• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 PENAFSIRAN TEKS DALAM PERPEKTIF TEOLOGI FEMINIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 PENAFSIRAN TEKS DALAM PERPEKTIF TEOLOGI FEMINIS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB 2

PENAFSIRAN TEKS DALAM PERPEKTIF TEOLOGI FEMINIS

PENDAHULUAN

Sudah saatnya bagi perempuan untuk membaca dan menafsirkan Alkitab dari sudut pandangnya sendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman subjektifnya bersama Allah. Sistem dan budaya masa kini telah memungkinkan kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan yang layak dan dengannya membangun rekonstruksi-rekonstruksi mengenai kisah-kisah Alkitab yang sarat budaya patriarkal. Dalam rangka memberikan penghargaan terhadap perjuangan kaum feminis terhadap upaya ini, sebagian besar pemikiran mereka akan digunakan dalam bagian ini untuk menggambarkan pandangan mereka terhadap teks, bagaimana mereka memaknai teks dan model-model teologi feminis yang berkembang dari hasil pemikiran mereka. Pada akhir bagian ini, penulis akan memberikan kesimpulan untuk merangkum keseluruhan penjelasan dalam Bab ini.

1.1. Lahirnya Teologi Feminis

Gereja dibangun berdasarkan tradisi laki-laki dan sama sekali tidak memberi ruang bagi perempuan untuk berperan. Tertulianus (±160-225 ZB) mengatakan perempuan adalah pintu gerbang iblis dan akar dari semua dosa, sedangkan Hieronimus (347-420 ZB) menyimpulkan bahwa perempuan bukan saja menjadi asal-usul dosa melainkan

semua ajaran sesat sehingga perempuan sejajar dengan ajaran sesat.1 Thomas Aquinas

(1225-1274 ZB) menyatakan bahwa hanya laki-laki yang segambar dengan Allah dan

1

(2)

10

perempuan hanya mencerminkan Allah sejauh ia bersama dengan laki-laki.2 Lebih

ekstrim lagi perempuan bahkan dianggap sebagai makhluk yang berbeda dari laki-laki

sehingga tidak layak disebut sebagai manusia.3

Keprihatinan terhadap posisi perempuan, tekad untuk menyuarakan perempuan serta usaha untuk merefleksikan iman dari sudut pandang dan pengalaman kaum perempuan telah melahirkan perjuangan perempuan yang disebut gerakan feminis. Usaha ini pertama kali diperkenalkan oleh Christine de Pizan untuk upaya pembebasan kaum perempuan dari penindasan dengan mengindahkan pengalamannya sendiri, bersikap kritis terhadapnya, menganalisa sikap dan perilaku yang diarahkan pada dirinya sebagai perempuan dan menemukan makna baru menjadi seorang perempuan. Baru pada tahun 1882 istilah feminis diperkenalkan oleh Hubertina Auclret untuk

menyebut perjuangan kaum perempuan dalam memperoleh hak politik di Prancis.4

Perjuangan seperti ini menginspirasi banyak orang untuk terjun ke dalam gerakan feminis, dikalangan Kristen dikenal beberapa teolog feminis yang pemikirannya digunakan dalam tulisan ini, seperti Rosemary Radford Ruether, Anne M Clifford, Elizabeth Cady Stanton, Marie Claire Barth-Frommel, Elizabeth Schüssier Fiorenza, Letty M Ruessel, dan Katharina Doob Sakenfeld. Teolog-teolog feminis ini lahir dari aliran teologi feminis reformis yang meskipun mengakui bahwa tradisi kristen adalah tradisi laki-laki (patriarkal), masih tetap bertahan di dalam gereja mengusahakan cara pandang yang baru terhadap tradisi dengan keyakinan bahwa tradisi ini mengandung unsur-unsur pebebasan yang kuat. Aliran ini sangat bertolak belakang dengan

2

Marie Claire Barth-Frommel. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, Pengantar Teologi Feminis. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 8

3Anne M Clifford. Memperkenalkan Teologi Feminis. (Maumere: Ledalero, 2002), 14-15 4 Clifford, Memperkenalkan, 17.

