INTERPRETASI SKOR
Oleh:
Olivia Rumahpasal
832012016
Jenny M Salamor
832012017
Susance Safessa
832012701
Makna Skor
(Sulistiyono, t.t)
Makna
Makna
Pemberian Makna pada Skor
(Sulistiyono, t.t)
(a) (a)
Pemberian Makna pada Skor
(Sulistiyono, t.t)
Secara
Perbedaan Skor & Nilai
(Ipan, 2009)
Skor
Skor
Hasil
Hasil
Nilai
Nilai
Penilaian Acuan Patokan (PAP)
(Ipan, 2009)
• Pada acuan ini sebelum penilaian itu dilaksanakan harus ditetapkan lebih dulu
patokan yg akan dipakai sebagai pembanding terhadap semua hasil pengukuran. Patokan di sini merupakan suatu patokan yg ditetapkan sebelumnya sebagai batas lulus (tingkat penguasaan minimum).
• PAP didasarkan pada asumi bahwa:
1. Hal- hal yg harus dipelajari oleh testee memiliki struktur hierarkis tertentu & bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum maju ke taraf selanjutnya.
2. Evaluator atau tester dapat mengidentifkasi masing-masing taraf itu setidaknya mendekati tuntas.
• Pemberian nilai kepada testee dilaksanakan dengan cara membandingkan
Contoh Patokan yg Digunakan
dalam Dunia Pendidikan
(Ipan, 2009)
Tingkat Penguasaan
Nilai Akhir Bobot Interpretasi
80-100% A 4 Memuaskan
70-80% B 3 Baik
60-70% C 2 Cukup
50-60% D 1 Kurang
Kurang dari
Penilaian Acuan Norma (PAN)
(Ipan, 2009)
Asumsi penggunaan PAN:
1.
Tidak
2.
Acuan Norma
(Sulistiyono, t.t)
Hasil
Hasil
Acuan Norma
“Macam-macam Konversi”
(Sulistiyono, t.t)
Skor
Skor
Acuan Norma “Macam-macam Konversi”
(Sulistiyono, t.t)
Skor
Skor
Acuan
Acuan
Biasanya
Langkah Pemberian Makna
“Acuan Norma”
Makna skor diperoleh dengan
cara
mendefnisikan
skor
tersebut ke dalam suatu skala
tertentu.
Untuk
Jenis
Jenis
Stanine
Nilai Z & T dengan cara linear
Kesamaan bentuk penyebaran dengan kurva normal
Stanel
Kesamaan tingkat (
Skor berskala & Item
Rentang
Skor Z & T dengan cara dikurva normalkan
Deviation IQ
Stanine
Nilai Z & T dengan cara linear
Kesamaan bentuk penyebaran dengan kurva normal
Stanel
Kesamaan tingkat (
Skor berskala & Item
Rentang
Contoh Penerapan Transformasi Nilai
Normal Persentil
Norma-skor Standard
Item Response Theory
Normal Persentil
(Setiawan, 2012)
• Norma persentil berisi tabel persentase yg berkaitan
dengan skor mentah tertentu. Skor mentah ini disebut sebagai persentil & persentase kelompok norma yg masuk ke bawah skor tertentu merupakan rentang persentil (persentil range) skor ini.
• Peringkat persentil (persentil rank) cukup mudah
dihitung & dipahami. Oleh karena itu lebih populer daripada norma standard.
• Laporan psikologi yg berusaha keras untuk menekankan
Norma-skor Standard
(Setiawan, 2012)
•
Tidak seperti peringkat persentil, skor standard
menghadirkan pengukuran pada skala interval.
•
Norma skor standard adalah skor terkonversi yg
memiliki mean & standard deviasi yg diinginkan.
•
Ada banyak skor standard yg berbeda, meliputi:
Skor Z
(Setiawan, 2012)
• Kenyataan bahwa skor z mungkin angka desimal negatif atau positif
menciptakan beberapa kesulitan dalam menggerakkan angka itu.
• Masalah dapat diselesaikan dengan mengalikan skor z dengan angka
konstan & menambah angka konstan lain pada hasilnya.
