• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA INTEGRASI DIKOTOMI SISTEM PENDIDIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UPAYA INTEGRASI DIKOTOMI SISTEM PENDIDIK"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA INTEGRASI DIKOTOMI

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

(Telaah Terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan

dalam Transformasi IAIN Menuju UIN)

Umi Hanifah *

Abstract: his writing aims to examine the dichotomy phenomenon of Islamic education system and perceptions in inding solution in re-constructing Islamic education system to be integral and holistic. And ind new paradigm of Islamic education system which has guarantee for better future and relevant with its character of islam. his study conducted by reviewing intensively the essence of Islamic education and the result of research relating with islamization of knowledge and its operational form in facing the problem of the dichotomy of Islamic education system. From the investigation formulated that concept like paradigm of islamization of social knowledge has left over many com-plicated problem that can inhibit social knowledge establishment. One of the problems is the quantity of teachers, especially in State Islamic Institute (IAIN) who have enough knowledge about Islam. But their knowledge of the discipline of applied science is totally less. Because of that, islamization of knowledge through the transformation from State Islamic institute (IAIN) to State Islamic University (UIN) con-sidered as the efort to integrate the variety of knowledge and elimi-nate the dichotomy between general science and religious science also to implement Islamic doctrine professionally in social life.

Keywords: Dichotomy, Islamic Education System, Islamization of know ledge, Transformation from IAIN to UIN.

(2)

Pendahuluan

Ide tentang integrasi keilmuan Islam di kalangan para pemikir pen-didikan Islam di Indonesia selama ini dipandang masih berserakan dan belum dirumuskan dalam suatu tipologi pemikiran yang khas, terstruk-tur, dan sistematis. Itulah sebabnya berbagai gagasan integrasi keilmuan, termasuk juga kristalisasinya dalam bentuk transformasi IAIN/STAIN menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tipologi atau pe-mikiran tentang integrasi keilmuan Islam, baik di Indonesia.

Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya dualisme atau dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain. Dua sistem pendidikan tersebut sangat dikotomik. Dikatakan demikian, karena kedua-duanya mempunyai alur yang sangat berjauhan. Sistem yang pertama disebut sistem pendidikan yang tradisional. Sistem ini cenderung melahirkan go-longan Muslim tradisional. Sedangkan sistem yang kedua disebut sistem pendidikan sekuler, yakni sistem pendidikan yang cenderung melahir-kan golongan Muslim modern yang kebarat-baratan.1 Padahal

hakekat-nya, dalam ajaran agama Islam tidak mengenal dan mengakui adanya dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama.2 Tentu saja

apabila iklim seperti ini dibiarkan, tidak akan mampu mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami.

Jika kelemahan dalam bidang pendidikan tersebut dibiarkan terus-menerus, maka umat Islam akan senantiasa terbelakang dan menjadi bangsa kedua. Masyarakat Muslim hanya menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan peradaban Barat.3 Padahal

sebagaima-na tercatat dalam sejarah bahwa, umat Islam persebagaima-nah menciptakan bu-daya gemilang dan bahkan mecapai supremasi kejayaannya yang sering diistilahkan dengan the golden age of science in Islam antara tahun 650 M-1250 M.4 Kemajuan teknologi yang dicapai oleh orang-orang Barat

sesungguhnya digali dari pengetahuan yang dibangun oleh orang-orang Islam ketika umat Islam konsern dengan ajaran Islam yang tidak memi-sahkan antara sains agama dan sains rasional.5 Bila kita menengok

(3)

ilmu pengetahuan modern. Pernyataan tersebut dapat dibenarkan ka-rena Islam mempunyai kitab ilmiah, di dalamnya termuat fenomena-fe-nomena kemanusiaan dan kealaman yang terjadi di alam raya.6

Sedangkan dikotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam diko-tomi institusi pendidikan -antara pendidikan umum dan pendidikan agama- telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pen-didikan modern7. Dikotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas

terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.

Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan untuk melatih anak didiknya dengan sedemikian rupa, sehingga dalam sikap hidup, tin dakan dan pendekatannya terhadap segala jenis pengetahuan banyak dipengaruhi nilai-nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etik Islam.8

Mentalnya dilatih sehingga keinginan mendapatkan pengetahuan bukan semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektualnya saja, atau hanya untuk memperoleh keuntungan material semata. Melainkan un-tuk mengembangkan dirinya menjadi makhluk rasional yang berbudi luhur serta melahirkan kesejahteraan spiritual, mental, isik bagi kelu-arga, bangsa, dan seluruh umat manusia.

Selain itu, Seseorang yang telah menempuh pendidikan Islam, akan percaya bahwa manusia bukan hanya seorang makhluk ciptaan Tuhan di bumi ini saja, melainkan juga sebagai sebagai makhluk spiritual yang dikaruniai kekuatan untuk mengontrol dan mengatur alam raya ini atas ijin Tuhan. Bakan dia juga sebagai makhluk yang kehidupannya berlang-sung tidak hanya di dunia belaka, tetapi juga berlanjut hingga kehidup-an akhirat.9 Sedangkan, jenis pendidikan yang dapat membuat manusia

seperti itu tentu saja tidak mungkin bila hanya bersifat keagamaan be-laka, dan tidak mungkin bila hanya bersifat keduniaan saja.

(4)

layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam, terutama anak-anak dan ge-nerasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. Cara pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap cara pandang sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Sebagian umat Islam ha nya memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya menca-pai cita menjadi Muslim yang sejati demi mencamenca-pai kebahagiaan di du-nia dan di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum” dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif me-ngantarkan anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati yang diidolakan orang tua. Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih cenderung memilih lembaga-lembaga pendidikan umum dengan per-timbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal dipoeroleh setelah lulus. Bagi mereka ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh karena itu mutu dan kesempatan kerja setelah lulus tidak terjamin.

(5)

tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan di banyak Madrasah dan lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pe-ngelolaan Madrasah tidak dapat optimal dan seringkali menyebabkan mutu lulusan Madrasah kurang mampu bersaing dengan lembaga-lem-baga setingkat yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Adapun dampak lain yang tidak kalah seriusnya dari dikotomi keil-muan antara ilmu-ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu-ilmu di sisi lain adalah terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam. Kendati diko-tomi keilmuan Islam telah terjadi semenjak beberapa abad yang lampau, namun dampaknya terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam dirasa-kan semakin serius pada masa-masa kemudian11. Salah satu kerangka

keilmuan Islam yang kurang “lazim” bila dibandingkan dengan kerang-ka ilsafat keilmuan “sekuler” adalah berkembangnya pemikiran yang mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah. Di kalangan umat Islam berkembang pemikiran bahwa wahyu adalah sumber utama ilmu sem-bari mendiskriminasikan fungsi dan peran rasio sebagai sumber ilmu. Di kalangan umat Islam juga berkembang suatu kesadaran untuk men-jadikan ayat-ayat qauliyah sebagai objek kajian pokok, tetapi mengabai-kan ayat-ayat kauniyah yang justru menyimpan begitu banyak misteri dan mengandung khazanah keilmuan yang kaya.12

Menyadari bahwa dampak dualisme atau dikotomi keilmuan Islam telah begitu besar, para pemikir Muslim mulai menggagas konsep in-tegrasi keilmuan Islam, yang mencoba membangun suatu keterpaduan kerangka keilmuan Islam, dan berusaha menghilangkan dikotomi il-mu-ilmu agama di satu pihak dengan ilil-mu-ilmu umum di pihak lain. Dalam hal ini, sejumlah pemikir Islam berupaya untuk mengajukan metode pengetahuan yang bertumpu pada ajaran Islam dengan mem-pelopori bangkitnya gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of Knowledge).13

(6)

dari para ilmuan Muslim yang memiliki keahlian sesuai dengan bidang yang ditekuninya. Upaya ini dilatarbelangi oleh semangat mengembali-kan ilmu pengetahuan dalam pangkuan Islam dan kaum Muslimin.

