• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Edisi 1 Januari 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Edisi 1 Januari 2018"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Kejatuhan Yerusalem 1967

F. Irawan

Laporan

Edisi 1 / Januari 2018

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,

kirimkan e-mail ke:

lk.syamina@gmail.com

(3)

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

Perang Enam Hari 1967 dan Peristiwa Naksah — 9

Kejatuhan Yerusalem dan Kompleks Al-Aqsha — 14

Perubahan Demografi dan Wilayah Setelah 1967 — 15

Pendudukan Terlama pada Era Modern — 16

Aksi Zionis untuk Menguasai Yerusalem dan Al-Aqsha Pasca-1967 — 19

Skenario Ekstrem Kanan untuk Merobohkan Al-Aqsha — 21

Perspektif Masa Depan Israel tentang Yerusalem — 22

Penutup — 24

(4)

K

ampanye Zionis mengklaim bahwa Yerusalem adalah milik mereka, namun faktanya sangat sedikit situs suci Yahudi di sana. Bahkan jumlah mereka tak lebih dari 115 orang dalam sensus tahun 1752. Pada era Daulah Utsmaniyah tersebut, komunitas Yahudi tenggelam dalam kemiskinan dan menjadi kaum minoritas.

Fakta inilah yang membuat Zionisme sangat bersemangat mengajak migrasi besar-besaran ke Palestina, membuka pemukiman, dan mendirikan situs-situs agama baru, termasuk di antaranya Tembok Ratapan.

Selain membuat teori-teori pemikiran tentang Yerusalem, para pemimpin Gerakan Zionisme juga memanfaatkan agama untuk mencaplok kota dan situs-situs suci yang ada. Mereka mendoktrin para pengikutnya dengan Taurat dan mengangkat tema tentang Zionisme, Tanah Suci, Haikal Tuhan, dan lain-lain. Dengan doktrin ini

(5)

5

mereka berharap Yahudi dunia tertarik untuk bermigrasi ke kota Yerusalem dan menguasainya.

Pemicu dari Perang Enam Hari—yang berakibat kejatuhan Yerusalem— antara pihak Israel dan negara-negara Arab pada tahun 1967 bisa sangat terpolarisasi. Pertama, bentrokan antara warga Israel dengan warga Suriah dan warga Palestina di Yordania. Warga Palestina ada yang ingin kembali ke asalnya untuk mencari kerabat. Ditambah peristiwa pembantaian 69 warga Palestina dan pembakaran 45 rumah di Tepi Barat.

Tensi semakin naik sebab ketegangan atas krisis di Terusan Suez yang melibatkan Inggris, Prancis, dan Mesir juga meningkat. Di Suriah kondisi memanas akibat konflik air Sungai Yordania. Ada pula keterangan yang menegaskan bahwa Uni Soviet dengan sengaja memprovokasi sebuah perang Arab dengan Israel pada tahun 1967.

Setelah kejatuhan Yerusalem, Yahudisasi adalah inti proyek sekaligus cita-cita akhir Zionisme. Sekarang proyek ini melewati fase terpenting melalui intensifikasi pemukiman di Yerusalem dan sekitarnya untuk menciptakan perubahan besar terhadap identitas kearaban dan keislamannya.

Pemerintah Israel juga menyiapkannya menjadi ibu kota abadi yang akan menjadi pusat domisili Yahudi di tengah sejumlah kecil rakyat Palestina yang tak berdaya.

Sejak Kesepakatan Oslo 1993, Israel bersikeras bahwa proses negosiasi dengan delegasi Palestina harus melalui jalur bilateral. Karena selalu buntu, maka pada tahun 2012 Otoritas Palestina memilih jalur internasional dan mengajukan permohonan pengakuan dari PBB. Tindakan ini memicu kemarahan Amerika dan Barat hingga menolak voting, dengan dalih bahwa solusi internasional tidak akan memberi hasil positif dan tidak mendukung proses perdamaian.

Amerika Serikat sangat mendukung sikap Israel yang bersikeras dengan negosiasi bilateral. Di mana Israel dengan sesukanya mengajukan isu keamanan dan perbatasan, namun melupakan isu-isu inti seperti Yerusalem, pengungsian, perairan, dan lain-lain. Puncaknya adalah pernyataan presiden terpilih Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Negara Israel.

(6)

Negosiasi perdamaian pun menjadi kamuflase belaka. Zionis tidak pernah memenuhi tuntutan pihak Palestina dan malah berusaha lari dari semua kesepakatan yang pernah ditandatangani bersama.

(7)

7

Sekitar 70 tahun sebelum Perang Enam Hari 1967, tepatnya pada 1897, Organisasi Yahudi Internasional dibentuk untuk mengadvokasi orang-orang Yahudi sedunia dan dalam rangka memulangkan mereka ke tanah harapan, “Tanah yang Dijanjikan”(the Promised Land) yang ketika itu sudah ditinggali oleh bangsa Palestina selama berabad-abad. Proyek pendudukan menjadi mainstream pergerakan Zionisme. Ide ini pula yang menjadi pemicu utama migrasi besar-besaran kaum Yahudi ke Palestina dengan dukungan penuh dari Barat.

Kemudian pada 1918, terjwujudlah apa yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour, yang diambil dari nama Menteri Luar Negeri Inggris ketika itu Arthur James Balfour, yang menyetujui rencana ini sekaligus membantu realisasinya. Deklarasi Balfour (1917) dan Mandatory Palestine/Mandat Britania atas Palestina (1918-1948) dipandang dukungan terbesar yang diberikan kepada Gerakan Zionisme untuk menjajah Palestina. Kota Yerusalem menjadi incaran seluruh tokoh gerakan ini, lantaran Yerusalem memiliki nilai spiritual dan sejarah yang sangat berharga bagi dunia Islam dan rakyat Palestina.

Dalam dunia politik terkenal semboyan,"Siapa yang menguasai ibu kota, maka ia akan menguasai seluruh negara." Pada PD II (1939-1945) Hitler berhasil menguasai beberapa kota besar Rusia. Akan tetapi penentu kemenangan adalah ibu kota. Akhirnya pasukan Nazi berhasil dihalau dan dikalahkan di Kota Stalingrad dekat Moskow. Ide inilah yang diusung oleh pemimpin Gerakan Zionisme. Mereka sangat terobsesi untuk menjajah Palestina dan menguasai Yerusalem.

Catatan para pendiri Gerakan Zionisme sangat vulgar dalam hal ini. Lima puluh tahun sebelum negara penjajah Israel berdiri, Herzl pernah mengatakan, "Jika saat kita berhasil merebut Kota Yerusalem aku masih hidup dan mampu berbuat, maka saya tidak akan membiarkan satu situs keagamaan pun berdiri tegak selain milik

(8)

Yahudi. Aku akan membakar seluruh warisan budaya yang telah eksis berabad-abad lamanya."

Herzl tidak berhenti pada teori, tapi langusng beraksi untuk mengaplikasikannya. Pada tahun 1902 ia mengusulkan kepada Khalifah Utsmaniyah saat itu agar mendirikan Universitas Yahudi di Yerusalem, seraya berdalih, "Kami Bangsa Yahudi memiliki peran penting dalam aktivitas universitas hampir di segenap penjuru dunia, profesor Yahudi juga memenuhi universitas di semua negara…, karenanya, kami juga pasti mampu mendirikan universitas Yahudi di imperium kekuasaan Anda, dan Yerusalem adalah lokasi yang paling pas untuk itu."

