• Tidak ada hasil yang ditemukan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KP 3 TAHUN 2017

TENTANG

PENETAPAN ALUR-PELAYARAN, SISTEM RUTE, TATA CARA BERLALU LINTAS DAN DAERAH LABUH KAPAL SESUAI DENGAN

KEPENTINGANNYA DI PELABUHAN BENOA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

Membaca : surat Direktur benderai Perhubungan Laut Nomor HK. 103/4/10/DJPL-16 tanggal 19 Desember 2016 perihal Penyampaian Rancangan Keputusan Menteri Perhubungan (RKM) tentang Penetapan Alur-Pelayaran Pelabuhan, Sistem Rute, Tata Cara Berlalu Lintas DI Pelabuhan Benoa;

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, Menteri Perhubungan wajib menetapkan alur-pelayaran, sistem rute, tata cara berlalu lintas dan daerah labuh kapal sesuai dengan kepentingannya di pelabuhan;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Perhubungan tentang Penetapan Alur-Pelayaran, Sistem Rute, Tata Cara Berlalu Lintas dan Daerah Labuh Kapal Sesuai Dengan Kepentingannya di Pelabuhan Benoa;

(2)

2

Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran {Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5731);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5093);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5109);

6. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1979 tentang Pengesahan Peraturan International

(3)

- 3 -

tentang Pencegahan Tubrukan di Laut Collision Regulation 1972;

7. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention far The Safety o f Life at Se a 1974;

8. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);

9. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75);

10. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 30 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Distrik Navigasi;

11. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 25 Tahun 2011 tentang Sarana Bantu Navigasi-

Pelayaran;

12. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 26 Tahun 2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran;

13. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 36 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 629);

14. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 311);

15. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 57 Tahun 2015 tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 390);

16. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1844 )

(4)

4

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 86 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1012);

17. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 129 Tahun 2016 tentang Alur-Pelayaran di Laut dan Bangunan dan/atau Instalasi di Perairan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor

1573);

Menetapkan :

MEMUTUSKAN :

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENETAPAN ALUR PELAYARAN, SISTEM RUTE, TATA CARA BERLALU LINTAS DAN DAERAH LABUH KAPAL SESUAI DENGAN KEPENTINGANNYA DI PELABUHAN BENOA.

PERTAMA : Menetapkan Alur-Pelayaran Pelabuhan Benoa sebagaimana tercantum dalam peta laut Indonesia dan dibatasi oleh titik koordinat geografis dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

KEDUA : Menetapkan Sistem Rute Pelayaran Pelabuhan Benoa sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

KETIGA : Menetapkan Tata Cara Berlalu Lintas di Alur- Pelayaran Pelabuhan Benoa sebagaimana tercantum dalam Lampiran III, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

(5)

- 5 -

KEEMPAT : Menetapkan Daerah Labuh Kapal sesuai kepentingannya di wilayah perairan Peìabuhan Benoa sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

KELIMA : Alur-pelayaran, Sistem Rute, Tata Cara Berlalu Lintas Dan Daerah Labuh Kapal Sesuai Dengan Kepentingannya sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, Diktum KEDUA, Diktum KETIGA dan Diktum KEEMPAT wajib dimuat dalam Peta Laut Indonesia edisi terbaru Nomor 262, 262A, 262B, dan Buku Petunjuk Pelayaran, serta dilengkapi dengan posisi koordinat Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

KEENAM : Pengawasan terhadap keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Peìabuhan Benoa sesuai tugas dan fungsinya serta melaporkan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut.

KETUJUH : Pengawasan terhadap penyelenggaraan alur- pelayaraan Peìabuhan Benoa dilaksanakan oleh Distrik Navigasi Kelas lì Benoa.

KEDELAPAN : Pemeliharaan alur-pelayaran Peìabuhan Benoa dilakukan oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Peìabuhan Benoa secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

KESEMBILAN : Penyelenggaraan Alur-Pelayaran pada Peìabuhan Benoa dievaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun untuk mengetahui kesesuaìan terhadap kondisi alur-pelayaran.

