5 A. Definisi dan Pengertian
Development atau perkembangan merupakan suatu proses bertambahnya kemampuan dan struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks sebagai hasil dari pematangan sel-sel (Saurina, 2015). Development terdiri dari beberapa domain yang meliputi gross motor, fine motor, bahasa dan bicara, emosi sosial (Gerber et al., 2010). Apabila seorang anak menunjukan penundaan yang signifikan pada salah satu aspek, maka dapat dimasukan ke dalam kondisi Develomental Delay (Loughan
& Perna, 2013).
Developmental Delay terjadi ketika anak-anak tidak mencapai tahap perkembangan mereka sesuai dengan usia perkembangannya (Arefi et al., 2014).
Pendapat lain disampaikan oleh Loughan and Perna (2013) bahwa Developmental Delay dapat dipertimbangkan ketika anak tidak mencapai salah satu domain dalam perkembangannya yang berkaitan dengan gross motor, fine motor, bahasa dan bicara, emosi sosial.
Dari pendapat diatas dilengkapi oleh Larosa et al. (2010) yang mengatakan bahwa Developmental Delay terjadi ketika seorang anak menunjukkan penundaan yang signifikan dalam perolehan tonggak atau keterampilan, dalam satu atau lebih domain pengembangan (yaitu motorik kasar, motorik halus, bicara/bahasa, kognitif, pribadi/sosial, atau aktivitas kehidupan sehari-hari).
Beasley et al. (2015) mengatakan Speech and Language delay adalah suatu kondisi yang menunjukan bahwa anak dalam tahap perkembangan bahasa dan bicara dalam urutan yang benar, namun pada masa perkembangannya terjadi lebih lambat dari usia perkembangannya. Pendapat diatas juga disampaikan oleh Garrett et al.
(2010) yang mengatakan Speech and Language Delay adalah suatu kondisi keterlambatan yang terjadi pada masa anak-anak dimana anak mengembangkan bahasa dan bicara sesuai urutan tetapi lebih lambat dibanding anak seusianya, yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan kesulitan belajar dan sosialisasi sampai pada masa remaja dan seterusnya.
B. Etiologi
Faktor resiko yang menyebabkan terjadinya Developmental Delay pada anak, meliputi:
1. Pola Asuh Orang Tua
Anak-anak kecil bergantung pada perawatan yang mereka terima dan pertumbuhan mereka tergantung pada kapasitas pengasuh. Kurangnya perawatan yang dipersonalisasi selama tahun-tahun awal kehidupan memiliki efek yang menghancurkan pada kesehatan anak, pertumbuhan, penyesuaian kepribadian, dan kapasitas kognitif. Sensitivitas dan responsivitas telah diidentifikasi sebagai fitur utama dari perawatan yang memberikan perilaku yang terkait dengan kesehatan dan hasil pembangunan yang positif kemudian pada anak-anak muda.
Beberapa studi eksperimental dan intervensi pada stimulasi kognitif pada anak-anak muda menunjukkan fungsi kognitif yang lebih tinggi dengan stimulasi kognitif tambahan atau kesempatan belajar daripada anak-anak dengan tanpa rangsangan. Perkembangan bahasa dan kognitif sangat penting selama enam bulan pertama hingga tiga tahun kehidupan. Ketika anak-anak menghabiskan tahun-tahun awal mereka di lingkungan yang kurang merangsang, mempengaruhi perkembangan otak dan mengarah pada keterlambatan kognitif, sosial dan perilaku. Tingkat stres yang tinggi dan stres selama masa kanak-kanak dapat meningkatkan risiko penyakit terkait stres dan kesulitan belajar (Pem, 2015).
2. Lingkungan
Janin yang terpapar timbal dan arsenik sebelum lahir mungkin lahir lebih awal atau kurang berat badan dan karenanya membahayakan perkembangan anak. Tingkat prevalensi paparan timbal di seluruh dunia adalah 40% dan anak- anak di negara berkembang memiliki risiko yang lebih tinggi dan setidaknya 30 juta orang di Asia Tenggara terpapar dengan arsenik melalui air minum.
