• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Leukemia Limfoblastik Akut

Leukemia Limfoblastik Akut adalah salah satu jenis keganasan yang terjadi pada sel darah dimana terjadi proliferasi berlebihan dari sel darah putih. Pada LLA, terjadi proliferasi dari sel prekursor limfoid dimana 80% kasus berasal dari sel limfosit B dan sisanya dari sel limfosit T. Keganasan ini bisa terjadi pada stase manapun pada saat proses diferensiasi sel leukosit (Howard dan Hamilton, 2008).

LLA merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan pada anak usia 2-5 tahun (Permono dan Ugrasena, 2010) dan akan terus meningkat seiring berkembangnya usia. Pada kasus LLA anak, tingkat kesembuhan dengan pengobatan kemoterapi sangat besar hampir mencapai 80% sedangkan pada orang dewasa lebih rendah tingkat kesembuhannya karena banyaknya pengobatan yang mengalami multi-drug resistance (MDR) (Howard dan Hamilton, 2008).

2.1.1. Etiologi LLA

Penyebab dari terjadinya LLA masih belum diketahui, namun ada penelitian terbaru yang menyatakan bahwa adanya peranan infeksi virus dan atau bakteri (Permono dan Ugrasena, 2010). Ada beberapa faktor-faktor yang membantu meningkatkan angka kejadian LLA seperti faktor lingkungan, faktor genetik (Tabel 1), dan faktor paparan terhadap radiasi pada saat sedang dalam kandungan maupun pada saat kanak-kanak. Selain itu, infeksi virus Epstein-Barr

serta sel limfosit B juga berperan terhadap kejadian LLA pada negara berkembang (Tubergen dan Bleyer, 2007).

(2)

Tabel 2.1-Faktor predisposisi dari Leukemia Limfoblastik Akut (Tubergen dan Bleyer, 2007)

Faktor Genetika Faktor Lingkungan

Sindrom Down Sindrom Fanconi Sindrom Bloom Diamond-Blackfan anemia Sindrom Schwachman Sindrom Klinefelter Sindrom Turner Neurofibromatosis tipe 1 Ataxia-telangiectasia

Severe combined immune deficiency Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria Sindrom Li-Fraumeni Radiasi Obat-obat Alkylating agents Nitrosourea Epipodophyllotoxin Benzene exposure Advanced maternal age

2.1.2. Klasifikasi LLA

Klasifikasi dari LLA terbagi atas beberapa jenis, yaitu klasifikasi berdasarkan morfologik, berdasarkan genetika, dan immunofenotip.

1. Klasifikasi French-American-British (FAB)

Klasifikasi dari LLA yang digunakan oleh dunia adalah klasifikasi morfologik menurut FAB (French-American-British) yang berdasarkan atas karakteristik dari sel blas (ukuran sel, rasio sitoplasma-inti, ukuran dari inti sel, dan warna sel).

• LLA-L1

Pada tipe ini, sel blas berukuran kecil dengan sitoplasma yang sempit, nukleolus tidak jelas terlihat, dan kromatin homogen. L1 merupakan jenis leukemia limfoblastik akut yang sering terjadi pada anak-anak, sekitar 70% kasus dengan 74% nya terjadi pada anak-anak usia di bawah 15 tahun (Gamal, 2011).

(3)

L2 terdiri dari sel blas berukuran lebih besar, ukuran inti tidak beraturan, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti, dan membran nukleolus yang irregular serta sitoplasma yang berbeda warna. Sekitar 27% kasus LLA, didapati morfologik tipe L2 dan lebih sering terjadi pada pasien usia di atas 15 tahun (Gamal, 2011).

• LLA-L3

L3 terdiri dari sel blas berukuran besar, ukurannya homogen, ukuran inti bulat atau oval dengan kromatin berbercak, anak inti banyak ditemukan, sitoplasma yang sangat basofilik disertai dengan vakuolisasi. Pada tipe ini, terjadi mitosis yang cepat sebagai pertanda dari adanya tahapan aktifitas dari makrofag (Gambar 1) (Gamal, 2011).

