• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI KAPANG Aspergillus sp. DALAM PROSES HIDROLISIS UNTUK PRODUKSI ETANOL DARI SAMPAH SAYUR DAN BUAH PASAR WONOKROMO SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI KAPANG Aspergillus sp. DALAM PROSES HIDROLISIS UNTUK PRODUKSI ETANOL DARI SAMPAH SAYUR DAN BUAH PASAR WONOKROMO SURABAYA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI KAPANG Aspergillus sp. DALAM PROSES HIDROLISIS UNTUK PRODUKSI ETANOL DARI

SAMPAH SAYUR DAN BUAH PASAR WONOKROMO SURABAYA

POTENCY OF Aspergillus sp. IN HYDROLYSIS PROCESS TO PRODUCE ETHANOL FROM VEGETABLE

AND FRUIT WASTES AT WONOKROMO MARKET, SURABAYA

Mutiara Arum Kusumaningati

1

, Sri Nurhatika

1

, dan Anton Muhibuddin

2 1

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail: mutiara.arum@yahoo.com, nurhatika@bio.its.ac.id

2

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya (UB)

Jl. Veteran, Malang 65145 Indonesia

e-mail: antonmhb@gmail.com

ABSTRAK

Sampah sayur dan buah berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam produksi etanol yang terdiri dari

beberapa tahap, yaitu pretreatment, hidrolisis, fermentasi, dan destilasi. Proses hidrolisis yang biasa digunakan adalah

hidrolisis asam karena lebih mudah dilakukan, namun kelemahannya dihasilkan produk samping yang dapat

mengganggu dalam proses fermentasi. Sehingga alternatif terbaik dengan memanfaatkan kapang dalam proses

hidrolisis, salah satunya adalah kapang Aspergillus sp. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2012 sampai Mei

2013 di Laboratorium Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh

Nopember. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kapang Aspergillus sp. dalam proses hidrolisis untuk

produksi etanol dari sampah sayur dan buah Pasar Wonokromo Surabaya pada konsentrasi inokulum bakteri

Zymomonas mobilis dan lama waktu fermentasi yang optimum. Kapang Aspergillus sp. pada penelitian ini diperoleh

dari hasil eksplorasi kapang di Taman Nasional Alas Purwo yang berhasil diuji selulolitik, menghasilkan enzim selulase

yaitu endoglukanase, eksoglukanase dan β-glikosidase. Proses fermentasi dilakukan menggunakan bakteri Zymomonas

mobilis dalam beberapa perlakuan, yaitu konsentrasi inokulum (0, 5, 10 dan 15%) dan lama waktu fermentasi (0, 2, 4, 6,

dan 8 hari). Masing-masing perlakuan diulangi sebanyak 2 kali, sehingga diperoleh 40 unit percobaan dan dianalisis

menggunakan uji ANOVA. Parameter yang diamati adalah kadar etanol. Hasil yang diperoleh, kapang Aspergillus sp.

berpotensi menghasilkan enzim selulase dalam proses hidrolisis untuk produksi etanol dari sampah sayur dan buah

Pasar Wonokromo Surabaya. Kadar etanol optimum sebesar 9,5% (v/v) dihasilkan pada interaksi konsentrasi inokulum

10% dan lama waktu fermentasi 6 hari.

Kata kunci : Sampah sayur dan buah, Pasar Wonokromo Surabaya, Hidrolisis enzim, Etanol, Aspergillus sp.,

Zymomonas mobilis.

ABSTRACT

Vegetable and fruit wastes are potential to be used as a feedstock in ethanol production that consist of several steps,

including pretreatment, hydrolysis, fermentation, and destilation. Hydrolysis process that common used is acid

hydrolysis because it is easier, but it is produced end product that can inhibit fermentation process. So, the best

alternative is mold utilization in hydrolysis process, one of the potential mold is Aspergillus sp. This research was held

on November 2012 until May 2013 in laboratories of Biology Department, Mathematic and Science Faculty, Sepuluh

Nopember Institute of Technology. This research was aimed to determine Aspergillus sp. potency in hydrolysis process

to produce ethanol from vegetable and fruit wastes at Wonokromo Market Surabaya with various treatments of

optimum Zymomonas mobilis inoculum size and fermentation duration. Aspergillus sp. in this research was obtained

from mold exploration result of Alas Purwo National Park that were succesfully tested its cellulolytic ability and

resulting cellulases enzyme such as endoglucanase, exoglucanase, and β-glycosidase. Fermentation process was

conducted using Zymomonas mobilis bacteria in several treatments, inoculum size (0, 5, 10, and 15%) and fermentation

duration (0, 2, 4, 6, and 8 days). Each of treatment was done two repeatings, so there were 40 units of trial and

analyzed using ANOVA test. The observed parameter was ethanol concentration. The result showed that Aspergillus sp.

was a potential ability to produce cellulase enzyme in hydrolysis process to produce ethanol from vegetable and fruit

wastes at Wonokromo Market Surabaya. Optimum ethanol concentration 9,5% (v/v) was obtained from interaction

between 10% inoculum size and 6 days fermentation duration.

Key words: Vegetable and fruit wastes, Wonokromo Market Surabaya, Enzyme hydrolysis, Ethanol, Aspergillus sp.,

(2)

I.

PENDAHULUAN

Masalah global yang terjadi di Indonesia salah

satunya yaitu sampah. Kurangnya usaha pemanfaatan

sampah berdampak volume sampah bertambah setiap

harinya. Jumlah rata-rata sampah di Kota Surabaya per

harinya adalah 8.700m

3

. Total sampah organik 55,6%

dan sampah anorganik 44,4%. Sampah organik ini

didominasi oleh sampah sayur dan buah. Salah satu

jumlah sampah organik terbesar 87% di Pasar

Wonokromo Surabaya (Winanti, 2006). Maka, perlu

dilakukan upaya dalam memanfaatkan sampah menjadi

sesuatu yang berharga yaitu bioetanol sebagai alternatif

mengatasi masalah bahan bakar minyak dan gas yang

semakin terbatas.

Bioetanol merupakan etanol yang berasal dari

sumber hayati. Menurut John (2004) dalam Riyanti

(2010), bioetanol dapat dijadikan sebagai bahan bakar

alternatif karena sifatnya yang ramah lingkungan,

mengandung emisi gas CO lebih rendah (19-25%)

(Hening et al., 2006), memiliki kandungan oksigen

yang tinggi (35%) sehingga terbakar lebih sempurna

(Handayani, 2008 dalam Kusnadi et al, 2009), bernilai

oktan lebih tinggi (117) (Lee et al, 2008) dan dapat

diproduksi terus menerus oleh mikroorganisme

(Sardjoko, 1991). Penggunaan bahan baku selulosa

sebagai bioetanol potensial karena melimpah dan

murah, tidak diperlukannya lahan yang luas serta tidak

menimbulkan kompetisi antara ketersediaan bahan

baku pangan dan sumber energi (Wiratmaja et al,

2011). Namun, prosesnya membutuhkan beberapa

tahapan, yaitu pretreament, hidrolisis, fermentasi, dan

destilasi.

Proses hidrolisis yang biasa digunakan adalah

hidrolisis asam karena lebih mudah dilakukan, namun

kelemahannya yaitu dihasilkan produk samping yang

dapat mengganggu dalam proses fermentasi (Subekti,

2006). Sehingga alternatif terbaik dalam proses

hidrolisis yaitu dengan menggunakan hidrolisis enzim,

dimana selulosa akan dikonversi menjadi glukosa oleh

enzim selulase. Hidrolisis dengan enzim komersial

membutuhkan biaya yang mahal, sehingga diperlukan

suatu metode yang tepat, efisien dan murah. Metode

tersebut yaitu memanfaatkan kapang yang dapat

menghasilkan enzim selulase dimana selama ini jarang

dilakukan.

Kapang Aspergillus sp. dengan kode (H5) hasil

eksplorasi kapang di Taman Nasional Alas Purwo telah

berhasil diuji selulolitik yang mampu mendegradasi

selulosa dengan memproduksi enzim lignoselulolitik

seperti enzim selulase. Enzim selulase merupakan

enzim kompleks yang terdiri dari endoglukanase,

eksoglukanase,

dan

β-glikosidase. Enzim

endoglukanase memecah selulosa amorf menjadi

selulosa rantai pendek kemudian dilanjutkan enzim

eksoglukanase memecah selulosa rantai pendek

menjadi selobiosa, dan terakhir akan dipecah selobiosa

menjadi glukosa oleh enzim β-glikosidase (Pikukuh,

2012). Kemudian glukosa dikonversi menjadi etanol

dalam proses fermentasi dengan menggunakan bakteri

Zymomonas mobilis. Adapun dasar penggunaan bakteri

fermentatif ini karena memiliki kelebihan, diantaranya

tahan terhadap etanol konsentrasi tinggi (15%) (Busche

et al., 1992), lebih toleran terhadap suhu dan pH

rendah (3,5-7,5) (Nowak, 2000), serta dapat

menghasilkan etanol lebih cepat. Penggunaan jalur

Entner-Doudoroff (ED) inilah yang membuatnya lebih

cepat menghasilkan etanol dibandingkan dengan

mikroorganisme yang menggunakan jalur

Embden-Meyerhoff-Parnas (EMP). Hal ini disebabkan pada

jalur ED, dihasilkan 1 ATP dari 1 molekul glukosa

(Chrisnawati et al, 2009).

