• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN MADRASAH DINIYAH Sistem Nila

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGELOLAAN MADRASAH DINIYAH Sistem Nila"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH - INDONESIA

(4)
(5)

PENGANTAR REDAKTUR

Bismillahirrahmanirrahim

(6)

Demikian Pengantar redaksi, naskah yang tertera dalamjurnal ini menggugah kita untuk semangat kembali mengkajirealitas yang menyimpan problematika, semoga bermanfaat untukkita semua. Nuwun, maturnuwun.

(7)

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi ~ v-vi Daftar Isi ~ vii-viii

 HUBUNGAN KEBERMAKNAAN HIDUP DAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KESEHATAN MENTAL NARAPIDANA (Studi Kasus Nara Pidana Kota Semarang)

Oleh: Baidi Bukhori ~ 1 - 19

 TRADISI BERFILSAFAT DALAM KARYA SASTRA PESANTRAN (Kajian Filologis Atas Naskah Dewi Maleka)

Oleh: Nur Said ~ 21 - 41

 PERGESERAN LITERATUR DI PESANTREN SALAFIYAH (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Anwariyah, Tegalgubug Lor, Cirebon)

Oleh: R. Aris Hidayat ~ 43 - 68

 DOKTRIN DAN GERAKAN PESANTREN DI CILEGON BANTEN

Oleh: Fadullah ~ 69 - 87

 AGAMA LOKAL Ter (di) pinggirkan di antara Agama Besar

Oleh: Zakiyah ~ 89 - 105

 PENGELOLAAN MADRASAH DINIYAH : Sistem Nilai dan Kepemimpinan dalam Budaya Organisasi pada Madrasah Diniyah Di Kudus

(8)

 ADAH MUHAKKAMAH, SINERGI AGAMA DAN BUDAYA, UPAYA MENUJU KEARIFAN LOKAL

Oleh: Jamal Ma'mur Asmani ~ 119 - 133

 KAJIAN KRITIS TERHADAP AJARAN DAN GERAKAN AL-QIYADAH AL-ISLAMIYAH

Oleh: Joko Tri Haryanto ~ 135 - 162

 DAKWAH PADA MASYARAKAT MARGINAL DI KAMPUNG PECINAN ARGOPURO KUDUS

Oleh: Mubasyaroh ~ 163 - 189

 MAKNA PENDIDIKAN BAGI ANAK MENURUT KELUARGA NELAYAN DI DESA WEDUNG KECAMATAN WEDUNG KABUPATEN DEMAK

(9)

HUBUNGAN KEBERMAKNAAN HIDUP DAN

DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN

KESEHATAN MENTAL NARAPIDANA

(Studi Kasus Nara Pidana Kota Semarang)

Baidi Bukhori

(Dosen IAIN Walisongo Semarang) Email address

Abstract

Convicts during being kept in socializing institutions lose their freedom of mobility and accompanying sufferings such as the loss of opportunity to have sexual intercourse, of private rights, of getting goodness and help, of their secrecy from bad prejudice from society, and being suffered from infantilism. Convicts also have to do duties, to adapt themselves, to obey socializing institutions’ regulations and all regulations formed secretly which apply among occupants

of socializing institutions beyond officers’ reach.

In facing life which was hard and full of problems, part of convicts still had healthy mental conditions, who showed determination, survival, and even they helped their fellow convicts. In contrast, part of convicts suffered from unhealthy mental conditions, who showed desperation, apathy, and a condition of losing their life spirit, even there were some convicts who committed suicide in order to free themselves from their sufferings.

Among factors assumed as having influences on the condition

(10)

This research was a quantitative research which aimed at testing empirically the correlation between the meaningfulness of life and the social support of the family and convicts’ mental health.

The subjects of this research were convicts of Kedungpane Semarang First Class Socializing Institution. The technique of taking samples used in this research was random sampling, namely a technique of choosing randomly the existing individuals (407 convicts). By using the technique, 104 convicts were chosen in this research.

Keywords: the meaningfulness of life, the social support of the family, mental health, convicts, and socializing institution.

Abstrak

Narapidana selama di lembaga pemasyarakatan kehilangan kemerdekaan bergerak dan derita-derita yang menyertai seperti hilangnya kesempatan hubungan seksual, kehilangan hak pribadi, kehilangan mendapatkan kebaikan dan bantuan, kehilangan kerahasiaannya dari akibat prasangka buruk dari masyarakat, dan kepedihan dari proses infantilisasi atau menganak kecilkan orang yang sudah dewasa. Narapidana juga harus menjalankan kewajiban, menyesuaikan diri, mematuhi dan mentaati peraturan lembaga pemasyarakatan, dan segala peraturan yang terbentuk secara tersembunyi yang berlaku antar sesama penghuni di luar jangkauan petugas.

Dalam menghadapi kehidupan yang sulit dan penuh problema tersebut ada sebagian narapidana tetap sehat mentalnya, yang menunjukkan sikap tabah, bertahan bahkan berusaha membantu sesamanya. Namun dipihak lain, sebagian tahanan mengalami ketidaksehatan mental, yang menunjukkan sikap putus asa, apatis, dan kehilangan semangat hidup, bahkan ada yang melakukan bunuh diri guna membebaskan diri dari penderitaannya.

(11)

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan kebermaknaan hidup dan dukungan sosial keluarga dengan kesehatan mental narapidana.

Subjek dalam penelitian ini adalah narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah random sampling, yaitu memilih individu-individu yang ada (407 narapidana) secara acak. Dengan menggunakan teknik tersebut terpilih 104 narapidana sebagai subjek penelitian.

Kata kunci: Kebermaknaan hidup, dukungan sosial

keluarga, kesehatan mental, narapidana, dan lembaga pemasyarakatan.

A. Pendahuluan

Kesehatan mental merupakan permasalahan yang selalu menarik perhatian masyarakat. Berita-berita tentang peningkatan jumlah pasien rumah sakit jiwa akibat musibah bencana alam di berbagai daerah, siswa bunuh diri karena belum bisa membayar SPP, narapidana1 bunuh diri akibat stress, dan sebagainya. Beberapa kasus tersebut merupakan permasalahan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Ketidaksehatan mental bisa dialami oleh semua orang tak terkecuali narapidana, apalagi narapidana yang hidup dalam kamar hunian dalam waktu yang cukup lama, bisa beberapa tahun, kadang-kadang sampai puluhan tahun bahkan seumur hidup. Di dalam lembaga pemasyarakatan2 (Lapas) seorang narapidana akan mengalami berbagai persoalan dan penderitaan. Secara teoritis sebenarnya derita yang akan dialami oleh narapidana satu-satunya adalah hilangnya kemerdekaan bergerak. Namun ternyata ada derita-derita sertaan sebagai akibat hilangnya kemerdekaan bergerak, yaitu: 1). Hilangnya kesempatan hubungan seksual. 2). Kehilangan hak pribadi. 4). Kehilangan mendapatkan kebaikan

1

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU RI No. 12 Th. 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 7).

2

(12)

dan bantuan. 5). Kehilangan kerahasiaannya dari akibat prasangka buruk dari masyarakat. 6). Kepedihan dari proses infantilisasi atau menganak kecilkan orang yang sudah dewasa3.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan mental narapidana adalah kebermaknaan hidup. Kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap keberadaan dirinya, memuat hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, dan dapat memberikan arti khusus yang menjadi tujuan hidup sehingga membuat individu menjadi berarti dan berharga4. Salah satu cara untuk mencapai kebermaknaan hidup adalah dengan nilai bersikap, yaitu cara individu menunjukkan keberanian dalam menghadapi penderitaan serta bagaimana individu memberikan makna pada penderitaan yang dihadapi5. Betapa penting kebermaknaan hidup bagi seseorang, Ancok6 menyatakan bahwa kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya dengan makna yang baik orang akan menjadi insan yang berguna tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Kerusakan moral dan gangguan jiwa adalah karena orang tidak memiliki makna hidup yang baik.

Selain faktor kebermaknaan hidup, faktor yang diasumsikan berhubungan dengan kesehatan mental narapidana adalah dukungan sosial keluarga. Sears dkk.7 mengatakan bahwa dukungan sosial adalah suatu hubungan interpersonal di mana individu memberikan bantuan kepada individu lain dan bantuan yang diberikan berupa partisipasi, emansipasi, motivasi, penyediaan informasi, dan penghargaan atau penilaian terhadap individu.

Dukungan sosial keluarga merupakan variabel lingkungan yang diasumsikan memiliki hubungan positif dengan kesehatan

3

Tarsono, Pengaruh besarnya Kelompok Terhadap Perilaku Prososial dan

Agresifitas Narapidana, Tesis (Yogyakarta: Universitas Gadja Mada, 2002), h. 94-95.

