Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work
non-commercially, as long as you credit the origin creator
and license it on your new creations under the identical
terms.
BAB III METODOLOGI
Metodologi Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data pada tugas akhir ini ialah metode kualitatif. Langkah pertama yang penulis lakukan yaitu mencari inti masalah dari topik yang diambil melalui media literatur dan digital. Menurut Sugiyono (2011), metode kualitatif juga disebut dengan metode interpretive karena menggunakan fakta-fakta yang ada dilapangan sebagai dasarnya. Metode kuatitatif ini sangat tepat digunakan ketika ingin melakukan sebuah penelitan dan mendapatkan data yang mengandung sebuah makna, karena metode kualitatif lebih menitik beratkan penilitannya pada makna. (hlm. 7-8).
3.1.1. Wawancara
Semiawan (2010) mengatakan bahwa wawancara bertujuan untuk mendapatkan persepsi, pendapat, serta pemikiran dengan dasar sebuah fakta secara lebih dalam tentang sebuah fenomena (hlm. 116).
Penulis mengajukan pertanyaan mengenai pengetahuan serta pengalaman narasumber tentang budaya dan tradisi Dayak Iban yang ada di rumah panjai sungai utik. Berikut ini adalah hasil wawancara penulis dengan masing-masing narasumber :
1. Bandi Anak Ragai/apai janggut - Tuai adat
Pada Selasa, 19 Febuari 2019 penulis melakukan wawancara bersama Bandi Anak Ragai atau yang lebih dikenal dengan sebutan apai janggut sebagai Tuai adat rumah panjai di Sungai Utik, Kapuas Hulu.
Gambar 3.1. Wawancara kepada Bandi Anak Ragai/apai janggut
Apai janggut mengatakan bahwa rumah panjai di Sungai Utik merupakan satu-satunya rumah panjang yang hingga kini masih terjaga keasliannya, rumah panjai merupakan cerminan dari sikap persatuan yang dimiliki oleh Suku Dayak Iban. Ia mengatakan bahwa hingga saat ini keseharian masyarakat Suku Dayak Iban tidak terlepas dari budaya dan tradisi dari nenek moyang. Sebagai contoh, ritual berdoa atau permohonan izin kepada leluhur ketika mereka ingin menenun, pantang iban hingga mengambil/menebang sebuah pohon yang ada di hutan.
Apai janggut menjelaskan bahwa keseimbangan serta keteraturan hidup yang mereka miliki merupakan buah dari kepatuhan mereka terhadap aturan adat yang berlaku yang tak lepas dari campur tangan para leluhur mereka. Ia mengatakan bahwa keteraturan adat yang mereka miliki menjadi keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya. Selain budaya pantang iban dan ketarutan adat, keunikan Suku Dayak Iban juga terlihat dari pakaian tradisional kaum perempuan Iban didominasi oleh aksesoris dari logam serta tenun yang dalam proses pembuatannya menggunakan bahan-bahan yang mereka ambil dari hutan.
Apai janggut merupakan tokoh masyarakat yang terkenal dengan kegigihanya dalam menjaga hutan adat dan membawa kelestarian hutan adat di Sungai Utik sebagai percontohan untuk masyarakat lainnya. Ia mengakatan bahwa hutan merupakan supermarket bagi orang Iban, karena sudah menyediakan semua yang di butuhkan oleh masyarakat mulai dari makanan, buah-buah, obat-obatan hingga bahan untuk membuat bahan kerajinan tangan dan rumah. Hutan merupakan bagian terdekat yang dapat di sentuh manusia dari Sang Pencipta oleh karena itu menurutnya sangatlah penting untuk terus menerus menjaga hutan agar tetap lestari.
Apai janggut mengungkapkan harapannya sebagai orang tua agar para orang muda harus sadar dan mau dalam melestarikan kearifan lokal Dayak Iban, mulai dari budaya dan tradisi, kesenian serta menjaga keasrian alam. Ia juga mengungkapkan untuk sekarang ini sudah terjadi pergeseran makna dalam budaya iban seperti penggambaran tato tidak lagi bermakna yang sama dengan orang zaman dulu atau seperti tumbuhan obat-obatan di hutan yang sekarang ini tidak banyak di ketahui oleh generasi muda. Oleh karena itu menurutnya perlu adanya sebuah buku
yang menceritakan kembali atau merekam segala sesuatu yang ada pada Dayak Iban merupakan salah satu media perantara yang cocok bagi generasi sekarang ini.
2. Samay – Penenun tradisional
Pada Kamis, 21 Febuari 2019 penulis berkesempatan menemui Samay yang mendiami bilik nomor 19 di rumah panjai Sungai Utik yang sedang membuat sebuah kain tenun.
