Nama : M. Farhan Pratama NIM : 15120013
Kelas : 02
No. Urut Absensi: 35
1. a). Karakteristik inti ajaran islam yang membuatnya khas dan tetap relevan sepanjang sejarah kemanusiaan!
Dalam ayat al-Qur'an disebutkan bahwa “Orang-orang yang telah kami berikan al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang orang yang rugi”. Q.S. Al-Baqarah, 2: 121. Dalam suatu hadis disebutkan, Rasulullah Saw., bersabda: “Ya Allah, rahmatilah khalifah-khalifahku.” Para sahabat lalu bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah khalifah-khalifahmu?” Beliau menjawab,
“Orang-orang yang datang sesudahku mengulang ulang pelajaran hadis-hadis dan sunahku dan mengajarkannya kepada orang-orang sesudahku (H.R. Ar-Ridha).
Konsep dan Karakteristik Ajaran Islam Dari berbagai sumber tentang Islam yang ditulis oleh para tokoh, terlihat bahwa Islam memiliki ciri khas yang dapat dikenali dari konsepsinya di berbagai bidang sehingga membuatnya bisa lebih beradaptasi dalam berbagai aspek kehidupan dan mampu tetap berdiri kokoh hingga sampai saat ini. Konsep ajaran Islam dalam berbagai bidang karakteristik ajaran Islam dapat dikemukakan sebagai berikut:
● Bidang ibadah: Ciri-ciri ajaran Islam dalam bidang ibadah berarti adanya ketakwaan manusia kepada Allah SWT karena didorong dan diusung oleh keyakinan tauhid. Sebagaimana Allah SWT. Firman: “Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai Kekuatan lagi sangat kokoh”.
● Bidang agama: Karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama adalah mengakui adanya suatu kenyataan, mengakui adanya ajaran kepercayaan kepada Tuhan dan hari akhir, menyuruh berbuat baik, dan mengajak pada keselamatan. Islam adalah agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme, dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Al-Quran menjelaskan tentang pengakuan akan hak agama-agama lain yang merupakan dasar paham kemajemukan sosial budaya dan agama sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah
● Bidang akidah: Akidah dalam Islam meyakini dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib untuk disembah. Aqidah dalam islam harus berpengaruh ke dalam segala aktivitas yang dilakukan umat makhluk hidup khususnya manusia sehingga berbagai aktivitas pada akhirnya menimbulkan amal saleh.
b) Makna La ilaha illallah sebagai inti keyakinan Islam memiliki arti, yaitu menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusanNya; perbuatan dengan amal saleh. Artinya, orang yang beriman tidak ada rasa dalam hati, atau ucapan di mulut dan perbuatan melainkan secara keseluruhan
menggambarkan iman kepada Allah, yakni tidak ada niat, ucapan, dan perbuatan yang
dikemukakan oleh orang yang beriman itu kecuali yang sejalan dengan kehendak
Allah.
Maksud Nabi SAW bahwa orang yang mengucapkan tauhid pasti masuk surga adalah perlu diketahui kalau kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah” memiliki beberapa
syarat-syarat sehingga bukan berarti hanya dengan mengucapkannya akan dipastikan masuk surga sebelum memenuhi beberapa persyaratan. Perlu diketahui juga tidak setiap yang mengucapkannya bisa mengambil manfaat dari kalimat tersebut. Syaikh Abdurrazaq Al Abbad menyatakan, “kalimat Laa ilaaha illallah tidaklah diterima dari orang yang mengucapkannya kecuali ia menunaikan haknya dan kewajibannya serta memenuhi syarat-syarat yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah”.
Maka hadits,
ﻦﻣ لﺎﻗ ﻻ ﮫﻟإ
ُﷲ ﻻإ
َﺔﱠﻨﺠﻟا ﻞﺧد
“barangsiapa yang mengatakan Laa ilaaha illallah pasti masuk surga”
Maksudnya yaitu yang mengatakan “Laa ilaaha illallah” dengan memenuhi
syarat-syaratnya. Sebagaimana riwayat yang dibawakan Syaikh Abdurrazaq, bahwa Al Hasan Al Bashri rahimahullah, ketika ia ditanya: “orang-orang mengatakan bahwa barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah pasti akan masuk surga”. Al Hasan berkata:
ﻦﻣ لﺎﻗ
» ﻻ ﮫﻟإ ﻻإ ﷲ
« ىﱠدﺄﻓ ﺎﮭﻘﺣ ﺎﮭﺿﺮﻓو ﻞﺧد
ﺔﻨﺠﻟا
“barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah, lalu menunaikan hak dan kewajibannya (konsekuensinya), pasti akan masuk surga“.
