mereka
belajar
di lapangan
TRUBUS GOLD EDITION - I
4
Pendiri Bambang Ismawan Pemimpin Umum Bambang Ismawan Wakil Pemimpin UmumKoeswandi Pemimpin Redaksi
Onny Untung Redaktur Pelaksana Karjono, Utami Kartika Putri
Redaksi
Syah Angkasa, Sardi Duryatmo, Evy Syariefa Firstantinovi, Dian Adijaya Susanto, Destika Cahyana, Laksita Wijayanti, Rosy Nur Apriyanti, Lastioro Anmi Tambunan,
Vina Fitriani, Imam Wiguna, Hermansyah, Kiki Rizkika Sekretaris Redaksi
Mimin Suyatmin Artistik
Antonius Riyadi, Edi Amd, Satrio Wibowo, Bahrudin, Hernawan Nugroho, Andri Sitepu, Kukuh Hariyanto
Konsultan Grafis Tonny Parhansyah
Dokumentasi
Indira Kelana Devi, Agus Untung Suropati Penerbit
PT Trubus Swadaya Direktur Onny Untung
Pemasaran PT Trubus Media Swadaya
Direktur Tinus Lingga
Iklan
Kinanti Roospitasari (Koordinator), Supri Handoyono, Mahar Prabowo,
Hawari Hamiddudin Distribusi
Kosim (Kepala), Eddy Sunarto, Hudi Utomo
Alamat Redaksi dan Perpustakaan
Wisma Hijau, Jl. Raya Bogor Km 30 Mekarsari, Cimanggis, Depok - 16952 Telp : (021) 8729060, 87701748 Faks : (021) 8729059 E-mail: redaksi@trubus-online.com; Homepage: www.trubus-online.com; Alamat Distribusi dan Iklan : Jl. Gunung Sahari III/7, Jakarta Pusat 10610 Telp. : (021) 4262318 (direct), 4204402, 4255354 (hunting), Fax. (021) 4269263; Bank: BRI Veteran No. RC. 314603099; Bank BCA Cabang Samanhudi a.n. Majalah Trubus (YSTM) No. Rek. 4770040111 Giro Pos : Rekening Giro dan Cek Pos No. A. 12.676; Alamat Surat : Kotak Pos 1456, Jakarta 10014; Harga per Eksemplar : Rp50.000,-.
CARA BERLANGGANAN
Kalau di kota Anda tidak ada agen toko buku yang menjual TRUBUS, Anda bisa berlangganan langsung dengan mengirimkan uang melalui pos wesel atau transfer ke Bank BCA Cab. Samanhudi a.n. PT Trubus Media Swadaya No. 4770091000. Kirimkan bukti transfer atau resi wesel ke Bagian Sirkulasi Majalah Trubus, Jl. Gunung Sahari III/7 Jakarta 10014 Tromol Pos 1456. Majalah akan dikirim dengan pos biasa ke alamat. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim. (Ongkos kirim Jawa/Madura Rp41.000,-; Sumatera Rp48.500,-; Kalimantan/Bali Rp50.000,-; Lombok/NTT/NTB Rp55.500,-; Sulawesi Rp52.500,-; Maluku/Irian(Papua) Rp64.000,-.
TOKO-TOKO TRUBUS
1. Toko Trubus Gunung Sahari, Jl. Gunung Sahari III/7 Jakarta Pusat, 021-4204402; 2. Kebun Pembibitan Trubus Cimanggis, Desa Mekarsari, Kecamatan Cimanggis, Depok, 021-8721201-04; 3. Toko Trubus Makro, Jl. Lingkar Luar Selatan Kav. 5-6 Pasar Rebo - Jakarta Timur, 021-9239845; 4. Toko Trubus Bintaro Jaya Sektor IX, samping Bank Universal, 021-7450761; 5. Toko Trubus Cikarang, Jl. Raya Industri, samping Hompimpa, Lippo Cikarang, 021-89909872; 6. Toko Trubus Daan Mogot, Jl Ruko Daan Mogot Baru samping Rs. Hermina, 021- 9188493; 7. Toko Trubus Ungaran, Jl. Merapi No. 17 Ungaran, 024- 6922976; 8. Toko Trubus Yogyakarta, Jl. Raya Godean Km. 5 Ps. Tlogorejo, 0274- 7104303; 9. Toko Trubus Semarang, Jl. Pamularsih No. 101 Semarang, 024-70718601 10. Toko Trubus Purwokerto, Jl. Menteri Sumpeno No. 10 (Depo Pelita) Sokaraja, 0281-6844218.
PENCETAK
PT DIAN RAKYAT. Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Topik
6 Mereka Tidak Takut Lelah dan Rugi 8 Mubin Usman
Di Antara Buah dan Bensin
14 Legawa Hamijaya
Dokter Polisi di Kebun Duren
20 Imron Khudori
Juragan Adenium yang Besar di Jalan
24 Eddy Sutioso
Metamorfosis Pride of Sumatera
28 Li Shih Hua
Pelopor Ekspor Bulan Taiwan
32 Pramote Rojruangsang
Kisah Laki-laki Variegata
36 Bangun Dioro
Sersan di Kandang Kambing 40 Daun Penjemput Maut
42 Budiyanto Tasma
Gudang Reptil Dunia
46 Vichai Pinyawat
Kegilaan Bersama Burung
52 Kh Fuad Affandi
Agribisnis dan Agama
56 Priatmana Muhendi
Kesetiaan pada Tomat
60 Darren Chandra
Setelah Timah Terbitlah Rempah
64 Jap Khiat Bun
Bersandar pada Ikan Hias
68 Djuju Antony
Tetap Diskus, Bukan yang Lain
72 JB Hariantono
Ketika Bangkir Terpikat sang Ratu
76 Jesda Attavichit
Kolonel Tertawan Cupang
80 Suluh Eko Prabowo
Makmur Karena Lobster
84 Bukan karena Lampu Aladin
Cover: Mereka Belajar di Lapangan Foto: Onny
Untung Koleksi: Yui Po Chen Lokasi: Tian-Wei, Chung-Hua, Taiwan Desain: Edi Amd
TRUBUS GOLD EDITION - I
6
di lapangan
D
uka
lara itu tidak ia biarkan membenamkandirinya. Semangat bertahan di tengah kesulitan segera dibangkitkan. Ia pun rajin berselancar di dunia maya. Di malam-malam yang hening berkali-kali matanya menyinggahi situs berisi aneka warna bunga dan daun. “Saya senang tanaman,” ungkap sarjana Ekonomi itu. Hobi yang terpupuk sejak dahulu itulah yang mendorongnya untuk berkecimpungan di dunia tanaman hias, saat bisnis ritelnya terpuruk. Adenium dan aglaonema pilihan pertama.
Sembilan tahun berlalu. Handry kini menjelma sebagai pekebun andal. Ia kerap diundang untuk
berbicara di berbagai pelatihan aglaonema. Adenium, yang juga menjadi pilihannya sejak pertama kali terjun ke pertanian, memenuhi nurserinya di Tangerang. Bisnis ritelnya pun bangkit kembali. Tiga dari empat toko yang dulu terbakar berhasil dibangun kembali. “Anggap saja kebun itu ganti toko yang kelima,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak saat dihubungi via telepon.
Jauh sebelum Handry terjun ke bisnis tanaman, di Lembang Rizal Djaafarer sudah mengibarkan benderanya. Selama 28 tahun komunitas tanaman mengenal pria santun itu sebagai pakar kaktus
Jakarta membara. Asap mengepul dari gedung-gedung yang terbakar.
Barang dagangan dijarah. Kerusuhan Mei 1998 itulah yang mengubah
kehidupan Handry Chuhairy. “Dari 5 toko, cuma 1 yang tersisa,” ujar
manajer operasional pasar swalayan Sabar Subur itu. Stres dan putus
asa membuncah di benak alumnus Universitas Tarumanagara itu.
Lelah
Mereka Tidak
Rugi
Takut
TRUBUS GOLD EDITION - I
7
dan phalaenopsis. Bisnis kaktusnya bermula setelah ia berhasil menyilangkan aneka kaktus. Kepiawaian itu membuat Rizal bingung lantaran jumlah koleksinya membeludak. Iseng-iseng para kaktus itu dijual di pameran. Hasilnya luar biasa. Jadi, Rizal muda memutuskan, kaktuslah kehidupannya. Ia hengkang dari bangku terakhir di Fakultas Pendidikan Teknik Kejuruan Jurusan Arsitektur, IKIP Bandung.
Rizal Djaafarel dan Handry Chuhairy bagian dari orang nonpertanian yang berkebun dan terbilang sukses di mata orang banyak. Sekadar menyebut nama, ada Jaka Dhama Limbang, jebolan Fakultas Teknik Universitas Trisakti yang memperdalam ilmu pascapanen
dan mampu memproduksi aneka mesin pertanian. Jauh melintasi lautan, di Kaohsiung, Taiwan Li Shih Hua setiap hari menyibukkan
diri memonitor pertumbuhan
phalaenopsisnya. Alumnus
Business Adminstration, Taichung University itu kini berubah menjadi eksportir kelas dunia.
Lantas, apakah yang berlatar belakang pertanian tidak ada yang sukses? Tidak juga. Sebut saja Wildan Mustofa, jebolan Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Tanah IPB yang berkebun kentang di Pangalengan. Nama lain ialah Gregori Garnadi Hambali, lulusan
Biologi University of Birmingham,
Inggris, breeder kawakan yang
diacungi jempol oleh pemain tanaman dunia.
