• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tutorial b Skenario Demam Tifoid New(2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tutorial b Skenario Demam Tifoid New(2)"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 7

Kelompok 6

Tutor : dr. Maznah

Jovita Kosasih 4101401060 Ari Miska 4101401071 Rivia Krishartanty 4101401072 Ira Dwi Novriyanti 4101401083 Rhapsody Karnovinanda 4101401084 M.Izwan Iqbal Tyasta 4101401086 Flavia Angelina Satopoh 4101401088

Ayu Ratnasari 4101401097

Yuliansera Lestari 4101401098

Nadila Ayu Putri 4101401100

Zahra Kamilah 4101401112

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG

2011

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Skenario B Blok 7” sebagai tugas kompetensi kelompok. Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Laporan tutorial ini bertujuan untuk memenuhi tugas Blok 7 yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan materi dan perbaikan di masa yang akan datang.

Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, 6 Juni 2011

(3)
(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Blok Infeksi dan Imunologi adalah Blok 7 pada Semester 2 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai Tuan Ahmad yang sudah 7 hari demam terus menerus disertai nyeri ulu hati, mual, lidah terasa pahit, BAB cair, dan kesadaran delirium. Setelah pemeriksaan fisik ia diberi siprofloksasin dan parasetamol namun demam tidak turun.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum ini, yaitu :

1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. 2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode

analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.

3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Skenario Kasus

Tuan Ahmad, umur 40 tahun dibawa keluarganya ke rumah sakit karena sudah 7 hari ini demam terus menerus disertai nyeri ulu hati, mual dan lidah terasa pahit. Sejak 4 hari yang lalu mengalami BAB cair.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai : keadaan delirium, temperatur 39,5oC, nadi 136x/menit, tensi 80/60 mmHg, RR: 29x/menit, lidah kotor dan nyeri tekan pada epigastrium. Dua hari sebelumnya berobat ke dokter umum, mendapat tablet siprofloksasin 2x500 mg dan parasetamol 3x500 mg, namun masih juga belum turun demamnya.

Hasil laboratorium : Hb:12 mg/dl, leukosit 13.000/mm3, LED 12 mm/jam, hematokrit 36 mg%, trombosit 210.000/mm3. Diffcount : 0/0/0/75/23/2.

Kondisi apa yang dialami tuan Ahmad dan apa kemungkinan penyakit yang menyebabkannya?

2.2 Paparan

I. Klarifikasi Istilah

1. Nyeri ulu hati : perasaan menderita atau agoni yang disebabkan oleh rangsangan pada ujung-ujung saraf usus pada ulu hati. 2. Demam : peningkatan suhu tubuh di atas normal.

3. Mual : sensasi tidak menyenangkan yang secara samar mengacu pada epigastrium dan abdomen dengan kecenderungan untuk muntah.

4. Lidah terasa pahit : biasa terjadi saat seseorang mengalami flu, demam, sinusitis akibat adanya pertumbuhan bakteri anaerob. 5. BAB cair : peningkatan absorpsi air dan elektrolit dan penurunan

(6)

6. Kesadaran delirium: kesadaran yang ditandai oleh ilusi, halusinasi, delusi, kegirangan, kurang istirahat, dan inkoheren.

7. Epigastrium : regio atas tengah abdomen, terletak di antara angulus sternum.

8. Siprofloksasin : antibiotik golongan florokinolon bekerja dengan cara mempengaruhi enzim DNA-gyrase pada bakteri.

9. Lidah kotor : Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas. 10. Parasetamol : obat analgesik yang digunakan untuk menurunkan

demam dan juga untuk pengobatan nyeri ringan atau berat.

11. Hematokrit : persentase volume eritrosit dalam darah secara keseluruhan.

12. LED : laju endap darah. Kecepatan mengendapnya eritrosit dari spesimen darah vena yang tercampur baik, yang diukur melalui jarak dari bagian atas kolon endapan eritrosit dalam waktu dan keadaan tertentu.

13. Diffcount : perhitungan dari berbagai jenis dari leukosit diekspresikan dalam presentase, berdasarkan apusan darah.

II. Identifikasi Masalah

1. Tn. Ahmad, 40 tahun, sudah 7 hari menderita demam, nyeri ulu hati, mual, dan lidah terasa pahit serta sejak 4 hari yang lalu mengalami BAB cair.

2. Pada pemeriksaan fisik dijumpai : kesadaran delirium, temperatur 39,5oC, nadi 136x/menit, tensi 80/60 mmHg, RR: 29x/menit, lidah kotor dan nyeri tekan pada epigastrium.

3. Dua hari sebelumnya berobat ke dokter umum, mendapat tablet siprofloksasin 2x500 mg dan parasetamol 3x500 mg tetapi demam tidak turun.

