• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Hukum Penegakan HAM pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Hukum Penegakan HAM pdf"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN PENGADILAN AD HOC TERHADAP

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA DITINJAU DARI

PERSPEKTIF POLITIK HUKUM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan, mata kuliah Politik Hukum, Semester I, Tahun Akademik 2017/2018

Disusun oleh :

110620170033 Aria Wirabhuana

Kelas A

Dosen Pengajar :

Prof.Dr.H.Rukmana Amanwinata,S.H.,M.H.

Dr.Hernadi Affandi,S.H.,LL.M.

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS PADJAJARAN

(2)

2

A. Latar Belakang

Politik dan hukum dapat diibaratkan sebagai dua sisi dari satu mata uang

logam. Pengibaratan itu memberi makna bahwa hubungan antara politik dan hukum

sangatlah erat. Penyelenggaraan negara atau pemerintahan baik di tingkat pusat

maupun daerah maka politik dan hukum selalu mendapat tempat yang sama. Politik

selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat. Lagipula politik

menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan

orang seorang (individu).1

Titik pertemuan antara hukum dan politik antara lain dapat dicari dalam

bidang hukum tata negara (constitutional law). Bidang ini mempelajari segi-segi formal dari struktur politik tertentu sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang

ada serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang melengkapinya. Ia

menelaah tentang bagaimana kekuasaan politik diatur dan dibagi, apa-apa fungsi

lembaga-lembaga tertentu, apa saja hak dan kewajiban politik anggota-anggota

masyarakat (warga negara), bagaimana peraturan permainan poliik yang

sebenarnya harus berlaku.2

Dapat dikatakan bahwa politik hukum adalah “kebijakan” yang diambil

(ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan

hukum yang mana yang perlu diganti, atau yang perlu dirubah, atau hukum yang

mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau

dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggaraan negara dan pemerintahan

dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara secara bertahap

dan terencana dapat terwujud.3

Sudah begitu lama Indonesia menjalani masa reformasi, banyak terjadi

perubahan di berbagai sektor seperti infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, kondisi

sosial dan masih banyak lainnya, namun tidak dengan penanganan kasus

pelanggaran Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM)

1 Bintan Regen Saragih, Politik Hukum, Bandung: CV. Utomo, 2006, hlm.6 2Ibid., hlm.14

(3)

3 Seperti telah diketahui masyarakat umum, bahwa di Indonesia pada masa

lalu banyak terjadi pelanggaran HAM, yang sampai sekarang belum menjumpai

titik terang. Berbagai aksi kekerasan, pengusiran dan politik bumi hangus yang

terjadi di Timor Timur, baik sebelum maupun sesudah Jajak Pendapat 1999, telah

menjadi keprihatinan masyarakat nasional dan internasional terhadap kondisi HAM

di Indonesia. Berbagai desakan muncul untuk menyelesaikan tragedi itu. Di sisi

lain, para korban Peristiwa Tanjung Priok 1984 terus mendesak pemeritah untuk

mengusut tuntas kasus tersebut. 4

Tentunya dalam peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM terdapat

kelompok-kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM, di antaranya anak-anak,

perempuan, masyarakat Adat, pembela HAM, penyandang cacat, dan pengungsi.5

Para pembela HAM merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan HAM

itu sendiri. Tidak jarang, para pembela HAM mendapatkan risiko kerja yang tinggi.

Perilaku yang kejam bahkan berakibat pada pembunuhan dan kematian. Perjuangan

para pembela HAM pada hakikatnya adalah perjuangan kemanusiaan. Mereka

berjuang dalam beragam profesinya untuk mendorong terciptanya iklim yang

kondusif bagi upaya pemenuhan HAM Universal.

Hal ini sangat disayangkan, karena Indonesia merupakan negara hukum,

Hal ini jelas tercantum dalam UUD 1945 bahwa Indonesia merupakan negara

hukum. Baik isi Pembukaan maupun Batang tubuh UUD 1945 yang secara tegas

menyebut adanya prinsip demokrasi dan pengakuan serta perlindungan HAM

merupakan bukti bahwa Indonesia menganut prinsip negara hukum. Semua

konsepsi negara hukum yang pernah dikemukakan oleh para pemikir tentang negara

4 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Pejaten Barat Jakarta, “Pe eriksaa Per ulaa

Perkara Pelanggaran HAM yang berat berdasarkan UU No.26 Tahun 2000,

https://lama.elsam.or.id/downloads/1265872577_Pemeriksaan_Perkara_Pelanggaran_HAM_yan g_Berat.pdf, (diakses : 20/11/2017), hlm. 2

5 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai hak ekonomi, sosial, dan budaya, Jakarta:

(4)

4 dan hukum, selalu meletakkan gagasan perlindungan HAM sebagai ciri utamanya.

