• Tidak ada hasil yang ditemukan

Barrier Of Communication Between Ethnic In Pontianak City. Hambatan Komunikasi Antar Etnis Di Kota Pontianak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Barrier Of Communication Between Ethnic In Pontianak City. Hambatan Komunikasi Antar Etnis Di Kota Pontianak"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DOI: ...  250

Barrier Of Communication Between Ethnic In Pontianak City

Hambatan Komunikasi Antar Etnis Di Kota Pontianak

Sinta Paramita1, Rose Mita Carissa2

1, 2 Universitas Tarumanagara Fakultas Ilmu Komunikasi, Jln. Letjen. S. Parman No:1

Gedung Utama Lantai:11, Jakarta Barat Indonesia, 021- 56960586

*Corresponding author, e-mail: sintap@fikom.untar.ac.id1, mitacarissa28@gmail.com2

Abstract

This study aims to determine how the expectations of each ethnic group in maintaining the issue of harmony of inter-ethnic life in the Province of West Kalimantan, especially in Pontianak City which consists of the majority of Dayak ethnic, Malay, and Tionghoa. Multiethnic life in Pontianak often creates various conflicts that occur interethnic. This research is a qualitative descriptive research. In this study the authors linked several theories of intercultural communication and identified communication barriers such as Stereotype, Etnocentrism, and others. In this study found that interethnic conflicts can arise due to the absence of open minds in the face of differences, the lack of mutual tolerance and mutual respect among ethnic groups. In addition, communication barriers also become one of the factors arising the interethnic conflict

Keywords: Intercultural Communication, Conflict, Communication Barriers

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana harapan setiap kelompok etnis dalam menjaga isu kerukunan kehidupan antaretnis di Provinsi Kalimantan Barat khususnya di Kota Pontianak yang terdiri dari mayoritas etnis Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Kehidupan multietnis di Kota Pontianak kerap kali menimbulkan berbagai konflik yang terjadi antaretnis. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini penulis mengaitkan beberapa teori komunikasi antar budaya dan mengidentifikasi hambatan komunikasi seperti Stereotype, Etnosentrisme, dan lainnya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa konflik antaretnis dapat timbul disebabkan oleh tidak adanya pikiran yang terbuka dalam menghadapi perbedaan, tidak adanya sikap saling toleransi dan saling menghargai antar sesama etnis. Selain itu, hambatan komunikasi juga menjadi salah satu faktor timbulnya konflik antaretnis tersebut.

Kata Kunci: Komunikasi, Antar budaya, Konflik, Hambatan Komunikasi

Copyright © 20... Universitas Semarang. All rights reserved. Pandahuluan

Indonesia adalah negara yang memiliki latar belakang suku budaya dan etnis yang paling beragam. Sejak dahulu kala, Indonesia telah dikenal sebagai masyarakat majemuk yang tidak lepas dari semboyan “Bhinneka tunggal Ika”. Semboyan yang bangsa Indonesia agungkan tersebut memiliki arti berbeda- beda tetapi tetap satu, hal tersebut mengumpamakan bahwa dari berbagai perbedaan yang ada, Indonesia adalah suatu kesatuan. Walaupun masyarakat Indonesia memiliki keberagaman agama, budaya, adat istiadat, etnis, dan bahasa, masyarakat Indonesia dituntut dapat hidup bersama disatu tanah. Hal tersebut tak urung menyebabkan berbagai konflik terjadi

(2)

yang dilatarbelakangi perbedaan etnis antar kelompok masyarakat tertentu yang tinggal dan menetap disuatu daerah.

Salah satu kota yang terdiri dari masyarakat multietnis adalah kota Pontianak. Pontianak merupakan ibukota salah satu provinsi dinegara Indonesia yaitu Kalimantan Barat yang telah memiliki jumlah penduduk mencapai 5,2 juta jiwa pada tahun 2015. Jumlah penduduk yang mencapai jutaan jiwa tersebut terdiri dari berbagai suku dan etnis yang berbeda. Etnis-etnis mayoritas yang menetap di Pontianak terdiri dari etnis Dayak, Melayu, dan Tionghoa.

Dalam penelitian ini, penulis berpandangan bahwa kondisi kerukunan etnis Tionghoa, melayu, dan dayak di kota Pontianak menarik untuk diteliti karena ketiga etnis tersebut telah hidup berdampingan di atas satu tanah. Melihat kemajemukan tersebut, konflik kerap kali muncul dan tidak dapat dihindari dari kehidupan sosial masyarakat yang menetap di Pontianak.