Gambar 3.2. Wawancara kepada Samay
Ia mengatakan bahwa menenun bagi perempuan iban merupakan warisan tradisi dari leluhur, oleh karena itu ketika ingin memulai melakukan pewarnaan pada benang putih atau memulai proses tenun hingga selesai menenun masyarakat Dayak Iban harus terlebih dahulu berdoa atau meminta pernyertaan kepada leluhur melalui rituan dan sesaji. Dalam proses menenun mulai dari proses pewarnaan benang hingga menyelesaikan sebuah tenun memerlukan waktu yang tidak sebentar, terlebih jika proses menenun dilakukan pada masa berladang. Ia menjelaskan keunikan dari tenun Dayak Iban yaitu mempunyai 4 jenis tenun yaitu tenun ikat/kebat, sidan, sungkit serta pileh yang dalam proses penyelesaiannya
mempunyai teknik yang berbeda dengan menggunakan pewarna alami yang mereka ambil di hutan.
Namun, tenun ikat/kebat merupakan teknik tenun yang lebih rumit dibandingkan dengan teknik tenun yang lainnya. Karena, benang yang masih putih harus terlebih dahulu diikat sehingga membentuk motif dan kemudian dicelupkan pewarna. Sedangkan tenun pileh teknik pembuatannya menyerupai sulaman pada kain dan sungkit menekankan teknik menganyam pada motif benang lungsi (arah vertikal). Kemudian khusus untuk tenun sidan memiliki warna yang cerah sehingga menggunakan benang dari pabrik atau pewarna kimia.
3. Johanna Ernawati – Penulis buku Tane’ Olen Setulang
Pada Kamis, 14 Febuari 2019 penulis melakukan wawancara kepada Johanna Ernawati selaku penulis buku Tane’ Olen Setulang melalui telfon.
Gambar 3.3. Wawancara bersama Johanna Ernawati
Dalam wawancara kali ini penulis mengajukan beberapa pertanyaan mengenai dayak secara keseluruhan serta mekanisme dalam menulis buku budaya.
Johanna Ernawati menjelaskan adanya perbedaan budaya terhadap Suku Dayak yang berada di pesisir dengan Suku Dayak yang berada dipedalaman. Suku Dayak yang berada di pesisir sudah mengalami percampuran budaya India, Arab, dan Cina sehingga menimbulkan varian budaya karna menikah antar budaya sehingga berdampak pada perubahan fisik dan menimbulkan sifat individual. Sedangkan Suku Dayak yang berada dipedalaman pada dasarnya masih 95% adalah astronesia, mulai dari fisik hingga adat yang kuat. Sifat astronesia yang dimiliki oleh Suku Dayak adalah tidak mengenal kesenjangan strata sosial (kaya atau miskin) serta menjunjung tinggi sifat gotong royong. Gotong royong dalam Suku Dayak tergambarkan pada saat mereka memulai kegiatan bercocok tanam, Suku Dayak mempunyai sifat alami untuk membuka lahan dengan luas yang sama.
Sifat astronesia yang dimiliki Suku Dayak sangat cocok dan mencerminkan Pancasila. Untuk sila pertama, sebelum masuknya budaya barat ke Indonesia, Suku Dayak sudah mempunyai agama terlebih dahulu yaitu kharingan. Untuk sila ke-2, sifat kemanusiaan pada Suku Dayak tergambarkan pada tidak adanya anggota yang kelaparan dan yatim piatu karna akan menjadi tanggung jawab atau asuhan keluarga besar. Untuk sila ke-3, persatuan dalam Suku Dayak dapat dilihat pada kegiatan membuka lahan bersama-sama hingga selesai. Untuk sila ke-4, Suku Dayak memperlihatkan sifat musyawarah pada saat merundingkan sebuah masalah yang dipimpin oleh seorang pemimpin/ketua adat untuk mencapai kesepakatan bersama.
Untuk sila ke-5, keadilan dalam Suku Dayak diwujudkan pada pembagian lahan yang sama rata.
Menurut Johanna Ernawati, masyarakat Indonesia tidak banyak melakukan penelitian mengenai budaya khususnya budaya Suku Dayak, hal ini dikarenakan masyarakat merasa bahwa budaya lokal bukan hal yang krusial padahal budaya lokal menunjukan jati diri kita sebagai masyarakat Indonesia. Ia mengatakan pada dasarnya tradisi pada astronesia adalah bertutur, sehingga cara masyarakat Indonesia mewariskan budaya dan tradisi dengan cara bercerita kepada anak dan cucu. Namun, budaya modern yang masuk ke Indonesia menjadi ancaman terhadap budaya bertutur yang akan menghilangkan ingatan generasi muda terhadap tradisi leluhur. Ia menambahkan bahwa masyarakat Indonesia mengalami fenomena modernisasi yang sangat cepat, masyarakat Indonesia dengan mudahnya mengadopsi budaya luar yang kemudian menyampingkan budaya lokal.
Baginya buku merupakan saluran yang tepat kepada generasi muda untuk merekam semua sejarah, tradisi dan adat agar tetap terjadi keberlangsungan serta penyampaian informasi pada masa yang akan datang. Ia menambahkan bahwa generasi muda harus dibekali suatu jati diri berupa budaya dan tradisi yang sangat penting bagi suatu paguyuban/suku bahkan Indonesia, karena budaya dan tradisi merupakan sebuah kekuatan lokal yang dapat menjadi suatu keunggulan bagi Indonesia dalam persaingan dunia.
