PENGENDALIAN DEMOKRASI: PELAJARAN DARI CINA Oleh: GPB Suka Arjawa
Ada cerita menarik dari Cina sejak negara ini menggelar Kongres Partai Komunis ke-18. Hajatan ini merupakan kegiatan politik paling besar di negara itu karena merupakan ajang untuk memilih pemimpin partai, tokoh komite sentral sampai dengan pemilihan anggota Politibiro. Termasuk juga memilih presiden dan perdana menteri. Peristiwa ini dilakukan sepuluh tahun sekali dan menjadi perhatian dunia. Bagaimanapun, dengan penduduk yang mencapai 1,3 milyar jiwa, Cina adalah kekuatan rasksasa ekonomi dari segala sisi. Sebagai pasar ekspor, penduduk tersebut amat menggiurkan bagi negara-negara industri untuk memasarkan produknya. Akan tetapi, jika negara-negara itu menggerakkan bangsa untuk berkreativitas dan kemudian mengekspor berbagai barang produk, seluruh dunia bisa terguncang. Produk negara Cina akan membanjiri pasaran internasional yang mampu membuat produksi setiap negara bangkrut. Dengan reputasi itulah, hajatan Kongres Partai Komunis Cina ke-18 yang berlangsung sejak minggu lalu itu, menjadi perhatian luas di kalangan internasional.
Namun, satu peristiwa yang mesti diperhatikan adalah bagaimana negara itu menyikapi kongres partai, menjaga kelancarannya sekaligus memperlihatkan kepada dunia betapa Cina sebenarnya masih berada dalam situasi dua muka. Di satu sisi kelihatan kapitalis-terbuka (yang merupakan salah satu ajaran demokrasi). Di sisi lain, masih ketakutan, dan otoriter.
Selama satu minggu gelaran Kongres Partai Komunis ini, petugas keamanan Cina melarang burung merpati beterbangan. Masyarakat yang mempunyai diharuskan mengandangkan burung tersebut karena dikhawatirkan akan mampu menyebarkan pamflet mendeskreditkan pemerintah. Burung merpati adalah unggas pintar yang di masa lalu bisa dilatih untuk mengantarkan surat ke alaman tujuan. Pemerintah juga melarang para pedagang menjual pesawat mainan. Jendela taksi juga dilarang dibuka selama Kongres Partai Komunis ini berlangsung, dan menarik barang-barang yang dianggap berbahaya dari pasar. Barang itu misalnya serutan pensil dan pisau dapur. Satu lagi adalah memblokir situs pencarian di internet. Semuanya itu dilakukan demi menghindari munculnya berbagai pamflet yang mampu mendeskreditkan pemerintah, dan kemudian membuat acara besar ini tercoreng. (Tempo, 18 November 2012)
Sebagai pihak yang memegang kekuasaan, sikap pemerintah Cina itu adalah wajar. Kerja itu adalah kerja raksasa yang dilakukan oleh penguasa terbesar dari negara, yaitu partai komunis. Bagaimanapun jalannya negara itu sejak tahun 1949 (ketika Mao Zedong berhasil merebut kekuasaan dari Partai Nasional, itu adalah hasil kerja partai komunis. Jika pada dekade enampuluhan terjadi revolusi kebudayaan di Cina yang membuat jutaan rakyat menderita, itu adalah kerja dari Partai Komunis. Apabila kini negara itu bersedia memberikan sistem pasar masuk ke dalam perekonomiannya, itu juga hasil kinerja partai komunis. Termasuk juga keberhasilan mereka mengekspor berbagai
besar sepuluh tahunan, maka segala hal harus dipusatkan kepada kegiatan partai itu, tidak boleh ada gangguan sekecil apapun juga. Jadi, pelarangan terbangnya merpati sampai dengan penarikan parutan pensil dari pasar, boleh dikatakan wajar.
