• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Masyarakat Miskin a la Gram

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemberdayaan Masyarakat Miskin a la Gram"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Pemberdayaan Masyarakat Miskin a la Grameen:

Perspektif Ekonomi Islam

1

Aam Slamet Rusydiana2

ABSTRAKSI

Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Kecil dan Mikro (UKM) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan bank maupun lembaga mikro. Lembaga keuangan mikro yang saat ini sedang fenomenal adalah Grameen Bank (GB) yang diprakarsa Muhammad Yunus di Bangladesh. Setelah Yunus mendapat Nobel Perdamaian dari PBB, Grameen kemudian mendunia.

Tulisan ini mencoba untuk menelisik lebih jauh tentang Model Pemberdayaan Masyarakat Grameen, dampak positif-negatif hingga pandangan Ekonomi Islam tentangnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa sisi positif GB nampak jelas terlihat, meski beberapa hal tidak sejalan dengan prinsip ekonomi Islam: bunga yang relatif tinggi dan womensentris.

JEL Classification: G23, G28, I32

Keywords: Pemberdayaan Masyarakat, UKM, Grameen, Ekonomi Islam

1

Tulisan ini telah dimuat pada Jurnal Akuntansi FE Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Volume 6, Nomor 1, Januari-Juni 2011.

2

(2)

I. PENDAHULUAN

Konsep ―pemberdayaan‖ (empowerment) telah mengubah konsep pembangunan dan sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan.

Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma atau serangkaian

perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran

pelaksanaannya.

Pemberdayaan menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan

pembangunan selama ini. Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa

perang dunia kedua, ternyata pembangunan membuat orang semakin miskin atau jumlah

orang miskin semakin banyak, gagasan modernisasi pun rontok karena tidak mampu

meneteskan hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin, pun

semakin diakui bahwa pemerintah ternyata tidak mampu mengentaskan kemiskinan dan

konyolnya pembangunan juga merusak lingkungan hidup.

Pemberdayaan amat dekat dengan konsep kemiskinan. Kemiskinan biasanya

dikenali dari ketidakmampuan sebuah keluarga memenuhi kebutuhan dasar dan

berbagai kaitan yang mencitrakan orang tersebut menjadi miskin. Di sebagian negara

sedang berkembang, kemiskinan merupakan salah satu masalah utama dalam

pembangunan ekonomi selain masalah pendapatan per kapita dan angka pengangguran.

Di Indonesia misalnya, pengalaman krisis ekonomi yang melanda pada medio 1997

menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin dari 22,5 juta jiwa menjadi 49,5

juta pada 1998. Namun seiring dengan membaiknya perekonomian, pada Agustus 1999

turun lagi menjadi 37,5 juta jiwa (18,2% dari jumlah penduduk) dengan proporsi 12,4

juta jiwa berada di daerah perkotaan dan 25,1 juta ada di pedesaan. Dampak yang

dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah bertambahnya jumlah rumah tangga miskin

di pedesaan maupun perkotaan, rusaknya struktur sosial karena kehilangan pekerjaan

dan kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pendidikan dan

(3)

Gambar 1.1 Angka Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia

Beberapa konsep kemiskinan adalah (1) garis kemiskinan yang dikaitkan dengan

kebutuhan konsumsi mininum sebuah keluarga atau sering disebut sebagai kemiskinan

primer—indikasinya adalah 2 per 3 pendapatan habis untuk makan, (2) kemiskinan

absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut menjadi fenomena negara-negara

dunia ketiga yang ditandai oleh keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Sedangkan kemiskinan relatif adalah keluarga berada di atas garis kemiskinan tetapi

rentan terjerembab ke kubangan garis kemiskinan. (3) kemiskinan massal atau kantong

kemiskinan adalah kemiskinan yang melanda satu negara atau wilayah dan hal ini

membuatnya menjadi kompleks dalam proses mengatasinya.

Konsep yang amat dekat dengan konsep kemiskinan adalah impoverishment (hal-hal menyebabkan seseorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses

impoverisment adalah sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang secara sistematik direproduksi dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti

kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumber daya rakyat, inflasi, pengangguran dan

politik utang luar negeri. Proses inilah yang dikenal sebagai proses pelemahan

(disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan kebudayaan khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan terpinggirkan.