6

Berkaitan dengan masalah pelanggaran HAM, maka amandemen UUD

1945 adalah sangat penting, karena penyebab terjadinya pelanggaran HAM itu

adalah sistem politik yang tidak demokatis, sedangkan sistem yang tidak

demokratis itu dibangun oleh penguasa dengan menggunakan alasan-alasan yang

diambil dari UUD 1945 itu sendiri, bahkan dengan sering mengatakan bahwa itu

justru untuk melaksanakan pesan UUD 1945.7

Kemudian HAM mulai mendapat perhatian, dan terdapat beberapa kejadian

yang dapat dianggap sebagai tonggak-tonggak penting dalam sejarah HAM di

Indonesia, Adapun kejadian tersebut adalah:8

1. Pendirian Boedi Oetomo

2. Perumusan HAM dalam Sidang BPUPKI

3. Pengesahan UUD 1945

4. Lahirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),

5. Lahirnya Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia,

6. Lahirnya Tap MPR Nomor XVII/MPR/1999 tentang HAM,

7. Lahirnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

8. Perubahan UUD 1945 pemasukan bab baru (XA) yang khusus mengatur

HAM yang terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, mulai dari pasal 28A sampai

dengan pasl 28J.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dinyatakan bahwa negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung

tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara

kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,

6 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers,

2012, hlm.139

7Ibid, hlm.164

8 Hernadi Affandi, Hak Asasi Manusia, Pemerintahan yang Baik, dan Demokrasi di Indonesia,

(5)

5 dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteran,

kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan, Oleh karena itu, eksistensi HAM telah

mendapat pengakuan secara hukum oleh negara Indonesia.9

Menyangkut penegakan hukum HAM di Indonesia, secara kelembagaan ada

dua institusi yang mempunyai peran yang sangat penting, yaitu Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Pengadilan HAM. Kedua institusi ini

dikatakan sangat penting, terutama jika dikaitkan dengan masalah pelanggaran

berat HAM.10

Beberapa ketentuan atau undang-undang yang berkaitan dengan HAM

tersebut merupakan pedoman bagi aparat penegak atau pelaksana hukum dalam

menjalankan tugasnya, agar tidak melakukan pelanggaran HAM. Juga pedoman

bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Komnas HAM),

institusi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor50

Tahun 1993, yang diharapkan dapat memajukan dan melindungi HAM. Begitupun

pedoman bagi masyarakat untuk menilai tindakan aparat negara dalam suatu

peristiwa merupakan pelanggaran HAM Berat atau bukan.11

Pengadilan HAM dibentuk sebagai amanat Undang-Undang No.39 Tahun

1999 untuk mengadili pelanggaran berat HAM. Kemudian, sebagai tindak lanjut

dari ketentuan tersebut, dibuatlah undang-undang tersendiri sebagai dasar hukum

Pengadilan HAM, yaitu Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM.12 Tempat dan kedudukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu di daerah

kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum

Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Untuk DKI Jakarta, Pengadilan Hak Asasi

Manusia berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan negeri yang bersangkutan.

9 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hlm.40 10Ibid, hlm.41

(6)

6 Dan untuk pertamakalinya pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pengadilan Hak

Asasi Manusia dibentuk di:13

1. Jakarta Pusat:

mencakup wilayah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera

Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan

Tengah.

2. Surabaya:

Mencakup wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,

Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, NTB dan NTT.

3. Makassar:

Mencakup Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi

Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya.

4. Medan:

Mencakup wilayah Provinsi Sumara Utara, DI Aceh, Riau, Jambi dan

Sumatera Barat.

Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 ditentukan bahwa tidak semua

pelanggaran hak asasi manusia dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM. Tetapi

pengadilan HAM lebih khusus lagi untuk memeriksa dan memutus perkara

pelanggaran HAM berat. Kejahatan Hak Asasi Manusia yang digolongkan sebagai

pelanggaran HAM berat yaitu : kejahatan genosida dan kejahatan terhadap

kemanusiaan. Dengan demikian, pengadilan HAM hanya dapat memeriksa dua

jenis kejahatan tersebut.14

Regulasi mengenai peradilan HAM telah dibuat oleh pembuat aturan

hukum. Namun, dalam proses pemeriksaan dua jenis kejahatan tersebut, tidak

semudah seperti yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yaitu menegakkan

keadilan. Banyaknya kendala dalam pengungkapan pelanggaran HAM membuat

para penegak hukum kesulitan untuk membawanya ke pengadilan. Kendala-

13 Knut D.Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:

PUSHAM UII,2008, hlm.313

(7)

7 kendala yang berkaitan dengan peraturan sampai dengan kendala politis dalam

pengungkapan pelanggaran HAM menjadi pengganjal dalam penegakan HAM di

Indonesia. Juga mengenai efektifitas pemberlakuan pengadilan khusus untuk kasus

HAM di Indonesia akan dibahas dalam makalah ini, serta penyiapan instrumen

hukum apa yang tepat bagi Indonesia agar pelanggaran HAM dapat dihindari.

Identifikasi Masalah

1. Apa yang menjadi kendala dalam pembuktian pelanggaran HAM berat di

Indonesia?

2. Bagaimana efektifitas pelaksanaan pengadilan Ad Hoc terhadap kasus

pelanggaran HAM berat di Indonesia?

B. Pembahasan

1. Kendala dalam pembuktian pelanggaran HAM berat di Indonesia

Indonesia di era reformasi ini, termasuk negara yang memiliki kepedulian

terhadap perlindungan HAM. Dapa dilihat hasil amandemen atau perubahan kedua

Undang-Undang Dasar tahun 2000, selanjutnya disingkat UUD 1945 yang

memperluas dan merinci tentang penghargaan HAM, yaitu BAB XA terdiri atas

sepuluh pasal (Pasal 28A-28J). Juga terdapat instrument-instrumen HAM lainya

seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan HAM. Namun dalam pelaksanaannya, belum ada usaha yang

optimal untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban untuk melakukan proses hukum

terhadap mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat di pengadilan,

misalnya pelanggaran HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II, yang dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, yang proses hukumnya harus

melalui pengadilan HAM Ad Hoc.15 Kendala-kendala tersebut berasal dari teknis prosedural dan kendala politis.

a. Kendala teknis-prosedural

Kasus pelanggaran HAM berat yang telah terjadi sulit untuk diusut karena

peristiwa pelanggaran tersebut terlampau lama untuk dicari bukti-bukti yang

relevan agar kasus-kasus pelanggaran HAM bisa dibawa ke pengadilan. Sulitnya

(8)

8 menemukan bukti-bukti formal atas pelanggaran, atau bahkan adanya bukti formal

bahwa sesuatu yang dipersoalkan itu telah ada aturan resmi yang membenarkannya,

telah dijadikan alasan oleh para penasihat hukum (calon) tersangka untuk

menyatakan tidak adanya pelanggaran hukum.16

Selain itu, belum ada perangkat hukum yang cukup tegas bagi upaya

penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sehingga tampak aneh bahwa kasus itu

diproses sambil (secara bersamaan) berusaha membuat dan menyiapkan aturan

hukum yang akan digunakan, seperti membuat UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1

Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian ditolak oleh

DPR, dan (kini) menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia yang sudah mulai dibahas DPR. Pengadilan HAM itu kemudian

menimbulkan masalah hukum tersendiri ketika penyiapannya dihadapkan pada

permasalahan tentang bisa atau tidaknya UU tersebut suatu saat diberlakukan

(secara surut) terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelum adanya UU itu.

