iii Skripsi :
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
Ika Kusumawati Fadhilah
E01213028
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
iii
ABSTRAK
Judul : Ika Kusumawati Fadhilah. Kohesi Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Kampung Berseri Astra Surabaya dalam Perspektif Relasi Intersubjektif Martin Buber. Skripsi. Jurusan Aqidah Filsafat Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 2017.
Relasi Intersubjektif Martin Buber berdasarkan pada konsep pemikirannya
tentang I-Thou (Aku-Engkau). Pada relasi I-Thou, manusia berjumpa secara
personal dengan sesamanya, di mana antara Aku-Engkau sama-sama bertindak sebagai subjek. Kelebihan manusia dibandingkan benda-benda yang ada di jagat ini adalah manusia mampu berelasi dengan diri sendiri, dengan benda dan dengan dunia yang ada di luar dirinya, yakni tempat manusia menemukan keutamaan hidup atau bisa disebut sebagai moralitas. Relasi yang terbentuk di kampung Berseri Astra terbangun atas kesadaran dari dalam diri dan timbul dengan sendirinya tanpa adanya suatu paksaan. Relasi yang baik tersebut tercermin dengan adanya kegiatan-kegiatan yang melibatkan seluruh masyarakat tanpa adanya pilih kasih, baik dalam hal kehidupan beragama, ekonomi atau sosial dan juga terciptanya suasana kampung yang bersih, hijau dan keamanannya pun sangat terjamin.
Relasi intersubjektif kampung berseri astra mendorong setiap individu untuk menyatukan keinginan menjadikan kampung tempat mereka tinggal yang dahulunya kumuh menjadi sebuah tempat yang bersih, indah dan nyaman. Inilah yang disebut dengan kohesi sosial, dimana suatu kelompok atau individu mempunyai kemampuan untuk menciptakan suatu lingkungan yang yaman bagi mereka. Dengan demikian, kohesi sosial dapat dilihat dari partisipasi anggota kelompok, rasa solidaritas yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa memiliki terhadap sebuah kelompok. Dengan melihat fenomena yang ada di Kampung Berseri Astra Surabaya peneliti bertujan untuk memaparkan bahwa di Kampung tersebut tercipta kohesi sosial dengan mengunakan analisa teori relasi
intersubjektif I-Thou Martin Buber.
xiii
DAFTAR ISI
COVER DEPAN... i
COVER DALAM... ii
ABSTRAK... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv
PENGESAHAN... v
PERNYATAAN KEASLIAN... vii
MOTTO... viii
PERSEMBAHAN... ix
KATA PENGANTAR... x
DAFTAR ISI... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian... 5
D. Manfaat Penelitian... 5
E. Tinjauan Pustaka... 6
F. Penegasan Judul... 8
G. Metode Penelitian... 9
H. Sistematika Pembahasan... 12
BAB II KAJIAN TEORI... 14
A. Kohesi Sosial... 14
xiv
1. Biografi Martin Buber... 24
2. Karya-karya Martin buber... 25
3. Pemikiran Filosofis Martin Buber... 26
BAB III HASIL PENELITIAN... 34
A. Monografi Kampung Berseri Astra Surabaya... 34
1. Letak Geografis... 34
2. Keadaan Demografis... 35
3. Kependudukan... 36
4. Keadaan Lembaga Sosial Pendidikan dan Keagamaan... 40
5. Keadaan Sosial Warga... 41
6. Perekonomian... 41
B. Data Tentang Kampung Berseri Astra Surabaya... 42
C. Kohesi Sosial Masyarakat Kampung Berseri Astra Surabaya... 49
BAB IV ANALISIS RELASI INTERSUBJEKTIF MARTIN BUBER DALAM MASYARAKAT KAMPUNG BERSERI ASTRA SURABAYA... 51
BAB V PENUTUP... 64
A. Kesimpulan... 63
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dari
makhluk Tuhan lainnya. Manusia dalam setiap periode sejarah, masing-masing
memiliki corak perkembangan pemikiran dan filosofi hidup yang berbeda-beda
yang dikembangkan secara turun-temurun, termasuk bagaimana manusia
membangun konsep hubungan antar sesama. Konsep hubungan antar manusia
yang tumbuh disetiap kelompok masyarakat memiliki corak yang berbeda pula,
karena manusia memiliki banyak kearifan yang kaya dengan perbedaan.
Manusia secara kodrati memiliki dua dimensi yaitu dimensi personal dan
sosial. Dimensi personal pada manusia menyatakan sisi rohani atau kualitas dalam
diri. Sebagai person manusia memiliki keunikan yang membedakannya dengan
yang lain. Sisi personal ini membuat manusia mampu menyadari dirinya serta
segala tindakannya. Manusia mampu menentukan dirinya sendiri, sehingga segala
tindakan dan kehendaknya berasal dari dirinya sendiri. Dengan segala kebebasan
dan tanggung jawab atas dirinya, manusia dapat menentukan perkembangan
dirinya.1
Namun manusia tidak hanya sebagai person tetapi juga sebagai individu.
Dalam diri manusia, person dan individu merupakan dua hal yang saling terkait
1
satu dengan yang lain. Meskipun berbeda person dan individu tidak dapat
dipisahkan dalam diri manusia. Hal ini dikarenakan manusia ialah jiwa yang
memiliki badan. Individu dalam diri manusia terkait dengan sisi luar manusia atau
jasmani. Dengan individualitasnya manusia ada di dunia, sehingga ia mampu
berinteraksi dengan sesama dan lingkungannya.2
Hidup bersama-sama dengan sesama membuat hidup manusia selalu
terkait dalam relasi dengan sesamanya. Dalam berelasi manusia hendaknya selalu
menghargai sesamanya sebagai subjek. Hal ini terjadi karena sesama juga person
yang memiliki keunikan seperti diri kita. Sesama bukan hanya individu seperti
benda atau hewan tetapi kesatuan yang tak terpisahkan antara person dan individu.
Sesama memiliki martabat yang sama dengan kita. Oleh karena itu, dalam berelasi
dengan sesama, manusia harus menghormati keunikanya sebagai manusia. Sikap
menghormati keunikan sesama menjadi dasar hidup bersama.3
Membahas mengenai relasi individu terdapat berbagai macam konsep
kohesi sosial yang sangat beragam tergantung kepada waktu, budaya, dll. Dalam
kohesi sosial kontemporer dapat didefinisasikan sebagai kemampuan masyarakat
untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anggotanya termasuk dengan
pemenuhan kebutuhan hidup didalamnya. Definisi ini mengacu terhadap
penjelasan dari Council of Europe’s Strategy for Social Cohesionang menekankan
komitmen sosial untuk mengurangi perselisihan dan mencegah pengelompokan.4
Kohesi sosial (social cohesion) dapat didefinisikan sebagai perekatan yang
dibangun oleh suatu komunitas berdasarkan ikatan kefamilian, klan dan genealogi
2
Ibid., 89.
3
Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dunianya (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 47.
4
dalam bingkai keetnikan. Secara tipologi, kohesi sosial dapat dikategorikan secara
kasar ke dalam dua tipe, yaitu: kohesi sosial intramasyarakat dan kohesi sosial
antarmasyarakat. Kohesi intramasyarakat secara historis terbentuk melalui suatu
mekanisme perbentukan sosio-kultur dalam suatu masyarakat tunggal (single
society). Kohesi sosial antarmasyarakat secara historis terbentuk melalui pertemuan sosial secara lintas masyarakat. Pertemuan sosial itu terbentuk oleh
adanya saling butuh, kemudian membentuk suatu mekanisme sosial saling
membantu. Jika kohesi sosial intramasyarakat terbentuk melalui mekanisme
interaksi sosial dalam satu masyarakat tunggal yang didorong oleh kesadaran
kekerabatan, kohesi sosial antarmasyarakat mungkin dibentuk oleh semangat
pertetanggaan dan saling bantu yang diolah dari sumber-sumber tata adab
mengenai etika bereksistensi dan persamaan makhluk ciptaan Tuhan yang diambil
dari teks-teks keagamaan.
Pada zaman sekarang relasi yang dibangun oleh manusia dengan
sesamanya terlihat kurang saling menghargai. Relasi yang terbangun saat ini lebih
condong pada apakah relasi yang saya bangun mendatangkan keuntungan pada
diri saya, bila relasi saya dengan sesama tidak ada gunanya maka tidak perlu
berelasi dengan sesama. Relasi tersebut cenderung bersifat fungsional dan bisa
hancur sewaktu-waktu jika tidak lagi berfungsi, dengan kata lain manusia hanya
memandang sesamanya tidak lebih hanya sekedar objek dan bukan sebagai subjek
lagi.
