• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kalsium Ion Serum Dan Dosis Kumulatif Furosemide Dengan Nilai Ambang Pendengaran Pada Anak Sindrom Nefrotik Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kalsium Ion Serum Dan Dosis Kumulatif Furosemide Dengan Nilai Ambang Pendengaran Pada Anak Sindrom Nefrotik Chapter III VI"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

24 BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain

Desain penelitian ini adalah studi cross sectional untuk mengetahui hubungan nilai kalsium ion dan dosis kumulatif furosemide dengan nilai ambang batas pendengaran pada anak sindrom nefrotik.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Haji Adam Malik, Propinsi Sumatera Utara pada bulan Maret – Mei 2016.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak penderita sindrom nefrotik, yang telah didiagnosis dan telah mendapat pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik, Propinsi Sumatera Utara. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi.

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Penghitungan besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk uji hipotesis dengan dua kelompok tidak berpasangan.

(2)

25

Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan derajat kemaknaan (CI) 95% dan power sebesar 80%.

Besar sampel minimal dapat dihitung dengan menggunakan rumus:34

�1 = �2 = 2 z

+� �

�1− �2

2

Keterangan :

n1 : besar sampel kelompok anak sindrom nefrotik remisi.

n2 : besar sampel kelompok anak sindrom nefrotik relaps.

Zα : kesalahan tipe I = 0.05 (tingkat kepercayaan 95%) = 1.96 Zβ : kesalahan tipe II = nilai deviasi pada β 20% = 0.842

S : standar deviasi= 4.859.10

X1 : mean gangguan pendengaran pada anak sindroma nefrotik remisi.

X2 : mean gangguan pendengaran pada anak sindroma nefrotik relaps.

X1-X2 : perbedaan rerata yang dianggap bermakna (judgmen penelitian).10

Dengan menggunakan rumus di atas didapati besar sampel minimal adalah 16 orang untuk masing-masing kelompok.

(3)

26 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Memenuhi diagnosis sindroma nefrotik dan telah mendapat terapi inisial dan alternating dose dan mengalami remisi setelah mendapat pengobatan pertama sekali.

2. Orang tua bersedia mengisi lembar persetujuan (informed consent).

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Belum mendapat pengobatan atau mengalami sekurang-kurangnya satu kali remisi dalam masa pengobatan

2. Dijumpai anamnesa: penurunan berat badan, gagal tumbuh, demam yang tidak diketahui penyebabnya, riwayat keluar cairan dari liang telinga, riwayat telinga berdengung atau nyeri pada telinga.

3. Dijumpai kelainan organ secara pemeriksaan fisik maupun sudah terdiagnosis dengan kelainan bawaan pada telinga atau pasien sebelumnya sudah terdiagnosis dengan gangguan pendengaran oleh Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan (THT) sebelum dilakukan penelitian.

(4)

27 3.6. Persetujuan

Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu.

3.7. Etika Penelitian

Penelitian ini diminta persetujuan oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara Kerja

1. Mengumpulkan dari rekam medis data pasien yang telah didiagnosis dengan sindroma nefrotik.

2. Melakuakan pengambilan sampel dengan menilai kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dilakukan wawancara dengan orang tua pasien mengenai kesediaan untuk berpartisipasi, mengisi lembar persetujuan dan lembar formulir isian.

3. Pada sampel dilakukan pemeriksaan fisik dan pengukuran antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan.

4. Cara melakukan pengukuran berat badan adalah tanpa pakaian, tanpa alas kaki dan anak berdiri tegak diatas timbangan merk Krisbow yang digunakan ataupun data berat badan didapat dari rekam medis. Pengukuran tinggi badan pada anak dengan cara anak berdiri tegak,

(5)

28

mata menatap lurus, punggung menempel pada alat pengukur panjang badan pada dinding.

5. Dilakukan pencatatan mengenai terapi apa yang diterima pasien, dihitung dosis kumulatif furosemide.

6. Dilakukan pencatatan hasil pemeriksaan laboratorium, albumin, elektrolit, dan kalsium ion serum.

7. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria diagnostik sindroma nefrotik dinilai status pendengarannya dengan menggunakan audiometri nada murni, dilakukan oleh seorang audiologist.

3.9. Alur Penelitian

(6)

29 3.10. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Kalsium ion Nominal dikotom

Dosis Kumulatif Furosemide Nominal dikotom

Variabel tergantung Skala

Ambang pendengaran Numerik

3.11. Definisi Operasional

1. Sampel adalah kelompok anak yang telah didiagnosis dengan sindroma nefrotik di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan: proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/KgBB/hari atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu > 2mg/Kg atau pada dipstick urine ≥ 2+); hipoalbuminemia (< 2.5 gr/dL); edema; dan dapat disertai hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL).

