PELEPASAN HAK ATAS TANAH ADAT
(Studi dari Perspektif dan Nuansa Otonomi Khusus Papua di Kabupaten Biak Numfor)
MUSLIM LOBUBUN [email protected]
ABSTRAK
Hubungan manusia dengan tanah merupakan suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam rangka memperoleh manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan bersama sebagai makhluk social. Dengan kedudukan seperti itu maka tanah adalah sumber daya utama yang merupakan tempat titik temu semua pihak. Sehingga dapat mengakibatkan terjadinya konflik keperntingan diatasnya. Lebih-lebih apabila belum ditetapkan kepastian hukum pemiliknya.
Oleh karena itu, bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit. Sedangkan permintaan selalu bertambah, maka tidak heran kalau nilai tanah jadi meningkat tinggi. Tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanh itu, telah menimbulkan berbagai persoalan yang banyak segi-seginya. Sehubungan dengan itu.pengaturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah yang dengan singkat dapat disebut “hukum tanah´seharusnya pula terdiri dari ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan perkembangan seperti diutarakan di atas.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yaitu penelitian kepustakaan (library research). Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa. 1) Kekuatan pembuktian sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan ha katas tanah merupakan alat pembuktian yang kuat. Namun sertifikat ha katas tanah bisa untuk dijadikan sebagai alat bukti
dalam penyelesaian perkara perdata. Jikalau cara perolehan ha katas tanahnya tidak sah; 2) Perlindungan hukum pemegang sertifikat ha katas tanah terhadap pembatalan sertifikat ha katas tanah yang dimilikinya adalah bahwa penerbitan sertifikat ha katas tanah melalui proses yang panjang telah memberikan kesempatan yang cukup pada pihak yang merasa memiliki ha katas tanah tersebut untuk melawan baik data fakta maupun data yuridis dengan jangka waktu yang cukup lama. Sertifikat ha katas tanah yang diperoleh dengan cara yang tidak sah tersebut dapat dibatalkan
Kata kunci: Pelepasan Tanah Adat, UU No. 21 Tahun 2001
PENDAHULUAN
Tanah yang merupakan bumi, tempat hidup serta berkembangnya semua makhluk hidup ciptaan tuhan termasuk manusia dan oleh karenanya seringkali manusia berusaha untuk memiliki dan menguasai tanah. Maka tidak mengherankan jika sikap manusia yang selalu ingin menguasai tanah tanpa memiliki bukti yang jelas dan kuat tentang hak atas tanah. Pada kondisi sekarang ini begitu banak kebtuhan manusia yang harus dipenuhi dalam segala bidang pembangunan. Kebutuhan yang dimaksud ialah pembangunan berupa tempat ibadah, jalan, dan sarana pendidikan. Kebutuhan tersebut tentunya membutuhkan lahan tanah untuk dilakukan pembangunan. Jika tidak ada lahan maka tidak dapat dilakukan pembangunan sesuai dengan kebutuhan manusia. Oleh sebab itu tanah merupakan unsur penting dalam pembangunan dan juga tempat untuk manusia berpijak dalam melakukan segala aktifitas dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di Negara Indonesia kehidupan rakyat dititik beratkan pada sector agraria, sehingga tanah merupakan permasalahan pokok yang selalu menjadi ancaman oleh Negara-negara berkembang ini. Undang-Undang yang mengatur tentang tanah di Indonesia yakni Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dapat disebut dengan (UUPA). Sebelum berlakunya UUPA hak atas tanah di Indonesia adalah berifat Dualisme dengan berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat. Pada zaman sekarang ini seringsekali terjadi perselisihan dalam hal sengketa tanah yang terdapat pada masyarakat. Perselisihan tersebut yang terjadi dalam masyarakat pada dasarnya mempunyai aspek yang sangat kompleks yang dipengaruhi oleh dimensi hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis (hukum adat).
Permasalahan yang timbul tersebut sering muncul sebab masing-masing mendalilkan sebagai pihak yang berhak atas tanah tersebut dengan memperlihatkan atas hak tanah yang dimilikinya. Di Papua sendiri khususnya berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Pasal 43, ayat 1 dan 2) Pemerintah provinsi wajib mengakui, menghormati, melindungi dan memberdayakan serta mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat. Pelaksanaan hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat setempat dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku (ayat 3). Penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat diatur pemerintah melalui Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat.
