• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR HUKUM PENETAPAN DALAM PERKARA ITSB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DASAR HUKUM PENETAPAN DALAM PERKARA ITSB"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

D A S A R H UK UM PE NE T A PA N D A L A M PE R K A R A I T S B A T NI K A H D I PE NG A D I L A N A G A M A D A N M A H K A M A H S Y A R I A H

D I I ND NE S I A

Nur Moklis

email: nur.moklis1 gmail.com

I . PE ND A H UL UA N

B erbicara tentang nikah sirri, maka sebagian masyarakat akan memahami sebagai pernikahan yang dirahasiakan oleh dua orang mempelai, wali nikahnya dan para saksi sehingga masyarakat luas tidak mengetahui telah terjadi peristiwa pernikahan tersebut, namun mayoritas masyarakat Indonesia memahami nikah sirri sebagai peristiwa pernikahan yang dilaksanakan menurut ajaran agama yang dianut dua calon mempelai namun tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang, bagi seorang muslim adalah K antor Urusan A gama (K UA ) atau bagi yang non-muslim pada D inas K ependudukan dan C atatan S ipil. Nikah sirri jenis pertama jelas dilarang oleh ajaran agama Islam karena bertentangan dengan Hadits Nabi S A W yang memerintahkan adanya walimah (perayaan pernikahan) . B eliau bersabda: “A dakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing”.(HR . Muslim: 2557).

1

D engan adanya walimah tentunya akan terhindar dari fitnah dan resiko lain yang tidak diinginkan baik untuk mempelai dan keluarganya. A dapun jenis nikah sirri yang kedua biasa disebut nikah “bawah tangan” karena pernikahan ini telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan menurut ajaran agama namun tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang.

S ecara realita jumlah pelaku nikah di “bawah tangan” masih sangat banyak, tentu dengan berbagai alasan yang melingkupinya. Setidaknya sampai bulan Nopember 2017, terdapat sekitar 300 perkara permohonan yang diajukan di Pengadilan A gama Martapura lebih dari 70  adalah Istbat Nikah.

2

S ementara itu aturan perundang-undangan sangat membatasi aturan istbat nikah sebagaimana dalam Pasal 7 Instruksi Presiden No. 1 T ahun 1991 tentang Penyebarluasan K ompilasi Hukum Islam (K HI) yakni sebagai berikut:

1

T entang perintah melalukan pelaksanaan pesta pernikahan juga dapat ditemukan dalam Hadis Muslim yang lain 823, 824, dan juga Hadis B ukhori 1855, 1856.

2

(2)

1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan A kta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2) D alam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan A kta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan A gama.

3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan A gama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. A danya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya akta nikah;

c. A danya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d. A danya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 T ahun 1974;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 T ahun 1974. 4) Y ang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri,

anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

3

Pada Makalah ini Penulis akan mengkaji tentang dasar hukum penetapan dalam perkara itsbat nikah di Pengadilan A gama, guna mengetahui secara factual, A pakah penetapan tersebut telah sesuai dengan aturan Perundang-Undangan , ataukan para hakim Pengadilan A gama memiliki alasan lain untuk mengistbatkan nikah dibawah tangan tersebut .

I I . PA ND A NG A N M A S Y A R A K A T T E NT A NG NI K A H “B A W A H T A NG A N”

A pabila diamati secara detail dan teliti di lingkungan masyarakat yang

menjalankan praktek nikah sirri di wilayah tersebut tidak mengalami kendala

yang berarti dalam aspek pergaulan di masyarakat. Pemahaman tentang

pernikahan yang cukup simpel dengan mencukupkan terpenuhinya syarat dan

rukun nikah, dengan tanpa melengkapi admintrasi untuk pencatatan pernikahan

yang telah dilaksanakan pada K antor Urusan A gama (K UA ) setempat tidak akan

mengganggu keharmonisan hidup di masyarakat setempat. Hal ini akan

menyadarkan kita bahwa keberadaan pemahaman ajaran agama tidak lepas dari

pengaruh realitas sekelil ingnya. Pertemuan antara doktrin agama dengan realitas

sekelilingnya menghasilkan konten budaya. Pertemuan ajaran agama dengan

realitas sosial seringkali kita temui dalam praktek kehidupan sehari-hari, karena tidak mungkin ajaran agama berada dalam realita yang vacum (original) , ambil sebuah contoh perayaan idul fitri di Indonesia dengan tradisi sungkeman,

3

(3)

silaturrahmi dengan yang lebih tua, kepada para guru, ulama, para kyai adalah sebuah bukti keterkaitan antara ajaran agama dengan budaya.

B agi masyarakat tertentu nikah sirri mampu menyelesaikan masalah seseorang yang menginginkan untuk membangun sebuah keluarga sakinah mawaddah dan penuh rahmah, dengan tanpa menyadari bahwa dengan terjadi peristiwa pernikahan akan menimbulkan hukum keperdataan yang mengiringinya. Pelaku nikah di “bawah tangan”, tetap diterima masyarakat sesuai kapasitasnya, bagi tetua masyarakat tidak akan mereduksi ketokohannya, bagi seorang tuan guru

tidak akan menggangu kewibawaanya dan bagi masyarakat biasa tidak akan

mengurangi eksistensinya. Dengan penerimaan ini membuat para pelaku nikah

bawah tangan mendapatkan “penguat” dari masyarakat setempat bahwa apa yang

mereka lakukan adalah wajar. T eori Penguat (reinforcement theory) dapat

digunakan untuk menerangkan berbagai tingkah laku sosial tersebut. S alah satu

teori untuk menerangkan terbentuknya sikap ini dikemukakan oleh D arryl Beum

(1964) yang juga pengikut S kinner. Ia mendasarkan diri pada pernyataan S kinner

bahwa tingkah laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggota-anggota

masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah laku secara

tertentu ( yang dikehendaki oleh masyarakat).