Ben-Gourion menyatakan, "Palestina tak berarti tanpa Yerusalem, dan tiada arti Yerusalem tanpa Haikal. "

Kendati demikian gencarnya kampanye Zionis yang mengklaim bahwa Yerusalem adalah milik mereka, namun faktanya sangat sedikit situs suci Yahudi di sana. Bahkan jumlah mereka tak lebih dari 115 orang dalam sensus tahun 1752, komunitas yang tenggelam dalam kemiskinan, dan senantiasa menjadi kaum minoritas. Fakta inilah yang membuat Zionisme sangat bersemangat mengajak migrasi besar-besaran ke Palestina, membuka pemukiman, dan mendirikan situs-situs agama baru, termasuk di antaranya Tembok Ratapan.

Selain membuat teori-teori pemikiran tentang Yerusalem, para pemimpin Gerakan Zionisme juga memanfaatkan agama untuk mencaplok kota dan situs-situs suci yang ada. Maka mereka mendoktrin para pengikutnya dengan Taurat dan mengangkat tema tentang Zionisme, Tanah Suci, Haikal Tuhan, dan lain-lain. Dengan doktrin ini mereka berharap Yahudi dunia tertarik untuk bermigrasi ke kota Yerusalem dan menguasainya. 1

Lima puluh tahun berselang, timbul petaka: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meresmikan pembagian wilayah barat Palestina menjadi dua negara. Para pemimpin solidaritas Palestina dari petinggi negara-negara Arab menolak keras, sementara elite politik Yahudi tentu menyetujuinya. Pada 14 Mei 1948 negara Israel pun dideklarasikan; sebuah momen historis yang memicu kemarahan para pemimpin Arab.

Sepanjang satu tahun pertama tentara Israel mesti berperang dengan negara-negara Arab yang berada di sisi timur teritorinya, juga Mesir di selatan. Pada Februari-Juli 1949 kedua pihak sepakat untuk gencatan senjata. Israel mengontrol kurang lebih 78 persen dari wilayah yang diperebutkan, sementara sisanya sebanyak 22 persen jatuh ke tangan Mesir dan Yordania.

Sejak dideklarasikan Negara Israel, para tokoh agama dan politik Gerakan Zionisme menumpahkan perhatian yang sangat besar terhadap Yerusalem hingga tibanya hari yang dikenal sebagai Hari Naksah. Hari Naksah (5 Juni 1967) (Arab: موي

ةسكنلا , yang berarti "hari kemunduran") adalah hari di mana terjadi perpindahan

(9)

9

bangsa Palestina yang menyertai kemenangan Israel pada Perang Enam Hari pada tahun 1967. Sebagai akibat perang, Israel menguasai Tepi Barat yang berpenduduk Palestina dan Jalur Gaza, yang masing-masing direbut dari kontrol Yordania dan Mesir.

Peristiwa tersebut merupakan peristiwa penting kedua setelah Deklarasi Kemerdekaan Israel 1948. Sebelumnya, deklarasi tersebut diikuti peristiwa pengusiran warga Palestina, yang dikenal sebagai Nakbah, yang berlangsung selama dan setelah Perang Palestina 1948 dan diperingati setiap tahun pada tanggal 15 Mei. Pasukan Zionis Israel, dalam misinya untuk mewujudkan teritori "Negara Yahudi" pertama, mengusir paksa 750.000 orang Palestina dari tanah air mereka sekaligus menghancurkan perkampungan tempat tinggalnya.

Perang Enam Hari 1967 dan Peristiwa Naksah

Perang Enam Hari, juga disebut Perang Juni atau Perang Arab-Israel III, merupakan perang singkat yang berlangsung pada 5-10 Juni 1967, dan merupakan yang ketiga kali yang dilakukan oleh Koalisi Arab melawan negara Yahudi Israel. Akibat perang berupa kemenangan Israel—yang berhasil mengakibatkan aneksasi Semenanjung Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat, Kota Tua Yerusalem, dan Dataran Tinggi Golan—dan upaya perebutan kembali wilayah yang diduduki Israel tersebut kemudian menjadi poin utama dalam konflik Arab-Israel serta perjuangan pembebasan Palestina.

Penyebab dari Perang Enam Hari, demikian nama untuk perang yang kembali lahir antara Israel dan negara-negara Arab pada 1967, bisa dibilang sangat terpolarisasi, demikian menurut Zena Tahhan dari Al Jazeera.2 Meski demikian,

tetap ada sejumlah faktor penting yang bisa dilacak dari beberapa sumber sejarah.

Pertama, bentrokan antara warga Israel dengan warga Suriah dan warga Yordania. Eskalasinya cukup masif sebab dipanaskan oleh upaya ribuan warga Palestina, sejak berdirinya Israel, yang ingin kembali ke asalnya untuk mencari kerabat. Hingga 1959, korban tembakan tentara Israel pada gelombang ini mencapai 2-5 ribu orang. Belum lagi ditambah peristiwa pembantaian 69 warga Palestina dan pembakaran 45 rumah di Tepi Barat.

Pihak Palestina makin mawas diri dan kemudian membentuk milisi untuk pertahanan diri sekaligus terkadang melakukan penyerangan. Tensi semakin naik sebab ketegangan atas krisis di Terusan Suez yang melibatkan Inggris, Prancis, dan Mesir juga meningkat. Di Suriah kondisi memanas akibat konflik air Sungai Yordania. Hal ini mendorong Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser untuk membentuk aliansi militer dengan negara-negara Arab.

Di dalam buku Foxbats Over Dimona, penulisnya—Isabella Ginor dan Gideon Remez—dengan berani menegaskan bahwa Moskow dengan sengaja memprovokasi sebuah perang Arab dengan Israel pada tahun 1967. Tesis itu mendapat sedikit

2

(10)

10

kepercayaan dalam hasil penelitian yang baik oleh Rami Ginat, tetapi William B. Quandt, pakar Ilmu Politik dari Universitas Virginia, menduga bahwa argumen tersebut akan berlanjut selama beberapa waktu sampai ilmuwan Rusia memiliki kesempatan untuk benar-benar memeriksa ulang arsipnya.3

Berikut ini kronologinya, seperti yang dirangkum dalam buku The 1967 Arab-Israeli War (2012):4

Pada 29 Mei 1964 dibentuklah PLO (Palestine Liberation Organization), yang dipandang sebagai organisasi perintis modern yang menjadi representasi aspirasi kemerdekaan rakyat Palestina.

Pada 23 Februari 1966 terjadi kudeta oleh kekuatan politik sayap kiri di Suriah, yang diikuti dengan meningkatnya serangan yang dilakukan terhadap Israel oleh kelompok gerilyawan Palestina yang tinggal di Suriah, Lebanon, dan Yordania, yang mendorong reaksi Israel.

Pada 13 November 1966, sebuah serangan dilakukan Israel di desa Al-Sam฀', Tepi Barat Yordania, yang menewaskan 18 orang dan 54 lainnya terluka.

