• Tidak ada hasil yang ditemukan

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MANAJEMEN TATA RUANG DI CAFE SAWAH PUJON KIDUL KABUPATEN MALANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MANAJEMEN TATA RUANG DI CAFE SAWAH PUJON KIDUL KABUPATEN MALANG"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1046

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MANAJEMEN TATA RUANG DI CAFE SAWAH PUJON KIDUL

KABUPATEN MALANG

Amandha Parameshwari1, Dinda Okta Mevia Fajrina2, Erdo Amsyah3 Universitas Muhammadiyah Malang

amandha.parameshwari99@gmail.com, dindasyarkawi123@gmail.com, erdoamsyahh11@gmail.com

ABSTRAK

Penataan ruang disuatu daerah sangatlah penting untuk dilakukan salah satunya ialah pengembangan desa wisata. Dalam penataan ruang, Konsep Collaborative Governance sangatlah berperan penting karena dalam penerapannya tidak hanya melibatkan kerjasama antara pemerintah dan non pemerintah saja melainkan melibatkan pihak – pihak lain. Salah satu inovasi dari pengembangan Desa Wisata yakni dengan adanya Café Sawah Pujonkidul. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Konsep Collaborative Governance, Pihak yang terlibat serta bentuk peran yang diberikan dan cara menghadapi Revolusi Industri 4.0 dalam manajemen penataan ruang di Café Sawah Pujonkidul.

Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa Instansi dan Pihak yang terlibat dalam manajemen penataan ruang di Café Sawah Pujonkidul. Setiap instansi memiliki peran dan bentuk partisipasi masing- masing. Salah satunya berperan untuk pengembangan desa wisata demi mendukung Visi Misi Kepala Desa. Keberadaan Café Sawah memberikan dampak positif yang sangat besar bagi masyarakat karena mampu mengentaskan kemiskinan dan membuka peluang ekonomi bagi masyarakat di Desa Pujonkidul. Adapun dampak negatif yang diperoleh masyarakat yang bekerja sebagai petani merasa aktivitasnya terganggu dikarenakan Akses penggunaan jalan masyarakat desa yang hendak menuju sawah menggunakan jalan yang sama dengan pengunjung.

Kata kunci: Collaborative Governance, Peran, Pengembangan Desa Wisata, Penataan Ruang, Café Sawah Pujonkidul

ABSTRACT

Spatial planning in an area is very important to do, one of which is the development of a tourist village. In spatial planning, the concept of Collaborative Governance is very important because its application does not only involve collaboration between the government and non-government, but also involves other parties. One of the innovations in the development of Tourism Village is the existence of Cafe Sawah Pujonkidul. This study aims to examine the concept of Collaborative Governance, the Parties involved as well as the forms of roles given and how to deal with the Industrial Revolution 4.0 in spatial management in Cafe Sawah Pujonkidul. The method used is qualitative with a descriptive approach. The results showed that there were several agencies and parties involved in the management of spatial planning in Cafe Sawah Pujonkidul. Each agency has its own role and form of participation. One of them has a role to play in the development of tourism villages in order to support the Vision and Mission of the Village Head. The existence of Cafe Sawah has a very big positive impact on the community because it is able to alleviate poverty and open economic opportunities for people in Pujonkidul Village. As for the negative impacts obtained by the community who work as farmers feel their activities are disrupted due to access to the use of the road of the village community who want to go to the rice fields using the same road as the visitors Keyword: Collaborative Governance, Role, Tourism Village Development, Spatial Planning, Café Sawah Pujonkidul

PENDAHULUAN

(2)

1047 Penataan ruang merupakan suatu sistem perencanaan tata ruang pemanfaatan ruang, dan pengendalian, pemanfaatan ruang yang menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dimana harus dilakukan menurut kaidah penataan ruang itu sendiri. Penataan Ruang sangat penting untuk dilakukan di suatu daerah karena Penataan ruang bertujuan untuk mendukung pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan yang lebih baik, menghindari pemborosan pemanfaat ruang, dan terhindar dari penurunan kualitas ruang. Selain itu, Penataan ruang juga merupakan cermin dari bentuk suatu daerah yang memiliki artian apabila penataan ruangnya telah sesuai dengan RTRW yang telah diatur maka dapat diklasifikasikan bahwa penataaan ruangnya baik dan layak. Tak hanya itu saja, Penataan ruang yang baik harus didasarkan pada karakteristik seperti daya dukung dan daya tampung lingkungan serta didukung oleh teknologi untuk meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan.

Dalam Pasal 11 ayat 1 Undang – undang Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penataan Ruang dalam pasal ini mengatur tentang wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang baik itu pengaturan, pembinaan, pengawasan, pelaksaanan, maupun kerjasama penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota. Di Kabupaten Malang sendiri, pada hakikatnya tata ruang Kabupaten telah diatur dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Malang melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang RTRW Kabupaten Malang. Dalam peraturan ini, segala sesuatu mengenai penataan ruang Kabupaten Malang baik dalam penyelenggaraan, pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, perencanaan tentang tata ruang dan lain sebagainya telah diatur didalamnya. Dalam Pasal 30 ayat 2 dijelaskan mengenai Pengembangan Perdesaan yang meliputi beberapa poin salah satunya Pengembangan perdesaan berbasis potensi dasar yang dimiliki.

Seperti yang kita ketahui, Di era Revolusi Industri 4.0 penataan ruang akan lebih cenderung mengarah ke Industri Digital. Di era ini, Pembangunan industri akan semakin meningkat sejalan dengan perkembangan zaman. Lahan – lahan kosong lama kelamaan akan dialihfungsikan menjadi Lahan Industri. Penggunaan Teknologi pun akan berkembang semakin pesat Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan tata ruang karena lahan pertanian akan tergerus, Kapasitas

(3)

1048 Ruang terbuka hijau akan berkurang dan dampak buruk lainnya. Maka hal ini, menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggaraan pemerintahan di Era Revolusi 4.0 dalam aspek penataan ruang.

Salah satu contoh dari penataan ruang di Kabupaten Malang sendiri ialah Pengembangan desa wisata di Desa Pujonkidul. Pengembangan desa wisata ini tak hanya merupakan contoh dari penataan ruang namun juga merupakan implementasi Visi Misi dari Kepala Desa Pujonkidul yang sejalan sinergis dengan Visi Misi Kabupaten Malang. Dalam pengembangan desa wisata, Desa Wisata Pujonkidul mengemasnya dalam berbagai macam atraksi wisata baik wisata alam ataupun buatan. Salah satunya inovasi yang mendukung pengembangan desa wisata ialah Café Sawah Pujon. Desa Pujonkidul ini merupakan salah satu desa yang memiliki potensi wisata yang menarik dengan wilayah geografis yang sangat strategis.

Tujuan dibentuknya desa ini selain sebagai bentuk penataan ruang dalam pengembangan Desa, namun juga bertujuan agar dapat mengatasi permasalahan sosial ekonomi. Dengan adanya hal ini, memberikan peranan penting kepada masyarakat yang mana sebagai penggerak perekonomian, meningkatkan kesempatan kerja, bentuk pemberdayaan masyarakat dan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat.