4. Hasil lab :

Hb : 12 mg/dl Hematokrit : 36 mg% Leukosit : 13.000/mm3 Trombosit : 210.000/mm3

(7)

LED : 12 mm/jam Diffcount : 0/0/0/75/23/2 Widal : Titer O = 1/320

Titer H = 1/640

III. Analisis Masalah

1. Tn. Ahmad, 40 tahun, sudah 7 hari menderita demam, nyeri ulu hati, mual, dan lidah terasa pahit serta sejak 4 hari yang lalu mengalami BAB cair.

a. Bagaimana mekanisme dan etiologi :

 Demam

 Nyeri ulu hati

 Mual

 Lidah pahit b. Apa jenis-jenis demam?

c. Bagaimana mekanisme dan etiologi BAB cair?

2. Pada pemeriksaan fisik dijumpai : kesadaran delirium, temperatur 39,5oC, nadi 136x/menit, tensi 80/60 mmHg, RR: 29x/menit, lidah kotor dan nyeri tekan pada epigastrium.

a. Bagaimana keadaan normal dan interpretasi dari pemeriksaan fisik Tn.Ahmad?

b. Bagaimana mekanisme dan etiologi lidah kotor dan nyeri tekan pada epigastrium?

c. Apa kemungkinan penyakit yang diderita oleh Tn.Ahmad?

d. Bagaimana etiologi dan cara penularan dari penyakit yang mungkin diderita Tn.Ahmad?

e. Bagaimana pertahanan tubuh terhadap penyakit yang diderita Tn.Ahmad? f. Bagaiamana patogenesis dari penyakit yang diderita Tn.Ahmad?(sampai

sepsis)

(8)

3. Dua hari sebelumnya berobat ke dokter umum, mendapat tablet siprofloksasin 2x500 mg dan parasetamol 3x500 mg tetapi demam tidak turun.

a. Bagaimana indikasi , mekanisme kerja, dan efek samping siprofloksasin? b. Bagaimana indikasi, mekanisme kerja, dan efek samping parasetamol? c. Mengapa setelah diberi obat, demam pada Tn.Ahmad tidak turun? 4. Hasil lab :

Hb : 12 mg/dl Hematokrit : 36 mg% Leukosit : 13.000/mm3 Trombosit : 210.000/mm3 LED : 12 mm/jam Diffcount : 0/0/0/75/23/2 Widal : Titer O = 1/320

Titer H = 1/640

a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan lab Tn. Ahmad? b. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini?

c. Bagaimana hubungan dari hasil lab Tn. Ahmad dengan penyakit yang dideritanya?

IV. Jawaban Analisis

1. a. Bagaimana mekanisme dan etiologi demam, nyeri ulu hati, mual dan lidah pahit?

 Demam

Demam terjadi ketika tubuh bereaksi dengan pirogen atau patogen. Pirogen akan diopsonisasi oleh komplemen dan difagosit oleh leukosit darah, limfosit dan makrofag (sel kupffer di hati). Proses ini melepaskan sitokin, diantaranya pirogen endogen interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, 6, 8, dan 11, interferon α2 dan γ, Tumor nekrosis factor TNFα (kahektin) dan TNFβ (limfotoksin), macrophage inflammatory protein MIP1. Sitokin ini diduga mencapai organ sirkumventrikular otak yang tidak memiliki sawar darah otak. Sehingga terjadi demam pada organ ini atau yang berdekatan dengan area preoptik dan organ vaskulosa lamina terminalis (OVLT) (daerah hipotalamus) melalui pembentukan prostaglandin PGE₂. Prostaglandin terbentuk dari asam arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim cyclooxgenase

(9)

(COX). Pengaruh pengaturan autonom akan mengakibatkan terjadinya vasokontriksi perifer sehingga pengeluaran panas menurun dan penderita merasa demam.

 Nyeri ulu hati

S.typhi dibawa makrofag ke sirkulasi  disebarkan ke organ retikuloendotelial yaitu hati,limpa berkembang biak, kerja organ semakin berat hepatosplenomegaly menekan saraf di ulu hati nyeri

 Mual

 S.typhi masuk ke lambung asam lambung untuk membunuh bakteri meningkat mual

 Hepatosplenomegaly penekanan pada gaster  perasaan penuh di perut mual

 Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran empedu sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT, menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran cerna sehingga merangsang nervus vagus dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan muntah. Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka terjadilah kembung.

 Lidah pahit

 Demam merangsang saraf simpatis produksi saliva yang memiliki sifat bakterisid menurun kadar oksigen menurun bakteri anaerob di mulut meningkat toksin membuat lidah pahit

(10)

 Lidah berselaput fungsi papila tengah terganggu papila tengah (pahit) menjadi dominan makan, minum jadi pahit

c. Apa jenis-jenis demam?

Beberapa tipe demam yang mungkin kita jumpai, antara lain:

 Demam septic : suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat diatas normal pada pagi hari. sering disertai keluhan mengigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ketingkat yang normal dinamakan demam hetik.

 Demam remitten suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu bdn normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septic.

 Demam interminten : suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberpa jam dalam satu hari.Bila demam seperti ini terjadi dalam dua hari sekali, disebut tersiana, dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.

 Demam Kontinyu: Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu deraja. Pada tingkat demam yng terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

 Demem siklik: terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti kenaikan suhu seperti semula.