• Mengalikan z dengan 10, menambah 50 pada hasil & membulatkan hasil
Skor CEEB
(Setiawan, 2012)
• Skor CEEB (College Entrance Examination Board)
ditentukan dengan mengalikan skor z yg berkaitan dengan 100 & menambah 500 ke hasilnya.
• Misal: Dilakukan pada skor mentah pada Scolastic
Aptitude Test (SAT) yg diselenggarakan pada 1941, menghasilkan distribusi baru yg memiliki mean 500 & deviasi standard 100.
• Akan tetapi sesudah itu, skor yg diperoleh siswa
Item Response Theory
(Setiawan, 2012)
Metode
Metode
•
Seperti digambarkan pada Gambar 4.2, bentuk kurva respons-item
bervariasi mengikuti nilai parameter a & b. Kedua kurva pada
gambar ini disusun dengan fungsi dua-parameter pada rumus 4.5.
•
Pada kurva P, parameter kesulitan (
b
) adalah 1,00 & parameter
diskriminan (
a
) adalah 0,5; pada kurva Q,
b
= 0,25 &
a
= 0,75.
•
Skor pada kontinum, kemampuan tersembunyi
(
latent ability continuum
) dinyatakan sebagai unit
skor standard (z ), tetapi pada penerapan sebagian
besar pendidikan, skor z diubah ke skala yg
memiliki mean 300 & deviasi standard 50.
•
Pada praktek sesungguhnya, parameter item &
• Masalahnya adalah mencari kurva respons-item yg
paling cocok dengan respons terhadap tiap-tiap item.
• Pencarian ini melibatkan prosedur yg
mungkin-maksimum secara interative dengan mengasumsikan nilai awal tertentu untuk parameter itemnya dengan menghitung P() yg berhubungan dengan berbagai nilai, membandingkan respons-item hasil prediksi dengan respons-item sesungguhnya & melanjutkan proses sampai solusi terbaik dapat diraih.
• Proses estimasi parameter item membutuhkan
• Tidak seperti metodologi pengetesan tradisional, yg mengacaukan antara
diskriminasi & kesulitan tes pada sampel tertentu orang yg dites, pada IRT
maka parameternya adalah, setidaknya dalam teori, independen terhadap
sampel tes.
• Sifat IRT yg menarik lainnya, invariance kemampuan tes dengan respons
terhadap item yang digunakan untuk mengestimasinya, berakar pada proses
pengestimasian . Fitur IRT ini berarti bahwa tes pada level kesulitan
manapun dapat dikelola untuk menentukan posisi seseorang pada berbagai
level kemampuan tersembunyi (latent ability continuum).
• IRT telah dipergunakan untuk berbagai tujuan, yg meliputi penyusunan tes,
kalibrasi skor tes untuk menyediakan kerangka acuan guna
Skor Standard yg Dinormalisir
(Setiawan, 2012)
•
Skor z
ndapat diubah menjadi skor dinormalisir yg
memiliki mean & deviasi standard yg diinginkan.
•
Skala skor lain adalah skala stanine yg diilustrasikan
dengan skala ketiga dari bawah. Pada skala standard
dinormalisir ini, yg memiliki mean 5 & deviasi standard
•
Rentang ini didesain dari angka 1 – 9 & seperti
diperlihatkan pada gambar, persentase tertentu dari
distribusi skala normal berada dalam interval yg diwakili
oleh stanine tertentu. Akan tetapi, skala stanine bukanlah
skala standard sesungguhnya, karena stanine pertama &
kesembilan terbuka di bagian akhir.
•
Salah satu keunggulan skor stanine adalah bahwa skor
Tes Penyamaan (
Equating Tests
)
(Setiawan, 2012)
• Skor yg dibuat pada satu bentuk, sangat serupa dengan skor peserta tes
yg sama pada bentuk pertama.
• Proses penyamaan atau lebih tepatnya membuat perbandingan, dua tes
dengan level kesulitan sama (misalnya kelas sama) disebut sebagai penyamaan horizontal (horizontal equating).
• Penyamaan juga dapat dilakukan secara vertikal, seperti ketika skor pada
dua tes yg memiliki level kesulitan berbeda (mis. Kelas berbeda) dipersamakan.