Implementasi tuntutan La ilaha illallah dalam praktik kehidupan Anda sebagai mahasiswa ITB adalah seperti tidak merasa hebat, sombong, dan takabur jika
dianugerahkan mendapatkan rezeki lebih dalam masalah perkuliahan terkait persoalan nilai yang lebih tinggi daripada yang lainnya atau bisa dikatakan berada di atas
rata-rata sehingga dengan demikian akan tumbuh keyakinan dalam diri bahwa segala yang ada di dunia terjadi karena Allah, jadi tidak ada gunanya jika merasa lebih tinggi daripada yang lain serta dapat Mensyukuri segala pemberian kepintaran ilmu dari Allah SWT.
2. Dengan segala potensi yang dimiliki manusia, eksistensi manusia memiliki hakikat
dalam kehidupannya sehingga disitulah segala keunikan berkat akal dan nafsunya bisa
menjadi makhluk paling mulia sekaligus juga yang paling hina.Hakikat ad-din din
bermakna aturan atau tatanan hidup atau petunjuk perjalanan hidup manusia dalam
berbagai aspek kehidupan termasuk dalam peribadatan atau ritual. Esensi agama yang
sebenarnya adalah aturan yang memiliki kekuatan luar biasa yang bisa mengatasi
kekuatan manusia Jadi apabila dikatakan din al-Islam, maknanya adalah tatanan hidup
menurut Islam yang dibuat oleh Allah swt yang memiliki kekuatan luar biasa di atas
kekuatan manusia. Dalam Alquran terdapat tiga kunci dasar yang mengacu pada
makna pokok hakikat manusia itu sendiri (Hakim & Mubarok, 2017) yaitu :
● Basyar (اﺮﺸﺑ ( dalam Al-Qur`an disebut sebanyak 27 kali, memberikan
referensi acuan yang menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk biologis, antara lain terdapat dalam surat Yusuf (12): 31
ْجُﺮ ْﺧا ِﺖَﻟﺎَﻗﱠو ﺎًﻨْﯿﱢﻜِﺳ ﱠﻦُﮭْﻨﱢﻣ ٍةَﺪِﺣاَو ﱠﻞُﻛ ْﺖَﺗٰاﱠو ًﺎَﻜﱠﺘُﻣ ﱠﻦُﮭَﻟ ْتَﺪَﺘْﻋَاَو ﱠﻦِﮭْﯿَﻟِا ْﺖَﻠَﺳْرَا ﱠﻦِھِﺮْﻜَﻤِﺑ ْﺖَﻌِﻤَﺳ ﺎﱠﻤَﻠَﻓ
ٌﻚَﻠَﻣ ﱠﻻِا آَﺬٰھ ْنِا ۗاًﺮَﺸَﺑ اَﺬٰھ ﺎَﻣ ِ ِّٰ َشﺎَﺣ َﻦْﻠُﻗَو ۖﱠﻦُﮭَﯾِﺪْﯾَا َﻦْﻌﱠﻄَﻗَو ٗﮫَﻧْﺮَﺒْﻛَا ٓٗﮫَﻨْﯾَاَر ﺎﱠﻤَﻠَﻓ ۚ ﱠﻦِﮭْﯿَﻠَﻋ
ٌﻢْﯾِﺮَﻛ - ٣١
Artinya: Maka ketika perempuan itu mendengar cercaan mereka, diundang nyalah perempuan-perempuan itu dan disediakannya tempat duduk bagi mereka, dan kepada masing-masing mereka diberikan sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf), “Keluarlah (tampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Ketika perempuan-perempuan itu melihatnya, mereka terpesona kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka (tanpa sadar) melukai tangannya sendiri. Seraya berkata, “Mahasempurna Allah, ini bukanlah manusia. Ini benar-benar malaikat yang mulia. Konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia seperti : makan, minum, seks, berjalan-jalan dan lain-lain.
