• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Atas Duta Besar Itali Yang Ditahan Di India Ditinjau Dari Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Atas Duta Besar Itali Yang Ditahan Di India Ditinjau Dari Hukum Internasional"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan Perkembangan hubungan antara satu negara dengan negara yang lain dewasa ini sudah semakin pesat. Hubungan tersebut disebut dengan hubungan internasional. Dengan meningkatnya sarana transportasi, teknologi, dan pendidikan memudahkan setiap negara-negara di dunia untuk melakukan hubungan internasional.

Setiap negara-negara di dunia memiliki perbedaan, baik itu perbedaan filsafat, sejarah, struktur pemerintahan, kekuatan ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan perbedaan sumber daya alam yang dihasilkan tiap negara. Perbedaan inilah yang membuat setiap negara-negara di dunia itu satu sama lain melakukan hubungan internasional, hal ini dikarenakan adanya ketergantungan satu dengan yang lain. Hubungan Internasional ini pun dilakukan tidak lain demi meningkatkan kesejahteraan dan demi kepentingan negara itu sendiri.

(2)

negara untuk melakukan hubungan internasional tersebut dengan banyak cara namun tujuan dari hubungan internasional itu tetaplah untuk mencapai kesejahteraan negara itu masing-masing.

Adapun skripsi yang ingin saya bahas disini mengenai hubungan internasional yang dilakukan dengan mengirimkan perwakilan diplomatik ke suatu negara. Hubungan Internasional semakin terwujud dengan mengirimkan perwakilannya ke suatu negara.

Negara dalam mengirimkan perwakilan diplomatiknya ke suatu negara menginginkan supaya perwakilan diplomatiknya mendapatkan perlakuan yang baik oleh negara penerima. Untuk itu negara pengirim juga harus memberikan perlakuan yang baik kepada perwakilan-perwakilan diplomatik yang dikirim ke negaranya. Disamping penghormatan yang dilakukan antara kedua negara diperlukan juga ketentuan yang dapat melindungi perwakilan diplomat dalam melaksanakan tugasnya di negara penerima, maka dibuat ketentuan hak-hak kekebalan kepada para diplomatik.

Sudah terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang hubungan diplomatik diantaranya:

1. The Final Act of the Congress of Vienna on Diplomatik Rank

(3)

5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatik Agents 1973 6. Vienna Convention on the Representation of State in Their Relations

with International Organization of a Universal Character (1975)

Namun dari ketentuan-ketentuan diatas, yang mengatur tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik terdapat dalam Konvensi Wina 1961.

Dengan dikeluarkannya konvensi-konvensi yang mengatur hubungan diplomatik ini, terutama mengenai hak kekebalan diplomatik, negara-negara di dunia dapat menjadikan ketentuan dasar aturan main dalam melakukan hubungan diplomatik. Namun yang masih menjadi persoalan ialah apakah dengan telah ditetapkannya berbagai konvensi tersebut, telah dapat dijamin keselamatan para diplomat? Apakah pada ketentuan-ketentuan di dalam konvensi tersebut dapat dijamin kekebalan-kekebalan dan keistimewaan yang dinikmati oleh para diplomat dalam rangka menunaikan tugas diplomatik mereka.

Meskipun telah diciptakannya beberapa konvensi yang mengatur kekebalan Diplomatik, namun dewasa ini masih banyak terdapat kasus yang melakukan pelanggaran kekebalan diplomatik dan yang mengancam keselamatan para diplomatik di dalam menjalankan tugas dan misi diplomatiknya.

Kasus krisis penyanderaan 52 Diplomat AS di Teheran.

(4)

merupakan diktator bengis di Iran, melihat tindakan Amerika pihak Iran meminta untuk mengembalikan Syah Iran untuk diadili di Iran. Namun Amerika tidak melakukan tindakan apapun yang menyebabkan para mahasiswa Iran melakukan aksi menduduki Kedutaan Amerika dan menyandera 52 Diplomat Amerika. Tindakan mahasiswa itu pun mendapat dukungan dari pemerintah Iran. Mahasiswa Iran tersebut juga menuding Amerika melakukan tindakan memata-matai dan melakukan kejahatan. Namun dikarenakan penyanderaan yang dilakukan oleh diplomat yang mendapatkan kekebalan diplomatik maka permasalahan yang dibawa ke Mahkamah Internasional ini diputuskan agar penyaderaan yang mulai beraksi 4 November 1979 itu, dibebaskan seluruh para sandera dalam keadaan hidup. Namun permintaan Iran untuk memulangkan Syah Iran tidak terlaksana.

