• Tidak ada hasil yang ditemukan

PPT BAB 9_Interpretasi Skor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PPT BAB 9_Interpretasi Skor"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

INTERPRETASI SKOR

Oleh:

Olivia Rumahpasal

832012016

Jenny M Salamor

832012017

Susance Safessa

832012701

(2)

Makna Skor

(Sulistiyono, t.t)

Makna

Makna

(3)

Pemberian Makna pada Skor

(Sulistiyono, t.t)

(a) (a)

(4)

Pemberian Makna pada Skor

(Sulistiyono, t.t)

Secara

(5)

Perbedaan Skor & Nilai

(Ipan, 2009)

Skor

Skor

Hasil

Hasil

Nilai

Nilai

(6)
(7)
(8)

Penilaian Acuan Patokan (PAP)

(Ipan, 2009)

Pada acuan ini sebelum penilaian itu dilaksanakan harus ditetapkan lebih dulu

patokan yg akan dipakai sebagai pembanding terhadap semua hasil pengukuran. Patokan di sini merupakan suatu patokan yg ditetapkan sebelumnya sebagai batas lulus (tingkat penguasaan minimum).

PAP didasarkan pada asumi bahwa:

1. Hal- hal yg harus dipelajari oleh testee memiliki struktur hierarkis tertentu & bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum maju ke taraf selanjutnya.

2. Evaluator atau tester dapat mengidentifkasi masing-masing taraf itu setidaknya mendekati tuntas.

Pemberian nilai kepada testee dilaksanakan dengan cara membandingkan

(9)

Contoh Patokan yg Digunakan

dalam Dunia Pendidikan

(Ipan, 2009)

Tingkat Penguasaan

Nilai Akhir Bobot Interpretasi

80-100% A 4 Memuaskan

70-80% B 3 Baik

60-70% C 2 Cukup

50-60% D 1 Kurang

Kurang dari

(10)

Penilaian Acuan Norma (PAN)

(Ipan, 2009)

Asumsi penggunaan PAN:

1.

Tidak

2.

(11)

Acuan Norma

(Sulistiyono, t.t)

Hasil

Hasil

(12)

Acuan Norma

“Macam-macam Konversi”

(Sulistiyono, t.t)

Skor

Skor

(13)

Acuan Norma “Macam-macam Konversi”

(Sulistiyono, t.t)

Skor

Skor

(14)

Acuan

Acuan

Biasanya

(15)

Langkah Pemberian Makna

“Acuan Norma”

Makna skor diperoleh dengan

cara

mendefnisikan

skor

tersebut ke dalam suatu skala

tertentu.

Untuk

(16)
(17)

Jenis

Jenis

Stanine

Nilai Z & T dengan cara linear

Kesamaan bentuk penyebaran dengan kurva normal

Stanel

Kesamaan tingkat (

Skor berskala & Item

Rentang

Skor Z & T dengan cara dikurva normalkan

Deviation IQ

Stanine

Nilai Z & T dengan cara linear

Kesamaan bentuk penyebaran dengan kurva normal

Stanel

Kesamaan tingkat (

Skor berskala & Item

Rentang

(18)

Contoh Penerapan Transformasi Nilai

Normal Persentil

Norma-skor Standard

Item Response Theory

(19)

Normal Persentil

(Setiawan, 2012)

Norma persentil berisi tabel persentase yg berkaitan

dengan skor mentah tertentu. Skor mentah ini disebut sebagai persentil & persentase kelompok norma yg masuk ke bawah skor tertentu merupakan rentang persentil (persentil range) skor ini.

Peringkat persentil (persentil rank) cukup mudah

dihitung & dipahami. Oleh karena itu lebih populer daripada norma standard.

Laporan psikologi yg berusaha keras untuk menekankan

(20)
(21)
(22)

Norma-skor Standard

(Setiawan, 2012)

Tidak seperti peringkat persentil, skor standard

menghadirkan pengukuran pada skala interval.

Norma skor standard adalah skor terkonversi yg

memiliki mean & standard deviasi yg diinginkan.

Ada banyak skor standard yg berbeda, meliputi:

(23)
(24)

Skor Z

(Setiawan, 2012)

Kenyataan bahwa skor z mungkin angka desimal negatif atau positif

menciptakan beberapa kesulitan dalam menggerakkan angka itu.

Masalah dapat diselesaikan dengan mengalikan skor z dengan angka

konstan & menambah angka konstan lain pada hasilnya.