● Al-Insan ( نﺎﺴﻨﻟإآ ( dalam Al-Qur`an disebut sebanyak 65 kali yang kerap berbicara tentang manusia secara utuh sebagai manusia. Kata Insan ini dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori : pertama, insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai pemikul amanah; kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia; dan ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konsep insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. Al-Insan juga menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memikul amanah (Q.S. al-Ahzab (33):72)
َنﺎَﻛ ٗﮫﱠﻧِا ُۗنﺎَﺴْﻧِ ْﻻا ﺎَﮭَﻠَﻤَﺣَو ﺎَﮭْﻨِﻣ َﻦْﻘَﻔْﺷَاَو ﺎَﮭَﻨْﻠِﻤْﺤﱠﯾ ْنَا َﻦْﯿَﺑَﺎَﻓ ِلﺎَﺒِﺠْﻟاَو ِضْرَ ْﻻاَو ِت ٰﻮ ٰﻤﱠﺴﻟا ﻰَﻠَﻋ َﺔَﻧﺎَﻣَ ْﻻا ﺎَﻨْﺿَﺮَﻋ ﺎﱠﻧِا
ۙ ًﻻْﻮُﮭَﺟ ﺎًﻣْﻮُﻠَظ
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung;
tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu di pikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.
● Al-Nas (سﺎﻨﻟا ( paling sering disebut dalam al-Qur`an, yaitu sebanyak 240 kali.
Al-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial, hal ini dapat kita lihat dalam beberapa ayat yang menunjukkan kelompok sosial dengan
karakteristiknya. Ayat-ayat ini lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-nas ( dan di antara sebagian manusia ). Dengan ungkapan tersebut, dalam Al-Qur`an ditemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman tetapi sebetulnya tidak beriman (Q.S.al-Baqarah (2): 8)
َۘﻦْﯿِﻨِﻣْﺆُﻤِﺑ ْﻢُھ ﺎَﻣَو ِﺮِﺧٰ ْﻻا ِمْﻮَﯿْﻟﺎِﺑَو ِ ّٰ ﺎِﺑ ﺎﱠﻨَﻣٰا ُلْﻮُﻘﱠﯾ ْﻦَﻣ ِسﺎﱠﻨﻟا َﻦِﻣَو
Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,”
padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.
b) Sebagai khalifatullah, bagaimana peran strategis yang seharusnya kita mainkan selaku umat Islam di kancah global dalam rangka mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan umat manusia? Nilai-nilai ajaran Islam yang berorientasi pada pembentukan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan di tengah umat manusia, diantaranya:
● Tidak melakukan kedzaliman: Kedzaliman adalah sumber petaka yang dapat merusak stabilitas perdamaian dunia. Maka selayaknya setiap insan sadar bahwa kedzaliman adalah biang kemunduran. Dengan demikian jika menghendaki kehidupan yang damai maka tindakan kedzaliman harus dijauhi.
● Adanya persamaan derajat: yang membedakan derajat seseorang atas yang lainnya hanyalah ketakwaan. Yang paling bertakwa dialah yang paling mulia. Dengan adanya persamaan derajat itu, maka semakin meminimalisir timbulnya benih-benih kebencian dan permusuhan di antara manusia, sehingga semuanya dapat hidup rukun dan damai
● Menjunjung tinggi keadilan: Islam sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat, keadilan harus diterapkan bagi siapa saja walau dengan musuh sekalipun. Dengan ditegakkannya keadilan, maka tidak ada seorang pun yang merasa dikecewakan dan didiskriminasikan sehingga dapat meredam rasa permusuhan, dengan demikian konflik tidak akan terjadi. Allah berfirman dalam Qs. Al-Mâidah: 8;11
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (Qs. Al-Mâidah:
8).
3. a) I’Jaz ‘ilmy merupakan salah satu kemukjizatan al-Qur’an dalam segi ilmu pengetahuan. Islam memotivasi umatnya agar dapat selalu mengembangkan ilmu pengetahuan dan bahkan dianggap sebagai sesuatu yang utama. Kata mukjizat Al-Qur;an bermakna pengokohan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis. Dan i’jaz bermaksud. “Memperlihatkan kebenaran Nabi saw. atas pengakuan kerasulannya, dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur;an”. Bisa diartikan juga sebagai ilmu yang membahas tentang keistimewaan Al’Qur;an yang menjadikan manusia tidak mampu menandinginya, ilmu Al’Quran membahas kekuatan susuan lafaz dan kandungan Al-Qur’an sehingga dapat mengalahkan ahli-ahli bahasa arab.