3.1.2. Observasi
Pada 19-23 Febuari 2019 penulis melakukan observasi di rumah panjai di Sungai Utik untuk melihat langsung keadaan serta kehidupan serta mendapatkan data dari masyarakat Dayak Iban.
Gambar 3.4. Beranda rumah panjai di Sungai Utik
Gambar 3.5. Masyarakat sedang mengupas buah tengkawang.
Gambar 3.6. Masyarakat sedang mengayam rotan.
Gambar 3.7. Masyarakat sedang meraut rotan.
Gambar 3.8. Tengkawang dan padi yang sedang dijemur.
Dalam keseharian masyarakat Dayak Iban di rumah panjai Sungai Utik bermata pencaharian dengan berladang dan memanen buah tengkawang. Sebelum dijual, buah tengkawang harus direbus atau disalai/dipanggang terlebih dahulu.
Sedangkan padi yang mereka jemur merupakan hasil panen dari ladang sendiri untuk memenuhi kebutuhan setiap anggota bilik. Kemudian, pada waktu senggang masyarakat iban melanjutkan pekerjaan menganyam yang berbahan dasar rotan yang meraka ambil langsung dari hutan untuk digunakan sendiri atau untuk dijual kepada tamu yang datang ke rumah panjai.
Gambar 3.9. Apay janggut memulai prosesi penyerahan buku adat.
Gambar 3.10. Penyerahan buku adat di Desa Pangau.
Gambar 3.11. Buku adat Dayak Iban.
Pada tanggal 20 Febuari 2019, penulis berkesempatan mengikuti proses penyerahan buku adat yang dilakukan masyarakat Dayak Iban. Buku adat ini berisikan seluruh peraturan tentang kehidupan masyarakat Iban mulai dari adat pernikahan, perceraian, pencurian, kecelakaan di jalan raya hingga adat pemanfaat hutan adat.
Buku ini diserahkan pada seluruh masyarakat Iban yang berada di sepanjang jalan Lintang, Kapuas Hulu.
Gambar 3.12. Hutan adat
Gambar 3.13. Apay janggut menjelaskan nama dan manfaat tumbuhan.
Gambar 3.14. Tumbuhan Demam sebagai pencuci mata.
Gambar 3.15. Tumbuhan Kemunting sebagai anti infeksi ketika luka.
Pada 22 Febuari 2019, penulis melakukan perjalanan observasi ke dalam hutan adat Sungai Utik bersama apay janggut. Pada kesempatan ini penulis mendapat penjelasan mengenai nama serta manfaat tumbuh-tumbuhan untuk obat- obatan alami bagi masyarakat Dayak Iban.
Gambar 3.16. Pakaian Adat Dayak Iban. Andreas Budung (kiri) dan Sisilia Paraminta (kanan)
Penulis mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara sekaligus sesi foto untuk pakaian adat Dayak Iban. Pakaian Dayak Iban mempunyai cirikhas menggunakan kain tenun kebat/ikat serta aksesoris yang berbahan dasar dari logam.
Gambar 3.17. Sugu Jegit merupakan hiasan kepala dan Tango merupakan hiasan pada pundak perempuan Iban.
Gambar 3.18. Tumpa merupakan gelang logam, Bungai Murun hiasan pinggang serta tenun
Gambar 3.19. Tenun Sidan yang digunakan sebagai baju dan pada bagian bawah disebut dengan sirat.
Selain cirikhas baju adat yang dimiliki Dayak Iban, keunikan Dayak Iban juga terlihat pada seni tato atau pantang iban yang tak hanya dimiliki oleh kaum laki- laki Suku Iban, melainkan pada kaum perempuannya.
Gambar 3.20. Pantang iban pada tangan perempuan Iban.
Gambar 3.21. Pantang iban pada laki-laki.
Gambar 3.22. Ngantor kebiasaan mengumpul setiap malam untuk sekedar silahturahmi.
Masyarakat Iban di rumah panjai Sungai Utik mempunyai kebiasaan berkumpul setiap malam di rumah tuai adat. Sepulang dari ladang atau setelah menyelesaikan pekerjaan sehari-hari, warga rumah panjai mulai berdatangan sambil membawa tuak (minuman khas dayak) serta makanan masing-masing ke bilik nomor 16 yang merupakan rumah dari tuai adat. Kebiasaan ini menjadi ajang silahturahmi bagi warga rumah panjai agar tetap terjalin hubungan kekerabatan serta saling bertukar cerita untuk melepas lelah.
Kebudayaan Dayak Iban 3.2.1. Rumah Panjai
Bagi masyarakat Dayak Iban, rumah panjai tak hanya sebagai tempat tinggal.