Dalam pertempuran udara dengan Suriah pada 7 April 1967, Angkatan Udara Israel menembak jatuh enam jet tempur MiG Suriah.

Selain itu, laporan intelijen Soviet pada 9 Mei 1967 mengindikasikan bahwa Israel merencanakan sebuah kampanye militer melawan Suriah. Meskipun disebutkan sebelumnya bahwa laporan tersebut diragukan keakuratannya, tetap saja meningkatkan ketegangan antara Israel dan negara tetangganya di Arab.

Pada 9 November 1966 Mesir dan Suriah menandatangani perjanjian kerja sama pertahanan.

Untuk menunjukan loyalitasnya kepada negara Arab, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser menunjukkan dukungan untuk Suriah dengan mengambil beberapa tindakan seperti:

• Pada tanggal 14 Mei 1967 dia memobilisasi pasukan Mesir di Sinai

• Pada tanggal 18 Mei 1967 dia secara resmi meminta UNEF angkat kaki dari perbatasan Mesir-Israel

• Pada tanggal 22 Mei 1967 dia menutup Teluk Aqabah sebagai jalur distribusi Israel, sehingga berlakunya blokade bagi kota pelabuhan Elat di Israel selatan.

• Pada 27 Mei 1967 disebutkan bahwa Nasser sempat sesumbar jika tujuan utama negara-negara Arab adalah menghancurkan Israel.

Selanjutnya pada tanggal 30 Mei, Raja Hussein dari Yordania tiba di Kairo untuk menandatangani sebuah perjanjian pertahanan bersama dengan Mesir, yang isinya kedua negara akan memberi bantuan jika salah satu dari mereka diserang Israel dan menempatkan pasukan Yordania di bawah komando Mesir. Tak lama kemudian,

3 Review William B. Quandt untuk buku The 1967 Arab-Israeli War: Origins and Consequences htps://www.

(11)

11

Irak juga bergabung dengan aliansi tersebut. Penandatanganan kesepakatan aliansi Mesir dan Yordania ini di mata Israel merupakan sebuah pernyataan perang.

Melihat kondisi ini Israel tak tinggal diam. Angkatan udara negeri itu melatih para pilot dan kru daratnya dengan keras sehingga satu pesawat bisa digunakan untuk empat kali sortie sehari. Sementara, biasanya angkatan-angkatan udara negara-negara Arab hanya melakuan satu atau dua sortie per hari.

Perang Enam Hari dimulai pada 5 Juni 1967 dimulai dengan serangan udara mendadak Israel yang mengakibatkan ratusan pesawat tempur AU Mesir hancur. Pada saat yang sama Israel juga menggelar serangan darat ke Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai.

Para pilot tempur Israel telah dilatih secara ekstensif untuk menembak target dan menghapal semua detil informasi soal AU Mesir. Hasilnya, AU Israel bisa mengerahkan gelombang serangan nyaris tanpa henti ke pangkalan-pangkalan udara mesir di hari pertama perang. Tak hanya itu, IAF juga unggul jauh dari Mesir dengan melumpuhkan angkatan udara negeri itu hanya dalam satu hari.

Mesir yang tak menduga serangan mendadak itu kelabakan dan terpaksa mundur dari Sinai sehingga pasukan Israel menduduki semenanjung itu. Mesir kemudian menyeret Yordania dan Suriah ke dalam perang. Namun, serangan balasan Israel membuat negeri itu merebut Jerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania serta dataran tinggi Golan dari Suriah.

Di darat, AD Israel memiliki 264.000 personel, meski jumlah itu mungkin sudah ditambah para wajib militer dan pasukan cadangan. Untuk menghadap tentara Yordania di Tepi Barat, Israel mengerahkan 40.000 tentara dan 200 tank.

Dua brigade tentara Israel ditempatkan di dekat Yerusalem, Brigade Pasukan Payung ke-55 dikirim ke Semenanjung Sinai. Sedangkan Brigade Lapis Baja ke-10 ditempatkan di sisi utara Tepi Barat.

Sementara Mesir, memiliki menempatkan 100.000 personel militernya di Sinai, termasuk empat divisi infantri, dua divisi lapis baja, satu divisi mekanik.

Selain itu Mesir memiliki 950 tank, 1.110 kendaraan taktis, dan lebih dari 1.000 pucuk persenjataan artileri.

Pasukan Suriah berkekuatan 75.000 personel yang dtempatkan di sepanjang perbatasan negeri itu.

Sedangkan Yordania memiliki 55.000 tentara yang diperkuat 300 tank modern, serta persenjataan artileri modern.

Meski di darat cukup kuat, angkatan udara Yordania tak terlalu tangguh dengan hanya memiliki 24 jet Hawker-Hunter buatan Inggris, enam pesawat tranpors, dan dua helikopter.

Meski demikian jet-jet tempur Hawker Hunter Yordania ini mampu mengimbangi Dasualt Miraget III milik AU Israel.

(12)

Pada 5 Juni pukul 07.45, Israel menggelar serangan udara dengan sandi Operasi Focus dengan menerbangkan hampir semua jet tempurnya ke Mesir.

Saat itu, infrastruktur pertahanan Mesir sangat buruk dan tak ada pelindung apapun di pangkalan-pangkalan udara untuk melidungi jet-jet tempurnya.

Jet-jet tempur Israel dikirim ke Mesir dengan dua jalur, yaitu terbang rendah di atas permukaan Laut Tengah dan melintasai Laut Merah.

Sebenarnya gelombang jet-jet tempur Israel ini tertangkap radar Yordania yang kemudian mengirimkan kode " perang" ke rantai komando militer Mesir.

Namun, masalah komunikasi dan komando dalam angkatan bersenjata Mesir mengakibatkan pesan penting itu tak terkirim ke pangkalan-pangkalan udaranya.

Akibat masalah ini, jet-jet tempur Israel leluasa menghancurkan landasan pacu dan jet-jet tempur AU Mesir. Hanya empat jet tempur Mesir yang bisa mengudara saat serangan berlangsung.

Di akhir hari pertama perang, sebanyak 336 pesawat militer Mesir hancur dan 100 pilot tewas, tetapi angka ini dibantah pihak Mesir.

Di antara pesawat-pesawat yang hancur itu terdapat 30 pesawat pengebom Tu-16, 27 pesawat pengebom Il-28, 12 pengebom tempur Su-7, lebih dari 90 MiG-21, MiG-19, dan 25 MiG-17 serta 32 jenis pesawat angkut dan helikopter segala jenis.

Sementara pihak Israel hanya kehilangan 19 pesawat, dua hancur dalam pertarungan di udara dan sisanya terkena artileri anti-serangan udara.

Kesuksesan serangan ini menjamin superioritas Israel di udara di sepanjang perang selama enam hari itu.

Sementara di darat, pada 5 Juni 1967 pukul 07.50, tiga brigade lapis baja Israel yang dipimpin Mayor Jenderal Tal melintasi perbatasanMesir di dua titik yaitu Nahal Oz dan Khan Younis.

Pasukan Israel ini melintasi perbatasan dengan diam-diam dan menahan tembakan selama mungkin untuk menjaga efek kejutan dari serangan tersebut.

