• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang Kata disabilitas berasal dari bahasa Inggris disability yang menunjukkan keadaan seseorang yang dis-able atau dapat disebut seseorang yang tidak mampu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang Kata disabilitas berasal dari bahasa Inggris disability yang menunjukkan keadaan seseorang yang dis-able atau dapat disebut seseorang yang tidak mampu."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kata disabilitas berasal dari bahasa Inggris disability yang menunjukkan keadaan seseorang yang dis-able atau dapat disebut seseorang yang tidak mampu.1 WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa disabel merupakan suatu ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan tertentu seperti orang-orang normal.2 Disabilitas merupakan suatu keadaan yang membuat kemampuan fisik ataupun mental seseorang menjadi rusak atau terbatas karena sakit atau cedera.3 Selain itu, menurut Deborah Creamer disabilitas menggambarkan ketidakmampuan seseorang dalam melakukan beberapa aktivitas sebagai konsekuensi dari kecacatan atau pelemahan.4 Disabilitas bisa terjadi kepada siapa saja dan dalam waktu kapanpun.

Banyak faktor yang dapat membuat seseorang menjadi cacat, tidak mampu, ataupun berkebutuhan khusus dalam hal ini disabilitas misalnya usia lanjut, kecelakaan, sakit penyakit, dan faktor lainnya.

Penyandang disabilitas mengalami kecacatan atau kategori disabilitas yang berbeda-beda yaitu disabilitas fisik, intelektual, mental dan sensorik.5 Selain keempat ragam atau kategori disabilitas tersebut, disabilitas ganda atau multi juga merupakan disabilitas yang dapat dialami seseorang atau individu, misalnya seseorang menyandang disabilitas fisik dan mental. Oleh karena mengalami kecacatan yang berbeda-beda, hal ini membuat para penyandang disabilitas memerlukan bantuan orang lain karena keterbatasan atau kecacatan yang dialami.

Selain itu, karena keterbatasan yang dialami muncullah berbagai stigma atau pandangan negatif dan diskriminasi yang mereka rasakan.

1 Ronald Arulangi dkk, “Dari Disabilitas ke Penebusan: Potret Pemikiran Teolog-Teolog Muda Indonesia” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 3.

2 A. Nurrochman Hidayatullah, Pranowo, “Membuka Ruang Asa dan Kesejahteraan Bagi Penyandang Disabilitas”, Jurnal PKS, Vol. 17 No. 2 (Juni 2018)

3 Frichy Ndaumanu, “Hak Penyandang Disabilitas: Antara Tanggung Jawab Dan Pelaksanaan Oleh Pemerintah Daerah”, Jurnal HAM, Vol.11 No.1 (April 2020)

4 Deborah Beth Creamer, “Disability And Christian Theology” (New York: Oxford University Press, 2009), 14.

5 Dini Widinarsih, “Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Perkembangan Istilah Dan Definisi”, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 20 No. 2 (Oktober 2019)

(2)

2

Tidak menutup kemungkinan dalam kehidupan bergereja juga hadir kaum rentan yaitu kaum disabilitas dengan ketidakmampuan atau kecacatan yang berbeda-beda. Ketidakmampuan atau kecacatan yang mereka alami juga seringkali menimbulkan pandangan buruk di masyarakat bahwa disabilitas itu sebuah kutukan atau dosa dan membuat masyarakat merasa iba karena dianggap membebani lingkungannya.6 Selain itu, adanya stigma atau pandangan negatif dan berbagai bentuk diskriminasi bahwa orang-orang yang memiliki kekurangan dan cacat merupakan orang yang berbeda dari orang yang utuh atau dapat dikatakan normal, dan juga terdapat berbagai jenis stigma salah satunya yaitu cacat tubuh (berbagai bentuk fisik kelainan bentuk).7 Pandangan dan sikap jemaat dan masyarakat juga dirasakan oleh warga jemaat disabilitas dan keluarga yaitu ada yang menerima dengan baik, tetapi ada juga yang tidak menerima seperti menghina dan mengejek.

JS mengatakan bahwa masyarakat dan jemaat selama ini menerima dengan baik, bahkan sangat sering menyapa anggota keluarganya yang disabilitas.8 Keluarga MP merasakan yang sebaliknya bahwa sejak kecil masyarakat sekitar sering mengejek dan menghina mungkin karena baru pertama kali melihat anak yang menderita hidrosefalus, tetapi dengan berjalannya waktu mereka mulai menerima dengan baik.9 Maka dari itu, gereja dan masyarakat perlu mengubah pola pikir mereka dan menerima, serta memberi tempat berkarya bersama dengan umat lainnya.10 Hal tersebut merupakan respon terhadap penyandang disabilitas dengan memperhatikan mereka sebagai manusia merdeka yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia lainnya, menggunakan cinta kasih dan sikap peduli yang diimbangi dengan perbuatan konkret kepada mereka.11 Sikap peduli, cinta kasih dan perbuatan konkret tentu harus dilakukan gereja lewat pelayanan-pelayanan terhadap warga jemaat disabilitas.

6 Endang Sri Wahyuni, “Aksesibilitas Penyandang Disabilitas pada Layanan Transportasi Publik” (Pekalongan: NEM, 2021), 1.

7 Erving Goffman, “Stigma: Notes On The Management Of Spoiled Identity” (USA:

Prentice Hall, 1963), 3-4.

8 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga JS, 11 Januari 2022, 10.10 WIT.

9 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga MP, 12 Januari 2022, 08.40 WIT.

10 Rosalina S. Lawalata, “Disabilitas Sebagai Ruang Berteologi: Sebuah Sketsa Membangun Teologi Disabilitas dalam konteks GPIB” (Yogyakarta: PT Kanisius, 2021), 1-2.

11 Dr. Ahmad Syahrus Sikti, “Altruisme Hukum: Kepedulian Terhadap Penyandang Disabilitas” (Yogyakarta: UII Press, 2019), 43-44.

(3)

3

Di jemaat GPM Bethel Ambon, ternyata hadir juga kaum disabilitas berjumlah 32 orang dengan jumlah cacat fisik sebesar 26 orang dan cacat mental berjumlah 6 orang12 yang tentu mengalami kecacatan (disabilitas) serta kategori usia yang berbeda-beda. Di dalam Program Pelayanan 2021 GPM Bethel Ambon, layanan terhadap warga jemaat berkebutuhan khusus (disabilitas) merupakan program dengan seksi Pemberdayaan Teologi dan Pembinaan Umat, dalam sub seksi Pembinaan Keluarga dan Pembinaan Pastoral. Program pelayanan terhadap warga jemaat disabilitas yaitu kunjungan dan doa oleh pendeta yang dilakukan satu kali dalam satu bulan, dan pelayanan diakonia dengan memberikan bantuan uang bagi warga jemaat disabilitas per orang per triwulan.13 Pelayanan Majelis Jemaat GPM Bethel Ambon kepada warga jemaat disabilitas dilakukan sesuai dengan program yang telah ditetapkan tersebut. Hanya saja menurut MP pelayanan biasanya dilakukan hanya menjelang Perjamuan Kudus yaitu empat kali dalam setahun, serta selama pandemi Covid sampai sekarang pelayanan rumah ditiadakan dan belum dilakukan lagi, sedangkan kondisi pandemi sudah mulai membaik.14 Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran Majelis Jemaat terhadap pentingnya pelayanan terhadap warga jemaat disabilitas terlebih semenjak pandemi pelayanan rumah belum kembali dilakukan.

Dari program pelayanan GPM Bethel terhadap warga jemaat disabilitas termasuk dalam pendampingan pastoral melihat bahwa terdapat beberapa bentuk pendampingan pastoral yaitu percakapan pastoral, percakapan dengan anggota jemaat, kunjungan, dan bentuk-bentuk lain.15 Pendampingan pastoral merupakan dua kata yaitu kata pendampingan dan pastoral yang bermakna sebuah pelayanan.

Kata pendampingan berasal dari kata kerja yang berarti mendampingi. Sedangkan, kata pastoral berasal dari kata “pastor” yang berarti gembala yang bertanggung jawab memelihara dan merawat umat gembalaannya.16 Dalam hal ini Majelis Jemaat memiliki tanggung jawab dalam melakukan pelayanan-pelayanan terhadap

12 Renstra Jemaat GPM Bethel Tahun 2021-2025

13 Himpunan Keputusan Persidangan Ke-36 Jemaat GPM Bethel Ambon Tahun 2021

14 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga MP, 12 Januari 2022, 08.40 WIT.