Dalam Pengembangan Desa Wisata tidaklah dapat berdiri sendiri, tentu saja akan ada campur tangan dari berbagai pihak. Karena dalam pengembangan desa wisata akan banyak aspek yang terlibat baik dalam penggunaan maupun pemanfaatan area desa. Dalam memanfaatkan dan menggunakan area atau wilayah desa harus memperhatikan keseimbangan tata ruang demi mewujudkan kawasan wilayah desa yang sesuai dengan tata ruang Kabupaten ataupun Kota. Maka dari itu, adanya keterlibatan dari berbagai pihak dalam pembangunan sangatlah penting untuk pengembangan desa agar memiliki potensi tersendiri untuk memajukan desanya dengan mengkolaborasi sumber daya yang dimiliki berbagai pihak. Salah satu konsep yang mendukung mengenai keterlibatan berbagai pihak ialah Collaborative Governance yang mana merupakan sebuah konsep yang melibatkan berbagai peran atau pihak tidak hanya dari pemerintah dan non pemerintah saja melainkan pula dari stakeholders lain, sektor privat, masyarakat ataupun komunitas sipil yang berbagai pihak tersebut memiliki kepentingan masing – masing untuk

(4)

1049 mencapai tujuan secara bersama. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menganalisis dan membahas Manajemen penataan ruang di Café sawah Pujonkidul berbasis Collaborative Governance agar dapat mengetahui Bagaimana cara Collaborative Governance menghadapi era Revolusi Industri 4.0, pihak mana saja yang ikut terlibat, dan bagaimana bentuk peran yang diberikan oleh pihak yang terlibat.

1.1 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Cara Collaborative Governance menghadapi era Revolusi Industri 4.0 dalam manajemen tata ruang?

2. Siapa saja pihak yang terlibat dan bentuk peran yang diberikan dalam manajemen tata ruang di Café Sawah Pujonkidul Kabupaten Malang?

3. Apa saja dampak yang ditimbulkan setelah adanya pembangunan Café Sawah Pujonkidul Kabupaten Malang?

1.2 Tujuan

1. Untuk Mengetahui Cara Collaborative Governance menghadapi era Revolusi Industri 4.0 dalam manajemen tata ruang

2. Untuk Mengetahui Pihak dan bentuk peran yang terlibat dalam manajemen tata ruang di Café Sawah Pujonkidul Kabupaten Malang.

3. Untuk Mengetahui Dampak yang ditimbulkan dengan adanya pembangunan Café Sawah Pujonkidul Kabupaten Malang.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang digunakan oleh peneliti. Deskriptif yang menggambarkan dan mendeskripsikan Pihak terlibat dan bentuk Peran yang diberikan dalam penataan ruang di Café Sawah Pujonkidul.

Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan kualitatif yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi.

Mahsun (2014: 72) menjelaskan pendekatan deskriptif merupakan data terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar bukan berupa angka. Data pada umumnya pencataan, foto, rekaman, dokumen atau mencatat resmi lainnya.

Pendekatan deskriptif yaitu mendeskripsikan fenomena yang ada secara alamiah maupun fenomena buatan manusia. Pendekatan deskriptif bertujuan untuk

(5)

1050 mengetahui fenomena tentang bahasa dan mendeskripsikannya secara sistematis berdasarkan data yang diperoleh dari narasumber sesuai dengan masalah penelitian, seperti data mengenai

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitlian kualitatif . Menurut Sugiyono (2014: 9) menjelaskan jenis penelitian kualitatif adalah penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme, yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Menurut Patton (dalam Raco, 2010:49) Jenis penelitian ini berlangsung dalam tiga tahap, antara lain: (1) Pengumpulan data mentah meliputi individu, organisasi, program, serta tempat kejadian, (2) Penyusunan atau penataan kasus yang diperoleh melalui pemadatan, meringkas data, dan mengklasifikasikannya ke dalam satu data utuh yang mudah dipahami, dan (3) Penulisan laporan akhir penelitian kasus berupa narasi.

Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Collaborative Governance dan pihak yang terlibat atau berperan dalam manajemen tata ruang di Café Sawah Pujonkidul. Dan Bentuk Peran yang diberikan oleh Collaborative Governance dalam manajemen tata ruang di Café Sawah Pujonkidul Kabupaten Malang. Serta mengetahui Cara Collaborative Governance menghadapi era Revolusi Industri 4.0 dalam manajemen tata ruang.

Lokasi Penelitian

1. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Malang (Jl. Penarukan, Kec. Kepanjen, Malang, Jawa Timur 65163)

2. Dinas Pariwisata Kabupaten Malang (Jl. Raya Singosari No.275, Pangetan, Pagentan, Kec. Singosari, Malang, Jawa Timur 65153)

3. Kantor Balai Desa Pujonkidul (Krajan, Pujon Kidul, Kec. Pujon, Malang, Jawa Timur 65391)

Sumber Data

(6)

1051 Dalam penelitian ini, Sumber data yang digunakan oleh peneliti ialah data primer. Data primer diperoleh dari wawancara pada Intansi Bappeda Kabupaten Malang, Dinas Pariwisata Kabupaten Malang, dan Kantor Balai Desa Pujonkidul.

Menurut Hasan (2002: 82) data primer ialah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer di dapat dari sumber informan yaitu individu atau perseorangan seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Data primer ini antara lain;

- Catatan hasil wawancara.

- Hasil observasi lapangan.

- Data-data mengenai informan.

Teknik Pengumpulan Data

Observasi, Wawancara, dan dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam melakukan penelitian. Untuk memperoleh data penelitian di lapangan dengan tujuan mendeskripsikan secara rinci objek penelitian yang sedang diamati, peneliti menggunakan tiga metode pengumpulan data, antara lain :

Observasi

Observasi merupakan pengumpulan data langsung dari lapangan. Menurut Raco, (2010:112) dalam penelitian kualitatif, data yang didapatkan harus dengan terjun langsung ke lapangan. Hal pertama yang dilakukan peneliti adalah mengidentifikasi tempat penelitian sehingga ketika pemetaan dilakukan peneliti telah mendapatkan gambaran umum mengenai sasaran penelitian. Kemudian peneliti mengidentifikasi subjek penelitian, waktu penelitian, dan bagaimana penelitian berlangsung. Observasi juga melibatkan interaksi antara partisipan dan peneliti sehingga dapat membantu peneliti dalam mengumpulkan data yang bahkan tidak muncul dalam hasil wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti terjun langsung ke Lapangan atau Instansi terkait seperti BAPPEDA, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang dan Kantor Balai Desa Pujonkidul.

Wawancara

Wawancara atau interview merupakan sebuah metode pengumpulan data yang dilakukan melalui proses tanya-jawab antara informan dan peneliti. Tidak

(7)

1052 semua data bisa didapatkan ketika observasi berlangsung, maka dari itu metode wawancara perlu dilaksanakan demi mengumpulkan data yang dapat membantu peneliti dengan tujuan memperlancar penelitian yang dikaji. Hal ini sepandapat dengan pendapat Raco (2010:116), yang menyatakan bahwa wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang tidak didapatkan ketika observasi maupun dari kuesioner. Dengan demikian, metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang bersangkutan dengan Collaborative Governance dalam Manajemen Tata Ruang di Cafe Sawah Pujon Kidul Kabupaten Malang. Adapun Informan yang kami dapatkan dalam penelitian ini terdiri dari 1 orang perwakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Malang, 1 Orang perwakilan dari Balai Desa Pujonkidul selaku Sekretaris Desa, 1 Orang perwakilan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang.

Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis rekaman pada informan, gambar maupun elektronik. Dengan demikian dokumentasi adalah laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri atas penjelasan terhadap peristiwa itu dan ditulis dengan sengaja untuk menyimpan atau merumuskan keterangan-keterangan mengenai peristiwa tersebut baik itu dari dokumen tertulis, gambar maupun elektronik.

Unit Analisa

Sumber data utama dalam penelitian ini berupa kata-kata dan tindakan subjek penelitian, sedangkan data lain hanya sebagai data tambahan, seperti sumber tertulis maupun data statistik. Sumber data utama tersebut dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekam video/audio topes, dan yang lainnya.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan upaya dalam memilah-milah data yang telah didapatkan melalui pengumpulan data. Dalam mengumpulkan data mengenai Selain memaparkan data yang telah diperoleh, peneliti nantinya juga akan menganalisis data tersebut secara deskriptif

Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti dalam analisis ialah Model dari Miles dan Huberman (dalam Siswantoro, 2005:67), yang membagi langkah- langkah dalam kegiatan analisis data dengan beberapa bagian yaitu

(8)

1053 pengumpulan data (data collection), seleksi data (data reduction), paparan data (data display), dan penarikan kesimpulan atau pengabsahan (conclusion &

verification).

Pertama, Seleksi data (data reduction) merupakan suatu proses pemilihan atau memilih, memusatkan fokus kepada yang lebih sederhana, pengabstrakan, perubahan data kasar yang didapatkan dari catatan – catatan tertulis dilapangan yang kemudian akhirnya menjdi laporan akhir yang tersusun lengkap. Kedua, Dalam Penyajian Data (Data Display) dapat digambarkan sebagai kesimpulan dari informasi yang tersusun yang nantinya memberikan kemungkinan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Ketiga, Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi (conclusion & verification) pada bagian ini merupakan intisari dari penyajian data. Data yang telah diolah di tahap penyajian data akan menghasilkan data yang telah dianalisis dalam penelitian. Hasil analisis dan Intisari penyajian data inilah yang digunakan di tahap Penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Penarikan kesimpulan juga dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk mencari atau memahami arti ataupun makna, keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat maupun proposisi. Dari kesimpulan yang didapatkan maka segera dilakukannya verifikasi dengan cara melihat atau mempertanyakan kembali sambil memperhatikan catatan yang didapat dilapangan agar memperoleh pemahaman yang lebih cepat.

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teknik analisa data deduktif karena penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumetasi sehingga seluruh data dalam aspek penelitian akan diperoleh dengan cara terjun lapang. Setiap pertanyaan peneliti akan dianalisis satu persatu hingga dapat menarik kesimpulan dan menggambarkan permaalahan sampai penyelesaian dengan baik.

KERANGKA TEORI

1. Konsep Collaborative Governance

Pemerintah tidak hanya mengandalkan pada kapasistas internal yang dimiliki dalam penerapan sebuah kebijakan dan pelakasanaan program.

Keterbatasan kemampuan, sumberdaya maupun jaringan yang menjadi faktor pendukung terlaksananya suatu program atau kebijakan, mendorong pemerintah

(9)

1054 untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan sesama pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat dan komunitas masyarakat sipil sehingga dapat terjalin kerjasama kolaboratif dalam mencapai tujuan program atau kebijakan. (Purwanti, 2016:174).

Secara umum dijelaskan bahwa Collaborative Governance merupakan sebuah proses yang di dalamnya melibatkan berbagai stakeholder yang terkait untuk mengusung kepentingan masing-masing instansi dalam mencapai tujuan bersama. (Cordery, 2004;Hartman et al.,2002). Berbeda halnya dengan definisi Collaborative Governance yang dijelaskan Agrawal dan Lemos (2007) (dalam Balogh, S, dkk, 2011:3) menjelaskan definisi Collaborative Governance tidak hanya berbatas pada stakeholder yang terdiri dari pemerintah dan non pemerintah tetapi juga terbentuk atas adanya “multiparnert governance” yang meliputi sektor privat, masyarakat dan komunitas sipil dan terbangun atas sinergi peran stakeholder dan penyusunan rencana yang bersifat hybrid seperti halnya kerjasama publik-privat dan privat-sosial

Ansell & Gash (2007) (dlam Setyoko 2011 : 15) berpendapat bahwa Collaborative Governance merupakan pengelolaan dari pemerintah yang melibatkan pihak terkait yang menitikberatkan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan yang nantinya bertujuan sebagai pedoman untuk melaksanakan segala kebijakan publik maupun program – program publik.

Collaborative Governance ini lebih berfokus pada kebijakan publik dan masalah publik. Dimana suatu Institusi publik akan selalu menitikberatkan dalam proses pembuatan kebijakan, pembuatan tujuan serta dalam proses kolaborari demi tercapainya derajat konsesus diantara pihak yang terlibat. Dalam setyoko 2011 : 16, Collaborative Governance sangat berkemauan untuk mewujudkan keadilan sosial demi terpenuhinya kepentingan bagi publik.

Menurut O’Leary dan Bingham (dalam Sudarmo 2015 : 195) menyebutkan bahwa Kolaborasi merupakan suatu konsep yang menggambarkan tentang bagaimana proses dari fasilitasi dan pelaksanaan yang ada didalamnya melibatkan pihak - pihak diluar organisasi terkait untuk memecahkan persoalan yang tidak dipecahkan oleh sebuah organisasi secara sendirian. Pendapat dari O’Leary dan Bingham didukung oleh pernyataan dari Bardach dalam Sudarmo (2015 : 195)

(10)

1055 bahwa kolaborasi adalah bagian dari suatu bentuk kegiatan atau aktivitas bersama yang dilakoni oleh dua institusi ataupun lebih didalamnya dilakukan kerjasama guna mencapai dan meningkatkan nilai umun daripada bekerja sendiri-sendiri.

Sedangkan, Collaborative Governance didefinisikan oleh Robertsoon dan Choi (2010 : 10) sebagai suatu proses kolektif dimana setiap pihak yang terlibat didalamnya harus memilki otoritas didalam pengambilan keputusan serta pihak yang terlibat memiliki kesempatan yang sama untuk mereflesikan aspirasinya dalam proses tersebut. Bovaird dalam Dwiyanto (2011 : 252) menyebutkan bahwa Kemitraan pemerintah dan swasta sebagai pengaturan terhadap perkerjaan yang didasari oleh komitmen yang ada timbal baliknya, melebihi dan diatas yang kemudian diatur dalam setiap kontrak yang telah disetujui sebelumnya oleh satu organisasi sektor publik dengan organisasi lain yang ada diluar sektor publik.