Tembakan pertama dilepaskan di "Celah Rafah" sebuah daerah yang membentang sepanjang 11 kilometer yang dilintasi tiga jalan utama di Sinai yang menuju kota El-Qantarah el-Sharqiyya dan Terusan Suez.

Tempat itu dipertahankan empat divisi tentara Mesir dan dilengkapi dengan ladang ranjau, bunker bersenjata, bunker bawah tanah, senjata tersembunyi, dan parit.

Kondisi semakin sulit karena medan di kedua sisi "Celah Rafah" ini nyaris tak mungkin dilalui. Sehingga Israel berencana untuk mengosentrasikan pasukan untuk menyerang tentara Mesir di titik tertentu.

Mayjen Tal kemudian memerintahkan Brigade Lapis Baja ke-7 untuk menjepit Khan Younis dari utara dan Brigade Lapis Baja ke-60 maju dari sisi selatan.

(13)

13

Pasukan Israel mendapatkan perlawanan sengit dari tentara Mesir yang bertahan di posisi-posisi strategis. Bahkan Brigade Lapis Baja ke-7 kewalahan dihujani tembakan oleh pasukan Mesir.

Akhirnya, bantuan serangan udara dan artileri dikerahkan untuk membantu pasukan tank yang kerepotan itu. Serangan udara dan artileri inilah yang mengakibatkan pasukan Mesir terpaksa mundur.

Pada 5 Juni petang, pasukan Israel berhasil menembus pertahananMesir tetapi harga yang dibayar sangat tinggi.

Komandan Brigade Lapis Baja ke-7 Kolonel Shmuel Gonen mengatakan, mereka terpaksa meninggalkan rekan-rekan mereka yang tewas dan puluhan tank hancur di Rafah.

Sedangkan dari pihak Mesir, pertempuran di hari pertama itu mengakibatkan 2.000 tentaranya gugur dan 40 tank hancur.

Setelah jalan terbuka, pasukan Israel maju menuju Al-Arish, kota terbesar di Semenanjung Sinai.

Pasukan dari batalion lapis baja ke-79 menyerang ke jalur Jiradi, sebuah celah sempit yang dipertahankan Brigade Infanteri ke-112Mesir.

Dalam pertempuran yang sangat sengit, celah strategis itu berpindah tangan beberapa kali meski akhirnya Israel bisa mengatasi perlawanan Mesir.

Meski tak diketahui jumlahnya, pasukan Mesir kehilangan personel dan tank cukup banyak. Sementara Israel kehilangan 66 tewas, 93 terluka, dan 28 tank.

Kesuksesan Israel di hari pertama di Mesir ini berlanjut dengan kesuksesan di front Tepi Barat dan Golan. Di akhir perang, Israel sukses merebut Tepi Barat dan Jerusalem dariYordania serta dataran tinggi Golan dari tangan Suriah.

Kemenangan dalam perang ini membuat rakyat Israel dilanda euforia dan kesuksesan militer Israel dipuji setinggi langit. Intinya, dalam enam hari pertempuran, Israel menduduki Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai di Mesir, Dataran Tinggi Golan di Suriah, dan Tepi Barat dan sektor Arab di Yerusalem Timur yang keduanya dikuasai oleh Yordania.

Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser mendapat kecaman keras dari negara Arab lainnya karena kegagalannya untuk membantu Suriah dan Yordania melawan Israel. Dia juga dituduh bersembunyi di belakang Angkatan Darat Darurat PBB (United Nations Emergency Force (UNEF)) yang ditempatkan di perbatasan Mesir dengan Israel di Sinai.

(14)

14

Pada saat gencatan senjata terjadi pada 10 Juni 1967, wilayah Israel bertambah menjadi dua kali lipat wilayah praperang. Pada tanggal yang sama Uni Soviet memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.

Pada 11 Juni 1967, gencatan senjata diteken. Saat perang berakhir korban tewas di pihak Mesir, Yordania, dan Suriah mencapai hampir 20.000 orang. Adapun Israel hanya kehilangan kurang dari 1.000 tentara saja. Estimasi lain menyebutkan rincian kerugian sebeagai berikut: jumlah korban jiwa Mesir berjumlah lebih dari 11.000, 6.000 untuk Yordania dan 1.000 untuk Suriah, dibandingkan dengan hanya tewasnya 700 orang Israel. Tentara Arab juga menderita kerugian senjata dan peralatan.

Perang itu juga menandai jatuhnya kota Yerusalem dari kontrol Yordania ke tangan Israel. Aneksasi secara formal dilakukan pada tanggal 27 Juni 1967.

Untuk mengantisipasi meluasnya konflik, Pada 22 November 1967, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 242 yang menyerukan kepada negara-negara Arab untuk berdamai dengan Israel dan meminta Israel untuk menarik diri dari wilayah yang diduki. Namun Israel menolak, dan mencaplok Yerusalem Timur secara permanen, serta mendirikan hunian serta pangkalan militer.

Akibat lain dari perang ini adalah lebih dari 300.000 warga Palestina meninggalkan wilayah-wilayah yang direbut Israel dalam perang ini. Pada Desember 1967, sebanyak 245.000 warga Palestina mengungsi ke Yordania, 11.000 orang ke Mesir, serta 116.000 warga Palestina dan Golan pindah ke wilayah lain di Suriah.

Perang ini kemudian akan disambung Perang Yom Kippur pada 1973 sebagai upaya Mesir dan Suriah merebut kembali daerah yang dianeksasi Israel. Kemudian pada 1982, sebagian besar wilayah yang dicaplok Israel pada Perang Enam Hari telah dikembalikan kepada Mesir, Yordania, dan Suriah. Kecuali untuk Yerussalem, menandai konflik berkepanjangan Israel - Palestina hingga sekarang.5

Kejatuhan Yerusalem dan Kompleks Al-Aqsha

Akhir dari Perang Enam Hari 1967 membawa perubahan yang signifikan secara religius. Di bawah kontrol pemerintahan Yordania, orang-orang Yahudi sempat dilarang memasuki Kota Suci Yerusalem, termasuk Tembok Ratapan, situs yang dianggap suci oleh orang-orang Yahudi. Salah satu alasan yang dipakai orang-orang zionis untuk merebut Yerusalem karena mereka merasa situs-situs Yahudi tidak dirawat dan makam-makam mereka telah dinodai.6

Setelah jatuh di bawah kontrol Israel, pelarangan ini dibalik. Israel mempersulit para pemuda Islam yang ingin beribadah di Al-Masjid Al-Aqsha dengan alasan keamanan, dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan, meskipun Al-Masjid Al-Aqsha dipercayakan di bawah pengawasan Badan Wakaf Muslim.