4

I I I . NI K A H “B A W A H T A NG A N” D I L A K UK A N S E C A R A T UR UN T E M UR UN A pakah para hakim Pengadilan A gama memiliki alasan lain untuk mengistbatkan nikah dibawah tangan yang ada sekarang S elain mengacu pada peraturan perundang-undangan. Penulis akan sajikan sejumlah fakta menarik berikut ini.

Penulis sering melakukan sidang keliling diberbagai tempat selama bertugas di Pengadilan A gama. Penulis pernah melakukan penelitian di 4 (empat) desa yang terdiri D esa S impang W arga dan D esa Podok K ecamatan A luh-A luh, D esa S ungai L urus K ecamatan S ambung Makmur dan D esa L ok B aintan D alam K ecamatan S ei/ S ungai T abuk K abupaten Banjar Provinsi K alimantan, Penulis mengambil sampel 65 keluarga yang telah melaksanakan nikah sirri, 63 keluarga

adalah penduduk asli di desanya atau setidaknya adalah tetangga D esa dalam satu

kecamatan, dan sudah saling mengenal baik antara keluarga pria dengan keluarga

4

(4)

wanita. Nikah secara sirri ini bukanlah digenerasi mereka saja, namun juga

dilaksanakan pada generasi sebelumnya. D engan adanya tokoh desa yang menjadi

panutan dan sangat dihormati yang mampu menjaga tradisi serta sedikitnya

masyarakat pendatang membuat situasi di lingkungan keluarga yang menikah sirri

nyaris tidak mengalami masalah berarti.

5

A da beberapa factor yang menjadikan nikah sirri ini tetap berlanjut sampai

sekarang. Penulis meringkas factor-faktor yang ada dilapangan sebagai berikut:

6

a. F aktor pemahaman tokoh agama dalam memahami ajaran khusunya pencatan dalam pernikahan. D alam lingkup sosio kultural masyarakat yang sangat menghormati ketokohan dan kharisma seorang alim (bentuk jamak  ulama) atau dengan sebutan tuan guru, namun tidak semua tokoh agama memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya pencatatan pernikahan, sehingga berakibat masih banyaknya masyarakat yang melalukan nikah tanpa dicatatkan (nikah sirri).

b. F aktor pendidikan. R endahnya pendidikan masyarakat D esa S impang W arga dan D esa Podok K ecamatan A luh-A luh, D esa S ungai L urus K ecamatan S ambung Makmur dan D esa L ok B aintan Dalam K ecamatan S ei/ S ungai T abuk K abupaten B anjar Provinsi K alimantan jika diukur secara rata-rata, sehingga kurang memahami adanya aturan pemerintah terhadap pernikahan, sehingga mau melakukan pernikahan sirri.

c. F aktor rendahnya pemahaman terhadap hukum. B anyak masyarakat yang kurang paham terhadap hukum pernikahan yang sesuai dengan aturan pemerintah, tentunya ini juga diakibatkan rendahnya tingkat pendidikan. d. F aktor B udaya/ kebiasan dalam masyarakat. Pada faktor ini memegang

peranan sangat menentukan yang dapat memungkinkan nikah sirri terjadi, calon mempelai dan keluarganya merasa cukup untuk melaksanakan pernikahan pada seorang tokoh agama, karena berkeyakinan pencatatan nikah bukanlah hal penting karena pencatatan pernikahan bukan termasuk bagian dari syarat maupun rukun dalam pernikahan.

5

Nur Moklis, Nikah Sirri B erlatar B udaya di K abupaten B anjar K alimantan Selatan, http://hukum-i.blogspot.co.id/2016/09/nikah-sirri-berlatar-budaya-di.html, akses tanggal 09 Nopember 2017

6

(5)

e. F aktor kebutuhan seks (kebutuhan biologis). Hal ini juga dapat di pertimbangkan karena bagian dari kebutuhan dasar manusia untuk melanjutkan silsilah nasabnya.

f. F aktor persepsi masyarakat tentang mahalnya biaya untuk nikah di K antor Urusan A gama (K UA ). S ebagian masyarakat merasa bahwa biaya yang dikeluarkan karena untuk pernikahan di K UA cukup mahal, hal tersebut dimungkinkan kurangnya informasi yang di dapat oleh masyarakat setempat bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pembebasan biaya pernikahan di K antor Urusan A gama ( K UA ).

D alam teorinya D arryl B eum (1964), menyatakan bahwa dalam interaksi

sosial terjadi 2 macam hubungan fungsional, yang pertama adalah hubungan

fungsional dimana terdapat kontrol penguat (reinforcement control) yaitu jika

tingkah laku balas (response) ternyata menimbulkan penguat (reinforcement) yang

bersifat ganjaran (reward). D alam hal ini ada tidaknya atau banyak sedikitnya

rangsang penguat akan mengontrol tingkah laku balas. T ingkah laku untuk

mendapat ganjaran tersebut disebut tingkah laku operan (operant response).

S edang hubungan fungsional kedua hanya terjadi jika tingkah laku balas hanya

mendapat ganjaran pada keadaan-keadaan tertentu. T eori B elajar melalui

Instrumental C onditioning juga menerapkan prinsip pemberian hadiah ( reward)

dan hukuman (punishment) terhadap munculnya respon-respon dari subyek.

R espon yang muncul sesuai yang dikehendaki diberi hadiah, sedangkan respon

yang muncul tidak sesuai dengan kehendak dikenai hukuman.