***
Bagaimana duduk perkaranya sehingga para pemain tanaman yang semula tidak mengerti seluk-beluk pertanian bisa eksis? Eka Budianta, penyair yang senang menulis menjawabannya, “Karena mereka tidak tahu apa-apa, tapi
suka.” Lantaran tidak tahu apa-apa, setiap saat tanaman itu diperhatikan sehingga tumbuh baik.
Terjemahan di lapangan dari ucapan Eka Budianta itu ialah disiplin. Ambil contoh Bangun Dioro. Jika pada malam hari telinganya terusik lengkingan kambing, maka esok paginya ia akan menjadi penghulu, mengawinkan kambing. Kambing melengking pertanda birahi. Jika masa kawin ditunda, Bangun Dioro harus menunggu 21 hari lagi. Itu artinya ia kehilangan waktu 5 bulan untuk bisa memerah susu kambing.
Bertanyalah tentang tanaman pada Greg. Bertanyalah tentang kambing pada Bangun Dioro. Bertanyalah tentang ikan hias pada Jap Khiat Bun. Ketiga orang itu pasti tahu jawabannya. Namun,
jangan menanyakan waktu yang tepat untuk memerah kambing pada Greg, menanyakan pH air untuk koi pada Bangun Dioro, menanyakan kaktus pada Jap Khiat Bun. Mereka tidak akan bisa menjawab. Itu karena ketiganya fokus di bidang masing-masing.
Kerja keras, fokus, dan konsistensi itu ternyata tidak cukup. Dinding terjal lain yang masih harus dilalui –dan setiap saat siap menghadang lagi—ialah rugi. Sekitar Rp100-juta uang Handry Chuhairy amblas sejak main aglaonema. Sedangkan Imron Khudori sempat terimpit hutang Rp150-juta. Bisnis pelepah pisangnya terpuruk sehingga ia terpaksa menjadi pedagang keliling tanaman hias, sebelum nasibnya berubah menjadi bandar besar adenium.
Masuknya para pemain
berlatar belakang nonpertanian itu memberikan fenomena menarik seperti yang terlihat di kebun durian Bernard Sadhani. Pekebun durian jebolan Teknik Sipil ITB itu memperlakukan durian seperti tiang listrik atau jalan raya. Kontraktor sipil itu memakai theodolit saat menanam durian. Sejauh mata memandang, jejeran pohon durian di Cikalong Kulon, Cianjur, itu terlihat lurus dengan tinggi seragam.
Nun di Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Priatmana Muhendi pernah gagal memenuhi permintaan besar untuk tomat. Soalnya, tomat yang ia kumpulkan dari petani di sekitarnya beragam bentuk, ukuran, dan warna. Sarjana Manajemen itu pun kemudian menularkan ilmu manajemennya pada petani. Ia
menganjurkan ada kerjasama
pengaturan masa tanam dan jenis. Kini, di desa itu dapat diperoleh tomat dalam jumlah besar dengan keseragaman tinggi, tidak campur aduk bulat, lonjong, merah atau kuning.
Ketekunan yang digabung dengan tekad dan kesabaran memang modal besar yang diperlukan untuk terjun di agribisnis. Dua puluh satu tahun lalu Jap Khiat Bun mencari cacing di sungai Jakarta yang kotor dan berbau “Semua sungai dan selokan sudah saya datangi untuk diambil cacingnya,” katanya. Eksportir ikan hias terbesar di Indonesia itu tekun, belajar pada para ahli. Dia menjalankan prinsip Sin Yung: kepercayaan dan kejujuran. Tanpa itu semua tak ada yang langgeng. Itulah yang dilaksanakan secara konsisten oleh mereka yang sukses belajar di lapangan. (Onny Untung)
Bagaimana
duduk
perkaranya
sehingga para
pemain tanaman
yang semula
tidak mengerti
seluk-beluk
pertanian bisa
eksis? Eka
Budianta, sang
penyair yang
senang menulis
mempunyai
jawabannya,
“Karena mereka
tidak tahu
apa-apa, tapi suka.”
TRUBUS GOLD EDITION - I
8
di lapangan
mereka
belajar
Dari atas rel kereta api, Mubin Usman mulai membangun mimpi: hidup lebih baik
ketimbang sekadar menjadi petani padi sawah seperti sang ayah. Pilihan jatuh
pada bisnis buah yang dalam hitungannya lebih mendatangkan rupiah. Sebuah
TRUBUS GOLD EDITION - I
10
di lapangan
D
eru
kereta api melintas di atasrel di dekat kawasan
kampus Universitas Indonesia,
Depok, selalu membangkitkan
memori Mubin Usman. Hampir setengah abad lalu, di atas angkutan umum massal itu kelahiran Depok 59 tahun silam itu menggantungkan harapan.
Di sebuah stasiun sederhana— sekarang Stasiun Pondokcina—saat jarum jam baru bergulir ke angka 3 dari tengah malam Mubin menunggu kereta. Sepur itu akan mengantarkan ke tempat tujuan: Pasar Manggarai, Jakarta Selatan. Terlambat sedikit saja, kereta pertama yang berhenti di stasiun pada pukul 04.30 pergi meninggalkan.
Di stasiun itu, Mubin muda yang baru lulus Sekolah Rakyat tidak bertangan hampa. Di dalam 2 pikulan yang ditanggung sendiri sembari menyusuri jalan tanah dari rumah di kawasan Kober—berjarak
kira-kira 1 km—menumpuk pepaya
jinggo—mirip jenis bangkok
sekarang—hasil panen di kebun. Begitu kereta tiba, tanggungan diikat menggantung di jendela. Setelah siap, dengan sigap anak ke-3 dari 12 bersaudara itu melompat masuk.
Jago silat
Itulah awal hari Mubin. Di Manggarai, pepaya—kadang-kadang dilengkapi pisang, jeruk, atau rambutan—sudah ditunggu para tengkulak. Tawar-menawar harga terjadi sampai tercapai kesepakatan: isi pikulan berpindah pada tengkulak
yang paling berani memberi
harga mahal.
N a m u n , t a k s e l a l u r u p i a h didapat. Kerap terjadi, baru saja ia turun dari kereta, beberapa orang mengerubungi. Bukan untuk membeli, tapi meminta paksa
Di bengkel yang kini serbamodern Medali dari Presiden Megawati
TRUBUS GOLD EDITION - I
11
buah yang dibawa. Kalau sudah begitu, mau tak mau Mubin mesti mengeluarkan “ilmu
n g o t o t ” . “ B a r a n g yang mereka ambil,
saya rebut lagi.
Kalau mereka masih memaksa ya terpaksa mesti berantem dulu,”
kata laki-laki yang besar di kebun bersama sang ayah—Haji Usman—itu. Untung sebagai anak lelaki Betawi, Mubin dibekali ilmu beladiri. Kalau sudah begitu, niat berjualan urung dilaksanakan.
Sukses menjual isi tanggungan
bukan berarti aman-aman saja. Buah yang jadi rupiah “menggoda” preman pasar buat meminta “uang jago”. Lagi-lagi Mubin mesti beradu nyali dengan para pemalak. “Kondisi di pasar memang begitu. Nyawa jadi taruhan,” tuturnya. Toh, pria gemar bercelana komprang, baju pangsi, dan sarung dibelit di pinggang bila ke pasar itu pantang mundur.
Bibit buangan
Hasilnya, berbekal uang hasil penjualan, Mubin pulang ke Depok. Namun, sesuai pesan Haji Usman pikulan tak boleh kosong. “Jadi saya bawa sampah pasar—waktu itu tanpa plastik dan
barang lain yang sulit urai, red—buat dijadikan
pupuk,” ujar ayah 3 anak itu. Tiba di rumah, Mubin memilah-milah sampah, memasukkan ke dalam lubang, menimbun dengan tanah supaya jadi kompos. Kompos—berbarengan dengan kotoran sapi dan kambing yang diternak di dekat rumah— dipakai sebagai pupuk ribuan pepaya di lahan
3.000 m2 yang jadi komoditas andalan. Pepaya
dipilih karena cepat panen.
Dari sisa sampah pasar, muncul bibit
buah-buahan. “Di situ kan ada biji durian, mangga,
rambutan. Semua tumbuh,” tutur Mubin. Bibit-bibit yang jumlahnya makin banyak itu dikumpulkan. Lalu dimasukkan ke dalam keranjang bambu kecil—sekarang polibag—sebelum diletakkan berkelompok di antara barisan pepaya. Durian dengan durian, mangga dengan mangga, rambutan dengan rambutan, jeruk dengan jeruk.
Bibit lantas disambung dengan entres jenis unggul—ilmu yang didapat dari ayah. Entres didapat dari pohon-pohon milik tetangga di dekat-dekat rumah. Maklum Depok dulu memang dikenal sebagai sentra buah-buahan. Hasil sambungan ditanam di lahan kebun orangtua yang masih kosong. Lagi-lagi penanaman massal. “Supaya kalau nanti panen hasilnya banyak. Jadi bisa membanjiri pasar,” kata pria yang tak lulus Sekolah Menengah Pertama itu.
Strateginya memang jitu. Mubin jadi bisa memasok massal ke pasar buah. “Kadang-kadang ada orang y a n g b e l i b u a h menanyakan, saya punya bibitnya tidak. Nah, besok saya tinggal bawa bibit yang ada di kebun,” tutur pria yang beribadah haji pada 1996 itu. Dari sanalah cikal-bakal usaha pembibitan buah-buahan unggul yang
hingga kini bertahan.