Orang-5 “5 Juni 1967: Serangan Israel Mengawali Perang 6 Hari” htp://internasional.kompas.com/ read/2017/06/05/19000091/hari.ini.dalam.sejarah.israel.serang.mesir.awali.perang.enam.hari

6 Abdullah Shalah, surat tertanggal 2 Mei 1988 dari Perwakilan tetap Yordania untuk PBB kepada Sekjen PBB

(15)

15

orang Yahudi dilarang untuk beribadah di dalam kompleks tetapi diperbolehkan di Tembok Ratapan.7

Insiden lain ialah adanya penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa dengan tujuan mencari Haikal Sulaiman (Bait Suci Kedua), yang membuat pondasi masjid menjadi rapuh dan kemungkinan besar masjid dapat ambruk.8

Situs Al-Aqsa Online menyebutkan, telah terjadi longsoran yang menimbulkan lubang sedalam dua meter dengan diameter 1,5 meter. Longsoran itu terjadi di dekat Pintu Gerbang Al-Selsela dan sumber air Qatibai, sisi barat masjid. Dalam pernyataannya, lembaga rekonstruksi tempat-tempat suci Islam Al-Aqsa Foundation

menyatakan, longsoran itu disebabkan oleh penggalian yang dilakukan sekelompok warga Israel di bawah kompleks Al-Masjid Al-Aqsha dan penggalian tersebut sudah mencapai Pintu Gerbang Selsela.9

Hal serupa juga dilontarkan gerakan Islam di Israel pimpinan Syaikh Raed Salah, yang menyerukan agar negara-negara Muslim segera mengambil langkah untuk menghentikan penggalian tersebut yang dilakukan di kompleks Al-Masjid Al-Aqsha.10

Selain kegiatan penggalian, pada Februari 2007, buldoser-buldoser Israel menghancurkan jembatan kayu menuju Pintu Gerbang Al-Maghariba dan menghancurkan dua ruang di bawah tanah, kompleks Masjid Al-Aqsa.11 Aksi Israel

ini menuai protes dari rakyat Palestina dan negara-negara Muslim. Namun, Israel seakan-akan tidak mendengarkan kecaman-kecaman tersebut.

Perubahan Demografi dan Wilayah Setelah 1967

Satu lagi aspek peperangan adalah mengenai para penduduk yang menghuni di wilayah-wilayah yang direbut Israel, dan dari sekitar 1 juta orang Palestina di Tepi Barat, 300.000 melarikan diri ke Yordania dan menyumbang pergolakan yang semakin bertambah di sana. 600.000 orang yang lain tetap tinggal di Tepi Barat. Di Dataran Tinggi Golan, sebanyak 80.000 orang Suriah melarikan diri. Hanya para penghuni Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan yang menerima hak kediaman Israel yang terbatas dan Israel menganeksasi wilayah tersebut pada tahun 1980.

Baik Yordania dan Mesir akhirnya menarik balik tuntutan masing-masing terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza (Semenanjung Sinai dikembalikan kepada Mesir pada tahun 1978, dan persoalan Dataran Tinggi Golan masih dirundingkan dengan Suriah). Selepas penaklukan "wilayah-wilayah" baru ini oleh Israel, sebuah usaha penempatan yang besar dilancarkan oleh Israel untuk mengamankan daerah permanen Israel. Terdapat ratusan ribu penduduk Israel di wilayah-wilayah

7 “The 1967 Six-Day War” htp://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/History/67_War.html

8 Rapoport, Meron, City of David tunnel excavaion proceeds without proper permit, 16 Maret 2008, htp:// www.haaretz.com/hasen/spages/821774.html

9 Al-Aqsa Landslide Sounds the Alarm, 16/2/2008 - 11:40 p.m., MSA-The Islamic Center of the University of

Connecicut. htp://www.theicuc.org/msa/public/node/486

10 Jonathan Lis, Salah calls for 'inifada' against Temple Mount excavaion, 29/1/2008, htp://www.haaretz.

com/hasen/spages/826810.html

11 Catalogue of provocaions, Issue No. 832, Al-Ahram Weekly Online, htp://weekly.ahram.org.eg/2007/832/

(16)

16

tersebut pada hari ini, walaupun penempatan-penempatan Israel di Jalur Gaza telah dipindahkan dan dimusnahkan pada bulan Agustus tahun 2005.

Occupied Palestine pernah merilis hasil penelitian seorang profesor hukum internasional bahwa antara tahun 1967 sampai 2011, pemerintah zionis Israel telah mencabut status “penduduk tetap” dari 14.087 orang Palestina warga kota Yerusalem atau Yerusalem.12 Dr. Hanna Essa mengungkapkan temuannya dalam liputan tentang

undang-undang baru zionis untuk mencegah berkumpulnya kembali keluarga-keluarga Palestina yang tidak berstatus sebagai warga negara Israel.

Ketika Yerusalem Timur diduduki oleh zionis pada tahun 1967, menurut Dr Essa, penduduk Palestina yang bermukim didalamnya tidak diberi kewarganegaraan ‘israel’, tetapi mereka diberi status “penduduk tetap”, meskipun di mata dunia internasional zionis telah mengambil alih kekuasaan atas kota itu secara ilegal.

Sesudah melakukan sensus, sejumlah besar penduduk kota Yerusalem tidak diakui hak-haknya dan dianggap ‘absen’ karena tidak berada di kota itu saat diduduki. Padahal dunia mencatat bahwa sejumlah besar warga Palestina telah diteror dengan kekerasan dan dipaksa meninggalkan kota tersebut.

Dr Essa mencatat, pemerintah Israel satu dan lainnya bersambung-sambung melanjutkan peraturan ini untuk mengosongkan kota Yerusalem atau Yerusalem dari penduduk Palestina. “Ini merupakan bagian dari rencana pembersihan etnis,” tegas Dr. Essa.

Pendudukan Terlama pada Era Modern

Pendudukan Israel atas hampir seluruh wilayah Palestina sejak Juni 1967 abad yang lalu adalah yang terlama dalam catatan sejarah modern. Beragam pencaplokan lahan terus dilakukan dan yang melawan akan kena getah pahitnya: ditembak, dipenjara, dan dicabut hak asasinya. Israel hingga kini dikenal dunia internasional sebagai negara pelaku kejahatan kemanusiaan nomor wahid—meski akhirnya muncul berbagai versi pembelaan berbekal narasi tandingan.

Human Right Watch (HRW) adalah satu di antara lembaga internasional lain yang mawas diri atas narasi tandingan tersebut, tujuannya demi terjaganya narasi awal bahwa warga Palestina adalah korban yang sesungguhnya. Sikap HRW berangkat dari berbagai catatan yang dirangkum sejak Israel berdiri hingga lebih dari setengah abad kemudian masih saja merepresi warga Palestina secara sistematis. 13

Otoritas Israel sejak 1967 telah memfasilitasi pemindahan orang-orang Yahudi ke Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, sehingga melanggar Konvensi Jenewa Keempat. Pada 1967 Israel mendirikan dua permukiman di Tepi Barat, tepatnya di Kota Kfar Etzion dan Talpiot bagian timur. Pada 2017 Israel telah mendirikan 237 permukiman di dua tempat itu dan dipakai untuk menampung sekitar 580 ribu pemukim.

12 Saswan Ramahi, “Israeli Setlement Policy in Occupied Jerusalem” Middle East Monitor Report, April 2013,

(17)

17

Peta wilayah Palestina yang berubah setelah Perang 1967

Sumber: Wm. Roger Louis & Avi Shlaim, The 1967 Arab-Israeli War: Origins and Consequences, Cambridge

University Press (2012).