Mengalikan z dengan 10, menambah 50 pada hasil & membulatkan hasil

(25)

Skor CEEB

(Setiawan, 2012)

Skor CEEB (College Entrance Examination Board)

ditentukan dengan mengalikan skor z yg berkaitan dengan 100 & menambah 500 ke hasilnya.

Misal: Dilakukan pada skor mentah pada Scolastic

Aptitude Test (SAT) yg diselenggarakan pada 1941, menghasilkan distribusi baru yg memiliki mean 500 & deviasi standard 100.

Akan tetapi sesudah itu, skor yg diperoleh siswa

(26)

Item Response Theory

(Setiawan, 2012)

Metode

Metode

(27)
(28)
(29)
(30)

Seperti digambarkan pada Gambar 4.2, bentuk kurva respons-item

bervariasi mengikuti nilai parameter a & b. Kedua kurva pada

gambar ini disusun dengan fungsi dua-parameter pada rumus 4.5.

Pada kurva P, parameter kesulitan (

b

) adalah 1,00 & parameter

diskriminan (

a

) adalah 0,5; pada kurva Q,

b

= 0,25 &

a

= 0,75.

(31)

Skor pada kontinum, kemampuan tersembunyi

(

latent ability continuum

) dinyatakan sebagai unit

skor standard (z ), tetapi pada penerapan sebagian

besar pendidikan, skor z diubah ke skala yg

memiliki mean 300 & deviasi standard 50.

Pada praktek sesungguhnya, parameter item &

(32)

Masalahnya adalah mencari kurva respons-item yg

paling cocok dengan respons terhadap tiap-tiap item.

Pencarian ini melibatkan prosedur yg

mungkin-maksimum secara interative dengan mengasumsikan nilai awal tertentu untuk parameter itemnya dengan menghitung P() yg berhubungan dengan berbagai nilai, membandingkan respons-item hasil prediksi dengan respons-item sesungguhnya & melanjutkan proses sampai solusi terbaik dapat diraih.

Proses estimasi parameter item membutuhkan

(33)

Tidak seperti metodologi pengetesan tradisional, yg mengacaukan antara

diskriminasi & kesulitan tes pada sampel tertentu orang yg dites, pada IRT

maka parameternya adalah, setidaknya dalam teori, independen terhadap

sampel tes.

Sifat IRT yg menarik lainnya, invariance kemampuan tes dengan respons

terhadap item yang digunakan untuk mengestimasinya, berakar pada proses

pengestimasian . Fitur IRT ini berarti bahwa tes pada level kesulitan

manapun dapat dikelola untuk menentukan posisi seseorang pada berbagai

level kemampuan tersembunyi (latent ability continuum).

IRT telah dipergunakan untuk berbagai tujuan, yg meliputi penyusunan tes,

kalibrasi skor tes untuk menyediakan kerangka acuan guna

(34)

Skor Standard yg Dinormalisir

(Setiawan, 2012)

Skor z

n

dapat diubah menjadi skor dinormalisir yg

memiliki mean & deviasi standard yg diinginkan.

Skala skor lain adalah skala stanine yg diilustrasikan

dengan skala ketiga dari bawah. Pada skala standard

dinormalisir ini, yg memiliki mean 5 & deviasi standard

(35)

Rentang ini didesain dari angka 1 – 9 & seperti

diperlihatkan pada gambar, persentase tertentu dari

distribusi skala normal berada dalam interval yg diwakili

oleh stanine tertentu. Akan tetapi, skala stanine bukanlah

skala standard sesungguhnya, karena stanine pertama &

kesembilan terbuka di bagian akhir.

Salah satu keunggulan skor stanine adalah bahwa skor

(36)

Tes Penyamaan (

Equating Tests

)

(Setiawan, 2012)

Skor yg dibuat pada satu bentuk, sangat serupa dengan skor peserta tes

yg sama pada bentuk pertama.

Proses penyamaan atau lebih tepatnya membuat perbandingan, dua tes

dengan level kesulitan sama (misalnya kelas sama) disebut sebagai penyamaan horizontal (horizontal equating).

Penyamaan juga dapat dilakukan secara vertikal, seperti ketika skor pada

dua tes yg memiliki level kesulitan berbeda (mis. Kelas berbeda) dipersamakan.