Kemitraan ini merupakan suatu proses yang didalamnya melibatkan suatu bentuk kerjasama.

Selanjutnya, beberapa Manfaat diadakannya kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah yakni, Pertama, Pemerintah dalam segi biaya untuk penyelenggaraan pelayanan publik akan lebih hemat jika melakukan kolaborasi dengan pihak lain.

Kedua, Dapat mengurangi tingkat persaingan dalam menggunakan sumber daya.

Ketiga, Untuk akses terhadap relawan dan sumber daya yang lain dapat meningkat dengan dilakukannya kolaborasi. Menurut Temuan Slesly dan Parker, Gazley dan Brudney (dalam Dwiyanto 2011 : 275-281), sekitar 65% pihak eksekutif berasal dari kelompok masyarakat sipil berpendapat bahwasannya dalam proses pelaksanaan kemitraan manfaat yang didapati ialah mereka dapat menghemat pengeluaran untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Tak hanya itu, kemitraan pun dapat meningkatkan tingkat kepercayaan antara pihak – puhak yang terlibat dikemitraan. Pemerintahan disektor publik sebagai salah satu yang terlibat dalam proses kemitraan akan merasakan kepercayaan terhadap mitranya itu berasal dari masyarakat sipil akan menjadi lebih tinggi apabila mereka melakukan kolaborasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik

Yang mendorong atau menjadi alasan dalam dilakukannya sebuah kolaborasi menurut McGuire dalam Sudarmo (20155 : 205) adalah sebagai berikut:

(11)

1056 a. Terjadinya perubahan dalam hal ketersediaan sumber informasi yang mendorong kebutuhan dari struktur – struktur yang lebih adaptif dan dapat mengalir sehingga memungkinkan orang – orang lebih mudah dalam bekerja melalui lintas batas dari suatu organisasi.

b. Masalah yang selalu bersifat kompleks baik dari segi lingkungan, Kemiskinan, Kesehatan, Bencana Alam yang tidak dapat ditangani secara cepat dan efektif melalui birokrasi cara tradisional.

c. Warga negara memiliki harapan untuk tersedianya banyak pilihan dalam pelayanan.

2. Pengembangan desa Wisata

Pengembangan potensi desa merupakan kekuatan, daya, kesanggupan, serta kemampuan desa yang memiliki kemungkinan di dalamnya untuk bisa dikembangkan kedepannya. Oleh sebab itu, potensi desa adalah kekuatan, kesanggupan, daya, dan kemampuan yang dimiliki oleh suatu desa yang memiliki kemungkinan untuk dapat dikembangkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya (Ahmad Sholeh, 2017 :36). Pengembangan desa wisata merupakan salah satu bagian dari penyelenggaraan pariwisata yang mana langsung berhubungan dengan pelayanan. Dalam pengembangan tentu saja dibutuhkannya kerjasama dengan berbagai pihak penyelenggara pariwisata baik dari pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Raharjana (2012) berpendapat bahwa Sangat penting melibatkan masyarakat sebagai salah satu upaya untuk pembangunan tempat pariwisata. Hal ini dikarenakan dengan adanya keterlibatan masyarakat pembangunan akan terselenggara dengan mudah karena pihak satu dengan yang lain saling mendukung. Dalam pariwisata yang berbasis pedesaan haruslah dilandasi dengan perencanaan yang matang karena apabila tidak akan mengakibatkan munculnya hal negatif yang akan mengancam keberlanjutan sumber daya di kawasan pedesaan tersebut. Setiap daerah pedesaan tentu saja memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing baik itu panorama yang indah, lingkungan yang alami, potensi alam, maupun pola hidup atau budaya dari masyarakat itu tersendiri dari kesekian banyak keunikan inilah yang menjadi alternative untuk memberikan pengalaman serta daya tari tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung (Raharjana,2012).

(12)

1057 Dalam perkembangan otonomi daerah, penerapan pengembangan desa wisata ini sudah banyak dilakukan di Indonesia. Dalam penerapannya, pemerintah pusat semakin memperhatikan dan menekankan pembangunan kepada masyarakat disuatu desa, pemerintah pun mewujudkan peran aktif dari masyarakat untuk turut serta bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai warga desa. Adapun prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenasi desa adalah partisipasi, otonomi asli, keanekaragaman, demokratisasi, seta pemberdayaan masyarakat (Nuryasin, 2010). Peran masyarakat sebagai warga desa memang sangat penting untuk dibutuhkan karena dengan adanya peranan masyarakat pengembangan desa wisata akan lebih mudah untuk diwujudkan.

Dukungan dari masyarakat akan mudah didapatkan apabila segala kebutuhan masyarakat dipenuhi dan masyarakat menilai bahwa dirinya dapat mengambil dan menerima keuntungan maka hal ini akan menjadi salah satu alasan mengapa mereka bisa berpartisipasi. Raharjana (2012), mengatakan bahwa peran masyarakat setempat dalam pengembangan pariwisata harus sangat dikembangkan dan ditempatkan sebagai bagian yang terintegrasi. Dilanjutkan pula oleh Raharjana (2012) salah satu bentuk keterlibatan masyarakat adalah dengan menyediakan fasilitas akomodasi baik berupa sebagai pemandu wisata (tour guide), penyedia transportasi, rumah – rumah tinggal penduduk (homestay), logistic, pertunjukan seni dan lain sebagainya.

Tujuan dari adanya pengembangan potensi desa secara umum adalah untuk mendorong terwujudnya kemandirian masyarakat desa melalui pengembangan potensi unggulan yang sesuai dengan masing-masing desa dan penguatan kelembagaan serta pemberdayaan dari masyarakat itu sendiri. Adapun tujuan yang secara khusus yaitu:

1. Meningkatkan peran aktif dari masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan yang dilakukan secara terbuka, demokratis dan tidak lupa dengan bertanggung jawab.

2. Mengembangkan kemampuan usaha dan peluang dari usaha demi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga yang mengalami kemiskinan.

(13)

1058 3. Membentuk dan mengoptimalkan dari fungsi peran unit pengelola keuangan dan usaha sebagai lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan.

4. Membentuk, memfasilitasi, serta memberikan pembinaan aspek kelembagaan dan pengembangan usaha.

5. Mengembangkan potensi ekonomi unggulan yang dimiliki Oleh desa yang juga disesuaikan dengan karakteristik tipologi dari desa itu sendiri.

6. Mendorong terwujdnya keterpaduan peran dan proses kemitraan antara pihak yang terkait sebagai pelaku dalam suatu program yang direncanakan.

7. Rendahnya produktivitas dari masyarakat desa.

8. Kurangnya aksesibiltas di daerah tertinggal terhadap pusat pertumbuhan wilayah belum memenuhi stadar pelayanan minimum.

3. Penataan Ruang

Penataan ruang menjadi konsep yang penting dalam kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk Menciptakan tata ruang yang sesuai dengan peruntukanya sehingga didalamnya diperlukan penataan ruang dalam setiap kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Penataan Ruang dalam Pasal 1 adalah ruang merupakan wadah yang meliputi ruang darat, laut, dan udara, termasuk juga ruang didalam bumi sebagai suatu kesatuan wilaah, tempat manusia dan makhluk hidup melaksanakan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang.