(4)

melakukan sesuatu‖, ―menyediakan seseorang dengan sumberdaya, otoritas dan peluang untuk melakukan sesuatu‖ atau ―membuat sesuatu menjadi mungkin dan layak‖. Pada kamus yang lain pengertian menjadi ―memberikan seseorang rasa percaya diri atau kebanggaan diri‖. Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan

kapasitas masyarakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang

teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan.

Paper ini bertujuan mengamati model-model pemberdayaan masyarakat miskin

di Indonesia berikut karakteristik khusus dan keunikan yang dimilikinya, terutama

model pemberdayaan ala Grameen Bangladesh yang direplikasi di Indonesia, dan

bagaimana Islam memandangnya. Tulisan ini adalah penelitian studi pustaka dan studi

lapangan. Studi pustaka dengan menggunakan data-data sekunder yang telah

dipublikasi, terdiri dari: buku referensi, artikel, paper dan karya ilmiah lain, dan studi

lapangan dengan langsung menggali informasi tentang model pemberdayaan

masyarakat miskin utamanya model Grameen.

II. TEORI

II.1. Sejarah Pemberdayaan

Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment, sedang memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu: (1) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan.

Beberapa literatur menyebutkan, bahwa konsep pemberdayaan sudah lahir sejak

revolusi industri atau ada juga yang menyebut sejak lahirnya Eropa modern pada abad

18 atau zaman renaissance, yaitu saat orang mulai mempertanyakan diterminisme keagamaan. Jika pemberdayaan dipahami sebagai upaya untuk melawan diterminisme

gereja, maka pendapat bahwa gerakan pemberdayaan muncul di abad pertengahan

barangkali benar.

Konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang

(5)

ketika industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat

yang pekerja yang dikuasai. Di negara-negara sedang berkembang, wacana

pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial,

kesenjangan ekonomi, degradasi sumberdaya alam, dan alienasi masyarakat dari

faktor-faktor produksi oleh penguasa. Karena kekurangtepatan pemahaman mengenai

pemberdayaan, maka dalam wacana praktik pembangunan, pemberdayaan dipahami

secara beragam. Yang paling umum adalah pemberdayaan disepadankan dengan

partisipasi. Padahal keduanya mengandung pengertian dan spirit yang tidak sama.

II.2. Konsep Pemberdayaan

Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan

model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun

dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun

dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi

akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang pengusaha pinggiran; (3)

kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik,

sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi; dan (4)

kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara

sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan

masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang

berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan

dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang

dikuasai (empowerment of the powerless).

Pengalaman empirik dan pengalaman historis dari format sosial ekonomi yang

dikotomis ini telah melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan.

Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah menterasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan

eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan,

maka kekuasaan harus dihapuskan. Pandangan kedua, pemberdayaan adalah

pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini

(6)

dan cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang

dikuasai. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar semua

orang dapat mengaktualisasikan diri. Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah

penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah

pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah

antitesis dari pandangan power to nobody dan pandangan power to everybody. Menurut

pandangan ini, Power to nobody adalah kemustahilan dan power to everybody adalah chaos dan anarki. Oleh sebab itu menurut pandangan ketiga, yang paling realistis adalah power to powerless.

Pemberdayaan dapat di ukur dengan menggunakan lima parameter (womens

empowerment dari Sarah Longwe, yakni: (a) Kuasa/kekuasaan, (b) Partisipasi, (c) Kesadaran kritis, (d) Akses atas sumber daya, dan (e) Kesejahteraan. Pemberdayaan ini

pada gilirannya adalah upaya untuk nmengubah atau meningkatakan kondisi yang

berkaitan dengan semua unsur tersebut, yang saling menunjang dan bergerak

menyerupai spiral (Hafidz dan Budiharga, 2004).

Sumber: Hafidz dan Budiharga (2004)

Gambar 2.1 Spiral Pemberdayaan Masyarakat

Dari berbagai pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka dapat

disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan pemilikan

faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan

masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat

untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan

Pemberdayaan Keadilan Gender

Kuasa

Partisipasi

Kesadaran

Akses

Kesejahteraan

TIDAK ADA

 Subordinasi

 Stereotipe

TIDAK ADA

 Marjinalisasi

 Beban Ganda

(7)

secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek kebijakannya.

Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal spesifik dan

problem spesifik, maka konsep dan operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat

tidak dapat diformulasikan secara generik.

Menurut Hafidz dan Budiharga (2004), pendampingan rakyat tidak hanya

sekedar upaya peningkatan akses terhadap sumber daya dan meningkatkan

kesejahteraan. Lebih dari itu, pendampingan rakyat adalah suatu proses yang

mengupayakan agar kedua hal itu bisa didapat dan terus berlangsung. Proses

pendampingan rakyat, sebagaimana dipahami, mengharuskan anggota kelompok yang

didampingi untuk terlibat sebagai partisipan dalam proses. Mereka tidak bisa hanya

menjadi penerima pasif dari kegiatan pendampingan atau proyek, tetapi harus dapat

meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk memahami dan memecahkan

permasalahan mereka.

Tabel 2.1 Kerangka Pemberdayaan Masyarakat

Tingkat Pemberdayaan

Uraian Langkah Pemberdayaan Permasalahan

(8)

III. MODEL PEMBERDAYAAN ALA GRAMEEN

III.1. Pemberdayaan Masyarakat Model Grameen Bank

Konsep Grameen, berasal dan berkembang dari negeri Bangladesh. Bangladesh

dengan penduduk 132 juta orang adalah negara berpenduduk terbesar nomor 8 di dunia.

Negara yang baru 33 tahun merdeka ini (dari Pakistan 1971) dilaporkan berpendapatan

perkapita US$380 dengan penduduk miskin sekitar 50% dari jumlah penduduk

keseluruhan.

Bangladesh adalah ―simbol kemiskinan Asia‖ sehingga ―pakar kemiskinan‖ seluruh dunia merasa ―belum pakar‖ jika belum datang atau mempelajari masalah kemiskinan negara ini. Dari berbagai masalah tentang kemiskinan di Bangladesh,

microcredit atau microfinance adalah salah satu yang paling menonjol. Bangladesh dianggap sebagai negara tempat kelahiran ―ilmu kredit mikro‖ (microcredit science) berbentuk Bank Perdesaan, atau dalam bahasa Bengali Grameen Bank, yang dirintis oleh Profesor Muhammad Yunus. Grameen Bank (GB) kini menjadi simbol keberhasilan atau kunci sukses program penanggulangan kemiskinan yang selanjutnya

direplikasi di berbagai negara termasuk Indonesia.

Sekitar 10 kelompok perempuan miskin, masing-masing beranggota 5 orang, ketika kita mendekati tempat pertemuan mereka, mengucapkan sumpah/janji berupa ―16 keputusan‖ (sixteen decisions) antara lain melaksanakan KB, mendidik anak, hanya minum air putih yang dimasak atau air sumur yang sehat, dan menahan diri dari membayar atau memakai ―mahar‖ dalam perkawinan anak-anaknya. Semua sumpah/janji ini dapat diringkas dalam 4 asas hidup Grameen Bank: disiplin, bersatu,

berani, dan bekerja keras.

GB yang mulai beroperasi tahun 1976, 5 tahun setelah kemerdekaan

Bangladesh, menjadi bukti keprihatinan seorang Guru besar ekonomi Prof. M. Yunus,

untuk membantu mengatasi kelaparan (fa mine) yang luar biasa yang menelan jutaan

korban meninggal di Bangladesh pada tahun 1974. Meskipun kemiskinan penduduk Bangladesh sesudah ―pembebasan dari penjajahan‖ Pakistan mengerikan, namun kelaparan besar-besaran (famine) yang terjadi tahun 1974 itulah yang secara kejiwaan

(9)

Unversitas di Amerika (Vanderbilt) sangat kecewa tidak dapat menggunakan ilmu

ekonominya untuk ikut memikirkan cara-cara mengatasinya.