3. Sindroma Nefrotik idiopatik adalah kombinasi antara sindroma nefrotik dan kelainan histologis nonspesifik termasuk kelainan minimal, fokal segmental glomerulosklerosis maupun proliferasi mesangial difus. 4. Remisi terjadi jika didapati proteinuria negatif atau trace (proteinuria <

4 mg/m2 LPB/ jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

(7)

30

5. Relaps terjadi jika proteinuria ≥ 2+ ( proteinuria ≥ 40 mg/ m2 LPB/ jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

6. Hipokalsemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalsium serum total dari < 8.8 mg / dL (2.2 mmol / L) pada pasien yang nilai serum albuminnya normal, atau ketika nilai kalsium terionisasi dalam serum < 4.2 mg / dL (1.05 mmol / L).

7. Dosis kumulatif furosemide adalah dosis total furosemide yang diterima pasien selama satu periode waktu tertentu.

8. Ambang pendengaran adalah batas kekuatan bunyi yang dapat didengar oleh telinga, diukur dalam satuan dB (Decibell).

9. Audiometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai fungsi telinga, merupakan uji yang menunjukkan seberapa baik seseorang dapat mendengar.

10. Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial maupun total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga.

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisis dengan uji komparatif Independent T test, Mann-Whitney U test, dan regresi logistik multivariat untuk mengetahui hubungan ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemide dengan nilai ambang pendengaran

(8)

31

pada anak sindroma nefrotik. Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 18.0 dengan tingkat kemaknaan P < 0.05 dan interval kepercayaan yang digunakan adalah 90%.

(9)

32 BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Demografi dan Laboratorium

Penelitian diikuti oleh 22 orang subyek anak Sindrom Nefritik (SN) remisi dan 20 orang subyek SN relaps yang telah memenuhi kriteria inklusi. Jumlah subyek anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kelompok SN remisi masing-masing adalah 11 orang dan pada kelompok SN relaps 10 orang. Rerata usia pada kelompok SN remisi adalah 8.36 tahun dan kelompok SN relaps adalah 8.7 tahun. Rerata berat badan pada kelompok SN remisi adalah 22.95 kg dan kelompok SN relaps adalah 28.05 kg. Rerata panjang badan pada kelompok SN remisi adalah 115.82 cm dan kelompok SN relaps adalah 115.55 cm.

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi

Karakteristik SN Remisi

Panjang badan, rerata (SB), cm 115.82 (12.7) 115.55 (9.73) SB=Simpangan Baku

Hasil pemeriksaan laboratorium kimia darah pada kelompok SN remisi dan relaps disajikan dalam tabel 4.2 berikut.

(10)

33 Tabel 4.2 Karakteristik Laboratorium

Karakteristik SN Remisi

n=22

SN Relaps n = 20

Ureum, rerata (SB), mg/dL 21.78 (7.79) 23.08 (7.44)

Kreatinin, rerata (SB), mg/dL 0.49 (0.14) 0.46 (0.13)

Natrium, rerata (SB), mEq/L 137.09 (2.67) 137.4 (2.52)

Kalium, rerata (SB), mEq/L 3.86 (0.44) 3.74 (0.42)

Klorida, rerata (SB), mEq/L 104.09 (3.42) 104.45 (2.67)

Albumin, rerata (SB), gr/dL 3.38 (0.38) 1.87 (0.33)

Tabel 4.3 menampilkan hasil pemeriksaan terhadap kadar kalsium, Ion Kalsium, hasil perhitungan dosis kumulatif furosemid, dan pengukuran audiometri untuk telinga kanan dan kiri pada dua kelompok studi.

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Kalsium, Ion Kalsium serum, Dosis Kumulatif Furosemide, dan NA Dengar Telinga Kanan dan Kiri

T Independent, b Mann Whitney, NA=Nilai Ambang

Hasil pemeriksaan terhadap kadar kalsium menunjukkan rerata kalsium pada kelompok SN remisi (rerata 8.48 mEq/L) sedikit lebih tinggi

(11)

34 dibanding SN relaps (rerata 7.5 mEq/L). Ditemukan perbedaan rerata kalsium yang signifikan antara dua kelompok studi (p<0.001).