4

E. Koeswara, Logoterapi, Psikoterapi Victor Fankl, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 58.

5

H.D. Bastaman, Integrasi Psikologi dalam Islam, Menuju Psikologi Islami,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 55. 6

F.E. Frankl, Logoterapi; Terapi Psikologi MelaluiPemahaman Eksistensi,

(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), h. 4. 7

(13)

mental. Narapidana akan membutuhkan dukungan yang lebih dari keluarga dan cara-cara yang efektif dalam menghadapi masalah yang sedang dihadapi8. Dukungan tersebut diharapkan berasal dari keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan lingkungan yang terdekat dengan narapidana. Dukungan sosial keluarga bagi narapidana diperlukan untuk menghilangkan rasa ketakutan dan kecemasan akan masalah-masalah yang dihadapi. Upaya yang dilakukan keluarga yang berada di sekitar narapidana untuk memberikan semangat dapat menjadi salah satu jalan keluar yang positif bagi narapidana untuk menerima dengan tenang atas beban penderitaan yang dialami.

Pada kenyataannya, di lembaga pemasyarakatan ada narapidana yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya. Bila keluarga tidak dapat memberikan dukungan terhadap masalah-masalah yang dihadapi narapidana, bahkan mengabaikan, maka hal tersebut dapat mengakibatkan narapidana semakin menderita bahkan bisa terganggu kesehatan mentalnya.

B. Kebermaknaan Hidup

Kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap keberadaan dirinya, memuat hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, dan dapat memberikan arti khusus yang menjadi tujuan hidup sehingga membuat individu menjadi berarti dan berharga9. Menurut Ancok10 kehidupan yang bermakna akan dimiliki seseorang apabila dia mengetahui apa makna dari sebuah pilihan hidupnya. Makna hidup adalah hal-hal yang memberikan arti khusus bagi seseorang, yang apabila berhasil dipenuhi akan menyebabkan kehidupannya dirasakan berarti dan berharga, sehingga akan menimbulkan penghayatan bahagia (happiness)11

Menurut Frankl12 ada tiga komponen kebermaknaan hidup, yakni 1). kebebasan berkehendak, 2). kehendak hidup bermakna,

8

Ibid. 9

Koeswara, Logoterapi, Psikoterapi, , h. 58. 10

Frankl, Logoterapi; Terapi, h. 7. 11

P. Budiharjo, Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 153.

12

(14)

3). makna hidup. Kebebasan berkehendak adalah kebebasan yang dimiliki seseorang untuk menentukan pilihan di antara alternatif-alternatif yang ada, dan oleh karenanya seseorang mengambil peranan yang besar dalam menentukan nasibnya sendiri.

Kehendak hidup bermakna adalah hasrat yang memotivasi setiap orang untuk bekerja, berkarya, dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya dengan tujuan agar hidupnya berharga dan dihayati secara bermakna. Jadi sebagai motivasi utama manusia, kehendak hidup bermakna mendambakan seseorang menjadi pribadi yang penting dan berharga serta memiliki tujuan hidup yang jelas dan sarat dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna pula13.

Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar, dan didambakan serta memberi nilai khusus bagi seseorang. Bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga serta dapat dijadikan tujuan hidupnya14.

Menurut Crumbaugh dan Maholich15 aspek-aspek kebermaknaan hidup yaitu: 1). tujuan hidup, 2). kepuasan hidup, 3). kebebasan memilih, 4). gairah hidup, dan 5). tanggung jawab. Mereka yang menghayati hidup bermakna dapat digambarkan sebagai berikut:

Mereka menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa. Mereka juga mempunyai tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Kegiatan-kegiatan mereka pun menjadi terarah. Selain itu mereka juga merasakan sendiri kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai. Tugas-tugas dan pekerjaan sehari-hari bagi mereka merupakan sumber kepuasan dan kesenangan tersendiri sehingga mereka mengerjakannya dengan bersemangat dan bertanggung jawab. Hari demi hari mereka menemukan beraneka ragam pengalaman baru dan hal-hal menarik yang semuanya menambah pengalaman hidup mereka. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam arti menyadari batasan lingkungan, tetapi dalam batasan-batasan itu mereka dapat menentukan sendiri apa yang paling baik

13

Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 194 14

Ibid. 15

(15)

untuk mereka lakukan. Mereka juga menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan, betapapun buruknya keadaan. Kalaupun mereka pada suatu saat mengalami penderitaan, mereka akan menghadapinya dengan sikap tabah. Mereka sadar bahwa senantiasa ada makna dan hikmah di balik penderitaannya itu. Mereka benar-benar menghargai hidup dan kehidupan, karena mereka menyadari bahwa hidup dan kehidupan itu senantiasa menawarkan makna yang harus mereka penuhi. Mereka menganggap bahwa usaha memenuhi makna hidup itu secara bertanggung jawab merupakan tantangan. Mereka juga mampu mencintai dan menerima cinta kasih orang lain, serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu hal yang menjadikan hidup ini indah. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar menghayati bahwa hidup dan kehidupan mereka bermakna16.

C. Dukungan Sosial Keluarga

Sears dkk.17 mengatakan bahwa dukungan sosial adalah suatu hubungan interpersonal di mana individu memberikan bantuan kepada individu lain dan batuan yang diberikan berupa partisipasi, emansipasi, motivasi, penyediaan informasi, dan penghargaan atau penilaian terhadap individu. Sarason dkk.18 mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya.

House19 menyatakan bahwa, dukungan sosial sebagai suatu bentuk transaksi antar pribadi yang melibatkan: 1). perhatian emosional, 2). bantuan instrumental, 3). pemberian informasi, dan 4). adanya penilaian. Pertama: Perhatian emosional. Individu membutuhkan empati. Bilamana seseorang dapat menghargai, mempercayai, dan mengerti dirinya lebih baik, ia akan menjadi terbuka terhadap aspek-aspek baru dari pengalaman hidupnya. Kedua: Bantuan instrumental. Penyediaan piranti guna menunjang kelancaran kerja, secara langsung akan meringankan beban yang

16

Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 197. 17

Tresnowati, Kecemasan, h. 5. 18

I.G. Sarason, Assessing Social Support: The Social Support Questionnaire. (Journal of Personality and Social Psychology, 1983), h. 127.

19

(16)

ditanggung seseorang. Ketiga: Pemberian informasi. Pemberian informasi, maksudnya agar informasi dapat digunakan untuk mengatasi masalah pribadi maupun masalah pekerjaan. Keempat: Penilaian. Penilaian meliputi dukungan pekerjaan, prestasi, dan peran sosial yang terdiri atas umpan balik, perbandingan sosial,

dan afirmasi (persetujuan menyatakan “ya”).

D. Kesehatan Mental

Daradjat20 menyatakan bahwa ada banyak definisi tentang kesehatan mental yang diberikan para ahli, sesuai dengan

pandangan dan bidangnya masing-masing. Definisi tersebut

antara lain: 1). Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose). 2). Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. 3). Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. 4). Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Menurut Bastaman21, kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sunguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.

Beberapa ahli yang berusaha merumuskan tolok ukur kesehatan mental seseorang, salah satunya adalah Bastaman22. Ia

20

Z. Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2001), h. 4-6.

21

Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 133. 22

(17)

memberikan tolak ukur kesehatan mental sebagai berikut: Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.

1)

Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan

2)

hubungan antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.

Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat,

3)

kemampuan, sikap, sifat, dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.

Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan dan berupaya

4)

menerapkan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental itu secara garis besar ada dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal ini antara lain meliputi: kepribadian, kondisi

fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis,

keberagamaan, sikap menghadapi problema hidup, kebermaknaan

hidup, dan keseimbangan dalam berfikir. Adapun yang termasuk

faktor eksternal antara lain: keadaan sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya23.

Menurut Daradjat kedua faktor di atas, yang paling dominan adalah faktor internal. Ia mengungkapkan bahwa ketenangan hidup, ketenangan jiwa atau kebahagiaan batin itu tidak banyak tergantung pada faktor-faktor dari luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya. Akan tetapi lebih tergantung pada cara dan sikap menghadapi faktor tersebut.

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU RI No. 12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 7). Menurut Gunakarya24 narapidana adalah orang yang terbukti melakukan tindak pidana dan kemudian oleh pengadilan dijatuhi hukuman atau pidana.

Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU RI No. 12 Th. 1995 tentang Pemasyarakatan

23

Darajat, Kesehatan Mental, h. 9. 24

Tarsono, Pengaruh besarnya Kelompok Terhadap Perilaku Prososial dan

(18)

Pasal 1 ayat 2). Perlakuan terhadap narapidana didasarkan pada sistem pemasyarakatan.