Secara umum, proses penyamaan melibatkan menjangkarkan tes ke tes

(37)
(38)

Interprestasi Skor

(Azwar, 2012)

Interprestasi Skor

(Azwar, 2012)

Pemberian makna atau interprestasi terhadap skor skala yg bersangkutan

merupakan sisi diagnostika suatu proses pengukuran atribut psikologi. Tidak

adanya makna mutlak pada X = 0 dari hasil pengukuran psikologi menjadi

permasalahan bila diperlukan pemilahan skor individual ke dalam beberapa

kelompok (kategori) diagnosis yg berbeda.

Sekalipun skor pada skor psikologi yg ditentukan lewat prosedur penskalaan

akan menghasilkan angka-angka pada level pengukuran interval (Azwar,

1999), namun dalam interpertasinya hanya dapat dihasilkan kategori-kategori

atau kelompok-kelompok skor yg berada pada level ordinal.

Pemberian makna atau interprestasi terhadap skor skala yg bersangkutan

merupakan sisi diagnostika suatu proses pengukuran atribut psikologi. Tidak

adanya makna mutlak pada X = 0 dari hasil pengukuran psikologi menjadi

permasalahan bila diperlukan pemilahan skor individual ke dalam beberapa

kelompok (kategori) diagnosis yg berbeda.

Sekalipun skor pada skor psikologi yg ditentukan lewat prosedur penskalaan

akan menghasilkan angka-angka pada level pengukuran interval (Azwar,

1999), namun dalam interpertasinya hanya dapat dihasilkan kategori-kategori

(39)

Pada dasarnya, interpretasi terhadap skor skala psikologi bersifat

normatif, artinya makna skor diacukan pada posisi relatif skor terhadap suatu norma (mean) skor populasi teoretik sebagai parameter sehingga hasil ukur yg berupa angka (kuantitatif) dapat diinterpretasikan secara kualitatif sehingga acuan tersebut dapat memermudah pengguna untuk memahami hasil pengukuran.

Skor-mentah (raw score) yg memersentasikan hasil pengukuran suatu

skala merupakan penjumlahan dari skor aitem-aitem dalam skala tersebut sehingga skor dapat langsung dimaknai dengan mengacu pada norma interpretasi yg telah dibuat.

Dalam kasus skor komposit yg setiap komponennya dapat berisi aitem

dalam jumlah berbeda atau setiap komponennya diberi bobot yg tidak sama, penjumlahan itu dilakukan dengan mengubah skor semua komponen menjadi skor standar dengan mean & unit deviasi standar yg sama terlebih dahulu.

Lanjutan… Interpretasi Skor (Azwar, 2012)

Pada dasarnya, interpretasi terhadap skor skala psikologi bersifat

normatif, artinya makna skor diacukan pada posisi relatif skor terhadap suatu norma (mean) skor populasi teoretik sebagai parameter sehingga hasil ukur yg berupa angka (kuantitatif) dapat diinterpretasikan secara kualitatif sehingga acuan tersebut dapat memermudah pengguna untuk memahami hasil pengukuran.

Skor-mentah (raw score) yg memersentasikan hasil pengukuran suatu

skala merupakan penjumlahan dari skor aitem-aitem dalam skala tersebut sehingga skor dapat langsung dimaknai dengan mengacu pada norma interpretasi yg telah dibuat.

Dalam kasus skor komposit yg setiap komponennya dapat berisi aitem

dalam jumlah berbeda atau setiap komponennya diberi bobot yg tidak sama, penjumlahan itu dilakukan dengan mengubah skor semua komponen menjadi skor standar dengan mean & unit deviasi standar yg sama terlebih dahulu.

(40)

Kategorisasi Berdasar Model Distribusi

Normal

(Azwar, 2012)

Kategori ini didasari oleh asumsi bahwa skor individu

dalam kelompoknya merupakan estimasi terhadap skor

individu dalam populasi & asumsi bahwa skor individu

dalam populasinya terdistribusi secara normal.

Dengan demikian kita dapat membuat batasan kategori

(41)

Lanjutan…

Sebagaimana diketahui, suatu distribusi normal

standar sebagai atas enam bagian atau enam

(42)

Kategorisasi Jenjang (Ordinal)

(Azwar, 2012)

Tujuannya untuk menempatkan individu ke dalam

kelompok-kelompok yg posisinya berjenjang menurut suatu kontinum

berdasar atribut yg diukur. Kontinum jenjang ini contohnya

adalah dari rendah ke tinggi, dari paling jelek ke paling baik, dari

sangat tidak puas ke sangat puas, dsb.