Namun, rumah panjai merupakan simbol yang sekaligus menjadi pusat bagi seluruh kegiatan adat Dayak Iban di Sungai Utik. Rumah Panjai menjadi identitas
yang menciptakan persatuan serta gotong rotong bagi masyarakat Dayak Iban.
Masyarakat iban mempercayai bahwa Rumah panjai merupakan rumah yang bersambung dengan roh halus (khayangan).
Rumah panjai terdiri dari 3 bagian yaitu :
1. Tanju yaitu beranda terbuka.
2. Ruai yaitu ruang terbuka
3. Bilik yaitu rumah tiap kepala keluarga.
Dalam 1 bilik di rumah panjai dapat tinggal 3 hingga 4 kepala keluarga.
Kemudian dibagian atas bilik dan ruai yang disebut sebagai sadau yang Sedangkan tuai rumah merupakan kepala atau pemimpin dalam satu rumah panjang yang mempunyai tugas menjaga kerukunan dan persatuan di rumah panjang.
Pembangunan Rumah panjai yang berada di Sungai Utik diawali dengan mencari bahan di hutan pada tahun 1972 yang kemudian menyelesaikan pembangunan pada tahun 1978. Rumah panjai yang sudah ada sejak 41 tahun silam ini merupakan sebuah pembaharuan serta pindahan dari rumah lama yang pada dasarnya semua bahan bangunan tidak memakai paku namun diikat menggunakan rotan.
3.2.2. Tangga Keling
Tangga Keling merupakan sebuah tangga besar dari pohon kayu yang diukir dengan sosok wanita yang berada disisi hilir rumah panjai. Penempatan tangga keeling dibagian hilir rumah searah dengan hilir sungai ini mempunyai filosofi agar
masyarakat atau siapapun yang menaiki tangga ini dilimpahkan rezeki karena memiliki usaha yang gigih melawan melawan arus sungai.
Keling merupakan nama dari seorang pahlawan yang tinggal di khayangan rumah panjang Panggau Libau Lendat Dibiau Takang Isang yang memiliki istri bernama Kumang yang berasal dari rumah panjang Gelong Batu Nakong Nyingit Nyingong Nyimbang Nyerabang. Pada dasarnya tangga keling mengartikan seseorang yang menaiki tangga tersebut, sehingga orang yang menaiki tangga disebut dengan keling dan tangga tersebut disebut sebagai kumang yang berwujud perempuan yang dalam wujudnya tangga tersebut mempunyai buah dada. Tangga Keling ini menjadi harapan bagi siapapun yang menaiki akan mewarisi jiwa yang bijaksana, gagah berani serta rupawan seperti yang dimiliki Keling & Kumang.
3.2.3. Bahasa Suku Dayak Iban
Dalam kesehariannya, masyarakat Dayak Iban menggunakan bahasa lokal yaitu Bahasa Iban. Bahasa Iban mempunyai cirikhas dengan pemakaian kata
‘ai’ seperti jalai yang berarti jalan, pulai yang berarti pulang, nyamai yang berarti nyaman/enak/sedap. Bahasa Iban terdapat tingkatan-tingkatan dalam penggunaan bahasa, ada saatnya seseorang harus menggunakan kata/bahasa halus, seperti ketika berbicara kepada orang yang lebih tua atau orang.
Contohnya, nuan (kamu) yang dipakai ketika berbicara dengan orang yang dihormati, seperti kepala adat, tuan rumah. Namun, ketika lawan bicara kita ternyata seusia atau orang yang lebih kecil dan sudah akrab, cukup menggunakan kata dek/dik (kamu).
3.2.4. Organisasi Sosial Suku Dayak Iban
Pengurus adat pada masyarakat Iban terdiri dari satu orang Temenggung yang memimpin 7 kampung di Jalan Lintang, Kapuas Hulu kemudian dibantu oleh dua orang patih. Sedangkan tuai rumah merupakan kepala atau pemimpin dalam satu rumah panjang yang mempunyai tugas menjaga kerukunan dan persatuan.
3.2.5. Sitem Pengetahuan Suku Dayak Iban
Totok Bakakak merupakan kode dalam komunikasi Dayak Iban. Macam – macam Totok Bakakak:
1. Mengirim tombak yang terikat dengan rotan merah (telah dijernang) sebagai tanda yang menyatakan perang.
2. Mengirim sirih serta pinang sebagai tanda bahwa si pengirim akan meminang seorang gadis.
3. Mengirim seligi sebagai tanda meminta bantuan karna kondisi kampung sedang dalam keadaan bahaya.
4. Mengirim tombak bunu (ujung tombak diberikan kapur) sebagai tanda meminta bantuan sebesar mungkin karna situasi sangat membahayakan seluruh suku.
5. Mengirim abu sebagai tanda ada rumah yang terbakar .
6. Mengirim air dalam bambu sebagai tanda ada anggota keluarga yang telah meninggal karena tenggelam, harap lekas datang.
7. Mengirim cawat/sirat yang telah dibakar pada bagian ujung sebagai tanda ada anggota keluarga dengan lanjut usia telah meninggal dunia.