• Secara umum, proses penyamaan melibatkan menjangkarkan tes ke tes
Interprestasi Skor
(Azwar, 2012)
Interprestasi Skor
(Azwar, 2012)
Pemberian makna atau interprestasi terhadap skor skala yg bersangkutan
merupakan sisi diagnostika suatu proses pengukuran atribut psikologi. Tidak
adanya makna mutlak pada X = 0 dari hasil pengukuran psikologi menjadi
permasalahan bila diperlukan pemilahan skor individual ke dalam beberapa
kelompok (kategori) diagnosis yg berbeda.
Sekalipun skor pada skor psikologi yg ditentukan lewat prosedur penskalaan
akan menghasilkan angka-angka pada level pengukuran interval (Azwar,
1999), namun dalam interpertasinya hanya dapat dihasilkan kategori-kategori
atau kelompok-kelompok skor yg berada pada level ordinal.
Pemberian makna atau interprestasi terhadap skor skala yg bersangkutan
merupakan sisi diagnostika suatu proses pengukuran atribut psikologi. Tidak
adanya makna mutlak pada X = 0 dari hasil pengukuran psikologi menjadi
permasalahan bila diperlukan pemilahan skor individual ke dalam beberapa
kelompok (kategori) diagnosis yg berbeda.
Sekalipun skor pada skor psikologi yg ditentukan lewat prosedur penskalaan
akan menghasilkan angka-angka pada level pengukuran interval (Azwar,
1999), namun dalam interpertasinya hanya dapat dihasilkan kategori-kategori
• Pada dasarnya, interpretasi terhadap skor skala psikologi bersifat
normatif, artinya makna skor diacukan pada posisi relatif skor terhadap suatu norma (mean) skor populasi teoretik sebagai parameter sehingga hasil ukur yg berupa angka (kuantitatif) dapat diinterpretasikan secara kualitatif sehingga acuan tersebut dapat memermudah pengguna untuk memahami hasil pengukuran.
• Skor-mentah (raw score) yg memersentasikan hasil pengukuran suatu
skala merupakan penjumlahan dari skor aitem-aitem dalam skala tersebut sehingga skor dapat langsung dimaknai dengan mengacu pada norma interpretasi yg telah dibuat.
• Dalam kasus skor komposit yg setiap komponennya dapat berisi aitem
dalam jumlah berbeda atau setiap komponennya diberi bobot yg tidak sama, penjumlahan itu dilakukan dengan mengubah skor semua komponen menjadi skor standar dengan mean & unit deviasi standar yg sama terlebih dahulu.
Lanjutan… Interpretasi Skor (Azwar, 2012)
• Pada dasarnya, interpretasi terhadap skor skala psikologi bersifat
normatif, artinya makna skor diacukan pada posisi relatif skor terhadap suatu norma (mean) skor populasi teoretik sebagai parameter sehingga hasil ukur yg berupa angka (kuantitatif) dapat diinterpretasikan secara kualitatif sehingga acuan tersebut dapat memermudah pengguna untuk memahami hasil pengukuran.
• Skor-mentah (raw score) yg memersentasikan hasil pengukuran suatu
skala merupakan penjumlahan dari skor aitem-aitem dalam skala tersebut sehingga skor dapat langsung dimaknai dengan mengacu pada norma interpretasi yg telah dibuat.
• Dalam kasus skor komposit yg setiap komponennya dapat berisi aitem
dalam jumlah berbeda atau setiap komponennya diberi bobot yg tidak sama, penjumlahan itu dilakukan dengan mengubah skor semua komponen menjadi skor standar dengan mean & unit deviasi standar yg sama terlebih dahulu.
Kategorisasi Berdasar Model Distribusi
Normal
(Azwar, 2012)
•
Kategori ini didasari oleh asumsi bahwa skor individu
dalam kelompoknya merupakan estimasi terhadap skor
individu dalam populasi & asumsi bahwa skor individu
dalam populasinya terdistribusi secara normal.