Penyakit infeksi pada anak dapat mempengaruhi perkembangan melalui jalur langsung dan tidak langsung. Diare sangat umum selama 2 tahun pertama kehidupan karena kurangnya akses ke air bersih atau sanitasi yang tidak memadai (Pem, 2015).
3. Infeksi Virus
Infeksi virus seperti Toksoplasma, Rubella, CMV, Herpes dan HIV dapat melintasi placenta ke bayi yang mengakibatkan infeksi oleh penyakit yang sama sehingga kondisi tersebut terbukti berulang menunjukan permasalahan pada area perkembangan (Kusanthan et al., 2015).
4. Diabetus Melitus
Efek dari diabetes pada perkembangan janin tidak diketahui, namun studi menunjukan bahwa diabetus memiliki efek pada perkembangan kognitif dimasa depan (Akbari et al., 2012).
5. Anemia
Pada kadar hemoglobin rendah pada masa kehamilan dapat menyebabkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak, sehingga dapat beresiko menyebabkan terjadinya berat bayi rendah (Muazizah et al., 2012).
6. Berat Bayi Lahir Rendah
Bayi yang lahir dengan BBLR memiliki atau umumnya mengalami prosisi hidup jangka panjang yang kurang baik, apabila tidak meninggal pada awal kelahiran, bayi BBLR memiliki resiko tubuh dan berkembang lebih lambat dibandingkan bayi yang lahir dengan berat badan normal (Chundrayetti et al., 2015).
7. Perilaku Orangtua
Merokok selama kehamilan dan paparan asap tembakau lingkungan memiliki konsekuensi kesehatan yang serius bagi ibu dan bayinya. Perkiraan risiko relatif dari hasil negatif yang terkait dengan merokok pada kehamilan adalah 2,04. Dalam besaran yang sama, konsumsi alkohol memiliki efek buruk terhadap perkembangan janin selama kehamilan. Efek buruk dari konsumsi alkohol selama delapan minggu pertama kehamilan adalah defek cranio-facial, ekstremitas dan kardiovaskular, yang dikenal sebagai Fetal Alcohol Syndrome (FAS) dan paparan pada kehamilan selanjutnya dapat mempengaruhi pertumbuhan janin dan berhubungan dengan perkembangan perilaku dan kognitif. Tidak ada penelitian yang membuktikan jumlah alkohol yang aman dikonsumsi selama kehamilan (Pem, 2015).
8. ASI (Air Susu Ibu)
Menyusui sangat berpengaruh dalam perkembangan kognitif dan perilaku adaptif (Tasnim, 2014). ASI adalah makanan ideal dan terbaik untuk bayi, itu menyediakan nutrisi unik yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak dibutuhkan untuk fungsi dan pertumbuhan sel yang optimal. Selanjutnya, isinya perubahan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi perkembangan anak dengan usia. Pemberian ASI eksklusif hingga usia enam bulan membantu meningkatkan kesehatan dan perkembangan anak. Bayi yang disusui adalah cenderung untuk mengembangkan obesitas dan akan memiliki tingkat kolesterol yang lebih rendah di kehidupan selanjutnya. Asam lemak dalam ASI mengembangkan otak dan dengan demikian meningkatkan perkembangan kognitif dan ketajaman visual (Pem, 2015). Stuebe (2009) menjelaskan anak yang diberi susu formula cenderung lebih berisiko memiliki mobiditas menular ditahun pertama kehidupannya, dibandingkan dengan anak yang hanya diberi ASI, hal ini dikarenakan ASI memberikan kekebalan yang lebih spesifik.