Presiden
Soeharto
Rintisan sejak puluhan
tahun silam itu Trubus masih
bisa saksikan di nurseri Wijaya Tani—nama kebun bibit milik Mubin sekarang—di kawasan Margonda, Depok. Di dekat saung, Mubin menunjuk tabulampot mangga dalam drum besar berumur lebih dari 30 tahun. Diameter batang bawah mencapai 30 cm, tajuk pendek karena rutin dipangkas. “Ini sudah saya sambung berulang-ulang dengan jenis berbeda. Awalnya indramayu, lalu okyong, sekarang nangklangwan,”
papar kakek 3 cucu itu fasih menyebut 2 varietas mangga introduksi asal Thailand.
Mubin memang inovatif. Sejak punya lahan sendiri—pada 1972 menempati tanah seluas
kira-kira 100 m2 di pinggir Jalan Margonda berpisah
dengan orangtua—ia rajin mengumpulkan jenis-jenis buah unggul. Dalam sebuah foto jepretan 1980-an, Mubin mejeng dengan jambu biji bangkok. Waktu itu ia satu-satunya pemilik jambu bongsor itu. Waktu menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Barat Lengkeng, cerita manis bibit buah
Dari lahan
seluas
100m
2di pinggir
jalan, bisnis
Mubin
Usman
menggurita
jadi
4 kebun
bibit dan
bengkel
modern,
serta
toko ban
ternama.
TRUBUS GOLD EDITION - I
12
di lapangan
Bibit didapat dari sebuah pameran di kawasan Ancol, Jakarta Utara, pada 1982 berbarengan dengan lengkeng diamond river, mangga khioe sawoi dan okyong, serta durian monthong. Pada pameran yang diikuti oleh peserta mancanegara itu, Presiden Soeharto—yang membuka acara—berpidato, “Bangsa Indonesia harus berdikari.”
Buat Mubin, itu berarti punya kebun buah dan pembi bitan sendiri. Barang introduksi boleh masuk, tapi hanya dalam bentuk tanaman induk. Di tanahair, bibit diperbanyak, lalu ditanam supaya hasilnya bisa dipanen dan dikirim ke pasar. Apalagi waktu itu, Mubin melihat buah impor mulai berdatangan.
Unggul
N i a t i t u
diwujudkan dengan
m e n g u m p u l k a n bibit buah unggul dari kampung ke kampung. Pun hasil introduksi, meski
sesaat. Bisnis bibit jeruk runtuh
lantaran penyakit Citrus Vein
Phloem Degeneration (CVPD) mewabah. “Orang takut tanam jeruk,” keluh pria yang pada awal membuka kios otomotif sering menyewa ojek untuk belanja onderdil ke Kota itu.
Bangkrut, laki-laki yang menikah pada 1971 itu mulai lagi dari awal dengan
memperbanyak mangga,
rambutan, dan belimbing. S e b a g i a n d i t a n a m sendiri untuk dipanen buahnya. Itu pun bukan tanpa risiko. Waktu awal menanam pepaya dan jeruk di kebun o r a n g t u a , r i b u a n tanaman siap panen dimusnahkan karena peraturan pemerintah. Bencana alam pun jadi hambatan. Banjir besar setinggi 1 m pernah meluluh-lantakan
tanaman pepaya.
Toh, Mubin berani menerima tantangan itu. Pilihannya ternyata tepat. Dari kebun belimbing dewa dan jambu biji daging merah, pria yang kios bensinnya berkembang jadi toko oli, bisnis cuci motor, dan toko ban itu memasok tengkulak di Pasarminggu, Jakarta Selatan—Mubin pindah ke sini pada 1972 karena pasar Manggarai dibubarkan—dan Citayam, Bogor.
B e l a k a n g a n b a n y a k pekebun yang mengikuti jejak sehingga belimbing dewa dan jambu biji merah jadi komoditas andalan Depok. Mubin pun berbangga hati. Dua komoditas itu dilepas sebagai varietas unggul nasional oleh menteri pertanian atas namanya—ditambah kecapi
Waktu wisata belanja ke Thailand Di depan kios bensin sekaligus kebun bibit Belimbing dewa, salah satu andalan
harganya waktu itu, “Ngga cukup kalau ngga jual 1 ekor kambing,” selorohnya.
Di kebun kecilnya, bibit-bibit itu dikumpulkan, diperbanyak, dan dijual. Terkadang Mubin memikul bibit hingga ke kampung-kampung memenuhi pesanan pelanggan. Bibit laris-manis karena waktu itu masih jarang hasil perbanyakan dengan cara vegetatif—umumnya bibit asal biji.
Lantaran banyak pembeli menanyakan bibit jeruk, Mubin berkonsentrasi memperbanyak bibit anggota famili Rutaceae itu. “Ternyata memang laku banyak,” kata pria yang sembari merawat bibit juga membuka kios bensin di lokasi sama. Sayang bulan madu perniagaan bibit jeruk hanya bertahan
TRUBUS GOLD EDITION - I
13
ratu jaya. Malah belimbing dewa menjuarai Lomba Buah Unggul Nasional Trubus untuk kategori buah bintang pada 2003—2005.
Gara-gara itu pula, pria yang kios bensinnya menjelma jadi bengkel besar itu semakin terkenal sebagai penyedia bibit dan buah unggul. Sebuah penghargaan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Megawati diberikan pada acara Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (Penas KTNA) di Manado pada 2004. Kehormatan lain, penghargaan sebagai perintis lingkungan hidup dari Gubernur Jawa Barat atas jasa mengubah daerah aliran sungai Ciliwung menjadi sentra belimbing.
Pingpong manis
Manisnya bisnis bibit pun
dirasakan kembali. Saat tren lengkeng dataran rendah menyeruak di tanahair, laki-laki yang tinggal di kawasan elit Depok itu panen order. Tabulampot
lengkeng diamond river dan pingpong yang dimiliki sejak lama laris-manis dengan harga fantastis. Padahal, dulu tidak ada yang melirik.
Toh, Mubin belajar dari pengalaman. Keuntungan penjualan bibit diinvestasikan. “Jual bibit itu harus bisa nyimpen duit, karena bisa jadi hari ini laku, besok-besok sampai sebulan ngga ada yang beli,” selorohnya.
Kini jejak kesuksesan pria yang berkeliling Eropa atas undangan sebuah perusahaan ban itu masih terekam jelas di nurserinya. Di Wijaya
Tani, Trubus melihat deretan tabulampot buah
naga; polibag-polibag bibit lengkeng diamond river, pingpong, dan itoh; mangga okyong, nam dok mai, khioe sawoi, erwin, dan lancetila; kelapa pandanwangi; kecapi bangkok; dan durian monthong—sekadar menyebut contoh jenis introduksi.
Sebagian besar dibawa dalam bentuk biji waktu perjalanan ke luar negeri. Terakhir, pada perjalanan ke Thailand untuk ke-7 kali, pemilik toko ban terbaik se-Indonesia pada 1994 itu memboyong bibit nangka berdaging merah dan mayongchid—gandaria manis.
Mereka bersanding dengan rambutan rapiah, belimbing dewa, jambu biji daging merah, jeruk siem, kedondong, dan sawo kecik lokal. Hasil perbanyakan itu untuk memasok pedagang di seputaran Jabotabek hingga kota-kota di luar Jawa.
Belakangan, Mubin aktif mengikuti ekshibisi. Di sana rupiah dari bibit buah mengalir lebih deras— sama seperti ketika musim tanam buah-buahan datang pada penghujan. Mobil bak terbuka dari kebunnya pun masih rutin memasok Pasarminggu dan Citayam. Dari bisnis di pinggir rel, kebun bibit Mubin menyebar di 4 tempat. Dari kios bensin tepi jalan, menggurita jadi bengkel ternama. Buat Mubin, hidup di antara buah dan bensin. (Evy Syariefa) Kecapi ratujaya, varietas unggul nasional Dulu satu-satunya pemilik jambu biji bangkok
TRUBUS GOLD EDITION - I
14
D
K
“Mohon maaf! Praktek libur, besok buka kembali.” Tulisan itu
terpampang di pintu gerbang. Libur bukan karena hari besar, tapi sang
dokter gigi akan mengontrol kebun durian yang tiba masa panen.
Dokter Polisi
ebun
uren
di lapangan
mereka
belajar
Siawi yang bikin penasaran
TRUBUS GOLD EDITION - I
16
di lapangan
D
engan
pernyataan itu artinya Rp6- jutapenghasilan yang biasa
didapat setiap kali praktek hilang. Namun, AKP drg Legawa Hamijaya seperti tak acuh. Ia malah memilih pergi ke kebun durian. “Kalau itu rezeki saya, tidak akan lari ke mana. Mereka (para pasien, red) sangat fanatik, besok sore pasti akan kembali,” jawabnya ringan. Legowo—begitu pria bertubuh gempal itu disapa—memang punya profesi ganda. Selain bertugas sebagai dokter di Kepolisian, ia menggeluti agribisnis.
Dunia pertanian bagi Legowo bukan barang baru. Ayahnya di Yogyakarta yang mengelola beberapa hotel mempunyai puluhan hektar tanaman salak. Jadi, meski kuliahnya di kedokteran gigi, perkembangan pertanian tak luput dari perhatian. Apalagi setiap bulan ia rutin
membaca majalah Trubus yang diakui banyak
menampilkan kisah sukses petani-petani di dalam dan luar negeri.. “Komoditas-komoditas yang potensial dikembangkan pun diperkenalkan di majalah,” ujarnya.