Meskipun dosis kumulatif furosemid pada kelompok SN relaps lebih tinggi dengan rerata 33 mg/kgBB dibandingkan kelompok SN remisi dengan rerata 17.05 mg/kgBB namun tidak ditemukan perbedaan rerata yang signifikan untuk dua kelompok (p=0.120).

Berdasarkan pemeriksaan audiometri diperoleh NA dengar untuk telinga kanan dan kiri pada kelompok SN relaps lebih tinggi dibandingkan kelompok SN remisi. Analisis statistik menggunakan uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan rerata yang signifikan untuk NA dengar telinga kanan dan kiri antar dua kelompok (p<0.05).

4.2 Hubungan Ion Kalsium Serum dan Dosis Kumulatif Furosemid dengan NA Pendengaran

Tabel 4.4 berikut menyajikan perbedaan NA dengar telinga kanan dan kiri pada subyek dengan SN remisi dan SN relaps.

(12)

35 Tabel 4.4 Perbedaan NA Pendengaran berdasarkan Frekuensi

Audiometri

Nilai Ambang Dengar SN Remisi n=22

SN Relaps

n = 20 P

Telinga Kanan, rerata (SB), dB

500 Hz 22.73 (4.56) 20.75 (2.45) 0.130

1000 Hz 22.27 (4.29) 22.75 (4.13) 0.535 2000 Hz 21.36 (3.16) 25.75 (4.94) 0.003

4000 Hz 20.45 (1.47) 21.75 (3.73) 0.263 Telinga Kiri, rerata (SB), dB

500 Hz 22.27 (4.29) 20 0.025

1000 Hz 23.18 (4.77) 23.75 (4.55) 0.586

2000 Hz 22.5 (4.82) 27.75 (4.13) 0.001

4000 Hz 20.23 (1.07) 21.5 (3.29) 0.117

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada telinga kanan terdapat perbedaan rerata Nilai ambang dengar yang signifikan pada frekuensi 2000 Hz, dimana ambang dengar pada kelompok subyek SN relaps lebih tinggi dibandingkan kelompok remisi (p=0.003). Untuk hasil pemeriksaan telinga kiri, terdapat perbedaan rerata Nilai ambang dengar yang signifikan pada frekuensi 500 Hz (p=0.025) dan 2000 Hz (p=0.001).

(13)

36 Furosemid dengan NA Pendengaran Telinga Kanan pada SN Remisi dan Relaps dosis kumulatif furosemide dengan NA dengar telinga kanan pada subyek SN remisi dan SN relaps yang memiliki NA dengar tidak normal (>20 dB). Dari 42

(14)

37 subyek terdapat 21 orang dengan NA dengar tidak normal, kadar ion kalsium < 1 dan sebanyak 3 orang dan 1 orang memperoleh dosis furosemide tinggi.

Tabel 4.7 berikut menyajikan hubungan antara ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemide dengan NA dengar telinga kiri pada subyek SN remisi dan SN relaps yang memiliki NA dengar tidak normal (>20 dB). Dari 42 subyek terdapat 25 orang dengan NA dengar tidak normal, kadar ion kalsium < 1 sebanyak 3 orang dan 2 orang yang memperoleh dosis furosemide tinggi.

Tabel 4.7 Hubungan Ion Kalsium Serum dan Dosis Kumulatif Furosemide dengan NA Pendengaran Telinga Kiri pada SN Remisi dan Relaps

Tidak ditemukan perbedaan rerata yang signifikan untuk ambang dengar telinga kanan berdasarkan ion kalsium dan dosis kumulatif furosemid (p>0.05). Namun, ditemukan perbedaan rerata ambang dengar pada telinga kiri yang signifikan berdasarkan kadar ion kalsium (p=0.042). Rerata ambang

(15)

38 dengar pada kelompok subyek dengan kadar ion kalsium ≥ 1 adalah 24.27 dB sedangkan pada kelompok subyek dengan ion kalsium < 1 adalah 25 dB.