•
Dengan demikian kita dapat membuat batasan kategori
Lanjutan…
•
Sebagaimana diketahui, suatu distribusi normal
standar sebagai atas enam bagian atau enam
Kategorisasi Jenjang (Ordinal)
(Azwar, 2012)
•
Tujuannya untuk menempatkan individu ke dalam
kelompok-kelompok yg posisinya berjenjang menurut suatu kontinum
berdasar atribut yg diukur. Kontinum jenjang ini contohnya
adalah dari rendah ke tinggi, dari paling jelek ke paling baik, dari
sangat tidak puas ke sangat puas, dsb.
•
Banyaknya jenjang kategori diagnosis yg akan dibuat biasanya
tidak lebih dari lima jenjang tetapi juga tidak kurang dari tiga.
Mengelompokan individu-individu ke dalam hanya dua jenjang
diagnosisi menjadi, misal: “semangat kerja rendah” & “semangat
kerja tinggi”, selain kurang efsien juga akan menghadapi resiko
kesalahan yg cukup besar bagi skor-skor yg terletak disekitar
•
Andaikan suatu skala agresivitas terdiri atas 15 aitem
maisng-masing aitemnya diberi skor yg berkisar mulai dari 0,1,2,3
sampai 4. Dengan demikian, skor terkecil yg mungkin diperoleh
subjek pada skala tersebut adalah X = 0, yaitu (15x0) & skor
terbesar adalah X = 60 (15x4). Maka rentang skor skala terbesar
adalah 60 (60-0), kemudian dibagi dalam enam satuan deviasi
standar sehingga diperoleh 60/6=10.
•
Angka 10 ini merupakan estimasi besarnya satuan deviasi
standar populasi (σ) yg kita gunakan untuk membuat kategori
normatif skor subjek. Karena kategorisasi ini bersifat relatif,
maka luasya interval yg mencakup semua kategori yg diinginkan
dapat ditetapkan secara subjektif selama penetapan itu berada
dalam batas kewajaran & dapat diterima akal (
common sense)
.
~Lanjutan…. Kategorisasi Jenjang (Ordinal)
~Lanjutan….Kategorisasi Jenjang (Ordinal) (Azwar, 2012)
• Contoh kategorisasi yg dapat digunakan adalah: μ ≤ -1, 5σ Kategori Sangat Rendah
-1, 5σ < μ ≤ -0, 5σ Kategori Rendah -0, 5σ < μ ≤ + 0, 5σ Kategori Sedang +0, 5σ < μ ≤ +1, 5σ Kategoti Tinggi +1, 5σ < μ Kategori Sangat Tinggi
Dalam populasi teoritik yg mengikiuti distribusi normal standar ( μ = 0; σ = 1), norma seperti di atas akan menghasilkan proporsionalitas distribusi skor sebagai berikut:
-3 -2 -1 0 +1 +2 +3 z
---:----:----:----:----:----:---:----:----:----:----:
~Lanjutan….Kategorisasi Jenjang (Ordinal) (Azwar, 2012)
• Dari tabel distribusi normal dapat diketahui bahwa porporsi subjek yg skornya
berada di sebelah kiri harga (z = -1,5) sama besar dengan proporsi yg berada di sebelah kanan harga (z = 1,5), yaitu 0,067 atau 6,7% proporsi subjek yg skornya berada di sebelah kiri harga (z = -0,5) adalah 0,39 atau 39%, sehingga yg terletak diantara (z = -0,5) & (z = -1,5) adalah sebanyak 39% - 6,7% = 32,2%.
• Proposi subjek yg berada di sebelah kiri harga di antara (z = -0,5) adalah 0,11 atau
11% dengan demikian, proporsi subjek yg berada diantara (z – 0,5) & (z = 0,5) adalah 2x11%= 22%.
• Distribusi proporsi di atas tampaknya sangat layak digunakan sebagai dasar
kategorisasi subjek, sehingga bila diterapkan pada Skala Agresivitas (sebagai contoh)(secara teoritik kemungkinan skornya berkisar dari 0 sampai dengan 60 & σ = 10) akan menghasilkan kategori skor sebagai:
X ≤ 15 Agresivitas sangat Rendah 15 < X ≤ 25 Agresivita Rendah
25 < X ≤ 35 Agresivitas Sedang 35 < X ≤ 45 Agresivitas Tinggi
~Lanjutan….Kategorisasi Jenjang (Ordinal)
(Azwar, 201
2)• Kategori ini kemudian dinyatakan sebagai acuan atau norma dalam
pengelompokan skor individu yg dikenai skala agresivitas tersebut.