Jenis Demam :

- Demam karena infeksi yang suhunya bisa mencapai lebih dari 38°C penyebabnya beragam, yakni infeksi virus (seperti flu,cacar,campak,SARS,flu burung,demam berdarah, dan lain-lain) dan bakteri (tifus, radang tenggorokan, dan lain-lain).

- Demam noninfeksi, seperti kanker, tumor, atau adanya penyakit autoimun seseorang (rematik,lupus, dan lain-lain).

- Demam fisiologi, seperti kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara yang terlalu panas, dan lain-lain.

(11)

Pada kasus ini , demam yang diderita Tn.Ahmad adalah demam septic karena masa perkembangan bakteri salmonella terjadi pada malam hari.

d. Bagaimana mekanisme dan etiologi BAB cair?

BAB cair dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu Infeksi virus/bakteri/parasit, infeksi parenteral, malabsorpsi, makanan basi, beracun, alergi makanan dan kondisi psikologis. Faktor-faktor tersebut menyebabkan peradangan di usus besar dan ujung distal ileum. Mukosa yang iritasi meningkatkan tekanan osmotik sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus, mempercepat sekresi mukus dan motalitas dinidng usus akibat hiperperistaltik. Penyerapan sisa makanan juga menurun akibat infeksi

S. typhi. Hal ini dapat meningkatkan pengeluaran cairan dan timbullah BAB

cair.

2. a. Bagaimana keadaan normal dan interpretasi dari pemeriksaan fisik Tn.Ahmad? Pemeriksaan fisik Nilai normal Data Interpretasi

Temperatur 36,5o-37,2oC 39,5oC Demam tinggi

Nadi 60-100x/menit 136x/menit Takikardi

Tekanan darah 120/80 mmHg 80/60 mmHg Hipotensi Respiratory Rate 16-24x/menit 29x/menit Takipneu

Lidah Merah muda kotor Demam typhoid

Epigastrium Tidak nyeri jika

ditekan nyeri Hepatosplenomegaly

Kesadaran komposmentis delirium

gelisah, memberontak, berteriak-teriak,

berhalusinasi

Interpretasi lebih lanjut : Kesadaran delirium

S. typhi mengeluarkan endotoksin  fagosit oleh sel fagosit → pirogen endogen → sekresi asam arakhidonat → prostaglandin → thermostat hypothalamus ↑ → demam → respon saraf parasimpatis → vasodilatasi 

(12)

hipotensi → perfusi O2 ke jaringan menurun, termasuk perfusi ke otak  penurunan kesadaran  delirium

Temperatur

Sama dengan mekanisme demam. Takikardi

S. typhi mengeluarkan endotoksin  fagosit oleh sel fagosit → pirogen endogen → sekresi asam arakhidonat → prostaglandin → thermostat hypothalamus ↑ → demam → respon saraf parasimpatis → vasodilatasi  hipotensi → perfusi O2 ke jaringan menurun vasodilatasi pembuluh darah perfusi O2 ke jaringan menurun jantung memompa lebih cepat takikardi Hipotensi

S.typhi mengeluarkan endotoksin fagosit oleh sel fagosit → pirogen endogen → sekresi asam arakhidonat → prostaglandin → thermostat hypothalamus ↑ → demam → respon saraf parasimpatis → vasodilatasi  hipotensi → perfusi O2 ke jaringan menurun vasodilatasi pembuluh darahtekanan perifer arteri menurun hipotensi

Takipneu

S.typhi mengeluarkan endotoksin fagosit oleh sel fagosit → pirogen endogen → sekresi asam arakhidonat → prostaglandin → thermostat hypothalamus ↑ → demam → respon saraf parasimpatis → vasodilatasi  hipotensi → perfusi O2 ke jaringan menurun vasodilatasi pembuluh darah perfusi O2 ke jaringan menurun kompensasi untuk memenuhi O2 ke jaringan, pernafasan akan cepat

b. Bagaimana mekanisme dan etiologi lidah kotor dan nyeri tekan pada epigastrium?

Mekanisme nyeri epigastrium

Hepatomegali + meningkatnya histamin  asam lambung meningkat  nyeri epigastrium

Mekanisme lidah kotor

 Endotoksin S. typhi menempel di reseptor sel endotel kapiler, mempengaruhi saluran cerna, termasuk lidah dan menimbulkan reaksi

(13)

keputihan pada bagian tengah dan kemerahan pada bagian tepi sebagai efek inflamasi.

 S. typhi mengeluarkan H2S yang menyebabkan lidah kotor. Mulut kering dan ekskresi air liur menurun akibat demam tifoid meningkatkan frekuensi kuman dalam mulut.

c. Apa kemungkinan penyakit yang diderita oleh Tn.Ahmad?

Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, Tn. Ahmad kemungkinan menderita sepsis yang mengacu pada demam typhoid.

d. Bagaimana etiologi dan cara penularan dari penyakit yang mungkin diderita Tn.Ahmad?

Etiologi :

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella

enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratyphi C. Kuman-kuman ini lebih

dikenal dengan nama S.paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S.hirschfeldii. Morfologi Salmonella typhosa.