Kartasasmita berpendapat bahwa Penataan Ruang secara umum berarti merupakan suatu proses yang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang masing – masing proses tersebut harus berhubungan satu sama lain. Sedangkan menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 1, Penataan ruang merupakan suatu system proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan juga pengendalian pemanfaatan ruang.

Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi didalamnya adalah pengaturan, pelaksanaan, pembinaan, serta pengawasan penataan ruang.

Dalam Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (disingkat UUPR), dijelaskan bahwa ruang terdiri dari ruang wilayah dan ruang

(14)

1059 kawasan. Dalam Pasal 1 butir 17 UUPR Pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta seluruh unsur baik terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

Sedangkan pengertian kawasan dalam Pasal 1 butir 20 UUPR adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Dalam Pasal 1 butir 5 UUPR dijelaskan bahwa penataan ruang merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang. Dari ketiga proses tersebut merupakan satu kesatuan yang mana tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) dijelaskan bahwa yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional mencakup ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk yang ada didalam bumi sebagai satu kesatuan.

Dalam penataan ruang, adanya pendekatan mengenai kegiatan utama kawasan yang terdiri dari penataan ruang terhadap kawasan perkotaan dan penataan ruang terhadap kawasan pedesaan. Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau pada kawasan yang secara fungsional memiliki ciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa kawasan agropolitan.

Asas dari penataan ruang yang sudah disebutkan diatas merupakan dan menjadi kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menyelenggarakan penataan ruang nasional. Selain dari asas penataan ruang terdapat juga tujuan dari penataan ruang yaitu untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan pastinya berkelanjutan berlandaskan wawasam nusantara dan ketahanan nasional dengan :

1. Terwujudnya kehamornisan antara lingkungan alam dengan lingkungan buatan.

2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan masih memperhatikan sumber daya manusianya.

3. Terwujudnya perlindungan fungsi dari ruang dan pencegahan dampak negatif dari lingkungan akibat pemanfaatan ruang yang baru.

4. Revolusi Industri 4.0

(15)

1060 Menurut Kagermann dkk (2011) Industri 4.0 lahir di Jerman saat diadakannya Hannover Fair pada tahun tahun 2011. Negara Jerman sangat memiliki kepentingan besar terkait hal ini dikarenakan era Industri 4.0 ini menjadi salah satu bagian dari kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020. Dalam kebijakan tersebut memiliki tujuan untuk mempertahankan Jerman agar selalu menjadi negara yang terdepan dalam dunia bidang Manufaktur (Heng,2013). Ada beberapa negara lain yang juga turut serta untuk mewujudkan konsep industri 4.0 akan tetapi bedanya negara lain menggunakan istilah yang berbeda seperti Industrial Internet of Things, Advanced Manufacturing, Smart Industry, dan Smart Factories. Meskipun memiliki istilah yang berbeda ditiap negaranya, tujuan yang dimiliki tetaplah sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri ditiap negara dalam menghadapi persaingan pasar global yang berjalan sangat dinamis. Kondisi ini muncul diakibatkan karena pesatnya perkembangan pemanfaatan teknologi digital di berbagai bidang.

Industri 4.0 ini dinilai sangat berpotensi memiliki manfaat yang besar.

Sebagian berpendapat bahwa potensi manfaat industri 4.0 adalah mengenai perbaikan tentang kecepatan fleksibitas produksi, peningkatan layanan kepada pelanggan dan peningkatan pendapat. Apabila potensi manfaat ini terwujud dengan baik maka hal ini akan memberi dampak positif terhadap tingkat perekonomian suatu negara. Industri 4.0 ini sangat banyak menawarkan manfaat, namun disisi lain pula banyak tantangan yang harus dihadapi. Drath dan Horch (2014) berpendapat bahwa tantangan yang harus dihadapi ketika suatu negara menerapkan Industri 4.0 adalah Pertama, munculnya resistensi terhadap perubahan demografi dan pada aspek sosial. Kedua, terjadinya Ketidakstabilan kondisi politik. Ketiga, Sumber Daya akan semakin terbatas. Keempat, Berisiko akan terjadinya bencana alam dan Kelima, Tuntutan penerapan teknologi yang ramah lingkungan.

Menurut Jian Qin dkk (2016), Kesenjangan cukup luas akan didapati dari sisi teknologi baik antara kondisi dunia Industri saat ini maupun dengan kondisi yang diharapkan dari Industri 4.0. Dalam Penelitian yang dilakukan oleh Balasingham (2016) menunjukkan bahwa aka nada faktor keengganan dari perusahaan dalam menerapkan Industri 4.0 hal ini dikarenakan perusahaan khawatir apabila manfaat yang didapatkan tidak pasti. Berdasarkan pada beberapa

(16)

1061 penjabaran diatas maka Zhou dkk (2015) menyimpulkan bahwa secara umum akan ada lima tantangan besar yang harus dihadapi apabila Industri 4.0 diterapkan yakni pada aspek pengetahuan, aspek teknologi, aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek politik. Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional (Angela Merkel,2014). Schlechtendahl dkk (2015) menekankan definisi kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu sebuah lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu dengan yang lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Di Era Revolusi Industri 4.0 ini, arah pembangunan secara bertahap akan cenderung mengarah ke Industri dan Digitalisasi. Penggunaan teknologi akan semakin berkembang pesat. Digitalisasi teknologi akan diterapkan di berbagai macam aspek kehidupan yang bertujuan untuk mempermudah keberlangsungan hidup manusia. Kemudian, dengan pembangunan yang mengarah cenderung ke Industri menyebabkan Pembangunan lahan industri akan semakin merajalela sejalan dengan perkembangan zaman. Banyak Lahan kosong yang dialihfungsikan menjadi lahan Industri. namun, tidak menutup kemungkinan pula Lahan pertanian dan lahan lainnya akan menjadi korban penggusuran untuk Pembangunan Industri.

Akibat dari pembangunan Industri ini menyebabkan ketidakseimbangan tata ruang karena lahan pertanian akan tergerus, Kapasitas Ruang terbuka hijau akan berkurang dan dampak buruk lainnya. Maka hal ini, menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggaraan pemerintahan di Era Revolusi 4.0 dalam aspek penataan ruang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, cara atau solusi yang dapat dilakukan agar terjadinya keseimbangan penataan ruang ialah dengan didirikannya Café Sawah Pujonkidul.