(4)

Gambar 1 : (A)L1 limfoblas (B)L2 limfoblas (C)L3 limfoblas (Howard dan Hamilton, 2008)

2. Klasifikasi World Health Organization (WHO)

Kelainan klon kromosom sekarang juga dapat diidentifikasi pada sebagian kasus dengan menghitung jumlah kromosom per sel leukemia dan hasil perhitungannya dapat digunakan sebagai penentu baik buruknya prognosis penyakit leukemia. Selain itu juga dilihat translokasi dari genetika sel itu sendiri. Pembagian dari klasifikasi berdasarkan genetika yang dipakai adalah yang diluncurkan oleh WHO (Tabel 2).

(5)

Tabel 2.2-Klasifikasi LLA berdasarkan WHO (Vadirman, 2009) Klasifikasi WHO

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, tidak spesifik

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan kelainan genetik

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi t(9;22)(q34; q11.2); BCR-ABL1

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi t(v; 11q23); MLL rearranged

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi t(12;21)(p13; q22); TEL-AML1 (ETV6-RUNX1)

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan hiperdiploid (>50 kromosom/sel)

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan hipodiploid (<45 kromosom/sel)

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel T

3. Klasifikasi Imunofenotip

Klasifikasi berdasarkan imunofenotip dapat mengklasifikasikan leukemia sesuai dengan tahap-tahap maturasi normal yang dikenal. Klasifikasi ini membagi LLA ke dalam prekursor sel-B atau sel-T. Prekursor sel B termasuk CD 19, CD 22, CD 34, dan CD 79. Sedangkan prekursor sel T membawa imunofenotip CD 2, CD 3, CD 4, CD 5, CD 7, atau CD 8 (Gamal, 2011).

2.1.3. Patofisiologi LLA

Leukemia Limfoblastik Akut terjadi dikarenakan oleh adanya perubahan abnormal pada progenitor sel limfosit B dan T. Pada LLA, kebanyakan kasus disebabkan oleh adanya abnormalitas dari sel limfosit B. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya LLA seperti faktor genetika, imunologi, lingkungan,

(6)

dan obat-obatan. LLA terjadi karena pada sel progenitornya mengalami abnormalitas (Gambar 2) (Roganovic, 2013).

Gambar 2 : Asal sel dan evolusi dari sel kanker (Roganovic, 2013)

Faktor genetika mempunyai peranan paling penting dalam proses terjadinya LLA. Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa terjadi gangguan pada gen ARID5B dan IKZF yang ternyata berperan dalam regulasi transkripsi dan diferensiasi sel limfosit B. Selain peranan genetik, faktor lingkungan seperti radiasi dan beberapa bahan kimia, infeksi, serta imunodefisiensi juga berpengaruh. Paparan terhadap radiasi meningkatkan angka kejadian LLA karena menyebabkan adanya gangguan terhadap sel-sel darah yang berada di sumsum tulang. Peranan infeksi terhadap kejadian LLA masih dalam proses pengembangan oleh karena adanya tumpang tindih antara usia anak-anak terkena infeksi dengan insidens puncak dari LLA (Roganovic, 2013).

Anak-anak dengan penyakit imunodefisiensi yang diobati dengan obat-obatan yang bersifat imunosupresif mempunyai resiko tinggi untuk mengalami keganasan terutama limfoma. LLA bisa saja muncul tetapi jarang. Adanya perkembangan sel kanker pada pasien immunocompromised berhubungan dengan infeksi (Roganovic, 2013).

(7)

2.1.4. Gejala Klinis LLA

Gejala klinis yang dialami oleh pasien LLA biasanya bervariasi. Adanya akumulasi dari sel limfoblas abnormal yang berlebihan pada sumsum tulang menyebabkan supresi pada sel darah normal sehingga tanda-tanda klinisnya akan menunjukkan kondisi dari sumsum tulang, seperti anemia (pucat, lemah, takikardi, dispnoe, dan terkadang gagal jantung kongestif), trombositopenia ( peteki, purpura, perdarahan dari membran mukosa, mudah lebam), dan neutropenia (demam, infeksi, ulserasi dari membran mukosa). Selain itu, anoreksia dan nyeri punggung atau sendi juga merupakan salah satu tanda klinis LLA (Roganovic, 2013).

Pada pemeriksaan fisik, didapati adanya pembesaran dari kelenjar getah bening (limfadenopati), pembesaran limpa (splenomegali), dan pembesaran hati (hepatomegali). Pada pasien dengan LLA prekursor sel-T dapat ditemukan adanya dispnoe dan pembesaran vena kava karena adanya supresi dari kelenjar getah bening di mediastinum yang mengalami pembesaran. Sekitar 5% kasus akan melibatkan sistem saraf pusat dan dapat ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah, papil edema) atau paralisis saraf kranialis (terutama VI dan VII) (Roganovic, 2013).