b) Tiga Tahapan Interaksi dengan Al-Quran
Tahap pertama qiraah. “Qiraah hanya membaca tanpa dituntut memahaminya, yang dijelaskan pada dalil surah al-Alaq ayat satu, jika masih belum bisa membaca maka dengan belajar tajwid,” ungkapnya. Tahap kedua yaitu tilawah. Tilawah ini memiliki tiga makna yang pertama membaca, yang kedua memahami apa yang dibaca dan yang ketiga mengamalkan apa yang dipahami sesuai dengan kemampuan. Tahap ketiga adalah tahfidh atau menghafal. Tahap ini cara mudah menghafal dengan membaca berulang-ulang sampai hafal tanpa ada batasannya, jika sudah hafal ulang-ulang terus dalam kehidupan sehari-hari maka hafal tersebut akan melekat pada diri kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan bahwa orang yang membaca al-Quran akan mendapatkan pahala 10 perhuruf. Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َأَﺮَﻗ ْﻦَﻣ ﺎًﻓ ْﺮَﺣ
ْﻦِﻣ
ِبﺎَﺘِﻛ
ُﮫَﻠَﻓ ِ ﱠﷲ
ٌﺔَﻨَﺴَﺣ ِﮫِﺑ
ُﺔَﻨَﺴَﺤْﻟاَو
ِﺮْﺸَﻌِﺑ ﺎَﮭِﻟﺎَﺜْﻣَأ
َﻻ
ُلﻮُﻗَأ
ٌف ْﺮﺣ ﻢﻟا
ْﻦِﻜَﻟَو
ٌﻒِﻟَأ
ٌف ْﺮَﺣ
ٌمَﻻَو
ٌف ْﺮَﺣ
ٌﻢﯿِﻣَو
ٌف ْﺮَﺣ
Siapa yang membaca satu huruf dari al-Quran maka dia mendapat satu pahala. Dan setiap pahala itu dilipatkan menjadi 10 kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf. (HR. Turmudzi 3158 dan dishahihkan al-Albani)
Hadis ini menyebutkan pahala membaca al-Quran. Dan yang dzahir, pahala itu
didapatkan hanya dengan membaca, meskipun tidak memahami maknanya.
Sementara untuk memahami maknanya, ada tambahan pahala sendiri. Karena berarti dia mengamalkan perintah Allah,
ٌبﺎَﺘِﻛ
ُهﺎَﻨْﻟَﺰْﻧَأ
َﻚْﯿَﻟِإ
ٌكَرﺎَﺒُﻣ اوُﺮﱠﺑﱠﺪَﯿِﻟ
ِﮫِﺗﺎَﯾَآ
َﺮﱠﻛَﺬَﺘَﯿِﻟَو ﻮُﻟوُأ
ِبﺎَﺒْﻟَ ْﻷا
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad: 29)
Dan terkadang orang bisa memahami maknanya hanya dengan memahami arti teksnya. Meskipun dia tidak memahami dari sisi tinjauan nahwu maupun kaidah bahasa. Bahkan dia bisa menangis semata dengan mengingat artinya. Dan ini sudah bisa disebut mentadaburi al-Qur’an.
As-Shan’ani mengatakan,
نإ ﻢﮭﻓ ﺮﯿﺜﻛ ﻦﻣ تﺎﯾﻵا ﺚﯾدﺎﺣﻷاو دﺮﺠﻤﺑ
ﺎﮭﻋﺮﻗ عﺎﻤﺳﻷا ﻻ جﺎﺘﺤﯾ ﻰﻟإ ﻢﻠﻋ ﻮﺤﻨﻟا ﻻو
،لﻮﺻﻷا ىﺮﺘﻓ
ﺔﻣﺎﻌﻟا نﻮﻌﻤﺴﯾ
نآﺮﻘﻟا ﮫﻧﻮﻤﮭﻔﯿﻓ ﻞﺑ
ﺎﻤﺑر نﺎﻛ هﺮﺛأ ﻲﻓ ﻢﮭﺑﻮﻠﻗ ﻢﻈﻋأ ﻦﻣ ﻦﯾﺪﮭﺘﺠﻤﻟا
Memahami kandungan umum dari ayat al-Quran dan hadis ketika pertama mendengar, tidak butuh ilmu nahwu dan ushul fiqh. Anda bisa lihat, masyarakat awam mendengar al-Quran dan mereka bisa memahaminya. Bahkan bisa jadi pengaruh dalam hatinya lebih besar dibandingkan yang terjadi para ulama mujtahid.