Banyaknya jenjang kategori diagnosis yg akan dibuat biasanya

tidak lebih dari lima jenjang tetapi juga tidak kurang dari tiga.

Mengelompokan individu-individu ke dalam hanya dua jenjang

diagnosisi menjadi, misal: “semangat kerja rendah” & “semangat

kerja tinggi”, selain kurang efsien juga akan menghadapi resiko

kesalahan yg cukup besar bagi skor-skor yg terletak disekitar

(43)

Andaikan suatu skala agresivitas terdiri atas 15 aitem

maisng-masing aitemnya diberi skor yg berkisar mulai dari 0,1,2,3

sampai 4. Dengan demikian, skor terkecil yg mungkin diperoleh

subjek pada skala tersebut adalah X = 0, yaitu (15x0) & skor

terbesar adalah X = 60 (15x4). Maka rentang skor skala terbesar

adalah 60 (60-0), kemudian dibagi dalam enam satuan deviasi

standar sehingga diperoleh 60/6=10.

Angka 10 ini merupakan estimasi besarnya satuan deviasi

standar populasi (σ) yg kita gunakan untuk membuat kategori

normatif skor subjek. Karena kategorisasi ini bersifat relatif,

maka luasya interval yg mencakup semua kategori yg diinginkan

dapat ditetapkan secara subjektif selama penetapan itu berada

dalam batas kewajaran & dapat diterima akal (

common sense)

.

~Lanjutan…. Kategorisasi Jenjang (Ordinal)

(44)

~Lanjutan….Kategorisasi Jenjang (Ordinal) (Azwar, 2012)

• Contoh kategorisasi yg dapat digunakan adalah: μ ≤ -1, 5σ Kategori Sangat Rendah

-1, 5σ < μ ≤ -0, 5σ Kategori Rendah -0, 5σ < μ ≤ + 0, 5σ Kategori Sedang +0, 5σ < μ ≤ +1, 5σ Kategoti Tinggi +1, 5σ < μ Kategori Sangat Tinggi

Dalam populasi teoritik yg mengikiuti distribusi normal standar ( μ = 0; σ = 1), norma seperti di atas akan menghasilkan proporsionalitas distribusi skor sebagai berikut:

-3 -2 -1 0 +1 +2 +3 z

---:----:----:----:----:----:---:----:----:----:----:

(45)

~Lanjutan….Kategorisasi Jenjang (Ordinal) (Azwar, 2012)

Dari tabel distribusi normal dapat diketahui bahwa porporsi subjek yg skornya

berada di sebelah kiri harga (z = -1,5) sama besar dengan proporsi yg berada di sebelah kanan harga (z = 1,5), yaitu 0,067 atau 6,7% proporsi subjek yg skornya berada di sebelah kiri harga (z = -0,5) adalah 0,39 atau 39%, sehingga yg terletak diantara (z = -0,5) & (z = -1,5) adalah sebanyak 39% - 6,7% = 32,2%.

Proposi subjek yg berada di sebelah kiri harga di antara (z = -0,5) adalah 0,11 atau

11% dengan demikian, proporsi subjek yg berada diantara (z – 0,5) & (z = 0,5) adalah 2x11%= 22%.

Distribusi proporsi di atas tampaknya sangat layak digunakan sebagai dasar

kategorisasi subjek, sehingga bila diterapkan pada Skala Agresivitas (sebagai contoh)(secara teoritik kemungkinan skornya berkisar dari 0 sampai dengan 60 & σ = 10) akan menghasilkan kategori skor sebagai:

X ≤ 15 Agresivitas sangat Rendah 15 < X ≤ 25 Agresivita Rendah

25 < X ≤ 35 Agresivitas Sedang 35 < X ≤ 45 Agresivitas Tinggi

(46)

~Lanjutan….Kategorisasi Jenjang (Ordinal)

(Azwar, 201

2)

Kategori ini kemudian dinyatakan sebagai acuan atau norma dalam

pengelompokan skor individu yg dikenai skala agresivitas tersebut.