Oleh karena itu, menurut Martin Buber manusia mempunyai dua relasi
pihak relasi dengan sesama manusia dan Allah. Relasi yang pertama disebut
Ich-Es (I-It) dan relasi yang kedua diberi nama Ich-Du (I-Thou). Dalam bahasa
Indonesia barangkali dapat dikatakan Aku-Itu dan Aku-Engkau. Buber
mengakatan karena dua relasi ini “Aku” sendiri bersifat dwi-ganda, sebab “Aku”
yang berhubungan dengan “Itu” berlainan dengan “Aku” yang berhubungan
dengan “Engkau”.5
Setelah sedikit membahas, menelaah, dan mengkaji pemikiran Martin
Buber penulis dapat menemukan konsep relasi intersubjektif pada pola relasi
“Aku-Engkau” (I-Thou). Pada relasi ini, manusia berjumpa secara personal
dengan sesamanya, di mana antara aku dan engkau sama-sama bertindak sebagai
subjek. Pola relasi subjek dengan subjek inilah yang menjadi kekhasan dari relasi
intersubjektif.
Seperti halnya yang terdapat pada Kampung Berseri Astra Surabaya.
Dahulu di kampung tersebut adalah sebuah pemukiman yang kumuh karena
merupakan tempat pembuangan sampah. Tapi saat ini Kampung Berseri Astra
Surabaya telah menjadi kampung yang bersih, nyaman, dan tentunya aman. Hal
tersebut dikarenakan para warga mempunyai relasi intersubjektif yang tinggi
sehingga muncullah nilai-nilai moral dalam kehidupannya.
Permasalahan di atas inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk
meneliti lebih lanjut tentang konsep yang diciptakan Martin Buber untuk
menyadarkan manusia, terkait relasi intersubjektif dalam suatu masyarakat dan
kemudian direlevansikan dalam Kampung Berseri Astra Surabaya , dengan judul
5
“Kohesi Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Kampung Berseri Astra Surabaya
dalam Perspektif Relasi Intersubjektif Martin Buber”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat di ambil beberapa
rumusan masalah, yakni :
1. Bagaimana kohesi sosial yang ada di Kampung Berseri Astra Surabaya?
2. Bagaimana kohesi sosial yang ada di Kampung Berseri Astra Surabaya
perspektif relasi intersubjektif Martin Buber?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, yakni :
1. Untuk mengetahui kohesi sosial yang ada di Kampung Berseri Astra
Surabaya .
2. Untuk mengetahui kohesi sosial yang ada di Kampung Berseri Astra
Surabaya perspektif relasi intersubjektif Martin Buber.
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang telah diuraikan, penelitian ini diharapakan dapat
1. Manfaat Teoritis
Penulis berharap dengan diadakannya penelitian ini makadapat memberikan
wawasan serta pengetahuan baru tentang interaksi dengan sesama manusia
sehingga dapat menghasilkan nilai-nilai moral yang tinggi.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan rasa saling menghargai
antar sesama manusia sehingga lahir nilai-nilai moral yang tinggi.
b. Diharapkan dapat dijadikan salah satu informasi dalam mengembangkan
Kampung Berseri Astra Surabaya .
c. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memotivasi agar masyarakat
tetap menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
E.
Tinjuan Pustaka
Sebagai bahan acuan penelitian ini, penulis berusaha mengkaji beberapa
pembahasan yang berhubungan dengan tema ini. Adapun diantara penelitian yang
berhubungan dengan tema ini yaitu :
1. Konsep Relasi Manusia Berdasarkan Pemikiran Martin Buber, ditulis oleh
Robeti Hia, Graduate Student Department of Theology Parahyangan Catholic
University Bandung, Indonesia, 2014. Relasi manusia dengan benda ditandai
kekuasaan manusia untuk menaklukkan dan menguasai benda yang ada di
sekitarnya. Relasi manusia dengan manusia yang lain sangat berbeda dengan
relasi itu. Setiap kali kita memberi pertanyaan kepada orang yang kita jumpai,
timbal balik. Kalau ada orang yang tidak menjawab kita, relasi yang muncul
dianggap tidak manusiawi karena hanya terjadi antara manusia dengan benda.
Relasi manusia dengan Sang Ilahi memiliki keistimewaan dari dua jenis relasi
di atas. Relasi manusia dengan manusia bisa berubah seperti relasi manusia
dengan benda, tetapi relasi manusia dengan Sang Ilahi tidak pernah berubah.
Manusia bisa taat dan percaya kepada Allah atau menolak Allah. Akan tetapi,
dalam batas tertentu manusia akan kembali kepada Allah. Allah bukan objek
yang bisa diperlakukan sebagai manusia atau benda, karena Allah adalah
abadi atau kekal.
2. Konsep Relasi Intersubjektif Menurut Martin Buber, oleh Darmokusumo
Atmojo Sugiharto, Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya,
2014. Penulis dapat menemukan konsep relasi intersubjektif pada pola relasi
“aku-engkau” (I-thou). Martin Buber memberi nama relasi intersubjektif
dengan relasi “aku-engkau” (I-thou). Pada relasi ini, manusia berjumpa secara
personal dengan sesamanya, di mana antara aku dan engkau sama-sama
bertindak sebagai subjek. Pola relasi subjek dengan subjek inilah yang
menjadi kekhasan dari relasi intersubjektif.
3. Relasi Antar Manusia Dalam Nilai-Nilai Budaya Bugis (Perspektif Filsafat
Dialogis Martin Buber), oleh Muhamad Hadis Badewi, Program Master,
Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2013. Sebagai makhluk yang berkesadaran, manusia Bugis
dalam perjalanan kehidupannya kemudian mengkonstruksi nilai-nilai yang
kesadaran manusia Bugis, kemudian menghasilkan konsep-konsep relasi
antar manusia yang mengantarkan manusia Bugis untuk menghadirkan
manusia lain sebagai subjek, sebagaimana dirinya sebagai subjek, untuk
saling menghadirkan dan berdialog antar subjek.
F. Penegasan Judul
Sebelum memasuki inti pembahasan terlebih dahulu penulis uraikan dan
sekaligus ditegaskan kata-kata dan istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini,
yakni: “Kohesi Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Kampung Berseri Astra
Surabaya dalam Perspektif Relasi Intersubjektif Martin Buber”. Hal ini penulis
lakukan agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memberikan interpretasi.
adapun kata-kata yang perlu diuraikan dan ditegaskan adalah sebagai berikut:
Kohesi : Kemapuan masyarakat intuk menciptakan lingkungan yang aman
bagi anggotanya.
Sosial : Berkenaan dengan masyarakat6
Masyarakat : Hubungan antara manusia, pergaulan hidup manusia.7 Sejumlah
manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu
kebudayaan yang mereka anggap sama.8
Relasi : Hubungan, perhubungan, pertalian.9
Subjektif : Mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak
lansung mengenai pokok atau halnya.10
6
Kbbi.web.id (Jum’at, 11 Agustus 2017, 20:59).
7
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia (Jakarta: IKAPI, 1996), 104.
8
Balai Pustaka, Kamus Besar, 721.
9
Relasi Intersubjektif Martin Buber: Hubungan antara individu dengan individu
lain. Relasi ini disebut sebagai hubungan antara Aku dan Engkau
(I-Thou), yaitu suatu bentuk hubungan saling menghargai dan memahami dengan kata lain, adanya suatu kesamaan tujuan dengan
menjalin hubungan dalam suatu perjumpaan. Perjumpaan yang
dimaksud oleh Buber bukanlah suatu bentuk pertemuan dua
individu dari segi pengalaman biasa, tetapi suatu perjumpaan yang
transendental. Di mana perjumpaan tersebut adalah suatu anugerah
atau berkah dari kekuatan Ilahi.
Jadi yang dimaksud dengan judul di atas adalah pemaparan tentang
hubungan atau interaksi yang terbangun antar sesama manusia di masyarakat
Kampung Berseri Astra Surabaya.
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami
suatu fenomena dalam konteks sosial secara ilmiah dengan mengedepankan
proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dan fenomena
yang diteliti.11 Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan
analisisnya pada prode penyimpulan deduktif serta pada analisis terhadap
10
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), 154.
11
dinamika hubungan antar fenomena yang di amati, dengan menggunakan
logika ilmiah.12
Dengan menggunakan metode penelitian lapangan, penulis melakukan
penelitiannya secara langsung, yaitu observasi dan wawancara. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan teori intersubjektif dari Martin Buber.