Secara tradisional sturktur penguasaan tanah di Papua dapat dibedakan menjadi 2 jenis: 1) Tanah Ulayat (milik bersama) dari beberapa marga, suku, keret; 2) Tanah adat (milik bersama/perorangan). Dalam penguasaan tanah secara tradisional selanjutnya terkandung beberapa ketentuan yakni; 1) Tanah merupakan karunia tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup;
2) Tanah sebagai tumpah darah; 3) tidak ada tanah yang bertuan. Hak ulayat sendiri ialaha kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu atas wilayah tertentu untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termaktub tanah dalam wilayahnya bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.
Senada dengan hal tersebut maka Hak atas Tanah Adat pasca Otonomi Khusus Papua dan Kabupaten Biak Numfor khususnya perlu untuk ditingkatkan usaha penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pengalihan ha katas tanah serta senantiasa mencegah pemilikan dan penguasaan tanah oleh perseorangan secara berlebihan dalam rangka pengembangan pada tata ruang wilayah secara terpadu dalam lingkungan yang dinamis.
Dalam hal ini khususnya di Papua suatu permasalahan yang timbul yakni seringkali terjadi pemilikan hak ulayat yang dikuasai oleh marga tertentu atau Penguasaan tanah secara berlebihan perseorangan maupun marga. Istilah hak bersama diatas dari sejarahnya yakni timbul pemikiran bahwa yang dimaksud hak bersama atas tanah adat adalah hak yang diperoleh turun temurun dari peninggalan nenek moyang yang membuka taanh kosong kemudian menguasai dan memilikinya.
Dalam wilayah Kabupaten Biak Numfor sendiri hak atas tanah adat merupakan hak yang paling mendasar, sebab hak ini berasal dari nenek moyang. Oleh sebab itu yang memiliki tanah dengan hak bersama adalah marga atau keret yakni merupakan sekelompok masyarakat adat yang berasal dari keturunan laki-laki, yang mana keluarga besar suatu keret terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu dan cucu-cucu yang tinggal bersama di sebuah rumah tinggal.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses pelepasan hak atas tanah adat dalam nuansa Otonomi Khusus Papua di Kabupaten Biak Numfor?
2. Bagaimana pemahaman masyarakat tentang pelepasan ha katas tanah adat di Kabupaten Biak Numfor?
TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses pelepasan hak atas tanah adat dalam nuansa Otonomi Khusus di Kabupaten Biak Numfor.
2. Untuk mengetahui tentang pemahaman masyarakat terkait dengan pelepasan hak atas tanah adat di Kabupaten Biak Numfor Pascar Otonomi Khusus.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative yakni suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum dan berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Pendekatan yuridis normative ialah pendekatan yang mengutamakan pada aturan hukum empiris yang dipadukan dengan menelaah fakta normative yang terkait dengan pelepasan hak atas tanah adat yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua.
Adapun populasi yang digunakan dalam penelitian ini ialah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Biak serta Dewan Adat yang berada di Kabupaten Biak Numfor. Adapun sampel yangdigunakan pada penelitian ialah menggunakan teknik sampling atau penetapan sampel tersebut dengan non probabilitas sampling atau non random sampling, yakni suatu teknik pengumpulan data dimana kesempatan untuk menjadi sampling bagi tiap unit atau individu populasi adalah tidak sama.
Jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk menunjang penelitian ini adalah; 1) Data Primer yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Undang Pokok Agraria dan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua. 2) Data Sekunder yakni bahan Hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, majalah, koran maupun makalah-makalah yang berhubungan dengan topic ini. setelah seluruh data telah terkumpul maka akan dianalisis secara kualitatif. Kualitatif ialah data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi dari responden
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN.
Bagaimana proses pelepasan hak atas tanah adat dalam nuansa Otonomi Khusus Papua di Kabupaten Biak Numfor.