Israel sendiri menerapkan hukum sipil kepada para pemukim. Mereka juga memberikan perlindungan hukum, hak, dan manfaat yang tidak diberikan kepada orang-orang Palestina yang tinggal di wilayah yang sama—yang justru berhadapan dengan hukum militer Israel. Dengan kata lain, Israel menciptakan dan mempertahankan sistem hukum, sistem peraturan, dan layanan publik yang terpisah dan tidak setara. Mirip sistem apartheid yang diterapkan dulu di Afrika Selatan.

(18)

18

Sebagaimana dampak proses aneksasi satu pihak ke pihak lainnya, dampak dari pendudukan Israel ini adalah terusirnya orang-orang Palestina dari tanah airnya. Pada 1948 atau tahun berdirinya Israel, 720 ribu orang Palestina terusir. Pada 1967 ada tambahan 440 ribu dan total yang tinggal di pengasingan sudah 1,1 juta. Pada 2008 jumlahnya sudah mencapai 5,3 juta orang. Sepanjang derita ini, populasi Israel terus bertambah, dan pada 2017 telah mencapai hampir dua kali lipat populasi Palestina.14

Jadi, tentara Israel membunuh kurang lebih 2 ribu warga sipil Palestina dalam tiga konflik saja, yakni pada tahun 2008-2009, 2012, dan 2014. Jika ditotal dari 1967 atau sejak deklarasi kemerdekaannya, jumlahnya lebih fantastis lagi.

Pemandangan yang kerap terlihat kemudian adalah bagaimana represifnya tentara Israel saat menghadapi demonstrasi para pemuda Palestina yang bersenjatakan batu. Tentara Israel menghadapinya dengan amunisi aktif sehingga korbannya tak hanya luka-luka, tapi juga meninggal. Berikut ini rangkumannya dalam bentuk infografis.15

(19)

19

Aksi Zionis untuk Menguasai Yerusalem dan Al-Aqsha Pasca-1967

Pasca keberhasilan Zionisme merebut Yerusalem pada tahun 1967, teori-teori Zionisme tentang Yerusalem mulai masuk tahap aplikasi lewat rencana dan proyek pemukiman. Israel takkan berdiri tanpa jajahan dan pemukiman. Maka, pemukiman menjadi sarana sekaligus tujuan berdirinya 'Imperialis Zionisme', khususnya Kota Yerusalem yang diklaim akan menjadi ibu kota abadi bagi Yahudi.

Tokoh-tokoh Zionisme tidak ragu-ragu lagi membuat pernyataan tentang eratnya korelasi antara Zionisme dengan teori pendudukan. Yeshayahu Ben Fort, seorang anggota Knesset Zionisme dalam Surat Kabar Yediot Ahronoth, edisi 1972 menyatakan, "Hakikat yang pasti adalah Zionisme takkan eksis tanpa pemukiman, dan Imperialis Zionisme takkan berdiri tanpa pengusiran Bangsa Arab, merampas tanah mereka dan memagarinya."

Kemudian seruan orang-orang Zionis untuk menguasai Masjid Aqsha datang dari beragam lapis pendukung Zionis dan datang bertubi-tubi, baik dari dalam wilayah Israel maupun dari luar. Cara dan sarana pun variatif. Dapat dikatakan bahwa seruan-seruan tersebut sudah mulai muncul sejak pendudukan Israel terhadap kota Yerusalem pasca perang enam hari pada tahun 1967 M.

Sejak saat itu Israel telah mengumandangkan suara "tanah haram telah berada di tangan kami" tetapi mereka menyayangkan karena pada saat itu tentara Israel tidak melakukan tindakan yang perlu untuk membangun kuil di tempat Masjid Aqsha.

Sejak itu pula Israel berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan rencana tersebut, yaitu rencana menghancurkan Masjid Aqsha.

Saat ini dapat menyaksikan beberapa langkah berikut:

1. Penggalian terowongan yang terus berlangsung di bawah fondasi Masjid Aqsha. Tidak diketahui esensi, panjang dan arah galian tersebut kecuali setelah Israel mengumumkan hal itu. Atau setelah rumah, jalanan dan beberapa bangunan sekolah di sekelilingnya runtuh. Penduduk kota Yerusalem tidak mengetahui adanya terowongan tersebut kecuali saat peristiwa tersebut terjadi.

2. Penerbitan beberapa rencana dan studi yang mencakup ide-ide tentangpengalihankotaYerusalemmenjadipusatkota religius Yahudi tingkat global. Kota ini bertanggung jawab atas pembangunan kuil legendaris yang selanjutnya diproyeksi menjadi tempat wisata internasional.

Rencana ini harus dimulai dengan mencaplok kota Yerusalem dan Masjid Aqsha lalu menghancurkannya secara total termasuk pagar-pagarnya, utamanya pagar bagian Selatan dan Barat. Juga menghancurkan pagar Utsmani yang mengelilingi kota Yerusalem lama. Lalu membangun kuil agung di tempat Masjid Qubbah Ash-Shakhrah.

Tokoh sentral yang mengusung ide tersebut saat ini adalah Yehuda Etzion,di samping sejumlah insinyur, para rabi, dan pemegang otoritas keagamaan.

(20)

20

ini didukung sepenuhnya oleh pemerintah Israel dan walikota Yerusalem melalui liputan media dan publisitas yang terus berlangsung di dalam dan di luar Israel. Juga menanamkan kecintaan pada kuil kepada anak-anak sejak usia dini dengan jalan memproduksi mainan yang terkait dengannya.

4. Pengorganisasian perkuliahan,hari belajar dan pelatihan terapan terkait ritual kuil yang bersifat praktis di beberapa tempat dan pemukiman Israel.

5. The Temple Institute telah mengumumkan bahwa pakaian khusus bagi pendeta agung yang akan menjadi pelayan kuil III telah disiapkan. Institut ini telah memajang beberapa pakaian tersebut dishowroom khusus yang terletak di salah satu jalur kota Yerusalem Lama yang terletak didekatMasjid Aqsha. Pameran ini senantiasa dikunjungi oleh sejumlah besar dari orang-orang Israel, turis, dan orang asing.

Showroomini memamerkan sejumlah pakain dan perlengkapan kuil III dan telah dikunjungi lebih dari 100 ribu pengunjung. Menurut data Institut, tidak kurang dari 70 alat dari total 93 alat yang khusus untuk kebutuhan kuil III telah disiapkan.

6. Salah satu mahkamah Israel telah mengizinkan pembangunan jembatan besar yang menghubungkan antara pelataran Buraq dengan pintu Magaribah yang memungkinkan bagi tentara Israel mengepung Masjid Aqsha. Juga dapat membuka jalan bagi jumlah besar penduduk Israel untuk menduduki masjid tersebut. Mahkamah ini juga mengizinkan penghancuran situs-situs sejarah Islam yang telah ada sejak zaman Umawiah, Ayyubiah, dan Mamlukiah dan mencuri batu-batu bangunannya. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tanda-tanda situs tersebut dan mengubahnya menjadi situs Yahudi. Lembaga itu juga mengizinkan penghancuran jembatan kuno dan jembatan pintu Magaribah lalu membangun jembatan lain yang dimaksudkan untuk menampung jumlah besar orang-orang Israel yang ingin memasuki pelataran masjid.