Teori tersebut merupakan teori yang sangat tepat untuk membantu
mengidentifikasi dan meneropong suatu pandangan hidup yang terdapat pada
masyarakat Kampung Berseri Astra Surabaya dan untuk membantu
memahami nilai-nilai moral yang lahir dariperilaku masyarakat tersebut.
2. Sumber Data
Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai segala hal yang
berkaitan dengan tujuan penelitian. Dengan demikian tidak segala informasi
atau keterangan merupakan data. Data hanyalah sebagian saja dari informasi,
yaitu yang berkaitan dengan penelitian.13
Penulis mengumpulkan data dari dua sumber, sumber tersebut yakni
data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari hasil wawancara
secara langsung di Kampung Berseri Astra Surabaya , sedangkan data
sekunder sendiri yakni berupa data yang diperoleh dari kepustakaan yang ada
kaitannya dengan penelitian dan bersifat menunjang serta melengkapi sumber
data primer. Sumber data ini berbentuk jurnal, buku-buku penelitian ilmiyah,
dokumentasi dan lain-lain.
12
Saifudin Azwar, Metode Penelitian (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), 5.
13
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini ada beberapa teknik yang dapat digunakan sebagai
penggalian atau pengumpulan data secara fakta. Teknik-teknik tersebut yakni:
observasi, wawancara, dokumen pribadi dan resmi, foto, rekaman, gambar
dan percakapan informal, semua merupakan sumber data kualitatif.14 Berikut
teknik pengumpulan data dalam penelitian ini:
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja,
sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk
kemudian dilakuakn pencatatan.15 Disini penulis terjun langsung ke
Kampung Berseri Astra Surabaya untuk melakukan observasi, penulis
mengamati keadaan dengan teliti dan yang sebenarnya tanpa adanya
manipulasi.
b. Wawancara
wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal
jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Dalam
wawancara, pertanyaan dan jawaban diberikan secara verbal. Biasanya
komunikasi ini dilakukan dalam keadaan saling berhadapan, namun
komunikasi dapat juga dilakukan melaui telpon.16 Penulis telah
melakukan wawancara dengan cara dialog tanya jawab kepada informan.
Informan tersebut berjumlah 8 orang, diantaranya yakni :
1) Bapak Putut, Sekretaris Kelurahan Keputih Surabaya
14
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta:Rajawali Pers, 2012), 37.
15
Joko Subagyo, Metode Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 63.
16
2) Bapak Tri Priyanto, Koordinator Kampung Berseri Astra Surabaya
3) Bapak Sutikto, Sekertaris Linkungan Kampung Berseri Astra
Surabaya
4) Bapak Suratmo, Ketua RT 08 RW 08
5) Bapak Imam, Sekretaris RT 03 RW 08
6) Ibu Tatik, warga
7) Ibu Mujiati, warga
c. Dokumen
Metode ini dipergunakan penulis untuk memperoleh data yang
dibutuhkan dengan memanfaatkan dokumen tentang keadaan Kampung
Berseri Astra Surabaya yaitu berupa foto-foto.
H. Sistematika Pembahasan
Adapun hasil penelitian iniakan dibagi dalam beberapa bab dan
masing-masing bab akan membahas sesuatu yang menunjang dalam penulisan Skripsi ini.
penulis menggunakan skema penulisan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan, pada bab ini penulis hendak membahas tentang latar
belakang pemilihan tema dan judul, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan tinjauan
pustaka.
BAB II : Kajian Teori, pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang
kohesi sosial dan riwayat hidup serta pemikiran Martin Buber
BAB III : Kampung Berseri Astra Surabaya, pada bab ini penulis akan
mendeskripsikan secara singkat tentang kampung tersebut.
BAB IV : Analisis, meliputi tentang kohesi sosial yang terdapat pada
Kampung Berseri Astra Surabaya dalam relasi intersubjektif Martin
Buber.
14
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kohesi Sosial
Masyarakat dan budaya merupakan fenomena yang tidak terpisahkan.
Unsur-unsur budaya adalah agama, teknologi, ekonomi, bahasa, organisasi sosial,
kesenian, dan ilmu pengetahuan. Antara unsur-unsur tersebut terjalin satu sama
lain dan saling berpengaruh. Perubahan pada salah satu unsur saja akan
menyebabkan perubahan pada unsur-unsur lainnya.
Masyarakat terdiri dari sekumpulan manusia yang terikat oleh sistem nilai
tertentu. Antara manusia atau anggota masyarakat terjalin kohesi sosial yang
ditandai dengan adanya kekeratan sosial. Setiap manusia memiliki unsur-unsur
budaya tersebut. Oleh karena itu adanya perubahan dalam salah satu unsur dapat
mempengaruhi kohesi sosialnya.1
Secara etimologi kohesi mempunyai arti kemampuan suatu kelompok
untuk menyatu. Sedangkan kohesi sosial mempunyai arti hasil dari hubungan
individu dan lembaga. Konsep kohesi sosial sebenarnya berasal dari tesis Emile
Durkheim. Menurut Emile, terdapat solidaritas mekanik yang diindikasikan
dengan adanya aktor yang kuat dalam masyarakat, lalu terdapat solidaritas organik
yang diindikasikan dengan saling bergantungnya individu sehingga akan
terbentuk suatu kohesi sosial dengan sendirinya. Disamping itu, Durkheim
mengulas solidaritas dan angka bunuh diri dalam masyarakat bersahaja sebagai
1
bersifat mekanis, karena sifatnya yang spontan, sedangkan pada masyarakat yang
kompleks bersifat organis.2
Kohesi sosial juga dapat diartikan sebagai hal yang didasarkan pada
keterikatan masyarakat yang terbentuk dengan sendirinya, bukan hasil dari
pemahaman untuk mencapai kohesi sosial. Jika definisi kohesi sosial didasarkan
pada persamaan nilai dan rasa memiliki maka kohesi sosial dapat diartikan
sebagai kondisi yang tercipta karena persamaan nilai, persamaan tantangan, dan
kesempatan yang setara didasari oleh harapan dan kepercayaan. Kohesi sosial
didasarkan pada kemampuan untuk bekerja bersama dalam suatu entitas yang
akan menghasilkan kohesi sosial.3
Manusia memiliki dua keinginan yang selalu melekat di dalam dirinya,
yaitu keinginan untuk menyatu dengan alam lingkungannya dan keinginan untuk
menyatu dengan manusia lain dalam rangka memudahkan proses hidupnya.
Dengan demikian, manusia memiliki kecenderungan untuk bersatu agar bisa
saling berhubungan. Hubungan antara manusia satu dan lainnya tersebut disebut
interaksi. Dari interaksi akan menghasilkan produk-produk interaksi, yaitu tata
pergaulan yang berupa nilai dan norma yang berupa kebaikan dan keburukan
dalam ukuran kelompok tersebut. Pandangan tentang apa yang dianggap baik dan
apa yang dianggap buruk tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku
sehari-harinya. Secara individual tidak ada manusia yang mampu memenuhi
2
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta Utara: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 400.
3
kebutuhannya sendiri. Ia membutuhkan peran orang lain dalam rangka memenuhi
kebutuhan tersebut.4
Definisi lain tentang kohesi sosial dinyatakan Johson and Johnson.
Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip oleh Noorkamilah menyatakan bahwa
kohesi sosial dalam sebuah komunitas terjadi ketika anggota-anggota kelompok
saling menyukai dan saling menginginkan kehadiran satu dengan lainnya.
Kemudian Noorkamilah menambahkan bahwa kohesi sosial dapat dilihat dari
partisipasi anggota komunitas, rasa solidaritas yang menumbuhkan rasa
kebersamaan dan rasa memiliki terhadap sebuah kelompok. Selain itu, Mollering
seperti yang dikutip oleh Primadona menyatakan bahwa salah satu fungsi penting
kepercayaan (trust) dalam hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan adalah
pemeliharan kohesi sosial, trust membantu merekatkan setiap komponen sosial
yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai.
Selain itu, menurut Faturochman seperti yang dikutip oleh Yuasidha
faktor-faktor yang membentuk kohesi sosial, yakni setiap anggotanya komitmen
tinggi, interaksi didominasi kerjasama bukan persaingan, mempunyai tujuan yang
terkait satu dengan yang lainnya dan sesuai dengan perkembangan waktu tujuan
yang dirumuskan meningkat, terjadi pertukaran antar anggota yang sifatnya
mengikat, dan ada ketertarikan antar anggota sehingga relasi yang terbentuk
menguatkan jaringan relasi di dalam komunitas.