Café Sawah Pujonkidul merupakan salah satu contoh dari Penataan Ruang yang dijadikan pengembangan desa wisata. Dalam konsep penataannya, Café ini memanfaatkan hamparan Lahan milik Desa seluas sekitar 8.000 meter yang dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas dengan memadukan keindahan alam lainnya berupa pemandangan pegunungan. Diera sekarang ini, pembangunan Café memang sudah sangat merajalela karena merupakan salah satu konsep usaha yang

(17)

1062 menjanjikan dan banyak digemari oleh para kaum millennial. Dalam pembangunannya, Café Sawah Pujonkidul ini tidak kalah menarik dibandingkan Café Modern lain. Karena Konsep pembangunan Café Sawah Pujinkidul menggabungkan antara konsep Café modern dengan konsep bernuansa alam ditengah persawahan. Sehingga jika dikaitkan dengan penataan ruang, perpaduan antara tata ruang dan Revolusi Industri 4.0 tetap ada dimana pembangunan Café ini tidak menggerus lahan pertanian dan tetap mengikuti perkembangan zaman dengan konsep Industri Café modern. Sehingga kedua hal ini saling mendapatkan keuntungan satu sama lain. Di era Revolusi 4.0 inipun, Cafe Sawah Pujonkidul telah menerapkan pemanfaatan teknologi dibidang Promosi Wisata dan Potensi Desa melalui berbagai macam Sosial Media seperti Instagram, Web (https://www.sie.pujonkidul. desa.id/paketwisata.php) dalam hal ini bertujuan untuk mengenalkan Wisata dan sebagai bentuk Promosi Desa Pujonkidul.

Café Sawah mulai beroperasi pada 11 Oktober 2016 dan diresmikan pada 12 Maret 2017. Didirikannya Café Sawah ini merupakan inisiatif tersendiri dari Desa Pujonkidul dimana bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di sekitar desa dan dapat menjadi wadah bagi para masyarakat terutama pemuda untuk berkreasi dan berinovasi. Tidak hanya itu, tujuan dibentuknya Café ini agar mendukung pariwisata yang ada didesa pujonkidul. Terbentuknya Café Sawah ini pun dikarenakan adanya gagasan ataupun keinginan dari Masyarakat desa itu sendiri yang kemudian didukung oleh berbagai macam faktor baik itu kondisi geografis maupun faktor lainnya. Masyarakat melihat dengan kondisi geografis yang mendukung maka tidak menutup kemungkinan pembentukan Café Sawah Pujon ini dijadikan motivasi untuk Pengembangan Desa dalam penataan ruang di Kabupaten Malang.

Café Sawah inipun terbentuk dikarenakan sebagai bentuk pengimplementasian Visi dan misi Kepala Desa yang selaras dengan Visi Misi Kabupaten mengenai Pengembangan Desa Wisata. Dalam Pembentukan Café Sawah Pujonkidul ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh Collaborative Governance. Seperti yang kita tahu, Collaborative Governance tidak hanya sebatas kolaborasi peran pemerintah dengan non pemerintah saja namun juga banyak keterlibatan peran lain baik dengan stakeholders, masyarakat, pihak swasta dan lain

(18)

1063 sebagainya. Dalam penelitian ini, Collaborative Governance sangat memberikan pengaruh terhadap pengembangan desa wisata. Dimana dengan konsep Collaborative Governance ini memberikan peluang secara terbuka kepada pihak- pihak lain untuk terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pengembangan desa wisata. Maka, dalam penelitian ini ada beberapa pihak yang terlibat dalam manajemen penataan ruang di Café Sawah Pujonkidul Kabupaten Malang, sebagai berikut :

Pertama, Dinas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Malang. Bappeda sebagai dinas yang memiliki tugas dan fungsi dalam perencanaan pembangunan daerah tentu saja sangat berperan penting dalam pembangunan Café Sawah Pujon. Dimana Bappeda berperan sebagai penyusun rencana, perumusan kebijakan teknis, dan pengalokasian anggaran kepada dinas-dinas terkait. Bappeda berperan Sebagai penyusun rencana yang mana segala rencana pembangunan daerah baik pembangunan jangka panjang maupun jangka pendek akan dibahas ditahap ini. Penyusunan Rencana memuat Visi, Misi, tujuan, program, strategi, kebijakan dan kegiatan pembangunan pada masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Dalam pembangunan café sawah pujon ini, sistem perencanaan pembangunannya dilakukan dengan pendekatan Bottom up – Top Down yang berarti perencanaannya dilakukan menurut jenjang pemerintahan dari bawah keatas. Kemudian, Bappeda berperan dalam Pengalokasian anggaran. Dimana Bappeda akan memberikan persetujuan anggaran kepada Dinas – dinas lain yang terlibat dalam pembangunan café sawah pujon.

Dalam memberikan persetujuan pembangunan dan pengalokasian anggaran, Bappeda harus memperhatikan Rencana Pembangunan Daerah. Dan dalam pembangunan, Bappeda harus memperhatikan RTRW agar pembangunan tersebut sesuai dengan peruntukkannya. Maka dari itu, pembangunan harus melibatkan dinas – dinas atau instansi terkait.

Kedua, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang. Peran Dinas Pariwisata mulai dari Pertama, Pengembangan dalam Industri Pariwisata.

Kedua, Pengembangan dalam Destinasi Pariwisata. Ketiga, Pemasaran dan Promosi Pariwisata dan Keempat, Pengembangan Sumber Daya Pariwisata. Dalam Pengembangan Industri, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menetapkan Pujon

(19)

1064 sebagai Desa Wisata yang mana tiap desa harus memiliki inovasi tersendiri untuk menggali potensi wisata dan meningkatkan perekenomian masyarakat didesanya.

Untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di desa Pujon, maka harus ada pengembangan industri pariwisata agar dapat mengurangi tingkat pengangguran.

Salah satunya dengan adanya Café sawah. Pengembangan industri yang dilakukan dengan menyediakan lahan untuk usaha disekitar objek wisata Café Sawah yang mana nantinya Usaha tersebut akan dikelola oleh masyarakat sekitar objek wisata.

Hal ini dapat berdampak pada meningkatnya perekonomian masyarakat, serta mengurangi pengangguran di Desa Pujon Kidul.

Selanjutnya peran Pengembangan Destinasi Pariwisata, dalam peran ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan melakukan Perbaikan dan pembangunan prasarana dan sarana yang ada di Café Sawah baik itu wahana, fasilitas umum hingga sarana transportasi. Peran Ketiga ialah Pemasaran dan Promosi Pariwisata, dalam peran ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mempromosikan pariwisata Café Sawah melalui saluran Pemasaran dan iklan yang kreatif dan efektif. Promosi yang dilakukan dapat berbasis teknologi, informasi maupun komunikasi dan dalam mempromosikannya harus dilakukan semenarik mungkin agar meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang berkerja sama dengan pihak media sosial untuk mempromosikan pariwisata di Kabupaten Malang. Media sosialnya dapat melalui akun Facebook ataupun Instagram.

Kemudian Peran Dinas Pariwisata dalam mengembangkan Sumber Daya Pariwisata. Di Café Sawah ini, Sumber Daya Pariwisatanya dilakukan dengan meningkatkan mutu pelayanan dan kualitas pariwisata. Salah satu usaha yang terus dilakukan oleh pengelola objek wisata Cafe Sawah dalam mengembangkan sumber daya manusia adalah terus memotivasi pegawai yang bekerja di objek wisata agar memiliki semangat dalam mengembangkan pariwisata. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya pertemuan rutin setiap dua minggu sekali bagi seluruh pegawai Cafe Sawah untuk melakukan evaluasi.