(5)

ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik maka tentunya hal ini bertentangan dengan hak kekebalan diplomatik.

B. Rumusan Masalah

Perwakilan diplomatik merupakan peranan yang sangat penting di dalam suatu bentuk terjadinya kerja sama antara kedua negara dalam melakukan misi diplomatik.

Perwakilan diplomatik yang dikirim dalam menjalankan tugasnya memiliki hak-hak selama menjalankan tugasnya, namun perwakilan diplomatik tersebut juga harus menghormati hukum negara penerima.

Adapun yang menjadi permasalahan disini adalah:

1. Bagaimana pengakuan hak-hak Diplomatik dalam Hukum Internasional?

2. Bagaimana penyelesaian pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik ditinjau dari Hukum Internasional?

3. Bagaimana kasus pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang duta besar Itali di India?

C. Tujuan Penulisan

(6)

Negara yang mengirimkan perwakilan diplomatiknya ke negara lain merupakan wujud nyata kedua negara tersebut melakukan hubungan diplomatik.

Adapun yang merupakan tujuan dari penulisan ini yaitu:

1. Untuk mengetahui secara teoritis dan faktual bagaimana pengakuan hak-hak Diplomatik dalam hukum Internasional

2. Untuk mengetahui lebih dalam cara penyelesaian yang dilakukan apabila terjadi pelanggaran hak-hak kekebalan diplomatik ditinjau menurut hukum internasional

3. Untuk mengetahui bagaimana penanganan kasus penahanan Duta Besar Italia di India di tinjau menurut hukum diplomatik.

D. Keaslian Penulisan

(7)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Sejarah Hubungan Diplomatik

Pada masa Kerajaan Romawi kuno untuk keperluan tentaranya, telah membangun jalan-jalan untuk mengamankan daerah-daerah kekuasaannya. Jalan-jalan tersebut sangat penting tidak hanya untuk keperluan militer, tetapi juga diperlukan oleh kaum pedagang pada masa itu. Pemerintah kerajaan romawi kemudian mengijinkan juga para pedagang tersebut untuk melintasi jalan-jalan yang mereka buat, asal menggunakan surat yang telah disediakan untuk itu. Surat yang dikeluarkan pemerintah kerajaan romawi itu disebut diploma. 1

Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa hukum diplomatik sudah ada lama sekali sejak jaman kerajaan romawi. Para pedagang yang berada dari luar wilayah Kerajaan Romawi dewasa ini disebut perwakilan diplomatik, guna melakukan perundingan perdagangan, dimana perundingan disini harus memiliki surat yang disebut diplomasi yang dewasa ini disebut dengan paspor. Meskipun pada jaman dahulu belum terdapat peraturan yang mengatur tentang Diplomatik.

Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian tentang hubungan diplomatik diatur berdasarkan hukum kebiasaan. Pada Kongres Wina tahun 1815 raja-raja ikut dalam konferensi sepakat untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan kedalam hukum tertulis. Namun tidak banyak yang dihasilkan dari Kongres Wina tersebut dan hanya

1

(8)

mencapai 1 naskah saja yaitu hirarki diplomat yang kemudian dilengkapi dengan Protocol Aix –La-Capelletanggal 21 November 1818. 2

Kongres Wina substansinya tidak menambah apa-apa dari prakteknya dan belum sempurna, namun mengenai hubungan diplomatik sudah terdapat aturan yang terkodifikasi sebagai aturan tertulis yang dapat digunakan sebagai pedoman dan dipergunakan secara internasional.