7

D alam hal nikah sirri masyarakat di D esa S impang W arga dan D esa Podok K ecamatan A luh-A luh, D esa S ungai L urus K ecamatan S ambung Makmur dan D esa L ok B aintan K ecamatan S ei/ S ungai T abuk K abupaten B anjar Provinsi K alimantan tersebut tidaklah dianggap sebagai suatu peristiwa negatif yang harus mendapatkan hukuman (punishment) secara sosial dari masyarakat. Pernikahan

yang tidak dicatatkan pada K UA setempat masih dipandang oleh masyarakat

setempat menjadi solusi pemecahan untuk calon mempelai yang sudah saling

mencintai guna membangun sebuah keluarga sesuai dengan ajaran agama dan oleh

masyarakat para pelaku nikah sirri diberi sebuah apresiasi, hadiah (reward) karena

telah menjalankan bagian dari ajaran agama.

7

(6)

I V . D A S A R H UK UM PE NE T A PA N D A L A M PE R K A R A I T S B A T NI K A H D alam pemeriksaaan perkara Itsbat nikah Penulis akan mengambil beberapa sampel penetapan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2017. D alam masing-masing sampel tersebut setiap tahunnya Penulis sajikan 3 (tiga) penetapan istbat nikah. A dapun secara sampel penetapan secara lengkap sebagai berikut table dibawah ini.

8

T abel

S ampel I stbat nik ah tahun 2010 s.d. tahun 2017

T ahun Penetapan

No. Per kar a

D asar H uk um Penetapan I stbat Nik ah tahun 2010 s.d. 2017

al-Qur’an Hadits UU K HI PP K itab F iqih T eori Sosial Pendapat Pakar 2010

0860/Pdt.G/2010/PA .K ds. 0008/Pdt.P/2010/PA . K ds. 0005/Pdt.P/2010/PA .K ds.

- - - - - - - - - v v v - - - v v v - - - - - - 2011

0595/Pdt.G/2011/PA .K ds. 0500/Pdt.G/2011/PA .K ds. 0113/Pdt.P/2011/PA .K ds.

- - - - - - - - v v v v - - v v v - - - - - - 2012

0030/Pdt.P/2012/PA .K ds 0083/Pdt.P/2012/PA .K ds. 0082/Pdt.P/2012/PA .K ds.

- - - - - - - v - v v - - - - - v v - - - - - - 2013 0162/Pdt.P/2013/PA .Mtp 0238/Pdt.P/2013/PA .Mtp 0284/Pdt.P/2013/PA .Mtp - - - - - - v v v v v v - - - v v v - - - - - v 2014 0173/Pdt.P/2014/PA .Mtp 0072/Pdt.G/2014/PA .Mtp 0006/Pdt.P/2014/PA .Mtp - - - - - - v v v - v v - - - v v v - - - - v - 2015 0083/Pdt.P/2015/PA .Mtp 0062/Pdt.P/2015/PA .Mtp 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp

- - v - - v v v v v v v v v - v v v - - v - - - 2016 0174/Pdt.P/2016/PA .Mtp 0183/Pdt.P/2016/PA .Mtp 0143/Pdt.P/2016/PA .Mtp - - - - - - v v v v v v - - - v v v - - - - - - 2017 0074/Pdt.P/2017/PA .Mtp 0203/Pdt.P/2017/PA .Mtp 0208/Pdt.P/2017/PA .Mtp - - - - - - v v v v v v - - - v v v - - - - - -

S ecara garis besar dalam penetapan istbat nikah, hakim yang memeriksa perkara tersebut menuangkan hasil keputusannya dalam bentuk sebuah penetapan.

9

8

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017

9

(7)

A pabila diamati secara teliti penetapan tersebut terdiri dari kepala putusan, identitas para pihak, duduk perkara, dan pertimbangan hukum serta amar penetapan dan tanggal penetapan tersebut.

Pada sampel-sampel penetapan diatas hakim yang memeriksa perkara istbat nikah terlebih dahulu mempertimbangakan legal standing para pihak, mempertimbangakan kompetensi absolute dan kompetensi relative Pengadilan A gama, alasan pokok para pihak mengajukan perkaranya, kemudian pada dasar hukum yang digunakan hakim pemeriksa perkara adalah dengan menggali fakta-fakta melalui pembuktian surat-surat dan juga menggunakan alat bukti saksi-saksi.

10

S etelah mempelajari dengan teliti table diatas, kemungkinan besar masyarakat pemerhati hukum dan peradilan akan bertanya, mengapa setelah hukum islam (baca: K ompilasi Hukum Islam) sudah eksis (terkodifikasi) sebagai sumber materiil peradilan agama, Hakim A gama masih mengutip kitab-kitab fikih klasik sebagai rujukan untuk memutus perkara istbat nikah di Pengadilan

T entang hal tersebut Penulis berusaha mencari sumber baik dari peraturan-peraturan perundang-undangan dan bertanya langsung pada beberapa Hakim Peradilan A gama. A khirnya penulis berkesimpulan bahwa alasan utamanya adalah, pertama; landasan Hukum menggunakan kitab-kitab fikih klasik merujuk pada S urat E daran Biro Peradilan A gama No.B /1/735 tanggal 18 F ebruari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 T ahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan A gama/ Mahkamah S yariah di L uar J awa dan Madura. D alam huruf b surat E daran tersebut di J elaskan sebagi berikut:

“Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para hakim Pengadilan A gama/ Mahkamah S yariah dianjurkan agar mempergunakan sebagi pedoman kitab-kitab tersebut di bawah ini:

1. A l-B ajuri 2. F athulmui’in

3. S yarqowi alat’ tahrir 4. Qolyubi/Mahalli

5. F athul W ahab dengan S yarahnya 6. T uhfah

7. T arghibul Musytaq

8. Qowanin syar’iyah lis sayyid bin Y ahya

9. Qowanin syar’iyah lis sayyid S adaqah D achlan

Peradilan A gama, Buku II P edoman Penyelesaian Tugas D an Administrasi P eradilan Agama E disi Revisi, T ahun 2013.