Maka dari itu, peneliti akan menganalisa mengenai bagaimana komunikasi antar budaya sesama etnis di kota pontianak dan melihat hal yang berperan penting dalam menimbulkan konflik maupun dalam menjaga isu kerukunan antara komunikasi yang terjadi apabila komunikator pesan merupakan anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan) merupakan anggota suatu budaya lainnya. Sedangkan menurut pandangan Charley H Dood (dalam Darmastuti, 2013: 64), komunikasi antar budaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, maupun kelompok dengan menekankan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang akan mempengaruhi komunikasi para peserta atau partisipan komunikasi. Artinya komunikasi antar budaya pasti terjadi disemua wilayah yang memiliki kelompok masyarakat yang berbeda budaya atau masyarakat multietnis.

Ahmad Sihabudin dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Antar budaya

mengatakan bahwa, komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya lain dan penerima pesannya merupakan anggota budaya lain. Maka, masalah yang akan dihadapi adalah suatu situasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain (Sihabudin, 2013: 21). Samovar, Porter, dan McDaniel juga mengatakan bahwa proses komunikasi akan menjadi lebih kompleks ketika dimensi budaya terlibat di dalamnya (Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010:25). Lebih lanjut Sanadi memandang komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini (2014: 30).

Dari definisi di atas bahwa perbedaan budaya menghambat proses dan hasil komunikasi yang optimal. Dengan kata lain, proses komunikasi tidak lancer dan hasil komunikasi tidak optimal. Yang lebih parah lagi bahwa terjadinya efek negatif, yang menimbulkan prasangka, kesalahpamahan bahkan sampai terjadi konflik baik bersifat simbolik maupun fisik.

Konflik Komunikasi Antar budaya

Konflik menurut Wirawan merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang beragam. Setiap manusia memiliki status sosial, kebudayaan, etnis, suku, dan kepercayaan, serta tujuan hidup yang berbeda. Perbedaan tersebutlah yang dapat menyebabkan konflik antar individu (Wirawan, 2009: 1). Komunikasi antar budaya yang tidak berjalan lancar dalam proses

(3)

penyampaian, penerimaan, dan penyandian baliknya akan menimbulkan kesalah pahaman antara individu atau kelompok masyarakat.

Setiap individu atau kelompok masyarakat, akan hidup dengan landasan pola-pola kebudayaan yang mereka miliki sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa kebudayaan tidak hanya satu tetapi sangat beragam dan menjadikan komunikasi antar budaya yang menjadi kompleks. Hal lainnya yang juga turut serta menimbulkan masalah antara masyarakat yang berbeda budaya adalah hambatan komunikasi.

Menurut Chaney dan Martin (dalam Lubis, 2016: 5) hambatan komunikasi atau yang biasa disebut dengan barrier of communication adalah segala sesuatu yang Prasangka menurut Andrik Purwasito (Purwasito, 2003: 178) adalah cara pandang atau perilaku seseorang terhadap orang lain secara negatif. Andrik Purwasito juga mengatakan prasangka merupakan pernyataan umum yang didasarkan atas beberapa pengalaman dangkal yang tidak diuji terlebih dahulu. Sedangkan menurut Samovar, Porter, dan McDaniel (2014: 207) prasangka merupakan generalisasi kaku dan menyakitkan mengenai sekelompok orang. Prasangka menyakitkan dalam arti bahwa orang memiliki sikap yang tidak fleksibel yang didasarkan atas sedikit atau tidak ada bukti sama sekali.