Menurut Taylor et al. seperti yang dikutip oleh Wulansari et al.
menyatakan bahwa kohesi sosial diartikan sebagai kekuatan, baik positif maupun
4
negatif, yang menyebabkan anggota tetap bertahan dalam komunitas. Kohesi
sosial dapat meningkat seiring dengan tingginya rasa suka antar anggota. Anggota
dapat saling menyukai ketika mereka saling menerima. Cartwright seperti yang
dikutip oleh Ramdhani dan Martono menambahkan bahwa kohesi sosial
merupakan derajat kekuatan ikatan dalam satu kelompok yang masing-masing
anggotanya secara psikologis menjadi saling tarik menarik dan saling tergantung.
Hal tersebut digambarkan oleh Ramdhani dan Martono pada penelitiannya
mengenai kohesi sosial pada masyarakat miskin, tingkat kohesi sosial yang paling
tinggi terdapat pada anggota yang sudah ikut KSM (Kelompok Swadaya
Masyarakat) selama 2 tahun dibandingkan dengan anggota yang baru saja ikut dan
belum ikut KSM. Perbedaan tingkat kohesi sosial tersebut karena adanya
pembinaan dari sukarelawan, lamanya anggota dalam sebuah kelompok, saling
ketergantungan antara masing-masing anggota, dan kelompok-kelompok kecil
yang sudah terdapat di dalam masyarakat.
Prinsip tanggung renteng diterapkan dalam rangka mempererat saling
ketergantungan antara masing-masing anggota kelompok yang telah mengakar
pada diri anggota sebagai bentuk budaya dari masyarakat setempat yang pada
umumnya masih memegang teguh nilai-nilai adat luhur menjadikan tingkat kohesi
sosial menjadi kuat. Menurut Myers seperti yang dijelaskan oleh Kaslan kohesi
sosial merupakan perasaan “we feeling” yang mempersatukan setiap anggota
antar individu dalam suatu komunitas. Rasa memiliki ini yang membuat individu
menyadari bahwa ia merupakan bagian dari komunitas.5
Sense of Community Index (SCI) adalah ukuran kuantitatif yang paling sering digunakan dalam mengukur rasa komunitas pada ilmu sosial. SCI
berdasarkan teori rasa komunitas yang dibawa oleh Mc Milan dan Chavis seperti
yang dikutip oleh Chavis et al. dimana rasa komunitas dapat dilihat dari
keanggotaan, pengaruh, pengutan kebutuhan, dan berbagi hubungan emosional.
Hasil studi rasa komunitas tersebut telah menunjukkan bahwa SCI menjadi
indikator yang kuat dari suatu perilaku (seperti partisipasi) dan valid
pengukurannya.6
Kohesi merupakan unsur yang menyebabkan sekelompok kalimat
membentuk kesatuan makna. Kohesi merujuk pada keterkaitan antara proposisi
yang secara eksplisit diungkapkan oleh kalimat-kalimat yang digunakan. Kohesi
merupakan keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain
dalam wacana. Kohesi lebih cenderung pada aspek bentuk atau dari dalam
(internal).
Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara
struktural membentuk ikatan sintaktikal. Wacana yang baik dan utuh
mensyaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Konsep kohesi pada dasarnya
mengacu kepada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau
kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan
5 Vany Ardianto, “Tingkat Penggunaan Telepon Genggam dan Kohesi Sosial pada Masyarakat
Pedesaan”, Skripsi, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakutas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, 2006. 7-8.
6
secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi termasuk dalam aspek internal
struktur wacana. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Tarigan
mengemukakan bahwa penelitian terhadap unsur kohesi menjadi bagian dari
kajian aspek formal bahasa.
Kohesi sosial bukanlah konsep yang tercipta secara teknis, melainkan
suatu interpretasi yang didasarkan pada pengalaman empirik yang dialami oleh
pelaku di lembaga yang termotivasi karena rasa tanggung jawab untuk mencari
solusi dari konflik yang terjadi di masyarakat. Kohesi sosial juga memfokuskan
kepada tujuan politik. Tujuan politik yang ingin dicapai pada masa kini
menekankan mengenai upaya pemenuhan hak individual berupa hak sipil dan
politik serta ekonomi dan sosial.
Sementara itu, kohesi sosial dianggap bukan merupakan suatu proses
natural yang terjadi begitu saja, namun merupakan hasil dari hubungan dari
individu dengan lembaga atau institusi dalam suatu aturan yang diakui dalam
suatu komunitas. Maka dari itu aturan main yang berlaku berasal dari komunitas
tertentu untuk lingkungan didalamnya.Terdapat empat elemen yang secara mutlak
tidak dapat dipisahkan dalam mencapai keadaan dimana masyarakat sejahtera dan
lingkungan terbebas dari konflik sosial. Keempat elemen ini secara garis besar
merupakan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) yang berupa kesetaraan tanpa
adanya diskriminasi, harkat dan martabat dijunjung tinggi, komitmen untuk
berpartisipasi serta kebebasan individu dengan adanya pengembangan diri.
Keempat hal ini merupakan bagian yang terikat dan saling bergantung satu
kesejahteraan masyarakat diperlukan keseimbangan akan empat instrumen ini.
Sedangkan dalam menjawab tantangan tentang bagaimana menciptakan kohesi
sosial dalam masyarakat kontemporer, jawabannya kembali kepada mewujudkan
lingkungan yang berdasar pada solidaritas organic, karena masyarakat
kontemporer sangatlah tergantung akan pemenuhan hak bagi setiap individu yang
menyebabkan ketergantungan antar individu yang ada.7
Ada berbagai definisi kohesi sosial, Forrest dan Kearns menyatakan bahwa
ranah-ranah kohesi sosial adalah:
1. Nilai-nilai bersama dan sebuah budaya warga (civic culture)
2. Keteraturan sosial dan kendali sosial
3. Solidaritas sosial
4. Jejaring sosial dan modal sosial
5. Kelekatan dan identifikasi pada tempat (place attachment and identity).
Pengertian ini masih bersifat sosiologis (sebagaimana kebanyakan studi
tentang kohesi sosial) dan menjadi dasar pengukuran kohesi atau kerekatan sosial
secara objektif. Pada 1990, Bollen dan Hoyle mengisi kesenjangan literatur yang
ada mengenai kohesi sosial. Menurut mereka, disamping pengukuran objektif,
pengukuran terhadap persepsi individual anggota kelompok mengenai tingkat
kohesinya dengan kelompok juga tidak boleh diabaikan karena persepsi ini
berpengaruh pada tingkah laku individu tersebut maupun tingkah laku kelompok
7
secara keseluruhan. Konstruk mereka dinamai persepsi kohesi sosial (perceived
cohesion), bersifat subjektif-psikologis.8
Kalimat-kalimat yang kohesif ditandai oleh adanya peranti kohesi.
Menurut Halliday dan Hasan membagi peranti kohesi wacana ke dalam kelompok
yaitu kohesi leksikal dan garamatikal. Yang termasuk kohesi garamatikal yaitu:
referensi, subtitusi, elepesis, kanonjungsi.
1. Referensi
Dalam wacana lisan atau tulisan terdapat berbagai unsur seperti pelaku
perbuatan, penderita, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku, dan tempat perbuatan. Unsur itu acapkali harus diulang-ulang
untuk mengacu kembali untuk memperjelas makna. Oleh karena itu,
pemilihan kata serta menempatkannya harus benar sehingga wacana tadi
tidak kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata lain referensinya harus
jelas. Referensi yang di dalamnya ada suatu maksud dasar untuk
mengenali dan suatu kerja sama pengenalan tujuan di lapangan. Proses ini
tidak hanya membutuhkan kerja seorang penutur dan seorang pendengar.
2. Subtitusi
Menurut Halliday dan Hasan mereka berpegang pada pandangan subtitusi
sederhana yang di situ suatu unkapan dapat begitu saja diganti dengan
yang lain dalam teks. Perhatiakn cotoh berikut: Cuci dan masaklah enam
apel. Letakkan mereka ke dalam panci. Bahwa kata “mereka” pada kalimat
8 Afifatun Nisa dan Juneman, “Peran Mediasi Persepsi Kohesi Sosial dalam Hubungan Prediktif
yang kedua itu mengacu ke belakang kepada enam apel. Substitusi
(penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur
lain dalam satuan yang lebih besar. Pengantian dilakukan untuk
memperoleh unsur pembeda atau menjelaskan struktur tertentu. Substitusi
termasuk pemilihan suatu unsur wacana dengan unsur lain yang acuannya
tetap sama, dalam hubungan antar bentuk kata atau bentuk lain yang lebih
besar dari pada kata, seperti farsa atau klausa.