Tentu saja penyusun skala boleh membuat enam atau tujuh kategori jenjang

sesuai dengan ketajaman tingkat diferensiasi yg dikehendakinya,

Akan tetapi semua itu ditetapkan lebih dahulu batasnya berdasarkan satuan

(47)

Kategorisasi Bukan-Jenjang (Nominal) (Azwar, 2012)

Tujuan kategorisasi ini adalah menempatkan individu ke dalam

kelompok-kelompok diagnosis yg tidak memiliki makna ‘lebih’ &

‘kurang’ atau ‘tinggi’ & ‘rendah’.

Kasus semacam ini dijumpai contohnya ketika pengelompokkan

individu dilakukan berdasar skor Pola Asuh yg diterimanya (misal:

Demokratis, Bebas & Otoriter), atau ketika dilakukan kategorisasi

orientasi

Coping

(Orientasi Problem, Orientasi Emosi), atau

(48)

~Lanjutan….Kategorisasi Bukan Jenjang (Ordinal)

(Azwar, 2012

)

Dapat dikatakan bahwa kalau skor Pola Asuh rendah maka

berarti pola asuhnya tipe ‘bebas’ & jika skornya lebih tinggi

menjadi tipe ‘demokratis’ & kalau skornya sangat tinggi

menjadi pola asuh tipe ‘otoriter’. Jika diilustrasikan, letak

kategorinya bukan seperti:

_______________________________

Kontinum Pola Asuh

Bebas

Demokratis

Otoriter

Melainkan seperti:

Bebas

Demokrati

(49)

Dalam kontrak teoretiknya, kategori seperti ini merupakan dimensi-dimensi yg terpisah. Dalam perancangan skala, masing-masing dimensi diungkap oleh aspek atau subskala yg berbeda isinya.

Jelasnya, pada Skala Pola Asuh terdapat aitem-aitem yg ditulis berdasar indikator keperilakuan pola Demokratis, ada aitem-aitem yg ditulis indikator keperilakuan pola Otoriter, yg masing-masing memiliki skor tersendiri.

Begitu pula pada contoh Skala Peran Jenis , terdapat di dalamnya aitem-aitem yg khusus mengungkap peran Androgini, aitem-aitem-aitem-aitem yg khusus mengungkap peran Feminim & juga aitem-aitem yg khusus mengungkap peran maskulin, yg jumlah aitem dalam masing-masing aspeknya belum tentu sama.

~Lanjutan….Kategorisasi Bukan Jenjang (Ordinal)

(50)

Sebagai contoh disajikan suatu cara yg pernah dilakukan untuk kategorisasi skor Pusat Kendali (Locus of Control) guna keperluan penelitian (Partisari, dalam Azwar, 2012).

Skala yg digunakan adalah skala IPC Levenson (Lao, 1977) yg dalam konsepnya mengatakan bahwa pusat kendali terbagi atas tiga arah orientasi kendali, yaitu:

Orientasi Internal (I) ; Orientasi Powerful Others (P); Oreintasi Chance (C)

Dalam skalanya, ketiga orientasi pusat kendali tersebut diungkap oleh subskala (komponen) yg berbeda, yg masing-masing berisi delapan aitem

Tujuan pengukuran skala ini adalah untuk memilahkan individu menurut arah pusat kendalinya, sebagai arah internal atau arah eksternal.

Arah kendali Internal (I) tentu saja diungkap oleh subskala I.

Arah Kendali Eksternal (E) diungkap secara bersama-sama oleh subskala P &

subskala C .

Jadi, komponen yg mengungkap arah kendali I berisi delapan aitem & komponen yg mengungkap arah kendali E berisi enambelas aitem.

(51)

~Lanjutan….Kategorisasi Bukan Jenjang (Ordinal) (Azwar, 2012)

Masing-masing aitem dalam skala IPC tersebut diberi skor dalam enam jenjang, yaitu:

SS = 6S = 5AS = 4ATS = 3TS = 2STS = 1

Setiap subjek mendapat mendapat dua skor pusat kendali, yaitu

pada arah orientasi eksternal (komponen I) & skor pada arah

orientasi eksternal (komponen P dan C).

