• Tidak ada hasil yang ditemukan

: Chanie W. S. Siregar Tempat & Tangal Lahir : Palangkaraya, 01 Juni 1990 NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ": Chanie W. S. Siregar Tempat & Tangal Lahir : Palangkaraya, 01 Juni 1990 NIM :"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

 

Nama : Chanie W. S. Siregar

Tempat & Tangal Lahir : Palangkaraya, 01 Juni 1990

NIM : 209000281

Program Studi : Psikologi

Jenjang : S1

Nama : Febri Zulhenda

Tempat & Tangal Lahir : Bukittinggi, 23 Februari 1991

NIM : 209000024

Program Studi : Psikologi

(2)

 

ABSTRAK

Universitas Paramadina Program Studi Psikologi

2013 Chanie W. S. Siregar / 209000281

Febri Zulhenda / 209000024

Peran Faktor-faktor Protektif Eksternal dalam Pembentukan Resiliensi Siswa Boarding School

9 halaman

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran faktor-faktor protektif eksternal dalam membentuk resiliensi siswa boarding school. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian dan beberapa sumber, diketahui bahwa faktor protektif eksternal memiliki peran dalam membentuk resiliensi individu. Faktor protektif eksternal yang paling berperan dalam membentuk resiliensi siswa boarding school adalah faktor protektif orangtua (keluarga), sekolah, dan teman sebaya. Sementara itu, faktor protektif masyarakat kurang memiliki peran dalam membentuk resiliensi siswa boarding school.

Kata Kunci: Siswa, siswa boarding school, faktor protektif eksternal, faktor protektif keluarga, faktor protektif sekolah, faktor protektif teman sebaya, faktor protektif masyarakat, sekolah asrama.

(3)

  ABSTRACT Paramadina University Psychology Major 2013 Chanie W. S. Siregar / 209000281 Febri Zulhenda / 209000024

The Influential of External Protective Factors in Developing Boarding School Students Resilience

9 pages

This research is aimed to find out the roles of the external protective factors towards the development of resilience of boarding school’s students. The research method used here is literature study.

After observing some other studies and some literatures, the researcher conclude that the external protective factors have important role in developing some one’s resilience. The most influential factor in developing boarding school student’s resilience is parents (home) protective factors, school and peer. Meanwhile, community protective factor doesn’t have any significant factor.

Keyword: Students, students resilience, external protective factors, home protective factor, school protective factor, peers protective factor, community protective factor, boarding school

(4)

 

Judul : Peran Faktor-faktor Protektif Eksternal dalam Pembentukan Resiliensi Siswa Boarding School

Nama Penulis : Chanie W. S. Siregar dan Febri Zulhenda Pendahuluan

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003, dijelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hakikat dari konsep pendidikan adalah membentuk pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Proses pembentukan meliputi aspek sikap, intelektual dan keterampilan.

Seiring dengan perkembangan sistem pendidikan serta lingkungan sosial, di Indonesia mulai banyak terdapat sekolah yang menerapkan pola boarding school atau sekolah asrama. Boarding school merupakan sistem pendidikan asrama, dimana para peserta didik, guru-guru, pengasuh, dan pengelola sekolah tinggal di dalam satu lingkungan yang sama. Boarding school melakukan penggabungan metoda pesantren dan sekolah umum. Hal ini berdasarkan penjelasan oleh Sutrisno (2008):

Ketika dipertengahan tahun 1990-an masyarakat Indonesia mulai gelisah dengan kondisi kualitas generasi bangsa yang cenderung terdikotomi secara ekstrim—yang pesantren terlalu keagama dan yang sekolah umum terlalu keduniawian—ada upaya untuk mengawinkan pendidikan umum dan pesantren dengan melahirkan term baru yang disebut boarding school atau internat yang bertujuan untuk melaksanakan pendidikan yang lebih komprehensif-holistik, ilmu dunia (umum) dapat capai dan ilmu agama juga dikuasai… (disadur dari

http://sutris02.wordpress.com/2008/09/08/problem-dan-solusi-pendidikan-berasrama-boarding-school/ pada 2 Juli 2013).