Selepas lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada pada 1999 dengan mendapat predikat lulusan 5 tercepat—ditempuh
selama 5 tahun—Legowo masuk pendidikan PPSS (Perwira Polisi Sumber Sarjana) di Semarang. Pada 2000 pemerintah langsung menempatkannya sebagai dokter polisi di Provinsi Lampung. Hari-hari Legowo di Bumi Ruwa Jurai itu tentu dilalui dengan kesibukan melayani sesama anggota polisi dan masyarakat umum. “Pulang malem terus, malah kadang sampai pagi karena harus memvisum mayat,” tutur kelahiran Yogyakarta 7 Januari 1975 itu.
Namun, naluri bisnis bungsu dari 8 bersaudara itu tidak bisa disembunyikan. Ketika melihat pasokan sayuran di pasar-pasar seputaran
Dukungan istri penting Karena durian, berani tinggalkan pasien Sikepel
TRUBUS GOLD EDITION - I
17
Bandarlampung kurang, di benaknya langsung terbersit niat untuk menjadi petani. Dengan lahan sewaan ia sempat beberapa kali menanam caisim, pakcoy, dan cabai, sebelum akhirnya
diputuskan untuk ditinggalkan. “Tanaman
sayuran harus ditangani intensif, sementara saya tidak punya banyak waktu. Lagi pula harga
fluktuatif,” imbuhnya.
Beli kebun
Tak berhasil mengatasi keterbatasan waktu, pemuda yang piawai memainkan berbagai alat musik tradisional Jawa dan modern itu mengubah strategi. Legowo menganalisis, “Sayuran potensial diusahakan, tapi yang cocok bagi saya mungkin tanaman tahunan, seperti buah-buahan.” Minat ke arah itu sebetulnya sudah muncul sejak kedatangan di Lampung. Mata bisnis pehobi
kebun, Legowo mulai mengeksploitasinya. Ia menempatkan 2 karyawan yang bertugas merawat kebun dengan sistem bagi hasil. “Lumayan, tidak sekadar menutup biaya, tapi ada kelebihan,” ucapnya. Bagaimana tidak, setiap tahunnya dari kakao diperoleh pemasukkan bersih Rp12-juta—Rp15-juta, durian Rp18-juta, dan cengkih Rp14-juta. Itu belum termasuk penjualan dari petai, alpukat, dan kelapa.
Fokus ke durian
Yang menggembirakan, mania-mania durian di Lampung kian mengenal kualitas durian dari kebunnya. Oleh karena itulah dengan bermodal 160 pohon durian jenis lokal berumur 20—30 tahun, Legowo membangun kios di depan rumah dan sekaligus membuka kebunnya untuk dikunjungi para penikmat raja buah itu. Embel-embel durian jatuhan dan dijual dengan harga kiloan, Rp5.000/ kg,
Lembah Durian—nama
farm-nya—ramai dikunjungi saat musim buah tiba.
“Banyak sekali yang datang, sampai-sampai ada yang tidak kebagian,” kata ayah 2 putra itu. Harap mafhum durian yang jatuh tidak bisa diatur. Jika sudah begitu mereka rela menginap, menunggu sampai buah berduri tajam itu jatuh. Pernah kejadian seorang konsumen fanatik dengan membawa tenda dari rumah, menginap sehari semalam di bawah pohon demi sebutir siawi. Siawi salah satu jenis durian yang diunggulkan memang sangat istimewa. Daging kuning, kering, berasa manis legit, dan daging lembut. Padahal, menurut Legowo minimal ada 6 jenis lain yang tidak kalah enak. Sebut saja sikoneng, siorens, dan silodong.
Atas dasar itulah pria yang kerap mengikuti pelatihan budidaya durian dan 3 kali studi banding ke Thailand itu akan lebih serius menangani durian. Kalau selama ini pemupukan dan pengendalian hama penyakit dilakukan apa adanya, ke depan ditingkatkan. Dengan begitu tingkat kerontokan buah bisa ditekan, sehingga akan lebih banyak lagi buah-buah beraroma tajam itu yang bisa dijual. Legowo menghitung ketika buah baru seukuran telur jumlahnya tidak kurang dari 6.000 butir, tapi yang bertahan hingga matang cuma 2.000 butir.
Perluasan areal penanaman pun tengah direncanakan. Tanah-tanah di sekeliling kebun
Keberhasilan AKP
drg Legawa Hamijaya
beragribisnis tak lepas
dari ilmu polisi yang
diterapkan. Kebunnya
aman dari penjarahan
karena teman-teman
sekantor sering
diajak nongkrong
sambil menikmati
lezatnya durian. Siapa
yang tidak gentar
berhadapan dengan
sekompi polisi? Ilmu
polisi pula yang
bisa meningkatkan
produktivitas pekerja.
renang itu mengincar lahan di perbukitan yangberjarak sekitar 10 km dari rumah, tepatnya di daerah Sukadanaham.
Di lokasi itu tumbuh beragam tanaman buah-buahan, termasuk durian yang menjadi buah unggulan Lampung. Bahkan dari sanalah durian-durian enak berasal. Motivasi Legowo untuk menguasai lahan kian besar. Kebetulan, rezeki dari buka praktek di rumah cukup untuk menutup 10 hektar lahan yang ditawarkan pemiliknya, Rp17-juta/ha. Kebun yang dibeli awal 2001 itu berisi tanaman kakao mencapai luasan 6 ha (4 hektar sudah berproduksi), durian 2 hektar, dan sisanya 2 hektar, campur aduk: ada alpukat, kelapa, petai, cengkih, singkong, dan tanaman semusim seperti padi dan ubijalar.
Kala musim panen, “Saya senang bisa mengundang teman-teman kantor dan karib kerabat untuk makan buah-buahan sepuasnya di kebun,” tutur Legowo. Dokter yang minikahi Retno Anmi pada 2002 itu belum berniat menjual hasil kebun dengan alasan perlu promosi dulu. Toh menurutnya untuk makan bisa mengandalkan gaji sang istri yang berprofesi dokter umum di sebuah rumasakit di Lampung.
Barulah sejak 2003, seiring dengan aliran biaya yang dikeluarkan untuk membenahi
Ciptakan kebanggaan pada diri pekerja
TRUBUS GOLD EDITION - I
18
di lapangan
sedikit demi sedikit dibebaskan serta bibit-bibit durian unggul lokal dari berbagai daerah dikumpulkan. “Saya pilih durian lokal sesuai permintaan pasar. Monthong di Lampung kurang laku. Dulu hanya saya bagi-bagikan ke teman,” katanya. Menurutnya pangsa pasar durian sangat besar sehingga ia tidak takut kesulitan pasar, “Asal berkualitas dan dipanen jatohan, konsumen datang sendiri ke kebun.”
Ilmu polisi
Keberhasilan Legowo beragribisnis tidak lepas dari ilmu polisi yang diterapkan. Kebunnya aman dari penjarahan dan para pekerja tetap loyal meski kegiatan sehari-hari tak ditangani langsung. Kuncinya? Ia mengutarakan, membawa-bawa teman sekantor ke kebun bukan tanpa maksud. “Di sini masih banyak preman. Tapi kalau sekompi
orang-orang berpakaian cokelat (polisi, red)
sering mondar-mandir di kebun, apa mereka tidak takut?” tuturnya. Ia juga tak segan-segan menyebar intel jika ada 1—2 butir durian dicuri, supaya si pelaku jera.
Menurut Legowo, intel itu juga disebar untuk mengawasi pekerja. Banyak kasus penyelewengan penggunaan pupuk di kebun-kebun tetangga oleh pekerjanya. Seyogyanya 2 kuintal pupuk diaplikasikan pada tanaman, tapi karena merasa tidak ada yang mengawasi hanya dipakai separuhnya. Separuhnya lagi masuk kantong alias dijual. Akibatnya fatal, tanaman tidak bisa berbuah optimal, pemasukan sedikit, lama-lama
kebun ditutup. Padahal, “Biaya yang dikeluarkan untuk intel tidak seujung kuku dibanding kerugian yang ditimbulkan,” kata polisi yang punya keahlian berkuda itu.
Para pekerja di Lembah Durian bisa loyal dan produktif, “Itu juga ilmu polisi,” lanjut Legowo. Mantan penari di Keraton Yogyakarta itu membuat loyal para pekerja dengan menepati apa-apa yang sudah disepakati bersama—misal soal bagi hasil—membantu saat keluarganya ditimpa musibah, dan ditanamkan kebanggaan pada diri masing-masing pekerja. Makanya, embel-embel dokter selalu melekat ketika menyebut kebun yang sering dipakai berkemah anak-anak Sekolah Dasar itu: “Kebun durian dr Legowo”. Merawat durian di seorang yang berprofesi dokter bagi pekerja punya nilai prestisius tersendiri.
Nah, untuk memacu produktivitas, perwira menengah dari batalion Wira Dharmasthi itu selalu menghindari hubungan terlalu akrab antarsesama pekerja. Ia ciptakan persaingan dengan cara “mengadu domba”, tapi terkendali. Misalnya sesekali mengajak salah satu pekerja makan di tempat mewah. Saat itu pula dikorek informasi dengan mengumpan “bola” asutan yang seolah-olah dilontarkan pekerja yang tidak diajak makan. Dengan cara itu potret keseharian aktivitas di kebun terlihat dan masing-masing pekerja akan giat bekerja karena khawatir dilaporkan.