2.1.5. Diagnosis LLA

Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk menegakkan dan memastikan diagnosis dari LLA, yaitu :

1. Pemeriksaan darah lengkap dan darah tepi

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap digunakan untuk menegakkan diagnosis dari LLA. Pada pemeriksaan darah lengkap, dimana akan didapatkan adanya peningkatan sel darah putih/white blood cell (WBC) mencapai > 10.000/mm3 sedangkan pada 20% kasus peningkatan mencapai > 50.000/mm3. Selain itu, akan ditemukan neutropenia, anemia (Hb < 10 mg/dL) normokromik dan normositik disertai rendahnya retikulosit, trombositopenia (hitung platelet <

(8)

100.000/mm3), dan pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya sel blas.

2. Aspirasi sumsum tulang belakang

Untuk memastikan diagnosis dari LLA, harus dilakukan aspirasi sumsum tulang belakang. Aspirasi sumsum tulang juga dapat membantu kita mengklasifikasikan LLA. Pasien disuspek menderita leukemia bila didapatkan lebih dari 5% blas pada sumsum tulang, tetapi minimum 25% sel blas diperlukan untuk memenuhi standar kriteria sebelum diagnosis ditegakkan. Biasanya akan dijumpai sel leukemia yang homogen dan hiperseluler dari sumsum tulang.

3. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF)

Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien anak asimptomatik untuk mendeteksi leukemia dengan cara pemeriksaan sitologi CSF yang akan menunjukkan pleositosis dan adanya sel blas.

4. Pemeriksaan penunjang lainnya, seperti cytochemistry, imunofenotip, sitogenetik, dan lain-lain (Roganovic, 2013).

2.1.6. Faktor prognostik LLA

Respon pasien terhadap pengobatan berbeda-beda. Ada yang tingkat kesembuhannya lebih tinggi, sedangkan ada yang tingkat kesembuhannya lebih rendah sehingga pengobatan yang dijalani lebih lama. Perbedaan yang mempengaruhi respon terhadap pengobatan disebut sebagai faktor prognostik. Berdasarkan faktor prognostik, pasien dapat digolongkan ke kelompok resiko biasa dan resiko tinggi.

Faktor prognostik LLA menurut Bambang Permono dan IDG Ugrasena dalam IDAI 2010, yaitu :

1. Usia

Pasien anak yang berusia dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan pasien anak yang berusia diantara itu. Pasien bayi yang berusia dibawah 6 bulan pada saat ditegakkan diagnosis, mempunyai prognosis paling buruk.

(9)

2. Jumlah leukosit

Jumlah leukosit awal pada saat penengakan diagnosis LLA sangat bermakna tinggi sebagai suatu faktor prognostik. Ditemukan adanya hubungan antara hitung jumlah leukosit dengan outcome pasien LLA pada anak, yaitu pada pasien dengan jumlah leukosit > 50.000/mm3 akan mempunyai prognosis yang buruk.

3. Jenis kelamin

Beberapa penelitian menyatakan bahwa anak perempuan cenderung mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan anak laki-laki mempunyai kecenderungan untuk terjadi relaps testis, insidensi leukemia sel-T yang tinggi, hiperleukositosis, dan organomegali serta massa pada mediastinum.

4. Imunofenotipe

Imunofenotipe juga berperan dalam menentukan faktor prognostik pasien LLA. Leukemia sel-B (L3) dengan antibodi “kappa” dan “lambda” pada permukaannya diketahui mempunyai prognosis buruk tetapi dengan pengobatan yang spesifik, prognosisnya membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai prognosis yang buruk dan digolongkan sebagai kelompok resiko tinggi.

5. Respon terhadap terapi

Respon pasien terhadap terapi dapat kita ukur dari jumlah sel blas yang ditemukan pada pemeriksaan darah tepi seminggu setelah dimulai terapi prednison. Prognosis dikatakan buruk apabila pada fase induksi hari ke-7 atau 14 masih ditemukan adanya sel blas pada sumsum tulang.