Pola pendidikan yang diterapkan oleh boarding school pada umumnya merupakan pembinaan disiplin yang tinggi serta terkadang cenderung keras. Sebagai contoh, salah satu boarding school yang ada di Indonesia adalah SMA Taruna Nusantara Magelang. Berdasarkan referensi yang didapatkan dari buku “SMA Taruna Nusantara Sekolah Terbaik Di Indonesia” (Komite Sekolah SMA TN, 2009), di sekolah tersebut, segala bentuk tingkah dan laku akan terikat pada peraturan siswa yang diterapkan sedemikian rupa. Bagi beberapa siswa, mereka harus berusaha keras untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Bukan hanya karena para

(5)

 

siswa tersebut harus terpisah dengan lingkungan yang selama ini relatif nyaman bagi mereka, yaitu seperti berada di tengah-tengah keluarga, teman dekat, dan sebagainya. Selain itu mereka juga harus mandiri mulai dari hal-hal yang kecil seperti membereskan tempat tidur, mencuci dan menyetrika sampai dengan menjaga agar sepatu mereka tetap bersih dan bersinar selama belajar. Hal-hal seperti ini bukanlah merupakan hal yang mudah, terutama bagi para siswa yang berasal dari kota besar dan sebelumnya telah terbiasa hidup dengan fasilitas yang serba ada dari orang tuanya.

Banyaknya aturan dan ketentuan yang harus mereka patuhi mungkin membuat mereka merasa terpenjarakan oleh dunia luar. Hal tersebut seringkali membuat beberapa siswa yang tidak terbiasa sebelumnya kurang dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi lingkungan yang baru pada masa awal pendidikan. Kondisi itu pula yang dapat menyebabkan tidak sedikit siswa yang berkeinginan untuk keluar dari pendidikan yang baru saja ditempuh. Meski demikian, seiring berjalannya waktu para siswa secara perlahan-lahan mampu mengatasi masalah dan tantangan yang muncul selama tahap awal pendidikan. Siswa mulai mampu merasakan ketenangan menjalani proses akademik dan bisa beradaptasi dengan lingkungan. Kesanggupan para siswa beradaptasi secara positif dalam kondisi adanya hambatan ini menunjukkan adanya resiliensi.

Kalil (2003) menyebutkan, resiliensi adalah sebuah proses dinamis yang mengarah pada adaptasi positif dalam menghadapi situasi yang sulit. Orang yang dikatakan resilien dapat mengatasi dan beradaptasi secara efektif terhadap tekanan dan tantangan yang dihadapi serta belajar dari pengalamannya agar dapat mengelola sebuah situasi secara efektif dan mampu mengatasi tekanan dan tantangan di masa yang akan datang. Constantine dan Benard (2001) menjelaskan dua faktor dalam resiliensi, yakni faktor protektif (protective factors) dan faktor resiko (risk factors). Faktor protektif merupakan faktor yang bersifat menunda, meminimalisir bahkan menetralisir hasil akhir yang negatif. Sementara itu, Alimi (2005) mengatakan, faktor resiko adalah variabel- variabel yang secara langsung bisa memperbesar dosis potensi resiko bagi individu dan sekaligus meningkatkan kemungkinan berkembangnya perilaku dan gaya hidup yang mal-adaptif.

Constantine dan Benard (2007) membagi faktor-faktor protektif menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Faktor-faktor protektif internal adalah traits yang pasti dimiliki oleh individu resilien, sedangkan faktor-faktor protektif eksternal berasal dari

(6)

 

lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan bermasyarakat, dan lingkungan teman sebaya.