15 Stimson Hutagalung, “Pendampingan Pastoral: Teori dan Praktik” (Yayasan Kita Menulis, 2021), 5-8.

16 Stimson Hutagalung, “Pendampingan Pastoral: Teori dan Praktik” (Yayasan Kita Menulis, 2021), 2.

(4)

4

warga jemaatnya termasuk kepada warga jemaat disabilitas. Clinebell menjelaskan bahwa pendampingan pastoral adalah suatu pelayanan yang dilakukan gereja dalam menolong dan menyembuhkan baik individu maupun kelompok, sehingga dapat mengalami pertumbuhan dalam proses kehidupan dalam masyarakat.17 Pendampingan pastoral memiliki beberapa fungsi yang ingin dicapai sebagai tujuan dalam menolong orang lain antara lain fungsi membimbing, fungsi mendamaikan atau memperbaiki hubungan, fungsi menopang atau menyokong, fungsi menyembuhkan, fungsi mengasuh, dan fungsi mengutuhkan.18 Pendampingan pastoral tumbuh dari kepedulian terhadap sesama yang berada dalam krisis dengan saling peduli dan memberi ruang untuk bertumbuh.19 Selain itu, sebagai orang percaya kita semua memiliki tugas penggembalaan untuk mewujudkan kasih, perhatian dan kepedulian kepada orang-orang yang berada dalam pergumulan20 termasuk kepada mereka yang mengalami disabilitas.

Pelayanan pastoral yang dilakukan bagi jemaat disabilitas dapat bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat mereka agar keberadaan dan kehidupan mereka dapat diterima dan diakui dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.21 Dalam pelayanan pastoral terdapat jenis yang lebih mengutamakan pemberitaan Firman dalam bentuk nasihat, kesaksian, petunjuk dan lain sebagainya. Selain itu, terdapat jenis yang lebih mengutamakan pemberian bantuan dan juga jenis pelayanan yang melakukan keduanya yaitu pemberitaan Firman dan pemberian bantuan dalam pelayanannya.22 Pelayanan pastoral terhadap warga jemaat disabilitas dan keluarga dapat dilakukan dengan jenis mengkombinasikan pelayanan pemberitaan Firman dan pemberian bantuan karena hal ini menjadi salah

17 J. D. Engel, “Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 2.

18 Aart Van Beek, “Pendampingan Pastoral” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 13-15.

19 Totok Wiryasaputra, Rini Handayani, “Pengantar Konseling Pastoral” (AKAPI, 2012), 67.

20 J. D. Engel, "Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 3.

21 Max Lucky Tinenti dkk, “Pendampingan Pastoral Untuk Peningkatan Spiritualitas Kaum Tuna Rungu”, Jurnal Kadesi, Vol. 4 No. 1 (Desember 2021)

22 Dr. J. L. Ch. Abineno, “Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 20.

(5)

5

satu tugas gereja dalam memberikan pelayanan kepada warga jemaat disabilitas yang tentu memiliki keterbatasan.

Selain itu, pelayanan pastoral sangat penting untuk dikembangkan dan dilaksanakan gereja juga bagi kaum disabilitas.23 Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan gereja sering tidak realistis dalam melihat kaum disabilitas dan tidak menyediakan ruang bagi kaum ini untuk mengembangkan diri, sehingga hal ini menjadi sebuah kepincangan dalam gereja.24 Gereja juga tidak memberikan pelayanan khusus kepada warga jemaat disabilitas karena jumlah warga jemaat disabilitas yang tergolong sedikit, sehingga pelayanan lebih dipusatkan kepada warga jemaat yang ‘normal’ ataupun pelayanan yang dilakukan tidak ada perbedaan khusus antara warga jemaat non-disabilitas dan disabilitas. Padahal warga jemaat disabilitas yang memiliki kecacatan yang berbeda-beda tentu memerlukan pelayanan yang lebih khusus. Oleh karena itu, gereja diharapkan dapat melakukan pelayanan pastoral dalam hal ini pendampingan pastoral secara optimal dan menyeluruh serta tidak melihat perbedaan karena kondisi, keadaan atau kebutuhan setiap jemaat itu berbeda-beda, termasuk juga kepada warga jemaat disabilitas, terlebih dengan adanya stigma atau pandangan negatif yang seringkali dirasakan warga disabilitas dan keluarga. Selain itu, pendampingan pastoral sebaiknya kepada juga kepada keluarga dari warga jemaat disabilitas sebagai orang terdekat yang merawat, menjaga, dan membantu aktivitas yang dilakukan setiap hari.

Terdapat beberapa penelitian terdahulu mengenai pelayanan gereja terhadap kaum disabilitas, antara lain, Imanuel Teguh Harisantoso yang menulis tentang Persepsi Jemaat Tentang Kaum Disabilitas dan Akses Mereka ke dalam Pelayanan Gereja25 di mana ternyata partisipan dalam penelitian yang dilakukan memiliki stigma atau pandangan negatif terhadap para penyandang disabilitas dan juga keterlibatan mereka dalam pelayanan sangat terbatas. Kemudian Juli Serita Br

23 Tulus Tu’u, “Dasar-Dasar Konseling Pastoral: Panduan bagi Pelayanan Konseling Gereja” (Yogyakarta: Andi, 2007), 2.

24 Daud Saleh Luji dkk, “Keberpihakan Gereja Terhadap Para Penyandang Disabilitas di Wilayah Teritori II Klasis Kupang Tengah Gereja Masehi Injili di Timor”, Journal of Pastoral Counseling, Vol.1 No.1 (Juni 2021), 17.

25 Imanuel Teguh Harisantoso, “Persepsi Jemaat Tentang Kaum Disabilitas Dan Akses Mereka Ke Dalam Pelayanan Gereja”, Visio Dei: Jurnal Teologi Kristen, Vol. 4 No. 1 (Juni 2022)

(6)

6

Sembiring dan Pardomuan Munthe yang menulis tentang Tinjauan Dogmatis Pemahaman Jemaat GBKP Simpang Awas Binjai Tentang Perjamuan Kudus Bagi Disabilitas Intelektual.26 Dalam jurnal tersebut menjelaskan tentang pemahaman dan kontribusi Gereja GBKP Simpang Awas Binjai berkaitan dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas termasuk dalam bagaimana pelayanan sakramen yaitu perjamuan kudus. Selanjutnya, dalam jurnal yang ditulis oleh Theodorus Miraji memberikan perhatian pada pandangan teologis yang berdasarkan Alkitab terhadap kaum disabilitas yang akan menjadi dasar bagi orang Kristen dan implementasi bagi gereja masa kini, sehingga gereja dapat memberikan pelayanan yang maksimal terhadap kaum disabilitas.27 Dan yang terakhir, Solmeriana Sinaga yang menulis tentang metode pembelajaran PAK yang tepat kepada anak penyandang disabilitas yaitu komunikasi, analisis tugas, instruksi langsung dan petunjuk yang mana keempat model pembelajaran tersebut juga dilakukan oleh Yesus sendiri,28 sehingga dapat menjadi sarana agar gereja dapat mengerti dan mengenal setiap karakter anak penyandang disabilitas.

Dari penjelasan di atas dapat diperhatikan bahwa penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Diperhatikan juga bahwa pendekatan-pendekatan dan kajian yang digunakan dalam tulisan-tulisan tersebut berbeda dengan yang digunakan oleh penulis. Dalam penelitian ini penulis ingin melihat bagaimana pelaksanaan pelayanan majelis jemaat terhadap warga jemaat disabilitas dengan menggunakan perspektif pendampingan pastoral. Pada tulisan- tulisan sebelumnya belum ada yang menggunakan perspektif tersebut dan subjek penelitian yang ditujukan juga berbeda dengan subjek-subjek pada tulisan-tulisan sebelumnya. Sehingga, berdasarkan latar belakang diatas, maka judul penelitian ini

26 Juli Serita Br Sembiring, Pardomuan Munthe, “Tinjauan Dogmatis Pemahaman Jemaat GBKP Simpang Awas Binjai Tentang Perjamuan Kudus Bagi Disabilitas Intelektual”, Jurnal Sabda Akademika, Vol. 1 No. 2 (Desember 2021)

27 Theodorus Miraji, “Pandangan Teologis Terhadap Kaum Disabilitas Dan

Implementasinya Bagi Gereja Masa Kini”, Sagacity Journal of Theology and Christian Education, Vol. 1 No. 2 (2021)

28 Solmeriana Sinaga, “Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) Untuk Kelompok Disabilitas Di Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) Resort Lubuk Pakam”, Regula Fidei Jurnal PAK, Vol. 4 No. 1 (Maret 2019)

(7)

7

adalah, “Pelaksanaan Pelayanan Kepada Disabilitas di GPM Jemaat Bethel Ambon dari Perspektif Pendampingan Pastoral.”

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian penulis adalah “Bagaimana pelaksanaan pelayanan kepada disabilitas di GPM Jemaat Bethel Ambon dikaji dari pendampingan pastoral?”

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pelaksanaan pelayanan kepada disabilitas di GPM Jemaat Bethel Ambon dari perspektif pendampingan pastoral.