Akan tetapi, di balik dari sikap yang terlihat berlebihan tersebut muncul sebuah
kenyataan lain yang secara dramaturgis memperlihatkan fenomena yang ada di belakang keluarnya sikap tersebut. Semua sikap itu merupakan antisipasi dari segala bentuk modernisasi. Cina. Walaupun negara itu dikuasai dan dikendalikan oleh Partai Komunis, Cina sudah terkena modernisasi Barat. Akan tetapi, sebagai sebuah negara yang
berangkat dari dasar masyarakat pertanian, maka segala modernisasi ini harus dikendlalikan, yang barangkali maksudnya untuk mengarahkan rakyat dengan tujuan tertentu. Disini modernisasi yang hendak dikendalikan adalah pemikiran. Jadi,
modernisasi tersebut tidak hanya berbentuk nyata seperti teknologi, mesin maupun cara manajerial, tetapi pemikiran. Pemikiran sangat mudah diupgrade melalui tulisan yang disampaikan melalui pamflet-pamflet. Dan hajatan yang paling tepat untuk
memperlihatkan modernisasi pemikiran itu terletak pada peristiwa paling besar di satu negara. Melalui hajatan inilah pemikiran-pemikiran tersebut bisa tersampaiakan kepada dunia. Kongres Partai Komunis Cina merupakan hajatan terbesar dan seluruh dunia menatapnya. Pamflet jelas mudah diserahkan melalui jendela taksi dan secara terselubung, melalui pengantar burung merpati.
Dari konteks itu bisa dikatakan Cina telah memesankan kepada dunia, bahwa Partai Komunis tetap organ paling berkuasa di negeri itu, betapapaun unsur-unsur modernisasi Barat (seperti pasar terbuka), telah diterima. Kedua, ingin dikatakan bahwa mereka tetap menerima modernisasi, termasuk juga demokratisasi, akan tetapi dalam batas-batas yang telah dikendalikan oleh partai komunis. Disini Cina mengakui perkembangan jaman, sesuatu yang sebelumnya dicurigai tidak akan pernah dilakukan negeri itu.
Dibolehkannya rakyat Hongkong untuk tetap hidup seperti sejak dikuasai oleh Inggris, sesungguhnya telah menjadi bukti bahwa Cina menerima modernisasi dan demokratisasi. Ketiga, dengan cara pengendaliann itu, secara perlahan-lahan negara ini akan
memperkenalkan bentuk modernisasi yang tepat kepada rakyatnya agar tidak terlalu kebablasan. Sebuah bentuk modernisasi yang kebablasan, pasti akan menimbulkan chaos. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya apabila Cina yang berpenduduk semilyar lebih itu bergolak di dalam. Apabila ini terjadi, sudah pasti berbagai negara di dunia (apalagi Asia Tenggara), pasti akan dibanjiri oleh pengunsi Cina.
Cara negeri itu mengendalikan modernisasi, harus diperhatikan oleh seluruh dunia. Sebab, ini akan memungkinkan bagi Cina membentuk modernisasi tersendiri sesuai dengan cara komunis Cina. Selanjutnya, mereka akan kembali membuktikan hasil karyanya, bahwa komunis pun mampu menerima modernisasi, menerima pasar bebas dan membuat hasil-hasil dialektika pembaruan. Jika Uni Soviet telah melahirkan ideologi komunis, Cina kelak akan mampu mengatakan kepada dunia bahwa negara ini
Dengan pengendalian bagi modernisasi ini, Cina sebenarnya mempersiapkan satu metode kepada rakyatnya agar secara perlahan-lahan mampu mengadaptasi modernisasi. Ada pelajaran bagus sesungguhnya yang bisa diambil bagi Indonesia. Sebagai negara yang biasa diperintah secara otoriter dan feodal, seharusnya demokrasi itu tidak secara mentah-mentah ”ditelan”. Demokrasi adalah sistem politik modern yang dianut Barat. Bahwa sampai sekarang masyarakat kita masih karut marut, tetap tidak mampu beranjak, mungkin disebabkan karena kita terlalu kebablasan ”menelan” demokrasi itu. ****