Kuman berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram negatif, ukuran 2 - 4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak, pada biakan agar darah koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis .

Salmonella thyposa merupakan basil gram (-), bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen :

1. Antigen O, (Ohne Hauch), somatik, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida

2. Antigen H, (Hauch), flagel, menyebar dan bersifat termolabil

3. Antigen V, kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis.

(14)

Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan adalah :

 Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.

 Higiene makanan dan minuman yang rendah

Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan sebagainya.

 Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan

 Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai

 Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat

 Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.

 Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid.

 Dan lain-lain

e. Bagaimana pertahanan tubuh terhadap penyakit yang diderita Tn.Ahmad? Mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya kuman S.typhi pada manusia dapat timbul segera, yang diprakarsai oleh mekanisme imunologik non spesifik dan selanjutnya diikuti dengan mekanisme pertahanan imunologik spesifik yang terdiri atas respon imunitas humoral dan seluler.

Asam lambung bagian dari sistem pertahanan non spesifik, merupakan salah satu barier utama yang dapat mematikan mayorita kuman penyebab infeksi saluran cerna. Sebagian kuman S.typhi masih dapat bertahan dan tetap hidup dalam asam lambung. Selanjutnya kuman dapat menembus epitel mukosa usus halus dan berhadapan dengan membrana basalis, yang fungsi

(15)

pertahanannya sudah berkurang, akibat destruksi epitel dan proses radang sehingga kuman dapat mencapai lapisan subepitel. Di dalam lapisan subepitel, kuman akan mendapatkan perlawanan dari 3 mekanisme pertahanan yang terdiri dari cairan jaringan, sistem jaringan limfoid, dan sel fagosit. Pada infeksi S.typhi biasanya terjadi hiperplasi sistem retikuloendotelial yang juga terjadi pada jaringan limfoid seperti plaques peyeri, kelenjer limfe lain (hati,limpa) dengan aktivitas fagositosis yang meningkat dengan mencolok.

Mekanisme pertahanan imunologik spesifik baisanya menyangkut antibodi, limfosit B dan T dan komplemen yang terbagi atas imunitas seluler dan imunitas humoral. Respon imunitas seluler sangat penting dalam penyembuhan penyakit demam tifoid, yang merupakan interaksi antara sel limfosit T dan fagosit mononuklear, untuk membunuh mikroorganisme yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme mikrobisidal humoral dan fagosit polimorfonuklear. Adanya antigen kuman akan merangsang limfosit T untuk membentuk faktor aktivasi makrofag, sehingga akan berkumpul pada tempat terjadinya invasi kuman.

Limfosit B sangat berperan dalam respon imunitas humoral. Akibat stimulasi antigen kuman, sel ini akan berubah menjadi sel plasma dan mensintesa imunoglobulin (Ig). IgG dan IgM adalah imunoglobulin yang dibentuk paling banyak. Peningkatan titer terjadi mulai minggu pertama kemudian meningkat pada minggu-minggu berikutnya, sedangkan IgA meningkat pada minggu kedua. IgM yang tinggi

sebagai dasar berbagai pemeriksaan laboratorium. Misalnya tes Widal, ELISA dan pemeriksaan lainnya.

f. Bagaiamana patogenesis dari penyakit yang diderita Tn.Ahmad?(sampai sepsis) S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. (mansjoer, 2000). Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika. Melalui duktus torasikus kuman yang yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah

(16)

(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Kuman akan meninggalkan sel-sel fagosit dan akan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya yang disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu di eksresikan secara intermitten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.

Didalam plague peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.

(17)

g. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus ini?

 Trilogi penatalaksanaan demam typhoid:

1) Istirahat dan perawatan, mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.

2) Diet dan terapi penunjang, mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.Penderita diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya nasi, yang diberikan sesuai tingkat kesembuhan pasien. hal ini dilakukan untuk menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.

3) Pemberian anti mikroba, seperti :  Kloramfenikol

Dosis yang diberikan 4 x 500 gram per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.  Tiamfenikol

Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke 5 sampai 6

 Kotrimoksazol

Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprim 80 mg), diberikan hingga 2 minggu

 Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan menurunkan demam lebih rendah dari kloramfenikol, diberikan 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.

 Sefalosporin generasi ke 3

Yang efektif adalah seftriakson dengan dosis 3-4 gam dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari selama 3-5 hari.  Golongan fluorokuinolon

(18)

- Siprofloksasin dosis 2x 500 mg/hari selama 6 hari - Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari - Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari - Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

 Azitromisin, dosis 2 x 500 mg, mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, mengurangi angka relaps, ideal untuk pengobatan infeksi kuman intraseluler (S. typhi), tersedia dalam bentuk oral atau suntikan intravena.

 Kombinasi obat antimikroba, diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain Salmonella.

 Kortikosteroid, diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid dengan syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

3. a. Bagaimana indikasi , mekanisme kerja, dan efek samping siprofloksasin? Indikasi:

Untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh kuman patogen yang peka terhadap ciprofloxacin, antara lain pada:

- Saluran kemih termasuk prostatitis. - Uretritis dan serpisitis gonore.