10

(8)

10. S yamsuri fil F ara’idl 11. B ughyatul Musytarsyidin

12. A lfiqu A laa Mandzahibil A rba’ah 13. Mughnil Muhtaj.”

11

K edua, Pengkutipan dari kitab-kitab fikih klasik, kaidah-kaidah fiqhiyah merupakan salah satu idenditas intelektual yang ingin di tunjukkan kepada public bahwa para Hakim Peradilan A gama adalah para ilmuan dalam hukum Islam dan tetap menghormati fara fuqaha ( pakar hukum Islam) terkemuka di dunia Islam dengan mengambil alih pendapat mereka yang memiliki relefansi dengan perkara yang sedang diperiksa dan di adili.

12

Hal ini jika diperhatikan dengan seksama tentang banyaknya penetapan itsbat nikah

13

ternyata, langkah yang ditempuh para hakim yang mengadili perkara sesuai dengan tujuan pembentukan hukum islam (maqashid al-syari’ah), yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan primernya (dhoruriyah), memenuhi kebutuhan skundernya (hajiyah) dn serta kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah)

14

. Muhammad A bu Z ahra menyatakan bahwa tujuan pemberlakuan hukum syari’ah adalah untuk kesejahteraan manusia.

15

Hal tersebut sesuai dengan firman A llah S W T dalam A l-Qur’an bahwa tidaklah A llah mengutus Muhammad S A W kecuali dengan tujuan mensejahterkan alam seisinya

A pabila diperhatikan dengan seksama, dari sampel beberapa penetapan tentang istbat nikah diatas, Majelis yang memeriksa perkara tersebut tidak sebatas memahami aturan perundang-undangan secara tektual semata namun terlihat adanya pertimbangan dari aspek sosiologis, antropologis dan juga kultur

11

Surat E daran B iro Peradilan A gama No.B /1/735 tanggal 18 F ebruari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 T ahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan A gama/ Mahkamah S yariah di L uar J awa dan Madura. 13 kitab klasik tersebut merupakan rujukan utama dalam pembuatan K ompilasi Hukum Islam, selain kitab-kitab fiqih lainnya.

12

disarikan dari wawancara beberapa Hakim di Peradilan A gama. D alam beberapa pembinaan Pimpinan Mahkamah A gung R I, sering mengingatkan pentingnya menggali hukum yang hidup dalam masyarakat dan khusus untuk hakim peradilan agama juga sangat dianjurkan dalam pertimbangan hukum putusannya memahami dan menggali hukum dari para fuqaha terdahulu dalam kitab-kitab fiqih dan kaidah-kaidah fiqhiyah.

13

B anyaknya kebutuhan masyarakat tentang pelayanan administrasi kependudukan seperti akta kelahiran anak para pemohon dan lainya yang menyebabkan para hakim mengabulkan permohonan para pemohon istbat nikah tidak hanya pernikahan yang dilalukan sebelum di sahkannya undang-undang nomor 1 tahun 1974, namun juga dengan mempertimbangakan kemanfaatan, dan social justice, yang pada akhirnya permohonan para pemohon dikabulkan. L ihat: 0083/Pdt.P/2015/PA .Mtp., 0062/Pdt.P/2015/PA .Mtp., 0223/Pdt.P/2015/PA .Mtp dan lainya sebagaimana dalam table diatas.

14

A bdul W ahab K holaf, Ilmu Ushul F iqih, D arul Qalam, 1978, Hal. 197

15

(9)

masyarakat setempat. 16

D an hal itu ternyata bukanlah hal yang mudah bagi para pengadil tersebut. D ialektika perdebatan antar pengadil yang memeriksa perkara istbat nikah juga sangat ketara dalam memutuskan sebaian penetapan mereka. Hal itu dapat dilihat dari sebuah kalimat yang Penulis kutip, bahwa:

“ oleh karena terjadi perbedaan pendapat (D issenting pinion) dalam musyawarah Majelis Hakim, dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi tidak tercapai permufakatan, maka Majelis Hakim setelah bermusyawarah dan diambil keputusan dengan suara terbanyak ”.

17

T erlepas dari kasus-kasus particular sebagaimana Penulis uraikan diatas sebagaimana dalam sample penetapan diatas, dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. K eadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. S istem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.

18 A mbil contoh saja dalam konsep keadilan dalam pemikiran hukum progresif. D isini di uraikan bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. A kibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. K eadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.

B agaimana mungkin itu terjadi, karena kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau

16

L ihat penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp. B erlatar belakan pernikahan menggunakan wali ayah angkat. D alam perspektif K HI, hal tersebut tidaklah dibenarkan. D isini selain merujuk peraturan perundang-undangan dalam pertimbangan hukum juga memperhatikan social justice. D alam hal penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp. diatas, Majelis Hakim merujuk pada Undang-Undang Nomor 48 T ahun 2009 T entang K ekuasaan K ehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan: “H akim dan Hakim K onstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” jo. Pasal 3 ayat ( 2) Undang-Undang Nomor 39 T ahun 1999 tentang Hak A sasi Manusia yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum” sehingga hal ini secara tidak langsung menuntut jiwa seorang hakim untuk memberikan rasa keadilan yang berlandaskan asas manfaat dan asas kepastian hukum, dan mengenai kedudukan seorang wali terhadap pernikahan yang dilakukan seorang wanita yang berstatus janda, Majelis Hakim memiliki pandangan dan pendapat yang merujuk pada mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa pernikahan tanpa wali itu sah, hal ini sesuai firman A llah dalam surah al B aqarah ayat 230, 232 dan 234

17

L ihat dalam perkara isbat nikah dalam Penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA .Mtp. https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017

18

(10)

kemenangan ”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). S istem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.