8. Mengirim telur ayam sebagai tanda ada orang yang datang dari jauh untuk menjual belanga,tempayan atau tajau.
9. Daun sawang/jenjuang yang telah digaris dan kemudian digantung di depan rumah, sebagai isyarat yang mengartikan menunjukan dilarang menginjakan kaki rumah tersebut dengan alasan sedang dalam masa pantangan adat.
10. Bila ditemukan seligi yang digaris dengan kapur pada pohon buah-buahan seperti langsat, durian, cempedak, sebagai isyarat larangan untuk memetik buah yang ada pada pohon itu.
3.2.6. Tato/Pantang Suku Dayak Iban
Pantang iban merupakan sesuatu hal yang sangat penting bagi laki-laki maupun perempuan dewasa pada Suku Iban. Pantang iban menjadi sebuah tanda pengenal sebagai orang iban pada waktu perang, simbol yang dapat menerangi perjalanan seseorang sehingga semakin masyarakat iban percaya bahwa semakin banyak tato yang tergambar di tubuh mereka semakin terang perjalanan hidup mereka. Apai janggut menambahkan bahwa pantang iban juga sebagai tanda bukti atau pelindung dari hewan buas, karna adanya kesamaan pola corak spiral antara bunga terong dan corak di kulit harimau, namun penempatan motif tato juga tidak boleh sembarangan karena setiap motif mempunyai makna pada tiap penempatan di bagian tubuh.
Seperti penempatan motif tato pada kaum perempuan Suku Iban hanya ditempatkan pada bagian lengan tangan, sedangkan pada bagian jari atau dibalik telapak tangan hanya boleh diberikan kepada perempuan iban yang sudah pandai
yang di tempatkan pada bagian leher bermakna sebagai penanda atau tanda pengenal bahwa laki-laki tersebut berasal dari Suku Iban selain itu apai janggut menjelaskan motif tato tekang garam yang ada dilehernya selain melambangkan identitas juga sebagai simbol permohonan agar apa yang dimakan/ditelan tidak menyangkut pada leher.
Proses pembuatan pantang/tattoo pada masyarakat Iban hingga saat ini masih menggunakan tata cara serta alat tradisional seperti :
1. Juran (duri yang diikat pada sebuah tongkat kecil), 2. Tongkat kecil
3. Jelaga (tintanya hitam) yang berasal dari arang lampu pelita yang dilarutkan dengan menggunakan air gula/tebu kemudian didiamkan selama 1 minggu.
Sebelum memulai proses pengerjaan tato masyarakat iban harus menyiapkan sesaji terlebih dahulu untuk leluhur berupa ayam, tempayan, garam serta besi, hal ini dimaksudkan sebagai permintaan perlindungan selama proses pengerjaan tato.
Ada tujuh bentuk motif tato yang berhubungan erat serta mencirikan masyarakat Dayak Iban dengan makna yang berbeda-beda. Ke-7 motif itu ialah :
1. Motif rekong 2. Bunga terong 3. Ketam 4. Kelingai 5. Buah andu
6. Bunga ngkabang/tengkawang 7. Bunga terong keliling pinggang.
Seperti motif delapan buah bunga terong yang mengelilingi pinggang mengartikan bahwa orang tersebut sudah mempunyai banyak pengalaman dalam masa perantauan serta menguasai ilmu pengetahuan yang cukup. Motif kelingai (binatang yang ada di lubang tanah) diletakan pada bagian paha atau betis yang mengartikan bahwa hidup manusia tidak terlepas dari alam atau bumi. Sedangkan motif ketam yang biasanya di tempatkan pada bagian punggung mengartikan bahwa hidup manusia tidak terlepas dan selalu bersentuhan dengan alam. Kemudian, penggambaran motif buah andu dan bunga ngkabang/tengkawang mengartikan sebuah sumber kehidupan bagi manusia.
3.2.7. Tenun Suku Dayak Iban
Dalam masyarakat Dayak Iban tenun merupakan sebuah tradisi yang diturunkan oleh para nenek moyang untuk kaum perempuan Iban. Dayak Iban mempunyai 4 jenis tenun yaitu tenun ikat/kebat, sidan, sungkit serta pileh yang dalam proses penyelesaiannya mempunyai teknik yang berbeda. Hingga saat ini, masyarakat Dayak Iban masih memanfaatkan bahan pewarna alami yang mereka ambil dari hutan. Pewarna alami yang biasa mereka gunakan ialah :
1. Daun engkerbai warna coklat
2. Daun rengat sebagai pewarna biru
3. Daun mengkudu sebagai warna kuning
4. Daun engkerbai laut yang dicampur denan kapur sebagai warna merah kecoklatan.
Tanaman ini harus direbus terlebih dahulu hingga mengeluarkan warna yang diinginkan. Untuk menciptakan warna yang gelap seperti merah, hitam, coklat tua dilakukan perendaman berulang kali. Kemudian, benang yang sudah dicelupkan pewarna harus harus didiamkan beberapa hari agar warna yang ada pada benang bisa bertahan dan tidak luntur sebelum dijemur.