- Saluran cerna, termasuk demam thyfoid dan parathyfoid. - Saluran nafas, kecuali pneumonia dan streptococus. - Kulit dan jaringan lunak.

- Tulang dan sendi. Mekanisme kerja :

Ciprofloxacin (1-cyclopropyl-6-fluoro-1,4-dihydro-4-oxo-7-(-1-piperazinyl-3 quinolone carboxylic acid) merupakan salah satu obat sintetik derivat quinolone. Mekanisme kerjanya adalah menghambat aktifitas DNA gyrase bakteri, bersifat bakterisida dengan spektrum luas terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif.

Ciprofloxacin diabsorbsi secara cepat dan baik melalui saluran

(19)

protein plasma dan didistribusi ke berbagai jaringan serta cairan tubuh. Metabolismenya di hati dan diekskresi terutama melalui urine.

Efek samping :

Efek samping siprofloksasin biasanya ringan dan jarang timbul antara lain: - Gangguan saluran cerna : Mual,muntah,diare dan sakit perut

- Gangguan susunan saraf pusat : Sakit kepala,pusing,gelisah,insomnia dan euforia

- Reaksi hipersensitivitas : Pruritus dan urtikaria

- Peningkatan sementara nilai enzim hati,terutama pada pasien yang pernah mengalami kerusakan hati.

- Bila terjadi efek samping konsultasi ke Dokter

b. Bagaimana indikasi, mekanisme kerja, dan efek samping parasetamol? Indikasi :

Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan asetosal. Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala, sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot.menurunkan demam pada influenza dan setelah vaksinasi.

Mekanisme Kerja :

Farmakodinamik. Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral. Parasetamol bekerja dengan menghambat prostaglandin menuju hipotalamus atau mencegahnya berinterkasi dengan termoreseptor.

Farmakokinetik. Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Obat ini disekresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.

Salmonella typhi

(20)

Efek samping:

Reaksi alergi terhadap para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih besar berupa demam dan lesi pada mukosa. Parasetamol dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimun, defisiensi G6PD dan adanya metabolik yang abnormal. Methemoglobinemia dan sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan masalah pada dosis terapi karena hanya 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb.

c. Mengapa setelah diberi obat, demam pada Tn.Ahmad tidak turun?

 Kuantitas bakteri tinggi

S. typhi dapat berkembang biak di dalam makrofag sehingga cincin

kuinolon dan fluor pada siprofloksasin sulit menghambat enzim girase dalam sintesa DNA sehingga kuantitasnya dalam tubuh tetap tinggi. Parasetamol hanya menghambat enzim siklooksigenase dalam pembentukan prostaglandin dan tidak mematikan sumber infeksi, S. typhi, sehingga demam tidak turun.

 Efektivitas obat menurun

Hiperaktif makrofag yang teraktivasi dapat menimbulkan hiperplasia dan nekrosis jaringan di dalam plak Peyeri ileum distal. Penyerapan parasetamol dan siprofloksasin di ileum terhambat akibat fungsi usus

Mediator inflamasi (IL-1, TNF, dll)

Asam arakidonat

Enzim Lypoxigenase Enzim cyclooxigenase

Dihambat parasetamol Hidroperoksid Leukotrien Endoperoksid PGG2/PGH PGE2, PGF2, PGD2 Tromboksan A 2 Prostasiklin

(21)

menurun. Hepatomegali menyebabkan metabolisme obat di mikrosom hati terganggu. Pengeluaran cairan empedu berlebih meningkatkan ekskresi siprofloksasin dan peningkatan peroksid yang dihasilkan leukosit dapat menghambat kerja parasetamol.

4. a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan lab Tn. Ahmad?

Pemeriksaan Hasil Normal Hasil Tn. Ahmad Interpretasi

Hb 13-18 mg/dl 12 mg/dl Rendah (anemia)

Leukosit 4000-11.000 /mm3 13.000/mm3 Leukositosis

LED

<15 mm/jam

Laki-laki usia <50 12 mm/jam Normal

Hematokrit 40-48 mg% 36 mg% Rendah Trombosit 150.000 - 400.000/mm3 210.000/mm3 Normal Widal Test Titer O < 1/320 1/320 (+) thyfoid Titer H <1/640 1/640 (+) thyfoid Diffcount Basofil 0 - 1 % 0 Normal Eusinofil 1 - 3 % 0 Rendah Neutrofil Batang 2 - 6 % 0 Rendah Neutrofil Segmen 50 - 70 % 0.75 Tinggi Limfosit 20 - 40% 0.23 Normal Monosit 2 - 8% 0.02 Normal

b. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini?

Pemeriksaan darah tepi

Dengan cara mengambil 10-15 ml darah. Sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis (terjadi tanpa disertai infeksi sekunder). Dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah dapat meningkat tetapi kurang berpengaruh pada pemeriksaan ini. SGOT dan SGPT seringkali

(22)

meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam tifoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.