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang

dilakukan Prasetyo et al (2010), memanfaatkan sampah

organik di Pasar Wonokromo Surabaya dengan metode

hidrolisis asam dan fermentasi menggunakan bakteri

Zymomonas mobilis terbukti mengandung etanol.

Mushlihah (2011), meneliti produksi bioetanol dari

sampah buah jeruk menggunakan bakteri Zymomonas

mobilis menghasilkan etanol 11,64% selama 6 hari,

sedangkan Faizah (2012) dari sampah buah tomat

menghasilkan etanol 9,68% selama 6 hari. Adanya

perbedaan substrat dan metode yang dilakukan dapat

mempengaruhi hasil akhir dalam pembuatan bioetanol.

Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian

untuk mengetahui potensi kapang Aspergillus sp.

dalam proses hidrolisis untuk produksi etanol dari

sampah sayur dan buah Pasar Wonokromo Surabaya.

Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu

sampah sayur dan buah yang digunakan berasal dari

Pasar Wonokromo Surabaya. Hidrolisis yang dilakukan

adalah hidrolisis enzim menggunakan kapang

Aspergillus sp. dan fermentasi menggunakan bakteri

Zymomonas mobilis. Variabel bebas dalam penelitian

ini adalah konsentrasi inokulum bakteri Zymomonas

mobilis (0, 5, 10, dan 15%) dan lama waktu fermentasi

(0, 2, 4, 6, dan 8 hari), sedangkan variabel terikat

adalah kadar etanol. Semua perlakuan disesuaikan

dengan kondisi optimum Zymomonas mobilis.

II.

METODE PENELITIAN

2.1.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November

2012 sampai Mei 2013 di Laboratorium Botani,

Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi,

Laboratorium Zoologi dan Laboratorium Mikologi,

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh

Nopember; Laboratorium Mikrobiologi, Departemen

Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas

Airlangga; dan Laboratorium Penelitian, Fakultas

Farmasi, Universitas Surabaya. Pengambilan sampah

sayur dan buah dilakukan di Pasar Wonokromo

Surabaya.

2.2.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah laminair air flow, autoklaf, oven, blender,

saringan mesh ukuran 40, gelas ukur, labu ukur, gelas

beaker, corong, neraca analitik, inkubator, magnetik

stirer, erlenmeyer, cawan Petri, tabung reaksi, jarum

(3)

ose, jarum tanam tajam, pipet tetes, pipet mikro, pipet

ukur, pipet volume, kulkas, centrifuge, centrifuge tube,

rotary shaker, termometer, spektrofotometer, kuvet,

labu ukur, botol fermentor, destilator, piknometer,

tabung gas nitrogen, rak tabung reaksi, vortex mixer,

bunsen, kantong plastik, kertas label, spatula, dan

kamera digital.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah sampah sayur dan buah dari Pasar

Wonokromo Surabaya, Zymomonas mobilis koleksi

Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut

Teknologi Sepuluh Nopember, Aspergillus sp. koleksi

Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas

Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, aquades,

media NA, NaOH, HCl, glukosa, yeast extract, Nelson

A dan B, arsenomolybdat, (NH4)2SO4, K2HPO4,

MgSO4.7H2O, agar, KH2PO4, CaCl2, CMC,

FeSO4.7H2O, MnSO4.H2O, ZnSO4.H2O, CoCl2,

aluminium foil, wrap, kertas pH, sumbat karet, kapas

lemak, kassa, dan kertas saring.

2.3.

Cara Kerja

2.3.1. Sterilisasi Alat

Semua alat-alat gelas yang digunakan untuk

fermentasi dilakukan sterilisasi panas kering

menggunakan oven pada suhu 160

o

C, selama 2 jam

ataupun dengan pembakaran secara langsung seperti

jarum ose dan jarum tanam tajam. Sedangkan media

yang akan digunakan dilakukan sterilisasi panas basah

menggunakan autoklaf, tekanan 2 atm pada suhu 121

o

C

selama 15 menit.

2.3.2. Persiapan Bahan dan Perlakuan Awal

(Pretreatment)

Sampah diambil dari Pasar Wonokromo

Surabaya sebanyak 2 kilogram. Setelah itu sampah

dipilah, diambil sampah sayur dan buah yang

mengandung selulosa dan dicuci bersih. Perlakuan

awal (pretreatment) pada sampah dilakukan secara

fisik, mekanik dan kimia. Pretreatment secara fisik,

sampah dikeringkan di bawah sinar matahari sampai

kering (±1-2 hari). Kemudian dilakukan pretreatment

secara mekanik dengan dipotong-potong berukuran ±2

cm, dihaluskan dengan diblender, diayak dengan

saringan mesh ukuran 40 dan disimpan di tempat yang

kering. Sedangkan untuk pretreatment secara kimia,

sampah direndam dengan NaOH 2% (wt),

perbandingan 1:6 (b/v) pada suhu ruang selama 24 jam,

kemudian diautoclave pada suhu 120

o

C selama 1 jam.

Setelah itu dicuci dengan air kran hingga pH netral (7)

dan dioven pada suhu 65

o

C hingga diperoleh berat

konstan (Gunam et al, 2010). Penggunaan ekstrak ini

untuk proses pembuatan kurva pertumbuhan,

pembuatan starter, hidrolisis dan proses fermentasi.

2.3.3. Proses Hidrolisis Enzim Menggunakan

Kapang Aspergillus sp.

Tahap ini terdiri dari beberapa tahapan

diantaranya tahap kultur kapang Aspergillus sp. isolat

dari hasil eksplorasi kapang di Taman Nasional Alas

Purwo Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga. Setelah tahap kulur kapang,

dilakukan tahap produksi enzim, tahap pemanenan dan

pengujian aktivitas enzim (Gunam et al, 2010). Tahap

kultur kapang Aspergillus sp. dimulai dengan membuat

media kultur Potato Dextrose Agar (PDA). Aspergillus

sp. dikultur dalam tabung reaksi yang berisi media

PDA steril menggunakan jarum tanam tajam dan

diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang (Safaria et al,

2013).

Tahap produksi enzim diawali dengan membuat

medium Andreoti yang dituang ke dalam botol ukuran

500 ml sebanyak 150 ml, ditambahkan ekstrak sampah

yang telah di-pretreatment sebanyak 1,5 gr (1%),

ditutup menggunakan kapas lemak dan dilakukan

pengaturan pH awal yaitu 5, selanjutnya ditutup

dengan kapas lemak, disterilisasi pada suhu 121

o

C

selama 20 menit dalam autoklaf (Safaria et al, 2013).

Suspensi spora yang dibuat dari Aspergillus sp.

berumur 7 hari dipindahkan ke dalam medium

fermentasi pada konsentrasi 10% (v/v) dan diaduk

secara aseptis di atas rotary shaker dengan kecepatan

120 rpm selama 7 hari (Gunam et al, 2010).

Tahap pemanenan dan pengujian enzim

dilakukan pada akhir fermentasi yaitu hari ke-7. Enzim

kasar disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama

16 menit, diambil filtrat, dan disaring menggunakan

kertas saring sampai larutan menjadi bening. Hasil

saringan merupakan enzim kasar yang siap dianalisis.

Selanjutnya hasil hidrolisis disebut hidrolisat. Dalam

penelitian ini parameter yang diamati yaitu pengujian

aktivitas enzim endoglukanase menggunakan substrat

CMC 1%. Hasil pengukuran absorbansi filtrat enzim

(dikoreksikan dengan blanko), diplotkan dalam satuan

unit/ml filtrat enzim. Satu unit aktivitas enzim

endoglukanase sebanding dengan satu mikromol

glukosa yang dihasilkan dari perlakuan enzim terhadap

substrat larutan CMC 1% selama 1 menit, atau jumlah

mg/ml glukosa yang dihasilkan dikalikan dengan 0,185

unit (Gunam et al, 2010).

2.3.4. Pembuatan Kultur Stok dan Kultur Kerja

Isolat Zymomonas mobilis disubkultur dalam

tabung reaksi yang berisi medium NA (Nutrien Agar)

miring dan diinkubasi pada suhu 30

o

C selama 24 jam.

Untuk memperkaya jumlah sel, maka medium

ditambahkan 20g/L glukosa, 10 g/L yeast extract, 1 g/L

(NH4)2SO4, 1 g/L K2HPO4, 0,5 g/L MgSO4.7H2O)

(Struch et al, 1991).