(ar-Rasail al-Munirah, 1/36)
4. a) Peraturan-peraturan yang ada di dalam al-Qur’an, meskipun semua mandiri dalam legalitas, kebanyakan membutuhkan Sunnah sebagai penjelasan dan peraturan pelaksanaannya. Sedang peraturan-peraturan yang ada di dalam Sunnah, meskipun mandiri dalam pelaksanaan, semua membutuhkan legalisasi dari al-Qur’an. Sifat demikian itu terlihat dengan jelas, terutama pada peraturan-peraturan dalam bidang hukum, khususnya hukum-hukum ibadah yang merupakan bagian terpenting dari agama Islam. Sementara itu, al-Qur’an memuat hukum-hukum yang mufassal (terurai) dan juz’i (terinci). Namun, kebanyakan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an adalah mujmal (global) dan kulli (menyeluruh). Karenanya, secara mutlak al-Qur’an membutuhkan bayan (penjelasan).
Sebagai misal adalah perintah shalat misalnya, al-Qur’an memerintahkan shalat bersifat mujmal.
Hal yang sama dijumpai dalam al-Qur’an ketika memerintahkan zakat, haji dan lain-lain.
Al-Qur’an memerintahkan shalat, tetapi tidak menerangkan syarat, rukun, cara mengerjakan, bilangan rakaat, dan hal-hal yang membatalkannya. Al[1]Qur’an juga memerintahkan zakat, tetapi tidak menerangkan jenis harta yang harus dizakati, nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat.
Al-Qur’an juga memerintahkan haji, tetapi tidak menerangkan syarat, rukun, dan cara mengerjakannya.
Terdapat tiga fungsi sunnah terhadap Al Qur’an, pertama,sunnah menguatkan
pesan-pesan hukum yang terkandung dalam al Qur‟an. Kedua,sunnah menjelaskan dan menjabarkan pesan-pesan hukum tersebut. Dan ketiga, sunnah menetapkan sendiri pesan-pesan dalam hukum yang belum diatur dalam al Qur’an
● Fungsi Sunnah sebagai penguat (ta’kid) hukum dalam Al Qur’an.
Dalam fungsinya ini, menurut hemat penulis sunnah melakukan ta’kid (penguat)atas hukum-hukum yang terkandung dalam al Quran dengan
mempergunakan beberapa cara, diantaranya sebagai berikut :
a. Menegaskan kedudukan hukumnya, seperti dengan sebutan wajib, fardhu dan ungkapan yang sejenisnya untuk perbuatan-perbuatan yang diperintahkan dan sebutan haram untuk kategori perbuatan yang dilarang.
b. Memerintahkan segi-segi bahasa yang timbul sebagai efek dari suatu perbuatan yang terlarang dan memperingatkan sanksi hukuman yang berat bagi pelaku perbuatan terlarang atau meninggalkan kewajiban.
c. Memperingatkan amaliyah, suatu kewajiban dan menampakkan suatu kebencian yang sangat terhadap suatu yang dilarang.
d. Menerangkan posisi kewajiban dan larangan dalam syari’at Islam.
Sebagai contoh sunnah yang termasuk fungsi mu’aqid, diantaranya hadits yang menta‟qidkan kewajiban shalat dan puasa.
● Fungsi sunnah sebagai penjelas dan penjabar apa yang dibawa oleh al Qur’an.
Dalam fungsinya yang kedua ini, segi-segi tabyin(penjelas) sunnah al Qur‟an antara lain:
a.Mengikat makna-makna yang bersifat lepas, yang terkandung
dalam ayat-ayat al Qur’an, seperti pergelangan tangan yang ditunjuk oleh sunnah sebagai penjelasan terhadap “yadun” yang terdapat dalam QS. Al Maidah ayat 38.
b. Mengkhususkan ketetapan yang disebutkan secara umum dalam nas-nas al Qur'an, seperti bayan al ghararsebagai pengecualian atas dihalalkannya jual beli yang tersebut dalam QS al Baqarah ayat 275.
c. Menjelaskan mekanisme pelaksanaan dari ketetapan-ketetapan al Qur‟an, seperti tata cara pelaksanaan shalat, haji, puasa dan kewajiban-kewajiban lainnya.
● Fungsi sunnah sebagai penetap hukum yang belum diatur dalam al Quran.
Dalam fungsinya yang ketiga ini, sunnah melakukan tasyri’yang boleh dikata sebagai tambahan atas hukum-hukum yang tersurat dalam al Quran, seperti larangan memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkaki menyambar sebagai tambahan atas empat jenis hewan yang haramkan untuk dimakan dalam al Qur‟an.