(3)

11

pemahaman aliran teologi feminis revolusioner yang memilih meninggalkan gereja dan

beralih pada agama para dewi.5

1.2. Definisi Teologi Feminis Menurut Para Ahli

Dalam sejarahnya, teologi feminis seringkali digambarkan sebagai usaha untuk mengembalikan perempuan kepada sejarah dan sejarah kepada perempuan. Sementara sebagian teks Perjanjian Baru mendiamkan perempuan, teologi feminis berusaha menemukan suara perempuan di dalam teks-teks yang ditulis oleh perempuan dan

membaca berbagai teks tentang perempuan yang ditulis oleh laki-laki.6 Teologi feminis

ini tidak saja dibangun oleh perempuan tetapi juga oleh laki-laki yang ingin perempuan dijadikan subjek bukan objek, oleh perempuan yang sedang berusaha mencari sejarah dan jati diri dan tidak bersedia menyamakan dirinya dengan laki-laki, yang berusaha membebaskan dirinya dari pola-pola lama yang membelenggu yang ditentukan oleh

laki-laki.7 Karena itu, beberapa ahli mendefinisikan teologi feminis dalam beberapa

pengertian. Anne M Clifford mendefinisikannya sebagai sebuah wawasan sosial yang berakar pada pengalaman kaum perempuan menyangkut diskriminasi dan penindasan oleh karena jenis kelamin, gerakan yang memperjuangkan pembebasan bagi kaum perempuan dari semua bentuk seksisme dengan memperhatikan pengalaman relasi

kaum perempuan dengan Allah.8 Anna Nasimiyu-Wasika yang dikutip Marie Claire

Barth-Frommel mengatakan bahwa feminisme menuju suatu masyarakat yang di

dalamnya semua orang mampu mewujudkan keutuhan hidupnya.9 Di sisi lain, Phyllis

Trible mendefinisikannya tidak saja sebagai sebuah kritik terhadap budaya dalam terang

5 Elizabeth A Johnson. Kristologi di Mata Kaum Feminis. (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 120-121 6

Mary T Malone. Women and Christianity. (New Year: Orbis Books, 2001) 31-32

7

Barth-Frommel, Hati, 12.

8 Clifford, Memperkenalkan, 28-29. 9

(4)

12

misogini (pembenci perempuan) melainkan juga melibatkan kritik teologis.10 Rosemary R. Ruether menekankan prinsip teologi feminis, yakni the full humanity of women,

perempuan menuntut prinsip kemanusiaan penuh bagi dirinya sendiri.11 Baginya,

feminisme adalah sebuah sikap kritis yang menentang paradigma gender patriarkal bahwa laki-laki dengan karakteristik manusianya lebih unggul dan dominan (rasionalitas, kekuasaan) dan perempuan didefinisikan sebagai inferior dan tambahan (intuisi, pasif). Kebanyakan teolog feminis merekonstruksi paradigma gender agar

perempuan dapat terlibat secara penuh dan setara dalam peran kemanusiaan.12 Dalam

rangka mencapai tujuan dalam semua definisi ini, para teolog feminis telah berupaya membangun teologi feminis berdasarkan pemahaman dan metodenya masing-masing. Ruether dengan lingkaran hemeneutik, Elisabeth Schüssier Fiorenza dengan hermeneutik feminis, Stanton dengan The Woman’s Bible dan Trible dengan penafsiran retorik.

1.3. Cara Pandang Terhadap Teks

Anne Clifford dalam bukunya mengemukakan tiga cara pandang utama orang Kristen terhadap Alkitab. Pertama, sebagai firman Allah, berada di luar kemampun nalar insani sehingga harus diterima tanpa syarat. Dalam cara pandang ini, modifikasi terhadap Alkitab sama sekali tidak diperbolehkan. Kedua, Alkitab merupakan wahyu ilahi dalam rekaman manusia yang ditulis di masa lalu oleh orang-orang yang bergumul tentang persoalan hidup dan iman. Alkitab diterima sebagai firman Allah tetapi diberi makna baru. Ketiga, kelompok orang yang bingung menentukan sikap terhadap

10 Schüssier Fiorenza, Untuk Mengenang, 43.

11

Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology (Boston:Beacon Press, 1983) 18-19

12

Susan Frank Parsons. The Cambridge Companion to Feminist Theology. (New York: Cambridge University Press, 2004), 26

(5)

13

Alkitab.13 Dari tiga cara pandang ini, para teolog feminis reformis menempatkan diri

pada cara pandang yang kedua.