2.3.5. Pembuatan Kurva Pertumbuhan

Aktivasi Zymomonas mobilis dilakukan dengan

mengambil 1 ose kultur kerja yang diinokulasi ke

dalam erlenmeyer 50 ml yang berisi 5 ml hidrolisat

ekstrak sampah yang telah disterilisasi dan telah diatur

pH menjadi 4 dengan penambahan larutan HCl 30%

dan diinkubasi dalam inkubator suhu 30

o

C selama 24

jam (aktivasi I). Setelah 24 jam, hasil dari aktivasi I

diambil sebanyak 1 ml (10%) dan diinokulasikan ke

(4)

dalam erlenmeyer 50 ml yang berisi 9 ml hidrolisat

ekstrak sampah yang telah disterilisasi kemudian

diinkubasi dalam inkubator pada suhu 30

o

C selama 24

jam (Aktivasi II). Kemudian diambil 5 ml (10%) dari

hasil aktivasi II dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer

100 ml yang berisi 45 ml hidrolisat ekstrak limbah

sayur dan limbah buah yang telah disterilisasi

kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 30

o

C

selama 24 jam yang disebut sebagai kultur fermentasi

(Cazetta et al, 2007 dan Zhang et al, 2010).

Dilakukan pengenceran dari 10

-1

sampai dengan

10

-9

. Medium kultur diambil 1 ml dan dimasukkan ke

dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml aquades steril.

Tabung reaksi yang berisi campuran tersebut divortex

dengan vortex mixer, dipipet sebanyak 1 ml dan

dimasukkan ke dalam tabung reaksi berikutnya.

Pembuatan grafik kurva pertumbuhan dilakukan

dengan cara pengukuran absorbansi Zymomonas

mobilis diukur pada panjang gelombang 600 nm

dengan interval tiap 1 jam sekali selama 24 jam. Dibuat

grafik kurva pertumbuhan dari nilai absorbansi dan

waktu fermentasi (Obire, 2005).

Penentuan regeneration (doubling) time (Td)

dilakukan selama fase log, dimana waktu inkubasi

dengan nilai Td tertinggi dijadikan sebagai usia starter.

Rumusnya sebagai berikut:

1

= Log2 NT – Log2 N0

Td

T – L

dimana : Td

= Waktu Doubling Time

N0

= Jumlah sel awal

NT

= Jumlah sel setelah waktu T

T

= Waktu pada jumlah sel NT

L = Waktu pada jumlah sel N0

(Hogg, 2005).

2.3.6. Pembuatan Starter

Zymomonas mobilis diambil 1 ose dan

diinokulasi ke dalam erlenmeyer 50 ml yang berisi 5

ml hidrolisat ekstrak limbah sayur dan limbah buah

steril yang telah diatur pH menjadi 4 dengan

penambahan larutan HCl 30%. Kemudian diinkubasi

dalam inkubator pada suhu 30

O

C selama 24 jam

(Aktivasi I). Sebanyak 1 ml dari aktivasi I (10%)

dipipet dan diinokulasi kembali ke dalam erlenmeyer

yang berisi 9 ml hidrolisat ekstrak limbah sayur dan

limbah buah, diinkubasi dalam inkubator pada suhu

30

O

C selama 24 jam (Aktivasi II). Sebanyak 5 ml dari

aktivasi II (10%) dipipet dan diinokulasi kembali ke

dalam erlenmeyer 100 ml yang berisi 45 ml hidrolisat

ekstrak limbah sayur dan limbah buah, diinkubasi

dalam inkubator pada suhu 30

O

C sampai jam dimana

fase log Zymomonas mobilis terjadi (sesuai dengan

kurva pertumbuhan) (Aktivasi III) (Cazetta et al, 2007

dan Zhang et al, 2010).

2.3.7. Proses Fermentasi

Starter ditambahkan dengan konsentrasi sesuai

dengan rancangan penelitian (0, 5, 10 dan 15%) ke

dalam botol fermentor 100 ml yang berisi 50 ml

ekstrak limbah sayur dan limbah buah, diinkubasi

dengan lama sesuai dengan rancangan penelitian (0, 2,

4, 6 dan 8 hari) pada suhu kamar. Jika pada 4 hari

kadar etanol belum menurun, maka proses fermentasi

dilanjutkan. Proses fermentasi dilanjutkan pada kondisi

anaerob dilakukan dengan menggunakan teknik

Hungate, yaitu dengan mengalirkan gas nitrogen ke

dalam fermentor. Fermentor ditutup dengan penutup

sumbat karet dan kemudian dialiri gas nitrogen selama

2 menit. Untuk proses fermentasi 0 hari langsung

melalui tahap pasteurisasi. Setelah proses fermentasi

selesai, tutup botol dilepas, ditutup dengan kapas lemak

dan dipasteurisasi pada suhu ±80

o

C selama 10 menit

(Puspita et al, 2010). Tujuan dari pasteurisasi ini

adalah untuk mematikan bakteri yang terkandung

dalam sampel sehingga proses fermentasi dapat

berhenti (Faizah, 2012).

2.3.8. Pengukuran Kadar Etanol

Tabung distilasi dan labu gondok 250 ml

disiapkan, selanjutnya 50 ml sampel cairan hasil

fermentasi menggunakan labu ukur 50 ml dan

dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Dididihkan

dengan hati-hati untuk menghindari buih yang

berlebihan, destilasi campuran alkohol dan air sampai

dapat dikumpulkan tepat 5 ml distilat (Purwanto,

2004).

Sementara dilakukan destilasi, piknometer

dikalibrasi. Piknometer diisi akuades destilasi dan

ditutup. Piknometer dan akuades ditimbang, berat yang

didapat adalah W2. Kemudian piknometer

dikosongkan, akuades yang tersisa diabsorbsi dengan

aseton. Tabung piknometer dikeringkan dengan oven.

Piknometer yang telah kering ditimbang, berat yang

didapatkan adalah W1. Berat akuades (W) dihitung

dengan cara W2-W1 (Purwanto, 2004).

Distilat dipindahkan ke dalam gelas beaker

kering. Distilat diaduk supaya homogen sebelum

diisikan ke piknometer. Piknometer kering diisi dengan

distilat, permukaan luar piknometer dikeringkan dan

ditimbang. Hasil yang didapat adalah W3.

Berat distilat adalah W3-W1=L. Berat air (L)

dihitung dengan specific gravity atau spg = L/W. Nilai

spg ditentukan dengan menggunakan Tabel AOAC

(Analysis of the Association of Official Analitical

Chemist) dan selanjutnya persentase etanol dihitung

(Purwanto, 2004).

2.3.9. Pengukuran Gula Reduksi

Gula reduksi diukur dengan menggunakan

metode Nelson-Somogyi (Safaria et al, 2013). Sampel

1 ml ditambah akuades sampai volume akhir 10 ml.

Campuran diambil 1 ml dan ditambah 9 ml akuades.

Sampel diambil 1 ml dan dicampur 1 ml larutan Nelson

(campuran Nelson A&B; 25:1 v/v), kemudian

dipanaskan pada suhu 100

o

C selama 20 menit. Sampel

didinginkan sampai mencapai suhu kamar. Sampel

ditambah 1 ml larutan arsenomolybdat dan 7 ml

akuades kemudian digojok menggunakan vortex.

(5)

Campuran tersebut dimasukkan kuvet dan diukur

penyerapan cahaya tampak (visible) pada panjang

gelombang 510 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh

dikurangi nilai absorbansi blanko sehingga diperoleh

nilai absorbansi sampel. Nilai absorbansi sampel

dikonversi ke kadar gula reduksi (mg/ml) berdasar

persamaan regresi larutan standar (Dewi et al, 2005).

(Budiono, 1996).

2.4.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah

RAL (Rancangan Acak Lengkap) pola faktorial dengan

2 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah konsentrasi

inokulum Zymomonas mobilis (0, 5, 10 dan 15%).

Faktor kedua adalah lama waktu fermentasi (0, 2, 4, 6

dan 8 hari). Masing-masing perlakuan diulang

sebanyak 2 kali, sehingga diperoleh 40 unit percobaan.

Parameter yang diamati adalah kadar etanol (%).

2.5.

Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA

atau Analysis Of Variance untuk mengetahui pengaruh

interaksi faktor konsentrasi inokulum Zymomonas

mobilis dan lama waktu fermentasi terhadap kadar

etanol yang dihasilkan dengan hipotesa:

Ho

: Tidak ada pengaruh interaksi antara

konsentrasi inokulum Zymomonas

mobilis dan lama waktu fermentasi

terhadap persentase (%) etanol yang

dihasilkan.

H1

: Ada pengaruh interaksi antara konsentrasi

inokulum Zymomonas mobilis dan lama

waktu fermentasi terhadap persentase (%)

etanol yang dihasilkan.

Jika H1

diterima, maka dilanjutkan dengan uji

Tukey pada taraf kepercayaan 95% (α=0,05) untuk

mengetahui perbedaan nyata antara pengaruh

kombinasi perlakuan konsentrasi inokulum dan lama

waktu fermentasi (Walpole, 1992).

III.