2. Pengertian Hukum Diplomatik

Berbicara tentang pengertian hukum diplomatik, ternyata masih banyak keseragaman pendapat oleh para ahli hukum dan para sarjana, mungkin hal inilah yang melatarbelakangi disebutnya hukum diplomatik ini tidak lebih dari hanya bagian dari hukum internasional publik. Namun tidak dapat dipungkiri pendapat dari Eileen Denza3 mengenai hukum diplomatik tidak sekedar dari komentar konvensi wina 1961 mengenai hukum diplomatik. Sementara, menurut Jan Osmanczyk4:

“Hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dan dinas diplomatik.”

2 Boer Mouna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2000, hal.467

3

Eileen Denza,Diplomatic law, Commentary on The Vienna Convention on Diplomatic Relations, Oceania Publication,Inc, Dobbs Ferry, New York, 1976, lihat pula, Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, (Bandung: PT Alumni,1995), hal 1.

4

(9)

Beberapa pendapat dari para ahli hukum maupun para sarjana tentang pengertian dari diplomasi, yang penggunaan istilahnya itu berbeda-beda menurut pemakaiannya:

 Ada yang menyamakan kata “Diplomasi itu dengan “ politik luar

negeri”, umpamanya jika dikatakan “ Diplomasi Republik Indonesia di Australia perlu lebih ditingkatkan.”

 “Diplomasi” dapat pula diartikan sebagai “perundingan”, seperti

sering dinyatakan “Masalah Timor-Timur hanya dapat diselesaikan melalui jalur dipplomasi”.

 Dapat Pula “ Diplomasi” diartikan sebagai dinas luar negeri, seperti

dalam ungkapan Selama ini ia bekerja untuk diplomasi.

 Ada juga yang mengungkapkan secara kiasan dalam kalimat “dia

pandai berdiplomasi”, yang dapat diartikan dia pandai bersilat lidah.  Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara

berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional.5

 Diplomasi multitrack, istilah ini menjadi populer di kalangan para

diplomat seiring dengan munculnya beberapa peraturan perundang-undangan mengenai hubungan luar negeri dan otonomi daerah. Istilah itu sendiri muncul dalam kata sambung Menlu-RI, Dr.N.Hassan Wirajuda, dalam acara sosialisasi buku (bedah buku)

5

(10)

Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah

Daerah, Jakarta, 29 Oktober 2003.6Sehubungan dengan Visi Total

Diplomacy dari penggunaan seluruh upaya dan aktor hubungan luar

negeri dalam pelaksanaan politik luar negeri, keterlibatan daerah

sebagai salah satu track dan actor dari pelaksanaan diplomacy

sangatlah penting untuk mewujudkan kepentingan dan cita-cita

nasional Indonesia. Terlebih dalam kerangka kerja sama internal

yang erat antara semua komponen kebangsanaan dan kenegaraan

demi tujuan bersama menciptakan masyarakat yang taat hukum (Law

Abiding society), keadilan, social dan kesejahteraan rakyat.

Untuk lebih memahami pengertian daripada “diplomasi” maka

kita lihat pendapat dari Sir Ernest Satow dan Ian Brownlie, sebagai

berikut:

Diplomacy is the application of intelligence and tact to the conduct of official relations between the Governments of independent States, extending sometimes also their relations with vassal States, or more briefly still, the conduct of business States by peaceful means.7

Sedangkan menurut Ian Brownlie dalam bukunya Principles of

Public International Law, menyebutkan bahwa:

…Diplomacy comprisesany means by which States establish or maintain mutual relations, communicate with each other, or

6

Untuk membaca Teks lengkap sambutan Menlu-RI, Dr.N.Hassan Wirajuda tertanggal 29 Oktober 2003 ini, dapat dilihat dalam buku panduan tata cara Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, Deplu-RI, 2004, hal ii.