(6)

- 6 -

KESEPULUH : Direktur Jenderal Perhubungan Laut melakukan pembinaan dan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan Keputusan Menteri ini.

KESEBELAS : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 4 Januari 2017

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BUDI KARYA SUMADI

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada:

1. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman;

2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;

3. Kepala Staf TNI Angkatan Laut

4. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;

5. Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, dan

Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan;

6. Gubernur Bali;

7. Bupati Badung;

8. Kepala Pusat Hidrografi dan Oseanogralì TNI Angkatan Laut;

9. Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Benoa;

10. Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Inform atika Provinsi Bali;

11. Kepala Distrik Navigasi Kelas II Benoa.

Salinan sesuai dengan aslinya KEF^LA BIRO HUKUM,

ARI RAH;

tam a Muda (IV/c) 620 198903 2 001

(7)

- 7 -

Lampiran I

Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor KP 3 TAHUN 2017

tentang Penetapan Alur Pelayaran, Sistem Rute, Tata Cara Berlalu Lintas dan Daerah Labuh Kapal sesuai Dengan Kepentingannya di Pelabuhan Benoa

ALUR PELAYARAN PELABUHAN BENOA

1. Alur-Pelayaran Pelabuhan Benoa, pada posisi koordinat:

RODE KOORDINAT BATAS UTARA

RODE KOORDINAT BATAS SELATAN A 200 08° 45’ 07.42" LS /

115° 14' 26.10" BT

A’ 200 08° 45' 12.38" LS / 115° 14' 30.30" BT B 200 08° 45' 14.56" LS /

115° 14' 12.55" BT

B’ 200 08° 45’ 20.32” LS / 115° 14' 15.61" BT C 200 08° 45' 18.92" LS /

115° 13' 55.82" BT

C’ 200 08° 45’ 25.28" LS / 115° 13' 57.24" BT D 200 08° 45' 19.55" LS /

115° 13' 49.78" BT

D’ 200 08° 45' 26.05" LS / 115° 13' 49.52" BT E 200 08° 45’ 18.82" LS /

115° 13' 45.51" BT

E’ 200 08° 45' 24.38" LS / 115° 13! 42.11" BT F 200 08° 45' 08.66" LS /

115° 13' 32.49" BT

F’ 200 08° 45' 14.54" LS / 115° 13' 29.67" BT G 200 08° 44' 59.94" LS /

115° 13' 05.80" BT

G’ 200 08° 45' 05.93" LS / 115° 13' 03.24" BT H 200 08° 44’ 50.99" LS/

115° 12' 50.47" BT

HJ 200 08° 44' 56.61" LS / 115° 12' 47.17" BT 2. Garis haluan pada posisi koordinat

NO KODE POSISI KOORDINAT ARAH 1TALUAN

LINTANG BUJUR MASUK KELUAR

1 A’ 08° 45’ 09.90" LS 115° 14’ 28.19" BT 242° - 2 B’ 08° 45' 17.44” LS 115° 14’ 14.08" BT 255° 062°

3 C’ 08° 45' 22.10" LS 115° 13' 56.53" BT 264° 075°

4 D’ 08° 45' 22.80" LS 115° 13' 49.65" BT 282° 084°

5 E’ 08° 45' 21.60" LS 115° 13' 43.81" BT 308° 102°

6 F’ 08° 45' 11.60" LS 115° 13' 31.08" BT 288° 128°

7 G’ 08° 45' 02.94" LS 115° 13' 04.52" BT 300° 108°

8 H’ 08° 44' 53.80" LS 115° 12’ 48.82" BT - 120°

3. Posisi Pilot Boarding Ground pada titik kordinat 08° 45' 06.21" LS/115° 14' 29.60" BT.

(8)

3. Posisi Pilot Boarding Ground pada titik kordinat 08° 45' 06.21” LS/115° 14' 29.60" BT.

4. Kondisi Kedalaman dan Panjang Alur-Pelayaran

Kedalaman minimal yang ditetapkan adalah -9.5 meter LWS dan panjang alur-pelayaran adalah 1.806 Nautical Miles (NM) atau 3346 Meter (M). Berdasarkan hai tersebut, ukuran dan sarat (draft) kapal yang dapat melalui alur-pelayaran ini maksimum 8.6 meter pada kondisi air surut terendah.