9. Makanan Pelengkap
Awal pemberian makanan pendamping yang tepat dan memadai pada enam bulan sangat penting untuk pengembangan. Di banyak negara berkembang, anak-anak dari kelompok usia ini tidak menerima makan tepat waktu, tepat dan memadai untuk tumbuh ke tingkat optimal. Menambahkan makanan terlalu cepat menggantikan ASI yang menghasilkan nutrisi rendah dan meningkatkan risiko penyakit. Seringkali anak tidak menerima nutrisi yang tepat sehingga mengakibatkan pembatasan pertumbuhan dan perkembangan. Pemberian makanan secara komplementer berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak karena bayi dari 6 bulan sampai 18 bulan sangat rentan dalam mengembangkan malnutrisi. Menerima makanan selain ASI dari 6 bulan ke atas dengan jumlah yang tepat konsistensi akan mencegah kekurangan gizi dan menghalangi terkait keterlambatan perkembangan (Pem, 2015).
10. Nutrisi Ibu Saat Hamil
Nutrisi ibu adalah faktor risiko untuk pertumbuhan janin pembatasan dan hasil perinatal yang merugikan. Asupan gizi yang tidak memadai dan status gizi ibu yang buruk selama kehamilan merupakan indikasi pembatasan pertumbuhan
intrauterine yang mempengaruhi perkembangan otak. Berat badan ibu yang rendah sebelum konsepsi dikaitkan dengan peningkatan risiko berat lahir rendah dan hambatan pertumbuhan simetris serta keguguran. Status perkembangan janin dikaitkan dengan gizi ibu dan berat lahir rendah merupakan faktor risiko utama yang mempengaruhi perkembangan mental, fisik dan kognitif anak (Pem, 2015).
Menurut Ajayan et al. (2016) ada beberapa faktor resiko seperti faktor biologis dan faktor lingkungan yang menyebabkan Speech and Language Delay.
Faktor biologis meliputi jenis kelamin, komplikasi selama kehamilan antara lain:
hipertensi, diabetes melitus, hypotyroid, anemia, kelainan jantung, kelainan proses persalinan, dan faktor post natal yang meliputi kejang pada anak, sepsis neonatal, prematuritas, berat badan bayi rendah, riwayat keluarga dengan gangguan bahasa dan bicara, serta kelainan congenital seperti cleft palate dan gangguan pendengaran.
Faktor lingkungan meliputi usia ibu saat melahirkan, edukasi selama kehamilan, status sosial ekonomi dan lingkungan keluarga khususnya orangtua.
C. Prevalensi
Prevalensi developmental d elay tidak diketahui secara pasti. Larosa et al.
(2010) mengatakan berdasarkan World Health Organization (WHO) diketahui sekitar 5% dari anak-anak di dunia usia 14 tahun ke bawah mengalami beberapa jenis kecacatan yang sedang sampai berat. Di Amerika Serikat, gangguan perkembangan dan atau perilaku terjadi pada 16-18% anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Beasley et al. (2015) melaporkan prevalensi speech and language delay dan gangguan umum yang terjadi, dengan perkiraan prevalensi antara 5% dan 12% pada anak-anak usia 2 sampai 5 tahun. Menurut McLaughlin (2011) prevalensi keterlambatan bahasa yang dilaporkan pada anak-anak usia 2-7 tahun berkisar dari 2,3-19%. Sedangkan menurut Burhany et al. (2012) prevalensi gangguan bicara berupa keterlambatan bahasa dengan kosakata ekspresif kurang dari 50 kata dan atau tidak adanya kombinasi kata, diperkirakan terjadi pada 15% anak usia 24-29 bulan, prevalensi gangguan berbicara dan berbahasa bervariasi antara 1%-32% pada populasi normal, dipengaruhi berbagai faktor seperti usia anak serta metode yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis dan prevalensi gangguan bicara pada anak prasekolah 3%-15%.
Saurina (2015) juga menyampaikan bahwa data Depkes RI pada tahun 2013 di Indonesia sekitar 16% anak balita mengalami gangguan perkembangan, baik perkembangan motorik halus dan kasar, gangguan pendengaran, kecerdasan kurang, maupun speech and language delay. Pada tahun 2018 diketahui di Desa Dayu Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah berdasarkan hasil data dari Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) terdapat 5 orang yang mengalami gangguan komunikasi. Dua diantaranya mengalami Developmental Delay dengan kondisi Speech and Language Delay.