Benard (2004, dalam Williams 2011) mengemukakan dalam kaitannya dengan keluarga, beberapa faktor protektif berhubungan dengan adanya hubungan dengan setidaknya satu sosok orang dewasa yang kuat dan suportif, bimbingan orang tua dan penegakan aturan dalam rumah tangga, dan adanya ekspektasi yang tinggi, penuh makna namun tetap realistis. Selanjutnya, Benard juga menjelaskan dalam kaitannya dengan sekolah, guru-guru yang suportif, kurikulum yang sesuai, dan kesempatan untuk melakukan partisipasi sosial dianggap bisa mengurangi resiko-resiko tertentu. Hal tersebut juga berlaku untuk lingkungan teman sebaya dan lingkungan masyarakat. Lebih lanjut Benard menjelaskan, bahwa di dalam faktor protektif eksternal tersebut, terdapat masing-masing dimensi di dalamnya yang turut mendukung terbentuknya resiliensi individu, yaitu hubungan yang saling peduli satu sama lain (caring relationship), harapan yang tinggi (high expectations), dan partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Hubungan yang saling peduli satu sama lain (caring relationship) diartikan sebagai hubungan yang saling mendukung dalam kehidupan individu. Hubungan semacam ini menyatakan bahwa individu akan memiliki seseorang yang selalu ada untuknya. Seseorang itu dapat orang dewasa ataupun teman sebaya yang dapat sangat memahami tentang diri individu tersebut. Selain itu, mereka juga akan selalu siap untuk mendengarkan maupun diajak berbicara.

Harapan yang tinggi (high expectations) didefinisikan sebagai komunikasi yang konsisten. Maksudnya adalah harapan yang tinggi dapat menciptakan rasa aman dan penuh kepastian. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kebebasan dan pengalaman yang diperlukan untuk mengembangkan otonomi, identitas, dan kontrol diri.

Partisipasi yang bermakna (meaningful participation) diartikan sebagai keterlibatan individu dalam kegiatan yang sesuai, menarik, menyenangkan, namun sekaligus memberikan kesempatan agar mereka bisa bertanggung jawab dan memberikan kontribusi.

Dari keempat faktor protektif eksternal di atas, Octyavera, dkk. (tt) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kualitas kehidupan sekolah dengan penyesuaian sosial siswa SMA International Islamic Boarding School. Semakin baik kualitas kehidupan sekolah maka akan semakin tinggi kemampuan penyesuaian sosial. Dalam pelitiannya tidak dijelaskan secara ekspilisit

(7)

 

adanya peran faktor protektif terhadap resiliensi siswa, namun dikatakan bahwa teman sebaya berperan dalam menekan fenomena siswa sekolah asrama yang merasa terasing, tertekan dan tidak puas dengan sekolahnya.

Sementara itu, Maslihah (2011) menjelaskan terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial orang tua dengan prestasi akademik, dimana semakin besar dukungan sosial orang tua yang dipersepsi siswa, semakin baik prestasi akademik siswa. Penelitian yang dilakukan di SMPIT Assyfa Boarding School tersebut menunjukkan bahwa peran dukungan orangtua tidak semata-mata hanya dibutuhkan dalam bentuk emotional support, melainkan juga instrumental support. Artinya, dukungan orangtua tidak hanya dibutuhkan sebatas dalam bentuk kasih sayang, namun juga hadir dalam kesulitan yang berkaitan dengan pendidikan. Kesimpulan dari penelitian ini juga tidak secara langsung menjelaskan pengaruh faktor protektif terhadap resiliensi siswa boarding school. Meski demikian, dapat terlihat bahwa faktor orangtua berperan dalam meminimalisir kesulitan siswa boarding school.

Hal di atas tersebut sejalan dengan yang telah diungkapkan oleh Williams (2011) bahwa faktor utama penentu keberhasilan seseorang dalam menangkal dampak negatif lingkungan adalah adanya faktor-faktor protektif. Artinya, faktor protektif memberikan peran dalam membentuk resiliensi individu.Berdasarkan semua uraian yang telah dipaparkan di atas tersebut, maka dalam penulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor protektif eksternal yang berperan dalam membentuk resiliensi siswa boarding school.

Pembahasan

Resiliensi adalah sebuah proses dinamis yang mengarah pada adaptasi positif dalam menghadapi situasi yang sulit (Kalil, 2003). Terdapat dua substansi dalam definisi tersebut, yakni adaptasi positif dan situasi sulit. Merujuk pada Williams (2011) bahwa faktor utama penentu keberhasilan seseorang dalam menangkal dampak negatif lingkungan adalah adanya faktor-faktor protektif. Artinya, faktor protektif memberikan peran dalam membentuk resiliensi individu. Berhasilnya adaptasi dengan baik terhadap suatu permasalahan mengindikasikan kuatnya pengaruh faktor protektif yang dimiliki.

