TUJUH TESIS JAUSS TENTANG RESEPSI
TUJUH TESIS JAUSS TENTANG RESEPSI
SASTRA
SASTRA
oleh:
oleh:
Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S.
Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S.
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Universitas Gadjah Mada
A. PENGANTAR
A. PENGANTAR
Teori sastra yang berorientasi pada realitas (semesta)
disebut sebagai teori mimetik yang bermula dari Plato dan dominan pada abad ke-18.
Teori yang berorientasi pada audiens disebut sebagai
teori pragmatik yang bermula dari Horace dan juga dominan pada abad abad ke-18.
Teori yang berorientasi pada pengarang disebut teori
ekspresif yang bermula dari Wordsworth dan dominan pada abad ke-19.
Teori yang berorientasi pada karya sastra sebagai
objek otonom, yang melahirkan kritik objektif, bermula dari Immanuel Kant dan dominan pada abad ke-19
Estetika resepsi merupakan terjemahan dari
Rezeptionaesthetik yang dapat disamakan dengan
literary response. Ia juga diterjemahkan sebagai “penerimaan estetik” sesuai dengan aesthetic of
reception. Akan tetapi, para ahli sastra lebih cenderung menggunakan terjemahan resepsi sastra sesuai
dengan istilah Franco Meregalli (Junus, 1985:1).
Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana “pembaca”
memberikan makna terhadap karya sastra yang
dibacanya, sehingga ia dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya.
Tanggapan itu bisa bersifat pasif, yaitu bagaimana
seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau bisa juga secara aktif, yaitu bagaimana ia
“merealisasikannya”.
Oleh karena itu, pengertian resepsi sastra mempunyai
Dalam rangka memahami suatu teks, karya sastra, sesuai
dengan hakikat karya sastra yang polisemi, yang ambigous,
maka ada satu keinginan untuk menemui “arti yang sebenarnya” dari teks itu.
Dalam hal ini, resepsi sastra mengakui adanya polisemi pada
sebuah karya sastra karena khalayak (audiens) berhak
memaknainya. Dalam pemaknaan ini, “arti” dikongkretkan
dalam hubungan penerimaan oleh khalayak itu sesuai dengan “pembawaan” karya itu kepada dunia khalayaknya, sehingga ia mempunyai akibat (Wirkung) terhadap pembacanya, artinya
sesuai dengan ideologi khalayaknya (Junus, 1988:2).
Menurut Roman Ingarden, kongkretisasi dilukiskan sebagai
sikap estetik, sedangkan rekosntruksi sebagai pengobjektifan tema. Kongkretisasi mengatur karya sastra secara fungsional, sedangkan rekonstruksi membuktikannya (Junus, 1988:29).
Adapun ideologi adalah dunia gagasan (Faruk, :1994:62), yaitu
gagasan masyarakat yang di dalamnya pembaca hidup. Jadi, ideologi pembaca itu pada hakikatnya adalah ideologi
masyarakat pendukungnya.
Dengan demikian, jika suatu karya sastra dibaca (dimaknai)
B. TUJUH TESIS JAUSS TENTANG RESEPSI
B. TUJUH TESIS JAUSS TENTANG RESEPSI
SASTRA (Bahannya diambil dari buku
SASTRA (Bahannya diambil dari buku Toward an Toward an Aesthetic of Reception
Aesthetic of Reception (1983), Bab III, hlm. 3-45)(1983), Bab III, hlm. 3-45)
TESIS I
1. Karya sastra bukan objek yang berdiri sendiri dan
menawarkan pandangan yang sama kepada setiap pembaca dalam setiap periode.
2. Karya sastra bukan pula sebuah monumen yang secara monologis menampilkan esensinya yang tidak berbatas waktu. Artinya, karya sastra itu dapat dimaknai oleh
pembacanya sesuai dengan periode (semangat) zamannya.
4. Sebuah karya sastra baru tidak dapat dihindari dari horison harapan pembaca pertamanya.
5. Karya sastra baru dapat membuka/membangkitkan kembali karya lama yang sudah dilupakan.
6. Karya sastra lama hanya dapat kembali ketika
resepsi baru menariknya kembali ke masa sekarang. 7. Karya sastra baru bukan hanya berkategori estetis
dalam bentuk inovasi, kejutan, pengunggulan,
TESIS II
TESIS II
1. Analisis pengaruh estetis terhadap sebuah karya .
sastra apakah dapat mendekati makna karya sastra tersebut secara keseluruhan atau hanya pemaknaan dengan selera sederhana.
2. Kondisi kesadaran individu bersifat momenter dan personal, sedangkan kondisi kesadaran kolektif – menurut Jan Mukarovsky – tidak dapat ditentukan secara empiris.
4. Sebuah karya sastra ketika muncul dipandang sebagai karya baru, walaupun sesungguhnya tidak menunjukkan sebagai karya yang benar-benar baru, melainkan akan dinilai sejauh mana karya sastra itu mampu mempengaruhi pembacanya. 5. Sebuah karya sastra dapat membangunkan memori
pembacanya sehingga menimbulkan sikap emosional khusus. Dalam konteks ini, pembaca memiliki horison
harapan pada tahap permulaan, pertengahan, dan akhir dari isi karya sastra tersebut.
6. Dalam proses pembacaan itu, pembaca dapat
mempertahankan isi cerita secara utuh atau mengubahnya, atau mengorientasikan kembali sesuai dengan selera
zamannya.