Tanah secara yuridis dapat diartikan sebagai permukaan bumi dalam penggunaannya meliputi sebagian tubuh bumi yang dibawahnya dengan sebagian ruang yang ada diatasnya (Budi Harsono. 1998). Tanah dalam penggunaan memiliki arti yang bermacam-macam yakni dapat dipahami sebagai tanah sebagai ruang, alam, suatu factor produksi sserta barang konsumsi situasi pemilikan dan modal (Barlowe. 1978). Secara filosofis tanah cenderung diartikan sebagai land bukan soil. Sehingga tanah dipandang dalam visis multidimensional. Tanah juga merupakan salah satu asset Negara Indonesia yang sangat mendasar. Secara etimologi tanah dapat digambarkan sebagai bumi, permukaan atau lapisan bumi yang paling besar, keadaan bumi yang diberi batas dan daratan (Poerwadarinta. 2001). Secara terminologi kata tanah ialah permukaan bumi (Boedi Harsono. 1962) hal tersebut selaras dengan pengertian normative menurut rumusan pasal 4 ayat (1) UUPA.
Menurut S. Rowton Simpson dalam bukunya Land Law and Registration tanah ialah tidak bergerak, sehingga secara fisik tidak dapat diserahkan/dipindahkan/dibawa dan tanah itu adalah bersifat abadi (Parlindungan. 1993). Dari pengertian tanah diatas seringkali kita menemukan perselisihan yang diakibatkan atas tanah. Perselisihan tersebut tidak jarang dapat menimbulkan konflik dan dapat merusak hubungan kekeluargaan. Konflik sendiri atau sengketa dapat diartikan sebagai pendapat yang berlainan antara dua pihak mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan yang sama (Muchsan. 1992). Konflik tersebut disebabkan karena hak kepemilikan tanah tersebut sebelum dan sesudah berlakunya Otonomi Khusus Propinsi Papua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Disamping permasalahan hak atas tanah permasalahan yang belum dipahami oleh masyarakat Biak Numfor adalah dalam pendaftaran kepemilikan tanah. Hak sendiri merupakan suatu kewenangan untuk berbuat atau tidak berbuat (Soekanto. 1983), sedangkan yang dimaksud dengan hak atas tanah ialah hak atas permukaan bumi (Boedi Harsono. 1962) sehingga dapat diambil kesimpulan hak atas tanah ialah hak untuk mempergunakan tanahnya saja.
Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur terkait dengan pendaftarn tanah ialah PP Nomor 24 Tahun 1997 yang mengandung perintah dan anjuran untuk melaksanakan pendaftaran tanah. Pasal 1 butir 5 PP Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan bahwa hak atas tanah yang didaftarkan ialah hak atas tanah dalam pasal 16 UUPA yakni Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan. Keuntungan daripada pendaftaran tanah ialah agar mendapatkan kepastian hukum dan mencegah timbulnya permasalahan yang ada di kemudian hari.
Dalam hal pelepasan hak atas tanah di kabupaten Biak Numfor bahwa Sebelum berlakunya otonomi Khusus pada tahun 2001 proses
perolehan tanah masih ada kemudahan-kemudahan dan tidak mengalami kendala dan pada saat Belanda meninggalkan Indonesia masyarakat masih mengakui kekuasaan Negara atas sebagian tanah yang ditinggalkan oleh pemerintah Belanda dan pada waktu itu karena masih dikatakan kekuasaan sentralistik.
Setelah berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tentunya sangat berpengaruh juga dalam hal politik. Sebagaimana dalam hal ini ialah setelah diberlkaukan Otsus hak atas tanah adat mulai dituntut baik itu dikuasai oleh pemerintah daerah maupun dikuasai oleh perorangan atau kelompok masyarakat. Seperti contoh seperti Hak Guna Bagunan yang diterbitkan oleh pemerintah selam 20 Tahun apabila setelah berakhir pemikiran mereka yakni masyarakat yang ada di Biak kembali kepada adat yaitu menurut aturan hak itu tidak demikian Karena sangat bertentangan dengan aturan dasar pokok Agraria dan ketentuan peraturan lainnya, serta peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Sistem Pendaftaran Tanah.
