan akan tetapi berkaitan erat dengan masalah moral dan tindakan manusia. Di sinilah maka, komunitas agama, khususnya umat Islam, memiliki tanggung jawab penuh untuk memelihara lingkungan yang bersih dan sehat sebagaimana dilakukan oleh Inna Savova di atas, tidak melulu

mengambinghitamkan pihak lain (baik pemerintah maupun Tuhan). Umat Islam juga harus berteriak lantang menentang bahaya pengrusakan alam bagi

Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui penghasilan komprehensif lain.. Utang atas surat berharga yang dijual dengan janji

Ikan, Kerang, Udang, Dan Hasil Olahannya Kalori Protein Lemak Kalsium Fosfor Besi Nilai V it.B1 V it... Susu dan

Desain awal dengan mengintegrasikan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi tersebut dalam sebuah sistem yang disebut Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi, yang terdiri atas

Oleh karena sumber pembelajaran tersebut terkonsentrasi di tingkat pusat maka, pemerintah pusat seperti misalnya Kementerian Kesehatan dan KPAN perlu memprioritaskan

• Perwakilan peserta didik dalam kelompok menuliskan pokok masalah dan menentukan produk apa yang akan dibuat dengan bantuan guru sesuai dengan tujuan pembelajaran2.

Padat tebar cacing tanah dalam media harus seimbang karena berhubungan dengan persaingan untuk mendapatkan pakan sehingga pertumbuhan cacing tanah menjadi

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 264 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Perubahannya, Pasal 15 ayat (1)

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta sebagaimana diuraikan di atas, dihubungkan dengan ketentuan hukum tersebut, Majelis Hakim berpendapat perkawinan antara Pemohon