6. Kelainan jumlah kromosom

LLA hiperdiploid (>50 kromosom/sel) mempunyai prognosis yang baik, sedangkan LLA hipodiploid (< 45 kromosom/sel) mempunyai prognosis yang buruk. Adanya translokasi t(9;22) atau t(4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.

(10)

2.1.7. Penatalaksanaan LLA

Penatalaksanaan dari leukemia terbagi atas kuratif dan suportif. Penatalaksanaan suportif hanya berupa terapi penyakit lain yang menyertai leukemia beserta komplikasinya, seperti tranfusi darah, pemberian antibiotik, pemberian nutrisi yang baik, dan aspek psikososial (Permono dan Ugrasena, 2010).

Penatalaksaan kuratif, seperti kemoterapi, bertujuan untuk menyembuhkan leukemia. Di Indonesia sendiri sudah ada 2 jenis protokol pengobatan yang umumnya digunakan, yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2010. Selain dengan kemoterapi, terapi transplantasi sumsum tulang juga memberikan kesempatan untuk sembuh terutama pada pasien yang terdiagnosis leukemia sel-T (Permono dan Ugrasena, 2010).

• Tahapan Kemoterapi

Pengobatan LLA yang umumnya dilakukan adalah kemoterapi. Kemoterapi bertujuan untuk menyembuhkan leukemia dan proses pengobatannya terdiri dari beberapa tahapan-tahapan, yaitu fase induksi-remisi, intensifikasi awal, konsolidasi/terapi profilaksis susunan saraf pusat, intensifikasi akhir (terbagi atas fase re-induksi dan re-konsolidasi), dan maintenance/rumatan.

Terapi Induksi. Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah untuk mencapai remisi komplit dan menggembalikan fungsi hematopoesis yang normal. Terapi induksi meningkatkan angka remisi hingga mencapai 98%. Terapi ini berlangsung sekitar 3-6 minggu dengan menggunakan 3-4 obat, yaitu glukokortikoid (prednison/deksametason), vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin. Sekitar 2% kasus pasien anak LLA yang menjalani terapi induksi mengalami kegagalan (Roganovic, 2013).

Intensifikasi awal. Target pengobatan adalah anak-anak yang sudah mencapai remisi dan fungsi hematopoesis-nya kembali normal. Tujuan dari tahapan intensifikasi adalah untuk eradikasi sel leukemia yang tersisa dan meningkatkan angka kesembuhan (Roganovic, 2013).

(11)

Konsolidasi/Terapi Profilaksis SSP. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk melanjutkan peningkatan kualitas remisi di sumsum tulang dan sebagai profilaksis susunan saraf pusat. Profilaksis SSP dilakukan mengacu pada fakta bahwa SSP merupakan pusat dari sel leukemia dan dilindungi oleh sawar darah otak sehingga obat tidak bisa menembusnya (Roganovic, 2013).

Intensifikasi Akhir. Penambahan dari tahap intensifikasi akhir ini setelah terapi induksi ataupun konsolidasi ternyata meningkatkan prognosis pasien anak dengan LLA. Tahap ini merupakan tahap pengulangan dari tahap induksi dan intensifikasi awal dan untuk menghindari terjadinya resistensi obat maka dilakukan pergantian obat (Roganovic, 2013).

Terapi rumatan. Setelah pengobatan dengan dosis tinggi dijalankan selama 6 sampai 12 bulan, obat sitotoksis dosis rendah digunakan untuk mencegah terjadinya kondisi relaps. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengurangi sel leukemia sisa yang tidak terdeteksi. Terapi rumatan dilaksanakan selama 2 atau 3 tahun setelah diagnosis atau setelah tercapainya kondisi remisi morfologik. Keberhasilan ini dipantau dengan melihat hitung leukosit (2.000-3.000/mm3) (Roganovic, 2013).

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis leukemia. Selain itu, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas <5% dari sel berinti, hemoglobin >12gr/dL tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3.000/uL dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit > 2.000/uL, jumlah trombosit > 100.000/uL, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal (Permono dan Urgasena, 2010).