D. Karakteristik
Tervo (2009) mengatakan Developmental Delay terjadi apabila ada keterlambatan signifikan pada salah satu domain. Domain tersebut meliputi bahasa dan bicara, motorik, kognitif, dan perilaku. Adapun klasifikasi dan karakteristik dari masing-masing domain yaitu:
1. Keterlambatan Bahasa dan Bicara
Hamaguchi (2010) mengatakan Speech/bicara mengacu pada suara yang keluar dari mulut kita dan mengambil bentuk dalam bentuk kata-kata.
Sedangkan Language/bahasa mengacu pada isi dari apa yang diucapkan, ditulis, dibaca, atau dipahami. Bahasa juga bisa gestural, seperti ketika kita menggunakan bahasa tubuh atau bahasa isyarat. Bahasa dikategorikan ke dalam tiga bidang: receptive, expressive, dan social. Kemampuan untuk memahami ucapan atau gerakan orang lain disebut receptive language. Kemampuan untuk membuat pesan lisan yang akan dimengerti orang lain disebut expressive language. Cara di mana bahasa digunakan dengan orang lain disebut social language atau pragmatik.
Menurut McLaughlin (2011) ada beberapa masalah bahasa dan bicara pada anak yang meliputi:
a. Developmental speech and language delay
Bicara terlambat. Anak-anak memiliki pemahaman normal, kecerdasan, pendengaran, hubungan emosional, dan keterampilan artikulasi.
b. Expressive language disorders
Bicara terlambat. Anak-anak memiliki pemahaman normal, kecerdasan, pendengaran, hubungan emosional, dan keterampilan artikulasi. Expressive language disorder sulit dibedakan pada usia dini dari perkembangan bicara yang lebih umum dan keterlambatan bahasa.
c. Receptive language disorders
Bicara terlambat dan juga jarang, agrammatic, dan tidak jelas dalam artikulasi. Anak-anak tidak boleh melihat atau menunjuk benda-benda atau orang-orang yang diberi nama oleh orang tua (menunjukkan defisit dalam pemahaman). Anak-anak memiliki respon normal terhadap rangsangan pendengaran nonverbal.
McLaughlin (2011) juga berpendapat ada beberapa indikasi yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui apakah anak mengalami keterlambatan bahasa dan bicara atau tidak pada perkembangan bahasa reseptif dan bahasa ekspresifnya sesuai dengan usia. Indikasi tersebut yaitu:
a. Usia 12 bulan
Pada usia 12 bulan perkembangan bahasa ekspresif anak tidak mengoceh, menunjuk, atau memberi isyarat.
b. Usia 15 bulan
Pada usia 15 bulan perkembangan bahasa reseptifnya tidak melihat atau menunjuk ke 5 hingga 10 objek atau orang ketika dinamai oleh orang tua.
Sedangkan perkembangan bahasa ekspresifnya tidak menggunakan setidaknya tiga kata.
c. Usia 18 bulan
Pada usia 18 bulan perkembangan bahasa reseptifnya tidak mengikuti petunjuk satu langkah. Sedangkan perkembangan bahasa ekspresifnya tidak mengatakan "mama", "dada" atau nama lain.
d. Usia 2 tahun
Pada usia 2 tahun perkembangan bahasa reseptif anak tidak menunjuk ke gambar atau bagian tubuh saat diberi nama. Untuk perkembangan bahasa ekspresif anak, tidak menggunakan setidaknya 25 kata.
e. Usia 2,5 tahun
Pada usia 2,5 tahun perkembangan bahasa reseptif anak tidak secara lisan menanggapi atau mengangguk/menggelengkan kepala ke pertanyaan. Untuk bahasa ekspresifnya anak tidak menggunakan frase dua kata yang unik, termasuk kombinasi kata kerja.
f. Usia 3 tahun
Pada usia 3 tahun anak tidak mengerti kata depan atau kata-kata tindakan dan tidak mengikuti petunjuk dua langkah pada perkembangan bahasa reseptifnya. Untuk bahasa ekspresifnya anak tidak menggunakan setidaknya 200 kata, tidak menanyakan hal-hal berdasarkan nama, mengulangi frase sebagai jawaban atas pertanyaan (echolalia).
g. Usia berapa pun
Pada anak usia berapa pun perkembangan bahasa ekspresifnya mengalami kemunduran atau kehilangan tonggak bicara/bahasa yang diperoleh sebelumnya.