7

(11)

carry out political or legal transactions, in each case through their authorized agents.”8

Dengan demikian, pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya

merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang

mengatur hubungan diplomatik antarnegara yang dilakukan atas dasar

prinsip persetujuan bersama secara timbal balik (reciprosity principles),

dan ketentuan ataupun prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam

instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun

konvensi-konvensi sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internsional dan

pengembangan kemajuan hukum internasional secara progresif.9

Didalam hukum diplomatik memiliki materi meluas hingga

mencakup beberapa ketentuan10, berikut:

1) Hubungan Luar Negeri dalam Bidang Tertentu, Antara lain:

a) Kerja sama Kota/Provinsi Kembar (Sister city);

b) Kerja sama dengan NGO’s Luar Negeri;

c) Pendirian Lembaga Kebudayaan, Lembaga Persahabatan,

Badan Promosi, atau Badan lainnya di luar negeri;

d) Pendirian Perhimpunan Persahabatan di luar negeri;

e) Pengamatan Misi Diplomatik/Konsuler; dan

f) Kegiatan Jurnalistik Bagi Wartawan Asing

2) Masalah Keprotokolan dan Konsuleran, seperti:

8

Ian Brownlie, Priciples of Public International Law, (Oxford: University Press,3rd, ed,

1979),hal 345. Et seq 9

Syahmin, AK,S.H, M.H, Op.Cit, hal 11.

10

(12)

a) Perlindungan Kepentingan WNI dan Badan Hukum

Indonesia di Luar Negeri;

b) Penanganan WNA yang terlibat tindak pidana di Indonesia;

c) Penanganan Pencari Suaka, Pengungsi, dan Imigran Gelap

dari Luar Negeri;

d) Pelayanan Fasilitas Diplomatik;

e) Pelayanan Keprotokolan Kunjungan Pejabat Asing ke

Daerah dan Pejabat Daerah ke luar negeri; dan

f) Pelayaran Kekosuleran.

3) Hal-hal Khusus, seperti:

a) Hubungan Luar Negeri Republik Indonesia – Israel; dan

b) Hubungan Luar Negeri RI-Cina Taipei (Taiwan);

c) Dan lain sebagainya.

3. Prinsip-Prinsip dan Asas Hukum Diplomatik

a) Prinsip Tidak Diganggu-gugat (Inviolability)

Prinsip tidak dapat diganggu-gugat (inviolability), ini terdapat

dalam Konvensi Wina 1961 pasal 24, yaitu:

“The archives and Documents of the mission shall be inviolable at any time and where ever they may be.”

(arsip-arsip dan dokumen-dokumen missi tidak dapat diganggu-gugat, kapanpun dan di manapun benda-benda itu berada)

Prinsip ini juga masih tetap berlaku walaupun sudah terjadi

pemutusan hubungan diplomatik atau bahkan sedang terjadi konflik

(13)

Prinsip ini juga diatur dalam Konvensi Wina 1961 pasal 27,

yaitu:

The receiving States shall permit and protect free communication on the part of the mission for all official purposes..etc.”

Yang pada pokoknya melarang korespondensi tersebut

sebagai barang bukti di pengadilan negara penerima. Demikian pula

dalam Konvensi Wina 1961 pasal 29, yaitu:

The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to any from of arrest or detention. The receiving state shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom, or dignity.”

(seseorang agent diplomatik tidak dapat diganggu-gugat, ia tidak dapat ditangkap dan ditahan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap para diplomat, kebebasannya atau martabatnya)

Dengan demikian apabila seorang diplomat terkena kasus

pidana di negara penerima seperti spionase (memata-matai), menurut

prinsip ini negara penerima tidak dapat melakukan penangkapan dan

penahanan terhadap diplomat ini, melainkan hanya dapat melakukan

tindakan pengusiran seperti Persona non-Grata.

Menurut Ko Swan Sik11 , terhadap pengertian tidak dapat

diganggu-gugat (inviolability), sebagai berikut:

a) Mencakup asas pokok, yang berisi semua kekebalan diplomatik

dalam arti keseluruhan hak-hak kekebalan.

11

(14)

b) Untuk menunjukkan perlindungan atas kebebasan dari tindakan

kekuasaan dan paksaan dari alat-alat perlengkapan negara.

c) Negara penerima melakukan segala tindakan agar wakil

diplomatik terhindar dari segala macam tindakan yang tidak sah

dari pihak lain, jadi negara penerima memberikan perlindungan

istimewa kepada wakil diplomatik.