Menurut Sinta dan Wulan (2016: 165) Mengatakan kerukunan antarumat beragama dapat terjaga karena adanya budaya demokrasi yang memiliki peran untuk menrapkan kesetaraan kebebasan bagi semua pihak dalam beragama dan gender. Semua usaha untuk menjaga kerukunan ini merupakan nilai-nilai hidup yang dimiliki oleh masyarakat Minahasa. Menurut pemaparan para ahli diatas, peneliti dapat mengambil suatu contoh prasangka pada masyarakat multi etnis. Abdulah (2001: 35) telah terjadi berulangkali di Kalbar sejak tahun 1962 (lihat Kompas 20/12/2000). Sejak 1962 itu, pertikaian yang melibatkan etnis Madura, Melayu, Dayak, dan Tionghoa terus berlangsung pada tahun 1963, 1968, 1972, 1977, 1979, 1983, 1996, 1997, 1999, dan 2000. Peristiwa yang terjadi di Kalimantan Tengah pada bulan Pebruari 2001 yang lalu merupakan contoh tentang betapa rumitnya persoalan etnis di Indonesia. Lebih lanjut Abdullah menjelaskan konflik etnis semacam ini tidak hanya terjadi di Kalimantan, tetapi juga di daerahdaerah lain di Indonesia. Konflik antara orang Aceh dengan Batak atau antara Melayu dengan non-Melayu di Sumatera Utara; pertikaian di Ambon atau di Papua. Pertikaian di Sulawesi Utara yang melibatkan Gorontalo atau Talaut dan di Jawa sendiri yang sarat dengan isu SARA (2011:35).

Hambatan Komunikasi Antar Etnis

Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif tutur Chaney dan Martin (Dalam Simbolon, 2012: 45). Hambatan komunikasi tersebut bisa terjadi karena etnosentrisme, rasis, dan stereotipe.

a) Etnosentrisme

Porter (dalam Darmastuti, 2013: 73) memberikan definisi ‘etnosentrisme is judging other cultures by comparison with one’s own’. Dalam pemahaman porter, etnosentrisme merupakan penghakiman suatu kelompok masyarakat yang lain dengan cara membandingkan atau menggunakan standar budayanya sendiri. Nanda dan Warms (dalam Darmastuti, 2013: 73) mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan dengan budaya yang lain. Pandangan bahwa budaya lain dinilai

(4)

berdasarkan budaya kita. Tidak jarang seseorang akan berubah menjadi etnosentrisme, ketika mereka melihat budaya lain menggunakan kacamata budaya mereka atau berdasarkan pada posisi sosialmereka.

Sedangkan etnosentrisme menurut Andrik Purwasito (Purwasito 2003: 228) adalah egoisme kultural. Sebuah komunitas menganggap dirinya paling superior diantara yang lain dan penilaian budaya sendiri yang lebih baik. Jadi, semua penilaian berangkat dari ukuran budaya sendiri dan menyebabkan apa yang terbaik adalah budaya sendiri sedangkan budaya orang lain lebih rendah. Dari paparan para ahli di atas, dapat dilihat bahwa hambatan ini dapat menyebabkan konflik jika etnosentrisme dianut masyarakat disuatu daerah bersifat multietnis, karena hanya dalam masyarakat multietnis sebuah budaya dapat dibandingkan dengan yanglainnya.

b) Stereotipe

Andrik Purwasito (Purwasito 2003: 228) mendefinisikan stereotipe sebagai sendiri-sendiri berdasarkan lingkungan budaya. Stereotipe menurut Samovar, Porter, dan McDaniel (2014: 203) merupakan bentuk kompleks dari pengelompokkan yang secara mental mengatur pengalaman individu dan mengarahkan sikap individu tersebut dalam menghadapi orang-orang tertentu. Hal ini menjadi cara untuk mengatur gambaran-gambaran yang anda miliki ke dalam suatu kategori yang pasti dan sederhana yang anda gunakan untuk mewakili sekelompok orang.

Berdasarkan pemaparan stereotipe menurut para ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa stereotipe dapat menimbulkan konflik antar budaya jika sekelompok orang dari budaya A menggambarkan kelompok budaya B dengan tidak benar atau negatif dan gambaran negatif tersebut hanya didasarkan pada pandangan terhadap seorang individu yang kebetulan merupakan kelompok budaya B. Dapat dikatakan bahwa stereotip memandang semua orang dalam suatu kelompok memiliki sifat yang sama.

c) Rasisme

Rasisme menurut Leone (dalam Samovar, Porter, dan McDaniel, 2014: 212) merupakan kepercayaan terhadap superioritas yang diwarisi oleh ras tertentu. Superioritas inilah yang memungkinkan seseorang untuk memperlakukan kelompok lain secara buruk berdasarkan ras, warna kulit, agama, dan lainnya. Samovar, Porter, dan McDaniel juga mengatakan bahwa rasisme merupakan penghalang utama dalam suksesnya komunikasi antar budaya. Tanpa disadari, banyak bentuk-bentuk rasisme yang sering terjadi disekitar kita. Rasisme dapat mencakup tindakan penghinaan yang dilakukan kepada etnis lain, intimidasi terhadap etnis lain, bahkan sampai pada tahap seriusnya dapat mencapai pada tahap kekerasan fisik.