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana (UU RI No. 12 Th. 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat17).

Narapidana selama hidup di Lembaga Pemasyarakatan menghadapi kehidupan yang sulit dan penuh problema sehingga dituntut untuk memiliki ketahanan mental, agar tetap sehat mentalnya. Salah satu hal yang mempengaruhi ketahanan mental narapidana adalah kebermaknaan hidup. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Daradjat25, bahwa sesungguhnya ketenangan hidup, ketenteraman jiwa atau kebahagiaan batin seseorang, lebih tergantung kepada cara dan sikap menghadapi permasalahan yang ia hadapi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber utama kesehatan mental adalah bagaimana cara dan sikap seseorang dalam menghadapi persoalan hidup yang ia hadapi.

Tidak jauh berbeda dengan kesehatan mental, kebermaknaan hidup seseorang juga bersumber dari bagaimana sikapnya dalam menghadapi persoalan hidup. Menurut Bastaman26salah satu sumber kebermaknaan hidup adalah nilai-nilai sikap. Nilai sikap merupakan sikap yang diberikan individu terhadap kondisi-kondisi tragis yang telah terjadi, seperti penyakit, penderitaan, dan kematian. Situasi-situasi yang buruk, yang menimbulkan keputusasaan dan tampak tanpa harapan dapat memberikan kesempatan yang sangat besar bagi individu dalam menemukan makna hidupnya. Dengan mengambil sikap yang tepat, maka beban pengalaman-pengalaman tragis itu dapat berkurang, bahkan dapat menimbulkan makna yang lebih berarti. Dari peristiwa tersebut dapat mengalir berkah dan pelajaran berharga yang justru membantu proses kematangan dan memberi sumbangan bagi kebaikan di masa mendatang.

Dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa sehat atau tidaknya mental seseorang dan bermakna atau tidaknya hidup seseorang sangat tergantung pada bagaimana sikap seseorang

25

Ibid. 26

(19)

dalam menghadapi problema kehidupan yang mereka hadapi. Jika seseorang bisa bersikap positif terhadap problema yang mereka hadapi maka kesehatan mental dan kebermaknaan hidup akan mereka dapatkan.

Kesehatan mental narapidana selain dipengaruhi oleh kebermaknaan hidup juga dipengaruhi oleh faktor yang lain yang tak kalah penting, yakni dukungan sosial. Salah satu sumber dukungan sosial menurut Ganster dkk.27 adalah keluarga. Keluarga merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan seseorang,

kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikis mula-mula terpenuhi dari

lingkungan keluarga. Sehingga keluarga termasuk kelompok yang terdekat dengan individu. Individu sebagai anggota keluarga akan menjadikan keluarga sebagai tumpuan harapan, tempat bercerita, tempat bertanya, dan tempat mengeluarkan keluhan-keluhan bilamana individu sedang menghadapi permasalahan. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa keluarga dapat menjadi sumber dukungan sosial bagi anggota yang tengah menghadapi persoalan-persoalan.

Dukungan sosial keluarga bagi narapidana merupakan hal yang amat penting, hal tersebut sejalan dengan kodratnya sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, keberadaannya selalu membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Interaksi timbal balik ini pada akhirnya akan menciptakan hubungan ketergantungan satu sama lain. Kehadiran orang lain di dalam kehidupan pribadi seseorang begitu diperlukan. Individu membutuhkan dukungan orang-orang terdekat terutama dari keluarga. Dukungan diharapkan berasal dari keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan lingkungan yang terdekat dengan narapidana.

Bentuk dukungan sosial dapat berupa kesempatan bercerita, meminta pertimbangan, bantuan, atau mengeluh bilamana sedang mengalami persoalan pribadi28. Seorang narapidana akan mengembangkan perasaan dicintai, dihargai, dan dimanusiakan keberadaannya dan ditolong oleh sumber-sumber dukungan sosial tersebut, sehingga dapat menjalani kehidupan di lembaga

27

D.C. Ganster, M.R. Fusilier, dan B.T. Mayes, Role of Social Support in The Experience of Stress at Work, (Journal of Applied Psychology: 1986), h. 102.

28

T.N. Rohman, N. Prihartanti, dan H.F. Rosyid, Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Burnout pada Perawat Putri di Rumah Sakit Swasta,

(20)

pemasyarakatan dengan wajar. Bila mana hubungan ini terjadi maka narapidana dapat melalui hari-harinya dengan baik dan tingkat kesehatan mentalnya meningkat. Akan tetapi bilamana narapidana tidak memperoleh dukungan sosial, maka ia akan merasa resah, mengalami kebingungan, dan merasa tidak mempunyai sandaran untuk mengadukan permasalahannya. Keadaan yang demikian tentu akan berdampak negatif pada narapidana, dan akan tercermin pada penurunan tingkat kesehatan mentalnya.

Dari review pustaka di atas, maka dapat diajukan hipotesis:

Ada hubungan positif yang signifikan antara kebermaknaan

hidup dan dukungan sosial keluarga dengan kesehatan mental narapidana.

Dari hasil analisis data diperoleh suatu kesimpulan bahwa

ada korelasi positif yang signifikan antara kebermaknaan hidup dan

dukungan sosial keluarga dengan kesehatan mental narapidana. Dari hasil analisis juga ditemukan adanya korelasi positif yang

signifikan antara kebermaknaan hidup dengan kesehatan mental, serta adanya korelasi yang signifikan antara dukungan sosial

keluarga dengan kesehatan mental.

Adanya korelasi positif yang signifikan antara kebermaknaan

hidup dengan kesehatan mental, sejalan dengan pendapat Ancok29 yang menyatakan bahwa kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya dengan makna yang baik orang akan menjadi insan yang berguna tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Kerusakan moral dan gangguan jiwa adalah karena orang tidak memiliki makna hidup yang baik. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lazarus dan DeLongis30 menyatakan bahwa makna hidup ikut berperan dalam proses pengelolaan stres dan coping. Antonovsky’s,31 juga menyatakan bahwa adanya dimensi

kebermaknaan hidup dalam diri seseorang merupakan “senjata”

potensial untuk melawan stressor yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan bahwa kebermaknaan

29

Frankl, Logoterapi; Terapi, h. 4. 30

K. Sadrayuni, Hubungan Kebermaknaan Hidup dengan Penerimaan Terhadap Penyakit Gagal Ginjal. Skripsi (Semarang: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2004), h. 5.

(21)

hidup sangat penting bagi terwujudnya kesehatan mental. Senada dengan hasil penelitian ini, penelitian Rahman (1996) menunjukkan adanya hubungan kebermaknaan hidup dengan daya tahan terhadap stres pada remaja. Sementar itu, Haitami (2000) menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap konsep kebermaknaan hidup akan

menurunkan stres kerja sebesar 20%. Penelitian Zainurrofiqoh

(2000) menunjukkan kontribusi kebermaknaan hidup sebesar 63,5 % terhadap tingkat harga diri mahasiswa.

Keterkaitan antara kebermaknaan hidup dan kesehatan mental dapat ditelusuri dari sumber utama kebermaknaan hidup dan kesehatan mental itu sendiri. Keduanya bersumber bagaimana cara dan sikap seseorang dalam menghadapi persoalan hidup. Salah satu cara untuk mencapai kebermaknaan hidup adalah dengan nilai bersikap, yaitu cara individu menunjukkan keberanian dalam menghadapi penderitaan serta bagaimana individu memberikan makna pada penderitaan yang dihadapi32.

Daradjat33 menyatakan bahwa sesungguhnya ketenangan hidup, ketenteraman jiwa atau kebahagiaan batin, tidak banyak tergantung kepada faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan, dan sebagainya; akan tetapi lebih tergantung kepada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut.

Keterkaitan antara kebermaknaan hidup dengan kesehatan mental dapat dipahami juga dari ajaran Logoterapi. Logoterapi mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai kesatuan raga-jiwa-rohani yang tak terpisahkan. Seorang psikoterapis tidak mungkin dapat memahami dan melakukan terapi secara baik apabila mengabaikan dimensi rohani yang justru merupakan salah satu sumber kekuatan dan kesehatan manusia. Selain itu logoterapi memusatkan perhatian pada kualitas-kualitas insani, seperti hasrat untuk hidup bermakna, hati nurani, kreativitas, dan tanggung jawab. Frankl memanfaatkan dan mengaplikasikan kualitas-kualitas itu dalam terapi dan pengembangan kesehatan mental, termasuk penyembuhan mental yang sakit34.