III.2. Grameen adalah Yunus

Grameen di bawah Yunus banyak melakukan ‗gebrakan‘. Gebrakan Yunus yang

paling berani adalah kepercayaannya yang luar biasa pada kaum miskin. Ketika

mengawali program kredit mikro di desa Jobra, Yunus mendebat seorang manajer bank

yang bersikeras bahwa bank tidak mungkin memberi pinjaman tanpa jaminan pada

kaum miskin karena risiko macetnya sangat besar. Yunus membantah: ―Mereka sangat

punya alasan untuk membayar Anda kembali, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi

dan melanjutkan hidup esok harinya. Itulah jaminan terbaik yang bisa Anda dapatkan: nyawa mereka‖. Kepercayaan pada kaum miskin inilah sebenarnya inti filosofi Grameen Bank.

Gebrakan lainnya adalah keputusannya memfokuskan kucuran pinjaman

Grameen kepada perempuan. Perempuan miskin di Bangladesh memiliki kedudukan

sosial yang paling rawan. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan,

hukum yang tak tertulis mengatakan ibulah yang pertama akan mengalaminya. Namun

bagi Yunus, perempuan miskin terbukti lebih cepat menyesuaikan diri dan jauh lebih

baik dalam proses membangun kemandirian daripada laki-laki. Perempuan miskin

memandang jauh ke depan dan bekerja keras untuk membebaskan diri dan keluarganya

dari kemiskinan. Prioritas seorang perempuan saat memperoleh pendapatan adalah

menyiapkan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya dan keadaan rumah

tangganya. Laki-laki memiliki prioritas yang sangat berbeda, yang lebih terpusat pada

dirinya sendiri. Meningkatkan kesejahteraan perempuan miskin bagi Yunus berarti

menyelamatkan generasi.

Yunus adalah seorang profesor ekonomi yang mengaku muak dengan teori-teori

yang diajarkannya sendiri. Walau demikian, ada satu rigiditas ilmiah yang tetap

dipegangnya seperti ditegaskan Prof. Robert Lawang, yakni soal metodologi. Pertama,

Yunus mengidentifikasi akar permasalahan kemiskinan dengan benar. Setelah dengan

seksama mempelajari kemiskinan di desa Jobra dekat kampusnya, Yunus akhirnya

paham bahwa dampak terparah kemiskinan dipikul oleh kaum perempuan. Untuk itulah

(10)

Kedua, mencoba memahami masalah dari sudut pandang pihak yang mengalami masalah. Jika kita memakai sudut pandang ahli-ahli pembangunan dari Barat, mungkin

kita berpendapat bahwa orang menjadi miskin karena tidak terampil, tapi Yunus

mendapati bahwa orang miskin tidak butuh pelatihan keterampilan. Mereka butuh dana

mendesak dan fleksibel.

Ketiga, penyelesaian yang digagas Yunus tidak serta merta berskala besar dan muluk-muluk. Gagasan kredit mikronya diujicoba lebih dulu dalam skala kecil di desa

Jobra. Berhasil di Jobra tidak lantas membuatnya menggeneralisir bahwa idenya manjur

dalam setiap konteks. Ia coba lagi di Tangail yang masih tingkat desa tapi konteksnya

berbeda. Setelah itu ia menyebarkannya di skala nasional, lalu ke negara-negara yang

perekonomiannya mirip Bangladesh, kemudian ke negara kaya yang kondisi

masyarakatnya jauh berbeda.

Keempat, penyelesaian masalahnya bersifat struktural. Penting digarisbawahi bahwa Yunus bukan ―bagi-bagi uang‖. Yunus mencangkokkan gagasan Grameen ke cabang-cabang bank di seantero Bangladesh sambil melakukan lobi politik untuk

meloloskan UU Grameen Bank, yang memungkinkan adanya bank dengan struktur

kepemilikan dan cara beroperasi yang sangat berbeda dengan bank konvensional di

Bangladesh, bahkan di dunia. Dengan UU inilah para nasabahnya yang tak beralas kaki

bahkan buta huruf itu bisa menjadi pemegang saham dan komisaris Grameen Bank

(dengan kepemilikan saham 93 persen). Inilah yang membedakan program pengurangan

kemiskinan sejati dengan reality show televisi.