HASIL DAN DISKUSI

3.1. Potensi Kapang Aspergillus sp. dalam

Proses Hidrolisis

Proses hidrolisis pada penelitian ini

menggunakan kapang Aspergillus sp. isolat dari

Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga yang didapatkan dari

hasil

eksplorasi kapang di Taman Nasional Alas Purwo dan

berhasil diuji selulolitik. Isolat dengan kode H5

yang

digunakan

ini berhasil diteliti hingga tahap genus yaitu

genus Aspergillus. Menurut Gugnani (2003), genus

Aspergillus pada umumnya bereproduksi secara

aseksual, dapat mendegradasi sejumlah komponen

organik gula, asam lemak, protein, selulosa, pektin dan

xylan.

Kapang bersifat heterotrof, memerlukan sumber

C-organik sehingga sebelum dilakukan hidrolisis,

kapang ditumbuhkan atau diremajakan pada media

potato dextrosa agar (PDA) terlebih dahulu.

Peremajaan ini berfungsi menjaga agar biakan jamur

tetap hidup, ciri-ciri genetiknya tetap stabil dan tidak

berubah. Medium PDA yang digunakan dalam

peremajaan menurut Waluyo (2006), merupakan media

padat yang umum digunakan untuk medium

pertumbuhan kapang. Kentang merupakan sumber

utama karbohidrat yang mengandung vitamin dan

mineral yang cukup tinggi. Dextrosa berfungsi

memenuhi kebutuhan karbon dalam media PDA.

Menurut Gandjar (2006), senyawa karbon ini

dimanfaatkan kapang untuk membuat materi sel baru.

Untuk mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi,

sebelum dilakukan peremajaan, media PDA disterilkan

terlebih dahulu dengan autoklaf 121

o

C, selama 20

menit.

Usia kapang yang digunakan dalam proses

hidrolisis yaitu hari ke-7 karena menurut penelitian

Adham (2001), Lotfly et al (2006), waktu optimum

pertumbuhan spora kapang genus Aspergillus sp. hari

ke-7 yaitu pada kisaran 10

5

-10

8

spora/ml. Hal ini juga

selaras dengan penelitian Widyanti (2010), yang

melakukan percobaan dengan kapang Aspergillus

niger, waktu optimum pertumbuhan spora pada hari

ke-7 dengan jumlah 14,7 x 10

7

spora/ml. Hal ini

dikarenakan pada hari ke-7 kapang berada pada akhir

fase log dan memasuki awal fase stasioner seperti pada

penelitian Sa’adah et al (2008), aktivitas enzim

selulase tertinggi diperoleh pada saat fase stasioner

yaitu setelah hari ke-4 fermentasi kapang Aspergilllus

sp.

Pemanenan enzim dilakukan pada akhir

fermentasi yaitu hari ke-7. Pada medium terlihat

adanya kapas-kapas berwarna putih dan tidak nampak

adanya sporulasi. Bentuk kapas tersebut adalah spora

atau konidia tunggal yang sudah tumbuh menjadi

miselium. Menurut Gandjar et al (2006), pemisahan

miselium dari medium harus melalui suatu

penyaringan. Maka dari itu, dilakukan penyaringan

dengan sentrifuse kecepatan 4000 rpm selama 16

menit. Filtrat yang telah disaring menggunakan kertas

saring sampai larutan menjadi bening, dianalisa

aktivitas enzimnya menggunakan substrat CMC 1%.

Melihat aktivitas sangat tinggi pada CMC, enzim ini

disebut sebagai CMC-ase atau biasa disebut dengan

endoglukanase (Anindyawati, 2009).

Menurut Gandjar et al (2006), nilai aktivitas

enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya

substrat, kelembapan, suhu, dan pH. Aktivitas enzim

pada hari ke-1 sampai hari ke-7 mengalami

peningkatan dan mencapai titik maksimum pada hari

ke-7 serta mengalami penurunan pada hari ke-8 seperti

pada Gambar 13. Hal ini selaras dengan penelitian

Gunam et al (2010), yang menyatakan bahwa produksi

enzim selama fermentasi dapat mencapai maksimum

dalam jangka waktu tertentu, kemudian mengalami

penurunan secara cepat atau perlahan-lahan, demikian

Konversi (%) = GR awal – GR akhir x 100% GR awal

(6)

juga aktivitas enzim dapat mengalami penurunan yang

tajam sehingga waktu pemanenan harus diketahui

dengan tepat untuk mendapatkan aktivitas yang

maksimal.

Gambar 1. Grafik nilai aktivitas enzim endoglukanase menggunakan kapang Aspergillus sp.

Nutrien yang ditambahkan ke dalam media

fermentasi akan habis selama berlangsungnya proses

fermentasi sampai dihasilkan aktivitas enzim yang

maksimal, kemudian dengan berkurangnya nutrien

akan mengakibatkan aktivitas produksi enzim dan

pertumbuhan kapang semakin menurun. Sehingga

dapat disimpulkan, waktu pemanenan enzim yang tepat

menggunakan kapang Aspergillus sp. dengan substrat

sampah sayur dan buah adalah hari ke-7 dengan nilai

aktivitas enzim endoglukanase sebesar 14,477 Unit/ml.

Satu unit aktivitas enzim selulase didefinisikan sebagai

jumlah enzim yang menghasilkan satu mikromol gula

reduksi (glukosa) setiap menitnya.

Media yang digunakan dalam proses hidrolisis

yaitu medium Andreoti dengan pH awal 5, karena

menurut Gunam et al (2010), pada kondisi pH 4-5

merupakan pH yang optimal untuk pertumbuhan

Aspergillus sp. sehingga kapang dapat melakukan

aktivitas yang maksimal. Pada penelitian Widyastuti

(2008), dijelaskan bahwa secara umum kapang dapat

tumbuh dan menghasilkan berbagai macam enzim pada

kisaran pH asam. Kondisi pH yang rendah

mempermudah pelepasan enzim selulase, sedangkan

kondisi pH yang tinggi menyebabkan pelepasan enzim

selulase ke luar sel akan terhambat. Pada akhir

hidrolisis, pH mengalami perubahan menjadi pH 6.

Sampai pada suatu titik, kecepatan suatu reaksi

enzimatik meningkat sejalan dengan meningkatnya pH.

Menurut Campbell et al (2002), nilai pH optimal untuk

bekerja paling aktif pada kapang Aspergillus sp. sekitar

6 sampai 8. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH

karena sifat ionik gugus karboksil dan gugus amino

yang mudah dipengaruhi pH.

Dalam penelitian ini suhunya adalah suhu

ruang, karena pada suhu tersebut merupakan suhu

optimum kapang genus Aspergillus (28-30

o

C). Di atas

suhu optimum, kecepatan reaksi menurun tajam karena

enzim sebagai protein akan terdenaturasi, sedangkan

pada suhu terlalu rendah enzim tidak dapat bekerja.

Selain itu, kelembapan juga dapat mempengaruhi

aktivitas enzim, berkaitan dengan pertumbuhan

kapang. Genus Aspergillus dapat tumbuh baik pada

kelembapan nisbi 80%. Dilakukannya penggoyangan

menggunakan rotary shaker dengan tujuan menjamin

ketersediaan oksigen dalam medium, dimana menurut

Agus (1995), kecepatan goyangan yang tinggi dalam

erlenmeyer akan menyebabkan spora didespersikan

secara homogen sehingga tidak bersporulasi di

permukaan.

Jumlah substrat atau ekstrak sampah yang telah

di-pretreatment yaitu 1,5 gr ekstrak dimasukkan ke

dalam 150 ml media Andreoti atau sebesar 1% dari

total medium. Hal ini berkatitan dengan penelitian

Gunam et al (2010) yang menyatakan bahwa substrat

yang terlalu tinggi dapat menyebabkan media

fermentasi menjadi agak pekat, sehingga menimbulkan

masalah dalam sirkulasi udara, penurunan tingkat

homogenitas dan penyebaran kapang. Ukuran substrat

juga dapat mempengaruhi menurut Gandjar et al

(2006), semakin kecil substrat, maka semakin mudah

kontak enzim yang terjadi Jadi, dalam proses hidrolisis

harus diperhatikan pH, suhu, kelembapan, dan substrat

yang optimum bagi kapang sehingga dihasilkan

aktivitas enzim yang besar.

Selain itu juga harus diperhatikan nutrisi dalam

proses hidrolisis. Pada penelitian ini digunakan

medium Andreoti karena terdapat banyak nutrisi yang

dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan sel kapang

maupun produktivitas enzim. Misalnya, menurut

Gandjar et al (2006), (NH4)2SO4

merupakan sumber

nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan kapang

dan sekresi enzim. MgSO4 dan CaCl2 diperlukan

kapang sebagai pengendapan senyawa-senyawa kimia

yang dapat mengganggu pertumbuhannya serta sebagai

kofaktor dalam mengatur jumlah enzim yang terlibat

dalam reaksi.

Sifat kapang yang heterotrof mampu

mengasimilasi karbon organik menjadi karbon organik

lain dengan bantuan oksidasi senyawa organik lain.