Berdiri pada posisi kedua ini, para teolog feminis reformis mengembangkan dengan bebas pandangannya terhadap teks Alkitab dan dengannya membangun metode-metode untuk rekonstruksi teks. Clifford terutama melihat teks Alkitab sebagai teks kuno yang ditulis selama beberapa abad yang berbeda, di tempat berbeda, oleh para pengarang yang berbeda untuk tujuan yang berbeda juga yang membentuk sebuah

perpustakaan teks-teks religius.14 Schüssier Fiorenza dan Stanton hampir senada dalam

memandang teks. Teks Alkitab dilihat sebagai teks androsentrik yang tidak hanya ditulis untuk kepentingan laki-laki, ditafsirkan dari perspektif laki-laki tetapi juga buatan manusia sebagai bentuk ekspresi dari kebudayaan patriarkal. Ia merupakan penyataan ilahi yang diungkapkan dalam bahasa manusia yang terbatas secara historis dan terkondisi secara budaya. Stanton lebih jauh meneliti ajaran teks Alkitab mengenai perempuan, dengan sangat radikal ia menunjuk pada wajah androsentrik Alkitab untuk membuktikan bahwa teks-teks yang membenci perempuan bukanlah firman Allah melainkan dari kaum lelaki, Alkitab tidak saja salah dibaca tetapi pada dirinya sendiri adalah produk seksisme dan Stanton membayangkan teologi feminis dan emansipasi

etik darinya.15 Sedangkan Schüssier Fiorenza lebih menaruh perhatian pada

kebisuan-kebisuan teks tentang perempuan. Teks-teks androsentrik tidak dilihat sebagai data yang informatif dan laporan yang akurat melainkan harus membaca „kebisuan-kebisuan‟ teks sebagai realitas yang tidak diungkapkan teks. Untuk tujuan ini dibutuhkan metode kritis feminis seperti seorang detektif yang tidak semata-mata menggunakan hanya fakta-fakta

13 Clifford, Memperkenalkan, 84-85. 14 Clifford, Memperkenalkan, 87-88. 15

(6)

14

sejarah atau mereka-reka bukti tetapi terlibat dalam rekonstruksi imajinasi kreatif tentang realitas historis karena tidak jarang realitas yang sebenarnya terjadi adalah yang

bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan teks.16

Letty M. Russel memahami Alkitab sebagai kabar baik, tulisan rahasia karena berfungsi sebagai tulisan atau semangat hidup, yakni undangan Tuhan untuk bergabung dalam pemulihan keutuhan, kedamaian, keadilan di dunia. Bersama Schüssier Fiorenza, Russel yakin bahwa Alkitab memberikan sebuah bentuk dasar bagi kisah hidupnya yang membentuk pengalaman emosional dan ajakan transformasi. Russel percaya bahwa di mata Tuhan ia bukanlah marginal tetapi seperti orang kulit hitam dan hispanik ia adalah ciptaan Allah dan terpanggil pada janji Alkitab untuk menjadi seperti yang Tuhan

inginkan, yakni menjadi rekan dalam pemulihan ciptaan.17

Trible memilih untuk memusatkan perhatian pada teks Alkitab dan menolak usaha apapun untuk membedakan teks dari tradisi, bentuk dan isi secara metodologis dan menekankan pada struktur teks Alkitab. Baginya, Alkitab adalah seorang pengembara yang berkenala melalui sejarah untuk menggabungkan masa lampau dan masa kini dan suara Allah identik dengan teks Alkitab. Untuk menemukan niat Allah, ia harus „mendengarkan‟ dan menafsirkan teks seakurat mungkin dan ia memilih metode

penafsiran kritik retorik untuk memusatkan perhatian pada gerak teks.18 Cara pandang

terhadap teks ini memungkinkan beragam metodologi dari para teolog feminis ini untuk melakukan rekonstruksi.