Al-Faruqi adalah salah satu penggagas dan pencetus ide Islamisasi ilmu pengetahuan. Dia secara tegas telah mengartikulasikan idenya tersebut dan memformulasikan secara sistematis dalam bukunya “he Islamization of Knowledge”. Al-Faruqi dikenal sebagai sarjana yang mam-pu menggabungkan antara pemikiran dengan aksinya. Sehingga dia tidak sekedar mengusulkan atau mencetuskan saja gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, tetapi juga sekaligus mengajak dan menganjurkan kepada umat untuk melakukan “gerakan” Islamisasi ilmu itu sendiri yang kini te-lah menyebar ke hampir seluruh dunia Islam.14 Dewasa ini bahkan telah

banyak universitas-universitas Islam maupun sekolah-sekolah yang ke-munculannya diilhami oleh gerakan tersebut serta menjadikannya seba-gai target yang ingin ditempuh.15 Bahkan dewasa ini pembentukan UIN

merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan un-tuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesio-nal di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN menjadi UIN merupa-kan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang lama dan melelahmerupa-kan. Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan be-berapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN, memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN.

(7)

Pengertian dikotoMi SiSteM Pendidikan iSlaM

Secara etimologi, “dikotomi” berasal dari bahasa Inggris “dichoto­ my” yang berarti pembagian dalam dua bagian, pembelahan dua, ber-cabang dalam dua bagian.16 Dalam bahasa Indonesia, “dikotomi” berarti

pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.17 Secara termi­

nologi, “dikotomi” adalah pemisahan antara ilmu dan agama, yang ke-mudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yang lain, seperti dikotomi ulama-intelektual, dikotomi dalam dunia pendidi-kan Islam dan bahpendidi-kan dikotomi dalam diri manusia Muslim itu sendiri (split personality).18 Sementara itu menurut al-Faruqi, “dikotomi” adalah

dualisme relegius dan kultural.19

Bermula dari pemahaman dikotomi menurut dua aspek di atas20,

maka dikotomi sistem pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidik an antara pendidikan agama dan pendidikan umum yang memi sahkan kesadaran dien dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini bukan hanya terjadi pada dataran pemilahan, melainkan masuk dalam wilayah pemisahan. Kita kenal adanya sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan modern atau sistem pendidikan Islam yang tradisional­eks­ klusif (parsial) atau sistem pendidikan yang sekularistik, rasionalistik­em­ piristik, intuitif dan materialistik. Kondisi seperti ini tidak mendukung terciptanya kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami atau menampilkan Islam secara kafah.

Sebenarnya, persoalan dikotomi ini adalah persoalan klasik, tetapi selalu hangat untuk dipersoalkan dan masalahnya adalah pemisahan antara ilmu dan agama.21

faktor-faktor Penyebab Munculnya dikotomi Sistem Pendidikan

islam

Secara umum dikotomi sistem pendidikan di dunia Muslim dise-babkan oleh beberapa faktor yakni:

Stagnasi pemikiran Islam 1.

(8)

hanya mendongak ke atas, melihat gemerlap kejayaan abad pertengahan, sehingga lupa kenyataan yang tengah terjadi di lapangan. Maka sarjana Barat mengatakan, rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lam-pau telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan-tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tan-tangan tersebut ditanggapi secara positif dan lebih arif, dunia Muslim dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru itu, kemudian membe-rinya arah baru.22

Penjajahan Barat atas dunia muslim 2.

Mayoritas penjajahan Barat atas dunia muslim menurut para seja-rawan, berlangsung sejak abad XVIII hingga abad XIX M.23 Pada saat itu

dunia muslim benar-benar tidak berdaya di bawah kekuasaan imperial-isme Barat.

Dalam kondisi seperti itu tentu tidaklah mudah dunia muslim menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat. Karenanya pendidikan budaya Barat mendominasi budaya “tradisional” setempat yang diban-gun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat telah menggantikan ilmu-ilmu aqliyah muslim dan derajat ilmu naqli­ yah. Ilmu “pengganti” Barat itulah yang kemudian didominasikan da-lam mata pelajaran-mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah di dunia muslim.