Manfaat Penelitian Secara Teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan stimulan panduan pelayanan bagi gereja terkhusus Majelis Jemaat GPM Bethel Ambon dalam melakukan penerapan pelayanan kepada warga jemaat disabilitas agar pelayanan yang dilakukan kepada warga jemaat disabilitas dapat lebih optimal.

Secara Praktis

Menambah wawasan bagi penulis dan mempelajari lebih dalam tentang penerapan pelayanan kepada warga jemaat disabilitas dan memberikan sumbangsih pemahaman dan peningkatan peran Majelis Jemaat dalam penerapan pelayanan Majelis Jemaat kepada warga jemaat disabilitas agar lebih optimal.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan pendekatan deskriptif. Metode kualitatif memiliki manfaat dalam penulisan ini yaitu memudahkan penulis dalam melihat fakta yang terjadi di lapangan dengan berlandaskan pada teori, sehingga dapat membandingkan realitas yang terjadi di lapangan sesuai dengan teori yang digunakan apakah sudah sesuai atau tidak. Metode penelitian kualitatif disebut

(8)

8

metode interpretive karena data dari hasil penelitian lebih berkaitan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.29 Selain itu, metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah. Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut pandang partisipan. Menurut Sugiyono, pengertian penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah dimana peneliti merupakan instrumen kunci.30 Penelitian kualitatif bertujuan mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan.31 Manfaat dalam penggunaan pendekatan deskriptif yaitu mendeskripsikan keadaan yang terjadi secara nyata dan faktual dalam penulisan yang dilakukan. Penelitian dilakukan di gereja GPM Bethel Ambon. Dalam penelitian ini dideskripsikan mengenai pandangan terhadap disabilitas dan pelaksanaan pelayanan Majelis Jemaat terhadap warga jemaat disabilitas, dengan pendekatan kualitatif agar penulis dapat memahami dan mengetahui penelitian yang dilakukan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis yaitu awancara atau interview untuk memperoleh informasi yang detail mengenai segala hal yang penulis butuhkan dalam penelitian ini. Informan dalam penelitian ini adalah Majelis Jemaat yaitu KMJ (Ketua Majelis Jemaat), seorang pendeta pendamping seksi Pemberdayaan Teologi dan Pembinaan Umat, dua majelis sub seksi Pembinaan Keluarga dan Pembinaan Pastoral, lima majelis sektor yang dalam sektornya terdapat warga jemaat disabilitas, serta lima warga jemaat disabilitas atau keluarga sebagai informan kunci dalam pelayanan terhadap warga jemaat disabilitas.

Wawancara ini dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan keterangan serta pemahaman dari informan terkait dengan cara bertatap muka atau via telepon karena dengan menggunakan teknik tersebut penulis dapat

29 Dr. Sandu Siyoto, SKM., M.Kes, M. Ali Sodik, M.A, “Dasar Metodologi Penelitian”

(Yogyakarta: Literasi Media Publishing, Juni 2015), 27.

30 Dr. Sandu Siyoto, SKM., M.Kes, M. Ali Sodik , M.A, “Dasar Metodologi Penelitian”

(Yogyakarta: Literasi Media Publishing, Juni 2015), 28-30.

31 Albi Anggito, Johan Setiawan, “Metodologi Penelitian Kualitatif” (Sukabumi: CV Jejak, 2018), 16.

(9)

9

mengumpulkan informasi dari informan. Selain itu, teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling yang berarti teknik penentuan sampel yang pada awalnya berjumlah kecil, kemudian dalam proses penelitian yang dilakukan dapat membesar,32 tetapi juga dipilih secara purposive (pengambilan sampel berdasarkan informan yang menguasai informasi dari objek yang diteliti).33 Teknik ini digunakan untuk mengantisipasi apabila dalam proses penelitian yang dilakukan, penulis mengalami kekurangan informasi atau data dari informan yang telah ditentukan di awal, sehingga penulis mendapatkan informasi lebih dari informan lainnya terkait penelitian penulis.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini mencakup lima bagian yang disusun secara sistematis, terarah, dan saling melengkapi.

1. Pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

2. Landasan teori yang menjelaskan tentang teori pendampingan pastoral yaitu fungsi-fungsi pendampingan pastoral yang dikemukakan oleh Aart Van Beek dan stigma terhadap disabilitas yang dikemukakan oleh Erving Goffman.

3. Menggambarkan warga disabilitas di GPM Bethel Ambon dan hasil penelitian yaitu pandangan keluarga terhadap disabilitas, sikap jemaat dan masyarakat terhadap disabilitas, serta pandangan dan pelayanan pastoral Majelis Jemaat terhadap disabilitas.

4. Analisis tentang pandangan keluarga, sikap jemaat dan masyarakat, serta pandangan dan pelayanan Majelis Jemaat terhadap warga disabilitas dari perspektif pendampingan pastoral.

5. Penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang berisikan penemuan- penemuan yang diperoleh penulis dari penelitian, saran-saran dan rekomendasi untuk penelitian yang akan datang.

32 Mamik, “Metodologi Kualitatif” (Sidoarjo: Zifatama Publishing, 2015), 53-54.

33 Sugiyono, “Metode Penelitian Kualitatif” (Bandung: Alfabeta, 2017), 24.

(10)

10

Kajian Teori Stigma Terhadap Disabilitas dan Pendampingan Pastoral

Definisi, Ragam dan Faktor Penyebab Disabilitas

Disabilitas digambarkan oleh Deborah Creamer sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan beberapa aktivitas yang merupakan konsekuensi dari kecacatan atau pelemahan.34 Biasanya masyarakat menyebut orang-orang dengan disabilitas dengan sebutan penyandang cacat ataupun orang berkebutuhan khusus.35 Selain menyebut penyandang cacat atau berkebutuhan khusus, masyarakat biasanya menyebut disabilitas dengan sebutan “tuna” yang berarti kurang atau tidak memiliki.36 Terdapat beberapa sebutan “tuna” yaitu tunanetra (gangguan pada fungsi penglihatan), tunarungu (gangguan pendengaran), tunagrahita (permasalahan intelegensi), tunadaksa (gangguan motorik), serta tunalaras (gangguan perilaku).37 Penyebutan-penyebutan oleh masyarakat tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat membangun stigma atau pandangan negatif bahwa orang-orang dengan disabilitas itu berbeda dari masyarakat pada umumnya atau “normal” karena cacat, berkebutuhan khusus dan kurang atau tidak memiliki dalam hal ini disabilitas.

Ragam disabilitas dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, antara lain :

1. Disabilitas fisik, ditandai dengan gangguan pada fungsi gerak, seperti lumpuh layu atau kaku, paraplegia, kelumpuhan akibat stroke atau kusta, dan kekerdilan.

2. Disabilitas intelektual, ditandai dengan gangguan pada fungsi pikir karena tingkat kecerdasan atau IQ di bawah rata-rata, seperti lambat belajar, Down Syndrome dan disabilitas grahita.

34 Deborah Beth Creamer, “Disability And Christian Theology” (New York: Oxford University Press, 2009), 14.

35 Ronald Arulangi dkk, “Dari Disabilitas ke Penebusan: Potret Pemikiran Teolog-Teolog Muda Indonesia” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 3.

36 Lily Iskandar, “Ziarah Iman Bersama Disabilitas: Pelayanan Sakramental bagi Anak Berkebutuhan Khusus” (Yogyakarta: Kanisius, 2020), 11.

37 Khairun Nisa dkk, “Karakteristik Dan Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus”, Jurnal Abadimas Adi Buana, Vol. 2 No. 1 (Juli 2018)

(11)

11

3. Disabilitas mental, ditandai dengan gangguan pada fungsi pikir, emosi dan perilaku, seperti psikososial (bipolar, depresi dan gangguan kepribadian) dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial (autis dan hiperaktif).

4. Disabilitas sensorik, ditandai dengan gangguan pada salah satu fungsi dari panca indera, seperti disabilitas netra, disabilitas rungu dan disabilitas wicara. 38 Selain keempat ragam disabilitas diatas, penyandang disabilitas ganda atau multi juga merupakan salah satu ragam disabilitas di mana seseorang dapat menyandang dua atau lebih disabilitas, misalnya menyandang disabilitas fisik (lumpuh) dan intelektual (lambat belajar).

Terdapat berbagai faktor yang dapat membuat seseorang menjadi cacat, tidak mampu, berkebutuhan khusus, ataupun memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas tertentu. Dalam masalah gangguan jiwa disebabkan oleh faktor biologis seperti penyakit fisik kronis, faktor psikologis seperti misalnya pola adaptasi dan penyelesaian masalah, serta faktor sosial spiritual seperti pola relasi dan situasi krisis.39 Berat badan lahir rendah, prematuritas (usia kehamilan kurang bulan pada saat melahirkan), status paritas (jumlah kehamilan yang dialami wanita dengan setiap kehamilannya melahirkan anak yang dapat hidup), serta status usia ibu pada saat ibu memulai kehamilan40 juga menjadi faktor-faktor penyebab seseorang menyandang disabilitas. Selain faktor biologis, sosial spiritual, serta kelainan dalam kehamilan, faktor kecelakaan, sakit penyakit, dan usia pun dapat menjadi faktor yang membuat seseorang cacat atau memiliki keterbatasan.