Menurut Tervo (2009) keterlambatan bahasa dan bicara meliputi (a) Tidak babling, tidak menunjuk, tidak ada gerakan tubuh pada usia 12 bulan, (b) Belum muncul kata pada usia 16 bulan, (c) Tidak meniru kata sampai kalimat pada usia 24 bulan, (d) Kurangnya keterampilan bahasa maupun keterampilan sosial pada usia berapapun.
Menurut Shipley & McAfee (2009) pada anak usia 2-3 tahun perkembangan normalnya berada pada tahap berikut ini:
a. Bicara 50 – 75% dapat dipahami oleh orang lain b. Mengerti satu dan semua
c. Mengucapkan keinginan untuk ke kamar mandi (sebelum, sedang atau setelah kejadian)
d. Meminta benda dengan menamakan
e. Menunjuk kepada gambar didalam buku bila diminta f. Mengenali beberapa bagian tubuh
g. Mengikuti perintah sederhana dan menjawab pertanyaan sederhana h. Senang mendengarkan cerita pendek, lagu dan sajak
i. Menanyakan 1-2 kata pertanyaan
j. Menggunakan 3-4 kata frase k. Menggunakan preposisi
l. Menggunakan kata yang sama dalam konteks m. Menggunakan “echolalia” bila kesulitan berbicara
n. Memiliki pengucapan (expressive) kosa kata 50-250 (dan berkembang dengan pesat pada tahap ini)
o. Memiliki pemahaman (receptive) kosa kata 500-900 kata atau lebih p. Memperlihatkan kesalahan dalam pemakaian tata bahasa
q. Mengerti hampir keseluruhannya yang dikatakan kepadanya
r. Sering mengulang, terutama kata permulaan “saya”/ nama dan suku kata pertama
s. Berbicara dengan suara keras t. Nada suara mulai meninggi
u. Menggunakan huruf hidup dengan baik
v. Secara konsisten menggunakan konsonan awal (walaupun beberapa masih tidak dapat diucapkan dengan baik)
w. Sering menghilangkan konsonan tengah
x. Sering menghilangkan atau mengganti konsonan akhir
Apabila kemampuan bahasa dan bicara anak belum sesuai dengan perkembangan bahasa dan bicara secara normal sesuai dengan kemampuan diatas, maka dapat dikatakan anak mengalami Speech and Language Delay.
Menurut Jalongo (2007) dalam Hapsari (2016) anak usia 2 sampai 3 tahun sudah mulai menggunakan bahasa dengan kata-kata membentuk frase. Anak sekitar 2 tahun mulai memahami bahasa reseptif, mengucapkan dua atau tiga kata saat bicara, menggunakan bahasa telegrafis (kata awal yang hanya terdiri dari beberapa kata penting, contoh: “ne apu” artinya “nenek menyapu lantai”), kosa katanya ada sekitar 50-200 kosa kata, dan sosialnya sudah berusaha untuk berkomunikasi dengan orang lain walaupun topiknya masih belum fokus. Masuk usia 3 tahun merupakan periode pertumbuhan bahasa yang paling cepat, banyak kosa kata baru setiap harinya sekitar 200-300 kata, dan sosialnya anak mulai mengkomunikasikan dan menunjukkan rasa frustasinya saat tidak mengerti apa
yang dibicarakan sehingga orang dewasa akan lebih memahami apa yang ingin disampaikan anak.