Ketiga fungsi sunnah sebagaimana keterangan di atas, dua yang pertama disepakati oleh para ulama, sementarayang ketiga diperselisihkan. Adapun masalah pokok yang diperselisihkan tersebut adalahapakah sunnah dapat menetapkan hukum secara mandiri tanpa bergantung kepada al Qur‟an atau penetapan itu selalu mempunyaiushldalam al Qur‟an.
Selain fungsi ketiga di atas, para ulama juga berselisih tentang fungsi sunnah sebagai nashih atas al Qur‟an. Secara ringkas diterangkan oleh Abbas Mutawalli.Perselisihan tersebut digolongkan dalam dua kelompok yang mendukung dan yang menolak. Termasuk kedalam golongan pendukung adalah Jumhur al Mutakalimin, baik dari kalangan asy'ariyah maupun mu‟tazilah dan dari kalangan fuqaha imam malik, pengikut abu Hanifah dan Ibnu Suraij. Kelompok inipun terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, mu‟tazilah yang menyatakan sunnah dengan sifat mutawatir. Kedua,Mushab Hanafi menyatakan bahwa khabar mashur dapat menasakhayat alQuran. Ketiga, madzhab Ibnu Hazm yang
membolehkan sunnah manasakh al Qur‟an meski sifatnya khabar ahad.
Adapun penolak sunnah sebagai nasakh bagi al Qur‟an adalah Imam Syafi‟i dan mayoritas sahabatnya serta madzhab ahl al Zhahir.
b) Ada beberapa cara dalam menyikapi perbedaan terhadap keputusan Ijtihad, yaitu:
1. Jika mengingkari, harus disertai dengan penjelasan hujjah atau dalil. Meski begitu, bukan berarti setiap orang bisa menyelisihi ijtihad ulama sesuka hati. Menyelisihi pendapat ulama harus dilandasi dengan hujjah atau dalil yang tepat. Sehingga bisa dipahami mengapa orang tersebut atau bahkan Anda memiliki pendapat yang berbeda dengan ijtihad yang dikeluarkan oleh para ulama.
2. Tidak mengingkari orang yang menyelisihi ijtihad ulama. Hal pertama yang perlu disadari adalah bahwa perbedaan pendapat dalam Islam adalah hal yang wajar. Karena itu, pasti ada orang yang menyelisihi ijtihad para ulama. Namun, hal ini tidak lantas menjadikan orang tersebut berdosa, fasiq, atau bahkan kafir. Dengan menyadari hal ini, maka seorang muslim seharusnya tidak mudah menuduh muslim lainnya sebagai pendosa, fasiq, dan kafir karena tidak menerima ijtihad ulama yang sama dengan Anda.
3. Boleh mengikuti salah satu dari dua pendapat yang lebih diyakini kebenarannya Perbedaan hukum dalam hasil ijtihad adalah sesuatu yang lumrah dan telah ada sejak dulu. Karena hal tersebut berada pada masalah cabang atau furu iyah dalam ajaran islam. Sejalan dengan hal tersebut, seorang muslim tidak dipaksa untuk mengikuti salah satu pendapat saja. Seorang ulama yang mengambil ijtihad pun tidak diperbolehkan untuk memaksakan pendapatnya untuk diikuti. Jika ada perbedaan pendapat antara satu ijtihad dengan ijtihad lainnya, maka seorang muslim boleh boleh mengikuti salah satunya yang dia anggap benar dan meninggalkan yang lain. Akan tetapi, pemilihan ijtihad yang diambil harus diambil dengan berlandaskan dalil, dan bukan karena mengikuti hawa nafsu atau sekedar mengambil yang paling mudah.
4. Perselisihan antara dua orang dalam masalah ijtihadiyah tidak mengeluarkan orang tersebut dari area iman. Salah satu masalah yang terjadi saat ini adalah ada saja seorang muslim yang mengikuti satu ijtihad dan menganggap muslim lain yang tidak mengikuti sebagai kafir. Padahal, perbedaan dalam masalah ijtihadiyah tidak akan membuat orang yang berbeda pendapat menjadi jatuh dalam kekafiran. Karena itu, seorang muslim juga tidak boleh mengkafirkan orang lain hanya karena perbedaan masalah ijtihadiyah.