Stigma Terhadap Disabilitas

Penyebutan atau istilah seperti cacat dan berkebutuhan khusus oleh masyarakat merupakan stigma yang dibangun oleh masyarakat terhadap orang-

38 Dr. Ahmad Syahrus Sikti, “Altruisme Hukum: Kepedulian Terhadap Penyandang Disabilitas” (Yogyakarta: UII Press, 2019), 46.

39 Yazfinedi, “Konsep, Permasalahan, Dan Solusi Penyandang Disabilitas Mental Di Indonesia”, Quantum Jurnal Ilmiah Kesejahteraan Sosial, Vol. 14 No. 26 (Juli-Desember 2018)

40 M. Dawam Rifqi Syifa dkk, “Faktor-Faktor Non Genetik yang Mempengaruhi Disabilitas Intelektual di SLB Kota Cirebon Tahun 2017 (Studi Di Sekolah Luar Biasa C Pancaran Kasih Dan Sekolah Luar Biasa C Budi Utama), Tunas Medika Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 6 No. 1 (2020), 10.

(12)

12

orang dengan disabilitas. Selain stigma atau pandangan-pandangan negatif terhadap mereka, diskriminasi juga seringkali terjadi yaitu orang-orang yang cacat dan memiliki kekurangan merupakan orang-orang yang berbeda dari orang-orang utuh atau seringkali disebut normal.41 Orang-orang dengan disabilitas seringkali dipandang sebelah mata oleh masyarakat di mana mereka dianggap sebagai orang- orang lemah yang dapat merugikan orang lain dibandingkan orang-orang yang non- disabilitas. Mereka merupakan kelompok minoritas yang biasanya sering mendapat perlakuan yang kurang baik dalam kehidupan mereka.42 Selain itu, terdapat juga berbagai pembatasan dalam masyarakat.43 Hal tersebut dapat menimbulkan rasa malu dan takut bertemu dengan orang lain karena merasa bahwa mereka atau anggota keluarganya berbeda dengan orang lain. Sejalan dengan hal itu, Goffman mengatakan bahwa orang-orang yang distigmatisasi itu merasa bahwa ketika bertemu dengan orang normal secara terang-terangan mengekspos diri mereka, sehingga timbullah rasa takut ketika berhadapan dengan orang lain.44 Dalam interaksi atau hubungan dengan orang lain, kesan pertama seseorang terhadap orang lain dapat terjadi dalam interaksi yang bertentangan, mendiskreditkan atau menimbulkan keraguan, sehingga interaksi tersebut dapat terhenti dan timbullah rasa bingung, malu, dan tidak nyaman.45 Kesan pertama masyarakat terhadap orang-orang dengan disabilitas menjadi stigma negatif. Selain itu, berbagai diskriminasi dan pembatasan menimbulkan adanya dampak psikososial yang dirasakan di mana orang-orang dengan disabilitas menganggap dirinya sebagai subjek yang tidak lengkap, tidak mampu, tidak bermanfaat bagi orang lain, tidak diinginkan kehadirannya, selalu merasa cemas dan sedih, pesimis, serta membuat adanya jarak atau social distancing dengan orang lain.46 Stigma atau pandangan-

41 Erving Goffman, “Stigma: Notes On The Management Of Spoiled Identity” (USA:

Prentice Hall, 1963), 3.

42 Cahyani Widyastutik, Farid Pribadi, “Makna Stigma Sosial Bagi Disabilitas Di Desa Semen Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi”, Jurnal Paradigma S1 Sosiologi UNESA, Vol. 10 No. 1 (Januari 2021), 2-3.

43 Mutasim, “Stigma Sosial Terhadap Penyandang Difabel Di Kecamatan Pontianak Barat”, Sociologique Jurnal S-1 Sosiologi, Vol. 4 No. 1 (Maret 2016), 4.

44 Erving Goffman, “Stigma: Notes On The Management Of Spoiled Identity” (USA:

Prentice Hall, 1963), 16-17.

45 Erving Goffman, “The Presentation Of Self In Everyday Life” (USA: Doubleday, 1959), 12.

46 Ebenhaezer Taruk Allo, “Penyandang Disabilitas Di Indonesia”, Nusantara Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, Vol. 9 No. 2 (2022).

(13)

13

pandangan negatif, serta perlakuan yang kurang baik terhadap orang-orang dengan disabilitas membuat mereka bahkan keluarganya merasa tidak nyaman, malu, tertekan, dan berbagai perasaan lainnya karena kekurangan, kecacatan atau ketidakmampuan yang dialami.

Definisi dan Fungsi Pendampingan Pastoral

Pendampingan pastoral merupakan dua kata yaitu kata pendampingan dan pastoral yang bermakna sebuah pelayanan. Kata pendampingan berasal dari kata kerja mendampingi47 yang merupakan suatu kegiatan menolong orang lain yang karena suatu sebab atau masalah perlu didampingi.48 Sedangkan, kata pastoral berasal dari kata “pastor” yang disebut “poimen” dalam bahasa Latin atau Yunani disebut yang berarti “gembala”49. Pendampingan pastoral berusaha menjawab apa yang dibutuhkan setiap orang dengan memberikan perhatian, dukungan, dan pendampingan.50 Clinebell menjelaskan bahwa pendampingan pastoral adalah suatu pelayanan yang dilakukan gereja dalam menolong dan menyembuhkan baik individu maupun kelompok, sehingga dapat mengalami pertumbuhan dalam proses kehidupan dalam masyarakat. Adanya hubungan atau interaksi dalam proses pendampingan pastoral membuat pendampingan memiliki arti kegiatan kemitraan, bahu membahu, menemani, berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan.51 Sebagai orang percaya kita semua memiliki tugas penggembalaan untuk mewujudkan kasih, perhatian dan kepedulian kepada orang-orang yang berada dalam pergumulan, tidak hanya menjadi tanggung jawab pendeta, pastor atau para rohaniawan. Selain itu, pendampingan pastoral dapat menumbuhkan dan mengutuhkan orang dalam kehidupan spiritualnya untuk membangun, membina, serta memulihkan hubungan tidak hanya pada sesama tetapi juga dengan Allah.52 Oleh karena itu, pendampingan pastoral dibutuhkan dalam pelayanan kehidupan

47 Stimson Hutagalung, “Pendampingan Pastoral: Teori dan Praktik” (Yayasan Kita Menulis, 2021), 2.

48 Aart Van Beek, “Pendampingan Pastoral” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 9.

49 Aart Van Beek, “Pendampingan Pastoral” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 10.

50 Howard Clinebell, “Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral”

(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 59.

51 J. D. Engel, “Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 2.

52 J. D. Engel, “Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 3-4.

(14)

14

bergereja sehingga baik individu maupun kelompok dapat memaknai dan mengalami pertumbuhan dalam setiap proses kehidupan.

Terdapat beberapa fungsi pendampingan pastoral53, antara lain : pertama, fungsi membimbing menolong orang yang didampingi ketika ia merasa bimbang dan tersesat untuk memilih atau mengambil keputusan tentang apa yang akan ditempuh atau apa yang menjadi masa depannya. Orang yang didampingi diharapkan dapat melakukan pengambilan keputusan tentang masa depan ataupun mengubah dan memperbaiki tingkah laku atau kebiasaan tertentu. Kedua, fungsi mendamaikan atau memperbaiki hubungan membantu orang yang didampingi untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan terganggu antara dirinya dengan orang lain dalam keluarga maupun masyarakat. Pendamping diharapkan menjadi orang yang netral atau penengah yang bijaksana, menjadi cermin, menganalisis dan mencari alternatif untuk memperbaiki hubungan tersebut. Ketiga, fungsi menopang atau menyokong membantu orang yang didampingi untuk bertahan dalam situasi krisis yang mendalam seperti kehilangan, kematian orang-orang yang dikasihi, dukacita dan lain sebagainya. Sokongan berupa kehadiran, sapaan yang meneduhkan, sikap terbuka dapat membantu mengurangi penderitaan yang dialami.

Keempat, fungsi menyembuhkan melalui pendampingan yang berisi kasih sayang, rela mendengarkan segala keluhan batin, dan kepedulian yang tinggi membuat orang yang didampingi mengalami rasa aman dan kelegaan. Fungsi ini penting bagi mereka yang mengalami dukacita dan luka batin akibat kehilangan atau terbuang, sehingga pendamping dapat mengajak penderita untuk mengungkapkan perasaan batinnya dalam hal ini interaksi yang membawa pada hubungan imannya dengan Tuhan melalui doa dan pembacaan Alkitab. Kelima, fungsi mengasuh menolong orang yang didampingi untuk menumbuh-kembangkan kehidupannya sebagai kekuatan yang dapat diandalkannya untuk tetap melanjutkan kehidupan.