16 Schüssier Fiorenza, Untuk Mengenang, 33-36.

17 Letty M Russel. Feminist Interpretation of the Bible. (Philadelpia: The Westminster Press, 1985),

137-138

(7)

15

1.4. Memaknai Teks

Katharina Doob Sakenfeld memperkenalkan tiga pendekatan bagaimana seorang feminis harus membaca Alkitab, pertama, memperhatikan nas Alkitab yang bertentangan dengan nas yang biasa dipakai untuk membatasi perempuan, kedua, memperhatikan seluruh Alkitab untuk memperoleh suatu perspektif teologis yang kritis terhadap patriarki, ketiga, memperhatikan naskah tentang perempuan dari sejarah dan cerita perempuan (dulu/kini) yang hidup dalam suatu lingkungan masyarakat patriarkal.19

Schüssier Fiorenza mengusulkan hal yang lain. Melihat kenyataan bahwa pada satu sisi teks-teks Alkitab bersifat androsentrik dan di sisi lain teks-teks ini menjadi sumber kekuatan bagi perempuan untuk menemukan uraian historis yang hilang dan menentukan realitas kehidupan yang seharusnya bagi perempuan baik dalam pengalaman yang sebenarnya pada masa Alkitab maupun pengalaman masa kini, ia menegaskan betapa metode hermeneutik kecurigaan dan hermeneutik kenangan adalah

suatu kebutuhan mendesak terhadap teks-teks Alkitab.20 Clifford menerapkan

metodologi yang dikemukakan oleh Fiorenza dalam analisis empat tahap pembentukan Alkitab, yakni pengalaman akan penyingkapan diri Allah yang selama ini hanya terbatas pada pengalaman kaum laki-laki, pengulangan secara lisan kisah-kisah komunal, yang diklaim hanya diceritakan oleh kaum laki-laki, kenyataan bahwa perempuan tidak pernah mengangkat pena untuk menulis dan menyunting teks-teks Alkitab serta kanon Alkitab yang merupakan hasil dari proses manusiawi yang panjang dan rumit dan sarat

19 Russel, Feminist, 56.

(8)

16

akan kisah subordinasi kaum perempuan yang diklaim berasal dari Allah.21 Dalam

tahap-tahap ini ia memperlihatkan keandrosentrikan teks Alkitab sekaligus peluang besar untuk melihat realitas historis teks Alkitab.

Ruether menekankan bahwa kanon Alkitab merupakan langkah pertama untuk mencari akar pengalaman perempuan yang termarginalkan dalam tradisi gereja dan

teologi tradisional dalam rangkan membangun teologi feminis.22 Usaha yang juga

digeluti Schüssier Fiorenza dengan menaruh perhatian yang besar terhadap

kepemimpinan perempuan dalam sejarah kekristenan awal dan bagaimana membaca teks-teks yang mendiamkan kaum ini. Ia menggunakan metodologi hermeneutik

feminis23 yakni hermeneutik kecurigaan dan hermeneutik kenangan. Hermeneutik

kecurigaan feminis membangkitkan semangat yang menuntut seseorang untuk turut mempertimbangkan pengaruh dari berbagai peran dan pola sikap menyangkut jenis kelamin yang ditentukan secara kultural terhadap Alkitab. Titik tolaknya adalah pengandaian bahwa patriarkat secara mendalam berdampak atas teks-teks Alkitab dan tafsiran-tafsiran atasnya di dalam tradisi Kristen yang mencakup bagaimana teks-teks Alkitab memeperlakukan perempuan di dalam berbagai penuturan kisahnya dan sama sekali mengabaikan pengalaman perempuan tidak saja mengenai apa yang dikatakan tetapi juga apa yang didiamkan mengenai kaum ini. Sedangkan hermeneutik kenangan merupakan sisi lain dari hermeneutik feminis yang mengakui perendahan martabat, pembuangan, penganiayaan dan perbudakan masa lampau yang dialami oleh kaum perempuan dan menjadikan pengalaman-pengalaman tersebut sebagai kenangan yang berbahaya guna menyediakan khazanah yang kaya bagi kita saat ini untuk merancang