19

D alam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah A gung memegang peranan yang sangat penting. S ebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.

20

Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang atau kalah, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. K eadilan progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.

21

Hukum Islam sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. kuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang pokoknya.

22

Hudari B ik berpendapat bahwa dalam pembinaan hukum Islam, setidaknya ada tiga asas.

23 a) ‘ A damul H arj (T idak M enyempitk an).

Haraj menurut bahasa A rab adalah sempit. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa syari’at ini didasarkan atas dihilangkannya kesempitan. F irman A llah T a’ala:

19

Ibid, hlm. 272

20

K edailan substantive dalam konsep hukum progresif nampaknya telah dijalankan oleh hakim-hakim Pengadilan A gama selama ini, jika secara procedural perkara istbat nikah hanya boleh secara limitative sebagaimana dalam pasal 7 ayat 3 K ompilasi Hukum Islam, yang hanya terbatas pada A danya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, Hilangnya akta nikah, A danya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, A danya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 T ahun 1974, Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 T ahun 1974, namun secara factual sebagian penetapan menyimpangi ketentuan pasal diatas untuk mewujudkan social justice. L ihat dalam table penetapan diatas di: https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017.

21

S atjipto R ahardjo,p.,C it., hlm. 276

22

T .M Hasbi A sh S hiddieqy, F alsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka R izki Putra, 2001, hlm. 58.

23

(11)

2       

N6 / t

9 

v uq    

N6 / u

 9

A rtinya: “A llah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-B aqarah ayat 185).

t

Bu

q

y

y

/

3 

n

t

 

 

c

9

 

B

7

k t

y

l

3

A rtinya:“D ia telah memilih kamu dan D ia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S . A l-Hajj ayat 78).

t

 

t

 u

q

N

f 

Zt

N

c u



 

)

n

F

z 

u

q

“

L

9

Mt

R

.



f 

n

t

3

A rtinya: dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka (Q.S . A l-A ’raf ayat 157)

Maksudnya adalah dalam syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada B ani Israil. Umpamanya: mensyariatkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis. Dan hadits Nabi : ”Aku diutus dengan agama yang ringan”

Menurut Y usuf al-Qaradhawi, 24

memudahkan adalah manhaj al-Qur’an dan Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat. B eliau memerintahkan mereka untuk mengikutinya. B aik individu maupun jamaah. K etika mengutus A bu Musa dan Muadz bin J abal ke Y aman, beliau mengutus dengan wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar gembira bukan ketakutan, dan taatlah bukan berselisih”. Hal yang beliau wasiatkan kepada Muadz dan A bu Musa beliau wasiatkan juga kepada umat. A nas meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “Mudahkanlah dan jangan menyulitkan, berilah kabar gembira dan jangan ketakutan.” (Muttafaq alaih). D engan demikian yang dicipta adalah memudahkan dalam fatwa, dan memberi kabar gembira dalam dakwah.

25

Ulama sering menguatkan pendapat mereka dengan perkataan “Ini lebih mudah bagi manusia”. J ika berijtihad, merekapun sering membetulkan muamalah manusia sesuai dengan kemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada kaidah-kaidah syariat, seperti al-dharurat tubih al-mahzhurat (keadaan darurat

24

Y usuf al-Qaradhawi, D irasah fi F iqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. A rif Munandar R iswantom F iqih Maqashid Syariah, J akarta: Pustaka al-K autsar, 2007, hlm. 158.

25

(12)

membolehkan hal yang terlarang), al-hajah tunazzil manzilah al-dharurah (kebutuhan mendesak disesuaikan dengan kedudukan darurat), al-dharar yuzal (darurat harus dihilangkan), al-adah muhakkamah (adat menjadi hukum), al-masyaqqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidah-kaidah lainnya yang dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks-teks dan hukum-hukum syariat.

26 .

D i sini harus diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh A bu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya, Imam Ibnu A bdil B arr dalam al-Ilm, dan Imam an-Nawawi dalam muqaddimah kitab al-Majmu‟ dari Imam Sufyan bin S aid al-T sauri, yang menjadi imam dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’. Ia berkata dengan ungkapan yang sangat agung, F iqih adalah pemberian rukhshah dari tokoh yang tsiqat, sedang memberikan tuntutan hukum yang keras dapat dilakukan oleh semua orang.”

27

K ita harus memperhatikan perkataannya bahwa rukhshah dari ulama yang tsiqat, yaitu ulama yang dipercayai kefaqihan dan kesalehan agamanya. S edangkan orang yang tidak memiliki kedua hal itu atau salah satunya maka bisa saja ia memberikan rukhshah dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga tindakannya itu melanggar dalil-dalil syari’at yang qath‟i dan muhkamat serta kaidah-kaidahnya. Hal ini tentunya tidak dapat diterima oleh insan muslim yang cinta dan teguh memegang agamanya.

28

Y usuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa maksud dari kemudahan itu mengandung beberapa perkara

29 :

1) Memperhatikan sisi keringanan atau rukhshah.

2) Memperhatikan kondisi yang mendesak dan kondisi yang meringankan. 3) Memilih yang paling mudah dan bukan yang paling hati-hati di zaman kita

hidup masa kini 30

.

26

Salah satu contoh bahwa R asulullah S A W mempraktekkan kemudahan ialah ketika beliau memperhatikan karakter orang-orang E thiopia yang senang menari dan bermain. leh karena itu, beliau mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid beliau yang mulia. Saat itu Umar melempari mereka dengan kerikil, R asululah S A W bersabda kepadanya, “Biarkanlah mereka wahai Umar”. ( Muttafaq alaih) . D alam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah Bani Rafdah. L ihat juga Y usuf al-Qaradhawi, “T aisir al-F iqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi D ahu al-Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan A bdul Hayyie al-K attani, M. Y usuf W ijaya, dan Noor C holis Hamzain, F iqih P raktis bagi K ehidupan Modern, J akarta: Gema Insani Press, 2002, hlm.