Adanya korelasi positif yang signifikan antara dukungan

32

Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 196. 33

Darajat, Kesehatan Mental, h. 9. 34

(22)

sosial keluarga dengan kesehatan mental sejalan dengan hasil penelitian Rohman, Prihartanti, dan Rosyid (1997) yang menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial dengan burnout35 pada perawat putri. Semakin tinggi dukungan sosial semakin rendah gejala burnout yang dialami. Semakin rendah dukungan sosial, maka semakin tinggi burnout.

Narapidana yang hidup dalam kamar hunian dalam waktu yang cukup lama, bisa beberapa tahun, kadang-kadang sampai puluhan tahun bahkan seumur hidup. Di dalam lembaga pemasyarakatan seorang narapidana akan mengalami berbagai persoalan dan penderitaan. Dalam kondisi yang demikian, narapidana membutuhkan dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan hubungan membantu, bermanfaat, dan diperoleh dari orang-orang terdekat, salah satunya adalah dari keluarga.

Keluarga merupakan tempat pertumbuhan dan

perkembangan seseorang, kebutuhan-kebutuhan fisik dan

psikis mula-mula terpenuhi dari lingkungan keluarga. Sehingga keluarga termasuk kelompok yang terdekat dengan individu. Individu sebagai anggota keluarga akan menjadikan keluarga sebagai tumpuan harapan, tempat bercerita, tempat bertanya, dan tempat mengeluarkan keluhan-keluhan bilamana individu sedang menghadapi permasalahan. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa keluarga dapat menjadi sumber dukungan sosial bagi anggota yang tengah menghadapi persoalan-persoalan.

Dukungan sosial keluarga bagi narapidana merupakan hal yang amat penting, hal tersebut sejalan dengan kodratnya sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, keberadaannya selalu membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Interaksi timbal balik ini pada akhirnya akan menciptakan hubungan ketergantungan satu sama lain. Diharapkan, kebersamaan bersama sesama ini menjadi jalur buat pelepasan emosi sehingga ketegangan-ketegangan yang ada bisa mengendor dan tidak mengganggu kehidupan kejiwaan seseorang.

Selain hal tersebut di atas, seseorang membutuhkan orang

lain karena seseorang tidak mungkin memenuhi kebutuhan fisik

35

(23)

dan psikisnya secara sendirian. Individu membutuhkan dukungan orang-orang terdekat terutama dari keluarga. Dukungan diharapkan berasal dari keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan lingkungan yang terdekat dengan narapidana.

Bentuk dukungan sosial dapat berupa kesempatan bercerita, meminta pertimbangan, bantuan, atau mengeluh bilamana sedang mengalami persoalan pribadi36. Seorang narapidana akan mengembangkan perasaan dicintai, dihargai, dan dimanusiakan keberadaannya dan ditolong oleh sumber-sumber dukungan sosial tersebut, sehingga dapat menjalani kehidupan di lembaga pemasyarakatan dengan wajar. Bila mana hubungan ini terjadi maka narapidana dapat melalui hari-harinya dengan baik dan tingkat kesehatan mentalnya meningkat. Akan tetapi bilamana narapidana tidak memperoleh dukungan sosial, maka ia akan merasa resah, mengalami kebingungan, dan merasa tidak mempunyai sandaran untuk mengadukan permasalahannya. Keadaan yang demikian tentu akan berdampak negatif pada narapidana, dan akan tercermin pada penurunan tingkat kesehatan mentalnya.

Berdasarkan hasil wawancara pada akhir bulan Agustus 2007 terhadap informan A, B, C yang memiliki kebermaknaan hidup, dukungan sosial, dan kesehatan mental tinggi, didapatkan bahwa mereka benar-benar bisa memetik hikmah selama hidup di lembaga pemasyarakatan. Hikmah tersebut antara lain: bisa lebih tenang dan terfokus untuk memahami dan menyelami apa yang mereka perbuat atas kesalahan dan keteledoran yang mereka lakukan, adanya kesadaran dalam menjalani kehidupan supaya lebih baik lagi dalam kedepannya, bisa lebih khusuk dalam beribadah, dapat mengetahui karakter orang yang ada di lapas terutama dalam satu blok, dapat bekerjasama dengan sesama warga binaan dalam satu kamar, dan dapat mengetahui apa arti hidup sebenarnya.

Selain mereka dapat mengambil hikmah selama hidup di lapas, mereka menyatakan bahwa keluarga sangat memberi dukungan selama mereka di lapas. Bentuk dukungan yang mereka terima antara lain: keluarga sering mengunjungi mereka dengan memberikan bantuan baik itu material maupun spiritual, selalu memperhatikan dan mau ikut berperan serta dalam menyelesaikan

36

(24)

permasalahan yang mereka hadapi, keluarga mau mendengarkan keluhan yang mereka sampaikan dengan senang hati dan berusaha membantu dan memperhatikan mereka.

Dengan kebermaknaan hidup, dan dukungan sosial yang mereka miliki ternyata berhubungan dengan kesehatan mental mereka. Hal tersebut ditandai antara lain: Meskipun mereka hidup di lapas mereka jarang sekali merasa putus asa. Ketika rasa putus asa itu muncul mereka bisa mengatasinya dengan berbagai kegiatan yang positif baik itu beribadah, mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh lapas, atau kegiatan-kegiatan positif lainnya.

Berdasarkan hasil wawancara pada akhir bulan Agustus 2007 terhadap informan D, E, F yang memiliki kebermaknaan hidup, dukungan sosial, dan kesehatan mental rendah, didapatkan informasi bahwa mereka sering sekali merasa putus asa, tidak memiliki gairah hidup, sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta hal-hal negative lainnya. Keadaan tersebut berkaitan erat dengan ketidakmampuan mereka dalam memetik hikmah selama hidup di lembaga pemasyarakatan. Ia tidak bisa menerima bahwa ia harus hidup di lembaga pemasyarakatan, sehingga hidupnya merasa tidak tenang, sering merasa putus asa, serta sulit mendapatkan kebahagiaan.

Selain mereka kurang bisa mengambil hikmah selama hidup di lapas, mereka kurang mendapat perhatian dari keluarga mereka. Dengan kondisi tersebut, mereka merasa hidup sendirian, dan tidak ada tempat untuk mecurahkan keluhan-keluhan yang mereka miliki, sehingga berpengaruh negative terhadap kehidupan mereka.

Dengan uraian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa kesehatan mental narapidana sangat berkaitan erat dengan bagaimana kebermaknaan hidup narapidana dan bagaimana dukungan social keluarga terhadap mereka.

E. Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat korelasi positif

yang signifikan antara kebermaknaan hidup dan dukungan

(25)
(26)

DAFTAR PUSTAKA

Bastaman, H. D. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam; Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Budiharjo, P. 1997. Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius.

Daradjat, Z. 2001. Kesehatan Mental. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.

Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI. 1996. Undang-undang Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan, Jakarta: Ditjen Hukum dan Perundang-undangan.

Etzion, D. 1984. Moderating Effect of Social Support on the Stress-Burnout Relationship. Journal of Applied Psychology. 69. 615-621.

Frankl, F.E. 1988. The Will to Meaning, Foundations and Applications of Logotherapy. New York: Meridian

---2003. Logoterapi; Terapi Psikologi Melalui Pemahaman Eksistensi. Penterjemah M. Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana

---2004. Man’s Search for Meaning, Mencari Makna Hidup, Hakekat Kehidupan, Makna Cinta, Makna Penderitaan. Penterjemah: Lala Hermawati Dharma. Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia

Ganster, D.C., Fusilier, M.R., & Mayes, B.T.1986. Role of Social Support in The Experience of Stress at Work. Journal of Applied Psychology. 71. 102-110.

Haitami, M.R. 2000. Hubungan Antara Pemahaman Kebermaknaan Hidup Dengan Stres Kerja Karyawan. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas psikologi UGM.

(27)

Rahman, A.A. 1996. Hubungan antara Kebermaknaan Hidup dan Daya Tahan Stress Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas psikologi UGM.

Rogers, C.R. 1987. Antara Engkau dan Aku. Terjemahan Agus C. Jakarta: Gramedia

Rohman, T.N., Prihartanti, N., dan Rosyid, H.F. 1997. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Burnout Pada Perawat Putri di Rumah Sakit Swasta, Jurnal Psikologika, 4, 51-59.

Sadyaruni, K. 2004. Hubungan Kebermaknaan Hidup dengan Penerimaan Terhadap Penyakit Gagal Ginjal. Ringkasan Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Sarason, I.G., Levine, H.M., Basham, R.B., & Sarason, B.R. 1983. Assessing Social Support: The Social Support Questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology. 44. 1. 127-139.