7. Proses penerimaan teks (proses pembacaan) merupakan kesan subjektif pembaca. Walaupun demikian, pembaca
TESIS III
TESIS III
1. Sejarah awal kemunculan karya sastra dapat dilihat pada “apakah ia memenuhi, melampaui,
mengecewakan atau menyangkal harapan pembaca pertamanya” ?
2. Jika hal-hal tersebut ada, maka karya sastra itu telah mengalami “perubahan horisontal”. Perubahan
horizontal ini merupakan konsekuensi dari implementasi estetika resepsi.
3. Penulis sebuah karya sastra bergantung pada
pandangan dan ideologi yang dianutnya, sedangkan karya sastra bergantung pada horison harapan
TESIS IV
TESIS IV
1. Ketika seorang pengarang tidak dikenal, tujuan penulisan karyanya tidak diungkapkan, akses
terhadap sumber data hanya bisa dilakukan secara tidak langsung, maka pertanyaan filologis dapat
diajukan sebagai berikut.
– Apa tujuan penulisan teks ?
– Pada masa apa teks itu dibuat ?
– Teks-teks apa saja yang menjadi hipogram teks yang disusunnya itu ?
– Siapa saja pembaca teks itu ketika pertama kali muncul ?
3. Putusan zaman dalam karya sastra adalah penilaian yang terakumulasi dari pembaca lain, pengamat, kritik dari para ahli. Putusan zaman juga berkaitan dengan penyingkapan potensi karya sastra yang diaktualisasikan pada sejarah pemahaman pembacanya.
4. Makna kebenaran sebuah karya sastra yang tidak berbatas waktu harus dipahami dan diinterpretasi oleh pembaca
kontemporer di luar sejarah penerimaan pembaca pendahulunya. Artinya, pembaca kontemporer harus
melepaskan diri dari hegemoni kebenaran masa lampau yang dibuat oleh pembaca pendahulu.
5. Menurut Gadamer dalam bukunya Truth and Method,
seseorang hanya dapat memahami sebuah teks ketika ia memahami pertanyaan yang ia sendiri mengetahui
jawabannya.
6. Pertanyaan masa lampau yang disusun kembali tidak
TESIS V
TESIS V
1. Teori estetika resepsi berkaitan dengan
pemahaman makna karya sastra dan
pemahaman bentuk karya sastra.
2. Memahami karya pengarang untuk
mengetahui poisisi dan signifikansinya dalam
konteks pengalaman sastra.
3. Ketika pengarang menulis karya sastra, maka
dengan sendirinya dia telah membuat
4. Memahami sejarah kejadian sastra dipandang
sebagai proses penerimaan pasif dari
pengarang.
5. Memahami sejarah sastra sebagai evolusi
dari sebuah fenomena sastra yang
TESIS VI
TESIS VI
1. Perspektif sejarah resepsi selalu berbenturan
dengan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru dengan karya-karya lama.
2. Perspektif sinkronik perlu mengatur dan meneliti
multisiplisitas dan heteregonitas pemahaman karya-karya kontemporer dan struktur hirarkinya untuk
mengetahui apakah pemahaman itu bersifat ekuivalen atau bertentangan.
3. Perspektif diakronik adalah suatu pemahaman
sejarah atas homogenitas karya sastra dilihat dari kronologi kejadian dan lingkungan kehidupannya. Dalam perspektif diakronik ini dapat dijelaskan
TESIS VII
TESIS VII
1. Sastra tidak hanya dipresentasikan secara sinkronis dan diakronis, tetapi juga dilihat sebagai sejarah
khusus dalam hubungan uniknya dengan sejarah umum.
2. Sastra sebagai sejarah khusus menggambarkan eksistensi sosial sepanjang zaman.
3. Fungsi sosial sastra hanya dapat terwujud dengan sendrinya bilamana sastra masuk dalam: (i) horison harapan kehidupan pengarang, (ii) pemahamannya tentang dunia, (iii) memberikan pengaruh pada
4. Pemahaman sejarah menyebutkan bahwa
segala sesuatu yang terjadi pada masa
kontemporer diinformasikan atau dianalisis
secara sama/seimbang dengan kejadian
masa lalu.
5. Dalam analisis sinkronik harus tekandung
aspek masa lalu dan masa sekarang sebagai
elemen struktural yang tak terpisahkan.
6. Elemen-elemen inovasi dalam karya sastra
yang diteliti adalah retorika, semantik, arketip,
simbol, dan metafora.
7. Konsep
imitationaturae
mengatakan bahwa
8. Horison harapan sastra tidak hanya
memelihara pengalaman yang sesungguhnya,
tetapi juga mengantisipasi : (i) kemungkinan
yang tidak terealisasi, (ii) memperluas ruang
perilaku sosial, (iii) tujuan-tujuan baru, (iv)
menyiapkan pengalaman masa depan.
9. Keindahan sastra adalah keselarasan antara
bentuk dan isi. Bentuk (sastra) yang baru
muncul tidak hanya untuk mengkritik bentuk
lama, tetapi juga memunculkan persepsi baru
tentang isi yang dikandungnya.
10.Karya sastra baru diterima dan dinilai oleh
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp :
Romantic Theory and Critical Tradition. New York : Oxford University Press.
Faruk. 1988. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra. Yogyakarta : P.D. Lukman Offset.
______ 1994. Pengantar Sosilogi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis : University Of Minnesota.