Identifikasi biakan ( Gall kultur)

Identifikasi biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang, empedu, sampel faeces dan urin. Hasil biakan darah positif memastikan demam tifoid tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid karena mungkin disebabkan beberapa hal berikut :

a. Telah mendapat terapai antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif

b. Volume darah kurang, darah yang diperlukan kurang lebih 5 cc, darah sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.

c. Riwayat vaksinasi

Vaksinasi menimbulkan antibodi (aglutinin) yang dapat menekan bakteremia hingga biakan dapat negatif.

d. Saat pengambilan darah pada minggu setelah minggu pertam, pada saat aglutinin semakin meningkat.

Uji serologis

Ada 3 uji yang menjadi pilihan uji serologis : a) Uji Widal

Dilakukan sebagai deteksi antibodi terhadap Salmonella typhi. Terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman dengan antibodi(aglutinin) pasien. Antigen yang digunakan merupakan suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Aglutinin O (tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman) dan aglutinin Vi (simpai kuman). Semakin tinggi titer aglutinin O dan H, semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pembentukan aglutinin di tubuh pasien mulai terjadi di akhir minggu pertama danmencapai puncak pada minggu ke-empat. Pada fase akut, mula-mula terbentuk aglutinin O kemudian H. Pada orang sembuh,

(23)

aglutinin O masih ada sampai 4-6 bulan,sedangkan aglutinin H menetap antara 9-12 bulan.

Faktor yang mempengaruhi uji widal adalah : - Pengobatan dini dengan antibiotik

- Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid - Waktu pengambilan darah

- Daerah endemik/nonendemik - Riwayat vaksinasi

- Reaksi anamnestik, peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi. - Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi

silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. b) Uji Tubex

Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09 pada serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-09 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex.

c) Uji Typhidot

Dapat mendeteksi IgM dan IgG (pada protein membran luar S. typhi) terhadap antigen S. typhiseberat 50 kD pada strip nitroselulosa.

d) Uji IgM Dipstick

Secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood.

Identifikasi bakteri

Dengan menggunakan teknik PCR untuk mendeteksi kuman dalam jumlah sedikit. Spesimen yang diambil adalah darah, urin dan jaringan biopsi.

c. Bagaimana hubungan dari hasil lab Tn. Ahmad dengan penyakit yang dideritanya?

Tn. Ahmad mengalami anemia ringan karena S. typhi mampu mengikat besi (Fe) pada heme sehingga hemoglobin mengalami lisis.

(24)

 Pada minggu pertama, penderita demam tifoid biasanya mengalami leukopenia karena leukosit mengalami autolisis setelah memfagosit sejumlah S. typhi dan disekresi melalui feses. Pada minggu berikutnya, penderita mengalami leukositosis karena telah terbentuk antibodi dan mungkin disertai pemberian antibiotik sehingga jumlah S. typhi menurun dan leukosit tidak cepat lisis.

 Tes Widal dengan titer O dan titer H positif menandakan adanya S. typhi. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

 Diffcount. Konsentrasi eosinofil dan basofil dalam leukosit hanya beberapa persen. Kemampuan fagositosisnya pun tidak sebaik neutrofil sehingga cepat lisis dan berfungsi pada reaksi alergi. Neutrofil batang merupakan neutrofil yang imatur, hanya mampu menampung sedikit mikroorganisme dan mudah lisis dibandingkan neutrofil segmen yang matur dan mampu memfagosit banyak S. typhi. Neutrofil batang juga dihentikan produksinya ketika proses peradangan mulai menurun. (diffcount : 0/0/0).

Eosinofil : peningkatan eusinofil menunjukkan adanya reaksi alergi, namun dalam kasus ini jumlah eusinofil justru rendah hal ini menunjukkan tidak terjadi reaksi alergi.

Netrofil Segmen : Peningkatan jumlah netrofil segmen menandakan adanya respon terhadap infeksi akut.

V. Hipotesis

Tn.Ahmad, 40 tahun, menderita demam, nyeri ulu hati, lidah terasa pahit, lidah kotor, nyeri tekan epigastrium,BAB cair dan sepsis karena menderita demam tifoid toksik sebagai akibat dari infeksi bakteri Salmonella typhi.

(25)
(26)

VII. Keterbatasan Ilmu dan Learning Issues Pokok Pembahasan What I Know What I Don’t Know What I Have To Prove What I Will Learn Demam Typhoid Definisi Etiologi Patogenesis Manifestasi klinik Penatalaksana an demam typhoid Mendiagnosis Demam Typhoid Text book Jurnal Internet Sepsis Definisi Ciri-ciri Mekanisme Tatalaksana sepsis Diagnosis sepsis Mekanisme gejala-gejala Definisi Mekanisme

Interpretasi Gejala tersebut benar-benar manifestasi klinis demam typhoid Siprofloksasin & Parasetamol Definisi Indikasi Mekanisme Obat tidak bekerja maksimal Mengetahui efek samping obat Interpretasi pemeriksaan Mekanisme Nilai normal Hubungan dengan Mengetahui kesamaan kondisi

(27)

fisik penyakit fisik setiap pasien Interpretasi pemeriksaan laboratorium Pengertian Nilai normal Hubungan dengan penyakit Cara pelaksanaan Mengetahui kesamaan hasil lab setiap pasien

Pertahanan tubuh terhadap infeksi

Mekanisme Sistem yang terlibat Reaksi imun terhadap infeksi

BAB III

SINTESIS

3.1 Demam Typhoid 3.1.1 Pengertian

Demam tifoid ialah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh

Salmonella typhi, ditandai dengan demam yang berkepanjangan (lebih dari satu

minggu), gangguan saluran cerna dan gangguan kesadaran. 3.1.2 Etiologi

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella

enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratyphi C. Kuman-kuman ini lebih dikenal

dengan nama S.paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S.hirschfeldii. Morfologi Salmonella typhosa.