(9)

Faktor lain 3.

Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculnya dikotomi sistem pendidikan di dunia Muslim adalah diterimanya budaya Barat se-cara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya.25

Sebab mereka yang menganut pandangan tersebut berkeyakinan, kema-juanlah yang penting bukan agama. Oleh karenanya, kajian agama di-batasi bidangnya, Agama hanya membicarakan hubungan individu de-ngan Tuhannya, lainnya bukan urusan agama.

Pendidikan Barat modern yang nota-bene menempatkan tekan-an ytekan-ang berlebihtekan-an kepada akal rasional tentu saja mengtekan-anggap sepele nilai spiritual dan lebih besifat antroposentris ketimbang teosentris. Dan ternyata kondisi seperti inilah yang banyak merembes ke dunia Islam (negara muslim).26 Hal itu dikarenakan banyaknya para pemikir Muslim

yang dibesarkan, dididik, dicuci otaknya di dunia Barat. Ketika mereka kembali ke negaranya, pemikiran dan idenya bertentangan dengan tra-disi masyarakatnya.

Sebagai konsekuensi logis, pendidikan Islam di negeri-negeri mus-lim telah diungguli oleh sistem yang dipinjam dari Barat. Mengapa? Ka rena ide-ide Barat dipinjam dan diterapkan begitu saja, tanpa ada upaya mengadaptasi. Sehingga yang ada bukan harmonisasi, melain-kan ekspansi. Pendidimelain-kan Islam yang mempunyai ciri khas ke-Islaman le nyap, dan yang ada pendidikan Islam berciri khas Barat. Hal itu dapat dilihat, buku-buku teks dan metode yang dikembangkan tidak berusaha meneguhkan keimanan dan keIslaman para siswa, tetapi malah mem-buatnya ragu-ragu terhadap agamanya sendiri.

(10)

sekuler mereka tinggalkan. Kelompok ini memunculkan sistem pendi-dikan Islam yang sangat berbeda dengan kelompok pertama, yakni sistem pendidikan Islam sentris.

uPaya-uPaya untuk Menghilangkan dikotoMi SiSteM

Pendi-dik an iSlaM Melalui iSlaMiSaSi ilMu Pengetahuan dalaM

tranSforMaSi iain Menuju uin

Disadari atau tidak, persoalan dikotomi sistem pendidikan di dunia muslim itu masih aktual dibicarakan. Hal itu bisa dilihat di kalangan pa-kar pendidikan muslim, persoalan tersebut sering menjadi bahan dis-kusi cukup serius. Mengapa? karena dualisme sistem pendidikan yang seharusnya tidak boleh ada, malah seolah telah menjadi “trend” pendidik-an bagi masyarakat kita. Masyarakat muslim sendiri seolah mengiyakpendidik-an dan menganggap bahwa model pendidikan dikotomi itulah yang sesuai dengan jaman.

Secara operasionalnya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang terjadi selama ini adalah merupakan Islamic education for the moeslems, yaitu pendidikan Islam yang diberlakukan adalah pendidikan agama Islam yang pelaksanaannya menyesuaikan dengan pendidikan mo dern, dan bukan Islamic educationfor Islamic education, yaitu pendidikan Is-lam yang benar-benar dijiwai, dilandasi dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Islam.27

Kondisi tidak kondusif seperti ini akhirnya mengundang para pa-kar muslim dari berbagai penjuru dunia. Tujuannya untuk memecah-kan dan mencari jalan terbaik guna membangun kembali kebudayaan dan peradaban muslim yang pernah jaya di jaman klasik. Niat keras para pakar muslim tersebut ternyata benar-benar diwujudkan. Hal terse-but, dibuktikan dengan diadakannya berbagai pertemuan tingkat in-ternasional (termasuk diadakannya sebuah konferensi inin-ternasional pendidik an muslim di Makkah pada tahun 1997 M).28 Dari pertemuan

(11)

Perubahan IAIN menuju UIN merupakan tanda sebuah proses ke-sadaran yang lebih maju. Selama ini IAIN di anggap perguruan tinggi yang memproduksi guru-guru agama baru, pengganti imam masjid, takmir, dan pengisi acara pengajian bahkan modin. Hal ini dikarena-kan banyaknya alumni IAIN yang tidak bisa berkembang karena ijazah yang di hasilkan tidak memiliki standar yang diminta oleh pangsa pasar. Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri adalah keinginan di setiap kelulusan agar mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan layak.

Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberi-kan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-aja-ran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang lama dan melelahkan dimulai dari adanya Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dari tahun 1957-1960.

(12)

mereka akan disiplin-disiplin ilmu terapan kurang sama sekali.29 Karena

itu kiranya dibutuhkan paradigma lain yang lebih menjanjikan untuk mengatasi persoalan ini.

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu so-sial yang begitu pesat, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia tetang fenomena agama. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teolo-gis-normatif semata-mata. Tetapi lebih dari itu. Pergeseran paradigma pemahaman agama mengarah pada keterbukaan dan transparan dalam pergaulan di dunia.

Dengan demikian, transformasi IAIN menuju UIN bisa dikata-kan sebagai lambang perubahan dalam sejarah yang sangat dipenga ruhi oleh budaya, agama, nilai dan struktur sosial (Historis), untuk menjadi-kan ilmu agama sebagai media kritis dalam menpertanyamenjadi-kan hakikat “agama” sekaligus menjawab tantangan zaman. Sehingga transformasi IAIN menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tipologi atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam.

PenutuP

Islamisasi ilmu pengetahuan melalui transformasi IAIN menuju UIN adalah sebuah evaluasi atas kekalahan kita terhadap Barat. Transformasi ini merupakan bagian dari upaya mengintegrasikan dikotomi sistem pendidikan Islam. Selanjutnya, pembentukan UIN diharapkan mampu mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama, dengan mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. [ ]

endnoteS

1 Ikhrom, “Dikotomi Sistem Pendidikan Islam”, dalam Paradigma Pendidikan Islam, ed. Ismail SM, et. al., (Semarang: Pustaka Pelajar dan Fakultas

Tarbi-yah IAIN Walisongo, 2001), hlm. 81.

2 Karena pada hakekatnya dikotomi itu bertentangan dengan Islam yang

(13)

pendidikan agama dan pendidikan umum, keduanya merupakan kesatuan (tauhid) pendidikan Islam, yaitu penguasaan ilmu dunia dan tujuan akhirat. Lihat Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam ( Jakarta: Logos, 1999), hlm.89.

3 Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, ter. A.E. Priyono(Surabaya: Risalah Gusti, 1998), hlm. vi.

4 Masa yang dikenal dengan the golden age of science in Islam dapat tercapai

ka-rena adanya penerapan konsep keterpaduan antara lapangan berpikir empirik

dengan lapangan idiil normatif. Lebih jelasnya lihat Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep Universitas Islam (Terj.), Alih Bahasa Mahnun Husain, (Yogyakarta: Tiara wacana, 1989), hlm. 5-58. Dalam konteks sejarah, puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada era kejayaan masyarakat Muslim terjadi pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah. Kemajuan itu secara nya-ta terimplemennya-tasikan dalam kehidupan riil masyarakat yang dinya-tandai dengan tingginya peradaban, tertatanya kehidupan sosial dan pesatnya arus perpu-taran ekonomi. Lihat R.M. Savory, Introduction to Islamic Civilization (New York: Cambridge University Press, 1976), hlm. 20.

5 Dewasa ini dunia mengakui dan terus terang menyatakan berhutang budi

ke-pada para ilmuwan Muslim masa lampau. Utang ilmu pengetahuan modern kepada ilmu pengetahuan Islam (al-Quran) tidak pernah ditagih oleh um-mat Islam, sehingga orang-orang pandai di Eropa sekarang malu dan meng-akui bahwa kehidupan Eropa yang sebenarnya dibelit oleh ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, sedangkan untuk melepaskan diri tidaklah mungkin karena mereka sendiri telah mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan kebu-dayaan itu sebagai miliknya sendiri. Di dalam keterlenaan mereka, orang-orang non Muslim telah mengambil warisan-warisan dari ilmuwan-ilmuwan Muslim, mengintegrasikannya dalam pandangan mereka (world view mereka), memperkembangkan disiplin-disiplin tersebut, menambahi disiplin-disiplin tersebut dengan sumbangan-sumbangan mereka sendiri, dan memanfaatkan pengetahuan baru itu untuk kepentingan mereka. C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, ter. Hasan Basari ( Jakarta: Yayasan Obor