Ketiga, Kepala Desa. Sebagai pemimpin desa, dalam pembangunan pedesaan ataupun pengembangan desa tidak luput dari Visi Misi Kepala Desa itu sendiri yang selaras dengan Visi Misi Kabupaten Malang. Visi Misi ini merupakan

(20)

1065 cerminan tujuan politik dalam lima tahun kedepan. Maka, pemerintah desa dan pemerintah daerah harus memiliki komitmen yang teguh dan konsisten dalam melakukan pembangunan di Pedesaan. Karena hal ini akan memberikan pengaruh terhadap implementasi tata ruang dan wilayah yang ada didaerah tersebut. Oleh sebab itu, sebagai pemimpin, Kepala desa sangat mempengaruhi pembangunan pedesaan atupun pengembangan desa. Selain itu, kepala desa harus mengidentifikasi dan melakukan maping potensi dan regulasi yang ada di desa tersebut untuk dimaksimalkan.

Keempat, Masyarakat. Masyarakat merupakan ujung tombak dari adanya pengembangan desa wisata di Pujonkidul ini. Masyarakat berperan sebagai Pencetus Ide dan gagasan untuk pengembangan desa wisata Pujonkidul. Ide ini dicetuskan oleh warga desa yang telah mengenyam pendidikan tinggi diberbagai jurusan dimana mereka menyumbangkan pemikiran untuk pembangunan desa. Ide masyarakat ini didorong pula dengan berbagai faktor baik dari kondisi geografis wilayah yang sangat strategis dan untuk mendukung terselenggaranya Visi Misi dari Kepala Desa dan Pemerintah Kabupaten Malang. Ide masyarakat ini dinilai dapat menjadi solusi untuk mengentaskan berbagai macam persoalan yang ada di Desa Pujonkidul seperti tingginya tingkat penggangguran, tingginya angka kemiskinan dan lain sebagainya. keterlibatan lain dari masyarakat ialah memberikan partisipasi tenaga fisik, secara bergotong-royong dan tolong menolong masyarakat membantu dalam pembangunan fasilitas atau infrastruktur pengembangan desa wisata. Keterlibatan masyarakat pada kenyataannya tidak hanya sekadar sebagai faktor untuk mendorong penguatan kapasitas masyarakat lokal saja akan tetapi lebih dari itu sebagai mekanisme untuk meningkatkan proses pemberdayaan pada masyarakat dalam hal ini untuk mengembangkan objek wisata yang ada secara bersama – sama.

Dari keterlibatan beberapa pihak tersebut, dalam pengembangan dan pembangunan di Desa memang penting adanya kolaborasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa maupun dari masyarakat desa itu sendiri melalui sebuah konsesus. Kolaborasi antar pihak ini dapat dimulai dari perencanaan pembangunan, pelaksanaan, pencetus ide, ataupun dalam tahap evaluasi pembangunan. Karena masing-masing pihak peran

(21)

1066 dan tugas yang berbeda.Pihak-pihak yang terlibat harus saling mendukung satu sama lain demi mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama disini dimaksudkan pembangunan berjalan dengan tepat sasaran dan tepat guna. Sehingga penyelenggaraan pemerintah dapat terselenggara dengan baik. Namun, Jika pihak yang terlibat hanya mementingkan ‘ego sektoral’ dimana hanya mementingkan keuntungan untuk kelompok pihaknya sendiri. Ini akan berakibat buruk terhadap proses pembangunan maupun pada penyelenggaraan pemerintahan dan juga akan memberikan pengaruh terhadap pengimplementasian tata ruang dan wilayah yang ada disuatu daerah.

Selanjutnya, terbentuknya Café Sawah Pujonkidul ini sangat memberikan dampak positif kepada Desa Pujonkidul. Ada beberapa dampak positif yang diperoleh yakni Pertama, Meningkatkan Pendapatan Desa. Café Sawah Pujonkidul Sebagai salah satu inovasi Pengembangan Desa Wisata yang masih tergolong baru tentu saja minat pengunjung atau wisatawan baik dari Malang Raya maupun dari Luar Malang Raya masih sangat tinggi. Hal ini akan berdampak baik pada penghasilan Café Sawah. Dari Penghasilan inilah yang berperan penting bagi Desa Pujonkidul dalam meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes) karena menjadi salah satu penggerak untuk BUMDes. Café Sawah Pujonkidul ini memberikan kontribusi hasilnya sebesar 60% kepada BUMDes dan 40% untuk pengembangan café itu sendiri. Maka dari itu, agar Pendapatan Desa semakin tinggi dibutuhkan kerjasama antara Collaborative Governance dan berbagai macam pihak terlibat untuk bersinergi menarik minat pengunjung.

Kedua, Membuka Peluang Ekonomi Bagi Masyarakat Desa. Dengan keberadaan Café Sawah Pujonkidul ini menjadi peluang tersendiri untuk membuka usaha bagi masyarakat melalui daya Tarik wisata. Masyarakat menjadi mampu untuk memanfaatkan peluang yang ada baik untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) maupun dalam menciptakan inovasi baru dalam jenis usaha maupun kuliner. Pada faktanya, Keberhasilan café sawah ini sangat berdampak bagi masyarakat. Karena para pelaku usaha yang memiliki hasil pertanian dapat melakukan inovasi berbisnis di area Café Sawah dengan mendaptkan keuntungan yang sangat besar. 80% masyarakat yang memiliki lahan pertanian di area Café Sawah dapat memanfaatkan lahannya sebagai ladang bisnis dengan menyewakan

(22)

1067 kepada masyarakat lain yang ingin membuka usaha. Tentu saja peluang ekonomi masyarakat akan semakin terbuka lebar dan taraf ekonomi masyarakat akan semakin meningkat.

Ketiga, Dapat Mengentaskan Kemiskinan. Berdirinya Safe Sawah ini salah satu tujuannya untuk membantu penyelenggaraan Visi Misi Kepala Desa yakni mengentaskan kemiskinan. Seperti yang kita tahu, Kemiskinan menjadi salah satu persoalan yang selalu ada disetiap daerah salah satunya di Desa Pujonkidul ini.

Sebelum adanya Café Sawah ini, tingkat kemiskinan di Desa Pujonkidul masih tergolong tinggi. Namun, setelah adanya Café ini tingkat kemiskinan semakin berkurang. Dikarenakan Café Sawah ini berhasil memberikan kesempatan kepada para masyarakat untuk mengembangkan diri keluar dari jeratan kemiskinan, dengan adanya Café Sawah jumlah penduduk yang mau untuk berkerja atau memiliki penghasilan meningkat.Tentu saja dengan adanya Café ini membantu pemerintah dalam Mengentaskan Kemiskinan di Desa Pujonkidul. Sehingga hal ini berdampak pada menurunnya tingkat kemiskinan di Desa Pujonkidul.