Namun, sebelum memulai tahap pewarnaan pada benang putih terlebih dahulu harus menyiapkan sesaji berupa pinang yang diselipkan pada bagian pinggir alat tenun, sirih, telur, renai (ketan goreng) yang disimpan disamping alat tenun ketika proses pewarnaan dilakukan. Hal ini bertujuan sebagai permohonan izin kepada leluhur untuk menenun dan dilindungi dari gangguan ketika proses penyelesaian tenun.
Motif pada tenun Dayak Iban pada umumnya menggambarkan tenatang apa yang ada di alam seperti pohon, bunga, buah dan hewan. Motif merupakan motif yang terunan dari leluhur yang sudah telebih dahulu menenun.
Ketika sebuah tenun sudah selesai, masyarakat dayak iban melakukan tradisi keliling rumah panjai. Tradisi ini dilakukan oleh seorang anak gadis yang belum pubertas dengan menggendong sebuah keranjang yang berisikan kain tenun serta sesaji berupa daun sirih, renai, telur dan pinang mengelilingi rumah panjai, ketika sudah sampai di ujung rumah sesaji harus dibuang. Hal ini dilakukan sebagai ucapan terimakasih kepada leluhur atar perlindungan serta kelancaran yang
diberikan hingga sebuah kain tenun ini selesai dan menandakan bahwa kegiatan tenun sudah selesai dilakukan.
3.2.8. Upacara Adat Pertanian Dayak Iban
Dalam keseharian orang iban sangat bergantung pada alam. Orang iban menyebut hutan sebagai supermarket karena seluruh sumber makanan, obat-obatan serta bahan kerajinan tangan yang diperlukan bisa mereka dapatkan di hutan. Pada dasarnya orang iban hingga saat ini masih mempraktikan sistem ladang berpindah seperti yang dilakukan para leluhur mereka, sistem ladang berpindah/bergilir dilakukan dengan maksud agar tetap menanam kembali tanah yang sudah diambil hasil panennya sekaligus tindakan menjaga kelestarian. Namun, dalam melakukan kegiatan berladang/bertani orang iban mempunyai Adat Pertanian yang turun- temurun masih dilakukan hingga saat ini. Selama setahun orang iban mempunyai adat pertanian sebagai berikut :
- Upacara Nengah Ambo‟ : Tujuan upacara ini adalah untuk menentukan wilayah berladang/bertani. Pada upacara ini setiap keluarga menyiapkan sesaji yang kemudian dibawa ke ladang yang akan dikerjakan.
- Upacara Ngawah : Upacara ini dilakukan sebelum memulai kegiatan menebas, menebang dan membakar lahan dengan harapan agar diberikan keselamatan dalam masa pengerjaan. Dengan sesajian yang ditempatkan pada satu deret ditambah dengan satu ekor ayam.
- Upacara Nugal : Upacara ini dilaksanakan ketika ingin mulai menanam padi. Hal ini sebagai permohon agar padi dapat tumbuh subur dan tidak ada
hama yang mengganggu, pada upacara nugal sesaji yang persembahkan sebaganyak tiga deret dengan ditambah satu ekor ayam.
- Upacara Bebaso‟ Arang : Upacara yang dilakukan ketika padi telah selesai ditanam. Bebaso‟ arang berarti mencuci kaki setelah menanam padi.
Tujuannya adalah membersihkan tubuh pemiliki ladang dari segala penyakit/hama agar tidak melekat di rumah panjai, oleh karena itu upacara ini dilakukan di rumah.
- Upacara Memali Umai : Upacara ini dilakukan ketika padi mulai tumbuh, dengan tujuan agar padi yang tumbuh terhindar dari hama. Kemudian, pemilik ladang menjalani larangan untuk tidak pergi ke ladang selama 3 hari.
- Upacara Nikek Batu : Upacara ini dilakukan di rumah panjai dengan tujuan untuk memberkati batu asah serta memberikan padi yang berlimpah kepada pemilik ladang.
- Upacara Nikek Tangkai Padi : Upacara ini sebagai tanda kegiatan panen/ngetam. Pemilik ladang mengambil beberapa tangkai padi dan membawa pulang sebagai simbol semangat.
- Upacara Nikek ke Benih : Upacara ini melakukan pengambilan sebagian kecil bibit dari hasil yang dipanen untuk yang akan ditanam pada tahun berikutnya.
- Upacara Gawa‟ Padi (Pesta Panen Padi) : Upacara menandakan bahwa masa panen telah tiba. Upacara ini merupakan penyampaian syukur kepada Petara atas hasil panen yang telah diperoleh.
Seluruh kegiatan upacara ini dilakukan sebagai penghormatan orang iban kepada sang pencipta sekaligus penghargaan orang iban kepada alam atas kebaikan yang telah menyiapkan segala keperluan orang iban serta sebagai adab dalam memulai dan mengakhiri kegiatan.