Tarsono. 2002. Pengaruh Besarnya Kelompok Terhadap Perilaku

Prososial dan Agresifitas Narapidana. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Pascasajana Universitas Gadjah Mada.

Tresnowaty, D. 2004. Kecemasan Terhadap Kematian pada Pasien Hemodialysis Ditinjau dari Dukungan Sosial Keluarga. Ringkasan Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Katholik Soegijapranata.

(28)
(29)

TRADISI BERFILSAFAT DALAM KARYA

SASTRA PESANTRAN

(Kajian Filologis Atas Naskah

Dewi Maleka

)

Nur Said Dosen STAIN Kudus Email: nursaid@ymail.com

ABSTRACT

(30)

with no coercion (doctrinal), but rather with awareness (conscientization) in the form of stories.

Keywords: Dewi Maleka Manuscript, Pesantren literature,

Pholosophicl Tradition

A. Pendahuluan

Pesantren dikenal sebagai institusi transmisi Islam yang paling tua di Jawa sudah tidak asing lagi. Keberadaannya telah membawa transformasi sosial baik di lingkungan umat Islam sendiri

maupun bangsa Indonesia pada umumnya. Para kyai sebagai figur

kunci dalam pesantren juga telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yang dipelopori oleh para kyai pengasuh pesantren di Jawa seperti Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Abdul Wahab Hasbullah Jombang, Kyai Bisyri Syansur dari Tayu, Kyai Raden Asnawi dari Kudus dan sejumlah kyai liannya adalah bukti kongrit upaya para kyai pesantren untuk menggerakkan umat agar lebih beradab (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 178-221). Pesantren di tengah kolonialisme Belanda juga telah menjadi basis perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan sehingga atas parakarsa para intelektual pesantren telah mendorong terjadinya pergeseran teologi Islam di Indonesia. Hal ini bisa dicermati dengan munculnya teologi kebangsaan pada saat bangsa Indonesia sedang dihadapkan perjuangan yang masih sporadis sehingga kurang mampu memukul mundur penjajah saat itu.

Namun ketika teologi kebangsaan mulai dirajut oleh para santri muda di bawah doktrin hubbul wathān min al īmān tanpa memandang latar belakang budaya dan agama, spirit Islam untuk melawan penjajah semakin menemukan momentumnya. Perlawanan terhadap penjajah mulai menyatu dan memposisikan penjejah sebagai lawan bersama yang harus dienyahkan dari muka bumi. Hal ini diperkuat dengan beredarnya kitab yang provokatif

(31)

yang menguraikan keutamaan-keutamaan perang suci menurut Al Qur’an dan Hadits. Buku ini diakhiri dengan doa pendek yang akan membuat kaum mujāhidīn kebal tak terkalahkan (Azyumardi Azra, 1999: 282-292). Maka dengan semangat jihad fī sabīlillāh akhirnya penjajah berhasil terusir dibumi nusantara hingga mengantarkan bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Illustrasi di atas hanyalah sedikit gambaran betapa pesantrean telah meletakkan landasan tradisi menulis yang cukup kuat bahkan mampu memberikan inspirasi bagi para pembacanya untuk membakar spirit perjuangan.

Pesantren dengan kyainya juga telah dikenal sebagai pialang budaya (cultural broker) sehingga selalu mampu bertahan meski di tengah derasnya benturan arus modernitas, sehingga Gus Dur menyebut pesantren sebagai sub-kultur. Sebuah sub-kultur akan memiliki pola-pola reproduksi dan resistensi budaya yang kuat melekat pada pesantren. Salah satu polanya yang khas adalah dialektika antara tiga elemen penting dari pesantren yaitu: kyai, kitab kuning, dan santri.

Sebagian besar kitab kuning yang dikaji di pesantren berisi

tentang bermacam-macam fiqh, ilmu-ilmu alat (nahwu, sharaf,

balaghah), tauhid, tasawuf, Al Qur’an dan Hadits. Maka kultur santri yang menonjol sebagai fuqohā (ahli feqh) dan sufi (ahli tasawuf). Filsafat di kalangan pesantren masih sangat tabu dan asing. Para kyai yang dikenal ketat (wirā’i) bahkan sampai mengharamkannya,

bahkan mereka yang mengkaji filsafat digolongkan sebagai

mu’tazilah yang dikecam sebagai “pembangkang” Islam. Tabunya

filsafat di pesantren juga tak lepas dari perdebatan Al Ghazaly

sebagai representasi dari ahlussunnah waljamā’ah dan Ibnu Rush

sebagai representasi dari filosof muslim.

Konflik antara Al Ghazaly dengan Ibnu Rush ini seringkali

dijadikan legitimasi di kalangan pesantren bahwa Al Ghazaly

adalah menolak filsafat secara total. Padahal kalau direnungkan

secara mendalam fenomena tersebut justru menunjukkan

bahwa Al Ghazaly adalah seorang filosof. Al Ghazaly tidak akan

mampu berdebat dengat Ibnu Rush kalau tidak dibarengi dengan

pendekatan filsafat yang mumpuni karena materi perdebatannya juga terkait dengan problem filsafat seperti tentang alam semesta,

(32)

Bahkan Al Ghazaly telah memberi teladan kepada umat Islam bagaimana berpolemik secara santun dan ilmiah. Kitab Al Ghazaly

Tahāfut al Falāsifah adalah karya nyata hasil polemik dengan Ibnu Rush ketika berargumentasi tentang kerancuan dari pemikiran

filosof. Al Ghozaly tidak dengan “debat kusir” yang tak berujung dalam menolak pemikiran filsafat Ibnu Rush, tetapi dengan menulis

kitab yang menghasilkan naskah yang hidup hingga sekarang. Demikianlah, naskah telah memberikan bukti kepada generasi berikutnya bahwa para tokoh Islam panutan bersikap bijak dalam menghadapai perbedaan pendapat (khilafiyah) di bidang

filsafat ataupun di bidanag yang lainnya. Demikian juga yang terjadi dalam dunia feqh sehingga di kalangan Ahlussunah waljamā’ah mengenal empat madzhab besar; Malikiyyah, Syafi’iyyah, Khambaliyyah dan Khanafiyyah. Tradisi mengkaji feqh adalah yang paling menonjol di pesantren, beda sekali dengan wilayah filsafat.

Sulit bisa menemukan ruang di pesantren untuk mengkaji wacana

filsafat. Filsafat nyaris terabaikan dalam dunia pesantren. Padahal kalau merunut sejarah panjang pergulatan Islam dan tradisi, cukup banyak naskah-naskah klasik yang substansi bahasannya bernuansa

satrawi dan sekaligus filosofis. Hal ini antara lain tercermin dalam

naskah Maleka Dewi yang akan menjadi pokok bahasan paper ini. Menurut Poerbatjaraka sebagaimana dikutip oleh Pudji Astuti naskah Maleka Dewi termasuk naskah sastra pesantren (Titik Pujiastuti, 2006: 90-91).

Agar tulisan ini tak terlalu melebar maka kajian ini hanya menfokuskan pada dua persoalan: P ertama, bagaimana deskripsi naskah Maleka Dewi ditinjau dari kodikologinya? Kedua, bagaimana nilai-nilai falsafati dalam naskah Maleka Dewi? Dalam proses

penulisannya, paper ini menggunakan pendekatan filologis, karena itu tahapan riset filologi yang meliput: (1) Inventarisasi naskah

(33)

B. Deskripsi Naskah

Naskah Dewi Maleka yang penulis teliti adalah naskah yang terdapat pada Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dengan kode BR.No.16. Menurut katalog Pigeaud seperti dikutip oleh Titik Pujiastuti naskah Dewi Maleka juga terdapat pada di Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteits-Bibliotheek) dengan nomor Lor 7562 yang merupakan salinan dari naskah Priangan yang ditulis pada 1866 A.D. Pigeaud mengelompkkan cerita naskah Dewi Maleka ke dalam sastra didaktik yang mendapat pengaruh Islam bahkan banyak diantaranya berupa ajaran mistik berupa suluk (Titik Pujiastuti, 2006: 90-91).

Naskah Dewi Maleka dengan kode Br 16 merupakan koleksi J. L. Brandes (Behrend, 1998). Teksnya ditulis dengan aksara Arab (pegon) dalam Bahasa Jawa. Naskah yang berukuran 21 x 16 cm tersebut memiliki bingkai baca dalam bentuk garis dobel warna hitam berukuran 16 X 12 cm. Teks tertulis dengan tinta warna hitam setebal 95 halaman dengan perincian, halaman pertama dan kedua tediri dari 10 baris, halaman 1 - 94 terdiri dari 12 baris dan pada halaman 95 terdiri 12 baris dengan ukuran teks perhalaman rata-rata 14 x 11,7 cm.