Salah satu contoh rasisme yang sederhana dan terjadi dikehidupan kita, misalnya saat pembentukan kelompok dikelas salah satu sekolah yang mayoritas berkulit putih, tidak ada satu kelompokpun yang ingin mengikutsertakan A (satu-satunya murid berkulit hitam di kelas) ke dalam kelompok mereka. Hal itu menunjukkan bahwa adanya latar belakang rasisme dalam penolakan murid A dalam setiap kelompok di kelas tersebut. Terkadang rasisme dapat kita lakukan secara sadar ataupun tidak sadar,

(5)

hal tersebut disebabkan oleh sikap rasisme sudah diwariskan secara turun temurun dan tanpa sadar dapat melekat pada tubuh dan pikiran kita sampai selamanya. Dari pendahuluan di atas pelitian ini akan membahas mengenai komunikasi dari tiga budaya yang berbeda. Maka dari itu, paparan mengenai hambatan komunikasi yang dituliskan di atas akan menjadi bahan kajian penting yang dapat membantu peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.

Metode Penelitian

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi data primer dan data skunder. Data primer dalam penelitian ini adalah wawancara kepada masyarakat di Kota Pontianak dan observasi mengenai hambatan komunikasi yang yang terjadi antaretnis Dayak, Melayu, dan Tionghoa di kota Pontianak. Data skunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan observasi online yang relevan dengan penelitian ini.

Setelah teknik pengumpulan data diperoleh selanjutnya adalah teknik analisis data. Menurut Seiddel (dalam Moleong, 2007: 248) analisis data kualitatif memiliki proses yang berjalan secara bertahap. Yang pertama adalah mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri, kedua adalah mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya, yang terakhir adalah berpikir, dengan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola, hubungan, serta temuam-temuan umum.

Dalam penelitian ini, penulis hanya mengikuti beberapa teknis analisis data yang dipaparkan oleh para ahli di atas yaitu mengolah data yang telah dikumpulkan, mempelajarinya, mengidentifikasikannya, dan mengubahnya menjadi suatu temuan yang bermakna. Berikut tahap-tahap dalam teknik analisis data penulis dalam penelitian ini:

1) Melakukan observasi dengan wawancara dan pengamatan langsung.

2) Setelah mengumpulkan data penelitian dengan observasi, maka tahap selanjutnya adalah menarasikan hasil wawancara danpemgamatan.

3) Setelah menarasikan hasil observasi, penulis mempelajari dan mengklasifikasikan hasil observasitersebut.

4) Tahap selanjutnya, setelah memahami hasil observasi penulis mengkolaborasikan dan menganalisis temuan dengan teori-teori yangbersangkutan.

5) Tahap terakhir adalah pembahasan. Setelah menganalisis hasil data observasi dengan teori akhirnya penulis dapat mengubahnya menjadi sebuah temuan yang bermakna.

Hasil dan Pembahasan

Dalam masyarakat multietnis, kesempatan untuk terjadinya hambatan dalam komunikasi menjadi semakin besar, hal tersebut dikarenakan oleh adanya penghalang seperti yang diungkapkan pada pendahuluan di atas. Penghalang untuk terjadinya komunikasi bisa saja merupakan perbedaan budaya, bahasa, adat istiadat, dan lainnya. Berikut adalah hambatan komunikasi antar kelompok etnis Dayak, Tionghoa, dan Melayu di Kota Pontianak berdasarkan hasil analisis:

(6)

A. Hambatan Komunikasi Etnis Melayu Terhadap Etnis Dayak, Tionghoa, dan Melayu sendiri

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan informan, ditemukan bahwa adanya stereotyping oleh etnis Melayu kepada etnis Dayak dan Tionghoa di kota Pontianak. Andrik Purwasito (Purwasito 2003: 228) mendefinisikan stereotipe sebagai pandangan umum dari suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Pandangan umum ini biasanya bersifat negatif. Pandangan negatif yang diberikan kepada suatu kelompok masyarakat inilah yang seringkali menjadi pemicu munculnya konflik. Andrik Purwasito juga mengatakan bahwa stereotipe dibangun dari waktu ke waktu, yang mana setiap kelompok masyarakat mempunyai kerangka interpretasi sendiri-sendiri berdasarkan lingkungan budaya.