7. Upaya membagi Masjid Aqsha dan mengadopsi shalat dan nyanyian Yahudi, memberi ruang tertentu dari Masjid Aqsha kepada orang-orang Yahudi dan membuka pintu-pintunya untuk mereka.

8. Seruan untuk membuat undang-undangdi dalam parlemen Israel yang bertujuan untuk mengatur waktu dan tempat penyelenggaraan shalat orang Yahudi di dalam Masjid Aqsha.

9. Komite Interior di Knesset Kerabian Tinggi Israel telah menyerukan dikeluarkannya fatwa yang membolehkan orang-orang Yahudi untuk beribadat di Masjid Aqsha. Hal itu karena hari ini pihak kerabian telah melarang mereka masuk masjid dan shalat di Bukit Kuil.

Ketua komite ini, Miri Rigab (Likud), menegaskan bahwa ia sedang berupaya menyelenggarakan beberapa pertemuan rutin yang bertujuan untuk menyusun peraturan yang mengatur dan menentukan ibadat-ibadat Yahudi di Bukit Kuil tanpa mengabaikan pendapat para rabi senior.

(21)

21

undang, pembangunan pagar pemisah, penyitaan identitas, pembongkaran rumah-rumah penduduk, dan penyitaan properti mereka.

Juga pemberlakuan berbagai macam pajak dan larangan merenovasi rumah atau properti mereka tanpa izin tertulis yang mustahil bisa diterbitkan. Jika larangan tersebut dilanggar oleh penduduk kota Yerusalem maka rumah-rumah mereka langsung dibongkar.

Di samping itu, penyitaan tanah penduduk dan pembangunan pemukiman Yahudi di atas tanah mereka terus berlangsung hingga kini. Juga masuknya tokoh-tokoh resmi dan tidak resmi otoriter Yahudi ke dalam Masjid Aqsha yang semakin memperbanyak penistaan mereka terhadap hak-hak orang-orang Palestina. Juga pencaplokan rumah-rumah mereka dengan penerbitan akta jual beli palsu.

Skenario Ekstrem Kanan untuk Merobohkan Al-Aqsha

Para peneliti dan pengamat Gerakan Zionisme yang pro-Israel berperan dalam menciptakan isu-isu Yahudi. Para peneliti dan pengamat itu juga mengakui kesuksesan mereka dalam mencari solusi bagi isu dan permasalahan tersebut. Solusi itu dibuat dengan jalan menciptakan serangkaian mitos dan klaim historis yang dihiasi dengan ayat-ayat Alkitab dan Talmud yang mayoritasnya hanya berdasarkan pada klaim sepihak dan tidak didasarkan pada fakta-fakta sejarah atau agama.

Dengan cara itu, gerakan zionis berhasil merampas Palestina dari hati umat Islam dan bangsa Arab dan mendirikan negara mereka di atas bumi tersebut. Metode itu juga yang digunakan hari ini oleh Israel dan Gerakan Ekstrem Kanan untuk menghancurkan Masjid Aqsha. Cara ini mendapat dukungan dari pemerintah Israel dan tokoh-tokoh berpengaruh mereka di dalam negeri dan tokoh-tokoh Yahudi lainnya di luar negeri.

Gerakan Ekstrem Kanan yang mendapatkan dukungan luas tersebu, dengan lantang menyerukan penghancuran Masjid Aqsha dan Qubbah Ash-Shakhrah yang berdiri di atasnya dan menggantikannya dengan bangunan kuil yang dimitoskan. Mitos pembangunan kuil itu berhasil ditanamkan hingga menjadi konsensus seluruh komponen masyarakat Yahudi.

Telah tercatat banyak suara-suara provokatif untuk menghancurkan kota Yerusalem dan Masjid Aqsha dari tokoh-tokoh resmi dan tidak resmi Israel. Contohnya antara lain:

Baruch Marzel, salah satu pemimpin Gerakan Ekstrem Kanan, menyerukan pengeboman Masjid Aqsha dan membangunkuil yang dimitoskan di atas bekas masjid tersebut. Seruan itu berlakujikamasyarakat Muslim terus menerus menguasai masjid tersebut dan menolak masuknya orang-orang Yahudike dalamnya.

(22)

22

Pada tanggal 23 Mei 2012 M, Seorang rabi di kota Safed mengeluarkan fatwa yang menyerukan pembangunan kuil, dan menegaskan bahwa tidak ada kemuliaan bagi Israel tanpa kuil. Kalau perlu, semua masjid yang berada di Bukit Kuil itu dimusnahkan.

Rabi Ovadia Yosef, Pemimpin Gerakan Shas telah memerintahkan sekolah-sekolah yang berada di bawah otoritas gerakannya untuk memasukkan ke dalam kurikulum mereka hukum-hukum yang berkenaan dengan kuil.

Dan masih banyak lagi seruan provokatif yang ingin menghancurkan Masjid Aqsha dan menuntut pembangunan kuil di tempat masjid tersebut.

Dari deskripsi di atas, dapat dipahami bahwa para pemimpin Gerakan Zionisme yang kemudian menjelma menjadi Israel, telah menciptakan rencana teoritis yang kemudian diaplikasikan dalam dunia nyata sesuai agenda yang telah ditentukan.

Perspektif Masa Depan Israel tentang Yerusalem

Yahudisasi Yerusalem adalah inti proyek sekaligus cita-cita akhir Zionisme. Sekarang proyek ini melewati fase terpenting melalui intensifikasi pemukiman di Yerusalem dan sekitarnya untuk menciptakan perubahan besar terhadap identitas kearaban dan keislamannya. Pemerintah Israel juga menyiapkannya menjadi ibu kota abadi yang akan menjadi pusat domisili Yahudi di tengah sejumlah kecil rakyat Palestina yang tak berdaya.

Manuver politik berbahaya ditunjukkan ketika Knesset (Parlemen Israel) mengeluarkan UU yang menyatakan bahwa Yerusalem dinobatkan sebagai ibu kota, sekaligus menjadi pusat kantor parlemen dan Mahkamah Agung. Keputusan tersebut kembali diperkuat dengan keputusan parlemen pada tahun 1990, disertai penegasan bahwa Yerusalem tidak akan masuk dalam proses negosiasi apa pun.

Pada tahap selanjutnya penjajah Zionis menyiapkan draft geopolitik baru, sehingga sulit bagi politikus atau geografis manapun merestrukturisasi Kota Suci ini nantinya. Maka didirikanlah pemukiman Yahudi di al-Quds bagian Timur dan pusat pemukiman lain yang mengelilinginya.

Imperialis Zionisme menjalankan siasat standar ganda, di satu sisi berusaha menghapus situs-situs Arab dan mengusir penduduk pribumi, di sisi lain mereka memperluas pemukiman Yahudi. Proyek paling merugikan yang dilancarkan Zionisme adalah pembakaran Masjidil Aqsha yang terjadi pada 21 Agustus 1969, disusul dengan berbagai galian yang dimulai sejak tahun 1973 dan berlangsung sampai detik ini. Dengan dalih mencari Haikal yang selalu mereka klaim.

Proyek-proyek ini menjadi misi tetap semua pemimpin Israel dari masa ke masa. Pemikiranchauvinismeini tidak terbatas pada partai atau kelompok tertentu di jajaran imperialis Zionisme, tetapi telah merambahi semua elemen masyarakat Yahudi.