3. Elipsislipsis
Elipsislipsis (penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata
atau satuan-satuan bahasa lain yang dapat dimunculkan kembali dalam
pemahamanya. Bentuk atau unsur yang dilesapkan dapat diperkirakan
wujudnya dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa. Elipsis juga
merupakan pengantian unsur kosong (zero), yaitu unsur yang sebenarnya
ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan. Tujuan pemakaian
elipsis ini, salah satunya yang terpenting ialah untuk mendapatkan
kepraktisan bahasa, yaitu agar bahasa yang digunakan menjadi lebih
singkat, padat, dan mudah dimengerti dengan cepat. Dengan kata lain,
elipsis digunakan untuk efektivitas dan efisiensi berbahasa. Unsur yang
biasanya dilesapkan dalam suatu kalimat ialah subjek atau predikat.
4. Konjungsi
Konjungsi (kata sambung) adalah bentuk atau satuan bahasa yang
berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung kata dengan
bahkan paragraf dengan paragraf. Konjungsi disebut juga sarana perangkai
unsur-unsur kewacanaan. Konjungsi atau penghubung mempunyai peranan
penting dalam wacana. Dengan bantuan kata sambung ini besar
peranannya dalam mewujudkan kohesi gramatikal. Perhatikan bahwa di
sini kata konjungsi digunakan sebagai salah satu jenis kohesi gramatikal
sekaligus sebagai alat gramatikalnya.
Terdapat bukti-bukti bahwa persepsi kohesi sosial dikontribusikan oleh
utilisasi atau pemanfaatan ruangterbuka publik (public open space). Pasaogullari
dan Doratli (2004) dalam salah satu studi deskriptifnya menemukan 60% dari 116
respondennya menyatakan bahwa penggunaan ruang publik mempengaruhi
interaksi sosial. Sementara itu, sebagaimana dinyatakan oleh Porta (1999), kajian
literatur sepanjang lebih dari tiga puluh tahun menunjukkan bahwa kebanyakan
otak manusia di ruang terbuka publik adalah kontak dengan intensitas rendah
seperti melihat dan menonton orang lain, memberikan atau menerima informasi,
atau memberikan komentar sambil lalu. Namun demikian, kontak inilah yang
merupakan langkah pertama dan fundamental untuk memicu variasi hubungan
interpersonal dan sosial. Interaksi dan relasi sosial ini selanjutnya membawa pada
kohesi sosial.
Berdasarkan studi-studi yang dipaparkan, nampak bahwa riset-riset tentang
hubungan antara tingkat pemanfaatan ruang terbuka publik dengan kohesi sosial,
dan hubungan antara kohesi sosial dengan kesehatan jiwa telah dilakukan. Namun
secara integratif, sejauh peneliti ketahui, tidak pernah dilakukan, khususnya di
Indonesia.9
B. Relasi Intersubjektif Martin Buber 1. Biografi Martin Buber
Martin Buber lahir di Wina pada tahun 8 Februari 1878. Ketika ia
berusia 3 tahun, orang tuanya cerai dan Martin dibesarkan di Lemberg
(Galicia), Polandia, di rumah eyangnya, Solomon Buber, yang bekerja di
bidang perbankan dan terkenal sebagai ahli dalam kebudayaan Yahudi.
Dalam masa mudanya ia sudah berkenalan dengan khasidisme, suatu aliran
mistik Yahudi yang berkembang di Eropa timur dalam abad ke-18.
Dikemudian hari Buber akan menulis banyak tentang aliran mistik ini
dan dengan demikian memperkenalkan khasidisme di Jerman dan seluruh
dunia Barat. Kita mendengar bahwa pada umur 15 tahun ia sudah membaca
buku Kant Prolegomena zu einer jeden kunftigen Metaphysik (Penganatr pada
setiap metafisika yang mendatang) dan dua tahun kemudian buku Nitzsche
Also sprach Zarathustra (Demikianlah kata Zathustra).10
Ia mulai belajar filsafat di Universitas Wina, lalu meneruskan studinya
di Leipzig, berlin, Basel dan Zurich, di mana ia mengikuti pelbagai mata
kuliah. Akhirnya ia meraih gelar “doktor filsafat” pada universitas di Wina.
Pada tahun 1898 ia bertemu dengan Theodor Herz, pendiri gerakan
zionisme, dan sejak saat itu ia aktif dalam gerakan itu. Pada tahun 1916 ia
9
Ibid.
10
menerbitkan majalah Der Jude (Orang Yahudi) yang menjadi organ umum bagi masyarakat Yahudi di Jerman sampai tahun 1924. Pada tahun 1919 ia
menjadi anggota gerakan Hapoel Hazair (Pekerja muda), suatu organisasi
Yahudi di Palestina yang menolak terbentuknya suatu negara Yahudi yang
mencita-citakan satuan-satuan pemukiman Yahudi yang mempunyai dasar
sosialistis (apa yang kemudian dikenal sebagai kibbutz).
Kita sudah mendengar bahwa Buber mengajar di Das Freie Judische
Lehrhaus di Frankfurt. Pada tahun 1923 ia diangkat sebagai profesor luar biasa pada Universitas Frankfurt untuk mengajar filsafat agama dan etika
Yahudi. Bersama sahabatnya, Franz Rosenzweig, ia mulai suatu terjemahan
alkitab Yahudi (Perjanjian lama) dalam bahasa Jerman. Jika Rosenzweig
meninggal pada tahun 1929, Buber sendiri menyelesaikan pekerjaan itu dan
pada tahun 1937 terjemahan terbit dalam 15 jilid. Pada tahun 1965 ia
meninggal dunia di Yarusalem dalam usia 87 tahun.11
2. Karya-karya Martin Buber
Martin Buber menghasilkan banyak tulisan, karya-karya yang utama
dikumpulkan dalam edisi yang berjudul Martin Buber Werke, tiga jilid,
1962-1964, Munchen, Kosel Verlag dan Heidelberg, Lambert Schneider Verlag.
Tetapi perlu diperhatikan bahwa edisi ini tidak lengkap. Tiga jilid tersebut
mengumpulkan karangan-karangan Buber yang menyangkut tiga bidang:
yang pertama tentang filsafat, yang kedua tentang Alkitab serta agama
Yahudi, dan yang ketiga tentang khasidisme.
11
Buber menjadi masyhur melalui bukunya Ich und Du (1923) (Aku dan Engkau). Dikemudian hari ia menulis beberapa buku lagi yang sebagain besar
mengembangkan tema-tema yang sudah terdapat dalam buku dari tahun 1923:
Zwiesprache (1932) (Dialog), Die Frage an den Einzelnen (1936)
(Pertanyaan kepada manusia perorangan), Das Problem des Menschen
(Manusia sebagai problem) (1948: aslinya dalam bahasa Ibani 1943), Zur
Geschichte des dialogischen Prinxips (1954) (Sejarah prinsip dialogis). Suatu buku yang mengumpulkan pelbagai karangan tentang filsafat agama, diberi
judul: Gettsfinsternis (1953) (Gerhana Allah).12
3. Pemikiran Filosofis Martin Buber (I-Thou)
Berbeda dengan filsafat Rosenzweig, karya-karya filosofis Buber
memperoleh publik besar di dunia Barat dan tidak terbatas pada kalangan
Yahudi saja. Yang paling berpengaruh antara karya-karya filosofisnya ialah
buku kecil yang berjudul Ich und Du (Aku dan Engkau).
Menurut Buber manusia mempunyai dua relasi yang fundamental
berbeda: di satu pihak relasi dengan benda-benda dan di lain pihak relasi
dengan sesama manusia dan Allah. Relasi yang pertama disebut Ich-Es (I-It)
dan relasi yang kedua diberi nama Ich-Du (I-Thou). Dalam bahasa Indonesia
dapat dikatakan Aku-Itu dan Aku-Engkau.
Buber mengatakan bahwa karena dua relasi ini “Aku” sendiri bersifat
dwi-ganda sebab “Aku” yang berhubungan dengan “Itu” berlainan dengan
“Aku” yang berhubungan dengan “Engkau”. Tetapi biarpun relasi-relasi itu
12
berbeda, namun “Aku” tidak pernah tanpa relasi; “Aku” tidak pernah
merupakan suatu “Aku” yang terisolit. There is no I as such but only the I of
the basic world I-You and the I of the basic world I-It.13
Relasi Aku-Itu menandai dunia dari Erfahrung (kata Jerman Erfahrung
berarti pengalaman, tetapi oleh Buber kata ini hanya dipakai berkaitan dengan
benda), kata Buber, berarti dunia di mana saya menggunakan
benda-benda, menyusun benda-benda-benda, memperalat benda-benda. Dunia ini ditandai
kesewenang-wenangan. Semua dalam dunia ini diatur menurut
kategori-kategori seperti misalnya milik dan penguasaan.