III.3. Analisis Reflektif atas Grameen

Berikut ini adalah beberapa sorotan dari isu-isu yang cukup menarik diketahui

tentang konsep pemberdayaan Grameen Bank, analisis reflektif filosofis tentang ilmu

pengetahuan, tentang masyarakat dan pemerintah, hubungan antarkelas sosial yang

tidak kenal ampun, tentang agama dan dehumanisasi dan juga tentang kemiskinan dan

Hak Asasi Manusia (Lawang dalam Yunus, 2007).

(11)

sebuah konsep pembangunan atau konsep mengatasi kemiskinan yang dia sebut dengan istilah ―kewirausahaan sosial‖ (social entrepreneurship), yang berhasil membawa perubahan multidimensional pada masyarakat miskin khususnya kaum perempuan.

Kisah orang besar kembali berulang di sini: apa yang oleh kaum kapitalis dianggap

sebagai sebuah kebodohan dan kemalasan, atau oleh birokrat sebagai sebuah

ketidakmungkinan, atau oleh kaum religius sebagai kutukan, oleh Yunus malah

dijadikan sebuah laboratorium hidup di mana kekuatan dahsyat orang miskin

(perempuan) menampakkan dirinya sebagai alternatif yang pantas diperhitungkan.

Dengan intervensi belasan sen dolar Amerika saja dia mampu menyaingi intervensi

lembaga donor internasional dalam jumlah miliaran dolar.

Kedua, Yunus berhasil membongkar kepalsuan-kepalsuan yang bersembunyi di balik institusi-institusi seperti: pendidikan, pemerintahan, negara, perbankan, agama, kebudayaan yang selama ini ikut ‗membiarkan‘ kemiskinan itu tidak teratasi. Kepalsuan itu sesungguhnya ada di dalam dirinya sendiri juga, saat sadar bahwa dirinya bukan

apa-apa dari segi ilmu yang digelutinya selama ini, dari segi kedudukannya sebagai dekan

Fakultas Ekonomi Chittagong University. Kepalsuan ini dia bongkar dengan membawa

realitas kemiskinan perempuan menjadi bagian dari satuan acara perkuliahan (SAP) di

luar kelas, membuat warga kampus seluruhnya sebagai ‗mahasiswa‘ yang harus belajar

dari orang miskin sebagai dosen-dosennya, dan mengubah konsep kampus yang terikat

pada bangunan-bangunan gedung yang menjauhkan diri dari pokok permasalahan riil

menjadi interaksi-interaksi sosial yang langsung bergelut dengan pokok permasalahan.

Ketiga, Yunus juga membongkar kepalsuan kapitalisme yang jelas-jelas diskriminatif terhadap orang miskin (khususnya kaum perempuan) seperti yang terlihat

dari praktik perbankan, mulai dari bank lokal sampai bank-bank internasional. ―Apartheid finansial‖ adalah konsep yang cocok menggambarkan diskriminasi institusional yang dilakukan oleh sistem perbankan di mana-mana. Rasionalisme

berasaskan logika kapitalisme menjadi bagian dalam melaksanakan dan mempertahankan ‗politik apartheid‘ ini. Rasionalisme mungkin mencerahkan, tetapi logika belum tentu. Silogisme kapitalisme perbankan mempunyai premis-premis yang

sangat ketat: (1) Bank harus untung dari usaha deposito dan kredit, tanpa membedakan

apakah uang itu didepositokan dan dipinjam oleh orang kaya atau orang miskin, yang

(12)

maka kredit yang dikucurkan adalah kredit dalam jumlah besar yang menguntungkan

bank, yang hanya dapat dilakukan oleh orang kaya saja. (3) Oleh karenanya, adalah

tidak rasional dan tidak juga ekonomis jika bank meminjamkan uangnya dalam jumlah

kecil.

Keempat, sumbangan Yunus yang paling besar artinya bagi pengembangan ilmu pengetahuan adalah metodologi. Dia menilai bahwa dengan pendekatan makro yang disebutnya dengan istilah ―mata burung‖ (seringkali juga orang menyebutnya dengan istilah pandangan halikopter: halicopter view) hanya mampu memberikan gambaran yang sangat umum dan tidak rinci tentang kemiskinan. Pengalaman membuktikan

bahwa pendekatan ini tidak mampu mengurangi angka kemiskinan di negara-negara sedang berkembang. Sebaliknya, Yunus memakai ―mata cacing‖ yang melihat tanah dari jarak yang amat dekat, hampir-hampir menyatu dengan tanah yang dijelajahinya

secara pelan-pelan.