• Tentu saja penyusun skala boleh membuat enam atau tujuh kategori jenjang
sesuai dengan ketajaman tingkat diferensiasi yg dikehendakinya,
• Akan tetapi semua itu ditetapkan lebih dahulu batasnya berdasarkan satuan
Kategorisasi Bukan-Jenjang (Nominal) (Azwar, 2012)
Tujuan kategorisasi ini adalah menempatkan individu ke dalam
kelompok-kelompok diagnosis yg tidak memiliki makna ‘lebih’ &
‘kurang’ atau ‘tinggi’ & ‘rendah’.
Kasus semacam ini dijumpai contohnya ketika pengelompokkan
individu dilakukan berdasar skor Pola Asuh yg diterimanya (misal:
Demokratis, Bebas & Otoriter), atau ketika dilakukan kategorisasi
orientasi
Coping
(Orientasi Problem, Orientasi Emosi), atau
~Lanjutan….Kategorisasi Bukan Jenjang (Ordinal)
(Azwar, 2012
)
•
Dapat dikatakan bahwa kalau skor Pola Asuh rendah maka
berarti pola asuhnya tipe ‘bebas’ & jika skornya lebih tinggi
menjadi tipe ‘demokratis’ & kalau skornya sangat tinggi
menjadi pola asuh tipe ‘otoriter’. Jika diilustrasikan, letak
kategorinya bukan seperti:
_______________________________
Kontinum Pola AsuhBebas
Demokratis
Otoriter
Melainkan seperti:
Bebas
Demokrati
Dalam kontrak teoretiknya, kategori seperti ini merupakan dimensi-dimensi yg terpisah. Dalam perancangan skala, masing-masing dimensi diungkap oleh aspek atau subskala yg berbeda isinya.
Jelasnya, pada Skala Pola Asuh terdapat aitem-aitem yg ditulis berdasar indikator keperilakuan pola Demokratis, ada aitem-aitem yg ditulis indikator keperilakuan pola Otoriter, yg masing-masing memiliki skor tersendiri.
Begitu pula pada contoh Skala Peran Jenis , terdapat di dalamnya aitem-aitem yg khusus mengungkap peran Androgini, aitem-aitem-aitem-aitem yg khusus mengungkap peran Feminim & juga aitem-aitem yg khusus mengungkap peran maskulin, yg jumlah aitem dalam masing-masing aspeknya belum tentu sama.
~Lanjutan….Kategorisasi Bukan Jenjang (Ordinal)
Sebagai contoh disajikan suatu cara yg pernah dilakukan untuk kategorisasi skor Pusat Kendali (Locus of Control) guna keperluan penelitian (Partisari, dalam Azwar, 2012).
Skala yg digunakan adalah skala IPC Levenson (Lao, 1977) yg dalam konsepnya mengatakan bahwa pusat kendali terbagi atas tiga arah orientasi kendali, yaitu:
Orientasi Internal (I) ; Orientasi Powerful Others (P); Oreintasi Chance (C)
Dalam skalanya, ketiga orientasi pusat kendali tersebut diungkap oleh subskala (komponen) yg berbeda, yg masing-masing berisi delapan aitem
Tujuan pengukuran skala ini adalah untuk memilahkan individu menurut arah pusat kendalinya, sebagai arah internal atau arah eksternal.
Arah kendali Internal (I) tentu saja diungkap oleh subskala I.
Arah Kendali Eksternal (E) diungkap secara bersama-sama oleh subskala P &
subskala C .
Jadi, komponen yg mengungkap arah kendali I berisi delapan aitem & komponen yg mengungkap arah kendali E berisi enambelas aitem.
~Lanjutan….Kategorisasi Bukan Jenjang (Ordinal) (Azwar, 2012)
Masing-masing aitem dalam skala IPC tersebut diberi skor dalam enam jenjang, yaitu:
• SS = 6 • S = 5 • AS = 4 • ATS = 3 • TS = 2 • STS = 1
Setiap subjek mendapat mendapat dua skor pusat kendali, yaitu
pada arah orientasi eksternal (komponen I) & skor pada arah
orientasi eksternal (komponen P dan C).