Kuman berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram negatif, ukuran 2 - 4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak, pada biakan agar

(28)

darah koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Gupte, 1990).

Salmonella thyposa merupakan basil gram (-), bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen :

1. Antigen O, (Ohne Hauch), somatik, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida

2. Antigen H, (Hauch), flagel, menyebar dan bersifat termolabil

3. Antigen V, kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis.

Fisiologi

Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15 - 41o C (suhu pertumbuhan optimum 37o C) dan pH pertumbuhan 6 - 8. Pada umumnya isolat kuman Salmonella dikenal dengan sifat-sifat, gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, laktosa, Voges Praskauer dan KCN. Sebagian besar isolat Salmonella yang berasal dari bahan klinik menghasilkan H2S. Samonella thypi hanya membentuk sedikit H2S dan tidak membentuk gas pada fermentase glukosa. Pada agar SS,Endo, EMB dan MacConkey koloni kuman berbentuk bulat, kecil dan tidak berwana, pada agar Wilson Blair koloni kuman berwarna hitam berkilat logam akibat pembentukan H2S.

Daya tahan.

Kuman akan mati karena sinar matahari atau pada pemanasan dengan suhu 60o C selama 15 sampai 20 menit, juga dapat dibunuh dengan cara pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi serta pada keadaan kering. Dapat bertahan hidup pada es, salju dan air selama 4 minggu sampai berbulan-bulan. Disamping itu dapat hidup subur pada medium yang mengandung garam metil, tahan terhadap zat warna hijau brilian dan senyawa natrium tetrationat dan natrium deoksikolat. Senyawa-senyawa ini menghambat pertumbuhan kuman koliform sehingga senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan didalam media untuk isolasi Salmonella dari tinja (Gupte, 1990).

(29)

Bakteri S.thypi dan S.parathypi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau minuman terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dengan pH <2, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Sel-sel M adalah sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi S.thypi dan S.paratyphi . Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrorag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.

Setelah melalui periode tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu mala S.typhi dan S.paratyphi akan keluar dari habitatnya. Selanjutnya keluar melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik (Sudoyo et all., 2009). Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Kuman pathogen-berikatan dengan susunan molekuler (PAMPs) seperti flagella dan lipopolisakarida yang masih bertahan di dalam dapat dikenali makrofag melalui kuman tool-like receptor (TLR)-5 dan

TLR-4/MD2/CD-14 complex, makrofag dan sel epitel intestinal kemudian mengaktivasi

sel T dan neutrofil serta interleukin 8 (IL-8), sehingga terjadilah proses inflamasi. Kuman S.typhi memiliki fimbriae yang mendukung untuk terjadinya penempelan

(30)

pada epitel. Selain itu, S.typhi juga memiliki kapsul Vi yang menutupi PAMPs yang berfungsi untuk melawan neutrofil. Proses yang sama terulang kembali yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental dan koagulasi.

Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (Salmonella intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella menstimulasi makrofag dalam hati, limpa, folikel limpoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun seluler baik di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi, bagaimana mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi S.typhi tidak diketahuo dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen S.typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar hasil virulen melewati usus setiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel pejamu.

(31)

3.1.4 Diagnosis

Diagnosis pada pasien dengan kecurigaan menderita demam typhoid, meliputi : Anamnesis  Keluhan/gejala  Riwayat sakit  Tempat tinggal  Riwayat imunisasi Pemeriksaan fisik Vital sign : a. Suhu : antara 38oC-40oC b. Nadi : meningkat c. Pernafasan ( RR ) : meningkat

d. Tekanan darah : cenderung menurun

Keadaan umum : lemah, muka kemerahan, suhu meningkat ( 38oC-41oC ) (Pemeriksaan Head to toe)

a. wajah : Pucat b. Mata : Cowong

c. Mulut : Mukosa mulut kering, kadang terdapat stomatitis, lidah kotor. d. Leher : Tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid, tenggorokan terasa sakit e. Dada : Terjadi penarikan dinding dada karena pernafasan meningkat, tidak

ada ronchi dan wezzing.

f. Abdomen : nyeri tekan pada perut, kembung, terdapat bising usus, mual muntah, anoreksia, konstipasi dan diare.

g. Genetalia : Pasien mengeluh sulit kencing h. Ekstremitas : Kulit kering, turgor menurun Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.

(32)

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.

Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).