5. Peta alur-pelayaran Pelabuhan Benoa sebagaimana terlampir.

(9)

-9-

Peta Alur-Pelayaran Pelabuhan Benoa

ai dengan aslinya BIRO HUKUM, '

bijpa Utama Mùda (IV/c) 620620 198903 2 001

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BUDI KARYA SUMADI

(10)

- 10-

Lampiran II

Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor KP 3 Tahun 2017

tentang Penetapan Alur Pelayaran, Sistem Rute, Tata Cara Berlalu Lintas dan Daerah Labuh Rapai sesuai dengan Kepentingannya di Pelabuhan Benoa

SISTEM RUTE DI ALUR-PELAYARAN PELABUHAN BENOA

Sistem rute yang ditetapkan ad al ali Rute Dua Arah (two ways routes), dengan lebar alur 200 rneter. Untuk lokasi tikungan alur pada titik C’, D’ dan E’ Rapai yang panjangnya diatas 70 meter ditetapkan Rute Satu Arah (one ways routes).

sesuai dengan aslinya PALA/fellfo HURUM,

ESTARI RAIjlAYU a Utama Muda (IV/c) 620620 198903 2 001

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIR INDONESIA,

ttd.

BUDI RARYA SUMADI

(11)

- 11 -

Lampiran III

Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor KP 3 Tahun 2017

tentang Penetapan Alur Pelayaran, Sistem Rute, Tata Cara Berlalu Lintas dan Daerah Labuh Rapai sesuai dengan Kepentingannya di Pelabuhan Tanjung Priok

TATA CARA BERLALU LINTAS

Dalam meningkatkan efisiensi dan mengurangi angka kecelakaan kapal, maka perlu diatur tata cara berlalu lintas di alur pelayaran Pelabuhan Benoa sebagai berikut:

1. Pemanduan

a. setiap kapal berukuran tonase kotor GT 500 atau lebih yang berlayar diperairan wajib pandu, wajib menggunakan pelayanan jasa pemanduan kapal;

b. mesin penggerak utama dan alat navigasi harus dalam kondisi baik dan normal untuk olah gerak kapal;

c. mengibarkan benderà “G” pada siang hari dan menyalakan lampu putih merah pada malam hari apabila kapal sedang menunggu petugas pandu;

d. mengibarkan benderà “H” pada siang hari dan menyalakan lampu putih merah pada malam hari apabila petugas pandu diatas kapal;

e. mengibarkan benderà “Q” pada siang hari dan menyalakan lampu putih merah pada malam hari bagi kapal yang barn tiba dari luar negeri, petugas-petugas pandu hanya diperbolehkan naik ke kapal untuk membawa kapal apabila kapal telah dinyatakan bebas dari penyakit menular oleh petugas karantina kesehatan (free practique) dan benderà kuning telah diturunkan.

2. Komunikasi

a. pemilik operator kapal atau nakhoda wajib meberitahukan rencana kedatangan kapalnya kepada Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas II Benoa dengan mengirimkan telegram radio nakhoda (master cable) melalui Stasiun Radio Pantai dengan tembusan kepada perusahaan angkutan laut dan agen umum dalam waktu paling lama 48 (empat puluh delapan) jam sebelum kapal tiba di pelabuhan;

b. komunikasi sebelum kapal masuk dan atau keluar wajib melapor kepada stasiun VTS Benoa dengan radio VHF pada channel 67;

(12)