(52)

Internal: X

int=(∑X₁)/8

Eksternal: X

eks= (∑Xp+ ∑XC)/16

Dari distribusi kedua skor ini dapat diperoleh rata-rata (mean) & deviasi standarnya masig-masing, yaitu M.., M.., S…., & S….. Kemudian skor mentah subjek dikoversikan atau diubah menjadi skor Z, yaitu:

Z

int≥0,05 & Zeks< 0 Kendali Internal

Z

eks≥0,05 & Zint< 0 Kendali Eksternal

Sedangkan semua individu yg skor Z nya tidak memenuhi kriteria tersebut diangap sebagai individu dengan arah pusat kendali yg tidak terklasifkasikan

(53)

~Lanjutan….Kategorisasi Bukan Jenjang (Ordinal)

(Azwar, 2012)

Cara kategorisasi bukan-jenjang dapat diterapkan pula untuk membedakan individu kedalam tiga atau empat kelompok diagnosis. Dengan menghitung nilai Z untuk skor pada masing-masing komponen atau subskala yg dirancang untuk mengukur dimensi yg berbeda, maka akan dapat dibuat suatu kriteria yg layak.

Contoh: Skala Peran Jenis yg terdiri atas dua komponen yg masing-masing mengungkap indikasi peran jenis Maskulin (M) & indikasi peran jenis Feminim (F).

Setelah skor pada masing-masing komponen diubah menjadi skor Z dapat dibuat kriteria untuk kategorisasi peran jenis ke dalam empat kelompok diagnosis, misal sebagai berikut:

• ZM≥ 0,75 & zF< 0 Maskulin

• ZF≥ 0,75 & zM< 0 Feminim

• ZM≥ 0,75 & zF< 0 Androgini

(54)

Kategorisasi Berdasar Signifkansi Perbedaan

(Azwar, 2012)

Cara kategorisasi yg kedua adalah dengan menguji signifkansi perbedaan

antara mean skor empirik atau mean sampel (M) & mean skor teoritik atau mean populasi (µ).

Cara ini bertujuan untuk kategorisasi individu ke dalam jenjang-jenjang

Rendah, Sedang & Tinggi namun tidak dengan mengasumsikan distribusi populasi yg normal. Aplikasinya terutama apabila jumlah individu dalam kelompok yg hendak didiagnosis tidak begitu besar.

Dengan cara ini, tidak ditentukan lebih dahulu kriteria kategorisasinya

(55)

Lanjutan… (Azwar, 2012)

Hal ini dilakukan dengan rumusan interval:

µ-t

(α/2,n-1)

(S/√n)≤ X ≤ µ + t

(α/2,n-1)

(S/√n)

µ

: Mean teoritis pada skala

t

(α/2,n-1) :

Harga t pada α/2 dan derajat kebebasan n-1

S

: Deviasi standar eror

n

: Banyaknya subjek

Interval tersebut merupakan interval skor yg digolongkan

(56)

Lanjutan… (Azwar, 2012)

Mengambil contoh terdahulu, distribusi skor Skala Harga Diri

memiliki mean teoritik sebesar µ = 120. Setelah dikenakan

pada sekelompok subjek diperoleh, misal: mean kelompok

sebesar M=95 & deviasi standar sebesar s=24, sedangkan

banyaknya subjek adalah 100.

Untuk membentuk sebuah interval skor tengah dengan taraf

kepercayaan 95% (0,95) atau taraf signifkansi α= 0,05

dicari lebih dahulu harga t untuk α/2 & derajat kebebasan

n-1, yaitu t

(α/2,n-1)

yg dalam kasus ini dinyatakan sebagai

t

(0.025;99).

Dari

Tabel Nilai-nilai Kritis

diketahui bahwa

(57)

Lanjutan.. (Azwar, 2012)

Menggunakan rumusan interval di atas, diperoleh:

120 – (1,98) (24/√100) ≤ X ≤ 120 + (1,98) (24/

√100)

115,25 ≤ X ≤ 124,75

115 ≤ X ≤ 125

Dengan demikian, diperoleh norma kategorisasi

diagnosis berdasar skor sebagai berikut:

115 125

………….:…………..:………….

X

(Rendah) (Sedang) (Tinggi)

atau dibuat seperti:

X ≤ 115 Harga diri rendah

115 X ≤125

Harga diri sedang

(58)

Lanjutan… (Azwar,

2012)

Semua subjek yg skornya berada di bawah

interval tersebut (X kurang dari 115) didiagnosis

sebagai memiliki tingkat harga diri rendah &

semua subjek atau kelompok subjek yg skornya

berada di atas interval tersebut (X lebih daripada

125) didiagnosis sebagai memiliki tingkat harga

diri yg tinggi.