Kelima, konsep pembangunan atau lebih tepatnya program pengentasan kemiskinan itu harus didefinisi ulang. Pembangunan dalam konteks Grameen Bank

adalah sebuah proses perubahan sosial-politik-ekonomi yang kompleks, di mana bagian

yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Dengan pengalaman selama puluhan

tahun, Yunus dapat membuktikan pula bahwa civil society (dan khususnya perempuan

miskin) merupakan kekuatan yang dapat melaksanakan program besar yang tidak dapat

dilakukan oleh pemerintah.

III.4. Objektivisme Islam atas Grameen

Islam adalah agama fair dan objektif. Jika suatu hal baik, ia akan katakan hal itu

baik, dan sebaliknya. Model Grameen –meski terdapat hal-hal yang a-syariat, tak bisa

dipungkiri ia juga memiliki karakter positif. Berikut ini adalah beberapa poin yang

penulis anggap signifikan sebagai dalil pernyataan di atas.

#1 Pro Poor System

Kunci pertama yang GB miliki adalah selalunya ia bergerak dan bermain dengan

rakyat lemah. Mungkin bisa kita katakan: Dari miskin, oleh miskin, untuk miskin.

Strategi ini akan sangat efektif dan ampuh diterapkan khususnya di negara yang struktur

masyarakatnya dominan dengan kemiskinan (mayoritas NSB, Negara Sedang

(13)

memakainya. Karena negara sekaliber Amerika Serikat, struktur orang miskinnya tetap

ada, bahkan tidak bisa dibilang sedikit.

#2 Right time-Right place-Right man

Ada poin penting yang perlu diperhatikan. GB tidak serta merta ketiban pulung

sukses melainkan ada pula faktor yang tak bisa dikesampingkan: Right time-right

place-right man. Right time karena pada waktu itu Bangladesh berada pada titik nadir akibat bencana famine yang ganas. Bahkan kala itu baru saja merdeka. Akan lain cerita jika

GB tumbuh pada saat-saat masa penjajahan atau saat kondisi ekonomi sosial masyarakat

telah establish. Right place karena di Bangladesh itulah segala bentuk kemiskinan ada.

Dalam bahasa lain, andai Grameen Bank diterapkan di Indonesia atau Malaysia, belum

terjamin perkembangannya akan sepesat dan sefenomenal seperti saat ini, karena

struktur dan jumlah masyarakat miskin yang berbeda. Right man karena sang pendiri

dan penggagas GB adalah seorang doktor ekonomi yang memang paham betul

teori-teori ekonomi dan kemiskinan.

#3 Konsep yang Sederhana

Rahasia lain mengapa GB mampu menjadi solusi kemiskinan adalah konsepnya

yang sangat sederhana. Simpel dan mudah dipahami bahkan oleh orang yang tidak

mengecap pendidikan sekalipun. Bukan berdasarkan teori ekonomi njlimet yang membuat orang mengernyitkan dahi. Coba saja simak ‗sixteen decisions‘ berikut ini.

Sixteen decisions adalah enam belas norma-norma organisasi atau semacam janji setia

anggota yang harus dipegang erat-erat untuk dilaksanakan secara rutin dan gradual oleh

para anggota GB. Isinya antara lain: We shall bring prosperity to our families. We shall

not live in dilapidated house. We shall grow vegetables all the year round. We shall plan to keep our families small. We shall educate our children and ensure that they can earn enough to pay for their education. We shall not inflict any injustice on anyone; neither shall we allow anyone to do so. We shall always be ready to help each other. If anyone is in difficulty, we shall all help. We shall take part in all social activities collectively, dan lain-lain. (dari artikel Tantangan Ilmu Ekonomi dalam Menanggulangi Kemiskinan, Mubyarto, 2004)

#4 Prinsip GB = Prinsip Islam

Jika secara cermat kita amati dan analisis, ke-16 janji setia (sixteen decisions)

(14)

kegigihan berusaha, kemandirian, kerja keras, kepedulian terhadap pendidikan,

kesehatan, dan kebersihan lingkungan, dorongan untuk berbuat adil dan membantu

sesama, disiplin, kegotongroyongan, hingga dorongan untuk berwirausaha. Nilai-nilai

tersebut sejatinya adalah nilai-nilai islam yang sesungguhnya. Atau dalam makna lain,

nilai dan norma yang Grameen Bank miliki adalah sama dan sebangun dengan

nilai-nilai yang agama Islam promosikan. Hal ini menjadi wajar dan amat bisa dipahami

karena Muhamad Yunus yang notabene aktor tunggal GB adalah seorang intelek yang

beridentitas muslim.