Permasalahan itu muncul berkaitan dengan asas legalitas yang menjadi prinsip

hukum pidana Indonesia.17

Apalagi dengan adanya perubahan kedua UUD 1945 hasil ST-MPR tahun

2000 memuat Pasal 281 yang ditafsirkan menolak asas retroaktif. Asas retroaktif

yang menawarkan formula pemberlakuan oleh UU atas kasus masa lalu, yang

kemudian muncul di dalam perdebatan publik tentang pemberlakuan UU

Pengadilan HAM itu. Sebenarnya bisa saja asas retroaktif diberlakukan asalkan

pemberlakuannya ditetapkan dalam satu UU, sebab soal asas legalitas itu

merupakan muatan UU (Pasal 1 KUH Pidana). Prinsipnya, kalau ada isi UU baru

yang mengubah isi UU lama maka isi UU barulah yang berlaku. Selain itu, asas

retroaktif bisa diberlakukan untuk melaksanakan perintah konstitusi dalam

menegakkan keadilan.18

b. Kendala Politis

16 Mahfud MD,op.cit., hlm.170 17Ibid, hlm.169

(9)

9 Kendala politis terkait dengan penegakan HAM yaitu adanya campur tangan

dari pihak pejabat penting di birokrasi pemerintahan, yang secara langsung maupun

tidak langsung, terkait dengan banyak pelanggaran yang dilakukan rezim Orde

Baru. Masih banyaknya aparat penegak hukum dan pejabat lain yang korup sebagai

warisan Orde Baru di berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintahan yang

sebenarnya gamang pada upaya mengadili pelanggaran HAM dan KKN itu

diperkuat oleh barisan kroni mantan pejabat korup yang kini masih banyak

berkeliaran di luar lembaga-lembaga resmi dan memiliki kekayaan yang besar

untuk melakukan upaya-upaya penghambatan.19

Pelanggaran HAM berat adalah suatu Criminal Extra Ordinaria yang kemudian diakomodir melalui UU No.26 Tahun 200, sering dimanfaatkan oleh

penguasa melalui pengakuan asas retroaktif yang kemudian dipergunakan sebagai

sarana kekuasaan. Menurut Prof. Dr. Andi Hamzah,S.H. (Pakar Hukum Pidana),

berdasarkan tinjauan historis, penerapan asas retroaktif hanyalah merupakan

pengakuan terhadap eksistensi dari Asas Lex Talionis (pembalasan). Keberadaan asas retroaktif tidak lain sekedar ajang dari political revenge secara rutin terhadap para oposannya pada setiap peralihan kekuasaan.20

2. Efektifitas Pelaksanaan Pengadilan Ad Hoc terhadap kasus pelanggaran

HAM berat di Indonesia

Saat di era awal runtuhnya rezim pemerintahan Soeharto sampai dengan

masa pemerintahan Habibie pada Tahun 1992, terjadi banyak peristiwa yang

berindikasikan pelanggaran HAM, diantaranya yang faktual adalah tindakan

represif yang dilakukan aparat penegak hukum, dan juga terdapat banyak kasus

pelanggaran HAM, yaitu:

a) kasus Penembakan Trisakti 12 Mei 1998, (4 orang mahasiswa tewas),

b) Tragedi Semanggi I, (5 orang mahasiwa tewas),

c) Tragedi Semanggi II, (10 orang tewas),

d) Lhoksumawe 18 Januari 1999, (11 orang tewas),

19Ibid, hlm. 171

20 O.C. Kaligis, Peradilan (Politik) HAM di Indonesia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates,2002,

(10)

10 e) Idi Cut Aceh Timur 12 Februari 1999, (7 orang tewas, puluhan

luka-luka),

f) Liquica 5-6 April 1999, (54 orang tewas dan 10 orang luka parah),

g) Eksekusi rumah Manuel Soares Gamma, Bobonaro, 13 April 1999, (5

orang tewas)

h) Ermera April 1999, (6 orang tertembak)

i) Simpang KKA Aceh Utara, 3 Mei 1999, (39 orang tewas, 125 orang

luka),

j) Beutong Ateuh, Aceh Bart, 6 Agustus 1999, (31 orang tewas, termasuk

Bantaqiah),

k) Suai, 6 September 1999, (20 orang tewas)

Disebutkan dalam Pasal 4 UU Pengadilan HAM bahwa Pengadilan HAM

bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi

manusia yang berat. Yang termasuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat

meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 UU Pengadilan

HAM,21 bahwa kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan

maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok

bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

1. Membunuh anggota kelompok;

2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota-anggota kelompok;

3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di

dalam kelompok; atau

5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke

kelompok lain.