Untuk kemudahan, program SPSS juga dapat

dimanfaatkan

untuk

membantu

komputasi

(59)

Lanjutan.. (Azwar, 2012)

Ikuti langkah berikut ini:

a) Buka SPSS & pada halaman Data Editor (

spread sheet)

masukkan

data skor skala (X) seluruh subjek. Sebagai contoh digunakan

data dari tabel 5.1 dengan hanya mengambil data skor skala (X).

(60)

Lanjutan… (Azwar,

2012)

b) Klik menu Analyze, pilih Compare Means & klik One Sample T-Test.

c) Pada kotak dialog One-Sample T-Test yg muncul, pindahkan x dari

kotak kiri ke kotak Test Variable (s) di sebelah kanan.

d) Klik tombol Options. Pada kotak One Sample T-Test: Options,

nampak pilihan taraf kepercayaan (

confdence interval)

yg telah

berisi angka 95, yaitu untuk taraf signifkansi α = 0,05. Angka ini

dapat dibuah sesuai keinginan kita mengenai berapa tingkat

kepercayaan yg diinginkan. Setelah itu klik tombol Continue.

e) Setelah kembali ke kotak dialog One-Sample T-Test, klik tombol OK

& sekejap sudah ada output One Sample Statistics. Pada kotak

(61)

Harga t(α/2,n-1) dengan α=0,05 & n-1 dalam contoh ini adalah t(0,025:10) =

2,228. (Angka 2,228 diperoleh dari Tabel-t yg dapat dijumpai di dalam buku-buku Statistika untuk sampel berukuran maksimal n=100. Bila ukuran sampel melebihi 100, harga t akan sama dengan harga z & dapat dilihat pada tabel deviasi normal).

Jadi, untuk contoh data skor di atas diperoleh interval nilai tengah

untuk kategori sedang sebagai berikut:

µ - 2,228 (4,132) ≤ X ≤ µ + 2,228 (4,132)

dengan µ=24, maka kategori sedang adalah:

24 – 9,206 ≤ X ≤ 24 + 9,206

15 ≤ X ≤ 33

(62)

15 33

……….. : ………… : ………… x

(Rendah) (Sedang) (Tinggi)

atau

X ≤ 15 Kategori rendah

15 X ≤33

Kategori sedang

33 <X Kategori tinggi

Lanjutan…

(Azwar, 2012)

(63)

Pertimbangan Eror Standar dalam Pengukuran

Eror standar dalam pengukuran adalah deviasi standar eror yg

menunjukkan besarnya variasi eror pengukuran pada sekelompok subjek.

Besarnya variasi eror ini erat berkaitan dengan koefsien reliabilitas skala &

varians skor kelompok. Semakin besar eror standar dalam pengukuran

berarti hasil pengukuran semakin tidak dapat dipercaya. Sebaliknya,

semakin kecil angka eror standar berarti hasil pengukuran semakin cermat.

Rumusan eror standar dalam pengukuran disajikan kembali sebagai:

se = sX √ (1-rXX’)

Sebagai contoh, suatu Skala Agresivitas memiliki koefsien reliabilitas rXX =

0,800 yg dihitung dari skor kelompok yg memiliki varians sX2 = 20. Eror

(64)

Lanjutan..

sX = √20 = 4,472

se = 4,472 √ (1-0,800) = 1,999

Besarnya se ini akan memerlihatkan kisaran estimasi skor sebenarnya pada

taraf kepercayaan tertentu. Dengan kata lain, mengetahui besarnya se akan

memberikan gambaran kecermatan fungsi ukur skala karena dengan

menggunakan se fuktuasi skor Agresivitas tersebut dapat diestimasi, yaitu:

X ± z α/2 (se )

Bila digunakan taraf kepercayaan sebesar 90% yg berarti sama dengan

taraf signifkansi sebesar 10% atau α= 0,10 maka α/2 = 0,05. Nilai z0,05

dicari pada tabel deviasi normal dengan melihat nilai z untuk p=0,05; yaitu

z= 1,65. Nilai ini dapat juga ditemukan dengan melihat z0,95 yg –karena

distribusi normal bersifat simetrikal- besarnya sama, yaitu 1,65 dengan

(65)

Lanjutan… (Azwar,

2012)

Dengan begitu fuktuasi skor Agresivitas menurut hasil ukur skala tersebut adalah:

X ± 1,65 (1,999)

X ± 3,298 atau dibulatkan menjadi X ±3

Dengan fuktuasi atau kisaran enam angka (tiga angka lebih besar & tiga angka lebih

kecil) tersebut, maka perbedaan skor Agresivitas sebesar empat angka antara dua

orang responden, misalnya X=21 & X=25, sangat mungkin terjadi karena eror

pengukuran semata-mata, bukan karena adanya perbedaan yg sebenarnya.