“kalo menurut aku orang Dayak itu masih mungkin karena memang mereka masih mayoritas gitu ya, jadi masih kolot, rasis, belum bisa bergaul juga dan kurang tenggang rasa dengan etnis lain” (wawancara dengan informan etnis Melayu pada tanggal 19 November 2016).

Hasil dari wawancara menunjukkan bahwa etnis Melayu memandang kelompok etnis Dayak yang masih kolot, rasis, dan kurang memiliki nilai tenggang rasa kepada etnis lainnya, menurut informan hal tersebut dikarenakan etnis Dayak yang masih merupakan salah satu etnis mayoritas disana. Informan juga mengungkapkan bahwa adat istiadat dari masyarakat etnis Dayak masih sangat kental dan masih terus dijalani sampai sekarang, hal tersebutlah yang membuat informan Melayu merasa kalau masyarakat Dayak disana masih sangat kolot. Berdasarkan sumber yang sama, penulis juga menemukan bahwa etnis Melayu merasa bahwa etnis Tionghoa di Pontianak masih sangat menutup diri, menurut informan hal tersebut dikarenakan jumlah etnis Tionghoa yang masih minoritas di provinsi tersebut, dan juga budaya yang terlalu berbeda dari etnis Melayu dan Dayak terutama dalam hal bahasa yang digunakan untuk keseharian. Hal tersebut memang dapat dilihat dari masyarakat Tionghoa yang kebanyakan masih menggunakan bahasa Tionghoa (Khek atau Tio Chu) dalam keseharian mereka, sedangkan etnis Dayak dan Melayu yang kebanyakan telah berkomunikasi dengan bahasa daerah tersebut. Hal tersebut juga membuat informan merasa jika masih ada rasisme pada etnis Tionghoa terhadap etnis lain di sana.

“Menurut aku karna Tionghoa masih minoritas, jadi mereka kadang suka menutup diri dari etnis lain. justru kalo kita mau approach mereka, mereka malah jadinya rasis ke kita karena etnis kita beda, terus cara komunikasi juga beda”.

(wawancara dengan informan etnis Melayu pada tanggal 19 November2016).

Rasisme menurut Leone (dalam Samovar, Porter, dan McDaniel, 2014: 212) merupakan kepercayaan terhadap superioritas yang diwarisi oleh ras tertentu. Superioritas inilah yang memungkinkan seseorang untuk memperlakukan kelompok lain secara buruk berdasarkan ras, warna kulit, agama, dan lainnya. Informan Melayu merasa bahwa etnis Tionghoa masih rasis terhadap etnis Melayu, hal tersebut terjadi saat informan masih berada di bangku SMA, informan yang ingin melakukan pendekatan dan pengenalan dirinya kepada salah satu temannya yang merupakan etnis Tionghoa ditanggapi dengan sinis oleh etnis Tionghoatersebut.

(7)

“Iya mereka gak mau bergaul, kayak sinis gitu loh. Terus kayak ngomongin dibelakang gitu” (wawancara dengan informan etnis Melayu pada tanggal 19 November 2016).

Hal ini mencerminkan bahwa masih adanya kelompok masyarakat tertentu yang memperlakukan kelompok masyarakat lain dengan buruk hanya karena perbedaan ras, etnis, dan lainnya di Pontianak.

B. Hambatan Komunikasi Etnis Dayak Terhadap Etnis Melayu, Tionghoa, dan Dayak sendiri

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan informan Dayak penulis menemukan bahwa adanya etnosentrisme pada etnis Dayak di Pontianak. Nanda dan Warms (dalam Darmastuti, 2013: 73) mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan dengan budaya yang lain. Saat penulis melakukan wawancara, infroman Dayak menjawab dengan yakin bahwa kebudayaan dan adat dari etnis Dayak lebih baik jika dibandingkan dengan etnis Melayu dan Tionghoa di Pontianak.

“Ya pastinya lebih baik dong, karna kan Dayak itu adat saya sendiri, terus sayadari kecil kan hidupnya dengan aturan-aturan orang Dayak”.