Istilah tanah adat menurut Kepala BPN Biak Numfor yakni pada dasarnya tidak ada akan tetapi yang tepat atau yang disebut dengan nama tanah bekas pemilik adat karena semua tanah adat dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 16 Ayat 1 yakni Hak – Hak atas tanah sebagaimna dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 adalah 1) Hak Milik, 2) Hak Guna Usaha, 3) Hak Guna Bngunan, 4) Hak Pakai, 5) Hak Sewa, 6) Hak Membuka Tanah, 7) Hak Memungut Hasil Hutan. Perlu diketahui bersama bahwasanya terdapat dua cara untuk mendaftarkan hak tanah adat yakni mengenai pengakuan dan penegaran hak yakni batas-batas tanah adat tidak jelas yang berbeda dengan hak-hak tanah. Ada batas-batas tanah yang terlihat jelas Karen sistem konversi tanah tersebut belum terdaftar dan hak milik telah diakui dan harus ada akta jual beli menurut UUPA.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwasanya dalam kurun waktu 3 tahun yang dimulai dari tahun 2015 hingga tahun
2017 jumlah pemohon pedaftaran tanah sebanyak 1470 yakni apda tahun 2015 diterima sebanyak 320 dan ditolak sebanyak 4 dan yang memenuhi syarat sebanyak 316 sertifikat. Pada tahun 1999 menunjukkan kenaikan angka yang diterima mencapai 409 dan 3 yang ditolak sehingga yang memenuhi syarat sebanyak 406 sertifikat (81.15%) sementara pada tahun 2010 permohonan pendaftaran tanah yang diterima sebanyak 741 dan yang ditolak sebanyak 13 sehingga yang memenuhi syarat untuk diterbitkan sertifikat sebanyak 728 (145,6%).
N o Tahu n Permohonan Persenta se Ket Diteri ma Ditola k 1 2015 320 4* 63.13% 316 2 2016 409 3* 81.15% 406 3 2017 741 13* 145,6% 728 Jumlah 1470 20 100% 145 0 Sumber BPN Biak Numfor
1. *karena tidak memenuhi prosedur
2. Obyek dalam sengketa (tumpang tindih pelepasan hak atas tanah)
Pada saat lahirnya Undang-Undang No 21 Tahun 2001 banyak terjadi kepemilikan hak-hak atas tanah yang tumpah tindih sebab sebagian masyarakat yang menganggap bahwa tanah sesungguhnya baik tanah adat maupun tanah yang terdaftar serta telah bersertifikatpun adalah hak milik, meskipun hak-hak atas tanah adat telah melalui pelepasan kepada orang lain hal ini menjadi sumber pemicu konflik yang tdiak ada habis-habisnya masalah tanah di papua, baik sebelum maupun pasca Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Kemudian pada faktanya ialah tanah adat mulai dituntut baik itu sudah dikuasai oleh pemerintah maupun dikuasai oleh perorangan atau kelompok
masyarakat. Hak mereka ialah menuntut tanah tersebut namun tidak sesuai atau bertentangan dengan appa yang sudah dibuat oleh pemerintah seperti contoh ialah hak Guna Bangunan yang telah diterbitkan oleh oleh pemerintah selama 20 tahun setelah berakhir. Pemikiran mereka khususnya yang ada di Biak ialah kembali kepada adat. Namun hal tersebut sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Sistem Pendaftaran Tanah. Seperti contoh ialah Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Biak Numfor yang mana melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 sudah diselesaikan pembayaran ganti rugi kepada masyarakat Marga Sroyer yang mempunyai sertifikat. Setelah ditangani oleh panitia dan sudah diselesaikan muncul lagi pengarahan pemilikan tanah adat yang barudari marga Ronsumbre akhirnya kantor Pemerintah Daerah Biak Numfor tersebut dihentikan proses pembangunannya sampai dengan sekarang. Karena batas-batas tanah adat antara marga Sroyer dan marga Ronsumbre tidak jelas, selama pensertifikatan tanah adat di Biak Numfor hanya perorangan selain Prona yang punya adalah masyarakat adat dan berlaku pada tanah-tanah yang sudah ada pemakaian oleh masyarakat di kampung maupun dimana saja asal bersifat kelompok. Maka untuk mendapatakan sertifikat permohonan harus melalui kelompok masyarakat, namun pada saat pensertifikatan dipecah masing-masih perorangan sesuai dengan masing-masing daftar yang diajukan sebagaimana taebl dibawah ini:
Data luas Pendaftaran Tanah di Biak Numfor
N o Tahu n Luas m2 Persentas e Ket 1 2015 175,33 3 m2 35,06 % Terenda h
2 2016 181.23 1 m2 36,41 % 3 2017 203.46 5 m2 40,70 % Tertinggi Jumlah 560,02 9 % m2 100 %
Sumber : Badan Pertanahan Nasional Biak Numfor
Berdasarkan table diatas memberikan gambaran bahwa tata cara dan pelaksanan pendaftaran tanah Di Biak Numfor selama tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 yakni pada tahun 2015 tercata 175.333 m2 (35.06 %) merupakan angka terendah, ssedangkan pad atahun 2017 menunjukkan angka 181,231 m2 (36,41 %) yang merupakan angka menengah dan pada tahun 2016 tercatat 203, 465 m2 (40,70 %) yang merupakan angka tertinggi yang keseluruhannya mencapai luas 560.029 m2 .