Menurut Kid Sense Child Development (2017) Language delay terjadi ketika bahasa anak berkembang lebih lambat daripada bahasa lainnya pada anak- anak usia yang sama, tetapi mengikuti pola perkembangan yang khas. Misalnya, seorang anak mungkin berusia 4 tahun, tetapi memahami atau menggunakan bahasa khas seorang anak yang mungkin hanya 2,5 tahun. Seorang anak mungkin memiliki keterlambatan bahasa reseptif (pemahaman bahasa) atau keterlambatan bahasa ekspresif (penggunaan bahasa). Ada beberapa fitur umum dari language delay yaitu:
a. Terlambat untuk berbicara dan kata-kata pertama tidak muncul pada usia 15- 18 bulan.
b. Anak mendapatkan kata-kata pertama mereka tetapi kemudian tidak terus mengembangkan kata-kata yang baru dengan cepat.
c. Pada usia dua tahun, anak tersebut mengatakan kurang dari 50 kata dan tidak menggunakan dua kombinasi kata (misalnya „minuman lain‟, „ayah pergi‟,
„mobil pergi‟)
d. Anak mengalami kesulitan memahami apa yang dikatakan kepada mereka dan memiliki kesulitan mengikuti instruksi.
e. Bahasa anak-anak terdengar tidak dewasa untuk usia mereka.
f. Kesulitan hadir di waktu kelompok di taman kanak-kanak atau sekolah.
g. Anak yang masih dini mungkin mengalami kesulitan dengan kontak mata, kegiatan dan untuk berbicara dan menggunakan suara dan gerak tubuh.
h. Kesulitan menjawab pertanyaan.
i. Kesulitan mengurutkan kata dalam kalimat.
j. Kesulitan membaca dan menulis.
k. Kesulitan menyampaikan pesan mereka.
l. Menggunakan tata bahasa yang salah (misalnya „Saya ingin yang merah‟ dan bukan „Saya ingin yang merah‟).
Kesulitan yang sering terjadi (tetapi tidak selalu) dialami oleh mereka yang mengalami keterlambatan bahasa: jika hanya terlambat bahasa ekspresif, kesulitan mendapatkan ide dan pemikiran; jika terlambat bahasa reseptif saja,
kesulitan memahami instruksi dan pertanyaan; kesulitan mengakses kurikulum sekolah; kesulitan berinteraksi dengan teman sebaya; pengolahan sensorik;
perencanaan dan pengurutan yang buruk; fungsi eksekutif yang buruk; memori kerja yang buruk; perhatian dan konsentrasi yang buruk; komunikasi tertulis yang buruk dalam lingkungan kelas; keterampilan organisasi yang buruk;
kesulitan membaca dan mengeja; pemahaman membaca yang buruk.
Ada beberapa pendekatan terapi wicara dan aktivitas yang dapat mendukung anak dengan keterlambatan bahasa meliputi:
a. Assessment bahasa dan bicara: Mencari secara mendalam dan menentukan kekuatan dan kelemahan anak di semua bidang komunikasi, termasuk keterampilan bermain dan interaksi, perhatian dan mendengarkan, memahami kata dan bahasa, menggunakan kata-kata dan bahasa, komunikasi sosial, pengucapan dan berbicara serta keterampilan preliteracy jika diperlukan.
b. Strategi komunikasi: Bekerja bersama dengan orang tua untuk merancang tujuan dan strategi untuk membantu mengembangkan area komunikasi yang membuat anak mengalami kesulitan.
c. Aktivitas harian: Menyediakan keluarga dengan strategi dan saran yang dapat digunakan di rumah dalam kegiatan sehari-hari dan rutinitas untuk membantu mengembangkan keterampilan komunikasi.
d. Langkah demi langkah tujuan: Membuat langkah kecil demi langkah yang dapat dicapai dan menunjukkan perkembangan anak dalam bidang keterampilan.
e. Informasi visual: Menggabungkan informasi visual tambahan melalui penggunaan sistem isyarat yang lebih formal, gambar dan / atau simbol untuk membantu pemahaman dan penggunaan bahasa yang sesuai.
f. Penguatan positif: Memberikan banyak penguatan positif dan dorongan seluruh terapi untuk membantu membangun kepercayaan diri dan harga diri.