3.2.9. Filosofi dan Makna Sesaji
Masyarakat Dayak Iban selalu menggunakan ayam, beras ketan, beras kuning, telur, tuak serta hewan babi sebagai sesaji untuk diserahkan kepada leluhur dalam segala ritual upacara adat maupun gawai.
1. Ayam melambangkan pembersihan atas sesuatu yang tidak baik dalam diri manusia akan ikut bersama ayam yang disembelih dipinggir/depan rumah.
2. Beras ketan dimaksudkan agar nenek moyang mau ikut bekerjasama dan memberkati kegiatan yang akan dijalani.
3. Beras kuning sebagai permohohonan atau meminta bantuan kepada nenek moyang.
4. Telur yang memiliki isi berwarna putih dan kuning dimaksudkan dapat membersihkan sesuatu yang kotor pada manusia.
5. Babi yang disembelih di pinggir/depan rumah dimaksudkan sebagai pengganti atau membayar nyawa manusia yang masih hidup.
6. Sedangkan tuak mempunyai 2 pengertian, jika tuak yang di dalam gelas hanya sedikit itu berarti kita memberi persembahan atau menyapa leluhur namun jika di dalam sebuah gelas berisi penuh oleh tuak itu berarti sebagai suguhan tamu sebagai penyambutan tamu dan harus diminum sebagai rasa hormat kepada sesama.
3.2.10. Seni Tari Suku Dayak Iban
Seni tari yang terkenal dari orang iban ialah tari Ngajat Ngalu Temuai (menyambut tamu) pada jaman dahulu tarian ini di persembahkan untuk menyambut kepulangan pahlawan Iban dari medan perang, namun sekarang tarian ini diperuntukan penyambutan tamu serta memeriahkan rasa syukur atas panen pada kegiatan gawai.
3.2.11. Lepus
Lepus bagi orang Iban merupakan kebiasaan menyentuh makanan sebelum bepergian atau ketika ada teman yang sedang makan. Hal ini dilakukan agar kita tidak kempunan atau mengalami gangguan/celaka ketika ingin melakukan sesuatu.
3.2.12. Alat Musik Suku Dayak Iban
Ada 4 jenis alat musik yang miliki oleh orang iban, yaitu : 1. Bebendai
2. Tawak 3. Gendang 4. Ngkromong
Namun, alat musik ini tidak boleh dimainkan sembarangan atau dimainkan pada hari-hari biasa. Masyarakat Dayak iban mempunyai larangan yang terkait dengan perjanjian dengan para leluhur yang berisikan “kalau dimainkan orang banyak, leluhur dipersilahkan untuk datang. Tapi, kalau hanya 1 yang dimainkan jangan datang”.
Sebagai contoh gendang yang dimainkan oleh para perempuan Iban secara serentak hanya boleh dilakukan ketika ada upacara adat atau gawai karena ketika
dimainkan secara bersama-sama itu mengartikan bahwa orang iban sedang memanggil leluhur.
3.2.13. Seni Sastra Suku Dayak Iban
Keunikan Suku Iban juga terlihat pada kesenian sastranya yang disebut beramban.
Beramban merupakan sebuah budaya bercerita yang dari satu orang yang dilanjut orang lain sambal megang tongkat. Ramban Uti dilakukan ketika ingin memberi penghiburan sedangkan Ramban Gawai dilakukan pada saat acara gawai dilakukan.
Selain itu seni berpantun orang iban yang disebut dengan didi diutarakan ketika bersenang-senang dikalangan muda mudi. Kemudian, orang Iban pada saat upacara kelahiran, perkawinan, atau kematian selalu melakukan sebuah tradisi lisan yang menceritakan legenda atau cerita rakyat, selain menjadi budaya hal ini dilakukan sebagai ajang mewariskan cerita rakyat kepada generasi muda.
Ensemak merupakan sebuah pujian berirama yang ditujukan kepada leluhur sebagai permohonan agar memberkati kegiatan berladang. Sedangkan mantra balian merupakan lantunan lagu oleh seorang dukun dalam praktik pengobartan.
3.2.14. Anjing Sebagai Alat Orang Iban
Bagi Suku Dayak Iban, hewan anjing merupakan sebuah alat yang membantu orang Iban dalam melakukan keggiatan berburu. Anjing dianggap mempunyai penciuman yang tajam untuk mengikuti aroma dari hewan buruan seperti babi hutan maupun rusa.
3.2.15. Burung Nenak ( Burung Murai Batu)
Burung nenak atau burung murai batu oleh orang Iban dipercayai dapat membawa keberuntungan. Burung nenak akan memberikan isyarat berupa suara siulan
kepada seseorang yang berada daam hutan. Namun, ketika seseorang menemukan burung nenak di rumah berarti memberikan pertanda untuk gawai burung dan harus memberikan makanan dengan kesepakatan yang sudah ada berupa telur, ayam/babi, serta beras pulut.