Diperlukan pengasuhan ke arah pertumbuhan melalui proses pendampingan pastoral yang meliputi aspek emosional, cara berpikir, motivasi dan kemauan, tingkah laku, kehidupan rohani, dalam interaksi dan sebagainya. Dari kelima fungsi tersebut terdapat fungsi mengutuhkan sebagai fungsi pusat dari pendampingan

53 Aart Van Beek, “Pendampingan Pastoral” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 13-16.

(15)

15

pastoral, yaitu pengutuhan kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya, yaitu fisik, sosial, mental dan spiritual. Dalam pendampingan seorang pelayan menggembalakan seseorang yang mengalami penderitaan atau pergumulan pada arah pengutuhan.

Berdasarkan fungsi-fungsi pendampingan pastoral diatas, dapat menolong Majelis Jemaat dalam melakukan perbaikan relasi, membantu memulihkan kerenggangan antara pribadi dan keluarga ataupun keluarga dan masyarakat atau jemaat, serta meningkatkan pertumbuhan hubungan dengan Tuhan.54 Selain itu, berdasarkan fungsi pendampingan pastoral dapat menjadi nilai-nilai dalam meningkatkan rasa berbagi dan menerima, persaudaraan dan solidaritas, serta menemani. Rasa berbagi dan menerima membuat kita memiliki rasa empati terhadap orang lain, mendengarkan, memberikan dukungan, serta memberikan bantuan. Rasa persaudaraan dan solidaritas membuat kita memiliki nilai kemanusiaan yang setara dengan menghargai dan menghormati orang lain.

Kemudian tugas menemani menjadikan kita sebagai manusia yang dapat berproses dalam pertemanan, sehingga dapat mengembangkan potensi-potensi diri setiap orang.55 Oleh karena itu, pelayanan Majelis Jemaat terhadap warga jemaat disabilitas dapat dilakukan dengan menyasar pada fungsi-fungsi tersebut, sehingga pelayanan yang dilakukan dapat optimal, relasi antara warga jemaat disabilitas, keluarga dan masyarakat dapat kembali pulih, munculnya nilai-nilai moral dalam setiap diri warga jemaat, sehingga pertumbuhan dan perkembangan warga jemaat disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan boleh dirasakan.

54 Imanuel Teguh Harisantoso, “Masker: Pendekatan Konseling Pastoral di Era Pandemi”, Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol. 4 No. 2 (Maret 2022)

55 J. D. Engel, “Pendampingan Pastoral Keindonesiaan”, Jurnal Kurios, Vol. 6 No. 1 (April 2020), 48.

(16)

16

Hasil Penelitian

Gambaran Umum Warga Disabilitas di GPM Bethel Ambon

Gereja GPM Bethel berada di wilayah pemerintahan kota Ambon provinsi Maluku yang terletak di Jalan Mutiara No. 1, Kelurahan Rijali, Kecamatan Sirimau.

Sektor-sektor pelayanan GPM Bethel berada dalam tiga wilayah kerja Kelurahan yaitu wilayah Kelurahan Karang Panjang terdapat sektor 1 sampai dengan sektor 7, wilayah Kelurahan Uritetu terdapat sektor 9 sampai dengan sektor 11, dan wilayah Kelurahan Rijali terdapat sektor 8, 12 sampai dengan sektor 19. Keadaan jemaat GPM Bethel berada dalam 19 (sembilan belas) sektor pelayanan dan terbagi dalam 51 unit pelayanan dengan total 1.833 KK dengan jumlah jiwa sebanyak 6.649 jiwa yang terdiri dari kelompok laki-laki sebesar 3.237 jiwa dan kelompok perempuan sebesar 3.412 jiwa, yang terdistribusi dalam kelompok usia dari 0-3 tahun sampai dengan kurang lebih 86 tahun.56 Dari jumlah jiwa jemaat di GPM Bethel tersebut, warga jemaat disabilitas menurut Renstra Jemaat tahun 2021-2025 masuk dalam data penyandang masalah sosial (PMS) berjumlah 32 orang yaitu cacat fisik berjumlah 26 orang (14 laki-laki dan 12 perempuan) dan cacat mental berjumlah 6 orang (4 laki-laki dan 2 perempuan). Hanya saja pada data sub seksi pembinaan keluarga, daftar warga jemaat disabilitas penerima bantuan diakonia berjumlah 48 orang.57 Dapat dilihat dari kedua data tersebut bahwa terdapat perbedaan jumlah data warga jemaat disabilitas.

Warga jemaat disabilitas yang terdata berjumlah 32 orang masing-masing dengan status dalam keluarga (kepala keluarga, anak, kakak, adik, cucu, keponakan, dan ipar) dan sektor yang berbeda-beda. Data jemaat dikelompokkan berdasarkan beberapa jenis disabilitas yaitu tuna daksa berjumlah 9 orang, tuna ganda berjumlah 2 orang, down syndrome berjumlah 6 orang, autis berjumlah 2 orang, dan tuna grahita berjumlah 12 orang.

Kegiatan pelayanan di jemaat GPM Bethel dikoordinir oleh Badan Koordinasi Pelayanan (Bakopel) yang keanggotaannya terdiri dari Penatua, Diaken

56 Renstra Jemaat GPM Bethel Tahun 2021-2025

57 Hasil Wawancara dengan Dkn. AN, 30 Juli 2022, 11.27 WIT.

(17)

17

dan Ketua-ketua Wadah Pelayanan (Unit, Pelayanan Perempuan, Pelayanan Laki- laki, Sekolah Minggu Tunas Pekabaran Injil dan Anak Muda GPM) dan diketuai oleh Majelis Jemaat yang bergilir setiap tahunnya.58 Pelayanan terhadap warga jemaat berkebutuhan khusus (disabilitas) masuk dalam seksi Pemberdayaan Teologi dan Pembinaan Umat dengan sub seksi Pembinaan Keluarga dan Pembinaan Pastoral. Program kegiatan dengan indikator yaitu terlaksananya pelayanan gereja bagi warga jemaat berkebutuhan khusus yang dilakukan satu kali dalam satu bulan, dan kegiatannya berupa kunjungan dan doa oleh pendeta di rumah jemaat yang berkebutuhan khusus. Selain itu, terdapat juga program penanganan PMK (Penyandang Masalah Khusus) jemaat dengan kegiatan strategis yaitu pelayanan diakonia jemaat. Indikator dari program tersebut yaitu terlaksananya pelayanan diakonal setiap semester kepada keluarga dan warga jemaat sasaran pada tahun 2021 dengan memberikan bantuan uang.

Pandangan Keluarga Terhadap Disabilitas

Pandangan keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami disabilitas yaitu keluarga menerima kehadiran mereka. Keluarga tidak pernah memandang bahwa dengan hadirnya anggota keluarga disabilitas maka ia merupakan aib, tetapi menerima keadaan mereka dengan senang hati.59 LM menjelaskan bahwa meskipun YM diangkat sebagai anak tetapi ia dan suami sungguh menerima sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yesus.60 Hal ini juga dijelaskan oleh JS bahwa meskipun salah satu anak yang disabilitas ini diangkat keluarga dan awalnya beragama Islam, serta karena sakit saat kecil sehingga mengalami kecacatan baik fisik dan mental sampai saat ini, keluarga menerima dan membawa anak ini untuk dibaptis dan disidi, juga keluarga percaya bahwa Tuhan telah mengatur semua yang terbaik bagi keluarga mereka.61 Selain itu, meskipun memiliki kekurangan, tetapi juga memiliki kelebihan dan sangat membantu, mendukung dan memperhatikan keluarga sebagai saudara dan anak-anak dari NP.62 Dapat dilihat bahwa kehadiran anggota keluarga

58 Hasil Wawancara dengan KMJ GPM Bethel Ambon Pdt. JT, 10 Agustus 2022, 10.58 WIT.

59 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga MP, 1 Agustus 2022, 17.20 WIT.

60 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga LM, 2 Agustus 2022, 14.20 WIT.

61 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga JS, 2 Agustus 2022, 10.59 WIT.

62 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga NP, 2 Agustus 2022, 21.07 WIT.

(18)

18

disabilitas di tengah-tengah keluarga tidak memandang mereka sebagai aib, tetapi sungguh menerima dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka, serta percaya bahwa Tuhan sudah mengatur yang terbaik bagi kehidupan keluarga.