Informan dari etnis Dayak juga tidak memberikan alasan yang signifikan mengapa ia merasa jika budaya dan adat Dayak lebih baik dari pada Melayu dan Tionghoa. Apa yang terjadi pada etnis Dayak Pontianak dapat juga dikatakan sebagai egoisme kultural, dimana etnis tersebut merasa dirinya paling superior dan menilai budayanya sendiri yang paling baik. Etnosentrisme menurut Andrik Purwasito (Purwasito 2003: 228) adalah egoisme kultural. Sebuah komunitas menganggap dirinya paling superior diantara yang lain dan penilaian budaya sendiri yang lebih baik. Jadi, semua penilaian berangkat dari ukuran budaya sendiri dan menyebabkan apa yang terbaik adalah budaya sendiri sedangkan budaya orang lain lebih rendah. Hal ini terbukti dari pernyataan informan Dayak yang mengatakan bahwa budaya masyarakat Tionghoa yang tingkat kepedulian antar sesama etnis sendiri yang begitu rendah, sangat berbeda dengan etnis Dayak yang selalu saling membantu dan juga ramah antar sesama etnis Dayak walau tidak saling mengenal sekalipun orang dari etnis Dayak akan saling menyapa jika merupakan sesama etnis Dayak. Selain hal tersebut, informan Dayak yang pernah bekerja dengan masyarakat dari etnis Tionghoa juga memberikan stereotype pada etnis Tionghoa yaitu memiliki sifat hemat dalam masalah keuangan dan merupakan seorang yang pekerjakeras.

Saat ditanya mengenai pandangan terhadap etnis Melayu, penulis menemukan bahwa adanya prasangka informan Dayak terhadap etnis Melayu. Prasangka menurut Andrik Purwasito (Purwasito, 2003: 178) adalah cara pandang atau perilaku seseorang terhadap orang lain secara negatif. Andrik Purwasito juga mengatakan prasangka merupakan pernyataan umum yang didasarkan atas beberapa pengalaman dangkal yang tidak diuji terlebih dahulu. Menurut informan ia jarang bergaul dengan orang dari etnis Melayu, informan mengatakan hal tersebut karena ia merasa bahwa masyarakat dari etnis Melayu cenderung lebih tertutup dan hanya ingin bergaul dengan etnis mereka sendiri.

(8)

C. Hambatan Komunikasi Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa sendiri

Berdasarkan wawancara bersama dengan salah satu masyarakat etnis Tionghoa di Pontianak, penulis juga menemukan bahwa adanya prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Melayu. Prasangka menurut Andrik Purwasito (Purwasito,2003: 178) adalah cara pandang atau perilaku seseorang terhadap orang lain secara negatif. Andrik Purwasito juga mengatakan prasangka merupakan pernyataan umum yang didasarkan atas beberapa pengalaman dangkal yang tidak diuji terlebihdahulu.

“orang-orang Melayu itu ya disini mereka suka merasa kalau kelompok mereka kan mayoritas, lebih dominan, dan mereka juga menganggap remeh seperti menganggap etnis Tionghoa cuman numpang di negara ini” (wawancara dengan informan etnis Tionghoa pada tanggal 16 November 2016).

Informan Tionghoa berprasangka bahwa dikarenakan etnis Melayu merupakan etnis Mayoritas, mereka sering menganggap remeh etnis Tionghoa disana. Selain itu, menurut hasil wawancara dan observasi penulis menemukan bahwa adanya stereotype dari etnis Tionghoa terhadap etnis Melayu bahwa masyarakat etnis Melayu jika dilihat dari sisi kehidupannya sangat boros dan tidak bisa menabung.

“Kalo dari sisi kehidupan, kebanyakan mereka ya gak bisa hemat uang, kebanyakan dari mereka kalo udah dapat uang langsung aja dihabisin” (wawancara dengan informan etnis Tionghoa pada tanggal 16 November 2016).

Bahkan menurut hasil observasi, ada sebutan khusus yang digunakan oleh orang Tionghoa untuk mencerminkan seseorang yang sangat boros yaitu “huan nang kuan” yang artinya adalah sifat orang Melayu. Jadi dapat dibayangkan betapa kuatnya stereotype terhadap orang Melayu yang dianggap mempunyai kebiasaan boros tersebut. Selain hal tersebut, informan Tionghoa juga memuji solidaritas masyarakat etnis Melayu yang dinilai sangat tinggi antar sesama etnis Melayu. Hal yang sama diungkapkan oleh informan saat ditanya mengenai pandangan terhadap etnis Dayak, informan mengatakan bahwa etnis Dayak juga memiliki rasa solidaritas yang sangat tinggi antarsesamanya.

