Correlation between Axial Length with
Central Corneal Thickness and Degree of
Myopia
Riska Andriani, EddyantoDepartment of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga Universitas Airlangga Hospital, Surabaya, East Java
ABSTRACT
Background: The axial length (AL) elongation of the eyeball is the characteristc of myopia. If this is the result of general growth, one might expect the cornea to have grown to be thicker than normal. If instead the myopic eye is larger due to a mechanism of stretching, one would expect the cornea to be thinner than normal. Several studies to determine the relationship of central corneal thickness (CCT) and the AL have reported different results. This study aims to investigate the association between AL with CCT and degree of myopia.
Methods: It was a cross sectional study, involved 60 eyes of 32 myopic subjects. Axial length was measured using an A-scan ultrasound, CCT was measured with an ultrasonic pachymeter, and refractive errors was measured with trial and error method.
Results: Thirty-two patients (60 eyes) were recruited for the study. The age of patients ranged from 21 to 47 years old, with a mean of 27.6±7.58 years. The mean axial length was 23.98±0.81 mm and the mean CCT was 535.98±26.95 μm. There were 44 eyes with low myopia, 13 eyes with moderate myopia, and 3 eyes with high myopia. The analysis of covariance (Ancova) was used to verified correlation between AL and CCT (p=0.704). The Spearman’s correlation analysis was used to verified correlation between AL and degree of myopia (p=0.001).
Conclusion: There was no correlation between AL and CCT. There was a significant positive correlation between AL and degree of myopia.
Keywords: AL, CCT, degree of myopia
ornea berperan pada sekitar ⅔ dari refraksi optik dan perannya dalam miopia telah dipelajari secara intensif selama bertahun-tahun. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada miopia yang diketahui pada umumnya terletak di segmen
posterior. Panjang sumbu aksial atau axial
length (AL) bola mata pada miopia diketahui lebih panjang daripada emetropia. Pemanjangan aksial bola mata ini merupakan ciri khas
pada miopia. Jika pemanjangan ini merupakan hasil dari pertumbuhan normal, ada kemungkinan kornea berkembang menjadi lebih tebal dan
didapatkan korelasi dengan body mass index
(BMI). Sebaliknya, jika bola mata pada miopia lebih panjang karena mekanisme peregangan, ada kemungkinan bahwa kornea lebih tipis dari normal. Perubahan pada segmen anterior yang berhubungan dengan miopia masih
diperdebatkan.1,2,3
K
Beberapa studi untuk mengetahui hubungan ketebalan kornea sentral atau central corneal thickness (CCT) dan AL melaporkan hasil yang berbeda. Beberapa studi melaporkan bahwa jika derajat miopia makin tinggi (AL makin panjang), CCT akan semakin tipis. Studi pada populasi di Korea dan India melaporkan korelasi positif antara CCT dan AL, yaitu CCT yang semakin tebal pada miopia yang lebih tinggi. Namun, beberapa studi melaporkan tidak ada
hubungan CCT dan AL.3,4
Pada studi yang dilakukan oleh Chang et al di tahun 2001 mendapatkan CCT yang lebih tipis pada derajat miopia yang semakin tinggi dan CCT yang cenderung lebih tipis
pada mata dengan AL yang lebih panjang.5
Kunert et al pada tahun 2003 dan Lee et al pada tahun 2012 melaporkan korelasi positif antara CCT dan AL, yaitu CCT yang semakin tebal pada miopia yang lebih tinggi (AL
lebih panjang).4,6 Sedangkan studi yang
dilakukan oleh Pedersen et al tahun 2005, Elias et al tahun 2009, dan Ortiz et al tahun 2014 melaporkan tidak ada hubungan antara CCT dengan AL pada berbagai derajat miopia.1,2,7
Central corneal thickness merupakan parameter yang sangat peting pada penyakit-penyakit kornea, tindakan operatif, dan glaukoma. Central corneal thickness merupakan indikator penting dari status kesehatan kornea. Central corneal thickness juga menentukan kelayakan penderita untuk menjalani operasi intraokular dengan teknik yang sesuai. Dalam penatalaksanaan glaukoma, CCT mempengaruhi pengukuran tekanan intra-okular (TIO) dengan menggunakan tonometer aplanasi Goldmann dan merupakan faktor risiko independen untuk perkembangan glaukoma. Pengukuran CCT yang tidak akurat dapat mengakibatkan komplikasi serius dalam bedan refraktif dan manajemen
klinis penderita glaukoma.8-10
Berdasarkan data-data di atas, me-mutuskan apakah kornea adalah tebal atau tipis untuk melakukan diagnostik yang memadai dan pendekatan terapi, studi CCT harus dilakukan dan harus dimanfaatkan sebagai acuan dalam praktik sehari-hari.