Pantaslah banyak pelaku agribisnis yang meraih sukses justru tidak berlatar belakang ilmu pertanian, seperti AKP drg Legowo. Di kantornya ia lebih dikenal sebagai pekebun duren, tapi di kebun duren juga disegani karena bisa mengangkat senjata. Yang penting tidak diumpat pasien yang tak tahan menahan sakit giginya karena harus menunggu sampai besok. (Karjono)
Yang berbakat seni pun bisa jadi polisi Populer sebagai pekebun duren ketimbang polisi Tidak hanya pandai menari Legowo kecil dekat dengan pertanian
TRUBUS GOLD EDITION - I
20
di lapanganimron khudori:
Juragan
Adenium
yang Besar di Jalan
Tujuh tahun silam Imron Khudori hanya
pengumpul pelepah pisang. Tak lama berselang
menjadi bos pelepah beromzet
Rp160-juta/minggu. Sayang, pada 2003
perniagaan itu berakhir dengan 1 kata: bangkrut!
D
engan
modal Rp200-ribu ia bangkit membuka usaha baru. Kini Imron terkenal sebagai juragan adenium Gresik beromzet Rp35-juta/minggu. Inilah suasana ruangpamer adenium seluas 2000 m2 milik Imron di
Kabupaten Gresik, Jawa Timur, setiap akhir pekan. Jalan selebar 4 m yang membelah kebun disesaki kendaraan roda 4 seperti Honda Odyssey dan Toyota Innova. Di luar kebun 2 Panther keluaran terbaru diparkir di seberang. “Itu pelanggan yang datang untuk berburu kamboja jepang,” kata Imron. Pelanggan biasanya kolektor adenium dari berbagai kota di Jawa Timur seperti Surabaya, Situbondo, dan Ponorogo.
Di sisi kiri-kanan jalan kebun berjajar pilar-pilar berjarak 1 m. Di atasnya bertengger 18 Adenium obesum berdiameter bonggol di atas 60 cm dan
TRUBUS GOLD EDITION - I
22
di lapangan
bertabur bunga. Mereka seolah menyambut kedatangan pelanggan yang bersedia meminang. Di balik tanaman berukuran besar terhampar ribuan obesum semaian biji maupun grafting berukuran 15—25 cm. “Perputaran
tanaman sangat cepat. Saya tak tahu persis jumlah tanaman saat ini. Nurseri ini seperti kebun transit saja,” kata pemilik Vivin Indah Nurseri itu.
Dari nurseri yang dibangun pada Maret 2006 itu seminggu 2 kali dikirim 800—3.000 adenium
berbagai ukuran ke Bali. Total penjualan setiap pengiriman berkisar
Rp15-juta—Rp30-juta. Maklum,
selain melayani pembelian
eceran ke kalangan
kolektor, Imron melayani
pembelian partai.
“Sebetulnya pangsa
terbesar saya pemesan dalam partai besar,” ujar ayah 2 anak itu. Pengiriman partai dengan pick up dan truk pun
Foto-foto: Destika Cahyana
kerap dilakukan ke Yogyakarta, Pati, Purwodadi, Wonogiri, Banyuwangi, dan Jember. Dalam sebulan omzet berputar di kisaran Rp140- juta.
Baru kenal
Sejatinya, pria lulusan
Sekolah Menengah Atas itu tak pernah bermimpi menjadi
juragan adenium. Empat
tahun lalu ia tak mengenal sama sekali kamboja jepang.
Perkenalannya bermula saat
Imron meminjam uang Rp400-ribu pada seorang kerabat untuk berburu pelepah pisang ke Malang dan Blitar. “Saya ingin mencoba memulai lagi bisnis pelepah pisang yang ambruk di awal 2003,” katanya. Sayang, selama berputar-putar di 2 kota itu dengan Honda Supra X keluaran 2002 yang digebernya dari Gresik, ia tak menemukan pelepah pisang yang dicari.
Uang dikantong pun menipis dipakai berkeliling. “Yang tersisa hanya Rp200-ribu,” ujar ayah 2 anak itu. Lantaran
Kebun transit hanya 2.000 m2
Bonggol buruan kolektor
TRUBUS GOLD EDITION - I
23
takut diomeli istri karena uang tak menjadi barang, maka sisa uangnya dibelikan 3 Adenium obesum berdiameter 20 cm seharga Rp150-ribu. Maklum, kala itu di Blitar dan sekitarnya—seperti Kediri—banyak pekebun menanam adenium. Sesampainya di rumah, Nurhidayah, sang istri hanya bisa menggelengkan kepala kesal melihat Imron membelanjakan uang yang tersisa hanya untuk 3 bonggol adenium.
Hanya sehari di rumah Imron bermain ke seorang teman
di desanya. Tak dinyana
sahabatnya itu menyukai
adenium bawaan Imron dan berani membeli 3 tanaman itu seharga Rp1,2- juta. “Gila laku dijual hampir 10 kali lipat. Bisnis apa pun tak ada yang untungnya sebesar ini,” ujar Imron mengenang
perkenalannya dengan
adenium. Mulai saat itulah Imron berburu adenium kecil-kecilan selama 6 bulan. Hampir setiap hari ia mencari adenium ke Mojosari dan Krian, Jawa Timur, senilai Rp200-ribu. Lalu melepasnya ke orang yang sama dengan nilai Rp600-ribu.
Setengah tahun berjalan Imron memberanikan diri berburu ke Banyuwangi dan Probolinggo dengan menyewa pick up. Setiap pekan ia belanja Rp2-juta dan melepasnya dengan harga Rp6-juta. Pasar dicari dengan cara door to door ke nurseri-nurseri di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Sebut saja Yogyakarta, Grobogan, dan Pati. “Ia benar-benar hidup dan besar di jalanan. Beli di Jawa Timur, jual ke Jawa Tengah. Beli-jual begitu seterusnya,” kata Tjandra Ronywidjaja, pemain adenium di Ponorogo. Baru setelah malang-melintang di jalanan selama 2 tahun Imron membuka nurseri sebagai kebun transit.
Pelepah pisang
Sukses Imron di bisnis adenium itu seolah
mengulang keberhasilannya membangun
bisnis pelepah pisang sebelum dihadang pailit. “Semangat berubah pada diri Imron sangat kuat,” ujar Tjandra. Tengok saja perjalanan usahanya yang bermula dari pengambil dan penjemur pelepah pisang, berubah menjadi pengepul, hingga menjadi bos pelepah pisang Gresik, yang mengirim bahan baku furniture itu ke Cirebon.
Sebagai bos besar, Imron mengirim 20—40 ton pelepah pisang kering dengan menggunakan 3 truk gandeng. Dengan harga jual Rp4.200 per kg, Imron mengambil laba Rp500 per kg. Ketika itu setiap minggu mengantongi laba Rp10- juta— Rp20- juta. Tak ada yang menyangka, dari perniagaan pelepah kering yang dianggap tak berharga itu ternyata bernilai puluhan juta rupiah.
Sayang, bulan madu dengan pelepah pisang terhenti karena pabrik di Cirebon meminta standar yang lebih tinggi. Pelepah mesti kering dan putih. Imron mengalami kesulitan karena pelepah yang dibeli dari petani kerap kurang
kering. Penyusutan
mencapai 50%. Warna pun kusam. Kontrak
300 ton pelepah
pisang kering per 4 bulan pun diputus. “Karena tak diterima
pabrik, pelepah
pisang dalam 1 truk gandeng dibakar,” ujar Imron. Hutang
Rp150-juta pun
menghantui kehidupan Imron di awal 2003.
Selama setengah tahun kehidupan Imron kembali seperti sepuluh tahun silam, kala ia masih menjadi penghubung antara pembeli dan penjual kendaraan roda dua. “Pokoknya sulit. Kalau tak ingat keluarga ingin berhenti hidup,” katanya. Layaknya calo ia ke sana ke mari mencari pembeli dan “nongkrong” di warung kopi mencari sesuap nasi untuk menghidupi keluarga. Beruntung kehidupan tak menentu itu berbuah setelah dirinya bertemu dengan adenium pada pertengahan 2003 di Blitar.
Kini saat Trubus berkunjung ke nurserinya
akhir Februari 2007, Imron bukanlah raja jalanan yang mengais kehidupan ke sana ke mari. Setiap hari ia duduk di nurserinya sambil menghisap Sampoerna Mild dan menyeruput kopi hitam. Sesekali ia menerima telepon dan short message service (SMS) dari pelanggan adenium di berbagai kota. Kesibukannya baru bertambah saat akhir pekan untuk melayani hobiis yang datang. (Destika Cahyana)
Sang istri tak lagi kecewa dengan adenium Metamorfosis pelepah pisang ke adenium
Adenium
itulah yang
menjadi napas
kehidupan Imron Khudori. Ia
tak sengaja berbisnis tanaman
hias itu. Uang tersisa Rp200.000
dibelanjakan untuk membeli 3 pot
adenium. Tiba di rumah tanaman
itu diminati temannya dan laku
Rp1,2-juta. Sejak itulah
ia menekuni bisnis
adenium.
TRUBUS GOLD EDITION - I
24
di lapanganeddy sutioso:
Metamorfosis
Pride of Sumatera
Berawal dari kematian 6 pot aglaonema pride of sumatera dan lady valentine,
Eddy Sutioso jadi tertantang menggeluti dunia tanaman hias. Dua tahun
berselang pengusaha restoran jepang itu bermetamorfosis menjadi pemilik pasar
swalayan tanaman hias.