• Efek Samping Kemoterapi

Kemoterapi membunuh sel-sel kanker yang aktifitas mitosisnya cepat dan terapi ini tidak bisa membedakan yang mana sel kanker yang mana sel normal karena ada sel normal yang aktifitas mitosisnya cepat. Kerusakan

(12)

pada sel yang normal disebut sebagai efek samping. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah sebagai berikut :

- Anemia - Alopecia

- Lebam, perdarahan dan infeksi - Mual dan muntah

- Perubahan selera makan - Konstipasi

- Diare

- Masalah kesehatan mulut, gusi, dan tenggorokan - Gangguan otot dan saraf

- Gangguan pada kulit dan kuku

- Gangguan ginjal, vesika urinaria, dan urine - Weight gain (ACS, 2013).

2.2. Status nutrisi pada kanker anak

Nutrisi merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan pada pasien anak penderita kanker. Baik penyakit maupun pengobatan akan mempengaruhi selera makan, toleransi terhadap makanan, dan kemampuan dari tubuh untuk mengolah nutrien. Nutrisi yang bagus mempunyai banyak manfaat, seperti menurunkan resiko infeksi pada saat pengobatan, menjaga pertumbuhan anak, memberikan kualitas hidup yang bagus, dan lain-lain (ACS, 2013).

Anak-anak dengan kanker membutuhkan banyak nutrisi, seperti : 1. Protein

Tubuh membutuhkan protein untuk tumbuh; memperbaiki jaringan yang rusak; dan untuk menjaga kulit, sel darah, sistem imun, serta sel epitel saluran cerna tetap bagus. Apabila anak tidak mendapatkan asupan protein yang cukup, tubuh akan memecah otot sebagai sumber energi. Hal ini akan meningkatkan resiko infeksi dan memperpanjang proses penyembuhan dari penyakit. Anak-anak yang menjalani kemoterapi, radiasi, dan operasi

(13)

akan membutuhkan asupan protein lebih untuk memperbaiki jaringan yang rusak dan mencegah infeksi (ACS, 2013).

2. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber utama energi bagi tubuh untuk berfungsi secara normal. Kalori yang dibutuhkan oleh anak-anak bergantung pada usia, berat badan, serta aktifitas fisik mereka dan jumlah kalori mereka akan lebih besar daripada orang dewasa. Anak-anak dengan kanker membutuhkan kalori sekitar 20-90% lebih banyak daripada anak-anak yang tidak menderita kanker (ACS, 2013).

3. Lemak

Lemak memiliki peranan penting dalam nutrisi pada anak karena lemak merupakan sumber kalori paling besar untuk tubuh. Tubuh akan memecah lemak untuk digunakan sebagai energi, melindungi jaringan tubuh, dan melarutkan vitamin untuk diserap ke dalam aliran darah (ACS, 2013). 4. Air

Sel dalam tubuh membutuhkan air untuk berfungsi. Salah satu efek samping dari kemoterapi adalah mual dan muntah, jika gejala ini berkepanjangan akan menyebabkan anak mengalami dehidrasi sehingga keseimbangan cairan dalam tubuh akan terganggu (ACS, 2013).

5. Vitamin dan mineral

Tubuh membutuhkan sedikit vitamin dan mineral untuk tumbuh kembang dan berfungsi secara normal serta membantu tubuh untuk menggunakan energi yang didapat dari makanan. Vitamin D dan kalsium sangat penting untuk pertumbuhan tulang. Pada anak normal, asupan kedua zat ini tidak cukup sehingga pada anak penderita kanker disarankan untuk memperbanyak asupan vitamin D dan kalsium karena obat-obat kemoterapi dapat menurunkan kadar kedua zat dalam tubuh (ACS, 2013). Malnutrisi adalah suatu kondisi dimana terjadi defisiensi dari nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga tubuh tidak dapat berfungsi secara normal. Malnutrisi pada anak yang menderita kanker disebabkan oleh beberapa

(14)

hal. Sekitar 50-60% anak yang menderita kanker mengalami malnutrisi yang dipengaruhi oleh jenis keganasan dan negara tempat tinggal, baik negara berkembang ataupun negara maju (Alcazar, 2013).

Menurut penelitian Underzo et al. (1996) dan Reilly J, et al. (1999) dalam Alcazar A. M., et al (2013), prevalensi malnutrisi pada pasien yang didiagnosis menderita LLA sekitar 7% untuk negara berkembang, dan pada penelitian yang lainnya menunjukkan angka sekitar 21-23%. Prevalensi anak-anak yang mengalami obesitas setelah selesai pengobatan adalah sekitar 20-34%. Nutrisi menjadi salah satu faktor yang penting dalam menentukan prognosis dan harapan hidup dari pasien LLA.