adapun data permohonan Pendaftaran tanah selama kurun waktu 2015 – 2017 sebagai berikut
N o Tahu n Permohonan persenta se Ket Diteri ma Ditola k 1 2015 575 7* 114 % 568 2 2016 708 5* 141 % 703 3 2017 912 9* 181 % 903 Jumlah 2195 21 % 100 % 217 4
Berdasarkan table diatas dapat diambil suatu gembaran bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah di Kabupaten Biak Numfor selam 3 tahun terakhir menunjukkan kenaikan angka tertinggi yakni pada tahun 2015 sebanyak 575 permohoonan dan ditolak sebbanyak 7 permohonan disebabkan tidak memenuhi prosedur dan obyek yang didaftarkan masih dalam sengketa dan juga tejadi tumpang tindih dalam pelepasan hak atas tanah sehingga yang memenuhi syarat untuk memperoleh sertifikat hak milik hanya 568 (114 %) yang menunjukkan angka terendah. Sedangkan pada tahun 2009 mengalami kenaikan angka sebanyak 708 dan ditolak sebanyak 5, sehingga yang memenuhi syarat sebanyak (141 %) kemudian pada tahun 2016 diterima sebanya 912 dan ditolak sebanyak 9 sehingga memenuhi syarat untuk memperoleh sertifikat sebanyak 903 (181 %) yang merupakan angka tertinggi.
Hal tersebut diatas menjadi pemicu marak terjadinya tuntutan ganti rugi oleh generasi sekarang ini Karena masyarakat meras mempunyai wadah satu-satunya untuk menyalurkan aspirasi dan mendapat hak-haknya kembali hanya melalui Dewan Adat yang sampai saat ini belum ada payung hukum atau peraturan perundang-undangan serta peraturan daerah yang khusus mengatur tentang persoalan hak-hak atas tanah adat khususnya di Kabupaten Biak Numfor. Seperti contoh yang terjadi di Bandara Frans Kaisiepo Biak Numfor yang telah digunakan puluhan tahun dan sudah memiliki sertifikat namun di klaim oleh masyarakat bahwa tanahh tersebut milik leluhur sehingga harus mendapat pengakuan dari masyarakat ada dan harus mendapat pelepasan oleh adat.
Berlakunya Undang-undang Otonomi Khusus bagi Papua telah memberikan ruanng yang besar kepada masyarakat sehingga masyrakat yang sudah memiliki sertifikat yang sudah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan mekanime dan syarat-syarat yang ditentukan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Sistem Pendaftaran Tanah Selalu mendapat Kendala
atau disangkal maupun tidak diakui sebagai alat bukti hak kepemilikan atas tanah tersebut. Dalam hal ini pula Badan Pertanahan selaku instansi yang berwenang dalam tanah yakni selalu dihadapi kesulitan dala setiap pembangunan yang dilakukan diatas tanah yang sudah bersertifikat. Sebab dari masyarakat adat pun mereka menuntut untuk melakukan ganti rugi meskipun tanah tersebut sudah bersertifikat sebagai bukti hak milik dan tidak jarang masuk ke dalam proses hukum di Pengadilan.