#5 Mendobrak Mapan

Selain faktor-faktor di atas, ada hal lain yang tidak kalah penting dan strategis

yang menjadi determinan kunci keberhasilan GB: bahwa M. Yunus dengan GB-nya

telah berhasil mendobrak pandangan umum yang berlaku, atau dalam bahasa yang lebih

ekstrem, mendobrak mapan. Yunus berhasil menjungkir balik tesis yang menyebutkan

bahwa orang miskin itu adalah golongan masyarakat yang akan sukar melunasi

pinjaman jika mereka diberikan kredit. Secara telak, melalui konsep pemberdayaan

ekonomi masyarakat via Grameen ini, tesis tersebut tak lagi laku dijual. Fakta mencatat

NPL atau kredit macet GB tidak melebihi angka 3 %. Sebuah pembuktian baru yang

sukar terbantahkan. Selain itu, pandangan umum yang mengatakan bahwa si miskin

tidak akan bisa memperjuangkan nasibnya sendiri sehingga harus melulu

dibelaskasihani orang kaya yang baik hati, juga tidak menemukan kesesuaiannya.

Grameen memberi jawaban yang mencengangkan: orang miskin juga bisa

mengeluarkan dirinya sendiri dari kubangan kemiskinan.

III.5. Kritik Syariah untuk Model Grameen

Meski secara prinsip yang tertuang dalam ‗sixteen decisions‘ relatif ideal dan tak ada celah noda, ada beberapa kritik yang bisa dialamatkan kepada GB. Pertama, GB masih mengakui eksistensi bunga. Hal ini menjadi noda terbesar dan paling nampak

jelas terlihat. Bahkan angkanya pun tidaklah bisa disebut kecil, yakni hingga 30%. Dua,

jika secara teliti kita amati, GB bersifat womensentris artinya ia berorientasi hanya

kepada golongan ibu rumah tangga yang notabene lebih cocok dengan naluriahnya

sebagai pengurus dan pengayom keluarga. Bukan sebagai pencari nafkah dengan

(15)

Ketiga dan tidak kalah penting, GB masih merupakan subordinat dari satu komando bank besar di Bangladesh. Lain halnya dengan kasus BMT di Indonesia yang

merupakan kelembagaan masyarakat lokal.

Jika kita melakukan komparasi dengan kasus di Indonesia, maka ada hal

menarik yang bisa diperbandingkan. Mengapa perjuangan ekonomi syariah Indonesia

yang dimulai sejak tahun 1992 belum menunjukkan hasil yang memuaskan, padahal

hingga saat ini telah terhitung 15 tahun lamanya, sementara GB dengan hanya waktu 10

tahun saja (1976-1980an) telah mampu mencapai prestasi yang tidak sederhana:

membebaskan jerat kemiskinan penduduk Bangladesh? Padahal yang pertama telah

dengan benar menggunakan konsep bagi hasil, sedang yang kedua masih bergelimang

bunga? Yang pertama masih belum berhasil menurunkan struktur masyarakat miskin

yang hingga saat ini terhitung sekitar 40 juta jiwa (18%), sedang yang kedua telah

sukses mengentas miskin dengan jumlah yang hampir sama? Nampaknya ada yang

salah dengan perjuangan ekonomi syariah kita.

IV. KESIMPULAN

Setelah dicermati secara seksama, maka dari kajian ini dapat ditarik beberapa

kesimpulan pokok yang penting, yakni:

 Bahwa pemberdayaan adalah suatu hal utama yang pokok dan mesti dilakukan oleh siapapun, tak terkecuali. Pemberdayaan sangat lekat dengan ‗term‘ kemiskinan dan oleh karenanya kita perlu berupaya memberdayakan masyarakat agar terjauh dari bala ‗miskin‘.