• Internal: X
int=(∑X₁)/8
• Eksternal: X
eks= (∑Xp+ ∑XC)/16
Dari distribusi kedua skor ini dapat diperoleh rata-rata (mean) & deviasi standarnya masig-masing, yaitu M.., M.., S…., & S….. Kemudian skor mentah subjek dikoversikan atau diubah menjadi skor Z, yaitu:
• Z
int≥0,05 & Zeks< 0 Kendali Internal
• Z
eks≥0,05 & Zint< 0 Kendali Eksternal
Sedangkan semua individu yg skor Z nya tidak memenuhi kriteria tersebut diangap sebagai individu dengan arah pusat kendali yg tidak terklasifkasikan
~Lanjutan….Kategorisasi Bukan Jenjang (Ordinal)
(Azwar, 2012)
Cara kategorisasi bukan-jenjang dapat diterapkan pula untuk membedakan individu kedalam tiga atau empat kelompok diagnosis. Dengan menghitung nilai Z untuk skor pada masing-masing komponen atau subskala yg dirancang untuk mengukur dimensi yg berbeda, maka akan dapat dibuat suatu kriteria yg layak.
Contoh: Skala Peran Jenis yg terdiri atas dua komponen yg masing-masing mengungkap indikasi peran jenis Maskulin (M) & indikasi peran jenis Feminim (F).
Setelah skor pada masing-masing komponen diubah menjadi skor Z dapat dibuat kriteria untuk kategorisasi peran jenis ke dalam empat kelompok diagnosis, misal sebagai berikut:
• ZM≥ 0,75 & zF< 0 Maskulin
• ZF≥ 0,75 & zM< 0 Feminim
• ZM≥ 0,75 & zF< 0 Androgini
Kategorisasi Berdasar Signifkansi Perbedaan
(Azwar, 2012)
• Cara kategorisasi yg kedua adalah dengan menguji signifkansi perbedaan
antara mean skor empirik atau mean sampel (M) & mean skor teoritik atau mean populasi (µ).
• Cara ini bertujuan untuk kategorisasi individu ke dalam jenjang-jenjang
Rendah, Sedang & Tinggi namun tidak dengan mengasumsikan distribusi populasi yg normal. Aplikasinya terutama apabila jumlah individu dalam kelompok yg hendak didiagnosis tidak begitu besar.
• Dengan cara ini, tidak ditentukan lebih dahulu kriteria kategorisasinya
Lanjutan… (Azwar, 2012)
•
Hal ini dilakukan dengan rumusan interval:
µ-t
(α/2,n-1)(S/√n)≤ X ≤ µ + t
(α/2,n-1)(S/√n)
µ
: Mean teoritis pada skala
t
(α/2,n-1) :Harga t pada α/2 dan derajat kebebasan n-1
S
: Deviasi standar eror
n
: Banyaknya subjek
•
Interval tersebut merupakan interval skor yg digolongkan
Lanjutan… (Azwar, 2012)
•
Mengambil contoh terdahulu, distribusi skor Skala Harga Diri
memiliki mean teoritik sebesar µ = 120. Setelah dikenakan
pada sekelompok subjek diperoleh, misal: mean kelompok
sebesar M=95 & deviasi standar sebesar s=24, sedangkan
banyaknya subjek adalah 100.
•
Untuk membentuk sebuah interval skor tengah dengan taraf
kepercayaan 95% (0,95) atau taraf signifkansi α= 0,05
dicari lebih dahulu harga t untuk α/2 & derajat kebebasan
n-1, yaitu t
(α/2,n-1)yg dalam kasus ini dinyatakan sebagai
t
(0.025;99).Dari
Tabel Nilai-nilai Kritis
diketahui bahwa
Lanjutan.. (Azwar, 2012)
•
Menggunakan rumusan interval di atas, diperoleh:
120 – (1,98) (24/√100) ≤ X ≤ 120 + (1,98) (24/
√100)
115,25 ≤ X ≤ 124,75
115 ≤ X ≤ 125
•
Dengan demikian, diperoleh norma kategorisasi
diagnosis berdasar skor sebagai berikut:
115 125
………….:…………..:………….