Indone-sia, 1991), hlm. 26-33. LIhat C.A. Qadir, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya

( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 2-3. Lihat juga Omar Amin Hoesin, Kultur Islam ( Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 247. Bandingkan dengan Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan (Terj.), diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 34.

6 Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern ( Jakarta: Bulan Bintang,

1979), hlm. 375.

7 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ( Jakarta: Pustaka

(14)

8 Ikhrom, “Dikotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 79.

9 Ibid, hlm. 80.

10 Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2004,

Be-lanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 21.585,1 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 6.690,5 milyar; berbanding 76,3% : 23,7%. Untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2005, Belanja Pemerintah Pusat untuk De-partemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 26.991,8 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 7.017,0 milyar; berbanding 79,4% : 20,6%. Dan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2006, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 36.755,9 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 9.720,9 milyar; berbanding 79,1% : 21,9%. Lihat, Departemen Keuang-an Republik Indonesia, Data Pokok APBN Tahun Anggaran 2006, Depkeu RI, Jakarta, 2006, hlm. 8. Bila besaran anggaran dan prosentase tersebut di-hubungkan dengan cakupan kerja kedua departemen tersebut, maka cakupan kerja Departemen Agama jauh lebih luas, dan tidak hanya mencakup bidang pendidikan, melainkan juga bidang-bidang agama yang lebih luas.

11 Imam Al-Ghazali, misalnya membagi ilmu menjadi dua, yaitu: Pertama, ilmu

(15)

12 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Quran, Cet. 2(Bandung: Mizan,

1989), hlm. 78-82.

13 Gerakan ini dimaksudkan sebagai jawaban positif tehadap krisis pendidikan

yang sudah terlanjur dualistik, dengan menyelenggarakan seminar interna-sional he First International Conference of Islamic hought and Islamization of Knowledge (1982) di Islamabad, yang dimotori oleh he International Institute of Islamic hought (IIIT) yang dipimpin oleh Isma’il Raji al-Faruqi.

14 Al-Faruqi tidak hanya manusia pemikir (man of ideas), tetapi ia juga

cendikia-wan yang menuangkan langsung gagasannya dalam tindakan nyata (man of action). Lihat lagi Ahmed, Discovering Islam, hlm. 207.

15 Yasein Mohamed, “Islamization: A Revivalist Response to Modernity”, dalam Muslim Education Quarterly, Vol. XLIII, No. 1, hlm. 22.

16 John M. Echols dan Hasan Shadily,Kamus Inggris Indonesia( Jakarta:

Grame-dia Pustaka Utama, 1992), hlm. 180.

17 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (

Ja-karta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 205.

18 Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di

Indonesia”, dalam Muslih Usa (Ed), Pendidikan Islamdi Indonesia antara Cita dan Fakta, hlm. 104.

19 al-Faruqi, Islamizationof Knowledge: General Principles and Work Plan, hlm. 37. 20 Yakni dilihat dari makna Etimologi dan Terminologi.

21 Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah pendidikan Agama Islam di

Indonesia”, dalam Muslih Usa (Ed), Pendidikan Islam., hlm. 104.

22 Abdul Hamid Abu Sulaiman, Krisis Pemikiran Islam (Terj.), diterjemahkan

Oleh Rifyal Ka’bah ( Jakarta: Media Dakwah, 1994), hlm. 50.

23 Namun, penjajahan atas bangsa Muslim Melayu (termasuk Indonesia) terjadi

sejak abad XVI sampai abad XX. (pen). Pada abad XVI, Belanda, Inggris, Denmark dan Prancis datang ke Asia Tenggara. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Grafindo Persada, 1998), hlm. 174-177.