Sikap Jemaat dan Masyarakat Terhadap Disabilitas

Sikap jemaat dan masyarakat terhadap disabilitas ada yang menerima, tetapi ada juga yang tidak menerima dan menghina. Hal ini dijelaskan dalam penelitian oleh Imanuel Harisantoso bahwa ada sikap penerimaan dan penolakan yang merupakan sikap ambiguitas63 jemaat dan masyarakat terhadap disabilitas. Menurut JS, NP, dan OS pandangan masyarakat dan jemaat tidak ada yang negatif, menerima dengan baik, merasa iba, sering menyapa, tidak menghina, bahkan tetangga sekitar memberdayakan dengan memberikan uang karena salah satu warga jemaat disabilitas rajin dan sering membantu membuang sampah. Hal yang berbeda dirasakan oleh keluarga MP dan YM sendiri. MP menjelaskan bahwa sejak kecil masyarakat sekitar sering mengejek, menghina, bahkan orang sampai berbondong- bondong datang untuk melihat anak yang disabilitas ini, tetapi lambat laun masyarakat sekitar menerima dengan baik dan sering menyapa.64 Tentu saja keluarga merasa sedih, tetapi lambat laun masyarakat sekitar menerima dengan baik dan membuat keluarga merasa bersyukur. Hal ini juga dijelaskan oleh YM bahwa saat masih di bangku sekolah, teman-teman sering menghina, begitu pula sampai sekarang masyarakat sekitar sering bercerita di belakang dan menghina.65 Meskipun merasa sedih, tetapi keluarga tidak pernah membalas dan tidak semua yang menghina karena masyarakat sekitar juga banyak yang menerima keadaan dari warga jemaat disabilitas ini.

Pandangan Majelis Jemaat Terhadap Disabilitas

Menurut pandangan beberapa Majelis Jemaat disabilitas merupakan orang- orang yang mengalami cacat fisik, mental, mempunyai kebutuhan khusus, membutuhkan perhatian khusus, dan juga sebagai warga jemaat yang perlu

63 Imanuel Teguh Harisantoso, “Persepsi Jemaat Tentang Kaum Disabilitas Dan Akses Mereka Ke Dalam Pelayanan Gereja”, Visio Dei: Jurnal Teologi Kristen, Vol. 4 No. 1 (Juni 2022)

64 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga MP, 1 Agustus 2022, 17.20 WIT.

65 Hasil Wawancara dengan warga jemaat disabilitas, YM, 2 Agustus 2022, 14.20 WIT.

(19)

19

mendapat pelayanan yang sama dengan jemaat lainnya karena mereka juga adalah ciptaan Tuhan, sehingga harus diperlakukan sama dengan manusia normal atau sempurna dalam berbagai aspek. Pandangan Majelis Jemaat terhadap disabilitas yaitu pertama, disabilitas adalah bagian integral dari warga gereja, mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti itu ataupun mengalami musibah yang membuat mereka menjadi penyandang disabilitas. Mereka adalah bagian dari warga gereja yang memiliki hak dan kewajiban sebagai warga gereja. Oleh karena itu, kita tidak bisa melakukan diskriminasi terhadap mereka, karena itu gereja terpanggil untuk melayani mereka sama seperti melayani mereka yang orang normal66, hanya saja dalam metodenya disesuaikan dengan kondisi mereka masing-masing.

Kedua, terdapat kriteria yang digunakan untuk memberikan bantuan kepada warga jemaat disabilitas. Kriteria tersebut diturunkan dari sinode ke klasis, klasis ke jemaat mengenai disabilitas yang termasuk dalam salah satu PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) bahwa disabilitas adalah warga jemaat yang benar-benar memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan secara fisik atau mental yang membutuhkan kebutuhan yang lebih khusus.67 Kriterianya antara lain mengalami kecacatan fisik dan mental, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik, tergantung pada orang lain, lambat berpikir dan berbicara, serta sulit berkomunikasi dengan orang lain.

Ketiga, terkait stigma atau pandangan negatif yang dibangun oleh masyarakat tentang disabilitas di mana mereka seringkali dicap cacat, kurang, lemah, tidak mampu, dan berkebutuhan khusus menurut Pdt. JT merupakan stigma yang tidak tepat dan keliru karena setiap orang yang diciptakan Allah termasuk di dalamnya penyandang disabilitas itu memiliki potensi, karunia, dan talenta karena itu mereka bisa hidup dari apa yang mereka miliki tersebut. Tidak tepat jika mereka dicap tidak berguna, malah sebaiknya kita harus memberdayakan dan membuka ruang bagi mereka untuk berdayaguna. Hanya saja karena keterbatasan yang mereka miliki seringkali membuat mereka dipandang sebelah mata, tetapi

66 Hasil Wawancara dengan KMJ GPM Bethel Ambon Pdt. JT, 10 Agustus 2022, 10.58 WIT.

67 Standarisasi Dan Model Penanganan PMKS GPM 2013

(20)

20

sebenarnya mereka memiliki potensi yang luar biasa.68 Pandangan negatif tersebut merupakan hal yang wajar karena manusia memiliki latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi yang berbeda-beda, tetapi dibutuhkan kesadaran agar tidak membeda-bedakan dan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan.69 Selain itu, menurut Pdt. MM bahwa pandangan itu harus dirubah karena sesungguhnya mereka adalah bagian dari panggilan kita dan dalam tanggung jawab itu, gereja hadir memberikan perhatian dan pelayanan bagi mereka karena semua orang sama di mata Tuhan.70 Gereja perlu memberikan pemahaman kepada warga jemaat tentang kehadiran mereka, apa yang mereka butuhkan, serta mengapa mereka harus dilayani dan diperhatikan.

Pelayanan Pastoral Majelis Jemaat Terhadap Warga Disabilitas

Dalam hasil persidangan tahun 2021 dan 2022 pelayanan terhadap warga jemaat disabilitas terbagi dalam pelayanan diakonal kepada warga jemaat disabilitas dan pelayanan berupa kunjungan dan doa. Terkait pelayanan diakonia dalam hasil persidangan tahun 2019 pemberian santunan diberikan per enam bulan sekali oleh Yayasan Karitatif Jemaat GPM Bethel selama tahun 2018. Selain itu, terdapat keterangan dalam himpunan keputusan sidang tahun 2022 mengenai kegiatan baru yaitu penyediaan pedoman pelayanan terhadap warga jemaat berkebutuhan khusus (disabilitas) sebagai salah satu program pengembangan kapasitas pelayan. Di bawah ini akan dijelaskan terkait dua hal di atas yaitu pelayanan pastoral dan diakonia Majelis Jemaat terhadap warga jemaat disabilitas.

Sejauh ini, pelayanan yang dilakukan kepada seluruh warga jemaat termasuk warga jemaat disabilitas bersifat rutin seperti pelayanan ulang tahun, sakit, Perjamuan Kudus, dan kunjungan pastoral.71 Menurut Majelis Jemaat bahwa seluruh Majelis Jemaat bertanggung jawab untuk melakukan pelayanan di sektor pelayanan masing-masing, sehingga tidak ada Majelis Jemaat yang khusus melakukan pelayanan terhadap warga jemaat disabilitas karena pelayanan bersifat

68 Hasil Wawancara dengan KMJ GPM Bethel Ambon Pdt. JT, 10 Agustus 2022, 10.58 WIT.

69 Hasil Wawancara dengan Pnt. MP, 30 Juli 2022, 11.27 WIT.

70 Hasil Wawancara dengan Pendeta Pendamping Pdt. MM, 5 Agustus 2022, 11.04 WIT.

71 Hasil Wawancara dengan Pnt. ET, 29 Juli 2022, 10:08 WIT.

(21)

21

menyeluruh. Selain kunjungan rutin formal yang sudah terjadwalkan, bisa juga dalam bentuk informal (insidentil) bersifat permintaan sesuai kebutuhan ataupun inisiatif dari Majelis Jemaat sendiri, misalnya ketika keluarga meminta atau salah satu anggota keluarga mengalami gangguan tertentu. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap lima keluarga yang salah satu anggota keluarganya adalah warga jemaat disabilitas, penulis melihat bahwa pelayanan pastoral yang dilakukan Majelis Jemaat sejauh ini yaitu kunjungan ke rumah warga jemat disabilitas sebagai salah satu program pelayanan itu tergantung dari kondisi warga jemaat disabilitas, bersifat permintaan, tetapi kunjungan pastoral empat kali dalam setahun menjelang Perjamuan Kudus tetap dilakukan. Perkunjungan pastoral dilakukan kepada warga jemaat disabilitas dan juga kepada anggota keluarga yang mendampingi.