MATERIAL DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik yang dilakukan secara cross sectional.
Subjek penelitian adalah mata penderita miopia ringan, sedang, dan tinggi di Unit Rawat Jalan Kesehatan Mata Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Universitas Airlangga pada bulan Oktober sampai dengan November 2015 dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan besar sampel sebanyak 60 mata.
Kriteria inklusi yaitu pasien yang berumur minimal 21 tahun dan maksimal 50 tahun serta bersedia ikut dalam penelitian. Kriteria eksklusi yaitu pasien dengan tajam penglihatan terbaik logMAR <1.0, TIO lebih dari 21 mmHg, dan dengan riwayat glaukoma, riwayat operasi pada bola mata, penggunaan lensa kontak kurang dari 2 minggu sebelum pemeriksaan, adanya sikatriks pada kornea, dan Tes Schirmer <10 mm.
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas, variabel tergantung, dan variabel perancu. Variabel bebas adalah AL, variabel tergantung adalah CCT dan derajat miopia, sedangkan variabel perancu adalah gender dan umur.
Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dicatat data dasarnya, berupa nama, usia, jenis kelamin, alamat, dan pekerjaan. Penderita yang bersedia mengikuti penelitian dimasukkan dalam sampel penelitian dengan menandatangani terlebih dahulu surat persetujuan mengikuti penelitian, surat persetujuan tindakan medik, dan informasi mengenai tindakan medik yang akan di-lakukan. Sebelum dilakukan pemeriksaan refraksi, penderita akan terlebih dahulu di-lakukan pemeriksaan TIO dengan NCT Reichert 7 Autotonometer dan pemeriksaan kekuatan refraksi objektif dengan ARK Accuref-K 9001. Penderita kemudian akan diperiksa tajam penglihatan menggunakan Snellen chart dan refraksi subjektif dengan metoda trial and error. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan tes Schirmer dan segmen anterior
dengan lampu celah biomikroskop Topcon
Slit-lamp SL-3G, pemeriksaan segmen posterior dengan oftalmoskopi direk, pemeriksaan CCT dengan pakimeter ultrasonik Pachymeter
SP-3000 Tomey, dan pemeriksaan AL dengan biometri Quantel Medical Axis II.
Data yang telah dikumpulkan, di-kelompokkan, dan dibuat dalam bentuk tabulasi. Korelasi antara AL dengan CCT akan diuji dengan analisis kovarian (Anakova), sedangkan korelasi antara AL dengan derajat miopia akan diuji dengan uji korelasi Spearman.
HASIL
Sampel penelitian berjumlah total 60 mata dari 32 penderita yang terdiri dri 16 mata (26,7%) dari 8 penderita laki-laki (25%), dan 44 mata (73,3%) dari 24 penderita perempuan (75%). Usia termuda dari subjek penelitian ini adalah 21 tahun, sedangkan usia tertua adalah 47 tahun dengan rerata 27,6±7,58 tahun. Usia 21-23 tahun adalah yang terbanyak dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 15 penderita.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan rerata AL sebesar 23,98±0,81 mm dan rerata CCT sebesar 535,98±26,95 μm. Berdasarkan derajat miopia, didapatkan 44 mata (73,3%) dengan miopia ringan, 13 mata (21,7%) dengan miopia sedang, dan 3 mata (5%) dengan miopia tinggi (Tabel 1).
Korelasi antara AL dengan CCT diuji dengan analisis kovarian (Anakova). Dari Tabel 2 diketahui analisis antara AL dengan CCT didapatkan hasil korelasi yang tidak signifikan, yaitu sebesar p=0,704 (p>0,05).
Korelasi antara AL dengan derajat miopia diuji dengan uji korelasi Spearman. Dari tabel 3 diketahui analisis antara AL dengan derajat miopia didapatkan hasil korelasi yang signifikan, yaitu sebesar p=0,001 (p<0,05), dengan kekuatan korelasi sedang 0,433 dan memiliki arah yang positif.