Bagaimana pemahaman masyarakat tentang pelepasan hak atas tanah adat di Kabupaten Biak Numfor, Dalam hal pelepasan tanah Adat yang terjadi di Papua seringkali masih terjadi sebuah polemic. Hal ini disebabkan Karena masing-masing dari marga atau keret mengklaim bahwa tanah yang dimaksud merupakan tanah hak milik sehingga terjadi tumpang tindih kepemilikan. Sebelum diberlakukan Otsus di Papua yakni Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khususs Bagi Provinsi Papua kepemilikan tanah (baik tanah adat maupun tanah ulayat) sangatlah mudah. Bahkan proses baik secara formal maupun secara langsung dengan pemilik hak tanah adat maupun hak ulayat kadang-kadang diperoleh secara Cuma-Cuma. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut N o Tahu n Luas Ha Persentas e Keteranga n 1 2015 189.60 0 37,88% Terendah 2 2016 243.60 0 48,69% 3 2017 436.80 0 87,36% Tertinggi Jumlah 870.00 0 Ha 100%
Sumber Data: Kantor Badan Pertanahan Nasional Biak.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Kepala BPN Biak Numfor mengatakan bahwa proses kepemilikan hak atas
tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yakni pada masa Orde Baru dalam ememperoleh ha katas tanah baik bersifat pribadi maupun bersifat umum sangat mudah dikuasai oleh masyarakat maupun oleh pemerintah tanpa melalui proses formal. Bahkan penyerahan tanah adatpun kadang-kadang cara pelepasannya secara Cuma-Cuma oleh masyarakat. Sebab pada masa itu masyarakat lebih tunduk dan taat kepada pemerintah orde baru yakni yang tercantum dalam aturan dasar UUPA No 5 Tahun 1960.
Hal yang menjadikan permasalahan tanah belum dapat terselesaikan hingga sekarang ialah dikarenakan karakteristik serta hukum adat yang beraneka ragam dan bersifat plural. Hal inilah yang mengakibatkan terjadi perbedaan yang mana antara daerah tersebut dalam penguasaan hak tanah adat dengan masing-masing mempunyai kekuasaan menurut hukum adatnya. Namun berbeda dengan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Gerald Kafiar seorang mananwir (orang yang dihormati dalam suatu lingkungan masyarakat) menyatakan bahwa masalah tanah bagi orang Biak mengibaratkan tanah merupakan leluhurnya seperti seorang ibu yang melahirkan serta memelihara sampai dewasa. Sehingga orang Biak sampai saat ini menganggap tanah sebagai bagian dari hidup mereka.Gerald juga mengatakan bahwa sistem penguasaan tanah adat atau hak ulayat pada zaman dahulu adalah menguasai dengan cara pengangkatan seorang mambri (kepala perang) untuk dapat melindungi lokasi tanah adat tertentu yang mana dikala suatu saat tanah tersebut dirampas atau dikuasai oleh pihak lain yang akhirnya diklaim sebagai hak tanah ulayatnya dan hak tanah adatnya, seperti apa yang dapat disebut dengan istilah Swandi artinya masuk pada wilayah kekuasaan Biak Barat dengan batas-batasnya, Napa artinya wilayah kekuasaan Biak Utara dengan batas-batasnya sedangkan Supmon yakni wilayah kekuasaan Supiori seperti Numfor Wammuren (angin timur)
dipakai sebagai daerah kekuasaan distrik di Bagian timur Pulau Biak dan Aimando Padaido. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Kepala Seksi Pendaftaran BPN Biak Numfor mengatakan bahwa proses pemilikan ha katas tanah adat maupun pendaftarannya sebelum Otonomi Khusus persoalan tanah tidak banyak mengalami kendala yang dihadapi oleh petugas Badan Pertanahan Nasional Biak Numfor di lapangan. Alasannya ialah pada waktu itu pola pemahaman masyarakat lebih banyak dalam pengakuannya tentang tanah adalah milik Negara secara sepenuhnya.