- 12 -

c. komunikasi antara petugas pandu/kapal/motor petugas pandu dapat menggunakan Bahasa Indonesia dan atau Bahasa Inggris dengan radio VHP pada channel 12;

d. komunikasi dengan kapal sebelum petugas pandu naik ke atas kapal wajib dilakukan oleh nakhoda dengan memberikan keterangan kepada petugas pandu antara lain kondisi, sifat, cara, data, karakteristik dan lain-lain yang berkaitan dengan kemampuan oleh gerak kapal

3. Proses Kapal Masuk

a. dalam kondisi normali

1) kecepatan kapal di sekitar pelampung suar menuju pelampung suar pengenal disarankan dengan maneuvering speed, sampai motor petugas pandu dapat merapat di kapal untuk menaikan petugas pandu;

2) setiap kapal harus senantiasa bergerak dengan kecepatan aman sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat dan berhasil guna untuk menghindari tubrukan dan dapat diberhentikan dalam suatu jarak yang sesuai dengan keadaan dan suasana yang ada;

3) setiap tindakan yang dilakukan untuk menghindari tubrukan, jika keadaan mengijinkan, harus tegas dilakukan dalam waktu yang cukup lapang dan benar-benar memperhatikan syarat-syarat kepelautan yang baik;

4) jika kondisi dermaga sedang penuh atau nakhoda memutuskan untuk berlabuh terlebih dahulu, kapal dapat berlabuh di areal labuh yang sudah disediakan;

5) jika proses administrasi kelengkapan dokumen selesai dan sudah tersedia posisi tambat untuk kapal di dermaga, petugas VTS Benoa akan menginformasikan ke kapal bahwa petugas pandu akan naik dan memandu kapal hingga tambat di pelabuhan;

6) kapal disarankan berlayar mengikuti ketentuan koridor alur pelayaran dan arah haluan yang ditetapkan pada Lampiran I serta Peta Alur Pelayaran Benoa atau mengikuti zona lalu lintas tepi (in-shore traffic zona) sesuai dengan draft dan kepentingannya untuk menghindar dan mendahulukan kapal draft dalam;

7) pada setiap saat melintasi garis atau wilayah wajib lapor atau setelah kapal berlabuh atau sandar, kapal wajib melapor kepada stasiun VTS Benoa.

b. dalam kondisi angin diatas normal dan atau kabut dan atau hujan deras dan atau gelombang tinggi:

1) kecepatan kapal disekitar Pelampung Suar Pengenal (MPMT) disarankan menggunakan maneuvering speed;

(13)

- 13 -

2) untuk memasuki alur pelayaran, kapal menggunakan sarana navigasi visual, elektronik (radar/GPS/AIS) dan peralatan navigasi lainnya secara baik dan tepat guna.

4. Proses Kapal Keluar

a. nakhoda dan atau petugas pandu melaporkan kepada syabandar dan atau stasiun VTS Benoa mengenai draft kapal dan jam kapal mulai dipandu keluar;

b. meminta informasi ke stasiun VTS Benoa mengenai pergerakan kapal yang keluar/ masuk alur pelabuhan Benoa;

c. arahkan haluan menuju bagian tengah alur dan berlayar menuju outer buoy;

d. sesampainya di pìlot boarding ground, petugas pandu turun dan dijemput oleh motor pandu

5. Tindakan Menghindari Tubrukan

a. Pengaturan tindakan untuk menghindari tubrukan meliputi:

1) setiap tindakan yang dilakukan untuk menghindari tubrukan, jika keadaan mengizinkan, harus tegas, dilakukan dalam waktu yang cukup lapang dan benar- benar memperhatikan syarat-syarat kepelautan yang baik;

2) setiap perubahan haluan dan atau kecepatan untuk menghindari tubrukan, jika keadaan mengizinkan, harus cukup besar sehingga segera menjadi jelas bagi kapal lain yang sedang mengamati dengan penglihatan atau dengan radar; serangkaian perubahan kecil dari haluan dan atau kecepatan hendaknya dihindari;