Pada pasien LLA yang mengalami malnutrisi pada saat ditegakkan diagnosis, ditemukan bahwa kemoterapi lebih berbahaya dan tidak begitu efektif dibandingkan dengan pasien LLA yang mempunyai nutrisi adekuat. Toksisitas hematologi adalah penyebab paling sering dari komplikasi yang terjadi, seperti meningkatkanya resiko infeksi, perdarahan, dan relapse yang disebabkan oleh neutropenia, trombositopenia, dan pengobatan yang dihentikan (Alcazar, 2013). 2.2.1. Patogenesis kanker cachexia dan obesitas

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan kondisi malnutrisi terjadi pada pasien kanker seperti interaksi antara energi dan substrat metabolisme, komponen hormonal dan inflamasi, serta pergantian dari kompartmen metabolik. Hal ini akan mengakibatkan aktivitas metabolik yang dipercepat, oksidasi dari substrat energi, dan hilangnya protein tubuh.

• Mekanisme kanker cachexia

Cachexia adalah suatu kondisi dimana terjadi pengurangan jaringan otot dan lemak tubuh yang berlangsung terus menerus dan bersifat progresif. Pada kanker cachexia, terjadi kehilangan lemak dan otot yang berbeda dengan orang yang puasa berkepanjangan ataupun kelaparan. Hal ini disebabkan oleh adanya peranan sitokin seperti IL-1α,

(15)

IL-1β, dan IL-6 yang dihasilkan oleh jaringan tumor, sel stroma, sistem imun selain itu juga disebabkan TNF- α, dan INF-γ (Bauer, 2011).

Sitokin-sitokin tersebut akan mempengaruhi asupan makanan dan penggunaan energi sehingga menyebabkan gejala klinis dari cachexia.

Sitokin akan dibawa melewati blood-brain barier dan berinteraksi dengan sel endotel yang berada di permukaan lumen otak yang menyebabkan suatu substansi dikeluarkan dan mempengaruhi selera makan (Bauer, 2011).

Reseptor TNF- α dan IL-1 ditemukan berada di daerah hipotalamus, yang berperan dalam pengaturan nafsu makan. Semua sitokin ini akan menyebabkan terjadinya anoreksia. Selain itu, prostaglandin juga berperan sebagai mediator penekan nafsu makan (Tisdale, 2009).

Selain itu, hal-hal seperti meningkatnya jumlah nutrisi yang dibutuhkan oleh pasien kanker, gangguan penyerapan nutrient disebabkan adanya gangguan saluran pencernaan oleh karena efek samping pengobatan, gangguan metabolik dan hormonal, nyeri yang tidak terkontrol, dan gangguan pada pengecapan akan memicu penurunan asupan energi sehingga resiko terjadinya cachexia lebih tinggi (Bauer, Jacqueline, 2011).

• Mekanisme obesitas

Obesitas atau overweight merupakan hal yang perlu diperhatikan sebagai akibat dari pengobatan kanker jangka panjang. Mekanisme pasti dari terjadinya obesitas belum dapat dijelaskan secara pasti, namun ada beberapa hipotesis yang menjelaskan adanya akumulasi berlebihan dari lemak tubuh sehingga menyebabkan IMT yang berlebihan (Alcazar, 2013).

Terapi kortikosteroid selain digunakan untuk pengobatan LLA, juga dapat meningkatkan sintesis leptin. Setelah leptin dihasilkan dan masuk ke dalam aliran darah, leptin akan mencapai sistem saraf pusat dan berikatan dengan reseptornya yang terdapat di hipotalamus. Aktivasi dari

(16)

reseptor akan menurunkan produksi dari neuropeptida Y dan peptida lainnya. Selain itu, leptin juga akan mengaktivasi sistem saraf simpatis sehingga aktifitas metabolik dan konsumsi energi meningkat. Leptin mengurangi sekresi insulin sehingga penyimpanan glukosa sebagai sumber energi akan berkurang (Alcazar, 2013).

Ketika terjadi insensitifitas terhadap leptin, akan mengakibatkan gangguan regulasi berat badan dan metabolisme. Sehingga akan menyebabkan adanya gangguan secara intrasel dan mengakibatkan modifikasi metabolik yang mengarah pada peningkatan IMT (Alcazar, 2013).