Sumber karbon organik yaitu selulosa akan diubah

menjadi karbon organik lain yaitu glukosa dalam

proses hidrolisis ini. Enzim extraseluler yang

dihasilkan oleh kapang Aspergillus sp. proses

hidrolisisnya terjadi di luar sel mikroorganisme bersifat

selulolitik. Dimana menurut Lynd et al, (2002),

selulase merupakan enzim kompleks yang terdiri dari

selobiohidrolase (eksoglukanase), endoglukanase atau

carboxy methyl cellulose (CMC-

ase) dan

β-glukosidase, bekerja dengan memutus ikatan

glikosidik. Menurut Onsori et al (2005) kerja enzim

selulase sebagai berikut, enzim endoglukanase bekerja

pada selulosa amorf (larut) atau pada selulosa yang

mempunyai kristalin rendah seperti carboxy methyl

cellulose (CMC) menjadi selulosa rantai pendek

dengan menghidrolisis secara acak pada bagian dalam

ikatan β-1,4-D-glikosidik di selulosa. Enzim

eksoglukanase memecah selulosa rantai pendek

menjadi selobiosa dan enzim β-glukosidase memecah

selobiosa menjadi glukosa.

Oleh karena perhitungan aktivitas enzim

menggunakan substrat CMC 1%, maka aktivitas enzim

endoglukanase saja yang dapat diketahui dalam

penelitian ini. Selain itu, enzim yang didapat

1.377 3.814 4.614 6.468 7.923 12.724 14.477 12.251 0.000 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 16.000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A k ti vi tas E n zi m ( uni t/ m l)

(7)

merupakan enzim kasar yang tidak dimurnikan,

sehingga kemungkinan besar mengandung juga

enzim-enzim lain seperti enzim-enzim hemiselulase. Menurut

Wiratmaja et al (2011), hidrolisis sempurna selulosa

akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa,

sedangkan hemiselulase dapat menghasilkan glukosa,

mannosa dan galaktosa (heksosa) serta xilosa dan

arabinosa (pentosa). Enzim hemiselulase ini khususnya

enzim xilanase berperan dalam menghidrolisis

hemiselulosa menjadi gula xilosa (Widjaja et al, 2012).

Hal ini perlu pembuktian misalnya dengan analisa

HPLC, yang dapat membedakan antara glukosa dan

xilosa karena dengan metode Nelson-Somogyi yang

digunakan dalam penelitian ini hanya mampu

menganalisa total gula reduksi tanpa membedakan

jenis gula reduksinya.

Kadar gula reduksi sebelum diinokulasikan

kapang Aspergillus sp., sebesar 2,14%. Setelah

dilakukan hidrolisis, kadar gula reduksi meningkat

menjadi 10,80%. Peningkatan kadar gula reduksi ini

membuktikan bahwa penggunaan kapang Aspergillus

sp. tidak berbeda jauh dengan hidrolisis asam maupun

enzim komersial yang sering dilakukan dalam beberapa

penelitian. Misalnya pada penelitian Sulfahri et al

(2011), produksi etanol dari spirogyra dengan proses

hidrolisis menggunakan enzim komersial dapat

menghasilkan gula reduksi awal 10,05%. Sedangkan

pada penelitian Prasetyo et al (2010), dengan proses

hidrolisis asam menggunakan sampah pasar dapat

menghasilkan kadar gula reduksi awal 9,98%. Menurut

Safaria et al (2013), hidrolisis enzim memiliki

beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis kimia

yakni tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, dan

berlangsung pada suhu rendah karena tidak ada bahan

yang korosif. Gula reduksi inilah yang akan dijadikan

sebagai data sekunder dalam produksi etanol selain

suhu, pH dan substrat karena glukosa dari proses

hidrolisis akan diubah menjadi etanol dalam proses

fermentasi menggunakan bakteri Zymomonas

mobilis.Untuk dapat diketahui hubungan kapang

Aspergillus sp. berpotensi atau tidak untuk dijadikan

alternatif dalam proses hidrolisis enzim, dapat

diketahui melalui hasil etanol yang terbentuk.

3.2.

Produksi Etanol dari Sampah Sayur dan

Buah Pasar Wonokromo Surabaya

Sampel sampah yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu sampah organik yang didapatkan

melalui metode sampling di Pasar Wonokromo

Surabaya, sampah yang mendominasi adalah sampah

sayur dan buah. Hal ini selaras dengan penelitian

Soedjono et al (2011) dan Winanti (2006) yang

menyatakan bahwa Pasar Wonokromo Surabaya

merupakan pasar induk, dimana volume total

sampahnya 30m

3

/hari dengan komposisi sampah

organik 26m

3

/hari atau sebesar 87%. Sampel sampah

sayur dan buah yang diambil yaitu terdiri dari lima

jenis sampah sayur (kangkung, kacang panjang, selada,

kenikir, dan sawi hijau) dan lima jenis sampah buah

(pisang raja, apel, jeruk, jambu biji, dan pepaya) yang

merupakan sampah terbanyak setiap harinya dengan

kandungan serat yang besar juga. Kandungan serat

pada masing-masing jenis sampah dapat dilihat pada

Tabel 1.

Sumber serat dalam sayuran dan buah-buahan

terdapat dalam struktur dinding selnya, terutama pada

jaringan parenkim dan sebagian dari jaringan

terlignifikasi. Komponen serat yang terkandung dalam

jaringan parenkim adalah selulosa, substansi pektat,

hemiselulosa, dan beberapa jenis glikoprotein.

Sedangkan komponen serat yang terkandung dalam

jaringan terlignifikasi adalah selulosa, lignin,

hemiselulosa, dan beberapa jenis glikoprotein

(Selvendran et al, 1984 dalam Muchtadi, 2001).

Sampah sayur dan buah memiliki potensi

sebagai bahan baku pembuatan bioetanol karena 65%

kandungan terbesar sampah kota adalah sampah

organik dengan biomassa berat keringnya mengandung

75% pati, hemiselulosa, dan selulosa yang terdiri atas

sayur-sayuran, buah-buahan, dedaunan, kulit buah,

bambu, dan ranting kayu. Selain itu, menurut Irawan et

al (2010), bahan baku lignoselulosa berharga murah,

melimpah, belum banyak dimanfaatkan dan dapat

menjadi alternatif penanganan sampah sehingga tidak

diperlukannya lahan yang luas serta tidak

menimbulkan kompetisi antara ketersediaan bahan

baku untuk pangan dan untuk sumber energi

(Wiratmaja et al, 2011).

Tabel 1. Kadar serat beberapa jenis sayur dan buah.

No Bahan Kadar serat Sumber pustaka

1. Kangkung 61,34 (% berat kering) (Muchtadi, 1998)

2. Kacang panjang 49,47 (% berat kering) (Muchtadi, 1998)

3. Selada 50,07 (% berat kering) (Muchtadi, 1998)

4. Kenikir 56,76 (% berat kering) (Muchtadi, 1998)

5. Sawi hijau 51,07 (% berat kering) (Muchtadi, 1998)

6. Pisang raja 10,34 (dalam 100 gr bahan) (Wirakusumah, 1994)

7. Apel 23,17 (dalam 100 gr bahan) (Wirakusumah, 1994)

8. Jeruk 6,07 (dalam 100 gr bahan) (Wirakusumah, 1994)

9. Jambu biji 5,60 (dalam 100 gr bahan) (Wirakusumah, 1994)

10. Pepaya 8,85 (dalam 100 gr bahan) (Wirakusumah, 1994)

Produksi etanol terdiri dari beberapa tahapan

yaitu pretreatment, hidrolisis, fermentasi dan destilasi.

Degradasi selulosa tidak bisa dilakukan dengan mudah

karena keberadaan selulosa dalam struktur

lignoselulosa yang sangat kompleks, antara lain dengan

adanya struktur kristalin dalam selulosa serta adanya

ikatan yang kuat antara selulosa dengan lignin sehingga

diperlukan proses pemutusan ikatan lignoselulosa yang

disebut pretreatment.

Macam pretreatment yang dilakukan dalam

penelitian ini yaitu pretreatment fisik, mekanik dan

kimiawi. Pada pretreatment fisik, sampah yang telah

dicuci bersih, dijemur di bawah sinar matahari sampai

kering (±1-2 hari) dengan tujuan untuk mengurangi

kadar air sampah sayur dan buah yang mencapai 55,38

% (Yenni et al, 2012). Setelah itu dilakukan

pretreatment mekanik dengan memotong sampah yang

sudah kering ±2 cm, diblender, diayak menggunakan

mesh berukuran 40. Hal ini dilakukan dengan tujuan

(8)

luas permukaan substrat (Sa’adah et al, 2008). Menurut

Sun et al (2002), ukuran bahan baku akan

mempengaruhi porositas, sehingga dapat

memaksimalkan kontak antara bahan baku dengan

enzim. Semakin kecil ukuran substrat, maka akan

mempermudah terdegradasinya lignin sehingga

selulosa dan hemiselulosa akan terhidrolisis secara

optimal.

Proses

pretreatment

yang terakhir yaitu

pretreatment kimia dengan menggunakan NaOH.

Proses ini biasa disebut dengan delignifikasi, yaitu

suatu proses pembebasan lignin dari suatu senyawa

kompleks. Delignifikasi dilakukan dengan larutan

NaOH karena natrium hiroksida ini akan membentuk

larutan alkali yang kuat ketika dilarutkan dalam air.