Sebaliknya, sudah seharusnya perbedaan tersebut dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
5. Menyadari keutamaan ulama yang berijtihad. Mengambil suatu ijtihad bukanlah hal yang mudah dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Karena itu, sudah sewajarnya jika seorang muslim menghormati ulama yang melakukan ijtihad. Dan memahami bahwa setiap ulama yang berijtihad bisa saja melakukan kesalahan sebagai manusia. Akan tetapi, saat seorang ulama mengeluarkan ijtihad yang keliru, maka Allah akan memberikan satu pahala karena sudah melakukan proses berijtihad. Dan jika ijtihadnya benar, maka bagi ulama tersebut dua pahala. Lalu, jika Allah memberikan keutamaan seperti itu kepada para mujtahid, maka bukan menjadi hak kita untuk menyalahkan ulama – ulama yang melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya terlihat keliru.
5. a) Beribadah kepada Allah Adalah salah satu bentuk beriman kepada Allah SWT. Beriman kepada Allah SWT berarti yakin dan percaya bahwa Allah itu ada dan Allah adalah Tuhan yg menciptakan alam semesta ini. Allah menciptakan manusia di dunia untuk beribadah dan berbuat kebaikan, Allah menciptakan manusia di dunia bukan untuk main-main, Dalam surah Al-Mukminun ayat 115
ْﻢُﺘْﺒِﺴَﺤَﻓَأ ﺎَﻤﱠﻧَأ
ْﻢُﻛﺎَﻨْﻘَﻠَﺧ ﺎًﺜَﺒَﻋ
ْﻢُﻜﱠﻧَأَو ﺎَﻨْﯿَﻟِإ نﻮُﻌَﺟ ْﺮُﺗ َﻻ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminun [23]: 115)
Salah satu perintah pertama yang Allah abadikan dalam al-Qur’an adalah perintah untuk menunaikan ibadah, coba kita buka kembali lembaran-lembaran Qur’anul Karim di sana kita akan menemukan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Qs.Al-Baqarah ayat 21:
ﺎَﯾ ﺎَﮭﱡﯾَأ
ُسﺎﱠﻨﻟا اوُﺪُﺒْﻋا
ُﻢُﻜﱠﺑَر يِﺬﱠﻟا
ْﻢُﻜَﻘَﻠَﺧ
َﻦﯾِﺬﱠﻟاَو
ْﻦِﻣ
ْﻢُﻜِﻠْﺒَﻗ
ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ
َنﻮُﻘﱠﺘَﺗ
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”
Walaupun Allah memerintahkan manusia untuk beribadah dan menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Itu bukan berarti bahwa Allah membutuhkan ibadah hamba-Nya.
Namun melainkan, karena manusia lah yang butuh terhadap ibadah yang Allah perintahkan.
Maka timbul pertanyaan “Jadi sebenarnya untuk apa kita beribadah?”. Dikutip dari Mohammed Arkoun, seorang filsuf Islam modern dari Aljazair berpendapat dalam bukunya Nalar Islami Nalar Modern (1994); Ibadah yang Allah perintahkan tidak ditujukan untuk menciptakan Muslim yang saleh secara ritual dan saleh terhadap Allah Swt semata.
Baginya, peribadatan seharusnya dilakukan seorang untuk menghasilkan kesalehan privat dan sosial, karena demikian itulah substansi peribadatan yang dimaksudkan dan diperintahkan Allah Swt. Dalam artian yang sama beribadah sebenarnya untuk kebutuhan dirinya sendiri, bukan untuk Allah.
Semua itu ternyata diperkuat dengan Firman Allah Swt:
ﺎَﻣَو
ُﺖْﻘَﻠَﺧ ﱠﻦِﺠْﻟا
َﺲْﻧِ ْﻹاَو ﱠﻻِإ
ِنوُﺪُﺒْﻌَﯿِﻟ
ُﺪﯾِرُأﺎَﻣ
ْﻢُﮭْﻨِﻣ
ٍق ْزِر ْﻦِﻣ ﺎَﻣَو
ُﺪﯾِرُأ
ِنﻮُﻤِﻌْﻄُﯾ ْنَأ ﱠنِإ
َ ﱠﷲ
ُقاﱠزﱠﺮﻟا َﻮُھ
ِةﱠﻮُﻘْﻟاوُذ
ُﻦﯿِﺘَﻤْﻟا
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (saja).