B
ukan
tanpa alasan kematian sri rejeki itu disebut tragedi. Dua tahun lalu kota Surabaya diselimuti tren aglaonema. Eddy pun kepincut mengoleksi sepot pride of sumatera dan lady valentine masing-masing seharga Rp200-ribu. Dua jenis itu dipilih lantaran disebut orang sebagai hibrida terbandel. Namun, apa lacur. Sri rejeki itu hanya bertahan 1 bulan karena daun terbakar. “Saya kalang kabut, istri saya pasti marah. Uang Rp400-ribu terbuang percuma,” katanya.Kemarahan istri tercinta dihindari dengan membeli tanaman serupa setiap kali koleksinya mati. Tercatat 6 kali berturut-turut ayah Samanta Sicilillya dan Timothy Edison itu mengganti 2 sri rejeki itu. “Habis setiap bulan pasti mati. Saya mesti cepat-cepat membeli,” ujar pengusaha pasar swalayan makanan jepang di Surabaya itu. Pengalaman selama setengah tahun itu membuatnya tersadar. Aglaonema tak boleh terkena sinar matahari langsung. Ternyata benar.
TRUBUS GOLD EDITION - I
25
TRUBUS GOLD EDITION - I
26
di lapangan
Setelah sang ratu daun ditaruh di tempat teduh dan dirawat intensif, hasilnya aglaonema tumbuh subur. Sejak itulah Eddy berburu jenis lain yang lebih mahal.
Berbarengan dengan itu pula sarjana Akuntansi Universitas Jayabaya itu kepincut adenium. Pilihan pada mawar gurun itu berlangsung mulus karena sukulen itu tahan banting meski terjemur sinar matahari dan tak disiram 3—4 hari. Pada bulan pertama, koleksinya berlipat dari 10 menjadi 20—30 tanaman. “Karena tak mudah mati, saya ketagihan berburu,” tuturnya. Nurseri dari ujung barat hingga timur Jawa
sudah disambangi.
Terlengkap
Kini cerita aglaonema dan adenium itu berbuah manis. Eddy bukan lagi hobiis kelas teri.
Saat wartawan Trubus, Karjono dan Destika
Cahyana berkunjung ke nurseri pada Desember 2006 dan Januari 2007, hobi itu telah jadi bisnis yang melesat. “Setiap bulan 1 kontainer tanaman hias dari Thailand datang. Itu karena permintaan kian besar,” katanya.
Komoditas yang dipasarkan tak hanya aglaonema dan adenium, tapi juga plumeria, caladium, palem janggut, dan pachypodium. Bahkan, untuk caladium Eddy disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengadopsi teknik
sungkup massal ala Thailand. Penelusuran Trubus,
kini teknik itu menginspirasi pekebun noncaladium. Misalnya, pekebun sansevieria di Solo.
Konsep pasar swalayan yang serbaada pun diterapkan di ruang pamer nurseri. Di
atas lahan seluas 250 m2—bekas restoran—ia
memajang alat pertanian dan satwa. Sementara
halaman samping dan belakang seluas 8.000 m2
dibagi 2: nurseri tanaman hias dan kandang satwa. Makanya berkunjung ke sana ibarat memasuki kebun binatang dan kebun raya sekaligus. Selain menikmati keindahan anthurium dan aglaonema,
“Setiap bulan 1 kontainer tanaman hias datang
dari Thailand. Itu karena permintaan yang
memang besar,” ujarnya.
Tersedia lengkap: flora dan fauna
TRUBUS GOLD EDITION - I
27
pengunjung disuguhi merdunya kicauan lovebird dan kenari. Desisan ular sanca yang tengah beristirahat pun terdengar. Pasar swalayan serupa di Bandung dan Jakarta hanya memilih 1 dari 2 segmen: tanaman atau satwa.
Sukses Eddy memadukan tanaman hias dan satwa itu bukan kebetulan belaka. Sejatinya 11 tahun silam ia pernah membangun farm perkutut ternama di Surabaya, Santa Bird Farm. Ia terkenal karena getol mengoleksi indukan asal Thailand: ada 80 pasang. Banyak anakan dari farm-nya merebut juara di arena kontes. Sayang, bisnis itu terhenti pada 2002 karena menurunnya tren kerabat merpati itu. Selepas bermain perkutut, Eddy tergila-gila pada ayam serama, lovebird, makaw, dan parot.
Menurut Eddy, pasar di dunia tanaman hias dan satwa masih terbentang luas. Dengan sistem promosi sederhana—memasang iklan di majalah dan tabloid, serta memasang spanduk besar—ia meraup pasar lokal hingga nasional. Pelanggan luar Jawa pun berhasil
digaetnya. Pengelolaan kebun dan kandang dilakukan profesional. Ia mempekerjakan 6 dokter hewan dan 5 insinyur pertanian dari 28 pegawai.
Penghias
restoran
Showroom berbendera Santa Pet Store & Nursery itu sebetulnya tak sengaja didirikan. Ketika itu, 1,5 tahun silam koleksi aglaonema dan adenium terlalu banyak di halaman rumah. Ia pun memindahkan koleksi ke 4 restoran—ala Jepang, Amerika, Meksiko, dan Indonesia—miliknya yang tersebar di Surabaya sebagai penghias.
Tak disangka banyak pelanggan yang melirik tanaman. Lantaran tak berniat menjual, Eddy kerap menyebut angka semaunya agar mereka tak membeli. Anehnya, angka jutaan rupiah yang disebutkan tak membuat pelanggan urung membeli. “Kalau dihitung-hitung, keuntungan dari tanaman jauh lebih besar ketimbang dari makanan,” katanya.
Naluri bisnis Eddy pun terusik. Ia menghubungi 2 nurseri besar di Jakarta menawarkan diri berbisnis ala franchise. Sayang, niatnya ditolak mentah-mentah karena Eddy dianggap awam di bidang tanaman.
Gagal membuka franchise, pada
Juni 2006 suami Kristin Setiawan itu nekat menyulap restoran di bilangan
HR Muhammad, Surabaya, menjadi showroom
tanaman hias dan satwa. “Kalau tak nekat begini tak jadi-jadi. Padahal, bisnis restoran kian turun
karena banyak saingan,” ujar Eddy.
Sebagai permulaan tanaman dipasok dari sahabatnya di Jakarta. Sebanyak 200—300 aglaonema tanpa nama dipamerkan di restoran. Ternyata dalam hitungan hari 20—30% sri rejeki itu ludes terjual. “Anehnya, meski baru terjual 1/3, modal sudah tertutup. Teman saya sampai bingung karena pembayaran dilunasi
tak sampai seminggu,” tutur Eddy.
Di saat itu pula kolega lain menitipkan
1.000 Adenium obesum. Dalam waktu
sebulan habis tak tersisa. Sebanyak 500 Adenium arabicum setinggi 40 cm pun turut menambah se
mangat Eddy. Pasalnya, sepot arabicum bisa terjual hingga Rp18-juta. Penjualan di bulan pertama itu membuat Eddy meningkatkanperburuannya. I a m e n g a m b i l t a n a m a n langsung dari Thailand sebagai pusat produksi adenium dan aglaonema.
Kini sejak setahun terakhir kesibukan Eddy sedikit berubah. Bila sebelumnya sepulang dari kantor berkutat dengan tanaman sebagai hobiis. Sekarang ia berkutat dengan tanaman sebagai mesin pencetak rupiah yang andal. Matinya pride of sumatera dan lady valentine menjadi guru terbaik untuk memahami tanaman. (Destika Cahyana)
“Pasar di dunia
tanaman hias
masih terbentang
luas. Asalkan kita
mau berpromosi,”
katanya.
Restoran dan distributor makanan jepang bisnis utama Eddy Palem janggut 2 m didatangkan dari ThailandTRUBUS GOLD EDITION - I
di lapangan
B
ersetelan
b a j u o l a h r a g a b e r g a r i s b i r u dongker, abu-abu, dan putih, Li Shih Hua memeriksa bibit phalaenopsis dalam botol yang terletak di kiri pintu masuk greenhouse. Sesekali tangan kanannya mengangkat botol tersebut sembari mengecek kondisi akar. Lalu langkahnya dilanjutkan ke deretan anggrek yang tengah memamerkan bunga di atas rak besi setinggi 75 cm beralaskan asbes.Puas meninjau kebun seluas 1 ha di Madao, Tainan, Taiwan, alumnus Business Administration, Taichung University, itu menyambangi ruangan yang berada tepat di samping kantornya. Di sana sekitar 3 pegawai sedang mengeluarkan bibit anggrek dari pot. Lalu membersihkannya dari media sphagnum moss. Phalaenopsis itu siap dikirim ke pelanggan di Jepang, Korea, Amerika, Singapura, dan Indonesia. Pada 2006, Li berhasil menangguk omzet sekitar US$60-juta.
Dua puluh tujuh tahun silam, jangan harap melihat Li di nurseri. Waktu itu ia sedang sibuk-sibuknya jadi agen promosi alat-alat pertanian di perusahaan tempat bekerja. Sebuah profesi yang dilakoni selama 10 tahun. Pekerjaan itu
Tiga puluh tahun silam, Li Shih Hua hanya karyawan yang tugasnya
menawarkan alat-alat pertanian kepada klien dari berbagai negara.
Selang 5 tahun, ia mulai mengekspor anggrek bulan dari kebun sendiri.
li shih hua:
Taiwan
Pelopor
Ekspor
Bulan
Li Shih Hua, pelopor ekspor phalaenopsis TaiwanTRUBUS GOLD EDITION - I
Foto-foto: Onny Untung dan Sardi DuryatmoSarjana Administrasi Bisnis ini semula tak tahu dunia anggrek bulan. Namun, ia belajar
tanpa henti, seperti pasar swalayan 7 Eleven yang buka 24 jam tujuh hari sepekan.