(11)

11 Dan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan diatur dalam Pasal 9 UU

Pengadilan HAM, bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu

perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik

yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap

penduduk sipil, berupa:

1. Pembunuhan;

2. Pemusnahan;

3. Perbudakan;

4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum

internasional;

6. Penyiksaan;

7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk

kekerasan seksual lain yang setara;

8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan

yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya,

agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal

sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

9. Penghilangan orang secara paksa; atau

10. Kejahatan apartheid.

Definisi kedua jenis kejahatan di atas merupakan pengapdosian dari

kejahatan yang merupakan yurisdiksi Internasional Criminal Court (ICC) seperti diatur dalam Pasal 6dan 7 Statuta Roma. Statuta Roma juga dilengkapi dengan

aturan terpisah yakni Rule of Procedure and Evidence mengenai hukum acaranya serta Element of Crimes mengenai penjelasan unsur-unsur kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC yakni kejahatan perang, kejahatan terhadap

kemanusiaan dan genosida. Element of Crimes ini ditujukan untuk memberikan kesamaan pemahaman bagi hakim dan aparat penegak hukum ICC serta batasan

(12)

12 sendiri, UU No 26 Tahun 2000 tidak dilengkapi Element of Crimes bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida serta pertanggungjawaban komando,

sehingga seringkali membingungkan para penegak hukum khususnya hakim ketika

harus menafsirkanya sebagai suatu tindak pidana/delik yang merupakan

pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.22

Dalam bagian mengenai definisi konsep-konsep tentang kejahatan terhadap

kemanusiaan, dan tentang tanggung jawab komando UU No.26 Tahun 2000

mengadopsi pengertian yang terdapat dalam Statuta Roma. Sayangnya adopsi

tersebut dilakukan dengan beberapa distorsi yang pada akhirnya melemahkan

konsep kejahtan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Pengertian “kejahatan terhadap

kemanusiaan” dalam Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000 juga sulit karena tidak ada

parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur ‘meluas’, ‘sistematik’, dan’intensi’ yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidakjelasan

definisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan pembuktian

pemidanaan terhadap kejahatan-kejatan yang dimaksud akan menjadi sulit.23

Selain itu, juga jika dicermati, terdapat begitu banyak ketidakteraturan

penggunaan padanan Bahasa Indonesia untuk istilah-istilah Bahasa asing yang

dikutip dan diserap dari instrument internasional yang bersangkutan, dalam hal ini

Rome Statute of the Intenational Criminal Court (Statuta Roma Pengadilan Pidana

Internasional), 1998, Misalnya, kata “…directed against civilian population..”

diterjemahkan menjadi “ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil…”Penambahan kata “langsung” disini berimplikasi pada sulitnya menjangkau pelaku yang bukan pelaku lapangan.24

Kemudian pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc terhadap kasus pelanggaran berat yang terjadi sebelum UU ini terbentuk menimbulkan kontroversi

karena diterapkannya asas retroaktif (asas berlaku surut). Asas ini bertentangan

22 Knut D.Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:

PUSHAM UII,2008, hlm.305

23 Harifin A.Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia,

Jakarta:Kencana,2010, hlm. 129

(13)

13 dengan sistem hukum pidana yang menganut asas tidak berlaku surut (non

retroaktif) dan legality principle (prinsip legalitas) yang mengatakan bahwa tidak dipidana seseorang kecuali berdasarkan ketentuan UU yang ada sebelumnya (Pasal

1 ayat 1 KUHP). Begitupun dalam Pasal 28 (I) ayat 1 UUD 1945 (hasil amandemen

kedua) secara tegas diatur bahwa “..hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun”.25

Mengenai penerapan asas retroaktif pada Pengadilan HAM Ad Hoc, menurut Indriyanto Seno Adji, yang hanya pengecualian sifatnya (eksepsional)

harus dilaksanakan secara cermat dengan beberapa pertimbangan, bahwa penerapan

asas ini berdasarkan pendekatan sejarah yang penuh dengan stigmatisasi dalam

hukum pidana berhadapan dengan kejahatan yang belum ada aturannya secara

tertulis (extra-ordinary crime). 26

Prinsip non retroaktif dapat dikesampinkan dalam kasus pelanggaran HAM berdasarkan keadilan moral, walaupun memang juga bertentangan dengan asas

legalitas, akan tetapi dalam keadaan tertentu hal tersebut dapat diabaikan. Argumen

dasarnya bahwa sejarah hukum HAM internasional menunjukan prinsip non retroaktif tidak berlaku absolut, untuk pertimbanga keadilan dan pencegahan

terulangnya kembali pelanggaran yang sama. Apalagi larangan melakukan

kejahatan terhadap kemanusiaan sudah menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum

umum (general principles) yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.27