Menurut Artati et al (2009), lignin tidak akan larut

dalam larutan asam, tetapi mudah larut dalam larutan

alkali encer. Sehingga larutan NaOH ini dapat

menyerang dan merusak struktur lignin, bagian

kristalin dan amorf, memisahkan sebagian lignin dan

hemiselulosa serta menyebabkan penggembungan

struktur selulosa (Gunam et al, 2010). Proses

delignifikasi dengan NaOH menyebabkan ikatan silang

dari struktur aromatik lignin dapat memperlambat

penetrasi oleh enzim sehingga mempengaruhi proses

hidrolisis. Ion OH

-

dari NaOH akan memutus

ikatan-ikatan dari struktur dasar lignin. Sedangkan ion Na

+

akan berikatan dengan lignin membentuk natrium

fenolat. Garam fenolat ini bersifat mudah larut. Lignin

yang terlarut ditandai dengan warna hitam pada larutan

yang disebut lindi hitam atau black liquor (Safaria et

al, 2013).

Struktur kimia lignin akan mengalami

perubahan di bawah kondisi suhu tinggi,

mengakibatkan lignin terpecah menjadi partikel yang

lebih kecil dan terlepas dari selulosa, maka dari itu

diautoklaf pada suhu 121

o

C selama 1 jam (Wiratmaja

et al, 2011). Setelah diautoklaf, dibilas dengan air

mengalir sampai pH 7. Proses penghilangan lignin ini

dapat dikatakan lama, yaitu ±12 jam. Semakin tinggi

hemiselulosa dan lignin pada limbah, semakin banyak

NaOH yang mengakses ikatan lignin dan hemiselulosa,

menyebabkan banyaknya NaOH yang kontak dengan

limbah, sehingga proses penghilangan NaOH semakin

lama (Mussato, 2010).

Hasil akhir proses pretreatment

yaitu

didapatkan ekstrak sampah sebesar 187 gr dari berat

awal sampah sayur dan buah 2000 gr. Ekstrak tersebut

kemudian dilanjutkan pada tahap hidrolisis untuk

dikonversi dari selulosa menjadi glukosa. Setelah

didapat hasil akhir proses hidrolisis yaitu glukosa,

dilanjutkan dengan tahap fermentasi dimana glukosa

dikonversi menjadi etanol. Proses fermentasi

dikondisikan pada keadaan optimum pertumbuhan

Zymomonas mobilis dengan suhu optimum 30

o

C, pH

4, dan kondisi anaerob dengan menggunakan teknik

Hungate, yaitu mengalirkan gas nitrogen ke dalam

fermentor. Hal ini sesuai dengan beberapa Garrity

(2005) yang menyebutkan bahwa Zymomonas mobilis

dapat tumbuh pada rentang pH 3,5-7,5 dan optimum di

pH 4, merupakan bakteri anaerob fakultatif.

3.2.1. Penentuan Umur Starter Zymomonas mobilis

Pada Medium Fermentasi

Pada proses fermentasi yang perlu dilakukan

adalah pembuatan starter. Starter merupakan biakan

mikroba tertentu yang ditumbuhkan di dalam substrat

atau medium untuk tujuan proses tertentu. Menurut

Webster et al (2007), pembutan starter adalah tahapan

adaptasi mikroba agar dapat menyesuaikan dengan

medium dan lingkungan yang baru. Kurva

pertumbuhan memberikan gambaran mengenai

faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan

suatu mikroba misalnya substrat, suhu lingkungan, dan

pH. Kurva petumbuhan Zymomonas mobilis pada

Gambar 14, diperoleh dengan menumbuhkan isolat

dalam medium nutrien Broth. Pengukuran jumlah sel

dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan

medium selama 24 jam dengan interval setiap 1 jam

sekali dan 3 kali pengulangan. Untuk mencegah

kontaminasi dalam pengambilan data, setiap

pengukuran absorbansi dilakukan dengan mengambil

data dari medium pada tabung yang berbeda.

Gambar 2. Kurva pertumbuhan bakteri Zymomonas mobilis pada medium sampah sayur dan buah.

Setiap mikroorganisme memiliki bentuk kurva

pertumbuhan yang spesifik. Pada kurva pertumbuhan

di atas, fase lambat atau lag phase ini terjadi pada jam

ke-0 sampai jam ke-3. Pada fase ini bakteri melakukan

metabolisme dalam mempersiapkan dan menyesuaikan

diri dengan kondisi pertumbuhan di lingkungan yang

baru sehingga tidak ada pertambahan jumlah sel yang

signifikan. Pertambahan sel mulai terlihat dan terus

menanjak pada jam ke-3 sampai jam ke-19. Fase ini

juga biasa disebut dengan fase eksponensial yaitu fase

perbanyakan jumlah sel, aktivitas sel meningkat, dan

merupakan fase yang penting dalam pertumbuhan

Zymomonas mobilis. Setelah terjadi pertambahan sel,

aktivitas sel akan meningkat pula, pada umumnya akan

cenderung stagnan, disebut fase stasioner yaitu pada

jam ke-19 sampai ke-24. Pada fase ini nutrisi yang

tersedia makin lama makin habis atau terjadi

penimbunan zat racun sebagai bahan akhir

metabolisme. Akibatnya kecepatan pertumbuhan

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Op tica l D en sit y ( OD ) Jam

(9)

ke-menurun dan pertumbuhan akhirnya terhenti.

Pertumbuhan bakteri berlangsung dengan

mengkonsumsi nutrien sekaligus mengeluarkan

produk-produk metabolisme yang terbentuk, maka

setelah waktu tertentu laju pertumbuhannya akan

menurun dan akhirnya akan terhenti sama sekali yang

disebut dengan fase kematian (death phase). Namun,

pada penelitian ini tidak ditemukan death phase karena

pada jam ke-24 kurva tetap menunjukkan grafik yang

stagnan.

Maka, dengan membuat kurva pertumbuhan ini

dapat ditentukan waktu yang optimal untuk starter.

Sehingga saat starter diinokulasikan ke dalam

hidrolisat untuk proses selanjutnya yaitu fermentasi

dapat menjadi optimal. Umur starter ditentukan dengan

menghitung laju pertumbuhan spesifik (µ) dan waktu

doubling time (tg) berdasarkan data jumlah sel dan

waktu inkubasi pada kurva pertumbuhan (Hogg, 2005).

Umur starter Zymomonas mobilis yang digunakan

berdasarkan kurva pertumbuhan yaitu jam ke-(6-7)

dimana besar laju pertumbuhannya menunjukkan

angka terbesar µ=0,476 generasi/jam dengan waktu

doubling time tercepat 80,56 menit.

3.2.2. Hasil

Interaksi Konsentrasi Inokulum

Bakteri Zymomonas mobilis dan Lama

Waktu Fermentasi

Terhadap Produksi

Etanol

Gula merupakan faktor penting bagi sel bakteri

sebagai sumber energi untuk metabolisme yang pada

akhirnya akan berpengaruh terhadap konsentrasi etanol

yang dihasilkan. Namun, besarnya konsentrasi etanol

yang didapatkan dari proses fermentasi tidak dapat

ditentukan hanya berdasarkan konsentrasi gula reduksi

saja, karena ada banyak faktor yang mempengaruhi

seperti konsentrasi inokulum, lama fermentasi, suhu,

pH dan nutrisi.

Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas

yaitu konsentrasi inokulum bakteri Zymomonas mobilis

(0, 5, 10 dan 15%) dan lama waktu fermentasi (0, 2, 4,

6, dan 8 hari). Variasi konsentrasi inokulum ditetapkan

atas dasar penelitian Wignyanto et al (2001), yang

menyatakan bahwa rentang konsentrasi yang sempit (6,

8, dan 10%) tidak memberikan hasil yang berbeda

nyata. Parameter yang diamati yaitu kadar etanol yang

terbentuk.

Tabel 2. Rerata kadar etanol (%) hasil fermentasi ekstrak samapah sayur dan buah pasar wonokromo surabaya menggunakan bakteri Zymomonas mobilis.

Konsentrasi inokulum

Jumlah etanol yang dihasilkan (%) dalam waktu fermentasi

0 hari 2 hari 4 hari 6 hari 8

hari 0% 0,00 h 0,00 h 0,10 h 0,20 h 0,20 h 5% 0,00 h 0,30 h 2,70 f 4,40 e 6,60 c 10% 0,00 h 2,30 g 5,00 d 9,50 a 9,10 b 15% 0,00 h 2,40 fg 5,40 d 9,40 ab 9,20 ab

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom dan baris menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada selang kepercayaan 95%.

Berdasarkan hasil uji Anova, F hitung lebih

besar dari F tabel yang berarti H0 ditolak dan H1

diterima. Sehingga ada pengaruh interaksi antara

konsentrasi inokulum Zymomonas mobilis dan lama

waktu fermentasi terhadap persentase (%) etanol yang

dihasilkan. Karena H1 diterima, maka dilanjutkan

dengan uji Tukey pada taraf kepercayaan 95% untuk

diketahui apakah terjadi perbedaan nyata antara

interaksi konsentrasi inokulum dan lama waktu

fermentasi. Berdasarkan uji Tukey, didapatkan hasil

bahwa konsentrasi inokulum dan lama fermentasi

sama-sama memiliki perbedaan yang nyata. Begitu

juga dengan hasil interaksi keduanya menunjukkan

perbedaan yang nyata, ditunjukkan dengan notasi yang

berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar 3. Grafik kadar etanol selama proses fermentasi dengan menggunakan Zymomonas mobilis.