(16)

39

BAB 5. PEMBAHASAN

Pada anak SN terdapat gangguan elektrolit salah satunya kalsium yang dapat mengakibatkan gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan karena homeostasis ion kalsium dalam telinga bagian dalam, menginduksi gangguan fungsional pada telinga, seperti tinnitus, vertigo, dan sensorineural hearing loss. Selain itu penggunaan diuretik dalam penatalaksanaan SN juga berkaitan dengan timbulnya gangguan pendengaran.5

Suatu penelitian di India pada tahun 2012 menunjukkan dari duapuluh anak dengan frequently relapsing nephrotic syndrome (FRNS)/steroid dependent nephrotic syndrome (SDNS), tiga diantaranya (15%) mengalami tuli sensorineural ringan dan dari duapuluh anak dengan steroid resistant nephrotic syndrome (SRNS), sepuluh diantaranya (50%) mengalami tuli sensorineural.10

Penelitian lain di Polandia mengevaluasi status pendengaran dari duapuluh delapan anak SN dibandingkan dengan duapuluh delapan anak sehat, analisis dilakukan setiap pasien mengalami relaps dan kemudian saat remisi. Namun penulis tidak menyebutkan kategori klinis SN dalam penelitiannya. Dalam studi mereka, anak-anak dengan SN memiliki nilai ambang pendengaran yang lebih buruk dibandingkan dengan subjek anak sehat bahkan setelah kondisi remisi telah tercapai. Para penulis dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa organ pendengaran secara

(17)

40

signifikan lebih buruk pada anak-anak SN dibandingkan dengan anak yang sehat.35

Pada penelitian ini terdapat nilai rata-rata ambang pendengaran lebih tinggi pada kedua telinga, hal ini menunjukkan bahwa gangguan pendengaran disebabkan oleh penyakit sistemik. Dalam kedua kategori pasien SN, Sensorineural hearing loss terutama terjadi pada frekuensi yang lebih tinggi. Penurunan nilai ambang pendengaran selama relaps lebih tinggi dibandingkan dengan remisi.

Dari duapuluh dua anak dengan SN remisi, lima anak (20%) memiliki gangguan pendengaran sensorineural ringan. Nilai ambang batas pendengaran yang lebih buruk didapati pada kelompok SN relaps. Dari duapuluh anak dengan SN relaps, sepuluh anak (50%) memiliki gangguan sensorineural ringan.

Penelitian lain di India pada tahun 2013 mengemukakan bahwa pada pasien dengan gangguan sensorineural, didapati kadar kalsium serum rendah pada kedua kelompok anak dengan SN dibandingkan anak normal, tetapi perbedaannya secara statistik signifikan pada kelompok SN. Semua anak-anak dengan SRNS menerima suplementasi kalsium sesuai pedoman Indian Society of Pediatric Nephrology. Kemungkinan pada penelitian tersebut suplementasi kalsium yang diberikan telah mempengaruhi kadar serum kalsium dalam kelompok SN.10

Tingkat serum kalsium terionisasi dapat dijumpai normal pada anak-anak SN, tapi mungkin menurun karena kehilangan

(18)

41

hydroxyvitamin D3 melalui urine dan penurunan dari kadar calcitriol.27 Sebuah penelitian di Polandia pada tahun 2008 mengemukakan bahwa kadar serum kalsium lebih rendah pada SN relaps daripada SN remisi. Aktifitas ATPase untuk mempertahankan perbedaan biokimia dari cairan telinga bagian dalam tergantung pada kadar kalsium. Sehingga kekurangan kalsium terionisasi akan mempengaruhi transmisi potensial aksi saraf yang dihasilkan oleh koklea dengan menghambat pelepasan neurotransmitter di sinaps saraf.35

Sebuah penelitian di Jepang pada tahun 2010 melaporkan bahwa kekurangan vitamin D dan hipokalsemia dapat mengakibatkan tuli sensorineural. Menggunakan hewan coba, telah diamati penurunan yang signifikan tingkat konsentrasi ion kalsium perilymphatic. Penurunan tingkat kalsium cairan perilymphatic ini dapat menurunkan konsentrasi ion kalsium dalam cairan transduksi dan karenanya akustik endolymphatic terganggu. Hasil ini menunjukkan bahwa hipokalsemia sendiri akan mengubah tingkat ion kalsium dari cairan telinga bagian dalam sehingga menyebabkan gangguan fungsi koklea. Fluktuasi potensial aksi akan berkorelasi dengan tingkat fluktuasi kalsium, hal ini menunjukkan bahwa ion kalsium memainkan peran penting dalam organ koklea dan dalam mengendalikan fungsi reseptif dari permukaan rambut sensorik.36,37

Pada penelitian ini kami dapati kadar kalsium serum lebih rendah pada SN relaps dengan rerata 7,5 (0,56) mEq/L dibandingkan dengan SN

(19)

42

remisi dengan rerata 8,48 (0,43)mEq/L. Sedangkan kadar ion kalsium serum hampir sama pada kedua kelompok.