X
(Rendah) (Sedang) (Tinggi)
atau dibuat seperti:
X ≤ 115 Harga diri rendah
115 X ≤125
Harga diri sedang
Lanjutan… (Azwar,
2012)
•
Semua subjek yg skornya berada di bawah
interval tersebut (X kurang dari 115) didiagnosis
sebagai memiliki tingkat harga diri rendah &
semua subjek atau kelompok subjek yg skornya
berada di atas interval tersebut (X lebih daripada
125) didiagnosis sebagai memiliki tingkat harga
diri yg tinggi.
•
Untuk kemudahan, program SPSS juga dapat
dimanfaatkan
untuk
membantu
komputasi
Lanjutan.. (Azwar, 2012)
Ikuti langkah berikut ini:
a) Buka SPSS & pada halaman Data Editor (
spread sheet)
masukkan
data skor skala (X) seluruh subjek. Sebagai contoh digunakan
data dari tabel 5.1 dengan hanya mengambil data skor skala (X).
Lanjutan… (Azwar,
2012)
b) Klik menu Analyze, pilih Compare Means & klik One Sample T-Test.
c) Pada kotak dialog One-Sample T-Test yg muncul, pindahkan x dari
kotak kiri ke kotak Test Variable (s) di sebelah kanan.
d) Klik tombol Options. Pada kotak One Sample T-Test: Options,
nampak pilihan taraf kepercayaan (
confdence interval)
yg telah
berisi angka 95, yaitu untuk taraf signifkansi α = 0,05. Angka ini
dapat dibuah sesuai keinginan kita mengenai berapa tingkat
kepercayaan yg diinginkan. Setelah itu klik tombol Continue.
e) Setelah kembali ke kotak dialog One-Sample T-Test, klik tombol OK
& sekejap sudah ada output One Sample Statistics. Pada kotak
• Harga t(α/2,n-1) dengan α=0,05 & n-1 dalam contoh ini adalah t(0,025:10) =
2,228. (Angka 2,228 diperoleh dari Tabel-t yg dapat dijumpai di dalam buku-buku Statistika untuk sampel berukuran maksimal n=100. Bila ukuran sampel melebihi 100, harga t akan sama dengan harga z & dapat dilihat pada tabel deviasi normal).
• Jadi, untuk contoh data skor di atas diperoleh interval nilai tengah
untuk kategori sedang sebagai berikut:
µ - 2,228 (4,132) ≤ X ≤ µ + 2,228 (4,132)
dengan µ=24, maka kategori sedang adalah:
24 – 9,206 ≤ X ≤ 24 + 9,206
15 ≤ X ≤ 33
15 33
•
……….. : ………… : ………… x
(Rendah) (Sedang) (Tinggi)
atau
X ≤ 15 Kategori rendah
15 X ≤33
Kategori sedang
33 <X Kategori tinggi
Lanjutan…
(Azwar, 2012)
Pertimbangan Eror Standar dalam Pengukuran
• Eror standar dalam pengukuran adalah deviasi standar eror yg
menunjukkan besarnya variasi eror pengukuran pada sekelompok subjek.
Besarnya variasi eror ini erat berkaitan dengan koefsien reliabilitas skala &
varians skor kelompok. Semakin besar eror standar dalam pengukuran
berarti hasil pengukuran semakin tidak dapat dipercaya. Sebaliknya,
semakin kecil angka eror standar berarti hasil pengukuran semakin cermat.
Rumusan eror standar dalam pengukuran disajikan kembali sebagai:
se = sX √ (1-rXX’)
• Sebagai contoh, suatu Skala Agresivitas memiliki koefsien reliabilitas rXX =
0,800 yg dihitung dari skor kelompok yg memiliki varians sX2 = 20. Eror
Lanjutan..