3) jika ada ruang gerak yang cukup, perubahan haluan saja mungkin merupakan tindakan yang paling berhasil guna untuk menghindari situasi saling mendekati terlalu rapat, dengan ketentuan bahwa perubahan itu dilakukan dalam waktu yang cukup dini, bersungguh-sungguh dan tidak mengakibatkan terjadinya situasi saling mendekati terlalu rapat;

4) tindakan yang dilakukan untuk menghindari tubrukan dengan kapal lain harus sedemikian rupa sehingga menghasilkan pelewatan dengan jarak yang aman, hasil guna tindakan itu harus dikaji dengan seksama sampai kapal yang lain itu pada akhirnya terlewati dan bebas sarna sekali;

5) jika diperlukan untuk menghindari tubrukan atau memberikan waktu yang lebih banyak untuk menilai keadaan, kapal harus mengurangi kecepatannya atau menghilangkan kecepatannya sarna sekali dengan memberhentikan atau menjalankan mundur sarana penggeraknya.

(14)

- 14

b. Pengaturan tata cara berlalu lintas kapal yang menggunakan layar meliputi:

1) apabila dua kapal sedang saling mendekat sedemikian rupa sehingga akan mengakibatkan bahaya tubrukan, salah satu dari kedua kapal itu harus menghindari kapal yang lain sebagai berikut:

a) apabila masing-masing mendapatkan angin di lambung yang berlainan, maka kapal yang mendapat angin di lambung kiri harus menghindari kapal yang lain;

b) apabila kedua-duanya mendapat angin di lambung yang kanan, maka kapal yang ada diatas angin harus menghindari kapal yang ada di bawah angin;

c) jika kapal mendapat angin di lambung kiri melihat sebuah kapal di atas angin dan tidak dapat menentukan dengan pasti apakah kapal lain itu mendapat angin lambung kiri atau kanan, maka kapal itu harus menghindari kapal lain itu.

2) Untuk memenuhi ketentuan ini, sisi atas angin harus dianggap sisi yang berlawanan dengan sisi tempat layar utama berada, atau bagi kapal dengan layar segi empat, adalah sisi yang berlawanan dengan sisi tempat layar membujur itu berada.

c. Pengaturan penyusulan, meliputi:

1) setiap kapal yang sedang menyusul kapal lain harus menghindari kapal lain yang sedang disusui;

2) kapal harus dianggap menyusul bilamana sedang mendekati kapal lain dari arah yang lebih besar dari pada 22,5 derajat dibelakang arah melintang, yakni dalam suatu kedudukan sedemikian sehingga terhadap kapal yang sedang disusui itu pada malam hari kapal hanya dapat melihat penerangan buritan, tetapi tidak satupun dari penerangan-penerangan lambungnya;

3) apabila kapal dalam keadaan ragu-ragu apakah ia sedang menyusul kapal lain atau tidak, kapal itu harus beranggapan bahwa demikianlah halnya dan bertindak sesuai dengan itu;

4) setiap perubahan baringan antara kedua kapal yang terjadi, kemudian tidak akan mengakibatkan kapal yang sedang memotong dalam pengertian aturan ini atau membebaskannya dari kewajiban untuk menghindari kapal yang sedang disusui itu sampai kapal tersebut dilewati dan bebas sama sekali.

(15)

- 15 -

d. Pengaturan tata cara berlalu lintas kapal dalam situasi berhadap-hadapan, meliputi:

1) apabila dua kapal bertenaga sedang bertemu dengan haluan-haluan berlawanan atau hampir berlawanan sehingga akan mengakibatkan bahaya tubrukan, masing- masing harus, mengubah haluannya ke kanan sehingga masing-masing akan berpapasan di lambung kirinya;

2) situasi demikian itu harus dianggap ada jika kapal melihat kapal lain tepat atau hampir di depan dan pada malam hari kapal itu dapat melihat penerangan tiang kapal lain yang terletak segaris atau hampir segaris dan/atau kedua penerangan lambung serta pada siang hari kapal itu mengamati gatra (aspek) yang sesuai mengenai kapal lain tersebut;