24 Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hlm. 33.

25 Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (Terj.),

diterje-mahkan oleh Rahma Astuti (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 75.

26 Parameter untuk menyebut negara Muslim adalah dilihat dari mayoritas

pen-duduknya Muslim. Seperti, negara Mesir, sekalipun banyak penduduk yang beragama selain Islam, namun mayoritas dari jumlah penduduknya adalah Muslim. Oleh karenanya, negara Mesir termasuk negara Muslim. Ukuran seperti ini berlaku bagi sebutan negara Muslim lainnya.

27 Noeng Muhajir, “Pendidikan Islami untuk Masa Depan Kemanusiaan”, dalam

(16)

28 Tepatnya sejak tahun 1977 M telah empat kali dilaksanakan Konferensi

Pendidikan Muslim Sedunia. Inti pertemuan tersebut membahas persoalan-persoalan pendidikan di negara Muslim se-dunia dan Islamisasi ilmu Penge-tahuan. Lihat Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hlm. 105.

29 Jurnalis Uddin, “Problems of Islamization of University Curriculum in

Indo-nesia”, Muslim Education Quarterly, Vol.10. No. 3. hlm.6

daftar PuStaka

Abu Sulaiman, Abdul Hamid,Krisis Pemikiran Islam (Terj.), diterjemah-kan oleh Rifyal Ka’bah. Jakarta: Media Dakwah, 1994.

Al- Ghazali, Imam, Ihya` ‘Ulum ad­Dien, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Al-Faruqi, Isma’il Raji, Islamisasi Pengetahuan (Terj.), diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1995.

Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep Universitas Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Mahnun Husain, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.

Bucaille, Maurice, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Jakarta: Bulan Bin-tang, 1979.

Departemen Keuangan Republik Indonesia, Data Pokok APBN Tahun Anggaran 2006, Jakarta, 2006.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indo­ nesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Echols, John M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gra media Pustaka Utama, 1992.

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut Al­Quran, Cet. 2, Bandung: Mizan,1989.

Hoesin, Omar Amin, Kultur Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

Ismail SM, et. al, Paradigma Pendidikan Islam,Semarang: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001.

Lektur Seri IV,Cirebon: IAIN SGD, 1996.

Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam,Jakarta: Logos, 1999.

Muslim Education Quarterly, Vol. XLIII, No. 1 dan Vol. X, No. 3.

(17)

__________, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter­Parameter Sains Islam (Terj.), diterjemahkan oleh A.E. Priyono, Surabaya: Risalah Gusti, 1998.

Savory, R.M, Introduction to Islamic Civilization, New York: Cambridge

University Press, 1976.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Graindo Persada, 1998. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH PERSEPSI KONSUMEN PADA IKLAN TELEVISI TERHADAP MINAT BELI PRODUK MIE SEDAAP WHITE CURRY Studi Kasus Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Kampus 1 Universitas Sanata Dharma

Berdasarkan kesimpulan dan tindak lanjut penelitian di atas, maka peneliti dapat menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1) Bagi guru, guru bahasa Indonesia SMP Negeri 4

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Model pembelajaran drill terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan IPAdi SD Negeri 101880 Desa

Tabel 4.19 Rekapitulasi Hasil Tanggapan Responden Terhadap Service Recovery yang Dirasakan ( Perceived ) di Hyatt Regency Yogyakarta

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung Kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 untuk pendanaan yang bersumber dari APBD, dan pemberian kesempatan

Titik didih yang relatif tinggi pada senyawa Patchouli alkohol tersebut dapat menerangkan mengapa minyak nilam memiliki sifat fiksatif, yaitu sebagai pengikat senyawa

Teknologi biometrik yang paling banyak digunakan atau diimplementasikan ke dalam sistem identifikasi saat ini adalah pola sidik jari.[3] Semakin banyak sistem

Oleh karena itu para pelaku pasar swalayan jangan hanya mementingkan persaingan harga dan tidak memperhatikan bahwa pelayanan merupakan sesuatu hal yang harus diperhatikan pada saat