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS. Adz Dzariat: 56-58)
Dari sini kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa Allah tidak butuh ibadah kita melainkan sebaliknya, kitalah yang butuh! Ibadah itu ibarat makan, kita makan agar mendapatkan energi, membantu pertumbuhan jasmani. Begitu juga dengan ibadah, kita beribadah agar mendapatkan ketentraman dan kedamaian rohani, dan juga agar semakin menumbuhkan rasa ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
b) Ada beberapa solusi agama untuk mengatasi penyakit-penyakit hati tersebut. Di antaranya adalah, tawadhu’ dan ikhlas dalam segala tindak-tanduk. Tawadhu’ adalah merendahkan hati dan menjaga segala amal perbuatan agar tidak terjerumus ke dalam sifat sombong, ihtiqor dan sum’ah. Agama juga mengajarkan semua ibadah yang dikerjakan hendaknya semata-mata ikhlas karena Allah. Ikhlas disini artinya adalah melepaskan diri dari selain Allah, atau
membersihkan amal perbuatan dari penglihatan makhlukNya. Sifat ikhlas sangat dibutuhkan dalam segala amal perbuatan, karena akan menjamin kemurnian ibadah yang dilakukan. Tanpa adanya keikhlasan yang tulus, mustahil amal ibadah kita akan diterima di sisi Allah SWT.
Solusi selanjutnya adalah dengan berusaha untuk memperbaiki niat dalam segala perbuatan dan selalu berusaha ikhlas dalam setiap amal yang dikerjakan. Perbuatan ini merupakan langkah awal untuk membangun jiwa yang tulus ikhlas, yang murni dan suci dari sifat-sifat kotor yang sangat membahayakan amal perbuatan kita. Bayangkan, hanya karena sifat tercela tersebut amal dan jerih payah kita tidak ada bernilai secuil pun di hadapan Allah. Apakah bukan suatu kerugian bagi kita?
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya Madarijus Shaalihiin, mengatakan bahwa dalam salah satu ayat dalam surat al Fatihah yang selalu kita baca dalam shalat, yaitu pada lafaz – iyyaaka na’budu dan iyyaka nasta’in – terdapat suatu maqam yang disebut dengan ikhlas. Yang dimaksud dengan maqamikhlas adalah penghambaan seseorang harus memiliki rasa ikhlas dan tawadhu’ dengan jalan mengerahkan segenap jiwa raga – lahir dan batin – menyembah dan meminta pertolongan kepadaNya. Jadi ikhlas adalah salah satu syarat agar amal ibadah shalat kita bernilai di sisiNya.
Kesimpulannya, dalam beramal kita harus menjaga niat agar terbebas dari ingin dipuji dan dinilai orang lain. Beramal secara ikhlas adalah bukan karena tampak atau tidak tampak oleh orang lain, melainkan karena apa yang menjadi niat di hati. Kunci ikhlas adalah kita harus yakin bahwa Allah adalah yang Maha menyaksikan dan Allah yang Maha menguasai semua yang kita inginkan. Marilah kita menguatkan keyakinan kepada Allah, bahwa Dia melihat dan memiliki diri kita, Dia yang menggenggam masa depan kita dan apapun yang kita inginkan semuanya dikuasai olehNya.
Tentang pengertian ikhlas dalam ajaran islam terbagi dalam 2 sudut padang. Pengertian menurut bahasa dan pengertian berdasarkan istilah. Menurut bahasa, pengertian ikhlas artinya tulus dan bersih. Sedangkan menurut istilah, makna dan arti ikhlas adalah mengerjakan suatu kebaikan dengan semata-mata mengharap rida Allah SWT. Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi.
Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Beberapa pendapat para ulama mengenai Ikhlas dapat dijelaskan dibawah ini :
● Al Susi mengatakan , ikhlas itu berarti tidak melihat ikhlas. Siapa yang menyaksikan ikhlas dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya membutuhkan ikhlas (pemurnian).
● Al Junayd berkata “ Ikhlas berarti memurnikan amal dari kekeruhan-kekeruhan.
● Al Fudhayl berkata “ Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah ria, dan mengerjakan suatu amal karena manusia adalah syirik, dan ikhlas ialah bila Allah membebaskan dari keduanya.
Kita boleh melakukan solat tahajud untuk meminta dilapangkan rezekinya. Namun, jangan jadikan niat tersebut sebagai niat utama. Tujuan utama kita adalah untuk mencari ridho Allah SWT. Jika kita menjadikan alasan utama kita untuk beribadah kepada Allah SWT adalah untuk mencari ridhonya, maka apapun yang kita inginkan nantinya akan lebih mudah terwujud dan tercapai nantinya.