Menurut seorang majelis sebelum melakukan perkunjungan pastoral majelis akan membagikan catatan yang akan diisi oleh masing-masing keluarga yang isinya pokok-pokok doa, permasalahan yang dihadapi dalam pelayanan, saran, dan usul yang akan ditindaklanjuti dalam pelayanan majelis.72 Pelayanan yang dilakukan yaitu ibadah singkat, penguatan yang didasarkan pada Firman Tuhan, pergumulan yang disampaikan keluarga, serta pokok doa pada kertas yang telah dibagikan.73 Selanjutnya, majelis akan memberikan himbauan terkait kesediaan keluarga mengikuti perjamuan dan berbagai pengumuman.74 Menurut beberapa majelis, kunjungan pastoral yang dilakukan biasanya menjelang Perjamuan Kudus dalam mempersiapkan seluruh warga jemaat termasuk disabilitas untuk mengambil bagian dalam perjamuan.

Menurut JS pelayanan rumah terhadap anggota keluarga yang disabilitas dilakukan tiap awal bulan minggu pertama oleh pendeta, tetapi pelayanan majelis sudah tidak ada lagi setelah tahun 2017, biasanya hanya sesekali saja majelis datang mungkin karena keinginan pribadi.75 Hal ini juga disampaikan OS pelayanan rumah dilakukan sekaligus dengan oma yaitu pelayanan lansia dan disabilitas.76 Dapat dilihat dari hasil wawancara bahwa terdapat perbedaan dalam jadwal pelayanan

72 Hasil Wawancara dengan Pnt. ET, 29 Juli 2022, 10:08 WIT.

73 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga NP, 2 Agustus 2022, 21.07 WIT.

74 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga LM, 2 Agustus 2022, 14.20 WIT.

75 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga JS, 2 Agustus 2022, 10.59 WIT.

76 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga OS, 2 Agustus 2022, 13.29 WIT.

(22)

22

beberapa warga jemaat disabilitas dan menurut MP dan JS selama pandemi Covid sampai sekarang pelayanan rumah ditiadakan dan belum dilakukan lagi, sedangkan kondisi pandemi sudah mulai membaik. Dalam perkunjungan pastoral, pendeta dan majelis tidak menggunakan cara-cara tertentu saat berpelayanan yang mana hal ini merupakan salah satu keterbatasan gereja karena tidak adanya orang yang memiliki spesialis dalam melakukan pelayanan terhadap warga jemaat disabilitas, sehingga pelayanan bersifat umum tidak ada klasifikasi.77 Hanya saja saat melayani majelis melihat situasi dan kondisi warga jemaat disabilitas, jika mengalami cacat mental maka majelis akan menyampaikan dengan sabar dan pelan, dan juga didampingi oleh orangtua atau anggota keluarga lainnya,78 dan juga biasanya mereka sudah bisa mengerti ketika dilakukan pelayanan atau ibadah sehingga mereka tenang dan menunjukkan respon ikut bernyanyi atau bersenandung dan bertepuk tangan.

Majelis Jemaat menjelaskan bahwa edukasi yang diberikan baik kepada warga jemaat disabilitas, keluarga, serta jemaat bersifat umum lewat khotbah dalam ibadah-ibadah. Jadi, kalau tema ini terkait dengan manusia secara utuh, maka majelis menyampaikan kepada anggota jemaat bahwa tidak boleh membedakan mereka dari apa yang sedang mereka gumuli itu.79 Selain itu, lewat pertemuan- pertemuan tatap muka misalnya pertemuan dengan warga jemaat disabilitas sendiri ataupun didampingi keluarga saat pemberian bantuan uang, pendeta pendamping akan memberikan arahan dan harapan untuk menguatkan mereka.80 Menurut NP pernah diberikan pemahaman bahwa jangan melihat orang dengan disabilitas sebagai orang yang terbelakang dan ada bersama-sama dengan mereka.81 Menurut OS, tidak ada pendampingan oleh majelis dan pendeta untuk dapat memberikan pengertian dan membuka pola pikir anggota keluarga yang lain karena mereka berpikir bahwa anak disabilitas ini masih dalam kondisi yang baik, 82 sehingga

77 Hasil Wawancara dengan Dkn. AN, 30 Juli 2022, 11.27 WIT.

78 Hasil Wawancara dengan KMJ GPM Bethel Ambon Pdt. JT, 10 Agustus 2022, 10.58 WIT.

79 Hasil Wawancara dengan KMJ GPM Bethel Ambon Pdt. JT, 10 Agustus 2022, 10.58 WIT.

80 Hasil Wawancara dengan Dkn. AN, 30 Juli 2022, 11.27 WIT.

81 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga NP, 2 Agustus 2022, 21.07 WIT.

82 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga OS, 2 Agustus 2022, 13.29 WIT.

(23)

23

anggota keluarga disabilitas ini mendapatkan penanganan khusus karena gangguan mental yang dialami sudah semakin parah dan meresahkan.

Berdasarkan hasil wawancara sejauh ini belum ada kegiatan atau program yang dibuat oleh majelis jemaat yang bersifat memberdayakan warga jemaat disabilitas karena menurut LM dan MP yang salah satu anggota keluarganya disabilitas, tetapi bersekolah sampai jenjang SMA, sehingga mereka tentu memiliki kemampuan atau kelebihan. Jadi, karena tidak ada kegiatan pemberdayaan dari gereja, LM memberikan keyboard agar anaknya dapat mengembangkan diri dan menghilangkan rasa jenuh.83 Selain itu, menurut penjelasan OS, tetangga sekitar sebenarnya memberdayakan anggota keluarganya yang disabilitas dengan memberikan uang ketika ia membantu membuang sampah meskipun dengan keterbelakangan mental yang dialami.84 Keluarga berharap agar Majelis Jemaat dapat mengadakan atau menghimbau mengenai kegiatan-kegiatan yang memberdayakan dan dapat melibatkan anggota keluarga mereka yang disabilitas dan juga warga jemaat disabilitas lainnya.

Selain perkunjungan pastoral yang telah dijelaskan diatas, berdasarkan hasil wawancara pelayanan diakonia kepada warga jemaat disabilitas juga dilakukan dengan memberikan bantuan uang setiap tiga atau enam bulan sekali. Biasanya keluarga diinformasikan oleh majelis sektor untuk hadir dalam pembagian bantuan tersebut di tempat yang telah ditentukan, sehingga diharapkan warga jemaat disabilitas dan salah satu anggota keluarga sebagai pendamping boleh hadir.

Kegiatan yang dilakukan yaitu ibadah singkat, kemudian arahan dan bimbingan sebelum pemberian bantuan oleh pendeta bahwa bantuan yang diberikan dapat digunakan dengan baik dan menerima dengan sukacita sebagai bentuk kepedulian gereja terhadap warga jemaat disabilitas, selanjutnya pemberian bantuan uang.

Akan tetapi, tidak semua warga jemaat disabilitas dapat hadir, sehingga majelis sektor akan mengunjungi ke rumah-rumah warga jemaat disabilitas, mendoakan dan memberikan bantuan tersebut, tetapi menurut YM, bantuan hanya langsung diberikan, tetapi tidak berdoa bersama keluarga sebelum memberikan bantuan

83 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga LM, 2 Agustus 2022, 14.20 WIT.

84 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga OS, 2 Agustus 2022, 13.29 WIT.

(24)

24

tersebut.85 Dapat dilihat bahwa gereja menunjukkan kepedulian terhadap warga jemaat disabilitas selain perkunjungan pastoral, juga dengan memberikan pelayanan diakonal. Hanya saja beberapa informan berharap agar selain pemberian bantuan uang, dapat dilakukan pelayanan kesehatan terhadap warga jemaat disabilitas, meskipun terdapat posyandu yang disediakan gereja, tetapi diharapkan majelis dapat memberikan himbauan kepada keluarga sehingga keluarga dapat membawa anggota keluarga disabilitas untuk mendapatkan pelayanan.

85 Hasil Wawancara dengan warga jemaat disabilitas, YM, 2 Agustus 2022, 14.20 WIT.

(25)

25

Analisis Tentang Pandangan Keluarga, Sikap Jemaat dan Masyarakat, serta Pandangan dan Pelayanan Majelis Jemaat Terhadap Disabilitas Dari

Perspektif Pendampingan Pastoral

Pandangan Keluarga Terhadap Disabilitas dari Perspektif Pendampingan Pastoral

Keluarga tidak memandang bahwa kehadiran anggota keluarga disabilitas dalam kehidupan mereka sebagai aib, tetapi menunjukkan penerimaan dan dengan penuh kasih sayang merawat mereka meskipun dengan keterbatasan yang mereka miliki. Keluarga percaya bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan mereka telah diatur oleh Tuhan, sehingga keluarga terus hadir dan melayani mereka. Hal ini sejalan dengan pandangan Engel bahwa pendampingan pastoral menumbuhkan nilai-nilai moral yaitu berbagi dan menerima, dan menemani.86 Rasa berbagi dan menerima, serta menemani ditunjukkan keluarga dengan kepedulian dan kasih sayang dalam memberikan bantuan dan dukungan, serta selalu ada dalam setiap proses kehidupan. Selain itu, keluarga sebagai orang terdekat bagi anggota keluarga disabilitas dapat terus melakukan salah satu fungsi pendampingan yaitu fungsi mengasuh dengan membantu dalam hari-hari kehidupan, sehingga dapat mengalami perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan.87 Baik dalam aspek emosional (misalnya keluarga mendengarkan dan membantu dengan tulus sehingga anggota keluarga disabilitas dapat tenang, sukacita dan menerima keberadaan diri mereka di tengah keterbatasan), kehidupan rohani (misalnya dengan pelayanan ibadah yang dilakukan oleh keluarga dan majelis jemaat dapat meningkatkan iman percaya mereka terhadap Kristus), dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Sikap Jemaat dan Masyarakat Terhadap Disabilitas dari Perspektif Pendampingan Pastoral