Teks tersusun dalam bentuk tembang macapat (puisi klasik Jawa) yang terdiri dari 6 pupuh (bab), yaitu; Asmarandana, Pangkur, Dhanddanggula, Srinata, Asmarandana, dan Dhanddanggula. Tiap lembar terdapat nomor halaman yang terletak pada sudut pias atas kiri dan kanan menggunakan angka Arab. Di halaman pertama dan kedua bagian atas terdapat illuatrasi berupa gambar kubah masjid dengan ornamin bunga teratai di dalamnya. Disamping kiri dan kanan kubah terdapat terlukis gambar bunga dengan motif tanaman sulur.

(34)

Kondisi umum naskah masih baik, teks bisa dibaca dengan jelas meskipun ada beberapa halaman hampir terlepas. Dalam teks terdapat tanda ﺀ (hamzah) terlingkari dengan tinta merah sebagai tanda bahwa satu baris macapat berhenti. Di tiap pinggir halaman terdapat angka angka yang menunjukkan nomor dari tiap pada (bait) dalam tembang. Menurut Wieringa (1998) seperti dikutip oleh Zakiyah cerita Dewi Maleka merupakan transplantasi dari buku tentang seribu pertanyaan untuk tanah Jawa, yang didasarkan pada sumber-sumber Persia ataupun sumber sumber Perso-Urdu (Zakiyah, 2007; 5).

C. Naskah Dewi Maleka Sebagai Sastra Pesantren

Sejarah panjang pesantren di Jawa telah membawa

perubahan dan pergeseran sosial yang cukup signifikan bagi

masyarakat agama dalam segala aspeknya. Maka cukup beralasan kalau banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan,dakwah, dan agen pembangunan masyarakat yang berbasis pada wawasan dan wacana keislaman. Pada posisi seperti ini Azyumardi tidaklah berlebihan menyatakan bahwa:

“Dengan posisi dan kedudukannya yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people-entered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development)… Pesantren dengan kyainya memainkan peran sebagai “cultural brokers” (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya” (Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam Nurcholish Madjid, 1997; xxv-xxvi)

(35)

way of life di pesantren, (3) Kuatnya sistem “barokah”, yaitu sebuah kesadaran spiritual terhadap dampak khidmah (pengabdian) dan ketaatan terhadap kyai aka membuahkan efek positif bagi

tercapainya cita-cita santri. Karena itu jalan sufistik di kalangan

pesantren berkembang dengan baik, (4) terbangunnya komunikasi produktif antara pesantren dengan masyarakat sekitar sehingga dalam dialektikanya akan melahirkan tata nilai Islami pada masyarakat tersebut; (5) adanya teknologi disiplin yang kuat di pesantren dengan dukungan kharisma kyai yang kuat, pengatuaran struktur ruang yang terkendali serta tata aturan yang ketat dan terkontrol (Nur Said, 2006).

Keunikan sub-kultur di pesantren seperti itu bukan berarti pesantren anti perubahan, tetapi tetap terbuka menerima perubahan meski dengan selektif dengan prinsip; al muhāfadhah

‘alal qo dīmi al shāleh wa al akhdzu bi aljadīdi al ashlah. Dengan prinsip ini pesantren akan tetap memelihara nilai-nilai lama yang baik dan melestarikan nilai-nilai baru yang lebih baik.

Bahkan kecenderungan pesantren yang menekankan aspek

terjemahan dengan metode halaqoh (badongan, sorogan dan juga wetonan) dengan sistem makna gandul (jenggot) ke dalam bahasa Jawa dari beberapa kitab berbahasa Arab, hal ini mendorong sebagian santri menungakan kembali hasil renungannya dalam bentuk nadhom puji-pujian dalam bahasa Jawa baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Hal ini telah melahirkan sejumlah karya sastra yang beragam di berbagai pesantren (Edi Sedyowati, dkk, eds, 2001: hal. 111-113).

Maka kalau pada awalnya pesantren justru memiliki tradisi membaca dan menulis yang sangat kuat terutama di bidang sastra, sampai sekarang pun berbagai puji-pujian yang dilantunkan menjelang shalat jamaah di masjid-masjid atau di jam’iyyah-jam’iyyah dan masjlis taklim sangat berbau sastra dan sangat memperhatikan sajak. Sehingga di lingkungan pesantrenlah justru karya sastra Islam menjadi hidup karena sering dibaca dan dilantunkan mengiringi shalawat Nabi. Tentu masih sering kita dengar syair berikut:

(36)

Gusti kanjeng Nabi lahire ana ing Mekkah/dinten isnen rolas maulud tahun gajah/…”

Syair-syair sejenis itu masih sangat bertebaran di kalangan santri, dan memang dalam banyak kasus belum terbukukan dengan baik bahkan tidak diketahui siapa pengarangnya. Namun masih bisa ditemukan beberapa karya sastra pesantren yang berhasil ditulis meski dengan sangat sederhana. Misalnya naskah Sya’ir Kiamat

Thaba’ul Khoir yang dikarang Kyai Soemardi, seorang ulama dari kampung Kauman-Kudus sempat juga penulis temukan di PNRI. Syair tersebut juga ditulis dalam bentuk sajak pendek mengupas tentang rahasia hari kiamat. Misalnya ketika mendeskripsikan betapa dahsyatnya hari kiamat, Kyai Soemardi menuliskan sebagai berikut:

Allah Ta’ala anekaaken/ Sedaya makhluk denkumpulaken//

Makhloek kang kuno lan makhluk kang akhir/ pada kumpulan ing dina akhir// Ing arah boemi kang banget panase/ kabeh makhluk pileng endase// Srengenge adoh den gawe perak/ temboes ing goeloe iku genine//” (Soemardi, 1347 H.)

Sastra pesantren yang menonjol sebagaiman juga contoh di atas banyak berisi tentang ajaran moral, tauhid, tasawuf dan juga

filsafat hidup. Namun materi tentang filsafat di kalangan pesantren

tampaknya memang kurang begitu ditonjolkan, meskipun sebenarnya bisa kita temukan sejumlah naskah sastra pesantren

yang berorientasi filsafat meski masih sangat terbatas. Dari yang

terbatas tersebut tanpaknya naskah Dewi Maleka justru lebih kental

nuansa filsafatnya. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai dialog yang

menjurus pada berbagai pertanyaan yang membutuhkan jawaban mendasar/mengakar dan radikal berkaitan dengan asal-usul alam (kosmologi), tujuan hidup (teleologis), penegahuan tentang realitas (epistemologi), amal baik dan buruk (aksiologis) dan seterusnya.

Karena muatan isinya yang unik dan filosofis tersebutlah,

penulis merasa penting mengaktualkan kembali dan sekaligus

mengukuhkan bahwa wacana filsafat di dunia (sastra) pesantren

(37)

D. Dimensi Filsafat Muatan Teks Dewi Maleka

Salah satu daya tarik muatan cerita Dewi Maleka gaya penulisannya yang naratif-dialogis sehingga tak ada kesan menggurui sama sekali. Dewi Maleka sebagai teks menjadi bebas ditafsirkan oleh pembaca. Apalagi teks ini juga tidak diketahui secara pasti pengarangnya. Bahkan meskipun diketahui pengarangnya bagi Roland Barthes, seorang pakar semiotok, sesungguhnya pengarang sudah tidak lagi mempunyai tempat lagi bagi seoarang author, yaitu pihak atau lembaga yang dianggap memiliki otoritas

dalam menentukan makna final (paling otentik). Dalam hal ini teks

sudah tidak lagi membutuhkan otoritas (authority) karena makna

final tidak dibutuhkan lagi. Maka sebagai institusi, sesungguhnya

“pengarang” telah mati (as institution, the author is dead) (Roland Barthes, 1975: 27). Demikain juga dengan kehadiran teks dalam naskah Dewi Maleka ini.

Cerita Dewi Maleka berawal dari kehadairan Raja Rum yang bernama Maharaja Sarialam yang memiliki seorang putri yang dikenal dengan cantik-menawan, adil, bijaksana dan shalehah.

“dewi maleka namaknya wongayu madeyo utomo awas

barangkaryane atetep ngibadahe sabar kalih wicaksono

abangkit ing barang ngilmu usul suluk jawa arab»

(asmarandana)

kawiryan wibowo mukti sasedayan ingkang romo sang soyo

wuh baktine wong ayu tanpo tanding serpati yen ngendiko

piniharso manis arum kadingalapeno jiwo» (Transliterasi Zakiyah, 2007).