Bagi Indonesia, pemberlakuan asas hukum tidak berlaku surut

dikesampingkan dalam penanganan kasus pelanggaran HAM Berat, khususnya

yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM terbentuk. Menurut Atmasasmita bahwa

hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:28

1. Pertama, pelanggaran HAM merupakan hal baru dalam sejarah

Indonesia yang belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan;

25 Fadli Andi Natsif, op.cit., hlm. 34 26Ibid.,hlm.52

(14)

14 2. Kedua, pelanggaran HAM berat tidak identik dengan pelanggaran

terhadap perundang-undangan pidana yang berlaku;

3. Ketiga, pemberlakuan surut UU Pengadilan HAM dengan muatan

materi mengenai ketentuan pidana di satu sisi melanggar asas hukum

tidak berlaku surut tetapi di sisi lain, jika asas hukum tidak berlaku surut

diabaikan berarti KUHP diberlakukan terhadap pelanggaran HAM

Berat padahal pelanggaran HAM Berat bukan kejahatan biasa, tetapi

extra-ordinary crimes (kejahatan luar biasa)

4. Keempat, pemberlakuan hukum berlaku surut memerlukan justifikasi

baik dari segi filosofis, yuridis, dan sosiologis.

C. Kesimpulan

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa penegakkan HAM terhadap kasus

pelanggaran HAM berat di pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia masih sangat kurang. Kasus pelanggaran HAM berat yang telah terjadi sulit untuk diusut karena

peristiwa pelanggaran tersebut terlampau lama untuk dicari bukti-bukti yang

relevan agar kasus-kasus pelanggaran HAM bisa dibawa ke pengadilan. Juga

instrument hukum yang belum memadai untuk upaya penyelesaian kasus

pelanggaran HAM berat Pengadilan HAM itu kemudian menimbulkan masalah

hukum tersendiri ketika dalam penerapanya bertentangan dengan asas

non-retroaktif yang diberlakukan dalam rezim hukum pidana, berkaitan dengan

kasus-kasus yang terjadi sebelum adanya UU itu. Permasalahan itu muncul berkaitan

dengan asas legalitas yang menjadi prinsip hukum pidana Indonesia. Apalagi

dengan adanya perubahan kedua UUD 1945 hasil ST-MPR tahun 2000 memuat

Pasal 281 yang ditafsirkan menolak asas retroaktif. Juga mengenai efektifitas dari

Pengadilan Ad Hoc ini sendiri dirasa masih belum efektif , karena hingga saat ini baru Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar yang telah bersidang untuk

mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura Papua. Mengingat

banyaknya kendala-kendala terkait teknis prosedural dan juga kendala politis.

Jajaran pejabat tinggi negara dan penegak hukum dalam menanggapi kasus

pelanggaran HAM memiliki perbedaan pandangan dan pemahaman yang membuat

(15)

15 kendala-kendala lain seperti hilangnya bukti-bukti yang kuat, saksi-saksi yang

sudah tidak ada atau meninggal, kendala terkait dengan regulasi yang mengatur

mengenai HAM, kontroversi pemberlakuan asas retroaktif dalam penegakan HAM

Berat. Dan juga melihat tidak efektifnya Pengadilan HAM di Indonesia tidak

menutup kemungkinan dibentuknya Pengadilan HAM Internasional.

Ketidakefektifan tersebut dapat diukur dari ketidakinginan mengadili dan

ketidakmampuan. Hal ini berarti bahwa Indonsia harus memperlihatkan

keseriusannya untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia

terhadap warganegaranya khususnya melalui mekanisme penegakan hukum hak

asasi manusia di Indonesia.29

D. Rekomendasi

Untuk jangka panjang politik hukum harus memanfaatkan momentum dan

proses amandemen atas UUD 1945 agar mampu mengelaborasi makna

konstutusionalisme yang menegaskan perlindungan HAM dan membatasi secara

ketat penggunaan kekuasaan. Sedangkan untuk jangka pendek, politik hukum

Indonesia harus mampu segera memberi solusi atas kasus-kasus pelanggaran HAM

di masa lalu yang kini bukan hanya menjadi persoalan hukum tetapi juga menjadi

persoalan politik.30

Mekanisme penyelesaian terhadap kasus yang terjadi di masa lalu, bisa

melalui jalur legal, dimana penyelesaiannya dengan cara pengungkapan kebenaran

atau kesalahan yang telah diperbuat oleh pelaku. Apabila dalam pengungkapan

kebenaran itu dirasa sulit karena terbentur aturan hukum dan juga kendala politis,