Dosis kumulatif furosemid yang tinggi adalah faktor risiko untuk Sensorineural hearing loss pada anak-anak dengan SN.26 Diuretik ditemukan memiliki efek ototoksitas signifikan ketika diberikan pada dosis lebih tinggi. Penelitian eksperimental terhadap hewan coba mengungkapkan bahwa furosemide sistemik injeksi dapat mengurangi potensi endocochlear. Penurunan potensi endocochlear ditemukan tergantung pada banyaknya dosis furosemide.38

Studi pada hewan coba lainnya di Amerika dengan menggunakan kucing menunjukkan bahwa laju hantaran saraf pendengaran akan berkurang secara proporsional sesuai dengan jumlah pengurangan endocochlear yang potensial.39 Target untuk furosemide adalah adenilsiklase ditambah kompleks protein G pada vaskularis stria yang mengarah pada penurunan kadar K+ dan peningkatan Na+ di endolimfe. Hal ini menggambarkan bahwa furosemide akan menghambat aktivitas ATPase natrium-kalium dari stria, sehingga mencegah transpor aktif natrium ke dalam kapiler.40 Akumulasi natrium akan menahan air dan menghasilkan ruang air karakteristik dan menyebabkan gradien osmotik yang akhirnya akan menghasilkan peningkatan cairan endolymph. Pada gilirannya hal ini akan mengakibatkan munculnya skenario hydrops-like, dengan dampak pada helicotrema di koklea. Karena daerah apikal bertanggung jawab untuk mendengar pada frekuensi rendah, sehingga

(20)

43

akan menyebabkan gangguan pendengaran pada frekuensi-frekuensi tertentu.39,40

Furosemide juga dapat menyebabkan edema strial, terjadinya degenerasi sel, dan perubahan dalam endo-perilyphmatic di telinga bagian dalam. Pada penelitian ini dosis furosemide yang diberikan pada pasien SN relaps hingga 2mg/KgBB.

Studi hewan coba pada tikus yang membandingkan efek ototoksik furosemide tikus normal dan tikus analbuminemic, menemukan bahwa tikus analbuminemic jauh lebih rentan terhadap otoksisitas furosemide dibandingkan tikus normal. Tingkat ototoksik di koklea tergantung pada kuantitas furosemide yang terikat dalam serum.41

Anak SN terutama pada SN relaps memiliki tingkat albumin serum yang rendah, hal ini bertanggung jawab untuk terjadinya ototoksisitas furosemide. Dalam penelitian ini terdapat hipoalbuminemia pada semua anak SN relaps dengan nilai rerata 1,87 (0,33) gr/dL. Sedangkan pada SN remisi kadar albumin rerata 3,38 (0,38) gr/dL.

Ada beberapa keterbatasan penelitian ini, seperti periode follow-up yang pendek dan studi yang digunakan cross sectional. Namun demikian, hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa proporsi anak dengan SN relaps memiliki ambang batas pendengaran yang lebih tinggi dibandingkan remisi.

(21)

45

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak dengan SN relaps beresiko untuk terjadinya gangguan pendengaran sensorineural. Sehingga dapat dijadikan dasar bagi pencegahan terjadinya gangguan pendengaran pada anak SN. Faktor resiko yang terkait dengan gangguan pendengaran pada pasien kami yaitu kumulatif dosis furosemide yang lebih tinggi dan keadaan hipokalsemia. Karena itu suatu studi kohort diperlukan untuk mengevaluasi lebih hubungan ini.

6.2. Saran

Dari penelitian ini diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat menentukan cut off point dosis furosemide yang dapat menyebabkan sensorineural hearing loss.

(22)

46

RINGKASAN

Terdapat hubungan antara penyakit pada ginjal dengan gangguan pendengaran. Secara mikroskopis, ginjal dan koklea memiliki struktur membran yang sama. Selain struktur yang sama, membran tersebut juga memiliki fungsi yang sama. Secara fisiologis memiliki kesamaan dalam mengatur keseimbangan konsentrasi biokimia pada cairan di telinga dalam. Keadaan abnormalitas elektrolit pada penderita SN serta penggunaan loop diuretik seperti furosemide dalam jangka panjang dengan dosis kumulatif yang tinggi, menyebabkan fungsi tersebut terganggu dan menyebabkan edema pada epitelium dari stria vaskularis sehingga mengganggu produksi cairan endolymph di dalam koklea. Hal ini kemudian dapat menyebabkan gangguan pendengaran.