27

Ibid, hlm. 21

28

Ibid.

29

(13)

4) Membatasi dalam masalah-masalah yang wajib dan yang haram. 5) Membebaskan diri dari fanatisme mazhab.

6) K emudahan dalam semua masalah.

T erkait dengan prinsip ini, dalam kaidah fiqih terdapat kaidah yang berbunyi al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendorong kemudahan) yang oleh A li Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya perhatian syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. B ahkan al-S ya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih disukai A llah S W T .

31 b) T aqlil al-T aklif (M enyedik itk an B eban)

Menyedikitkan beban merupakan konsekuensi logis bagi tidak adanya menyulitkan (asas pertama), karena di dalam banyaknya beban mengakibatkan kesempitan. rang yang menyibukkan diri terhadap al-Qur’an untuk melihat perintahperintah dan larangan-larangan yang di dalamnya niscaya dapat menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas dan mudah mengamalkannya, tidaklah banyak perincianperinciannya sehingga banyaknya itu tidak menimbulkan kesulitan terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab A llah yang kuat. S ebagian dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman A llah T a’ala dalam surat al-Maidah yang berbunyi:

pjr t 

  (

pZtBu  v ( ptn 

 t u u r a ) y 6 

N3 s9 

N. r n a )uq

( ptn pj]t

t  l  A t

 a u) 9 y

7 

N3 s9 t    pj]t 2   uq 

 p “

yl 

30

A l-Qaradhawi berkata-Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang A llah tunjukkan kepada saya dan saya akan selalu komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa dan pengajaran. S aya akan mengambil yang mudah dalam masalah furu‟ ( cabang) dan tegas dalam masalah yang ushul ( pokok) . J ika dalam satu masalah terdapat dua pandangan yang berbeda dan dua pendapat yang sama berdekatan, satu diantaranya penuh kehati-hatian, sedangkan yang satunya lagi lebih mudah, maka selayaknya bagi kita untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi seluruh manusia dan jangan mengambil yang paling hati-hati. A lasan dan hujjahnya ialahperkataan A isyah, “T idaklah R asulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia memilih yang paling gampang di antara keduanya selama itu tidak mengandung dosa. S iapa pun yang belajar fiqih sahabat dan para ulama salafus shalih ( ujar al-Qaradhawi) , dia akan mendapatkan bahwa fiqih yang mereka ambil umumnya mengarah kepada fiqih yang lebih mudah, sedangkan fiqih setelah sahabat lebih cenderung kepada kehati-hatian. Ishom T alimah, Ibid, hlm. 95.

31

(14)

A rtinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu A l Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, A llah memaafkan (kamu) tentang hahal itu. A llah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” ( Q.S .A l-Maidah ayat 101)

Masalah-masalah yang dilarang ini adalah sesuatu yang telah dimaafkan oleh A llah yakni didiamkan pengharamannya seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu diampuni dalam meninggalkannya.

c) B er angsur -angsur M endatangk an H uk um

D alam menetapkan suatu hukum, hendaknya tidak dilakukan secara radikal, karena masyarakat akan sulit untuk melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan setahap demi setahap. S ebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kewajiban bagi pengendara sepeda motor agar menyalakan lampu di siang hari secara sekaligus, maka masyarakat akan menentangnya karena belum mengetahui tujuan dari hal tersebut, namun masyarakat akan mudah menerima dan melaksanakannya jika peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah masyarakat memahami manfaatnya.

32

D alam sosiologi Ibnu K haldun dinyatakan bahwa suatu masyarakat (tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada. Masyarakat senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.

33

D engan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka, al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. D engan cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong ke arah menaatinya, serta bersiapsiap meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.

34

32

R achmat D jatnika, J alan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah P emahaman Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, D imensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, A mrullah A hmad, dkk (ed) , et. al., J akarta: G ema Insani Press, 1996, hlm. 107-108.

33

F atchurrahman D jamil, F ilsafat Hukum Islam, J akarta: L ogos W acana Ilmu, 1997, hlm.69

34

(15)

B erangsur-angsur mendatangkan hukum, artinya A llah dalam mendatangkan hukum-hukumnya tidak dengan sekaligus, tetapi diangsur dari satu demi satu. Misalnya tentang hokum dilarangnya orang meminum khamar dan main judi. K etika R asulullah S A W ditanya tentang hukum keduanya itu oleh sebagian kaum muslim yang telah meminum khamar dan main judi, maka turun firman A llah dalam surat al-B aqarah yang berbunyi:

y

7 tRpto 

 t 

J y 9  yJ 9uq

(   

yJ f  

N) 

72 

 oYtBuq 

 Z9 

yJ f J )uq 

t92 r  B

yJ f R 2 

 tRptouq stB

t a p) Z 

 u

py9 2 

 9 . 

 ht7     N3 s9 

Mt F  

N6 ys9 t

a q3 tFs



A rtinya: mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. K atakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. K atakanlah: " yang lebih dari keperluan." D emikianlah A llah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. A l-B aqarah ayat :219)

D alam ayat ini tidak jelas kelihatan tentang terlarangnya kedua perkara yang ditanyakan itu, padahal sebenarnya sudah terkandung di dalamnya larangan keras, karena segala yang mendatangkan dosa bagi orang yang mengerjakannya sudah dilarang keras orang mengerjakannya

35 .

B elakangan diturunkan pula satu ayat yang berarti melarang orang mengerjakan shalat dikala mabuk yang bunyinya :

pjr t t

  (

pYtBu  v (

p/t) s n

n4pn 9 

FRruq 3

 ts3  4

“Lyl (

pJ ns tB t

a p9p) s 

v uq 7Y  v )

 /t 

6y 4

“Lyl (

ptFs 3 a )uq LY. 