Relasi Aku-Engkau menandai dunia dari Beziehung (artinya hubungan,
tetapi dikhususkan oleh Buber hanya bagi persona-persona), berarti dunia di
mana Aku menyapa Engkau dan Engkau menyapa Aku, sehingga terjadi
dialog yang sejati. Dalam dunia ini Aku tidak menggunakan Engkau, tetapi
Aku menjumpai Engkau. Perjumpaan merupakan salah satu kategori yang
khas bagi dunia ini, seperti juga kategori-kategori cinta dan kebebasan. Tentu
saja, selalu mungkin bahwa Engkau selalu diperlakukan sebagai itu. Kalau
begitu, Engkau bagi Aku tidak lagi sesama manusia, melainkan suatu benda,
objek yang dapat saya gunakan atau yang tidak boleh mengganggu
kesenangan saya.14
Dalam istilah Buber, Ich-Es atau I-It yang berarti Aku-Itu, menandai
dunia Erfahrung yaitu dunia yang berkaitan dengan benda-benda. Benda yang
dimaksud adalah segala sesuatu jenis benda apapun di sekitar manusia, tidak
13
Ibid., 163.
14
terpaku pada satu jenis benda tertentu. Dasar dari dunia Aku dan sesuatu atau
I-It, tampak dalam pernyataan Buber: “The Basic ord I-It can never be
spoken with one’s whole being.” Benda-benda di sekitar kita dianggap tidak
dapat berbicara kepada manusia yang sedang berelasi dengan benda-benda
tersebut. Kebebasan manusia menjadi lebih sangat berarti (meaningful).
Manusia tidak tergantung pada kebebasan benda-benda tersebut.
Intinya bahwa benda yang ada di sekitar manusia tidak memiliki
kebebasan dan dengan demikian, manusialah yang memiliki kebebasan penuh
untuk mengatur benda-benda tersebut. Relasi manusia dengan benda-benda di
sekitarnya sebenarnya tidak jahat bila manusia tidak memanipulasi dan tidak
memperkosa, mengubah, atau memperalat It. Buber mengatakan: “And in all
the seriousness of ruth, listen: without It a human being cannot live. But
whoever lives only with that is not human.” Dengan kata lain, kehadiran
benda-benda yang ada di sekitar kita, memungkinkan kita lebih lancar dalam
menjalani hidup. Pada titik ini, benda pun memiliki kontribusi yang berarti
dalam hidup manusia. Buber sengaja mengambil contoh relasi manusia
dengan benda dalam memahami relasi manusia dengan sesamanya. Padahal,
manusia sering memperlakukan sesamanya manusia sebagai benda. Kalau
manusia memiliki kebiasaan mengatur benda dan menguasai benda pada saat
dengan sesama manusia. Bagi Buber, relasi manusia dengan manusia selalu
„mutual’ atau timbal balik.15
I-Thou, atau Ich-Du memiliki arti Aku-Engkau. Aku dan Engkau bukan makhluk yang asing dalam sebuah realitas perjumpaan. Engkau adalah orang
lain dan bukan makhluk yang berbeda dengan Aku sebagai manusia. I-Thou
adalah sama-sama manusia yang hidup dalam suatu alam yang sama dan
memiliki kemampuan serta kelebihan dan kekurangan dalam mewujudkan
kebaikan. I-Thou juga berbeda dengan I-It karena I-Thou selalu memiliki
kemampuan untuk menguasai benda-benda.
Kelebihan manusia dibandingkan benda-benda yang ada di jagat ini
adalah manusia mampu berelasi dengan diri sendiri, dengan benda dan
dengan dunia yang ada di luar dirinya, yakni tempat manusia menemukan
keutamaan hidup atau bisa disebut sebagai moralitas. Bagi Buber, hidup
manusia terbagi atas dua provinsi atau dua wilayah yang sangat besar dan
sangat berpengaruh dalam hidup manusia, yakni institusi dan perasaan. Buber
membedakan institusi dan perasaan. Perasaan dan institusi adalah istilah dan
kata yang berbeda tetapi memiliki relasi satu sama lain seperti manusia
memiliki relasi terhadap manusia yang lain.
Institusi selalu berada di luar (“out there”) diri saya. Saya juga selalu
berelasi dengan institusi yang ada di luar diri saya itu. Institusi memiliki
hukum, memiliki aturan yang selalu indah dan kadang-kadang ada kesukaran
untuk menjalankannya secara bersama-sama. Institusi itu juga bukan lahan
15Robeti hia, “Konsep Relasi manusia berdasarkan Pemikiran Martin Buber”,
atau bangunan yang didirikan secara pribadi dan menjadi milik sendiri,
melainkan adalah milik bersama, sehingga semua orang yang bergabung
dalam institusi tersebut akan melihat wajah yang lain, akan bertemu atau
berjumpa dengan yang lain. Manusia tidak hidup sendiri-sendiri, melainkan
menghayati pedoman hidup secara bersama-sama. Institusi adalah dunia luar
tempat saya menemukan yang lain atau “the other” yang selalu
bersama-sama dengan saya.
Sementara itu „feeling’ atau perasaan selalu berada di dalam atau
within, yakni di dalam diri manusia. Perasaan adalah milik manusia secara personal, secara individual, dan bukan milik bersama. Perasaan tidak berada
di luar, namun bertemu dengan institusi atau orang lain. “Institution equal
“otherness” without involvement, feelings equal involvement without
otherness.” Institusi berpisah dengan perasaan tetapi perasaan yang ada di
dalam (Aku) bertemu dengan institusi (Engkau) yang lain. Memang tidak bisa
dipaksakan agar institusi itu masuk ke kedalaman hidup saya, tetapi itu adalah
relasi manusiawi yang memiliki hidup, karena “a living reciprocal
relation-ship includes feelings but is not derived from them. A comunity is build upon a living, reciprocal relationship, but the builder is the living, active center”. Bukan kita yang membangun relasi timbal balik, melainkan hidup kita sendiri
sebagai tukang bangunannya, sehingga kodrat dari manusia adalah
pertemuan.
Relasi di antara sesama manusia tidak bisa dihindari, melainkan
selalu bertemu karena itu adalah kodrat yang tidak bisa dihindari, seperti
manusia pun tidak bisa menghindari realitas hidupnya sebagai makhluk yang
selalu berjumpa. Keberadaan Aku-Engkau adalah keberadaan yang sudah
tetap sebagai sebuah pasangan yang harus ada, tidak bisa dipisahkan (“one
asic words is the word pair I-You”).
Dalam situasi apa saja, Aku-Engkau adalah pasangan yang tetap ada,
seperti perasaan dan institusi adalah pasangan yang selalu bertemu, berjumpa
dan bersama-sama. Pasangan yang dimaksud bukan semata-mata sebagai
pasangan seperti Suami dan istri, tetapi sebagai “pasangan” yang merujuk
pada eksistensi manusia sebagai makhluk yang terus bertemu dengan manusia
lain, karena manusia yang lain adalah “pasangan” saya. Kalau Engkau tidak
ada, Aku tidak ada. Ini adalah sebuah teori ketergantungan yang sangat kuat
terhadap orang lain. Aku tidak pernah menjadi Aku kalau Engkau tidak ada.
Kenyataan hidup manusia selalu berhubungan dengan manusia yang lain.
Pertemuan kita yang telah dibangun melalui sebuah hubungan, melebur
menjadi satu sampai Aku mengatakan terhadap Engkau sebagai yang
berhubungan dengan Aku, bahwa Aku tidak pernah menjadi Aku kalau
Engkau tidak ada. Aku ada karena Engkau ada dalam hidupku. Engkau telah
berpartisipasi dalam seluruh perjuanganku. “The basic word I-You can be
spoken only with one’s whole being. The concentration and usion into a
Relasi I-Thou adalah hubungan yang terjadi di antara kita sebagai rahmat. Oleh sebab itu, relasi dalam perjumpaan harus tetap dijaga sebagai
sebuah harta yang tidak boleh hilang. Dan supaya perjumpaan itu tetap utuh,
bagi Buber ada satu hal yang harus dimiliki oleh manusia, yakni relasi dengan
institusi dan perasaan (Aku-Engkau), tidak boleh ada yang saling mendahului
untuk menjelaskan hal apa saja. Aku dan Engkau adalah manusia yang
sama-sama memiliki pengetahuan tentang apa saja. Dalam hal ini, Buber
seolah-olah tidak mengakui kelebihan orang lain dan tidak memperhitungkan
kesalahan dan kelemahan orang lain. Di antara kita, tidak boleh ada yang
mendahului untuk menerangkan arti persaudaraan kita, juga tidak ada yang
tidak mengetahui arti persaudaraan kita (“between and You, no prior
knowledge and no imagination; and memory itself is changed as it plunges from particularity into wholeness”).