Sebagai seorang dari etnis Tionghoa sendiri, informan Tionghoa yang penulis wawancarai juga mengkritik bagaimana etnis Tionghoa disana yang sangat individualis. Individualis dalam arti jika antar sesama etnis Tionghoa sedang mengalami kesulitan, etnis Tionghoa lainnya lebih cuek dan tidak saling menolong, berbeda dengan etnis Dayak dan Melayu yang solidaritas antarsesama etnisnya sangat tinggi. Menurut informan Tionghoa etnis Tionghoa disana memiliki mental pekerja dan otak bisnis, hal itu pula yang menyebabkan etnis Tionghoa memiliki sifat agak pelit.

D. Menjaga Kerukunan Antaretnis di Kota Pontianak

Dalam hal menjaga kerukunan hidup disuatu wilayah yang dihuni oleh kelompok masyarakat dari berbagai etnis, tentu sebagai masyarakat tersebut harus menghindari timbulnya konflik. Konflik menurut Wirawan merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang beragam. Setiap manusia memiliki status sosial, kebudayaan, etnis, suku, dan kepercayaan, serta

(9)

tujuan hidup yang berbeda. Perbedaan tersebutlah yang dapat menyebabkan konflik antar individu (Wirawan, 2009:1).

Hambatan-hambatan komunikasi yang telah dibahas oleh penulis diatas tak pelak dapat menimbulkan konflik antaretnis di kota Pontianak, maka dari itu harus adanya usaha ataupun kemauan dari masing-masing kelompok etnis untuk dapat saling hidup berdampingan dengan baik dan rukun. Untuk mencapai hal itu, tentu juga harus ada sikap sikap yang perlu diterapkan oleh masyarakat dari ketiga kelompok etnis tersebut. Berdasarkan hasil wawancara bersama ketiga informan, penulis melihat bahwa adanya kesadaran dari ketiga kelompok etnis tersebut dalam menjaga kerukunan hidup antaretnis di kotaPontianak.

“Biar rukun dan mengurangi konflik mungkin kita cukup saling menghargai sih, toleransi antarsesama. Nah mungkin bisa kita buat acara perkumpulan antaretnis mungkin, agar dapat menjalin hubungan yang lebih baik antar sesana. Dan untuk etnis apapun, janganlah mudah terprovokasi dan berpikirlah lebih terbuka”.

(wawancara dengan informan etnis Tionghoa pada tanggal 16 November 2016).

“Pertama sih pasti toleransi sesama etnis, terus kita kan juga tinggal di Indonesia yang Bhinekka Tunggal Ika jadi gak boleh egois, gak boleh terlalu mikir kalo etnis kita itu paling baik. Dan juga jika sedang berada ditempat umum sebaiknya kita berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar biar gak ada kesalapahaman, dan juga saling menghargai antar sesama etnis lain”. (wawancara dengan informan etnis Melayu pada tanggal 19 November2016).

“Mungkin harus saling menghargai dan menjaga, menghargai misalnya kalo kita tau kan orang Melayu tidak makan daging jadi usahakan kita gak makan dan menyuguhkan makanan itu kepada mereka”. (wawancara dengan informan etnis Dayak pada tanggal 21 November 2016).

Berdasarkan hasil wawancara dari ketiga kelompok etnis berbeda yang tinggal secara berdampingan di kota Pontianak, yang penulis paparkan diatas dapat dilihat bahwa setiap kelompok etnis sadar betul perlu adanya rasa saling menghargai dan toleransi antar sesama etnis lain, serta mengurangi egoisme kultural yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu tokoh kebudayaan yaitu Octavianus Shellin Panaloan yang merupakan Ketua Ikatan Pemuda Dayak Kapuas Hulu bahwa semua masyarakat harus sadar jika kita semua adalah hanya manusia biasa yang kebetulan memiliki etnis yang berbeda, jadi tidak ada hal yang perlu dipermasalahkan.

Yang saya harapkan setiap orang menyadari bahwa kita adalah sesame manusia, etnis yang kita miliki hanyalah sebuah kebetulan, jadi untuk apa mempermasalahkan itu. Berkali-kali kita dihantam sejarah yang memperlihatkan bagaimana kejamnya diskriminasi antaretnis maupun ras, baik di dalam maupun luar negeri. Semoga semua orang berbahagia menjadi manusia, bukan menjadi etnis A atau etnis B”. (wawancara dengan Ketua Ikatan Pemuda Dayak Kapuas Hulu, Octavianus Shellin Panaloan).