Bila kita bandingkan pengertian dari kekebalan dan tidak

dapat diganggu-gugat, kekebalan berarti negara penerima harus

membebaskan perwakilan diplomatik dari tindakan yang menurut

hukum yang sebenarnya sah, sedang prinsip tidak dapat

diganggu-gugat berarti bahwa polisi harus bertindak secara positif untuk

mencegah perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.

Prinsip tidak dapat diganggu-gugat ini bertujuan agar para

diplomat dilindungi hal ini untuk menghormati kedudukan dan

jabatannya yang sebagai perwakilan negaranya di negara penerima

dan untuk membantu diplomat dalam menjalankan tugas-tugas dan

missi diplomatiknya.

b) Prinsip Exterritoriality atau Extraterritoriality.

Salah satu prinsip yang melatarbelakangi munculnya

kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Prinsip ini mencerminkan

bahwa para diplomat hampir dalam segala hal harus diperlakukan

(15)

Asas ini beranggapan para diplomat tidak berada di negara

penerima, melainkan berada di wilayah negara pengirim, sehingga

para diplomat tidak dapat dikuasai oleh hukum negara penerima

melainkan hanya tunduk pada hukum dan yuridiksi negara pengirim.

Terhadap gedung/ tempat kediaman para diplomat sesuai asas

ini, dianggap merupakan wilayah maupun perpanjangan negara

pengirim. Gedung yang dipakai oleh suatu perwakilan diplomatik

baik gedung itu milik negara pengirim atau kepala perwakilan

maupun disewa perorangan biasanya tidak dapat diganggu-gugat

oleh para penguasa negara penerima, dan dibebaskan dari perpajakan

kecuali bagi pajak-pajak dalam bentuk biaya pelayanan khusus.12

Di dalam perkembangannya asas ini banyak disalahgunakan

dengan banyaknya kasus gedung diplomatik banyak dijadikan tempat

persembunyian para penjahat. Maka ahli hukum Vattel pun

menuliskan pendapatnya bahwa negara pengirim tidak mempunyai

hak untuk memberikan asylum ditempat perwakilannya. Apabila

pemberian asylum telah membahayakan bagi negara penerima maka

atas perintah penegak hukum negara penerima dapat memasuki

tempat perwakilan diplomatik dan menangkap penjahat yang

mendapatkan asylum.

Asas ini pun berdasarkan perkembangan zaman mulai

menurun dan mulainya prinsip kewajiban negara penerima untuk

12

(16)

memberikan perlindungan kepada perwakilan diplomatik maupun

tempat kediamannya.

Dapat kita simpulkan prinsip ini hanya ingin menunjukkan

bahwa negara penerima tidak memiliki kewenangan untuk

menegakkan kedaulatan hukumnya di tempat kediaman perwakilan

asing.

c) Asas Komunikasi Bebas bagi para Diplomat

Seorang diplomat mempunyai kekebalan untuk mengadakan

komunikasi guna untuk menjalankan tugas-tugas diplomatnya, tanpa

mendapatkan halangan baik berupa tindakan pemeriksaan maupun

penggeledahan dari negara-negara lain.

Komunikasi ini dapat dilakukan antara para diplomat dengan

negara pengirim dan dengan perwakilan diplomatik dan perwakilan

konsuler lainnya dari negara penerima, dimana saja para diplomat

ini dapat melakukan berbagai upaya untuk melakukan komunikasi

baik diplomatik bag, korespondensi resmi ataupun korespondensi

yang dilakukan dengan cara biasa, maupun komunikasi melalui

transmisi.

4. Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

A. Dasar-dasar Teoritis

Suatu negara yang mengirimkan perwakilan diplomatik ke

suatu negara lain menginginkan wakil diplomatiknya diberikan

(17)

demikian negara pengirim juga akan memperlakukan wakil-wakil

diplomatik dinegaranya dengan istimewa pula.

Adapun teori-teori mengenai mengapa diberikannya

kekebalan-kekebalan dan hak istimewa kepada pejabat-pejabat

diplomatik, di dalam hukum internasional terdapat tiga teori yaitu

antara lain :

1. Teori Exterritoriality yaitu seorang wakil diplomatik itu karena

Exterritorialiteit dianggap tidak berada di wilayah negara

penerima, tetapi berada di wilayah negara pengirim, meskipun

kenyataannya di wilayah negara penerima. Oleh karena itu, maka

dengan sendirinya seorang wakil diplomatik itu tidak takluk

kepada hukum negara penerima. Begitu pula ia tidak dapat

dikuasai oleh hukum negara penerima dan tidak takluk pada

segala peraturan negara penerima.