Pada Grafik di atas dapat dilihat bahwa

konsentrasi inokulum 0% sebagai kontrol, grafik

menunjukkan posisi stagnan yang artinya tidak ada

produk fermentasi yang dihasilkan karena tidak ada

bakteri Zymomonas mobilis yang ditambahkan.

Fermentasi pada hari ke-4 sampai ke-8, etanol mulai

terbentuk yaitu 0,2% (v/v). Hal ini diduga pada

umumnya sayur dan buah yang masak mengandung

etanol secara alami. Sesuai dengan literatur Indrawati

et al (2009), menyatakan bahwa semakin masak sayur

dan buah, semakin tinggi kadar etanolnya namun masih

di bawah 1%. Dugaan ini diperkuat dengan data

statistik yang menyatakan bahwa pada hari ke-4 sampai

ke-8 dengan hari ke-0 sampai hari ke-2 termasuk dalam

grup yang sama (notasi h) berarti tidak berbeda nyata.

Seharusnya dalam kondisi tidak ada mikroba ini,

konversi gula reduksi tidak lebih besar dari kondisi

yang ditambahkan mikroba. Tetapi, pada Tabel 3

konversi gula reduksi pada konsentrasti inokulum 0%

tinggi yaitu 49,80%. Hal ini diduga karena etanol dari

sampah sayur dan buah tanpa penambahan Zymomonas

mobilis dengan pH 4 merupakan kondisi penggunaan

konversi gula reduksi dan air yang mendukung

terjadinya peristiwa fermentasi secara enzimatis yang

dihasilkan dalam sampah sayur dan buah. Dugaan ini

selaras dengan Yang et al (2009) yang menyatakan

0.00 0.10 0.20 0.20 0.30 2.70 4.40 6.60 2.30 5.00 9.50 9.10 0.00 2.40 5.40 9.40 9.20 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 K ad ar e tan ol ( % )

Lama fermentasi (hari)

Inokulum 0% Inokulum 5% Inokulum 10% Inokulum 15%

(10)

bahwa pada kondisi alami tanpa penambahan bakteri,

gula reduksi cenderung terkonversi menjadi asetaldehid

dan beberapa metabolit lain.

Tabel 3. Rerata gula reduksi awal dan akhir pada medium fermentasi. Inokulum GR awal (%) GR akhir (%) Konversi GR (%) Kadar etanol pada fermentasi hari ke-8 0% 10,80 5,42 49,80 0,20 5% 10,80 5,96 44,81 6,60 10% 10,80 5,37 50,27 9,10 15% 10,80 5,63 47,87 9,20

Keterangan: GR=Gula Reduksi.

Konversi gula reduksi dapat menggambarkan

seberapa besar gula reduksi yang dapat dikonversi

menjadi etanol. Hasil yang didapat bahwa rata-rata

hasil konversi gula reduksi yang terkonversi menjadi

etanol masih tergolong rendah yaitu kurang dari 80%.

Pada kadar etanol tertinggi misalnya, sebesar 9,50%

(v/v), gula reduksi yang terkonversi hanya 50,27%.

Apabila dibandingkan dengan penelitian Sulfahri et al

(2011) menggunakan hidrolisis enzim komersial, pada

kadar etanol jam ke-120 sebesar 8,61% (v/v)

menggunakan konsentrasi inokulum 10%, didapatkan

konversi gula reduksi sebesar 87,88%.

Nilai konversi gula reduksi yang tidak seberapa

besar ini diduga karena menggunakan enzim kasar dari

kapang Aspergillus sp. yang tidak dimurnikan sehingga

kemungkinan juga mengandung enzim-enzim lain

seperti hemiselulase dengan hasil akhir xilosa (pentosa)

bukan glukosa (heksosa). Bakteri Zymomonas mobilis

hanya dapat memfermentasikan gula heksosa bukan

pentosa, sehingga hanya sebagian gula reduksi yang

terkonversi. Selain itu, Juhasz et al (2003) dalam

Safaria et al (2013) menyebutkan bahwa genus

Aspergillus, menghasilkan β-glukosidase tinggi namun

endoglukanase dan eksoglukanasenya rendah. Hal ini

dapat diduga kuat dengan adanya pengukuran aktivitas

enzim eksoglukanase dan β-glukosidase juga.

Peningkatan kadar etanol terjadi seiring dengan

waktu fermentasi yang semakin lama. Misalnya pada

konsentrasi inokulum 5%, sampai pada fermentasi hari

ke-8 menunjukkan grafik yang terus meningkat. Hal ini

diduga bahwa sampai pada hari ke-8, masih terdapat

nutrisi yang ditambahkan pada medium fermentasi

seperti yeast extract yang merupakan sumber nitrogen

untuk pertumbuhan Zymomonas mobilis (Garrity,

2005). Sehingga sel bakteri akan tumbuh dan

membelah secara eksponensial sampai jumlah yang

maksimal atau masih memasuki fase logaritma. Selain

itu, glukosa pada medium fermentasi sampai pada hari

ke-8 masih banyak, nilai konversi gula reduksinya

44,81%.

Proses fermentasi ini dapat terus berlangsung

dengan memanfaatkan glukosa sebagi sumber energi

dalam siklus glikolisis yang menghasilkan piruvat.

Kemudian katabolisme piruvat secara anaerob akan

menghasilkan etanol dan CO2. Maka, dimungkinkan

dengan konsentrasi inokulum 5%, akan didapatkan

kadar etanol yang lebih besar dengan waktu fermentasi

yang lebih lama, karena pada hari ke-8 hanya

dihasilkan kadar etanol 6,6% (v/v). Maka dapat

disimpulkan bahwa penggunaan konsentrasi inokulum

5% dalam skala produksi kurang efektif untuk produksi

etanol karena membutuhkan waktu fermentasi yang

lama. Hal ini diperkuat dengan data uji statistik yang

menyatakan bahwa konsentrasi inokulum 5% (notasi b)

berbeda nyata dengan konsentrasi 10 dan 15%.

Sedangkan pada konsentrasi inokulum 10% dan

15%, menunjukkan grafik peningkatan etanol di hari

0 sampai hari 6 kemudian menurun pada hari

ke-8. Penurunan kadar etanol terjadi di hari ke-8 diduga

selama fermentasi, gula reduksi telah habis digunakan

bakteri Zymomonas mobilis untuk dikonversi menjadi

etanol. Hal ini sesuai dengan Yudoamijoyo et al (1992)

yang menyatakan bahwa semakin banyak gula reduksi

yang dapat dimanfaatkan oleh sel, semakin tinggi juga

kadar etanol yang dihasilkan. Data nilai konversi gula

reduksi jika dibandingkan dengan inokulum 5%, jauh

lebih besar yaitu pada inokulum 10% (50,27%) dan

inokulum 15% (47,87%).

Selain itu, semakin lama waktu fermentasi,

maka nutrisi dalam medium semakin berkurang dengan

adanya jumlah sel yang semakin bertambah dapat

mengakibatkan kompetisi dan akhirnya akan memasuki

fase kematian. Akumulasi etanol hasil metabolisme

mikroorganisme menurut Wignyanto et al (2001) dapat

menghambat pembelahan dan aktivitas fermentasi sel,

yang mengakibatkan jumlah etanol sedikit. Hal ini

akan lebih kuat dugaannya bila didukung dengan

adanya data perhitungan jumlah sel bakteri Zymomonas

mobilis, seperti pada penelitian Chrisnawati et al

(2009) yang menyatakan bahwa laju pembentukan

etanol tertinggi dihasilkan pada jam ke-35 sebanyak

1,301 (g/L/jam) dengan jumlah biomassa 5,75 x 1010

sel/mL, sedangkan pada jam ke-40 jumlah biomassa

meningkat yaitu 5,9 x 1010 sel/mL dengan etanol yang

dihasilkan menurun 1,156 (g/L/jam).

Untuk mengetahui jumlah konsentrasi inokulum

dan lama waktu fermentasi yang tepat agar didapatkan

produksi etanol yang optimum dapat ditentukan dengan

melihat kadar etanol tertinggi pada Tabel 4. Kadar

etanol tertinggi pada konsentrasi inokulum 10%

dengan lama fermentasi 6 hari sebesar 9,50% (v/v).