2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri

S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan

duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall)

(33)

dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.6 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

(34)

3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme

immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA);

dan (5) pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

3.1 UJI WIDAL

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. 2,11

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.13

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40

(35)

dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.9

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,13

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi

(cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan

titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.2,8 Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.10

3.2 TES TUBEX®

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.4

(36)

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.4 Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.15 3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.17 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.9

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal

(37)

positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.4

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 2 3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S.

typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.

Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 9,26

(38)

3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.

typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung

antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human

immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan

komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.21,22

4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara

polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik

untuk S. typhi.23

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.24 Penelitian lain

(39)

oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).25

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. 2,23

3.1.5 Penatalaksanaan

 Trilogi penatalaksanaan demam typhoid:

1) Istirahat dan perawatan, mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.

2) Diet dan terapi penunjang, mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.Penderita diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya nasi, yang diberikan sesuai tingkat kesembuhan pasien. hal ini dilakukan untuk menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.

3) Pemberian anti mikroba, seperti :  Kloramfenikol

Dosis yang diberikan 4 x 500 gram per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.  Tiamfenikol

Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke 5 sampai 6

 Kotrimoksazol

Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprim 80 mg), diberikan hingga 2 minggu

(40)

 Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan menurunkan demam lebih rendah dari kloramfenikol, diberikan 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.

 Sefalosporin generasi ke 3

Yang efektif adalah seftriakson dengan dosis 3-4 gam dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari selama 3-5 hari.  Golongan fluorokuinolon

- Norfloksasin dosis 2x 400 mg/hari selama 14 hari - Siprofloksasin dosis 2x 500 mg/hari selama 6 hari - Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari - Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari - Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

 Azitromisin, dosis 2 x 500 mg, mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, mengurangi angka relaps, ideal untuk pengobatan infeksi kuman intraseluler (S. typhi), tersedia dalam bentuk oral atau suntikan intravena.

 Kombinasi obat antimikroba, diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain Salmonella.

 Kortikosteroid, diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid dengan syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

3.1.6 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah: 1. Komplikasi intestinal a. Perdarahan intestinal b. Perforasi usus c. Ileus paralitik d. Pankreatitis 2. Komplikasi ekstra-intestinal

a. Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.

(41)

b. Komplikasi hematologi :anemia hemolitik,trombositopenia, KID, trombosis

c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis d. Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis

e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis. g. Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.

3.1.7 Pencegahan

Tindakan Preventif dan kontrol penularan adalah:

1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien typhoid asimtomatik, karier dan akut

Secara aktif mendatangi sasaran seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga , restoran, hotel, pabrik dan distributor.

Secara pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Berkaitan dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola saranan umum lainnya.

2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S. typhi akut maupun karier

Dilakukan di rumah sakit, klinik mauoun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui mengidap kuman S. typhi

3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi. Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah :

a) Daerah non-endemik tanpa ada kejadian out break atau epidemi.

Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan makanan-minuman

Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier Bila ada kejadian epidemi tifoid

(42)

Pemeriksaan air minum dan MCK

Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut.

b) Daerah endemik

Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 57oC, iodisasi dan klorinisasi)

Pengunjung harus minum air yang telah melalui proses pendidihan, menjauhi makanan segar (buah/sayur)

Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.

3.2 Sepsis

3.2.1 Pengertian

Adalah inflamasi sistemik yang terjadi karena adanya repon tubuh yang berlebihan terhadap infeki mikroorganisme( bakteri, virus, jamur) yang memenuhi minimal 2 kriteria SIRS ( systemic inflamatory response syndrome) a. temperatur: > 38oC atau < 36oC

b. denyut nadi > 90x/menit c. RR : > 20x/menit

d. leukosit > 12000/mm3 atau < 4000/mm3

Derajat Sepsis

1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS),ditandai dengan ≥ 2 gejala sebagai berikut:

a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C) b. Tachypneu (resp >20/menit)

c. Tachycardia (pulse >100/menit)

d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm 2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS

3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan anuria.

(43)

4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg). 5. Syok septik

Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan.

3.2.2 Etiologi

1. Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis.

2. Zat-zat pathogen dapat berupa bakteri, jamur, virus atau riketsia. Penyebab paling sering dari sepsis Escherichia Coli dan Streptococcus grup B (dengan angka kesakitan sekitar 50 – 70 %. diikuti dengan malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.

3. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.

4. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.

Zat-zat patogen penyebab sepsis, yaitu: 1. Bakteri

Bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif dapat menyebabkan sepsis namun ebih cenderung bakteri Gram negatif.

 Bakteri Gram negatif (pseudomonas, enterobacter, E. Coli, salmonella) karena mampu memicu sel imun untuk mengeluarkan zat yang berperan dalam inflamasi. Salah satunya LPS (komponen terluar membran). LPS (

endotoksin) merangsang jaringan, demam, syok pada infeksi .

LPS terdiri dari 3 lapisan:

- Antigen o, : tersusun dari 4 atu 5 monosakarida. - Core: berikatan dg lipid A

Referensi

Dokumen terkait