Pada anak dengan SN terdapat abnormalitas elektrolit. Hal ini berkaitan dengan terjadinya gangguan pendengaran. Karenanya gangguan homeostasis ion kalsium dalam telinga bagian dalam, menginduksi gangguan fungsional pada telinga, seperti kehilangan pendengaran, tinnitus, dan vertigo. Selain itu penggunaan diuretik dalam penatalaksanaan SN juga berkaitan dengan timbulnya gangguan pendengaran.

Dalam penelitian ini, kadar kalsium serum lebih rendah pada SN relaps dengan rerata 7.5 (0.56) mEq/L dibandingkan dengan SN remisi dengan

(23)

47

rerata 8.48 (0.43) mEq/L. Dengan jumlah dosis furosemide yang diberikan pada pasien SN relaps hingga 2 mg/KgBB. Kami dapati bahwa anak-anak dengan SN relaps beresiko untuk terjadinya gangguan pendengaran sensorineural. Sehingga dapat dijadikan dasar bagi pencegahan terjadinya gangguan pendengaran pada anak SN. Faktor resiko yang terkait dengan gangguan pendengaran pada pasien kami yaitu kumulatif dosis furosemide yang lebih tinggi dan keadaan hipokalsemia. Karena itu suatu studi kohort diperlukan untuk mengevaluasi lebih hubungan ini. Namun dari penelitian ini diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat menentukan cut off point dosis furosemide yang dapat menyebabkan sensorineural hearing loss.

(24)

48

SUMMARY

There is a relationship between kidney disease with hearing loss. Microscopically, the kidneys and cochlea have the same membrane structure. In addition to the same structure, the membrane also has the same function. Physiologically have similarities in regulating the balance of biochemical concentrations in the fluid in the inner ear. The state of electrolyte abnormalities in patients with SN and the use of loop diuretics such as long-term furosemide with high cumulative doses, cause the function is impaired and also cause edema in the epithelium of the stria vascularis thus disrupting the production of endolymph fluid in the cochlea. This can then cause hearing loss.

In children with SN there are electrolyte abnormalities. This is related to the occurrence of hearing loss. Hence the disorder of calcium ion homeostasis in the inner ear, inducing functional impairment in the ear, such as hearing loss, tinnitus, and vertigo. In addition, the use of diuretics in the management of SN is also associated with the onset of hearing loss.

In this study, serum calcium levels were lower in SN relaps with mean 7.5 (0.56) mEq/L compared with SN remission with mean of 8.48 (0.43) mEq/L. With the number of furosemide doses administered to SN patients relapsing up to 2 mg/KgBW. We found that children with SN relaps are at risk

(25)

49

for sensorineural hearing loss. So that can be used as a basis for the prevention of hearing impairment in children SN. The risk factors associated with hearing loss in our patients are cumulative higher doses of furosemide and hypocalcemia. Therefore a cohort study is needed to evaluate this relationship more. However, this study requires further research to be able to determine the cut off point furosemide dose that can cause sensorineural hearing loss.

Gambar

Tabel 4.2 Karakteristik Laboratorium
Tabel 4.4 Perbedaan
Tabel 4.6 Hubungan Kalsium Ion Serum dan Dosis Kumulatif

Referensi

Dokumen terkait

Adibide gehiago badira ere, espazio kontuak direla eta batzuk bakarrik ekarriko dira lerrootara: “eskolan bertan bakarrik erabiliko baitgenuke (…) honela, arropa

Jika pada hasil simulasi frekuensi kerja yang dianalisis hanya dibatasi pada range 1-2.7 GHz dengan tujuan untuk membandingkan hasil simulasi dengan hasil pengukuran

Penelitian ini menggunakan jenis cat acrylic dengan pelarut alkohol, memiliki tujuan mengetahui pengaruh kadar alkohol yang digunakan sebagai pelarut cat

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang memenuhi persyaratan dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)

babar sebuah tanda yang terbuat dari daun kelapa muda yang ditancapkan di pematang, sebagai isyarat bahwa rumput di pematang itu tidak boleh dicabut. badung sebangsa pohon

Halaman form login admin adalah halaman untuk seorang admin yang berhak mengedit, menambah, maupun menghapus data pada Sistem informasi Geografis pemetaan penduduk

Biaya tambahan disini yang kami maksud adalah apabila memesan dengan cara manual atau lewat Blocker yang pastinya akan menaikan harga resmi dari PT menjadi lebih tinggi. Kami

Selain itu beberapa trait kepribadian ditemukan memiliki hubungan dengan perilaku berbahaya saat dijalan raya, seperti trait neuroticism dan agreeableness dengan