Berhubungan dengan staf pendidikan (jika perlu) tentang keterampilan komunikasi anak dan memberikan informasi dan ide yang dapat digunakan dalam pengaturan pendidikan untuk membantu anak mengakses kurikulum.
g. Bahasa sesuai usia: Menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat pemahaman anak.
h. Pendekatan multi-sensory: Menggunakan pendekatan multi-sensory (misalnya penglihatan, rasa, penciuman, sentuhan) untuk mempelajari kata- kata dan konsep baru.
i. Buku: Mengajarkan cara menggunakan buku dan cerita untuk membantu pengembangan bahasa.
j. Bentuk komunikasi alternatif: Mengajarkan cara-cara berkomunikasi alternatif sementara bahasa berkembang (misalnya bahasa isyarat, the Picture Exchange Communication System - PECS).
2. Keterlambatan Motorik
Hal penting untuk mengevaluasi keterampilan motorik visual pada usia tiga bulan pertama kehidupan, anak-anak yang terlihat jelas memiliki kerusakan pada penglihatan harus menemui dokter mata dengan segera, terlambat tersenyum dapat menjadi salah satu tanda kebutaan autism atau kondisi seperti Mobius Syndrome/Distrophy. Pada dominasi tangan harus terlihat pada usia dibawah 18 bulan.
Beberapa tahap penting yang berkaitan dengan kemampuan visual termasuk diantaranya reflek berkedip pada saat ada cahaya masuk yang harus muncul pada usia kehamilan 31 minggu dan anak sudah harus mampu pada saat lahir.
Pada usia 6-8 minggu anak harus sudah mampu memfokuskan dan mensejajarkan mata. Pada usia 3 bulan, fiksasi harus sudah stabil, anak harus sudah mampu meraih benda-benda dan mengikuti secara halus.
3. Keterlambatan Kognitif
Tahap signifikansi perkembangan kognitif pada usia 9 sampai 10 bulan anak harus mampu mengenali objek, pada usia 18 bulan anak sudah harus memperlihatkan atensinya, menunjuk pada sebuah benda dan sudah mampu bermain simbol. Ketika anak mengalami keterlambatan bicara, ada kekhawatiran pada kecacatan kognitif. Salah satu hal yang dapat dipertimbangkan pada anak sekolah yaitu dengan evaluasi IQ. Dapat diketahui anak mengalami cacat kognitif jika didapatkan prestasi anak dibawah 2 atau lebih tingkatan pada IQ dan usianya.
Pendapat lain disampaikan oleh Santrock (2011) yang mengatakan bahwa proses kognitif mengacu pada perubahan dalam pemikiran, kecerdasan, dan bahasa. Kemampuan memperhatikan pergerakan yang terjadi di atas buaian, menyusun kalimat yang terdiri atas dua kata, menghafal puisi, menyelesaikan soal matematika dan membayangkan rasanya menjadi bintang film termasuk dalam proses kognitif.
Perkembangan kognitif pada anak usia 2 tahun 8 bulan masuk pada tahap praoperasional, hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1981) dalam Hapsari (2016) yang menyatakan bahwa anak usia awal merupakan usia prasekolah atau usia “pregang” yang berada pada usia 2-6 tahun. Kemampuan kognitif yang dimiliki anak usia prasekolah meliputi fungsi simbolis, memahami identitas, memahami sebab akibat, memahami klasifikasi, memahami angka-angka, mampu berempati dan memiliki pikiran sendiri (Hapsari, 2016).
4. Masalah Perilaku
Masalah sosial dan perilaku serta perkembangan emosional pada anak sangat berhubungan dengan perkembangan bahasa. Kebiasaan masalah pada anak memerlukan seseorang profesional untuk menangani gangguan agar tidak muncul secara terus menerus dan mengganggu kemampuan baik dirumah maupun disekolah.
Santrock (2011) juga berpendapat bahwa proses sosio-emosional meliputi perubahan-perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang lain, perubahan emosi, dan perubahan kepribadian, bayi yang tersenyum untuk membalas sentuhan ibunya, dan seorang anak yang menyerang teman bermainnya.