Menurut Yoakim Ayowembun, S,Sos (Kepala Seksi Pemberdayaan Badan Pertanahan Nasional Biak Numfor) bahwa setelah berlakunya Otonomi Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2001 mulai terjadi tuntutan hak oleh masyarakat adat, baik bersifat kelompok dan perorangan yang tidak mengakui lagi tanah-tanah Negara disebabkan karena menurut mereka dengan adanya Undang –Undang Otonomi Khusus semua hak-hak tanah yang dulu di kuasai oleh pemerintah Belanda dan telah diserahkan pada Pemerintah Indonesia khususnya Di Papua yakni Kabupaten Biak Numfor semuanya harus deikembalikan kepada adat atau paling tidak dituntut untuk pemerintah membayar danti rugi kepada masyarakat adat. Tak hanya itu pula, bagi masyarakat lain yang telah melalui proses pelepasan dari pemilik tanah adat kepada pihak pembeli itupun menjadi incaran atau sasaran dimintai ganti rugi oleh kelompok masyarakat baik bersifat marga ataupun bersifat pribadi yang merasa mempunyai bagian dari tanah adat yang pernah dilakukan pelepasan oleh orang tua maupun pemilik tanah adat yang dimaksud.
Hingga saat ini Perundang-Undangan serta Perda khususnya yang mengatur tentang persoalan hak tanah adat di Provinsi Papua khususnya di Kabupaten Biak Numfor sampai saat ini baik itu kepemilikan hak dari aspek tanah adat maupun dari sisi kekuasaan bersifat umum atau komunal
atau yang di sebut dengan hak ulayat, sehingga hal itu bertentangan dengan aturan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang mana intinya ialah mengarahkan kepada semua tanah baik tanah adat maupun tanah yang dikuasai oleh pemerintah harus didaftarkan melalui Badan Pertanahan Nasional untuk mendapatkan pengakuan oleh Negara atas hak serta memperoleh sertifikat sehingga ada kepastian hukum bagi hak kepemilikan tersebut.
Sehingga dalam hal ini setelah berlakunya Otonomi Khusus bagi masyarakat Papua Khususnya di Biak Numfor ini masyarakat adat sulit untuk memperoleh tanah adat. Tidak jarang juga bahkan ketika tanah yang sudah bersertifikat pun dituntut oleh masyarakat hukum adat untuk meminta ganti rugi meskipun sudah ada sertifikat atas tanah tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN.
Berdsarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai tanah adat dan pendaftarannya sebelum dan sesudah adanya Otonomi Khusus Papua serta intervensi pemerintah yang bersifat sentralistik, sehingga belum sepenuhnya masyarakat memahami dan menyadari hak dan kewajiban tanah adat dan pendaftarannya untuk mendapat kepastian hukum. Seperti yang diatur dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Implementasi pelaksanaan ha katas tanah adat dan pendaftarannya pasca Otonomi Khusus, tata cara memperoleh hak tanah dan pendaftaran tanah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan tentang Kepastian Hukumnya selama tidak ada yang dapat membuktikan sebaliknya. Pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilakukan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional tidak luput dari beberapa pengaruh yakni: Faktor substansi hukum, factor struktur hukum, factor buudaya, factor kesadaran hukum, factor ekonomi dan factor lingkungan.
Dalam hal ini diharapkan pihak-pihak yang berwenang khususya Badan Pertanahan Nasional untuk mengimplementasikan makna fungsi social hak atas tanah guna dapat
meminimalisir terjadi kekeliruan yang dilakukan dalam hal menginfentarisir hak-hak tanah baik tanah adat, tanah ulayat mupun tanah yang dikuasai oleh Negara.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku
Abdurrahman, H. 1980. Beberapa Aspek tentang Hukum Agraria; Seri Hukum Agraria V: Bandung, Alumni
Bachtiar Effendi, 1983. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya, Bandung, Alumni
Hambali Thalib, 2009. Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Makassar, Kencana. John Salindeho, 1993. Masalah Tanah dalam Pembangunan. Jakarta, Sinar Grafika
Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, 2003, Hak-hak atas Tanah, Jakarta. Kencana.
Mochtar Kusumaatmadja, 2002. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung, Alumni. Munir Fuady, 2003. Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Nawawi, 1997. Taktik dan Strategi Membela Perkara Perdata. Jakarta, Fajar Agung.