2. Teori Representative Character yaitu pemberian

kekebalan-kekebalan diplomatik dan hak-hak istimewa kepada sifat

perwakilan dari seorang diplomat, karena ia mewakili kepala

negara atau negaranya di luar negeri.

3. Teori Functional Necessity yaitu dasar kekebalan dan hak-hak

(18)

wakil diplomatik harus dan perlu diberi kesempatan

seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya dengan sempurna.13

B. Dasar-dasar Yuridis

Didalam perkembangan pergaulan internasional dirasakan

perlu dibuat konvensi internasional, yang merupakan dasar hukum

tertulis yang umumnya dapat digunakan oleh semua negara secara

timbal balik. Kecenderungan ini akhirnya menghasilkan Konvensi

Wina 1961 tentang hubungan diplomatik. Dengan demikian masalah

hubungan diplomatik tersebut tidak hanya menurut hukum kebiasaan

namun terdapat hukum secara tertulis.

Ketentuan-ketentuan mengenai kekebalan dan keistimewaan

pun tidak terlepas masuk dalam hasil konvensi Wina 1961, dimana

dapat kita jumpai dalam pasal 22 sampai pasal 31, hal mana dapat

dapat diklasifikasi dalam :

1. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan

gedung-gedung perwakilan beserta arsip-arsip, kita jumpai dalam pasal

22, 24, dan30.

2. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai

pekerjaan atau pelaksanaan tugas wakil diplomatik, kita jumpai

dalam pasal-pasal 25, 26, dan27.

13

(19)

3. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai

pribadi wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal-pasal 29

dan31.14

Selain dari pada Konvensi Wina 1961 juga telah dilakukan

pembagian tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik oleh

Law Commision, dalam 3 hal yang pokok :

1. Immunities relating to the premises of the mission and to its

archives

2. Those concerning the work of the mission

3. Personal immunities and privileges of the envoy15

Mengenai hak-hak diplomatik itu sendiri bukanlah dari

hukum internasional itu sendiri melainkan dari hukum kebiasaan

internasional. seperti pendapat dari Oppenheim:

“The privileges which according to International Law, once preserved by envoy are not rights given to them by International La, but rights given by Municipal law of receiving states in compliance with an international right belonging to their home states. However, as right are accorded to the by Municipal Law, the distinctions is without substantial significance.”16

Dengan demikian hal diatas yang menjadi dasar yuridis dari

pelaksanaan dan pengakuan hak-hak kekebalan dan keistimewaan

diplomatik, dalam pergaulan internasional.

14

Ibid, hal 39-40. 15

B. Sen-Sir Gerald Fitzmaurice GCMG, A. Diplomat’s Hand Book of Internasional law and Practice, Martinus Nijhoff, The Hague, Hal. 89.

16

(20)

5. Lingkup Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

a. Kekebalan bagi para pejabat diplomatik:

 Kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima

 Hak mendapatkan perlindungan terhadap gangguan dan

serangan atas kebebasan dan kehormatannya

 Kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan

 Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi

b. Keistimewaan bagi para pejabat diplomatik:

 Pembebasan dari pajak-pajak

 Pembebasan dari Bea Cukai dan Bagasi

 Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial

 Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan

militer

 Pembebasan dari kewarganegaraan

c. Kekebalan dan Keistimewaan bagi Keluarga Para Pejabat

DiplomatikTermasuk Anggota Staf Diplomatik dan Pelayan:

 Kekebalan terhadap anggota keluarga

 Kekebalan terhadap anggota staf teknis dan administrasi

 Anggota staf pelayan

 Pembantu rumah tangga pribadi

d. Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik di Negara Ketiga:

(21)

 Perjalanan karena Force Maejure

e. Kekebalan Gedung Perwakilan dan Pembebasan Pajak:

 Gedung Perwakilan

 Pembebasan Gedung Perwakilan dari pajak

 Tidak dapat diganggu gugatnya komunikasi dan arsip

perwakilan.17

F. Metode penelitian

Agar didapat hasil penulisan yang semaksimalnya. Maka penulisan

skripsi ini mengunakan metode studi kepustakaan (Library Research). Dari

studi kepustakaan ini, dipergunakan literatur-literatur, diktat-diktat,

majalah-majalah, naskah konvensi, serta catatan-catatan lainya yang berhubungan

dengan penulisan skripsi ini dan seterusnya akan dijadikan landasan pikiran

serta landasan pembahasan. Metode ini menggunakan, pengumpulan bahan

tulisan, mempelajari, memahami, dan menuangkannya kedalam bentuk

tulisan ilmiah yang dimana penulis berusaha sebaik-baiknya menghasilkan

tulisan ilmiah yang lengkap, faktual dan akurat.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab dan didalam

bab terdiri dari atas sub bab demi bab. Adapun gambaran isi penulisan ini

sebagai berikut:

17

(22)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pengantar untuk penulisan pada bab-bab

berikutnya, dalam pembahasan yang terdiri dari : Latar

Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian,

Sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TENTANG DIPLOMATIK DAN

PELAKSANAAN HUKUM DIPLOMATIK

Pada bab ini menguraikan tentang Tinjauan Umum Tentang

Diplomatik dan Pelaksanaan Hukum Diplomatik, yang

terdiri atas : Sejarah Diplomatik,Sumber Hukum

Diplomatik serta Pelaksanaan Hukum Diplomatik,

Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan Diplomatik,

serta Tugas dan Fungsi Pejabat Diplomatik.

BAB III : KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN

DIPLOMATIK

Pada bab ini yang akan dibahas mengenai Kekebalan dan

Keistimewaan Diplomatik, yang terdiri atas : Latar

Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistimewaan

(23)

Keistimewaan Diplomatik, Ruang Lingkup Kekebalan dan

Keistimewaan Diplomatik bagi Para Pejabat Diplomatik.

BAB IV : PENYELESAIAN KASUS PENAHANAN DUTA

BESAR ITALIA DI INDIA.

Dalam bab ini memaparkan tentang Tinjauan Permasalahan

dan Penyelesaian Kasus Penahanan Duta Besar Italia Di

India, yang berisi tentang : Latar Belakang Kasus

Penahanan Duta Besar Italia di India, Tanggapan Pihak

Italia dan India atas Kasus Penahanan Duta Besar Italia di

India, Tinjauan Mengenai Penanganan dan Penyelesaian

Kasus Penahanan Duta Besar Italia di India.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini merupakan penutup, yang merupakan

pokok-pokok kesimpulan dari semua permasalahan dalam

pembahasan yang dilakukan dalam tulisan ini, serta

saran-saran yang dikemukakan yang semoga dapat membantu dan

bermanfaat bagi kita semua serta membantu kita lebih

memahami tentang Hukum Diplomatik khususnya

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan ambient media pengiklan bertujuan agar produk atau jasa pengiklan dapat lebih diingat diruang publik dan dapat mengatahui potensi pendapatan iklan serta

Kepala Desa atau yang disebut Kepala Pekon dalam Kabupaten Pringsewu dalam mekanisme pelaksanaan pembuatan Peraturan Desa secara konstitusi tidak sesuai dengan

Kendali adalah kegiatan yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek), Kepala Kepolisian Sektor Kota (Kapolsekta), Kepala Kepolisian Sektor Metropolitan

Untuk mencari atribut pembelah yang membelah dataset dengan tingkat homogenitas maksimum, maka setiap atribut dari dataset harus dicari nilai Gini  Index-nya. Namun

Dari Tabel 1 terlihat bahwa jumlah gugus epoksi yang terikat pada Si-ep dengan waktu kontak 8 hari memiliki efisiensi paling besar dibandingkan Si-ep dengan waktu

Setelah pemakai selesai memakai laboratorium, maka pemakai wajib mengembalikan alat sesuai peminjaman dan akan dikenakan biaya pemakaian Iaboratorium, pemakaian alat

[r]