3.2.16. Senjata Khas Suku Dayak Iban
Senjata khas orang Iban adalah Sumpit serta Mandau. Sumpit dan mandau merupakan senjata yang dipakai saat masa peperangan melawan penjajah. Sumpit merupakan senjata yang berisikan peluru beracun khas dayak dengan ditiup.
Sedangkan mandau merupakan pedang khas dayak yang biasanya bagian gagang mempunyai ukir motif sulur.
3.2.17. Hutan Adat
Orang Iban dengan kearifan lokalnya sangat menjaga kelestarian hutan adat yang mereka miliki. Bagi mereka hutan sangat penting bagi kehidupan manusia serta mereka mengungkapkan bahwa selain tertulis pada aturan adat yang berlaku, nenek moyang mereka sudah terlebih dahulu mengajari orang Iban tentang ketertiban untuk menjaga hutan. Masyarakat Dayak Iban mempunyai perumpamaan “air adalah darah manusia, hutan adalah dimana kita dilahirkan dan tempat kembali.
Menghancurkan hutan sama saja membunuh diri sendiri serta anak cucu kita dimasa mendatang.” Bagi mereka aktivitas pengambilan kayu dalam jumlah yang banyak merupakan hal yang bertentangan dengan hukum adat yang ada di Sungai Utik. Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik selalu melakukan penanaman kembali pada pohon yang mereka tebang sebagai upaya menjaga keseimbangan serta tetap terjadinya keberlangsungan pada ekosistem yang ada di hutan. Pohon yang dapat
mereka tebang harus memenuhi syarat dengan mempunyai diameter sebesar 1 meter, 1 pohon yang mereka tebang digantikan dengan 2 buah bibit pohon untuk ditanam kembali.
Baginya mereka menjaga hutan sama halnya dengan menjaga hubungan manusia dengan Sang Pencipta, jikalau manusia merusak atau menghancurkan hutan sama artinya dengan merusak hubungan manusia kepada Sang Pencipta.
Karena sadar akan pentingnya hutan bagi kehidupan, masyarakat Dayak Iban mengakatan bahwa adab dalam menghargai dan menjaga hutan harus diajarkan kepada anak-anak sejak dini, mereka harus sadar bahwa hutan adalah kehidupan bagi orang iban.
Berkat kegigihan masyarakat Iban dalam menjaga kelestarian hutan yang mereka miliki dengan keteraturan adat yang berlaku membuat hutan adat sungai utik mendapatkan sertifiat ekolabel pertama pertama yang ada di Indonesia untuk hutan adat pada tahun 2008 lalu. Sertifikat ini menjadi sebuah kebanggaan sekaligus pembuktian bagi masyarakat Iban bahwa keteraturan adat serta persatuan antar manusia mampu menciptakan dan menjaga kesimbangan alam yang tujuan dan manfaat untuk manusia itu sendiri dan diharapkan menjadi percontohan bagi suku-suku lain agar tidak mudah menyerahkan lahan kepada investor.
Metodologi Perancangan
Haslam (2006) menjelaskan bahwa perancangan sebuah buku dipisahkan menjadi tiga tahap yaitu melakukan pengamatan terhadap teknik sebuah perancangan, selanjutnya mulai membuat susunan rencana perancangan, kemudian melakukan
tindakan pendekatan pada target (hlm.23). Metode tersebut kembali dijabarkan sebagai berikut:
1. Dokumentasi
Pada proses perancangan ini, penulis melakukan observasi ke Sungai Utik pada tanggal 19 – 24 Febuari 2019 untuk melihat langsung kehidupan Dayak Iban ke Rumah Panjai . Kemudian penulis melakukan wawancara kepada Bandi Anak Ragai / Apay Janggut selaku ketua adat, Samay selaku penenun Dayak Iban.
Selain itu, penulis juga melakukan wawancara kepada Johanna Ernawati yang merupakan penulis buku Tane’ Olen Setulang melalui telfon.
2. Analisis
Hasil dari observasi yang penulis dapatkan selama beberapa hari di rumah panjai adalah adat dan tradisi serta hutan merupakan warisan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan Suku Dayak Iban. Mereka mempunya tata cara tradisional dalam menghargai leluhur serta hutan yang mereka miliki. Dalam kesehariannya, masyarakat Dayak Iban sangat menjunjung tinggi rasa persatuan serta sifat gotong royong dalam adab menjaga kelestarian hutan yang mereka miliki.
3. Expression
Dalam tahap ini penulis menggunakan/didominasi oleh warna merah dan hitam. Pemilihan warna emas dan hitam berkaitan dengan filosofi serta simbol
yang menggambarkan semangat serta kekuatan hidup yang dimiliki oleh Dayak Iban.
4. Concept
Dalam perancangan media informasi ini, penulis menggunakan konsep photografi yang dipadukan informasi mengenai kegiatan serta filosofi yang dimiliki oleh Suku Dayak Iban. Sehingga, pembaca mempunyai gambaran tentang apa yang ada dalam kehidupan Suku Dayak Iban yang sangat mempertimbangkan hubungan mereka kepada leluhur dan alam.