Kesimpulan

(10)

Hambatan Komunikasi yang dapat menyebabkan konflik antar etnis di Kota Pontianak dapat terjadi karena adanya etnosentrisme, rasisme, dan stereotipe pada masyarakat. Selain itu egoisme kultural juga masih melekat pada diri berberapa masyarakat dalam kelompok etnis tertentu. Seperti kelompok Etnis Dayak merupakan salah satu etnis mayoritas di Kota Pontianak merupakan etnis yang paling menganggap dirinya superior diantara etnis Tionghoa dan Melayu. Kelompok Etnis Dayak dan Melayu merupakan etnis yang mempunyai tingkat solidariotas yang sangat tinggi dengan antar sesama etnisnya. Kelompok Etnis Melayu merupakan kelompok etnis yang paling sering memunculkan konflik.

Hambatan komunikasi tersebut dapat menciptakan kesalah pahaman antar etnis di Pontianak dan akhirnya dapat menimbulkan konflik antar etnis. Untuk mencapai kerukunan dalam kelangsungan hidup dalam masyarakat dari Etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa di Pontianak diharapkan adanya sikap toleransi, sikap saling menghargai, dan tidak dengan mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih diberikan kepada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, para narasumber yang telah memberikan informasi yang relevan terkait dengan penelitian ini, dan masyarakat di Kota Pontianak.

Daftar Pustaka

Abdulla, Irawan. (2001). Penggunaan dan Penyalahgunaan Kebudayaan di Indonesia: Kebijakan Negara dalam Pemecahan Konflik Etnis. Jurnal Antropologi Indonesia. 66 (34-45). Diakses dari:

http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/viewArticle/3421

Darmastuti, Rini. (2013). Komunikasi Antar budaya: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta.

Lubis, A.L. (2016). Pemahaman Praktis Komunikasi Antar budaya. Medan: USU Press. Moleong, M.A Lexy J. (2007). Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Paramita, Sinta dan Wulan P.S. (2016). Komunikasi Lintas Budaya Dalam MenjagaKerukunan Antara Umat Beragama di Kampung Jaton Minahasa. Jurnal Pekommas. 1(2).153-166. Diakses dari:

https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/pekommas/article/view/2010205. Purwasito, A. (2003). Komunikasi Multikultur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Samovar, A. Larry, Porter, E. Richard, & McDaniel, R. Edwin. (2010).

Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika.

Sanadi, Ria Debora. (2014). Komunikasi Interpersonal pada keluarga Beda Budaya.

Jurnal The Messenger. 6 (1). 29-33. Diakses dari:

http://journals.usm.ac.id/index.php/the-messenger/article/view/165/137

Simbolon, Debora. (2012). Memahami Komunikasi Beda Budaya Antara Suku Batak Toba Dengan Suku Jawa Di Kota Semarang (Studi Pada Mahasiswa Suku Batak Toba Dengan Suku Jawa Di Universitas Semarang). Jurnal The Messenger. 4 (2). 43-49. Diakses dari:

(11)

Sihabudin, Ahmad. (2011). Komunikasi Antar Budaya: Satu Perspektif Multidimensi.

Jakarta: PT. Bumi Askara.

Wirawan. (2009). Konflik Dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan data sebesar itu, waktu yang diperlukan oleh Scibun untuk menggambar peta sangat lama, bisa lebih dari 10 detik.Oleh karena itu, perlu dilakukan

Infusa daun sirih ( Piper betle Linn) memiliki efek larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti. 1) Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas

Modalitas yang dapat digunakan pada kondisi untuk mengatasi permasalahan yang ada berupa Transncutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS ) dengan Mc Kenzie

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari persentase motilitas, persentase hidup, persentase membran plasma utuh dan persentase tudung akrosom

BANI JAYA BERSAUDARA Ruko Duren Sawit Center no.. Duren Sawit

Susu merupakan minuman yang mempunyai kandungan gizi yang lengkap sehingga susu merupakan medium pertumbuhan yang baik bagi mikroba. Pertumbuhan mikroba yang tidak

Adapun metode algoritma yang diusulkan dalam perancangan prototype sistem kontrol air sawah berdasarkan level air adalah pembuatan sistem pengontrolan air sawah

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMPN 2 Wungu. Adapun waktu penelitian ini mulai dari penyusunan proposal hingga pembuatan laporan penelitian dimulai dari Maret