2.2.2. Tahapan Kemoterapi dan nutrisi pasien LLA

Status nutrisi pada pasien LLA merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi prognosis dan harapan hidup dari pasien tersebut. Malnutrisi lebih sering ditemukan pada saat anak menjalani tahapan kemoterapi terutama tahapan induksi. Faktor-faktor seperti obat(steroid), makanan, dan aktifitas fisik mempengaruhi status nutrisi dan dimanifestasikan sebagai gangguan pertumbuhan, berat badan bertambah ataupun berat badan menurun (Tan, 2013).

Penurunan berat badan yang berlebihan pada pasien LLA merupakan efek samping dari terapi kanker. Anoreksia, muntah, ataupun malabsorpsi akan mengurangi absorpsi dari nutrien yang dikonsumsi. Sedangkan pada pasien yang mengalami peningkatan berat badan dan obesitas, dikaitkan dengan penggunaan steroid yang berkepanjangan pada saat terapi sehingga selera makan pasien akan meningkat dan asupan energi meningkat (Tan,2013).

2.2.3. Indeks Massa Tubuh Anak

Menurut CDC (2011), Indeks Massa Tubuh adalah angka yang didapatkan melalui perhitungan berat badan dan tinggi badan anak. IMT merupakan salah satu indikator yang menunjukkan lemak dalam tubuh pada anak-anak maupun remaja. Perhitungan IMT tidak memakan biaya dan merupakan metode yang mudah untuk digunakan sebagai screening awal untuk masalah berat badan.

(17)

Untuk anak-anak, IMT spesifik terhadap usia dan jenis kelamin, sehingga sering disebut BMI-for-age.

Setelah dilakukan perhitungan IMT, hasilnya akan di-plot-kan ke dalam kurva WHO maupun CDC sesuai dengan usia mereka untuk mendapatkan hasil persentil. Persentil merupakan indikator yang sudah umum digunakan untuk melihat pertumbuhan anak-anak dan hasilnya membantu mengklasifikasikan anak-anak sesuai dengan berat badan mereka.

Interpretasi hasil : • Kurva WHO (2014) :

Z – score :

< -3SD : Gizi buruk / Kurus sekali < -2SD s/d -3SD : Gizi kurang / Kurus -2SD s/d +2SD : Gizi baik / Normal > +2SD : Gizi lebih / Gemuk Persentil :

< 5th persentil : Underweight

5th persentil - < 85th persentil : Normal (Gizi Baik) 85th persentil - < 95th persentil : Overweight

>= 95th persentil : Obesitas • Kurva CDC (2011) :

< 5th persentil : Underweight

5th persentil - < 85th persentil : Normal (Gizi Baik) 85th persentil - < 95th persentil : Overweight

Gambar

Tabel 2.1-Faktor predisposisi dari Leukemia Limfoblastik Akut (Tubergen  dan Bleyer, 2007)
Gambar 2 : Asal sel dan evolusi dari sel kanker (Roganovic, 2013)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dipeoleh dapat disimpulkan bahwa: (i) Dari 10 macam enzim yang digunakan terdeteksi 16 lokus, 3 diantaranya polimorfik yaitu EST-1, PGM-1, dan

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu dengan pendekatan 10- fold cross validation diperoleh nilai akurasi tertinggi ketika menggunakan naive

2.3 Hubungan Skeptisisme Profesional Auditor dan Situasi Audit, Etika, Pengalaman serta Keahlian Audit dengan Ketepatan Pemberian Opini Auditor oleh Akuntan Publik..

Perjanjian kinerja merupakan komitmen dan janji rencana kinerja yang akan dicapai pada tahun 2013 antara Kepala Balai Litbang P2B2 Banjarnegara sebagai pihak yang

Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak

e% Peserta didik duduk dalam kelom'ok &amp;ang diin+ormasikan oleh guru dan *erdiskusi mengenai 'engertian limit di ketakhinggaan dengan  *antuan LKP dan media 'em*elajaran%. +%

Golongan obat berikut ini dapat digunakan untuk terapi farmakologi parkinson... Berikut ini adalah tanda dan

Ciri-ciri perilaku prokrastinasi yang dilakukan subjek berupa penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang dihadapi, keterlambatan dalam mengerjakan