3) jika kapal dalam keadaan ragu-ragu atas terdapatnya situasi demikian, kapal itu harus beranggapan bahwa situasi itu ada dan bertindak sesuai dengannya.

e. Dalam pengaturan tata cara berlalu lintas kapal dalam situasi memotong, jika dua kapal bertenaga sedang berlayar dengan haluan saling memotong sedemikian rupa, sehingga akan mengakibatkan bahaya tubrukan, kapal yang mendekati kapal lain di sisi kanannya harus menghindar, dan jika keadaan mengizinkan, harus menghindarkan dirinya memotong didepan kapal lain itu. Dalam pengaturan tata cara tindakan kapal menghindari, setiap kapal yang diwajibkan menghindari kapal lain, sedapat mungkin melakukan tindakan secara dini dn tegas untuk tetap bebas sama sekali. Dalam pengaturan tanggung jawab antara kapal meliputi:

1) kapal bermesin yang sedang berlayar harus menghindari:

a) kapal yang tidak terkendalikan;

b) kapal yang kemampuan olah geraknya terbatas;

c) Kapal yang sedang menangkap ikan; dan d) kapal layar.

2) kapal layar yang sedang berlayar harus menghindari:

a) kapal yang tidak terkendalikan;

b) kapal yang kemampuan olah geraknya terbatas; dan c) kapal yang sedang menangkap ikan

3) kapal yang sedang menangkap ikan sedapat mungkin harus menghindari:

a) kapal yang tidak terkendalikan;

b) kapal yang olah geraknya terbatas.

4) setiap kapal, kecuali kapal yang tidak dapat dikendalikan atau kapal yang kemampuan olah geraknya terbatas, jika keadaan mengizinkan harus menghindarkan dirinya merintangi jalan aman sebuah kapal yang terkendala oleh saratnya.

(16)

- 16 -

5) kapal yang terkendala oleh saratnya harus berlayar dengan kewaspadaan khusus dengan benar-bcnar memperhatikan keadaannya yang khusus itu.

6. Larangan

a. kapal dilarang memasuki alur pelayaran dengan under keel clearance (UKC) kurang dari 10% dari sarat (draft), kecuali atas izin syahbandar;

b. kapal ikan dilarang menangkap ikan di alur pelayaran;

c. kapal dilarang masuk perairan wajib pandu tanpa mendapatkan pemanduan dari petugas pandu;

d. petugas pandu dilarang meninggalkan kapal yang dipandu dalam kondisi dan situasi:

1) Kapal kandas;

2) Kapal tubrukan;

3) Kerusakan mesin/kemudi; dan

4) Keadaan lain yang mengganggu lalu lintas kapal.

e. larangan kapal untuk melakukan menyusul kapal lain pada ukuran LOA tertentu sesuai dengan ketentuan sistem rute;

f. kapal yang sandar/ tender dengan kapal lain yang sedang sandar di dermaga umum/khusus hanya diizinkan satu kapal saja yang sandar/tender di kapal yang sedang sandar di dermaga atas pertimbangan keselamatan kapal yang akan berolah gerak keluar/masuk.

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BUDI KARYA SUMADI

Salin

RI RAPh

ngan aslinya HUKUM,

ma Muda (IV/c) 20 198903 2 001

(17)

Lampiran IV

Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor KP 3 Tahun 2017

tentang Penetapan Alur Pelayaran, Sistem Rute, Tata Cara Berlalu Lintas dan Daerah Labuh Rapai sesuai dengan Kepentingannya di Pelabuhan Benoa