Hasilnya ia menjadi penganggrek papan atas. Setidaknya 140 hibrida hasil silangannya
terdaftar di Royal Horticulture Society, Inggris.
TRUBUS GOLD EDITION - I
di lapangan
pula yang membuka mata Li untuk mencari usaha sendiri. “Waktu itu, klien saya dari Jepang mengatakan kalau sebenarnya Taiwan berpotensi mengembangkan phalaenopsis. Iklimnya cocok dan biaya produksinya lebih murah dibandingkan Jepang,” kisah ayah 3 anak itu.
Di Formosa, anggrek bulan memang bukan tanaman baru. Waktu itu sudah banyak hobiis dan penyilang. “Namun, belum ada yang berpikir untuk menjadikannya sebagai bisnis ekspor,” ujar
general manager Shih Hua Orchids. Ketika itu,
merawat phalaenopsis hanya sebagai hobi. Naluri bisnisnya mendorong Li menerjuni dunia anggrek. Li memilih phalaenopsis lantaran Taiwan memiliki jenis anggrek bulan lebih banyak daripada negara lain. Pantas, Sekitar 17—18 tahun lalu Taiwan disebut sebagai kingdom of phalaenopsis.
Guru dari Jepang
Bermodalkan tabungan dan pinjaman dari bank senilai NT3-juta, dengan kurs sekarang setara Rp840-juta, Li membangun laboratorium, greenhouse, dan kebun seluas 1.000 m2. Li tak
perlu susah payah mendapatkan modal dari bank, karena perusahaan tempat ia bekerja menjamin semuanya. Selama 6 bulan Li bekerja di 2 tempat. Tiga hari di kantor dan sisanya, 4 hari dihabiskan di kebun. Sepulang kantor, koordinator operasi
di Taiwan Orchid Grower Association itu telaten mempelajari anggrek.
Berpuluh buku tentang anggrek ia lahap setiap hari. “Saya belajar seperti 7 eleven 11,” katanya. Perusahaan ritel itu buka 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Tak ada waktu luang untuk bersantai. “Mungkin kalau waktu itu belum menikah, tak akan ada yang mau sama saya karena lebih memilih belajar anggrek,” ujarnya sambil tersenyum. Bukti keseriusan Li, ia sampai memanggil guru dari Jepang untuk mengajari merawat anggrek selama
2 tahun. Pada hari Li bekerja, kebun anggrek dirawat ayah dan saudaranya.
Li pun menjalin kontrak kerja dengan rekan dari Jepang. Selama 4 tahun, Li hanya bisa menjual anggrek ke negeri Sakura. Itulah ekspor pertama phalaenopsis Taiwan. Yang diekspor, seedling dan tanaman remaja belum berbunga.
Supaya lebih dikenal di dunia internasional, Li menyertakan label nurseri pada setiap anggrek yang dikirim ke Jepang. Keuntungannya, siapa pun pembelinya jadi tahu anggrek itu hasil budidaya di Taiwan. Usaha itu pun berbuah hasil. Kurang dari 4 tahun, Li kebanjiran order dari negara lain.
Setahun merawat phalenopsis, Li mulai menyilangkan. Buah tak jadi dan corak jenis baru jelek, kegagalan yang lazim. Namun, ia pantang menyerah. Kerja kerasnya pun berbuah manis. Li “melahirkan” phalaenopsis putih dengan splash
Hasilkan lebih dari 140 hibrida baru Omzet mencapai US$60-juta pada 2006
TRUBUS GOLD EDITION - I
ungu di pinggir kelopak bunga. Hingga kini minimal 140 hibrida hasil silangan Li terdaftar di
Royal Horticultural Society di Inggris.
Omzet
Lima tahun ekspor berjalan, Li berhasil melunasi utang. Kesuksesan Li menginspirasi banyak orang untuk membuka kebun phalaenopsis untuk pasar ekspor. Selama 20 tahun berjalan, mantan staf promosi perusahaan alat pertanian
itu berhasil mengekspor lebih dari 60-juta seedling dan tanaman remaja. Awalnya, pangsa terbesar ke Jepang sebesar 90% dari total ekspor. Kini Jepang tinggal 20%, Korea (60%), Amerika (10%), dan sisanya ke negara lain. Total penjualan per tahun 40-juta tanaman.
Hingga 7 tahun lalu Li memegang 15% dari seluruh volume ekspor phalaenopsis Taiwan, sekarang hanya 3%. “Meski menurun dari segi pangsa pasar total, tapi untuk volume penjualan terus meningkat,” katanya.
Terbukti ayah 3 anak itu melebarkan sayap ke Cina sejak 6 tahun lalu. Di negeri Tirai Bambu, Li membangun kebun seluas 18 ha secara bertahap. Dari sana, ia memproduksi 10-juta seedling/tahun lewat kultur jaringan. Jumlah itu untuk memenuhi pasar Eropa.
Pantas bila Li dianugerahi banyak penghargaan sebagai pelopor ekspor phalaenopsis. Dua di antaranya menorehkan kebanggaan. Yaitu penghargaan Moufan dari menteri pertanian Taiwan pada 1996 karena kecakapan bisnisnya. Kedua, Shen Nung Juang (Juang =penghargaan,
red) yang didapat pada 4 Februari 1997 dan
diberikan presiden Taiwan. Setiap tahun hanya 10 orang dari sekitar 2-juta pekebun di Taiwan yang menerima penghargaan itu. Buat Li, sukses pun mengalir dari phalaenopsis. (Rosy Nur
Apriyanti)
Rutin mengecek kesehatan anggrek bulan
Sekitar 40-juta anggrek bulan.
Itulah jumlah anggrek bulan yang
diekspor Li per tahun. Anggrek
bulan hasil kultur jaringan itu mengisi
pasar Asia Timur, Asia Tenggara,
dan Eropa. Untuk memperluas
pasar, ia juga membuka kebun
seluas 18 ha di Cina. Penganggrek
papan atas itu juga mendaftarkan
140 hibrida hasil silangannya.
TRUBUS GOLD EDITION - I
32
di lapangan
pramote rojruangsang:
J
umat,
1 Desember 2006. Senyum cerah tersungging di bibir Pramote Rojruangsang. Aglaonema variegata silangan kelahiran Bangkok 10 Maret 1955 itu didapuk jadi yang terbaik di kelas hibrid baru pada kontes di Suan Luang, Bangkok. Itu kali pertama sri rejeki nonmerah menyabet juara di kelas bergengsi itu. Pada kontes memperingati ulang tahun ke-80 Raja Bhumibhol Adulyadej, hibrida variegata bernama suvarnabhumi—artinya tanah emas—memutus tradisi dominasi aglaonema merah.“Ini barang istimewa,” ujar Dr Surawit Wannakrairoj, ketua juri. Selama ini belum ada sri rejeki variegata hasil kerja manusia. Suvarnabhumi berwarna dasar hijau dengan pulasan perak di bagian tengah dan kuning di tepi. Hibrida itu
lahir dari penyilangan induk betina Aglaonema
cochinchinensis variegata dengan jantan normal bernama golden bay. “Saya beruntung,” kata Tjiew—begitu Pramote biasa disapa. Dari puluhan ribu tanaman, hanya suvarnabhumi yang stabil.
Tukang kontruksi
Kemenangan ratu daun belang itu kian mengukuhkan pamor Tjiew sebagai penyilang
Laki-laki
Kisah
Variegata
Di tanahair, namanya populer sebagai penyilang aglaonema kawakan.
Di negeri asal—Thailand—Pramote Rojruangsang justru lebih dikenal
sebagai pencinta variegata. Lebih dari 20 tahun alumnus Dusit Building
Contraction, Bangkok, itu mengoleksi tanaman belang. Kini ia tengah
kepincut sansevieria mutasi.
TRUBUS GOLD EDITION - I
33
aglaonema kawakan. Di tanahair, nama anak ke-3 dari 10 bersaudara itu identik dengan dud unyamanee. Yang disebut terakhir, salah satu siamese rainbow merah pertama yang hadir di Indonesia. Daunnya cantik dengan paduan warna hijau bersaput bintik-bintik merah pekat.
Aglaonema yang lahir pada awal 2000-an itu sempat merajai kontes di Suan Luang. Prestasi itu dilanjutkan waktu berkompetisi di lomba tanaman hias di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, pada 2004. Meski harus puas di posisi ke-2 di bawah tiara karena kurang rimbun, dud unyamanee menjadi perintis masuknya aglaonema negeri Siam. Di tanahair kebanggaan Tjiew itu jadi incaran para hobiis.
Karya fenomenal lain, aglaonema berwarna kuning solid. Daunnya membentuk hati sempurna. Sosok kompak dan rimbun. Ia dikenal dengan sebutan aglaonema sultan brunei. Musababnya, Sultan Hasanal Bolkiah, penguasa negeri kaya minyak itu, yang mengoleksi dengan bandrol ratusan juta rupiah. Tjiew juga melahirkan emerald dragon—punya garis seperti lipstik di tepi, maneerattana—paduan warna hijau, merah muda,
Kalau menilik latar belakang
pendidikannya, Tjiew mestinya
bukanlah penghulu aglaonema.