“y D 

qr 4  nt  y  qr u y ” tmr N3 YhB z

 hB 

 t9

 qr 

LyJ s9 u

hY9 

Nns (

qfrB Z

tB (

pJ J utFs 

7gs (

pr Bs 

N3 c p p/ 

N3   ruq 2

 a )

   t a . pt  p 

A rtinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam K eadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam K eadaan junub[ 301] , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu

35

(16)

tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya A llah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (Q.S .A n-Nisa’ ayat 43)

K emudian pada suatu saat diturunkan pula ayat yang tegas jelas melarang orang meminum arak dan bermain judi, yang bunyinya:

p

j

r

 

t

t

 



(

p

Y

t

B

u

yJ R) 

J s:  

 yJ 9uq 

  RFz uq 

Ns9Fz uq ”

   

 hB 

yJ t 

 s  9

mp7tG s 

N3 ys9 t

a pr  

yJ R) 

  

 s  9 a r

y  p 

N3 uZt/ n

nuqyy9 u

 t79uq  

 Ks: 

  yJ 9uq 

N.  t uq  t

 .     

 t uq 

n4pn 9 (

 yf s LRr t

a pjtJZB 

A rtinya:Hai orang-orang yang beriman, S esungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[ 434] , adalah T ermasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. S esungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat A llah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S . A l-Maidah ayat 90-91)

B arulah dengan ayat ini jelas terlarangnya orang meminum arak dan bermain judi, yang berarti supaya kedua macam perbuatan itu dijauhi benar-benar oleh segenap orang yang beriman.

F athurrahman D jamil menambahkan dua asas lagi, yaitu sebagaimana tersebut dibawah ini:

d) M emper hatik an K emaslahatan M anusia

Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke seluruh dunia. Maka tentulah pembina hokum memperhatikan kemaslahatan masing-masing mereka sesuai dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya. J ika kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang kecil.

36

D alam masa kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat dan nash sebagai pokok atau dasar tasyri’nya. Hampir pada semua kejadian dan kasus yang dihadapinya diputuskan dengan tujuan untuk maslahat ammah. J ika dalam suatu kejadian ada nash khususnya, maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu

36

(17)

dapat membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu membawa dua sisi manfaat. K arena penguasa jika memutuskan satu keputusan hanya karena menurutnya hal itu ada kemaslahatannya, dan dengan sengaja melanggar nash, maka putusannya itu tidak harus dipatuhi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Nujaim

37 .

Umar selalu berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak ditolak oleh akal, di samping ia juga selalu berpegangan pada keputusan-keputusan tasyri’ yang umum. A dapun jika dalam masalah yang tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu Umar tidak mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan menggunakan ra’yu dan ijtihadnya dan mengatakan bahwa itu adalah maslahat, dengan tanpa mengaitkan dan menguatkannya dengan alasan lain

38 . e) M ewuj udk an K eadilan yang M er ata.

Manusia di dalam hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih melebihi karena kebangsaan, karena keturunan, karena harta atau karena kemegahan. T ak ada di dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila mereka berbuat zalim. S emua manusia di hadapan A llah Hakim yang Maha A dil adalah sama.

39

Nabi bersabda: A rtinya:“diriwayatkan dari A isyah r.a ia berkata;”ada seorang perempuan mahzumiah meminjam barang dan mengingkarinya. K emudian Nabi Muhammad saw menyuruh agar tangan perempuan itu dipotong. T etapi kemudian keluarganya datang kepada Usamah bin Z aid ra dan mengadukan hal itu. S elanjutnya Usamah bin Z aid menyampaikan pengaduan itu kepada Nabi. Nabi saw berkata,‟Hai Usamah, aku tidak melihatmu dapat membebaskan suatu hadd dari A llah A zza wa J alla‟. K emudian Nabi berdiri dan berkhotbah, seraya berkata.‟ S esungguhnya kehancuran generasi sebelum kamu adalah karena bila orang yang mulia dari mereka mencuri, maka mereka biarkan. B ila orang yang rendah dari mereka mencuri, maka mereka menegakkan hadd potong tangan atasnya. D emi D zat yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, A ndaikata F atimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya." D engan demikian maka tangan perempuan mahzumah itu dipotong. (HR . Muslim)

40

S etelah memperhatikan konsep hukum progresifnya Prof. sacipto R aharjo dan juga asas-asas Hukum Islam yang di kemukakan oleh Hudhari B ik, dan F athurrahman D jamil serta teori-teori Maqhasid syariah dalam tulisannya

37

Muhammad B altaji, Manhaj Umar Ibn al-K hathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-K hathab, J akarta: K halifa, 2005, hlm. 480.

38

Ibid.

39

T .M Hasbi A sh S hiddieqy, op. cit., hlm. 68-69.

40

(18)

A bdul wahab khalaf dan juga A bu Z ahra, dan memperhatikan contoh kasus nikah “bawah tangan” dengan sampel 63 keluarga diatas, nampaknya para pengadil Pengadilan A gama dalam kasus itsbat nikah sengaja menyimpangi pasal 7 ayat 3 K ompilasi Hukum Islam hanya semata-mata merealisir kemaslahatan bagi pelaku nikah “bawah tangan” dengan tujuan membangaun keluarga sakinah waddah dan penuh rahmah sebagaimana dalam ajaran Islam

V . K E S I M PUL A N

1. T erkadang dalam kasus Istbat nikah terhadap nikah “bawah tangan” para Pengadil menyimpangi ketentuan perundang-undangan guna mewujudkan tujuan-tujuan substansi sebagaimana yang di kemukakan Prof. Sacipto R ahardjo dalam hukum progresifnya, hal ini terlihat dalam penetapan isbat nikah nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp

2. D alam mengambil sebuah keputusan, hakim yang memeriksa perkara penetapan Istbat nikah selain menggunakan dasar Perundang-Undangan yang ada juga memperhatikan aspek soiokultural masyarakat setempat. D alam hal ini kadang terjadi perbedaan pendapat dalam mengambil sebuah keputusan hukum diantara hakim yang memeriksa sebuah perkara, meskipun fakta hukum yang di temukan dalam pembuktian tidak ada perbedaan diantara mereka.