DAERAH LABUH KAPAL SESUAI DENGAN KEPENTINGANNYA

A. Zona labuh sesuai dengan kepentingannya pada posisi koordinat sebagai berikut:

1. Zona A untuk Area Rapai Penumpang

TITIK KOORDINAT Luasan Kedalaman

A 08° 45' 31.00" LS / 115° 14' 37.00” BT

73.989 Ha 9 - 28 M LWS D 08° 46' 00.00" LS /

115° 14' 37.00" BT E 08° 45' 31.00" LS /

115° 14' 10.00" BT F 08° 461 00.00" LS /

115° 14' 10.00” BT

2. Zona B untuk area kapal emise

TITIK KOORDINAT Luasan Kedalaman

A 08° 45' 31.00" LS / 115° 14’ 37.00" BT

79.47 Ha 9 - 23 M LWS B 08° 45' 31.00" LS /

115° 15' 06.00" BT C 08° 46' 00.00" LS /

115° 15’ 06.00” BT D 08° 46’ 00.00" LS /

115° 14' 37.00" BT

3. Zona C untuk Area Imigrasi dan Karantina

TITIK KOORDINAT Luasan Kedalaman B 08° 45’ 31.00" LS /

115° 15' 06.00" BT

46.586 Ha 17 - 30 M LWS C 08° 46’ 00.00" LS /

115° 15’ 06.00" BT I 08° 45' 31.00" LS /

115° 15' 23.00" BT J 08° 46' 00.00" LS /

115° 15' 23.00" BT

(18)

- 18 -

4. Zona D untuk Area Kapal Kargo/ Tanker

TITIK KOORDINAT Luasan Kedalaman E 08° 46' 00.00" LS /

115° 14' 10.00" BT

145.52 Ha 19 - 34 M LWS C 08° 46' 00.00" LS /

115° 15' 06.00" BT G 08° 46’ 27.50" LS /

115° 15’ 06.00" BT H 08° 46’ 27.50" LS /

115° 14’ 10.00" BT 5. Zona E untuk Area Kapal Mati

TÌTIK KOORDINAT Luasan Kedalaman K 08° 46’ 00.00" LS /

115° 13’ 47.00" BT

32.6 Ha 9 - 20 M LWS L 08° 46’ 15.00" LS /

115° 13’ 47.00" BT M 08° 46' 15.00" LS /

115° 14’ 10.00" BT E 08° 46' 00.00" LS /

115° 14' 10.00" BT

6. Zona F untuk Area Labuh Kapal Negara

TITIK KOORDINAT Luasan Kedalaman H 08° 46’ 27.50" LS /

115° 14’ 10.00" BT

27.166 Ha 9 - 20 M LWS L 08° 46' 15.00" LS /

115° 13' 47.00" BT M 08° 46' 15.00" LS /

115° 14’ 10.00" BT N 08° 46’ 27.50" LS /

115° 13' 47.00" BT 7. Zona G untuk Area Percobaan Kapal

TITIK KOORDINAT Luasan Kedalaman O 08° 45' 40.50" LS /

115° 15' 42.00" BT

33.167 Ha 43 - 46 M LWS P 08° 45’ 40.50” LS /

115° 16' 00.00” BT Q 08° 46' 00.00" LS /

115° 16’ 00.00" BT R 08° 46’ 00.00” LS /

115° 15' 42.00" BT

(19)

- 19 -

8. Zona H untuk Area Darurat

TIT1K KOORDINAT Luasan Kedalaman S 08° 45' 22.50" LS /

115° 14' 14.00" BT

18.474 Ha 9 - 1 4 M L W S T 08° 45' 22.50" LS /

115° 14' 37.00" BT U 08° 45' 31.00" LS /

115° 14' 14.00" BT A 08° 45' 31.00" LS /

115° 14' 37.00" BT

9. Zona I untuk Area Kolam Putar (Tuming Basin)

TITIK KOORDINAT Diameter

r 08° 44’ 54.75" LS / 115° 12’ 39.57" BT

? 08° 44’ 44.81" LS / 115° 12' 48.05" BT

3 ’ 08° 44' 52.68" LS / 115° 12' 58.47" BT 400 M 4 ’ 08° 45' 02.60" LS / 115° 12' 50.00" BT

pusat 08° 44' 53.76" LS / 115° 12' 49.07" BT

10. Peta Zona Labuh Pelabuhan Benoa sebagaimana terlampir.

(20)