 Grameen yang fenomenal itu, sedikit-banyak pada beberapa hal memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip yang Islam promosikan: kegigihan berusaha, kemandirian,

kerja keras, kepedulian terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebersihan lingkungan,

dorongan untuk berbuat adil dan membantu sesama, disiplin, kegotongroyongan,

dan dorongan wirausaha.

 Meskipun demikian, ada beberapa hal yang Islam garis bawahi untuk dikritisi, seperti masalah bunga yang masih relatif tinggi, womensentris dan kekurangidealan

(16)

 Sebagai saran untuk penelitian selanjutnya, nampaknya perlu dilakukan telaahan yang lebih mendalam terkait dampak riil institusi Grameen bukan hanya an sich ekonomi, namun juga sosial, ideologi hingga hankam.

Daftar Pustaka

Asmorowati, Sulikah, 2005, ―Dampak Pemberian Kredit Mikro untuk Perempuan: Analisis Pengadopsian Model Grameen Bank di Indonesia‖.

Aziz, M. Amin, 2006, ―Model Pemberdayaan Fakir Miskin‖, Surat Kabar Republika, 6 Desember 2006.

Azizy, A Qodri, 2008, ―Pemberdayaan Berbasis Agama‖, Makalah.

Bahan Kuliah PPS SP ITB, ―Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat‖, Bandung.

Hafidz, Wardah dan Budiharga, Wiladi, 2004, ―Model Pemberdayaan Rakyat Berkeadilan Gender‖, Makalah.

Hutomo, Mardi Yatmo, 2000, ―Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan Implementasi‖, Naskah Juni-Juli 2000.

Kuncoro, Mudrajad, 2008, ―Grameen Bank dan Lembaga Keuangan Mikro‖, Surat

Kabar Kedaulatan Rakyat Sabtu, 2 Agustus 2008.

Mubyarto, 2004, ―Tantangan Ilmu Ekonomi dalam Menanggulangi Kemiskinan‖, Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM.

Noval, Dean, 2001, ―Inkubator Bisnis sebagai Salah Satu Sarana Pewujud Misi Perguruan Tinggi‖, Makalah pada Seminar Kewirausahaan Mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta.

Rizal, Sofyan, 2007, ―Ekonomi Islam, Ekonomi Kerakyatan dan Peran Pemerintah‖, Makalah.

Syahyuti, 2005, ―Penerapan Pendekatan Pembangunan Berbasis Komunitas: Studi Kasus pada Rancangan Program Primatani‖, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Gambar

Gambar 1.1 Angka Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia
Gambar 2.1 Spiral Pemberdayaan Masyarakat
Tabel 2.1 Kerangka Pemberdayaan Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

3.7 Membedakan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan beberapa teks khusus dalam bentuk iklan dengan memberi dan meminta informasi terkait kegiatan (event), sesuai

Di antara jenis pupuk kandang, pupuk kandang sapilah yang mempunyai kadar serat yang tinggi seperti selulosa, pupuk kandang sapi dapat memberikan beberapa manfaat yaitu

Data dirwbil dmi dua propinsi yaitu Jawa Barat clan Nusa Ten- Barat Di Jawa Barat terpllih IWupaten Cianjur se&m&m di Nusa Tenggara Barat terpilih Kabqmten

Okul Öncesi Eğitim Programı 2013’de yer alan kazanım ve göstergelerin gelişim alanlarına göre değerler açısından incelenmesi amacıyla yapılan araştırmada en

a. Tata ruang terpisah , ruang yang memisahan unit kerja satu dengan yang lain biasanya disebut juga tata ruang tertutup. Terdapat penyekat untuk memisahkan anatar ruang. Tata

Bagian yang diterima oleh petani (farmer’s share) pada setiap tingkat saluran pemasaran bawang merah di Desa Tonsewer diperoleh bahwa farmer’s share yang dihasilkan

Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS) adalah perjanjian antara perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan peternak sebagai tertanggung dimana dengan menerima premi

Berkaitan dengan penelitian ini akan diduga parameter pada model intervensi serta meramalkan data deret waktu dengan mempertimbangkan faktor intervensi terhadap data