Pendidikan formal ditempuh di Dusit
Building Contraction, Bangkok—
mendalami ilmu kontruksi. Empat
tahun berkutat dengan teori
bangun-membangun
gedung,
jalan, dan jembatan ternyata tak
membuat pria murah senyum itu
jadi kontraktor. Di tengah masa
pendidikan, Tjiew malah masuk ke
bisnis tanaman hias.
Koleksi variegata sejak 20 tahun silam
TRUBUS GOLD EDITION - I
34
di lapangan
jingga, dan perak, serta maneerungrueang— merah polos dengan lis hijau di tepi daun— sekadar untuk menyebut contoh.
Kalau menilik latar belakang pendidikannya, Tjiew mestinya bukanlah penghulu aglaonema.
Pendidikan formal ditempuh di Dusit Building
Contraction, Bangkok—mendalami ilmu kontruksi. Empat tahun berkutat dengan teori bangun-membangun gedung, jalan, dan jembatan ternyata tak membuat pria murah senyum itu jadi kontraktor. Di tengah masa pendidikan, Tjiew malah masuk ke bisnis tanaman hias.
Sambang darah belang
Uniknya teman-teman Tjiew lebih mengenal pria bersahaja
itu sebagai pencinta tanaman variegata. S e b u t a n variegata man alias laki-laki variegata pun disematkan. K e b u n s e l u a s 90 rai—
tapi hanya 10 rai, setara 1,5 ha, yang terisi tanaman hias—di Klongluang, Pathumtani, menegaskan itu. Di kiri-kanan jalan masuk ke kebun yang berbatu selebar 4 m berjejer pandan bali variegata, pohon pisang berdaun belang hijau kuning, dan sejenis walisongo variegata.
Masuk ke kebun pemandangan tanaman belang terhampar. Di dekat pintu belakang rumah ada nolina belang, plumeria berdaun hijau berbercak putih dan kuning, dendrobium berdaun dan berbunga variegata, palem belang, dan paku-pakuan variegata. Bahkan rumput dan semak di dekat parit pun berkelir hijau-putih. Dari kebun Tjiew-lah sambang darah variegata yang banyak dipakai sebagai ornamen taman di Indonesia
berasal.
Gara-gara tanaman belang,
Tjiew jadi kerap
b e r k e l i l i n g negara. Dari situ, ia kenal d e n g a n k o l e k t o r -k o l e -k t o r tanahair. P i s a n g b e r d a u n Kiri-kanan (atas) Sansevieria pinguicula mutasi, pachypodium kristata, aglaonema suvarnabhumi, Sansevieria hallii variegata Dud unyamanee
TRUBUS GOLD EDITION - I
35
Perkenalan
dengan Usa
Wongsomboon—
pasangan
hidup—membawa
Tjiew terjun ke
aglaonema—
tanaman yang
sudah dikenal
ketika masih
sering
keluar-masuk hutan.
merah dari Indonesia jadi koleksi istimewa.Sebetulnya tak melulu tanaman belang yang digilai. “Saya suka tanaman aneh-aneh,” kata pria yang kerap mengendarai skuter kecil untuk berkeliling kebun itu.
Kutu loncat
Pantas bila pemilik Unyamanee Garden itu kepincut tanaman hias. Tjiew remaja sering ikut ayahnya keluar-masuk hutan mencari tanaman koleksi. Makanya agave, philodendron, anthurium, sansevieria, dan beragam jenis anggrek jadi kawan karib sedari kecil. Tertular dari sang ayah, Tjiew mulai mengoleksi sendiri.
Pilihan jatuh pada bonsai. Beragam jenis dikumpulkan dari berbagai pelosok negeri. Berkali-kali lomba diikuti dan jadi juara. Lama-kelamaan justru Tjiew yang diminta menjadi juri—aktivitas yang masih dilakoni hingga 2 tahun silam. Bosan bermain bonsai, anggrek kantong semar paphiopedilum dilirik.
“Tapi kalau mau menjual harus mengurus izin CITES (Convention on International Trade in Endangered Species, red). Repot, jadi saya stop,” kata pria yang melancong ke berbagai negara ditemani Piya Subhaya-achin—alias Pic, adik ipar—yang fasih berbahasa Inggris. Gara-gara kerap mengurus CITES, Tjiew kenal dengan
Dr Surawit Wannakrairoj—sekarang
presiden Ornamental Plants Variety
Developer Club.
Ibarat kutu loncat, ia kembali berpindah. Tanaman variegata jadi pilihan berikut. Mulailah perburuan lintas negara dilakukan. Perkenalan
dengan Usa Wongsomboon—
pasangan hidup—membawa Tjiew terjun ke aglaonema—tanaman yang sudah dikenal ketika masih sering keluar-masuk hutan. Berkat kerabat caladium itu nama Tjiew berkibar hingga ke Indonesia.
Sukses mencetak aglaonema-aglaonema juara, pemilik toko di pasar tanaman hias Chatuchak, Bangkok, itu kehilangan tantangan. “Tak ada lagi yang menarik di
aglaonema. Menghasilkan yang
merah itu gampang,” kata Tjiew.
Akhirnya sansevieria belang-lah
yang memikat Tjiew. Kini hari-hari kontraktor tak kesampaian itu diisi dengan melongok satu per satu pot lidah mertua. “Pic, yang ini anaknya muncul!” begitu teriakan Tjiew pada
sang adik ipar suatu pagi. (Evy
TRUBUS GOLD EDITION - I
36
di lapangan
bangun dioro:
D
ari
Bandung, kuli bangunan itu menumpangtruk ke Karawang, Jawa Barat. Di kota Lumbung Padi, ia menjadi kernet. Setelah 2 bulan bekerja, ia minta gaji untuk membeli baju. “Saya hanya punya 2 baju. Kalau yang satu dipakai, satunya lagi dijemur,” katanya. Namun, sang majikan menolak memberi hak lelaki muda itu. Oleh karena itu ia beralih “profesi” menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan utamanya mengepel, memandikan anjing, dan belanja kebutuhan pokok di pasar.
Siapa duga 17 tahun kemudian Bangun Dioro— si lelaki muda yang dulu kuli bangunan itu— sukses beternak kambing di Cijeruk, Kabupaten Bogor. Luas lahannya 9 ha, 4 ha di antaranya sebagai padang rumput untuk memasok pakan.
di Kandang
Kambing
Sersan
Lelaki muda itu meninggalkan bedeng meski tengah sakit. Kemarin maut merenggut
nyawa Tismo, rekannya sesama kuli bangunan, setelah demam tinggi. Ia berjalan kaki
sekitar 30 km dari Pasteur ke Ciroyom. Di sana ia menjual 2 celana dan 2 kaos—
semua bekas—kepada pedagang loak Rp8.000. Uang itu untuk makan siang.
Tanda telinga untuk mencegah kawin sedarah
TRUBUS GOLD EDITION - I
38
di lapangan
sanen. Hasilnya menggembirakan: produksi susu rata-rata 2,5 liter selama laktasi dan rasanya gurih, manis, dan kental. Hasil silangan Bangun kini diminati banyak peternak. Namun, ia masih menahan dan terus memperbanyaknya. Jumlah silangan hasil tangan dingin Bangun itu mencapai puluhan ekor.
Sersan kambing
Sukses Bangun Dioro tak diraih begitu saja. Ia mengawali beternak kambing sejak tinggal di barak tentara di daerah Ciluer, Kotamadya Bogor. Di sana ia mengelola 16 kambing. Pada 27 September 1997 ia pindah ke Cijeruk merawat 8 PE terdiri atas 7 betina dan 1 jantan. Saat itu susu kambing mulai diterima masyarakat. Soal kepindahannya itu, rekannya berujar, “Untuk apa pindah dari mes. Di mes makan apa saja ada.” Setahun kemudian ia kembali membeli 20 indukan PE hingga jumlah kambingnya beranak-pinak.
Pria kelahiran 4 Desember 1971 itu juga membina kelompok peternak di kampung
halamannya, Desa Gumelar, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah. Bahkan, pemberdayaan masyarakat meluas hingga sekecamatan. Pantas bila Gumelar kini dikenal sebagai sentra kambing berkualitas. Dari para plasma itulah ia menjual rata-rata 400 kambing per pekan. Menjelang Idul Adha seperti awal Desember 2006, volume penjualan
Meski punya 6 mobil, Bangun Dioro lebih senang
berangkat kerja naik keretaapi. Jika terpaksa naik
mobil, ia tak pernah memarkir mobil di kantor, tapi
di stasiun terdekat dari tempat kerja. Itu cermin
betapa rendah hatinya dia.
Ia mengelola lebih dari 300 kambing terdiri atas 150 peranakan ettawa (PE) dan masing-masing 50 ekor sanen, silangan boer, dan jawa randu. PE dan sanen kambing perah; boer dan jawa randu, pedaging. Dari jumlah itu ia memerah rata-rata 50 liter susu setiap hari.
Menurut peternak terbaik se-Jawa Barat itu susu PE lebih kental, gurih, dan manis. Sementara susu sanen, “Ibarat sayuran kurang garam,” katanya. Itulah sebabnya, konsumen lebih tertarik susu PE. Meski demikian ia menjual susu PE dan sanen dengan harga sama Rp15.000 per liter. Artinya, omzet Bangun dari penjualan susu kambing mencapai Rp750.000 sehari atau Rp22,5- juta per bulan. Dari sisi produksi, PE relatif rendah hanya 1,5 liter; sanen, 3 liter selama masa laktasi atau 4 bulan.
Oleh karena itu sejak 2002 Bangun mengawinsilangkan, pejantan PE dan betina
Sersan Satu Bangun Dioro, peternak kambing sukses di Bogor