Perlakuan yang sama dalam produksi etanol

menggunakan bakteri Zymomonas mobilis dari limbah

tomat optimum di hari ke-6 sebesar 9,68% (v/v)

(Faizah, 2012) dan dari jeruk juga optimum di hari

ke-6 sebesar 11,ke-64% (v/v) (Mushlihah, 2011). Proses yang

membedakan yaitu pada hidrolisisnya, penelitian

Faizah (2012) dan Mushlihah (2011) menggunakan

hidrolisis asam dan hidrolisis enzim komersial. Maka

dapat dikatakan bahwa hidrolisis enzim menggunakan

kapang Aspergillus sp. memiliki potensi yang sama

untuk produksi etanol. Bahkan hidrolisis enzim lebih

efektif digunakan pada substrat yang memiliki

(11)

kandungan selulosa seperti pada sampah sayur dan

buah dengan kerja enzim yang lebih spesifik.

Berdasarkan uji statistik dapat dilihat bahwa

konsentrasi inokulum10% dan 15% tidak berbeda

nyata (notasi a). Namun, untuk skala produksi

menggunakan konsentrasi inokulum 15% kurang

efektif, karena hasil etanol yang dihasilkan pada hari

ke-6 (9,40%) dan ke-8 (9,20%) (notasi ab) tidak

berbeda nyata sekali dengan etanol tertinggi 9,50% di

hari ke-6 dengan konsentrasi inokulum 10% (notasi a).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika dengan

konsentrasi inokulum 10% saja sudah dihasilkan etanol

tertinggi, maka tidak perlu lagi digunakan inokulum

15% yang membuat semakin tidak efisien. Bahkan

menurut Gibbson et al (1986), penggunaan konsentrasi

inokulum yang terlalu tinggi dapat menyebabkan

pengurangan viabilitas sel.

Bakteri Zymomonas mobilis dapat menghasilkan

etanol karena mampu menguraikan glukosa, fruktosa

atau sukrosa sebagai sumber karbon melalui jalur

metabolik Entner-Doudoroff. Jalur metabolisme ini

hanya menghasilkan 1 mol ATP tiap mol glukosa atau

fruktosa, sehingga Zymomonas mobilis menguraikan

glukosa dengan kecepatan tinggi supaya menghasilkan

cukup energi untuk pertumbuhannya. Oleh karena

hanya menghasilkan satu molekul ATP, maka

Zymomonas mobilis harus menguraikan glukosa

dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan ATP. Hasil

bersih dari jalur Entner-Doudoroff ini adalah etanol

dan CO2.

Garrity (2005) menjelaskan bahwa organisme

yang menggunakan jalur Entner-Doudoroff tidak

memiliki enzim phosphofructokinase, sehingga pada

tahap glikolisis, glukosa 6-fosfat tidak dirubah menjadi

fruktosa fosfat tetapi diubah menjadi

6-fosfoglukonat. Enzim yang dimiliki organisme yang

menggunakan jalur Entner-Doudoroff dan tidak

dimiliki organisme yang menggunakan jalur

Embden-Mayerhoff adalah 6-phosphogluconate dehydratase dan

2-keto-3-deoxy-6-phosphogluconate aldolase sehingga

tahapan dari glukosa ke piruvat dan menjadi etanol

jauh lebih singkat. Selain itu, dalam penelitian Riyanti

(2010) menyebutkan bahwa adanya gen pdc dan adh

inilah yang terbukti berperan penting dalam produksi

bioetanol pada bakteri mesofilik Zymomonas mobilis

ZM4. Gen-gen kunci yang bertanggung jawab dalam

produksi bioetanol adalah pdc dan adh. Piruvat

dekarboksilase (PDC) merupakan enzim yang

mengkatalis piruvat secara irreversible menjadi

asetaldehid dan CO2, selanjutnya enzim alkohol

dehidrogenase (ADH) akan mengkatalis asetaldehida

menjadi etanol.

IV.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa kapang Aspergillus sp. berpotensi menghasilkan

enzim selulase dalam proses hidrolisis untuk produksi

etanol dari sampah sayur dan buah Pasar Wonokromo

Surabaya dengan nilai aktivitas enzim endoglukanase

sebesar 14,477 Unit/ml. Potensi kapang Aspergillus sp.

dalam proses hidrolisis enzim dapat dilihat dari kadar

etanol tertinggi yang terbentuk yaitu 9,5% (v/v)

dihasilkan pada interaksi konsentrasi inokulum 10%

dan lama waktu fermentasi 6 hari.

Sebaiknya untuk penelitian selanjutnya, proses

hidrolisis enzim juga dapat menggunakan lebih dari

dua jenis kapang untuk dapat mengkonversi selulosa

menjadi glukosa lebih optimal dengan pemurnian

enzim dan diukur aktivasi enzim baik endoglukanase,

eksoglukanase maupun β-glukosidasenya. Pengukuran

kadar gula reduksi disarankan untuk dianalisa HPLC

agar dapat dibedakan jenis gula pereduksinya.

Sedangkan pada fermentasi akan lebih baik apabila

disertai dengan pengukuran jumlah sel bakteri

Zymomonas mobilis, sehingga dapat mendukung

adanya berbagai kemungkinan hasil yang terjadi

berkaitan dengan kadar etanol yang terbentuk dan

penggunaan variasi konsentrasi inokulum bisa dicari

rentang yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi. 1989. Kimia Kayu Diktat PAU Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Adham. 2001. Attempt at Improving Citric Acid Fermentation by Aspergillus niger in Beet-Molasses. Biosource Technology 97-100.

Agus, S. 1995. Kajian Pengaruh Agitasi Mekanik Terhadap Produksi Pektinase Pada Fermentasi Terendam Buah Kako Oleh Aspergillus niger. Laporan Tugas Akhir (S1). Fakultas Teknik Pertanian. IPB: Bogor.

Ang, S.H., Cheng, P.S., Lim, E.A.C and Tambyah, S.K. 2001. Spot The Difference: Consumer Responses Towards Counterfeits. Journal of Consumer Marketing, Vol. 18 No. 3.

Anindyawati, Trisanti. 2009. Prospek Enzim dan Limbah Lignoselulosa Untuk Produksi Bioetanol. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI: Cibinong.

Anonymous. 2012. Pasar Wonokromo. www.siskaperbapo.com. [25 September 2012].

Artati, Enny K., A. Effendi dan T. Haryanto. 2009. Pengaruh Konsentrasi Larutan Pemasak Pada Proses Delignifikasi Eceng Gondok Dengan Proses Organosolv. Ekuilibrium Vol.8 No.1.

Axelsson, Josefin. 2011. Separate Hydrolysis and Fermentation of Pretreated Spruce. Thesis. Department of Physics, Chemistry and Biology Linkoping University: Sweden.

Brodeur, J. C. 2011. Reduced Body Condition and Enzymatic Alterations in Frogs Inhabiting Intensive Crop Production Areas. Ecotoxicologyoik & Envtl. Safety: No.74, 1370-1380.

Buckle, Kenneth A., Edwards, Ronald A., Fleet, Graham H., and Wootton, Michael. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press: Jakarta.

Budiono. 1996. Produksi Etanol Oleh Saccharomyces cerevisiae dengan Perendaman Tapioka Dalam HCl. Laporan Tugas Akhir (S1). Jurusan Kimia. FMIPA-ITS: Surabaya.

Busche R.M., Scott C. D., Davison B.H., Lynd L.R. 1992. Etanol, The Ultimate Feedstock. A Technoeconomic Evaluation of Etanol Manufacture in Fluidized Bed Bioreactors Operating With Immobilized Cells. Journal Application of Biochemistry and Biotechnology Vol.34/35 No. 395-415.

Cappuccino, James. G. And Natalie Sherman. 2011. Mocrobiology A Laboratory Manual. Benjamin Cummings: Amsterdam.

Campbell, Neil A. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Erlangga: Surabaya.

Gambar

Gambar 1.  Grafik nilai aktivitas enzim endoglukanase  menggunakan kapang Aspergillus sp
Tabel 1. Kadar serat beberapa jenis sayur dan buah.
Gambar  2.  Kurva pertumbuhan bakteri Zymomonas mobilis  pada medium sampah sayur dan buah
Tabel  2.  Rerata kadar etanol (%) hasil fermentasi ekstrak  samapah sayur dan buah pasar wonokromo surabaya  menggunakan bakteri Zymomonas mobilis
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian di atas dapat diketahui bahwa budaya organisasi terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi kerja karyawan departemen

Ali dan Asrori, (2010) memberi pendapat orang tua penting memberikan pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang kehidupan agar anak mendapatkan banyak informasi yang akan

Untuk mempermudah proses penjualan online, dibutuhkan aplikasi yang dapat memberi kemudahan dalam penyimpanan seluruh data sehingga aplikasi dapat mengorganisir baik

Desain uji produk yang digunakan dalam penelitian pengembangan bahan ajar tematik bervisi SETS dengan model inkuiri bagi peserta didik kelas IV SD menggunakan One Group

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jumlah penambahan ekstrak jeruk kalamansi dan CMC dalam pembuatan emulsi minyak sawit merah ( Red Palm Oil ) yang

Dinas Sosial telah melaksanakan berbagai upaya dan langkah dalam menangani keberadaan masalah tuna grahita ini, baik kepada si penderita, keluarga maupun pengembangan

predikat dimana unit atau lembaga yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa masih dalam tahap awal dan masih mengalami pertumbuhan serta masih harus banyak belajar mengenai