E. Prognosis Teoritik
Identifikasi dan intervensi dini memiliki pengaruh pada pencapaian hasil perkembangan anak. Anak semakin cepat dideteksi dan diberi intervensi, memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan lebih banyak. Banyak anak yang mengalami keterlambatan ringan tidak teridentifikasi sebelum masuk usia sekolah (Arefi et al., 2015).
Deteksi dini yang tepat sebagai langkah pemeriksaan dini terhadap perkembangan anak sangat penting dilakukan apakah anak ada indikasi
keterlambatan atau tidak. Apabila ditemukan keterlambatan akan diidentifikasi sebagai keterlambatan biasa atau bersifat patologi yang berhubungan dengan gangguan pada sistem saraf pusat sehingga intervensi dini akan sangat dianjurkan apabila ditemukan permasalahan sejak dini. Developmental Delay meningkatkan resiko adanya masalah pada kognitif, perilaku, akademik, membaca, menulis, pemusatan perhatian dan sosialisasi. Pada beberapa kasus, juga terdapat masalah pada sensoris. Pada sosial-emosi, terjadi kecemasan dan sulit berinteraksi dengan teman sebaya (Loughan & Perna, 2013).
Menurut Ajayan et al. (2016) Speech and Language Delay perlu diintervensi sejak dini. Keterlambatan dalam keterampilan berbicara dan bahasa mungkin terkait dengan gangguan kognitif lainnya termasuk skor IQ yang lebih rendah, keterampilan memproses informasi yang lebih lambat dan keterampilan keaksaraan yang lebih buruk seperti membaca dan mengeja. Mereka juga dikenal memiliki defisit psikososial yang bertahan hingga dewasa. Namun alasan lain untuk deteksi dini keterlambatan bicara adalah bahwa keterlambatan bicara pada sejumlah anak yang signifikan adalah akibat gangguan pendengaran. McLaughlin (2011) juga berpendapat bahwa intervensi terapi wicara adalah yang efektif. Terapi yang disediakan orang tua di bawah bimbingan seorang dokter sama efektifnya dengan terapi yang diberikan dokter. Intervensi yang berlangsung lebih lama dari delapan minggu mungkin lebih efektif daripada yang berlangsung kurang dari delapan minggu. Prognosis sangat baik. Anak-anak biasanya memiliki bicara yang normal pada usia masuk sekolah.
Ahli terapi wicara adalah profesional perawatan kesehatan yang dilatih untuk mengidentifikasi, melakukan assessment, dan merawat masalah-masalah bicara dan bahasa. Mereka dapat bekerja dengan dokter, psikolog, pekerja sosial, dan profesional perawatan kesehatan lainnya sebagai tim untuk menolong individu dengan masalah fisik atau psikologis yang mencakup masalah bicara dan bahasa (Santrock, 2011).
F. Metode Terapi
Metode terapi klien dengan menggunakan metode Drill.
1. Sumber Metode
Buku Language Disorders from Infancy through Adolescence : Listening, Speaking, Reading, Writing, and Communicating Fourth Edition yang ditulis oleh Rhea Paul pada tahun 2012.
2. Dasar Pemikiran
Drill secara umum didefinisikan sebagai salah satu dari berbagai macam aktivitas klinis yang didalamnya terdapat tingkatan pada strukturnya. Struktur aktivitas yang paling tinggi dalam kerangkanya disebut drill.
3. Tujuan Metode
Agar klien memberikan respon sesuai instruksi atau stimulus yang diberikan dengan benar.
4. Langkah-langkah Metode
a. Langkah metode drill, terapis memberi instruksi kepada klien berkenaan dengan respon apa yang diharapkan dan memberikan stimulus untuk latihan, seperti kata atau frase yang dilakukan secara berulang.
b. Stimulus pada latihan ini direncanakan dengan hati-hati dan dikontrol oleh terapis. Terapis sering menggunakan prompt/bantuan atau rangsangan instruksi agar memberitahu pada anak bagaimana cara merespon dengan benar, contohnya meniru dari terapis.
c. Jika prompt digunakan, terapis berangsur-angsur akan mengurangi prompt yang ditentukan oleh terapis.