(38)

Mendengar hal ini lalu Sang Dewi memanggil patih dan menterinya agar mereka semua bisa mendengarkan mengapa alasan Sang Dewi belum juga mau menikah. Di hadapan mereka Sang Dewi menjelaskan bahwa bukan berarti beliau tidak mau menikah, tetapi beliau hanya mau menikah kepada orang yang bukan saja pandai dan bijaksana tetapi juga harus shaleh dan berkepribadian baik. Dengan pertimbangan itu, maka Sang Dewi membuka sayembara, siapa saja asalkan lelaki sudah dewasa dan mampu menjawab dengan tepat dan masuk akal atas 100 pertanyaannya, maka ia berhak mengawini Sang Dewi dan bahkan mendapatkan kerajaan Rum. Namun apabila tidak mampu menjawabnya maka ia akan mendapatkan hukum pancung.

Sayembara tersebut akhirnya disebarluaskan ke berbagai daerah hingga ke pelosok negeri bahkan sampai terdengar di negeri tetangga Mesir. Sampailah berita sayembara ini kepada sosok santri muda dari daerah Turkustan, Mesir. Dia dikenal sosok pemuada yang tampan dan berbudi baik, yaitu Abdul Ngalim. Ngalim begitu mendengar sayembara tersebut langsung sangat tergerak untuk mengikutinya. Maka Sang Ngalim yang sebenarnya Pangeran Turkustan tersebut langsung berangkat ke Rum untuk menghadap Sang Dewi. Begitu sampai di Rum Sang Ngalim melalui Ki Patih dipertemukan dengan Sang Dewi. Begitu ketemu tampaknya Sang Dewi langsung menaruh hati dan terkesan dengan Sang Ngalim. Namun karena konsistensi Sang Dewi akhirnya Sang Ngalim tetap diperlakukan sebagaimana peserta sayembara yang lainnya (Pupuh satu).

Maka mulailah tanya jawab sebanyak 100 pertanyaan itu berlangsung dengan berbagai masalah yang sangat rumit dan membutuhkan nalar yang masalah yang dipertanyakan dalam seratus pertanyaan termasuk masalah yang sangat berkaitan erat

dengan problem filsaat, yaitu antara lain:

Masalah Kosmologi 1.

Kosmologi dalam filsafat merupakan ilmu (logos) tentang

asal-usul dan struktur alam semesta. Seluk beluk pertanyaan mendasar tentang alam semesta sebagai suatu sistem yang

rasional merupakan bagian dari bahasan kosmologi dalam filsafat.

(39)

teori tentang asal muasal alam semesta (Lorens Bagus, 1996: 499). Masalah kosmologi merupakan problem pertama-tama yang

muncul dalam filsafat Yunani. Ternyata hal ini juga menjadi materi

penting yang dipertanyakan oleh Sang Dewi. Beberapa dialog antara Sang Dewi dengan Sang Ngalim yang menyangkut kosmologi anta lain (Transliterasi Titik Pujiastuti, 2006):

Apa yang lebih dulu dijadikan Tuhan? Huruf Kaf dan Nun a.

yaitu Kun fayakun.

Darimana asalmu? Jawab: dari Bapak ketika menetes (dan) b.

berada di air (saking labete bapa duk tumetes dumunung

aneng ing banyu).

Apa yang dijadikan lebih dulu kelak? Jawab:

c. khalaqnahu

minannar (Pupuh 2).

Berapa jumlah unsur yang menjadikan manusia? Jawab: d.

enam belas, yaitu: yang dari Allah: roh, nafas, budi, iman.

Yang menurut kitab Topah: pendengaran, penglihatan, pengabu (?), dan pengeras. Yang dari ayah; tulang, otot,

kulit, dan otak. Yang dari ibu; daging, darah, isi perut, dan

sumsum (Pupuh 5).

Dengan mencermati dialog di atas, kita akan menemukan asal-usul “alam besar” yaitu semesta raya dan “alam kecil” yaitu manusia. Keberadaan alam semesta ini tak lepas dari campur tangan “The Real” yang benar-benar Ada dan Mengada. Ada (wujud) pada dirinya sendiri dan Mengada menjadikan segalanya yang awalnya belum ada menjadi ada. Penetapan kun fayakun (jadilah, maka jadi) adalah sebentuk penyadaran adanya sabda Tuhan di balik segala kejadian. Maka hal ini sekaligus menandaskan bahwa causa prima (sebab dari segala sebab) adalah yang benar-benar “Real”, yaitu Tuhan (baca: Allah).

(40)

yang terpetakan menjadi tiga sumber yakni dari Allah, bapak, dan ibu. Artinya dialog tersebut memberikan penegasan bahwa proses ilmiah dalam kejadian manusia itu ada yaitu unsur dari ayah dan

ibu, namun dengan tidak menafikan asepek yang transenden yaitu

Allah.

Masalah Ontologi: 2.

Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang

hakekat ada (wujud dan maujud). Ontologi akan mengulas

ciri-ciri esensial dari “Yang Ada” dalam dirinya sendiri. Ontologi juga

menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti yang luas dengan menggunakan kategori-kategori seperti; ada/menjadi, aktualitas/ potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu, eksistensi/ noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai yang ada, ketergantugan pada diri sendiri, hal-hal yang terakhir, dasar (Lorens Bagus, 1996: 746). Beberapa masalah ontologis yang disinggung dalam dialog antara Sang Dewi dengan Sang Ngalim antara lain (Transliterasi Titik Pujiastuti, 2006):

Amal apa yang paling baik bagi kita? Jawab: yang berasal a.

dari hati.

Apa yang disebut tunggal? Jawab: Allah b.

Apa yang disebut empat jisim? Jawab: api, angin, tanah, dan c.

kegelapannya, manisnya, hikmahnya, syariatnya, benihnya, akarnya, rumahnya, daunnya, kulitnya, tujuannya, dan pekerjaannya? Jawab: kepala iman adalah la ilaha illallāh,

Muhammadarrarsūlullāh, membaca Al Qur’an adalah hatinya, banyak berdzikir adalah badannya, cahaya iman adalah hati yang bersih dan ucapan yang jujur, gelapnya iman adalah hati yang ingkar, manisnya iman adalah hati yang tulus suci,

pohon iman adalah zakat fitrah, hikmah iman adalah takut

(41)

Allah, kulit iman adalah malu kepada Allah Yang Maha Suci,

otak iman adalah doa, akar iman adalah hati yang ikhlas hanya kepada Allah, rumah iman adalah hati mukmin, dan nyawa iman adalah sembahyang sunah (Pupuh 2 dan 3).

Mencermati kutipan dialog di atas setidaknya ada tiga problem ontologis yang setidaknya mendapatkan ulasan yang bisa diterima nalar. Pertama adalah hakekat amal yang baik, yakni amal yang benar-benar tulus berangkat dari kesadaran hati yang (ikhlas). Dengan demikian amal yang sesungguhnya bermakna adalah amal yang sedari awal memiliki niat yang tulus-ikhlas. Sehingga tidak karena riya, terpaksa atau karena supaya dianggap wah. Dan perlu diingat tempat bersemayamnya niat adalah ada di hati. Maka ulasan amal yang baik adalah amal yang dari hati bisa dimaknai amal yang dilandasi niat yang tulus dan ikhlas. Amal yang seperti inilah yang akan tetap memancarkan cahaya bagai malaikat.

Masalah ontologis kedua adalah tentang hakekat yang tunggal. Problem ini sebenarnya sebuah pertanyaan yang pada akhirnya memasuki wilayah yang transenden dan sekaligus memberikan

suatu penegasan Yang Tunggal hanyalah Sang Pencipta, yaitu Allah.

Di semesta ini hanya satu sumber otoritas yang paling Mutlak

karenanya Yang Tunggal tersebut akan bebas sebebasnya untuk

menciptakan yang mungkin ataupun meninggalkannya (fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu). Masalah ini sekaligus mengajak pembaca untuk memasuki wilayah tauhid sebagai the core of Islam.

Masalah ontologis ketiga hakekat iman. Pada saat orang dibingungkan dengan problem iman yang hakiki, Naskah Dewi Maleka memberikan ulasan iman dengan pendekatan rasional yang cukup menarik. Di situ dijelaskan hakekat iman adalah kalimah tauhid, sebuah pengakuan jalan hidup hanya dari Allah dan menuju Allah, serta kesadaran bahwa Nabi SAW adalah utusannya. Disamping itu iman juga harus dibarengi dengan kemauan menelaah dan menyerap muatan Al Qur’an sumber risalah Nabi yang paling otentik dan terjaga kesuciannya. Iman juga harus ada kemauan menjaga hati agar tetap bercahaya diisi dengan dzikir dan pikir yang produktif. Dengan iman manusia akan terdorong untuk amar

ma ‘rūf nahi munkar (humanisasi, liberasi dan transensensi). Yang

(42)

semangat pengabdian dan solidaritas sosial, serta kemauan untuk berdoa dan berusaha.