DISKUSI
Pada penelitian ini didapatkan korelasi yang tidak signifikan antara AL dengan CCT yang diuji dengan analisis kovarian (Anakova). Hal ini sesuai dengan penelitian yang di-lakukan oleh Pedersen et al tahun 2005, Elias et al tahun 2009, dan Ortiz et al tahun 2013 yang melaporkan tidak ada hubungan antara CCT dengan AL pada berbagai derajat miopia.
Namun, hasil yang berbeda dilaporkan oleh Chang et al di tahun 2001, dimana di-dapatkan CCT yang cenderung lebih tipis pada mata dengan AL yang lebih panjang. Sebaliknya, Lee et al pada tahun 2012 melaporkan korelasi positif antara CCT dan AL, yaitu CCT yang semakin tebal pada AL yang lebih panjang.
Dalam penelitian ini, kami mengukur AL dan CCT dengan metode kontak. Pakimeter ultrasonik (SP-3000 Tomey) digunakan untuk mengukur CCT dan A-scan ultrasonography (Quantel Medical Axis II) untuk mengukur AL. Pedersen et al (2005) mengukur AL dan CCT dengan metode non-kontak, dimana
CCT diukur menggunakan OLCR pachymeter
yang terpasang pada BC 900 slit-lamp (Haag-Streit). Elias et al tahun 2009 menggunakan pakimetri ultrasonik (Pascan 300p, Sonomed)
untuk mengukur CCT dan A-scan
ultra-sonografi (Echorule2, Biomedix) untuk mengukur AL, namun tidak disebutkan apakah menggunaan metode kontak atau non-kontak. Ortiz et al tahun 2013 meng-gunakan Orbscan II (Bausch & Lomb) untuk mengukur CCT dan IOL master dengan metode non-kontak (Carl Zeiss Meditec) untuk mengukur AL.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan derajat miopia Derajat Miopia Frekuensi Persentase (%)
Miopia ringan 44 73,3%
Miopia sedang 13 21,7%
Miopia berat 3 5%
Total 60 100%
Tabel 2. Korelasi antara AL dengan CCT CCT AL Jenis kelamin Usia p=0,704 p=0,533 p=0,050
Tabel 3. Korelasi antara AL dan derajat miopia Derajat Miopia
AL r=0,433
Chang et al di tahun 2001 menggunakan pakimetri ultrasonik (DGH Technology) untuk mengukur CCT dan A-scan ultrasonografi (Sonomed A-1500) untuk mengukur AL, namun tidak disebutkan apakah menggunakan metode kontak atau non-kontak. Sedangkan Lee et al pada tahun 2012 menggunakan Orbscan II (Bausch & Lomb) untuk meng-ukur CCT dan IOL master dengan metode non-kontak (Carl Zeiss Meditec) untuk mengukur AL.
Pertambahan panjang AL pada penderita dengan miopia tidak mempengaruhi ketebalan CCT pada penderita. Hal ini dapat disebabkan karena hasil pengukuran CCT berhubungan dengan berbagai faktor demografi dan faktor pada mata. Beberapa studi menunjukkan bahwa umur, gender, ras, dan etnik ber-pengaruh pada ketebalan kornea. Beberapa faktor lain yang juga berhubungan dengan ketebalan kornea antara lain AL, status refraksi, kurvatura kornea, dan diabetes mellitus. Fluktuasi diurnal dari CCT juga dapat terjadi dimana CCT paling tebal pada pagi hari dan paling tipis pada sore hari. Bahkan, dalam kelompok etnis yang sama, ketebalan kornea dapat berbeda-beda, ber-hubungan dengan pemakaian lensa kontak, mata kering, dan usia. Dengan pemakaian lensa kontak jangka panjang, kondisi mata kering, dan bertambahnya usia maka CCT akan makin tipis.