Keempat, Penyerapan Tenaga Kerja. Sebelum adanya Café Sawah tingkat Penggangguran di Desa Pujonkidul tergolong cukup tinggi. Hadirnya penggangguran berasal dari berbagai macam golongan mulai dari Rumah Tangga Miskin, Anak Putus Sekolah, dan lain sebagiannya. Kemudian, Café Sawah hadir sebagai solusi untuk mengurangi tingkat penggangguran di Desa Pujonkidul. Hal ini dikarenakan adanya kerjasama antara Pemerintah desa dengan masyarakat dalam mengelola potensi yang ada di desa tersebut untuk menciptakan Lapangan Kerja baru. Dalam penyerapan tenaga kerja di Café Sawah ini ada 94 orang yang menjadi tenaga kerja. Jumlah penyerapan tenaga kerjanya itu berasal dari 60%

Rumah Tangga Miskin, Putus Sekolah, Penggangguran dan 40% Tenaga ahli. Tak hanya memperoleh dampak positif saja, melainkan pula ada dampak negatif yang diperoleh yakni Masyarakat yang memiliki lahan pertanian disekitar area Café Sawah Pujonkidul yang notabene bekerja sebagai petani merasa terganggu aktivitasnya dengan banyaknya Jumlah pengunjung pada hari Sabtu dan Minggu hal ini dikarenakan Akses jalan yang dilalui oleh petani yang hendak ke sawah dan pengunjung yang hendak ke Café Sawah melalui jalan yang sama. Kemudian,

(23)

1068 disepanjang jalan area Café Sawah Pujonkidul seringkali mengalami kemacetan pada hari libur.

KESIMPULAN

Dalam manajamen tata ruang di Café Sawah Pujonkidul, ada beberapa pihak yang terlibat dengan berbagai macam peranannya. Pertama, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Malang yang berperan dalam perumusan kebijakan teknis, dan pengalokasian anggaran kepada dinas-dinas terkait. Kedua, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang yang berperan mulai dari Pengembangan dalam Industri Pariwisata, Pengembangan dalam Destinasi Pariwisata, Pemasaran dan Promosi Pariwisata, maupun pengembangan Sumber Daya Pariwisata. Ketiga, Kepala Desa yang berperan sebagai pemimpin desa. Keempat, Masyarakat. Masyarakat merupakan ujung tombak dari adanya pengembangan desa wisata di Pujonkidul yang berperan sebagai Pencetus Ide dan gagasan. Adapun dampak yang diperoleh oleh masyarakat yakni Dampak positifnya ialah Membuka peluang ekonomi bagi masyarakat dan mampu mengentaskan kemiskinan. Sedangkan dampak negatifnya aktivitas petani di area sekitar Café Sawah Pujonkidul pada saat weekend terganggu dikarenakan Akses Jalan yang digunakan sama.

Dalam manajemen penataan ruang di Café Sawah Pujonkidul dapat dibuktikan bahwa Collaborative Governance tidak hanya sebatas kolaborasi peran pemerintah dengan non pemerintah saja akan tetapi juga banyak keterlibatan pihak lain baik dengan stakeholders, masyarakat, pihak swasta dan lain sebagainya.

Dalam penelitian ini, Collaborative Governance sangat memberikan pengaruh terhadap pengembangan desa wisata. Dimana dengan konsep Collaborative Governance ini memberikan peluang secara terbuka kepada pihak-pihak lain untuk terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pengembangan desa wisata.

Dengan banyaknya keterlibatan antar pihak dan peran dalam penataan ruang di Café Sawah Pujonkidul merupakan suatu hal yang penting. Pemerintah tidak dapat menyelenggarakan pemerintahannya secara sendiri. Perlu adanya komitmen dan konsistensi dari ketiga komponen ini baik dari pemerintah desa, pemerintah daerah dan masyarakat dalam melakukan pembangunan di pedesaan. Ketiga

(24)

1069 komponen ini harus berkerja sama secara sinergis dan mendukung satu sama lain.

Karena apabila tidak adanya dukungan dari salah satu komponen (masyarakat) maka penerapan pengembangan desa wisata tidak dapat terealisasikan dan hal ini akan memberikan pengaruh terhadap tata ruang wilayah disuatu daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Agfianto, T., Antara, M., & Suardana, I. W. (2019). Dampak Ekonomi Pengembangan Community Based Tourism Terhadap Masyarakat Lokal Di Kabupaten Malang (Studi Kasus Destinasi Wisata Cafe Sawah Pujon Kidul). Jurnal Master Pariwisata (Jumpa), 259-282.

Atmoko, T. P. H. (2014). Strategi Pengembangan Potensi Desa Wisata Brajan Kabupaten Sleman. Jurnal Media Wisata: Wahana Informasi Pariwisata, 12(2).

Fadil, T. M. (2019). Peran Cafe Sawah Dalam Pengembangan Ekonomi Desa Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Feb, 8(1).

Febrian, R. A. (2018). Collaborative Governance Dalam Pembangunan Kawasan Perdesaan (Tinjauan Konsep Dan Regulasi). Wedana: Jurnal Kajian Pemerintahan, Politik Dan Birokrasi, 2(2), 200-208.

Khanifah, Laeli, Taqwa, Iradhat, Krishno. (2020). Collaborative Governance to Increase Building Index in Economics Through Village-Owned Enterprises Sub-District Ngroto, Malang. Procidding. Proceedings of the 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics and Social Sciences (BIS-HESS 2019), 854-857, https://doi.org/10.2991/assehr.k.200529.181.

Melani, E., Afandi, A., & Indrawan, A. K. (2019). Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Desa Wisata Kafe Sawah Pujon Kidul. Jurnal PkM Pengabdian kepada Masyarakat, 2(01), 1-5.

Nusantara, R. A. (2018). Sinergi Pemerintah Desa Dan Swasta Dalam Pengembangan Desa Wisata Sebagai Upaya Peningkatan Ekonomi Masyarakat Lokal (Studi di Cafe Sawah Desa Wisata Pujon Kidul, Kabupaten Malang Jawa Timur) (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).

(25)

1070 Prabawati, I., & Meirinawati, M. (2016). Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa. Dinamika Governance: Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 6(2).

Prabowo, S. E., Hamid, D., & Prasetya, A. (2016). Analisis partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata (studi pada Desa Pujonkidul Kecamatan Pujon Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Bisnis, 33(2), 18-24.

Purwanti, N. D. (2016). Collaborative Governance (Kebijakan Publik dan Pemerintahan Kolaboratif, Isu-Isu Kontemporer). Yogyakarta: Center for Policy & Management Studies FISIPOL Universitas Gadjah Mada.

Risanti, F., & Winarni, F. (2018). Collaborative Governance Dalam Pengembangan Desa Wisata Wukirsari Di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Adinegara, 7(3), 291-302.

Romadhan, Harianti, Taqwa, Khanifah. (2020). Political Ecology Protection Spring Water in Batu. Journal of Local Government Issues, 3 (1), 75-85, DOI: https://doi.org/10.22219/logos.v3i1.11522 .

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:

Penerbit Alfabeta.

Wahidah, Syafrieyana, Sukmana, Oman. (2020). Collaboration with Pentahelix Model in Developing Kajoetangan Heritage Tourism in Malang City.

Journal of Local Government Issues, 3 (1), 1-17, DOI: https://doi.org/10.22219/logos.v3i1.10699 |

Wahyuningtias, W. A. (2019). Strategi Pengembangan Objek Wisata Cafe Sawah Di Desa Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur (Doctoral Dissertation, University Of Muhammadiyah Malang).

Referensi

Dokumen terkait