Kalau selama ini iman cenderung dipahami secara pasif sebagai kata benda hanya percaya dan meyakini, ternyata konsep iman menurut Sang Ngalim tersebut harus dibarengi dengan proses aktif dan kreatif sehingga membuahkan hal-hal baru yang lebih produktif dan memiliki nilai kemaslahatan bagi umat manusia.

Masalah Epistemologi: 3.

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mebicarakan tentang sumber-sumber, batas-batas dan verifikasi (pemeriksaan nilai kebenaran) ilmu pengetahuan (Haidar Baqir, 2006: 13). Maka

sering juga disebut dengan teori pengatahuan, karena ia merupakan pengetahuan tentang pengetahuan (Lorens Bagus, 1996: 212). Masalah epistemologi yang disinggung dalam tanya jawab Sang Dewi dan Sang Ngalim antara lain (Transliterasi Titik Pujiastuti, 2006):

Di mana ‘tempat aksara (buku) tanpa tulisan’? Jawab: a.

penglihatan orang cerdik pandai atau para wali.

Apa arti ‘dian yang menyala tanpa api, tanpa minyak dan b.

tanpa sumbu’? Jawab: sumbunya adalah dzat Allah.

Apa yang dimaksud ‘daun hijau selamanya’? Jawan: hidup c.

manusia yang sejati.

Jelaskan mengapa ada tanggal satu, bulan purnama, dan d.

(43)

Kutipan dialog di atas memberikan landasan epistemologis berkaitan tentang pengetahuan kita tentang wali, dzat Allah, hidup sejati dan kejadian berubahnya tanggal pada bulan, dan bulan pada tahun. Wali termasuk di dalamnya para cerdik pandai itu bagaikan buku yang tanpa aksara, sehingga siapapun yang ingin mengembangkan ilmu dan membuka cakrawala dunia maka harus dekat-dekat dengan buku, karena buku adalah jendela dunia. Dan salah satu buku yang unik adalah buku yang tanpa teks (aksara), yaitu para wali dan cerdik pandai. Maka pesan yang ingin dimunculkan adalah cintailah buku, agar terjauh dari kebodohan dan kesesatan.

Kemudian tentang Dzat Allah, meskipun dalam Islam ada pesan yang terkenal tafakkaru fi khalqillah wala tafakkaru fi dzatillah, yaitu cukuplah manusia berfikir pada ciptaanNya saja,

jangan sampai berfikir pada DzatNya. Namun dialog tersebut memberikan gambaran Dzat Allah tidak dengan definitf karena memang tidak bisa didefinisikan, namun kekuatan Dzat Allah

digambarkan mampu menyalakan api, tanpa minyak dan tanpa sumbu. Maka pembaca melalui dialog tersebut diajak untuk berkontemplasi spiritual betapa dahsyatnya kekuatan dan kekuasaan Sang Pencipta. Selanjutnya diserahkan pembaca untuk mencerapnya sesuai dengan pengalaman spiritualnya masing-masing yang sangat personal.

Di dalam dialog tersebut di atas juga disinggung bagaimana memahami orang yang mencapai hidup sejati. Hidup sejati

digambarkan sebagai hidup yang istiqomah (dalam merawat

imannya) yang diandaikan bagai daun hijau yang tetap hijau. Tidak gambang dipengaruhi kelompok akidah/ideologi di luar

Islam. Hidup yang istiqomah adalah hidup yang memiliki prinsip

sebagaimana Islam memiliki 5 pilar rukun Islam dan 6 rukum iman,

bagaimana hal ini istiqomah dijalankan dan diresapi baik secara

lahir maupun batin sehingga mampu melahirkan character building dalam dirinya.

(44)

termasuk lalai karena tidak peduli terhadap lingkungan, sehingga malaikat prihatin dengan kejadiannya itu, sampai-sampai malaikat juga memintakan ampun kepada Allah. Namun Allah memberinya peringatan dengan hadirnya ketidakstabilan struktur dan posisi bulan. Dampaknya tatanan struktur alam yang tidak sempurna sehingga gerhana terjadi karean yang “tidak sujud”. Sedikit saja alam tidak menjalankan tugasnya sesuai hukum alam, maka bencana akan terjadi, termasuk bencana banjir yang akhir-akhir ini sering terjadi, akibat faktor keseimbangan alam yang samakin tidak diperhatikan.

Masalah Aksiologi: 4.

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan

analisis nilai-nilai yang mencakup arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistemologi dari nilai-nilai. Karenanya aksiologi

merupakan studi filosofis tentang hakekat nilai-nilai. Paradigma

ini berangkat dari asumsi bahwa nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal (Lorens Bagus, 1996: 212). Dimensi aksiologis dalam muatan teks Dewi Maleka dapat ditemukan dalam tanya-jawab berikut:

Apa yang ‘sangat buruk’? Jawab: menyekutukan Allah. a.

Apakah yang ‘sangat baik’? Jawab: orang yang langgeng b.

imannya kepada Allah.

Apa yang ‘sangat pahit’ dan apa yang ‘paling manis’? Jawab: c.

yang sangat pahit adalah hati orang miskin, sedangkan yang manis adalah hati orang kaya.

‘Desa manakah yang terindah’? Jawab: desa yang terindah d.

adalah akhirat.

‘Desa manakah yang paling buruk’? Jawab: desa yang paling e.

buruk adalah dunia.

Apa yang lebih berat dari gunung? Jawab: kata-kata yang f.

baik, yang setiap kalimat menyebut Allah.

‘Gelap lebih dari malam, terang lebih dari siang,’ apakah itu? g.

Jawab: yang gelap dari malam adalah orang yang tak tahu syara’ dan yang terang dari siang hati orang yang sudah alim.

Apa yang ‘lebih dingin’ dari air dan ‘lebih keras dari batu’? h.

(45)

sabar, dan yang lebih keras dari batu adalah hati orang

kafir.

Apa yang ‘lebih berat dari gunung’ dan ‘yang tajam lebih i.

dari keris’? Jawab: ‘yang lebih berat’ dari gunung adalah orang yang sopan santun terhadap sesama dan ‘lebih tajam’ dari keris adalah hati para pendeta dan ulama yang arif.

Sangat jelas sekali kutipan di atas memberikan gambaran hakekat nilai-nilai baik dan buruk (etika) yang bisa dijadika rujukan dalam beretika. Nilai-nilai baik dan buruk yang menempati urutan pertama ukurannya pada iman yang sejati sebaliknya keburukan

yang sangat adalah kemusrikan sebagai representasi yang kafir.

Hubungan vertikal manusia dengan Allah menempati posisi yang paling unggul. Nalai baik berikutnya adalah moralitas manusia ketika berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungannya sehingga bersifat horizontal. Hal ini ditunjukkan dengan perumpamaan bahwa kata-kata yang baik dan sopan santun itu lebih berat daripada gunung.

Sementara nilai-nilai keindahan (estetika) dalam dialog tersebut hakekatnya ada pada kehidupan setelah dunia (akhirat). Sementara keindahan yang terlihat di dunia hanyalah semu, namun manusia sering terperdaya. Hal ini sekaligus memperingatkan kepada manusia nikmatilah keindahan di dunia sekedarnya, jangan berlebihan, karena ada keindahan yang lebih hakiki yaitu ketika di akhirat nantinya.

Dialog di atas juga menegaskan nilai-nilai kemuliaan yang sesungguhnya adalah bagi mereka yang berilmu. Mereka yang berilmu inilah bagai penerang yang mencerahkan lebih terang daripada sinar mentari pada siang hari. Bahkan kearifan orang yang berilmu (pendeta, ulama) itu lebih tajam dari keris, karena kecemerlangan dzikir dan pikirnya.

Masalah Teologi dan Teleologis: 5.

Teologi dalam filsafat pertama kali diusung oleh Aristoteles sebagai suatu disiplin seraya mengidentikkan dengan filsafat

pertama, yang tertinggi dari semua ilmu teoritis. Teologi kajian yang berhubungan dunia ilahi dengan dunia realitas. Studi ini juga

Gambar

Tabel :1Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Wedung
Tabel. 2Mata Pencarian Utama Masyarakat Wedung

Referensi

Dokumen terkait