-20-

PETA ZONA LABUH DI PELABUHAN BENOA

(21)

21-

Lampiran V

Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor KP 3 TAHUN 2017

tentang Penetapan Alur Pelayaran, Sistem Rute, Tata Cara Berlalu Lintas dan Daerah Labuh Kapal sesuai dengan Kepentingannya di Pelabuhan Tanjung Priok

SARANA BANTU NAVIGASI-PELAYARAN (SBNP)

Posisi Koordinat Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) di Alur- Pelayaran Pelabuhan Benoa sebagai berikut:

NO NAMA DAN JENIS SBNP DSI POSISI

1 Pelampung Suar MPMT 4081 08° 45’ 10,20” LS /

115° 14’ 28,60” BT 2 Pelampung Suar Hijau No. 1 4084.1 08° 45’ 11,40” LS /

115° 14’ 06,20” BT 3 Pelampung Suar Merah No. 2 4082 08° 45’ 23,00” LS /

115° 14’ 12,40” BT 4 Pelampung Suar Hijau No. 3 4083 08° 45’ 18,20” LS /

115° 13’ 53,50” BT 5 Pelampung Suar Merah No. 4 4084.2 08° 45’ 26,90” LS /

115° 13’ 58,40” BT 6 Rambu Suar Penuntun Depan 4091 08° 45’ 27,13” LS /

115° 13’ 38,41” BT 7 Rambu Suar Penuntun

Belakang 4092 08° 45’ 32,08” LS /

115° 13’ 19,60” BT 8 Pelampung Suar Hijau No. 5 4083.1 08° 45’ 18,10” LS /

115° 13’ 45,10” BT 9 Pelampung Suar Merah No. 6 4084 08° 45’ 23,61” LS /

115° 13’ 38,54” BT 10 Rambu Suar Hijau No. 7 4085 08° 45’ 04,10” LS/

115° 13’ 22,90” BT 11 Pelampung Suar Merah No. 8 4086 08° 45’ 16,00” LS /

115° 13’ 32,50” BT 12 Rambu Suar Hijau No. 9 4087 08° 44’ 58,80” LS /

115° 13’ 09,40” BT 13 Pelampung Suar Merah No. 10 4088 08° 45’ 09,40” LS /

115° 13’ 16,90” BT 14 Rambu Suar Hijau No. 11 4089 08° 44’ 49,80” LS /

115° 12’ 57,90” BT 15 Pelampung Suar Merah No . 12 4089.1 08° 45’ 00,00” LS /

115° 12’ 49,00" BT

(22)

- 22 -

N O N A M A D A N J E N J S S B N P D S I P O S I S I

16 Pelampung Suar Merah No. 3 4 4089.2 08° 44’ 54,70’’ LS / 115° 12’ 36,00” BT 17 Pelarnpung Suar Merah No. 16 4089.3 08° 44’ 53,10” LS /

115° 12’ 23,70” BT 18 Menara Suar Pelabuhan

Beno a 4090 08° 44’ 46,60” LS /

115° 12’ 40,40” BT

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLÌK INDONESIA,

ttd.

dengan aslinya

|!ROjfHUKU^,

RAHAyU Utama Muda (IV/c) 9620620 198903 2 001

BUDI KARYA SUMADI

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa kombinasi rebung dengan ikan ekor kuning dalam pembuatan bakso berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap atribut aroma baik

Pengujian mengenali perubahan derajat sistem pengenalan pergerakan lengan menggunakan exponential moving average filter, dengan nilai bobot yang sudah optimal untuk

Sistem struktur gedung tinggi atau super-tinggi umumnya tidak hanya mengandalkan kepada konstruksi shear-wall dan rangka, tetapi sudah harus menggunakan sistem yang lebih

bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan lebih lanjut Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982, dianggap perlu menetapkan