Dengan cara ini, kita menjadi pelestari setiap hubungan yang mampir di
dalam perasaan kita masing-masing. Dalam hubungan yang dibangun melalui
perjumpaan antara Aku-Engkau, dikatakan oleh Buber bahwa Engkau tampil
di hadapanku sebagai sesuatu yang tidak saya cari dan Engkau tampil bagi
saya sebagai rahmat (“the You encounters me by grace-it cannot be found by
seeing”), dan Engkau pun tidak mungkin mencari Aku. Hal ini bisa kita
mengerti bahwa yang dimaksud Buber yakni pertemuan Aku dengan Engkau
tidak direncanakan; kita tidak pernah bertemu sebelum akhirnya kita saling
mengetahui. Namun, pertemuan Aku dengan Engkau adalah suatu rahmat.
yang ada di hadapan saya adalah rahmat. Kehadiran orang lain di hadapan
saya dan di sekitar saya adalah rahmat. Manusia yang kita hadapi setiap hari
adalah manusia yang memiliki pribadi dan memiliki satu kelebihan yang
mutlak, yakni memiliki perasaan dan memiliki institusi.
Relasi Aku-Engkau, ditandai oleh dunia Beziehung yang berarti dunia
tempat Aku menyapa Engkau dan Engkau menjawab ku. Dalam hal ini ada
hubungan timbal balik antara Aku- Engkau. Hubungan yang dimaksud adalah
hubungan yang tidak bisa berdiri sendirimisalnya, hanya Aku yang
menguasai situasi pertemuan di antara kita. Pertemuan yang terjadi di antara
kita adalah milik kita sebagai yang sedang bertemu. Pertemuan kita juga
bukan milik benda-benda yang ada di sekitar kita ketika itu sedang terjadi.16
16
34
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Monografi Kampung Berseri Astra Surabaya 1. Letak Geografis
Kampung Berseri Astra Surabaya terdapat di Kelurahan Keputih,
Kecamatan Sukolilo yang mencakup 3 wilayah RT dalam 1 RW, yakni RT
03, 04 dan 08 pada RW 08. Jarak tempuh ± 350 m dari Kelurahan dan 5 km
dari pusat pemerintah Kecamatan. Kampung ini terletak di ketinggian 0-3 m
dari permukaan laut pada dataran Tanah Perkampungan Astra dengan curah
hujan 25 mm/tahun.1
Adapun batas-batas Kampung Berseri Astra Surabaya sebelah utara
berbatasan dengan RT 04 RW 06, sebelah timur berbatasan dengan RT 02
RW 08, sebelah barat berbatasan dengan RT 01, 05, dan 02 RW 08
sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan tanah kosong hak milik pribadi,
berikut ini adalah peta Kampung Berseri Astra Surabaya dengan batas-batas
wilayah sekitarnya.2
1
Putut, Wawancara, Surabaya, 20 Juni 2017.
2
Gambar 3.1. Peta Kampung Berseri Astra Surabaya
2. Keadaan Demografis
Di Kampung Berseri Astra Surabaya sendiri terdapat penduduk
sebanyak 903 jiwa yang terbagi dalam 451 jiwa laki-laki dan 452 jiwa
perempuan, dengan jumlah 272 Kepala Keluarga (KK). Jumlah penduduk
tersebut terbagi menjadi 3 RT yakni RT 03 RW 08, RT 04 RW 08 dan RT 08
RW 08. Awal mulanya hanya RT 03 dan 04 yang masuk dalam wilayah
Kampung Berseri Astra Surabaya, karena semakin banyaknya penduduk yang
bermukim di wilayah ini, kemudian dibuatlah RT baru yakni RT 08 RW 08
sehingga RT 08 pun juga masuk dalam kawasan Kampung Berseri Astra
[image:44.595.118.505.169.538.2]Rata-rata penduduk di sana ialah pendatang dan dahulunya tidak
memilik Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli Surabaya. Hampir 90% warga
tidak memiliki KTP asli Surabaya. “Termasuk saya dahulunya tidak memiliki
KTP asli Surabaya, karena saya juga pendatang”. Ujar ketua RT 08 RW 08.3
Permasalahan itulah yang terkadang membuat warga Keputih Tegal Timur
pernah untuk digusur. Namun meskipun warga Kampung Berseri Astra
Surabaya bukan asli penduduk kota Surabaya, mereka sama sekali tidak takut
dan bahkan ingin menunjukkan kepada wali kota, bahwa mereka bisa
merawat tanah lapang yang dulu terkenal kumuh karena lokasinya yang
memang bersandingan dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
3. Kependudukan
Kampung Berseri Astra Surabaya telah mengubah lingkungan di
Keputih Tegal Timur, Sukolilo yang berada dibagian timur wilayah Surabaya
dari yang dahulu kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah
menjadi permukiman bersih dan hijau. Hal ini karena adanya ikut campur dari
tangan lain, seperti yang telah diketahui bahwa kampung ini bernama
Kampung Berseri Astra Surabaya, karena untuk menjadi kampung yang
unggul ditengah kekurangan merupakan suatu yang sangat luar biasa, pasti
butuh dana yang sangat besar, karena banyak sekali yang harus dirubah dan
dibenahi dari kampung ini sebelumnya, oleh karena itu beruntung sekali
wilayah Keputih dengan adanya kerjasama dan bantuan dana dari pihak PT.
Astra.
3
Dengan karakteristik dan agama yang berbeda-beda, masyarakat
bertempat tinggal dan berkumpul tanpa adanya batasan atau
membeda-bedakan satu sama lain. Warga di Kampung Berseri Astra Surabaya
merupakan warga yang mempunyai toleransi sangat tinggi, saling
gotong-royong dan juga ramah.
Tingkat pendidikan masyarakatnya pun bervariasi. Bagi kalangan tua
rata-rata hanya menamatkan pendidikan tingkat sekolah dasar, tapi juga ada
beberapa yang melanjutkan di bangku perkuliahan. Sedangkan untuk
kalangan muda sudah banyak yang menamatkan pendidikan tingkat SMA dan
juga di perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta. Anak-anak muda yang
tidak melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan biasanya lebih memilih
untuk bekerja. Hal ini dilakukan agar mereka dapat membantu perekonomian
keluarganya.
Pada umunya, masyarakat Kampung Berseri Astra Surabaya merupakan
penduduk yang mayoritas pekerjaannya adalah buruh harian seperti kuli
bangunan dan tukang sapu, tetapi juga ada beberapa yang bekerja sebagai
PNS, karyawan dan pekerja serabutan, untuk sumber daya kerja wanita
sendiri masih tergolong jarang, karena hanya beberapa diantara mereka yang
membuka usaha-usaha di rumahnya seperti toko, warung dan laundry sisanya
rata-rata hanya didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga saja.
Dahulunya sebelum Astra masuk ke wilayah ini, kampung ini terkenal
dengan sebutan kampung pemulung, karena banyaknya sampah sehingga
warga yang bermukim di sini hanya sedikit sekali yang bekerja sebagai
pemulung. Dan setelah Astra masuk ke wilayah Keputih Tegal Timur ini,
para warga ingin merubah image yang telah melekat pada kampung mereka,
seperti kampung pemulung atau kampung sampah. Para warga
membuktikannya dengan cara bersama-sama menata kampung, menanam
penghijauan, menciptakan kebersihan dan menjaga keamanan.
Meskipun bersebelahan dengan TPA namun tidak berpengaruh terhadap
kesehatan, belum ada catatan yang mengenai warga yang menderita penyakit
serius karena warga selalu menjaga kebersihan sehingga kesehatan mereka
cukup terjamin.
Kampung Keputih Tegal Timur memang selalu diidentikan dengan
tempat pembuangan sampah, karena memang bersebelahan dengan TPA, jadi
sulit untuk menadapatkan sumber air bersih, disamping itu wilayah ini
mempunyai kemiringan tanah cukup tinggi dibanding kelurahan sebelahnya
hal inilah yang mungkin saja menjadi penyebab kurangnya pasokan air bersih
selain karena daerah tempat pembuangan sampah.