Gold standard untuk pengukuran AL
adalah A-scan ultrasonografi, baik dengan
teknik aplanasi maupun imersi. Pengukuran AL dengan teknik non-kontak sedikit lebih akurat dibandingkan dengan teknik aplanasi,
karena probe ultrasound sama sekali tidak
menyentuh kornea sehingga menghindari penekanan (indentasi) yang dapat mem-pengaruhi hasil pengukuran AL. Pada studi yang dilakukan Watson et al pada tahun 1999 didapatkan bahwa pengukuran AL yang diperoleh dengan teknik imersi rata-rata 0,1 mm lebih panjang dari yang diperoleh dengan teknik aplanasi, namun secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua rerata teknik tersebut. Kedua teknik mem-berikan hasil yang konsisten, tetapi per-bedaan antara AL diukur dengan dua teknik
memiliki dampak untuk pilihan kekuatan lensa tanam. Pada studi oleh Schelenz dan Kammann tahun 1989 didapatkan bahwa pengukuran AL yang diperoleh dengan teknik aplanasi rata-rata lebih pendek 0,2-0,32 mm dari hasil yang diperoleh dengan teknik imersi.11,12
Gold standard untuk pengukuran CCT adalah dengan pakimetri ultrasonik. Dari studi yang dilakukan oleh Sadoughi et al pada tahun 2014, untuk membandingkan pakimetri ultrasonik dan Orbscan II untuk pengukuran CCT pada mata normal, didapat-kan bahwa Orbscan II memiliki korelasi yang baik dengan pakimetri untuk pengukuran
CCT pada mata normal.13
Korelasi antara AL dengan derajat miopia, yang diuji dengan uji korelasi Spearman, didapatkan hasil korelasi yang signifikan dan memiliki arah yang positif. Ini berarti bahwa penelitian ini menunjukkan dengan semakin panjang AL, maka derajat miopia akan semakin tinggi dan hal ini menunjukkan bahwa sampel miopia pada penelitian ini merupakan jenis miopia aksial. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: 1) tidak meneliti hasil pengukuran AL dan CCT dengan menggunakan alat ukur dan metode yang lain, misalnya dengan metode non-kontak; 2) jumlah penderita miopia dengan berbagai derajat miopia dan sebaran usia sampel yang tidak menyebar pada populasi yang diteliti.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini didapatkan adanya korelasi yang tidak signifikan antara AL dengan CCT. Penelitian ini menunjukkan dengan semakin panjang AL, maka derajat miopia akan semakin tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan penelitian ini, maka disarankan pada penelitian selanjutnya untuk: 1) meng-gunakan alat ukur dan metode yang lain untuk mengukur AL dan CCT, misalnya dengan metode non-kontak; dan 2) memperluas populasi dengan melakukan studi multisenter.
Referensi
1. Pedersen L, Hjortdal J, Ehlers N. Central corneal thickness in high myopia. Acta Ophthalmologica Scandinavica 2005;83:539-42
2. Elias A, Giridhar, Mahesh, Bhat S, Ramkumar. Central corneal thickness and relating factor – a prospective observational study. Kerala Journal of Ophthalmology 2009;21(2):149-53
3. Park SC, Liebmann JM, Ritch R. Glaucoma in myopia. In: Spaide RF, Matsui KO, Yannuzi LA, ed. Pathologic Myopia. New York: Springer; 2014.p.283-92
4. Lee S, Kim B, Oh TH, Kim HS. Correlation between magnitude of refractive error and other optical component in Korean myopes. Korean J Ophthalmol 2012;26(5): 324-30
5. Chang SW, Tsai IL, Hu FR, Lin LL, Shih YF. The cornea in young myopic adults. Br J Ophthalmol 2001; 85:916-20
6. Kunert KS, Bhartiya P, Tandon R, Dada T, Christian H, Vajpayee RB. Corneal thickness in Indian patients undergoing LASIK for myopia. J Refract Surg 2003; 19(3):378-9
7. Ortiz S, Mena L, Cristobal AR, Martin R. Relationship between central and peripheral corneal thickness in
different degrees of myopia. Journal of Optometry 2014;7(1):44-50
8. Kohihaas M, Boehm AG, Spoerl E, Pursten A, Grein HJ, Pillunat LE. Effect of central corneal thickness, corneal curvature, and axial length on applanation tonometry. Arch Ophthalmol 2006;124(4):471-6 9. Otero JG, Sanchez CA, Teus M. Central corneal
thickness in a healthy Spanish population. Arch Soc Esp Oftalmol 2011;86(3):73-6
10.Iyamu E, Osuobeni E. Age, gender, corneal diameter, corneeal curvature and central corneal thickness in Nigerians with normal intraocular pressure. Journal of Optometry 2012;5:87-97
11.Watson A, Armstrong R. Contact or immersion technique for axial length measurement? Australian and New Zealand Journal of Ophthalmology 1999;27:49-51 12.Schelenz J, Kammann J. Comparison of contact and
immersion techniques for axial length measurement and implant power calculation. J Cataract Refract Surg 1989;15:425-8
13.Sadoughi MD, Einollahi B, Einollahi N, Rezael J. Measurement of central corneal thickness using ultrasound pachymetry and Orbscan II in normal eyes. Journal of Ophthalmic and Vision Research 2015; 10(1):4-9