Sikap jemaat dan masyarakat terhadap disabilitas ada penerimaan dan penolakan. Beberapa keluarga merasa bahwa pandangan masyarakat dan jemaat

86 J. D. Engel, “Pendampingan Pastoral Keindonesiaan”, Jurnal Kurios, Vol. 6 No. 1 (April 2020), 48.

87 Aart Van Beek, “Pendampingan Pastoral” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 15.

(26)

26

tidak ada yang negatif, menerima dengan baik, merasa iba, sering menyapa, tidak menghina, bahkan tetangga sekitar memberdayakan dengan memberikan uang karena salah satu warga jemaat disabilitas rajin dan sering membantu membuang sampah. Hanya saja bentuk penolakan yang dirasakan beberapa keluarga lainnya yaitu sejak kecil dan di bangku sekolah teman-teman dan masyarakat sekitar sering mengejek, menghina, bercerita di belakang, bahkan orang sampai berbondong- bondong datang untuk melihat anak yang disabilitas ini, tetapi lambat laun masyarakat sekitar mulai menerima.

Menurut keluarga warga jemaat disabilitas, ketika stigma atau pandangan negatif dan ditunjukkan melalui sikap jemaat ataupun masyarakat sekitar pada saat bertemu dengan warga jemaat disabilitas dan keluarga, tentu ada perasaan malu, sedih, tetapi tidak bisa berbuat banyak hanya bisa sabar dan menerima dengan lapang dada. Hal ini sejalan dengan pemikiran Goffman bahwa ketika orang-orang yang distigmatisasi bertemu dengan orang-orang normal dan kesan pertama mereka ketika bertemu membuat orang yang distigmatisasi timbul perasaan malu, takut, dan tidak nyaman.88 Hal tersebut merupakan pandangan serta tindakan yang menstigmatisasi, tidak menghargai dan perlu diubah. Hanya saja berdasarkan hasil wawancara, tidak semua jemaat atau masyarakat sekitar memiliki pandangan dan tindakan tersebut, tetapi menunjukkan sikap penerimaan terhadap warga jemaat disabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa jemaat dan masyarakat yang menunjukkan penolakan tidak menumbuhkan rasa berbagi dan menerima, persaudaraan dan solidaritas, serta menemani berkenaan dengan penjelasan Engel.89 Jemaat dan masyarakat kurang memiliki rasa empati, rasa kemanusiaan yang setara dengan menghargai dan menghormati orang lain, serta menemani berproses dalam pertemanan terhadap warga disabilitas, sehingga jemaat dan masyarakat yang menunjukkan penolakan tidak menjalankan pendampingan pastoral sebagai bagian dari tanggung jawab sebagai orang percaya.

88 Erving Goffman, “Stigma: Notes On The Management Of Spoiled Identity” (USA:

Prentice Hall, 1963), 16-17.

89 J. D. Engel, “Pendampingan Pastoral Keindonesiaan”, Jurnal Kurios, Vol. 6 No. 1 (April 2020), 48.

(27)

27

Pandangan Majelis Jemaat Terhadap Disabilitas dari Perspektif Pendampingan Pastoral

Majelis Jemaat melihat bahwa stigma atau pandangan negatif terhadap disabilitas bahwa disabilitas dianggap tidak berguna, kurang, lemah, ataupun tidak mampu sebenarnya tidak tepat dan harus diubah, karena mereka juga merupakan ciptaan Tuhan yang memiliki potensi dengan memberikan mereka ruang untuk mengambil bagian dalam berbagai kegiatan. Selain itu, hal ini juga merupakan panggilan Gereja untuk memberikan perhatian, serta melayani mereka.

Berdasarkan stigma dan adanya sikap penolakan terhadap warga jemaat disabilitas, maka pendampingan pastoral majelis itu penting. Selain melalui khotbah yang berdasar pada tema tertentu, Majelis Jemaat perlu memberikan pemahaman kepada jemaat dan masyarakat mengenai kehadiran mereka, perlunya pelayanan dan perhatian khusus terhadap mereka, sehingga jemaat dan masyarakat dapat mengubah pola pikir dan sepenuhnya menerima,90 serta berbagai stigma negatif dan perlakuan diskriminasi terhadap warga jemaat disabilitas dapat semakin berkurang. Hal ini sejalan dengan pemikiran Engel mengenai pendampingan pastoral bahwa semua orang percaya terpanggil dalam menghadirkan perhatian dan kepedulian kepada mereka yang berada dalam pergumulan91 dalam hal ini yaitu warga jemaat disabilitas, serta dengan menumbuhkan sikap berbagi dan menerima, persaudaraan dan solidaritas, serta menemani.92 Hal ini juga dijelaskan Imanuel Harisantoso bahwa melalui pendampingan pastoral yang dilakukan Majelis Jemaat dapat memperbaiki relasi, membantu memulihkan kerenggangan antara keluarga dan masyarakat atau jemaat93 sebagai orang-orang yang terstigma. Oleh karena itu, pentingnya gereja memberikan pemahaman sehingga jemaat dan masyarakat

90 Rosalina S. Lawalata, “Disabilitas Sebagai Ruang Berteologi: Sebuah Sketsa Membangun Teologi Disabilitas dalam konteks GPIB” (Yogyakarta: PT Kanisius, 2021), 1-2.

91 J. D. Engel, “Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 3.

92 J. D. Engel, “Pendampingan Pastoral Keindonesiaan”, Jurnal Kurios, Vol. 6 No. 1 (April 2020), 48.

93 Imanuel Teguh Harisantoso, “Masker: Pendekatan Konseling Pastoral di Era Pandemi”, Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol. 4 No. 2 (Maret 2022)

(28)

28

sebagai orang percaya dapat melakukan tanggung jawab pendampingan pastoral, serta berbagai stigma yang merusak relasi dapat kembali pulih.

Pelaksanaan Pelayanan Majelis Jemaat Terhadap Disabilitas dari Perspektif Pendampingan Pastoral

Pelayanan Majelis Jemaat kepada warga jemaat disabilitas sejauh ini dilakukan hanya melalui ibadah saat kunjungan ke rumah warga jemaat disabilitas, dan bimbingan atau arahan oleh pendeta pada saat penerimaan bantuan diakonia.

Bentuk pendampingan pastoral yang dirasakan warga jemaat disabilitas dan keluarga dalam pelayanan tersebut yaitu dalam ibadah singkat majelis memberikan penguatan yang didasarkan pada Firman Tuhan, mendoakan berdasarkan pokok- pokok doa ataupun pergumulan keluarga, serta arahan dan bimbingan dari pendeta mengenai bantuan diakonia yang diberikan agar jemaat dapat menerima dengan sukacita dan tidak melihat dari nominal yang diberikan karena meskipun kecil, gereja menunjukkan kasih dan kepedulian terhadap warga jemaat disabilitas.

Menurut Clinebell, pendampingan pastoral berusaha menjawab apa yang dibutuhkan setiap orang dengan memberikan perhatian, dukungan, dan pendampingan.94 Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis melihat bahwa Majelis Jemaat berusaha menjawab apa yang menjadi kebutuhan warga jemaat disabilitas lewat perhatian, kepedulian, serta kesadaran akan pentingnya pendampingan terhadap mereka lewat pelayanan perkunjungan pastoral dan bantuan diakonia, meskipun pelayanan yang dilakukan belum maksimal. Hal ini juga dikarenakan keterbatasan dan kendala yang dihadapi oleh Majelis Jemaat.

Penulis melihat bahwa pendampingan pastoral yang dilakukan bersifat umum atau menyeluruh kepada seluruh warga jemaat termasuk warga jemaat disabilitas. Hal ini terlihat dari hasil wawancara bahwa saat perkunjungan pastoral Majelis Jemaat hanya melakukan ibadah singkat seperti biasa tanpa menggunakan cara-cara tertentu kepada warga jemaat disabilitas. Padahal warga jemaat disabilitas memiliki kecacatan yang berbeda-beda, terlebih secara mental sehingga sulit untuk memahami pelayanan yang dilakukan. Hal tersebut merupakan salah satu

94 Howard Clinebell, “Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral”

(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 59.

Referensi

Dokumen terkait