Setiap individu unik dengan kondisi, karakter, dan kebiasaan hidup yang berlainan. Hal tersebut akan membuat faktor-faktor protektif eksternal mana yang berperan dalam membentuk resiliensi masing-masing individu pun berbeda. Dalam

(8)

 

kontekts pendidikan dengan sistem boarding school misalnya, pola kehidupan yang serba disiplin dan kegiatan yang begitu pada pun akan menjadi sebuah tantangan sendiri bagi masing-masing individu. Ketatnya penegakan disiplin yang terkadang cenderung keras tak bisa dipungkiri dapat menjadi permasalahan, seperti halnya para siswa boarding school. Agar penegakan disiplin tersebut tidak berbalik memberikan dampak negatif bagi para siswa, maka diperlukan faktor-faktor protektif eksternal di dalamnya untuk membentuk resiliensi siswa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Constantine dan Benard (2007) membagi faktor-faktor protektif eksternal menjadi beberapa kategori, yaitu lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan bermasyarakat, dan lingkungan teman sebaya. Dua penelitian yang pernah dilakukan pada dua boarding school yang berbeda, seperti yang dipaparkan dalam pendahuluan memberikan dua penjelasan. Pertama, adanya hubungan yang positif dan signifikan antara kualitas kehidupan sekolah dengan penyesuaian sosial siswa boarding school. Kedua, terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial orang tua dengan prestasi akademik, dimana semakin besar dukungan sosial orang tua, semakin baik prestasi akademik siswa. Meski tidak menggambarkan secara langsung, namun kesimpulan tersebut cukup merepresentasikan peran orangtua serta teman sebaya sebagai faktor protektif eksternal yang berperan dalam membentuk resiliensi siswa.

Kuatnya penerapan disiplin dan ketatnya kehidupan di boarding school telah dijelaskan sebelumnya sebagai salah satu bentuk kesulitan yang mungkin dialami pada masa awal penyesuaian siswa. Keberhasilan siswa dalam melakukan penyesuaian dengan pola yang ditentukan dapat dikatakan ada kaitannya dengan resiliensi. Maslihah (2011) mengatakan bahwa orangtua signifikan berperan dalam penyesuaian siswa. Orangtua berperan dalam menghadirkan dukungan sosial dalam aspek instrumental support, dimana salah satunya dibuktikan dengan kehadiran peran orangtua ketika siswa berada dalam kesulitan akademik. Selain itu, orangtua juga menghadirkan fungsi emotional support yang diimplementasikan dengan apresiasi dan kasih sayang. Jika dikaitakan dengan teori Constantine dan Benard (2007) yang telah dipaparkan pada bab pendahuluan, maka hal tersebut memiliki kesamaan dengan adanya caring relationship dari lingkungan keluarga.

Selanjutnya, teman sebaya adalah figur yang berpengaruh dalam perkembangan remaja. Hurlock (1995) mengatakan, individu dengan teman yang sesuai taraf perkembangan dan usianya cenderung melakukan penyesuaian sosial yang baik

(9)

 

karena memiliki peluang yang sama untuk mempelajari berbagai keterampilan sosial. Octyavera,dkk. (tt) menjelaskan bahwa dalam penelitiannya ditemukan kemampuan siswa-siswi boarding school bertahan dengan sekolah yang serba disiplin, teratur dan mengikat adalah karena adanya peran teman. Jalinan persahabatan yang harmonis dengan teman yang menimbulkan perasaan senasib sepenanggungan yang membuat siswa-siswa tersebut mampu bertahan dan saling mendukung satu sama lain. Perilaku saling mendukung dan saling menguatkan diri atas nama persahabatan dilakukan agar setiap beban yang diterima oleh para siswa dapat dibagi dan ditanggung oleh teman-teman yang lain. Hal tersebut ada kaitannya dengan caring relationship dan meaningful participation yang berasal dari lingkungan teman sebaya.

Kemudian, faktor berikutnya yang berperan adalah faktor protektif lingkungan sekolah. Dalam sekolah, guru adalah figur yang tidak dapat dipisahkan dari para siswa. Oleh karena itu pola asuh yang diberikan oleh guru tentu akan berdampak pada pembentukan sikap dan perilaku siswa yang nantinya akan membentuk siswa menjadi individu yang resilien. Guru juga memberikan pengaruh yang cukup besar, karena selain memegang peranan dalam membimbing dan mengarahkan, guru juga merupakan orang terdekat yang selalu ada pada siswa boarding school.