D A F T A R PUS T A K A

A bdul Haq, A hmad Mubarok, dan A gus R o’uf, F ormulasi Nalar F iqh, T elaah K aidah F iqh K onseptual, S urabaya: K halista, 2006.

A bdul W ahab K holaf, Ilmu Ushul F iqih, D arul Qalam, 1978.

A l-Qaradhawi berkata-Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang A llah tunjukkan

C halil Moenawar, K embali K epada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, J akarta: PT Midas S urya, 1993.

D r. Muhammad F aturrahman, Belajar D an Pembelajaran Modern, K onsep D asar, Inovasi, dan T eori Pembelajaran, Penerbit Garudhawaca, J oqjakarta, 2017. F atchurrahman D jamil, F ilsafat Hukum Islam, J akarta: L ogos W acana Ilmu, 1997. http://pa-martapura.go.id/, akses tanggal 03 Nopember 2017

(19)

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017

Hudari B ik, T arikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Z uhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, D arul Ihya, 1980.

http://pa-martapura.go.id/, akses tanggal 03 Nopember 2017.

Instruksi Presiden No. 1 T ahun 1991 tentang Penyebarluasan K ompilasi Hukum Islam ( K HI)

Ishom T alimah, al-Qaradhawi F aqihan, diterjemahkan S amson R ahman, Manhaj F iqih Y usuf al-Qaradhawi, J akarta: Pustaka al-K autsar, 2001.

Mahkamah A gung R I D irektorat J endral B adan Peradilan A gama, Buku II Pedoman Penyelesaian T ugas D an Administrasi Peradilan Agama E disi Revisi, T ahun 2013.

Muhammad A bu Z ahra, Ushul F iqih, D arul F ikr A l-A rabi, T T , Hal. 164

Muhammad B altaji, Manhaj Umar Ibn al-K hathab fi al-T asyrii‟, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-K hathab, J akarta: K halifa, 2005.

Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, J ilid II, L ibanon: D ar al- K utub al-Ilmiyah, t.th.

Nur Moklis, Nikah S irri B erlatar B udaya di K abupaten B anjar K alimantan S elatan, http://hukum-i.blogspot.co.id/2016/09/nikah-sirri-berlatar-budaya-di.html, akses tanggal 09 Nopember 2017

Peraturan Pemerintah Nomor 9 T ahun 1975 T entang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 T ahun 1974

R achmat D jatnika, J alan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, D imensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, A mrullah A hmad, dkk (ed), et. al., J akarta: Gema Insani Press, 1996.

S atjipto R ahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit B uku K ompas, J akarta, 2006, hlm. 270

S urat E daran B iro Peradilan A gama No.B /1/735 tanggal 18 F ebruari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 T ahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan A gama/ Mahkamah S yariah di L uar J awa dan Madura

(20)

Undang-Undang Nomor 03 T ahun 2006 T entang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 T ahun 1989 T entang Peradilan A gama

Undang-Undang Nomor 1 T ahun 1974 T entang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 39 T ahun 1999 tentang Hak A sasi Manusia Undang-Undang Nomor 48 T ahun 2009 T entang K ekuasaan K ehakiman

Undang-Undang Nomor 50 T ahun 2009 T entang Perubahan ke dua Undang-Undang Nomor 7 T ahun 1989 T entang Peradilan A gama

Undang-Undang Nomor 7 T ahun 1989 T entang Peradilan A gama

Y usuf al-Qaradhawi, “T aisir al-F iqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi D ahu al-Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan A bdul Hayyie al-K attani, M. Y usuf W ijaya, dan Noor C holis Hamzain, F iqih Praktis bagi K ehidupan Modern, J akarta: G ema Insani Press, 2002.

Gambar

Tabel  Sampel Istbat nikah tahun 2010 s.d. tahun 2017

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum melakukan penelitian, peneliti belum melihat dan menemukan bentuk buku dan kajian lainnya yang membahas tentang partisipasi politik pemilih pemula pada

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan implementasi, berbagai macam kendala, dan solusi alternatif mengatasi kendala implementasi kompetensi pedagogik

Penelitian tersebut membahas tentang bagaimana sebuah robot lengan 3 sendi dapat memindah suatu barang dari satu posisi ke posisi yang lain.. Kekurangan dari penelitian ini yaitu

☺  !andakan (") di  di atas kertas $a%a&an untuk ken'ataanken'ataan 'an *eli+atkan &eker$aan &eker$aan 'an anda tidak suka atau tidak +er*inat... A

Lalu bagaimana menentukan besarnya usaha, jika gaya yang diberikan tidak teratur. Untuk menentukan kerja yang dilakukan oleh gaya yang tidak teratur, maka kita gambarkan gaya

Meskipun kondisi sarana dan prasarana di SMA Negeri 1 pangkep berada dalam kategori ideal guru penjas harus mampu memanfaatkan dan menggunakan secara maksimal

Penelitian ini membahas tentang perkuatan lentur balok beton bertulang menggunakan GFRP (glass fiber reinforced polymer) dan Wiremesh. Balok yang digunakan mempunyai dimensi

Dalam penelitian ini dicari kebenaran atas anggapan bahwa pembangunan pedesaan menjadi perkotaan akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu melalui