maka untuk memenuhi rasa kemanfaatan hukum, dapat melalui jalur non legal,

yaitu pengakuan dan penyesalan pelaku mengenai kesalahan yang telah diperbuat

lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Kemudian terhadap korban pelanggaran HAM Berat sebaiknya diberikan

kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana yang secara tegas diatur dalam

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan HAM yaitu:31

29 Knut D.Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi,op.cit.,hlm.315 30 Mahfud MD, op.cit., hlm. 172

(16)

16 1. Kompensasi, berarti ganti rugi yang diberikan oleh negara karena

pelaku tidak mampu memberikannya kepada korban.

2. Restitusi, adalah ganti kerugian yang dierikan kepada korban atau

keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian

harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau

penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

3. Rehabilitasi, adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya

kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.

Dengan adanya penggantian tersebut diharapkan dapat memulihkan

hak-hak yang terenggut dari korban pelanggaran HAM, karena setiap hak-hak individu di

negara Republik Indonesia haruslah dihormati, sesuai dengan apa yang dikehendaki

(17)

17

E. DAFTAR PUSTAKA

Buku

• Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: Rajawali Pers, 2015

• Bintan Regen Saragih, Politik Hukum, Bandung: CV. Utomo, 2006

• Fadli Andi Natsif, Prahara Trisakti dan Semanggi, Makassar: toAACCAe Publishing, 2006

• Harifin A.Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, Jakarta:Kencana,2010,

• Hernadi Affandi, Hak Asasi Manusia, Pemerintahan yang Baik, dan Demokrasi di Indonesia, Bandung:CV Kancana Salakadomas, 2013

• Knut D.Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII,2008

• Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Pejaten Barat Jakarta,

“Pemeriksaan Permulaan Perkara Pelanggaran HAM yang berat berdasarkan UU No.26 Tahun 2000,

https://lama.elsam.or.id/downloads/1265872577_Pemeriksaan_Per kara_Pelanggaran_HAM_yang_Berat.pdf, (diakses : 20/11/2017)

• Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai hak ekonomi, sosial, dan budaya, Jakarta: Rajawali Pers, 2013

• Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2012

• O.C. Kaligis, Peradilan (Politik) HAM di Indonesia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates,2002,

Peraturan perundang-undangan

• UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Referensi

Dokumen terkait

Kebutuhan pelaporan keuangan atas laporan keuangan dan faktor pendidikan responden, diidentifikasikan terdapat tiga tabulasi silang yang dinyatakan signifikan yaitu

Rasa jiwa yang merdeka sejati dan sempurna adalah tingkah laku dan perbuatan lahir batin manusia yang sama sekali tidak karena diperintah dan dijajah oleh nafsunya sendiri, tetapi

maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh, maka bunga

Adapun kesimpulan yang peneliti peroleh dari hasil penelitian ini adalah : (1)Metode yang digunakan guru dalam pembelajaran pengenalan konsep bilangan pada anak kelompok umur 4-5

Perancangan layout yang digunakan yaitu untuk mendesain program delphi yang digunakan untuk menampilkan suhu dari arduino. Digunakan beberapa komponen penting pada

Untuk penambahan kapasitas aliran udara yang lebih besar, gerakan kantung gas semakin cepat sehingga turbulensi semakin besar di daerah dinding pipa pada bagian atas pipa uji, dan

Kegiatan perekaman data ke dalam sofware microsoft access telah direkam sebanyak 3.035 data (table 2), yang diperoleh dari data yang terekam di buku induk

Rancang bangun Antena Heksacula Binomial Unidireksional pada proyek akhir ini mengikuti prosedur diagram alir seperti di bawah ini yang diharapkan akan menghasilkan suatu