(23)

23

berusaha mengubah politik Zionisme tentang pembagian al-Quds atau membiarkan al-Quds menjadi ibu kota negara lain, pasti akan ditolak mentah-mentah oleh publik Israel dan komunitas Yahudi di seluruh dunia. Pemerintah Yahudi manapun yang berpaling dari rencana pembagian al-Quds atau dari otoritas Israel atas daerah yang telah dikuasai, pasti akan kehilangan legalitasnya."

Hampir seluruh hasil jajak pendapat versi Ibrani menunjukkan bahwa rakyat Yahudi sangat berambisi menguasai al-Quds, dan menolak pelepasan kota-kota yang telah dikuasai di Tepi Barat.

Ide yang tak kalah berbahaya adalah Megaproyek “Greater Jerusalem”. Rencana ini terbongkar pada tahun 2008, saat Yisrael Katz, seorang anggota Knesset mengajukan UU penyatuan daerah-daerah jajahan di luar al-Quds, yang meliputi Ma'aleh Adumim, and Jafat Ze'ev, and Gush Etzion area di bawah otoritas penjajah.

Semuanya membuktikan bahwa proyek pemukiman tidak dijalankan secara spontan dan serampangan. Melainkan berdasarkan rencana strategis jangka panjang yang telah dirancang sejak sekian lama, dan sekaranglah saat pelaksanaannya. Proyek ini dirancang oleh seorang ahli berbangsa Inggris bernama Kendall dengan kode 5RJ. Filenya tersimpan di pusat data di Departemen Geografi, Ibrani University sejak tahun 1977.

Selanjutnya, walikota versi Israel di Yerusalem menerbitkan draft resmi rencana pembangunan daerah periode 2000-2020. Draft ini disusun oleh 91 insinyur, ahli hukum, arsitek, dan perwakilan dari berbagai Kementerian Israel. Di antara poin terpenting dari draft tersebut antara lain:

1. Aneksasi Yerusalem bagian Timur dan Barat di bawah jajahan Israel.

2. Peningkatan persentase penduduk Yahudi di Yerusalem hingga mencapai 70% Yahudi, dan 30% Arab.

3. Membuat kerangka komprehensif untuk proses perubahan dan pembangunan Kota Yerusalem agar sempurna menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan penjajah Israel .

4. Mengubah situs budaya, peradaban, dan sejarah Kota Yerusalem menjadi pusat situs arkeologi, peradaban dan budaya Yahudi.

(24)

24

Penutup

Sebelumnya telah dibahas tentang teori pemikiran dan aplikasi nyata yang dijalankan Zionisme untuk menguasai Yerusalem, sejak imperialis Zionisme berdiri hingga saat ini. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa perspektif masa depan Israel terhadap Yerusalem? Adakah solusi politik untuk Yerusalem melalui proyek perdamaian atau penyelesaian damai? Ataukah obsesi Israel tidak seimbang dengan tuntutan minimum Palestina dalam proses perdamaian?

Sejak Kesepakatan Oslo 1993, Israel bersikeras bahwa proses negosiasi dengan delegasi Palestina harus melalui jalur bilateral. Karena selalu buntu, maka pada tahun 2012 Otoritas Palestina memilih jalur internasional dan mengajukan permohonan pengakuan dari PBB. Tindakan ini memicu kemarahan Amerika dan Barat hingga menolak voting, dengan dalih bahwa solusi internasional tidak akan memberi hasil positif dan tidak mendukung proses perdamaian. USA sangat mendukung sikap Israel yang bersikeras dengan negosiasi bilateral. Di mana Israel dengan sesukanya mengajukan isu keamanan dan perbatasan namun melupakan isu-isu inti seperti Yerusalem, pengungsian, perairan, dan lain-lain.

Setelah menghentikan pembicaraan bilateral selama tiga tahun, pada pertengahan 2013 Otoritas Palestina kembali memulai negosiasi bilateral dengan mediasi Menlu Amerika John Kerry.Tentang dinamika ini, Kamal Al-Astal pernah berkomentar, "Israel telah berhasil mengubah isu Yerusalem hanya terbatas pada Yerusalem bagian timur saja. Sedangkan mayoritas peneliti melihat sampai saat ini tidak ada solusi akhir untuk masalah Yerusalem. Satu-satunya cara Israel untuk mencapai kesepakatan bersama publik Palestina adalah dengan berusaha memanajemen konflik."16

Hakikatnya, apa yang terjadi di Yerusalem merupakan perang pembersihan agama,etnis, identitas warga Palestina dan tempat-tempat suci kaum Muslim. Gerakan ini mendapat dukungan material penuh dari otoritas Israel dan sumbangan yang sangat besar dari komunitas Yahudi internasional. Semua itu terjadi saat negara-negara Arab dan Islam lebih banyak diam. Seakan-akan mereka semuanya menunggu runtuhnya Masjid Aqsha untuk selanjutnya mengeluarkan tuntutan dan kecaman.

Reaksi Otoritas Palestina atas aksi-aksi Zionis pun biasanya hanya berupa kecaman. Tentu kecaman tidak akan berarti apa-apa di hadapan instrumen Israel yang terus maju menghancurkan kota Yerusalem. Ditambah lagi menurunnya perhatian Dunia Arab atas isu Yerusalem disebabkan Revolusi Arab yang masih berlangsung.

Negosiasi perdamaian hanyalah kamuflase belaka. Sebab, penjajah Zionis tidak pernah memenuhi tuntutan pihak Palestina dan malah berusaha lari dari semua kesepakatan yang pernah ditandatangani bersama. Mereka senantiasa mengingkari kesepakatan dengan alasan ancaman keamanan, dan sebagainya. Agar

(25)

Al-25

roda perdamaian terus berjalan satu arah, sedang penindasan terus berlangsung di arah lain, untuk menciptakan realitas politik dan geografik baru. Adapun perluasan pemukiman terus dikonsentrasikan di Yerusalem dan sekitarnya. Rakyat Palestina tidak bisa berbuat banyak untuk membela Yerusalem dan menghadapi arogansi penjajah yang didukung secara penuh oleh kekuatan internasional. (F. Irawan)

Tentara Israel di depan Dome of the Rock 1967

(26)

Tank Israel merapat ke Yerusalem 1967

(27)

27

Daftar Pustaka

Ahron Bregman. 2015. Cursed Victory: A History of Israel and the Occupied Territories. London: Penguin Books Ltd.

Akhmad Muawal Hasan. 9 Juni 2017. “50 Tahun Perang 6 Hari dan Pendudukan Israel atas Palestina”

William Roger Louis & Avi Shlaim. 2012. The 1967 Arab-Israeli War: Origins and Consequences. New York: Cambridge University Press.

Jeremy Bowen. 5 Juni 2017. “1967 war: Six days that changed the Middle East”. http:// www.bbc.com/news/world-middle-east-39960461

Zena Tahhan. 6 Juni 2017. “1967 war: How Israel occupied the whole of Palestine”

http://www.aljazeera.com/indepth/features/2017/06/50-years-israeli-occupation-longest-modern-history-170604111317533.html

Referensi

Dokumen terkait