Dalam kegiatan penelitian, terkadang peneliti hanya membagi skor subjek ke dalam

dua kategori diagnosis saja, yaitu agresivitas tinggi & agresivitas rendah. Kategorisasi

ini jelas terlalu sedehana (oversimplifed) & seringkali dilakukan dengan cara yg tidak

tepat, yaitu menggunakan harga rata-rata atau mean sebagai nilai batas kategori.

Skor yg lebih besar daripada mean didiagnosis sebagai tinggi sedangkan skor yg

(66)

Lanjutan…(Azwar, 2012)

Andaikan distribusi skor agresivitas yg dicontohkan ini memiliki

mean=30. Menurut kriteria di atas, skor X= 29 harus

didiagnosis sebagai agresivitas rendah sedangkan skor X=31

harus didiagnosis sebagai agresivitas tinggi. Pada sisi lain, skor

X=4 pun harus didiagnosis sama-sama rendah dengan skor

X=29 & skor X=54 harus didiagnosis sama-sama tinggi dengan

skor X=31. Jadi selisih sebesar 2 angka (31-29) disekitar mean

harus dibedakan, sedangkan selisih 25 angka (29-4) & selisih

23 angka (54-31) tidak dibedakan kategorinya. Kenyataan

seperti itu agak sulit untuk diterima.

29 30 31

---.---.---.--- x

(67)

Menurut fuktuasi skor agresivitas yg besarnya enam angka,

sangat mungkin seseorang yg mendapat skor X= 29

(kisaran peluang antara 26 sampai dengan 32) & orang lain

yg mendapat skor X= 31 (kisaran peluang antara 28

sampai dengan 34) sebenarnya memiliki skor yg sama.

Lihat ilustrasi di bawah ini:

---:---:----:---:----:---:---:---:---:---:---:---:

25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 X

Tampak terjadi tumpang tindih antara kisaran skor 29 & kisaran

skor 31 yg begitu besar yg menunjukkan besarnya kemungkinan

bahwa kedua skor tersebut sebenarnya tidak berbeda & tidak

perlu didiagnosis berbeda.

(68)

Dalam kasus seperti ini, seyogyanya pemisahan kategori

(69)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ipan, G. (2009). Interpretasi hasil pengukuran dalam evaluasi pendidikan.

Diakses pada tanggal 31 Maret 2013 dari

http://the-great-ipan.blogspot.com/2009/12/interpretasi-hasil-pengukuran-dalam. html

.

Setiawan, A. (2012). Analisis item dan standarisasi tes. Diakses pada tanggal 31

Maret 2013 dari

http://adisetiawan26.fles.wordpress.com/2012/02/analisis-item-dan-standardisasi-tes.pp--- ppt.

Sulistiyono, S. (t.t). Interpretasi skor. Diakses pada tanggal 31 Maret 2013 dari

(70)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan campuran Piperazine-DEA terhadap solubilitas CO 2 dalam larutan 30% berat K 2 CO 3 untuk berbagai variabel

Untuk mengetahui implementasi model pembelajaran konstruktivistik dan berbasis pengalaman ( Experiental Learning ) dalam Meningkatkan kemandirian belajar peserta didik pada

To make it architectural, meaning that to speak language with space and gatra , with line and plane, with a material and lace atmosphere, it is natural that individual

Pengaruh Penambahan Tepung Daging Ikan Sapu-sapu (Lyposarcus pardalis) Pada Pakan Komersil Terhadap Pertumbuhan Ikan Patin (Pangasius sp.), yang merupakan salah satu syarat

Tidak lama kemudian, banjirlah ilmuan- ilmuan tafsir yang mencoba menyusun kitab tafsir sekaligus menjadikannya sebagai disiplin ilmu independen, yang asal mulanya

Penggolahan data dengan mendeskripsikan secara detail jumlah kecelakaan, kerugiaan material akibat kecelakaan, klasifikasi kecelakaan, lokasi kejadian kecelakaan, jenis

Etis (atau moral) relativisme adalah keyakinan bahwa tindakan yang tidak bermoral di beberapa tempat atau keadaan yang bermoral pada orang lain dan salah satu