Terdapat aliran air atau biasa kita sebut dengan sungai di sepanjang
jalan menuju Kampung Keputih Tegal Timur tersebut, namun percuma airnya
pun tak bisa dimanfaatkan karena sungai tersebut juga terletak di bawah
gundukan sampah, jadi airnya bercampur dengan sampah sehingga sama
sekali tak bisa dimanfaatkan kecuali dijadikan sumber pemenuhan untuk
banyaknya pohon pisang yang tumbuh diwilayah tersebut. Warga sekitar
harus merogoh kocek dalam-dalam untuk mendapatkan air bersih.
Adanya kekurangan-kekurangan tersebut sampai saat ini memang pihak
Astra yang mendanai termasuk solusi diadakannya sistem penyaringan air
(IPAL), Sering kali adanya Lingkungan yang buruk pasti berujung minimnya
kesempatan masyarakat hidup sehat. Namun dalam hal kesehatan nampaknya
tak ada masalah dengan hal ini.
Mengenai penduduk yang bertempat tinggal dikampung ini kebanyakan
bukanlah penduduk asli, melainkan penduduk urban, jadi tanah yang
dijadikan tempat mereka tinggal saat ini bukan tanah milik pribadi melainkan
tanah pemerintah. Meskipun hal ini sudah diatasi oleh pemerintah kota
dengan dibangunkannya rumah susun yang terletak disebelah utara kampung
ini namun permasalahannya ada sebagaian warga yang menolak untuk
bersedia tinggal di rumah susun tersebut namun ada juga yang menerima
dengan baik tawaran dari pemerintah, tentu masing-masing warga
mempunyai alasan tertentu, hal inilah yang menjadi persoalan sekarang
dikampung ini, dalam persoalan ini adanya campur tangan pemerintah kota
Surabaya baru terlihat, adanya pihak yang kurang setuju untuk menempati
rumah susun ini nampaknya belum ada solusi dari pemerintah untuk
mengatasi hal ini, tidak ada respon terhadap alasan sebagian warga yang
4. Keadaan Sosial Lembaga Pendidikan dan Keagamaan
Kampung Berseri Astra Surabaya memiliki beberapa organisasi baik
dalam bidang sosial, pendidikan ataupun keagamaan, yakni PKK, karang
taruna, TK, TPQ dan remaja musholah.
Dalam hal pendidikan di Kampung Berseri Astra Surabaya sendiri
mempunyai sekolah TK Bina Anak Prasa, PPAS (Pusan Pendidikan Anak
Sholeh), Rumah Pintar (terdapat perpustakaan buku untuk anak-anak dan
belajar komputer), TPQ Nurul Iman yang mempunyai anak didik kurang
lebih sebanyak 50 santri dengan 5 orang pengajar dan TPQ ini masuk pada
pukul 16.00 WIB.
Begitupun dalam hal keagamaan masih terjalin komunikasi yang baik,
hal ini dibuktikan dengan adanya kegiatan rutin warga yang diadakan acara
Yasin Tahlil oleh jama’ah ibu-ibu secara bergilir dirumah warga, jika RT 03
dan 04 dilaksanakan pada hari minggu malam senin dengan iuran kas sebesar
Rp. 3.000,-, dan RT 08 dilaksanakan pada rabu malam kamis dengan iuran
kas sebesar Rp. 5.000,- begitupun dengan jama’ah bapak-bapak yang biasa
diadakan pada kamis malam jum’at secara bergilir. Selain itu juga diadakan
khataman Al-Qur’an di Musholah Nurul Iman.
PKK sendiri rutin dilaksanakan oleh ibu-ibu setiap bulan satu kali
secara bergilir di rumah-rumah warga. PKK biasanya diadakan pada minggu
Posyandu untuk balita dan lansia secara rutin disetiap bulan yang bertempat
di Rumah Pintar.4
5. Keadaan Sosial Warga
Meskipun tidak tinggal diatas tanah sendiri, hal ini tidak menghalangi
untuk mewujudkan kemakmuran dan kerukunan bagi masyarakat Kampung
Berseri Astra Surabaya. Kerukunan ini dibuktikan dengan adanya saling
gotong royong antar warga dalam berbagai hal, seperti menjalankan program
Bank sampah dan Program pembuatan pupuk kompos yang digunakan untuk
keperluan program pengadaan taman yang menjadi unggulan wilayah
tersebut. Program-program tersebut dijalan dengan baik oleh warga sekitar,
hal ini menjadi bukti bahwa kondisi sosial masyarakat dilingkungan tersebut
masih tergolong baik.
6. Perekonomian
Perekonomian di Kampung Berseri Astra Surabaya tergolong stabil
atau menengah. Hal tersebut dapat dilihat dari cara hidup warga di kampung
tersebut. Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh harian, para pria
bekerja sebagai kuli bangunan, PNS, karyawan dan juga ada yang membuka
usaha sendiri. Sedangkan yang wanita ada yang menjadi tukang sapu, guru,
dan juga ada yang hanya menjadi ibu rumah tangga.
Meskipun bersebelahan dengan TPA didesa ini juga mempunyai Bank
Sampah yang kepengurusannya tersistematis dan tersruktur sehingga sampah
dari pembuangan rumah tangga bisa dipilah-pilah lagi bagian mana yang
4
mempunyai nilai rupiah, hal ini cukup bermanfaat bisa dijadikan sebagai
salah satu sumber masukan keuangan bagi desa tersebut.
Jika diamati lebih dekat, sebenarnya Kampung Berseri Astra Surabaya
memiliki peluang usaha yang cukup besar jika masyarakatnya mampu
memanfaatkan dan mengolah hasil alam yang ada. Misalnya, seperti buah
markisa yang telah masyarakat olah menjadi minuman dan diberi nama “o o
markisa” minuman ini sangat bermanfaat untuk kesehatan, tapi karena
kurangnya keterampilan dan keterbatasan dalam pemasaran sehingga
minuman tersebut belum dapat diproduksi dalam jumlah banyak dan dijual ke
luar kampung. Jadi saat ini minuman o o markisa hanya dikonsumsi pribadi.5
Selain minuman o o markisa juga terdapat rumah jamur, yang
seharusnya dapat menjadi peluang bisnis untuk warga. Jika mereka dapat
mengkembangbiakan jamur dan berhasil, maka saat panen jamur tersebut
dapat langsung dijual atau diolah menjadi berbagai macam makanan, seperti
jamur krispi, kripik jamur, sate jamur dan masi banyak lagi makanan yang
berbahan dasar jamur.
B. Data Tentang Kampung Berseri Astra Surabaya
Kampung Berseri Astra Surabaya merupakan program Kampung Berseri
yang disponsori oleh PT. Astra International Tbk resmi dilaksanakan di Surabaya
pada Selasa 14 Oktober 2014 dan berlokasi di Kampung Keputih Tegal Timur
Surabaya. Peresmian tersebut dilaksanakan oleh perwakilan Pemerintah Kota
5
Surabaya dan Presiden Direktur PT. Astra International Tbk, Prijono Sugiarto
serta dihadiri oleh para kepala dinas pemerintahan kota Surabaya.
Kampung Keputih Tegal Timur terpilih karena memenuhi kriteria yang
telah ditentukan, yang terdiri dari tiga aspek yaitu: tata lingkungan kampung baik,
warga kampung memiliki sifat gotong royong serta memiliki kemudahan akses
untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan program tanggung jawab sosial.6
Gambar 3.2. Peresmian Kampung Berseri Astra Surabaya (Pak Tri bersama dengan pihak ASTRA)
Perencanaan pembangunan dan pengembangan Kampung Keputih Tegal
Timur ini dilakukan dalam tiga tahapan. Pada 2013-2014 menjadi kampung yang
bersih dan asri, pada 2015-2016 menjadi pusat wisata edukatif dan pada tahun
2020 menjadi ikon Kota Surabaya. Dalam mewujudkan Kampung Berseri Astra,
dukungan dari pemerintah dan masyarakat menjadi faktor penting yang
menentukan keberhasilan program. Masyarakat di kampung ini dikenal berjiwa
6
[image:52.595.117.513.281.534.2]gotong royong, kreatif, pekerja keras serta memiliki motivasi untuk memperbaiki
lingkungan.7
Kampung Keputih Tegal Timur yang berlokasi dekat dengan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Keputih penduduknya sebagian besar berada di kelas
prasejahtera atau menengah dengan pekerjaan mayoritas adalah buruh harian dan
ibu rumah tangga. Selain itu, kondisi lingkungan yang dekat dengan laut, suhu
udara yang panas dan minimnya pasokan air bersih membuat kampung ini
awalnya terlihat gersang dan kurang asri.
Walaupun demikian, di tengah segala ke