Faktor terakhir yang berperan dalam membentuk resiliensi siswa boarding school berasal dari lingkungan masyarakat, namun kurang memiliki peran dalam membentuk resiliensi siswa boarding school. Hal ini disebabkan karena lingkungan masyarakat merupakan lingkungan yang paling jarang berinteraksi dengan para siswa boarding school. Dengan adanya sistem pendidikan asrama, maka secara tidak langsung kehidupan para siswa tersebut lebih banyak dihabiskan dalam lingkungan sekolah saja. Hal tersebut yang menyebabkan faktor protektif masyarakat tidak terlalu memiliki peran dalam membentuk resiliensi siswa boarding school.

Kesimpulan

Boarding school memiliki sistem pendidikan yang berbeda dengan sekolah biasa pada umumnya. Pola pengajaran yang diterapkan pada boarding school biasanya memiliki disiplin yang kuat dan kegiatan belajar yang padat. Hal ini akan terasa berat bagi beberapa siswa yang tidak terbiasa dengan kondisi tersebut. Oleh karena itu, ada siswa yang tidak mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi tersebut. Akan tetapi ada pula siswa yang mampu beradaptasi dengan situasi dan

(10)

 

kondisi tersebut, bahkan dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hal inilah yang disebut dengan resiliensi.

Resiliensi dapat terbentuk karena adanya peran faktor-faktor protektif eksternal di dalamnya. Salah satu faktor yang membuat siswa boarding school menjadi resilien adalah faktor protektif keluarga, faktor protektif sekolah dan faktor protektif teman sebaya. Ketiga faktor tersebut sangat penting dalam membentuk resiliensi siswa boarding school. Bentuk dari faktor-faktor protektif tersebut dapat berupa caring relationship, high expectation, dan meaningful participation. Dengan adanya kepedulian, harapan yang tinggi, dan kerjasama baik dari pihak sekolah maupun teman sebaya, maka siswa yang beresiko tidak resilien dapat menjadi siswa yang resilien.

Daftar Pustaka

Alimi, R.M. (2005). Resiliensi remaja high risk ditinjau dari faktor protektif (Studi di Kelurahan Tanah Tinggi Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat). Jakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

Constantine N, Benard B. (2001). California Healthy Kids Survey Resilience Assessment Module Technical Report. Public Health Institute, Berkeley, CA. ---(2007). Resilience and Youth Development Required Questions Core

Module A. Public Health Institute, Berkeley, CA.

Hurlock, E.B. (1995). Perkembangan Anak (Jilid 1). Tjandrasa & Zarkasih (terj.). Jakarta: Erlangga.

Kalil A. (2003). Family Resilience and Good Child Outcomes. A Review of a Literature. Wellington: Centre for Social Research and Evaluation.

Komite Sekolah SMA Taruna Nusantara. (2009). SMA Taruna Nusantara Magelang Sekolah Terbaik di Indonesia. Bandung: BukuMO.

(11)

 

Maslihah, S. (2011). Studi tentang Hubungan Dukungan Sosial, Penyesuaian Sosial di Lingkungan Sekolah dan Prestasi Akademik Siswa SMPIT Assyifa Boarding School. Jurnal Psikologi Undip Vol. 10, No.2. Semarang.

Octyavera, R.M., Siswati., Sawitri, D.R. (tt). Hubungan Kualitas Kehidupan Sekolah dengan Penyesuaian Sosial pada Siswa SMA International Islamic Boarding School Republic of Indonesia. Jurnal. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Williams, J.M. (2011). Home, School, and Community Factors that Contribute To The Educational Resilience Of Urban, African American High School Graduates From Low-Income, Single Parent Families. University of Iowa. Sumber Elektronik

Sutrisno. (2008). Problem dan Solusi Pendidikan Sekolah Berasrama (Boarding School). Di akses dari http://sutris02.wordpress.com/2008/09/08/problem-dan-solusi-pendidikan-berasrama-boarding-school/

Referensi

Dokumen terkait