• sX = √20 = 4,472se = 4,472 √ (1-0,800) = 1,999
Besarnya se ini akan memerlihatkan kisaran estimasi skor sebenarnya pada
taraf kepercayaan tertentu. Dengan kata lain, mengetahui besarnya se akan
memberikan gambaran kecermatan fungsi ukur skala karena dengan
menggunakan se fuktuasi skor Agresivitas tersebut dapat diestimasi, yaitu:
X ± z α/2 (se )
Bila digunakan taraf kepercayaan sebesar 90% yg berarti sama dengan
taraf signifkansi sebesar 10% atau α= 0,10 maka α/2 = 0,05. Nilai z0,05
dicari pada tabel deviasi normal dengan melihat nilai z untuk p=0,05; yaitu
z= 1,65. Nilai ini dapat juga ditemukan dengan melihat z0,95 yg –karena
distribusi normal bersifat simetrikal- besarnya sama, yaitu 1,65 dengan
Lanjutan… (Azwar,
2012)
• Dengan begitu fuktuasi skor Agresivitas menurut hasil ukur skala tersebut adalah:
X ± 1,65 (1,999)
X ± 3,298 atau dibulatkan menjadi X ±3
• Dengan fuktuasi atau kisaran enam angka (tiga angka lebih besar & tiga angka lebih
kecil) tersebut, maka perbedaan skor Agresivitas sebesar empat angka antara dua
orang responden, misalnya X=21 & X=25, sangat mungkin terjadi karena eror
pengukuran semata-mata, bukan karena adanya perbedaan yg sebenarnya.
• Dalam kegiatan penelitian, terkadang peneliti hanya membagi skor subjek ke dalam
dua kategori diagnosis saja, yaitu agresivitas tinggi & agresivitas rendah. Kategorisasi
ini jelas terlalu sedehana (oversimplifed) & seringkali dilakukan dengan cara yg tidak
tepat, yaitu menggunakan harga rata-rata atau mean sebagai nilai batas kategori.
Skor yg lebih besar daripada mean didiagnosis sebagai tinggi sedangkan skor yg
Lanjutan…(Azwar, 2012)
•
Andaikan distribusi skor agresivitas yg dicontohkan ini memiliki
mean=30. Menurut kriteria di atas, skor X= 29 harus
didiagnosis sebagai agresivitas rendah sedangkan skor X=31
harus didiagnosis sebagai agresivitas tinggi. Pada sisi lain, skor
X=4 pun harus didiagnosis sama-sama rendah dengan skor
X=29 & skor X=54 harus didiagnosis sama-sama tinggi dengan
skor X=31. Jadi selisih sebesar 2 angka (31-29) disekitar mean
harus dibedakan, sedangkan selisih 25 angka (29-4) & selisih
23 angka (54-31) tidak dibedakan kategorinya. Kenyataan
seperti itu agak sulit untuk diterima.
29 30 31
---.---.---.--- x
•
Menurut fuktuasi skor agresivitas yg besarnya enam angka,
sangat mungkin seseorang yg mendapat skor X= 29
(kisaran peluang antara 26 sampai dengan 32) & orang lain
yg mendapat skor X= 31 (kisaran peluang antara 28
sampai dengan 34) sebenarnya memiliki skor yg sama.
Lihat ilustrasi di bawah ini:
---:---:----:---:----:---:---:---:---:---:---:---:
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 X
•
Tampak terjadi tumpang tindih antara kisaran skor 29 & kisaran
skor 31 yg begitu besar yg menunjukkan besarnya kemungkinan
bahwa kedua skor tersebut sebenarnya tidak berbeda & tidak
perlu didiagnosis berbeda.
•
Dalam kasus seperti ini, seyogyanya pemisahan kategori
DAFTAR PUSTAKA
• Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
• Ipan, G. (2009). Interpretasi hasil pengukuran dalam evaluasi pendidikan.
Diakses pada tanggal 31 Maret 2013 dari
http://the-great-ipan.blogspot.com/2009/12/interpretasi-hasil-pengukuran-dalam. html
.
• Setiawan, A. (2012). Analisis item dan standarisasi tes. Diakses pada tanggal 31
Maret 2013 dari
http://adisetiawan26.fles.wordpress.com/2012/02/analisis-item-dan-standardisasi-tes.pp--- ppt.
• Sulistiyono, S. (t.t). Interpretasi skor. Diakses pada tanggal 31 Maret 2013 dari