21 Anne Clifford, Memperkenalkan, 95-105.

22

Ruether, Sexism, 14

23 Hermeneutik feminis mengacu pada teori, seni, dan praktek penafsiran alkitabiah dan teks luar Alkitab

(9)

17

sebuah teologi zaman ini yang menyembuhkan penderitaan dan kemerdekaan dalam perjuangan. Sejalan dengan ini maka aturan-aturan metodologis berikut ini sangat

diperlukan.24 Pertama, teks-teks dan sumber-sumber historis Yahudi maupun Kristen

harus dibaca sebagai teks-teks androsentrik. Kedua, pengagungan maupun penghinaan atau marginalisasi perempuan dalam teks-teks Yahudi harus dipahami sebagai bangunan realitas sosial dalam pengertian patriarkal atau sebagai proyeksi tentang realitas lelaki.

Ketiga, kanon-kanon resmi dari hukum patriarkal yang dikodifikasikan pada umumnya

lebih membatasi dibandingkan dengan interaksi dan hubungan yang sesungguhnya antara perempuan dan laki-laki dan realitas sosial yang diaturnya. Keempat, status sosial-keagamaan perempuan yang sesungguhnya harus ditentukan melalui tingkatan onotomi ekonomi dan peranan-peranan sosial mereka daripada oleh pernyataan-pernyataan ideologis ataupun apa yang seharusnya. Dengan demikian penafsiran feminis bertugas menempatkan semua perempuan di tengah-tengah rekonstruksi-rekonstruksi historis sebagai tanggapan-tanggapan perempuan terhadap perubahan-perubahan sosial yang mempengaruhi hidup mereka, serta di tengah-tengah upaya perempuan untuk mentransformasikan dan mengubah struktur-struktur dan pranata-pranata kemasyarakatan.

Mengikuti Schüssier Fiorenza, Trible menggunakan hermeneutik feminis untuk

terlibat dalam sebuah analisis literer (membaca secara teliti teks Alkitab) dan memberi perhatian yang cermat terhadap kata-kata dan tema-temanya. Pembacaan kembali berciri retoris dan penerapan hermeneutik kecurigaan dan kenangan ini menolongnya memberikan sebuah tafsiran rekonstruktif dengan peluang kebebasan, seperti tafsiran

(10)

18

baru terhadap Kej 2:4b-3:24.25 Sementara itu, Ruether lebih tertarik pada pengalaman

unik perempuan (women’s experiences) dengan berpatokan pada tiga pokok utama dalam bukunya Sexism and God-Talk, metodologi feminisme, sumber-sumber teologi feminis dan norma-norma feminis. Metodologi yang digunakan adalah metode

Lingkaran Hermeneutik26, yakni suatu metode untuk memberi pengertian baru terhadap

suatu artikulasi pengalaman yang sedang diteliti dan diperbaharui.27 Metode ini

digunakan untuk menguji pengalaman unik perempuan yang merupakan kekuatan bagi teori kritis untuk menguji teologi tradisional dan tradisi-tradisi gereja. Kriteria pengalamannya adalah pengalaman perempuan berdasarkan pengalaman dalam tradisi laki-laki, pengalaman laki-laki yang telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang mengadopsinya, pengalaman universal, pengalaman penuh laki-laki dan perempuan setara dalam pengertian hukum. Manusia bukan hanya diukur dan diisi oleh pengalaman imajinasi laki-laki saja tetapi keduanya, laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi subjek dalam pembentukan kualitas manusia. Ruether membuat hal ini penting karena ia menentukan posisi, prinsip norma dan sumber teologi sebagai pijakan untuk melihat pengalaman unik perempuan dalam tradisi. Metode-metode ini akan coba dikombinasikan sedemikian rupa dan diterapkan dalam rangka membangun rekonstruksi teks Alkitab dan pemuridan yang sederajat oleh Yesus Kristus yang menjadi tujuan utama tulisan ini.

25

Clifford, Memperkenalkan, 111-119

26

Metode ini terdiri dari empat tahap: penggambaran tentang pengalaman, menganalisis pengalaman dengan memakai ilmu-ilmu sosial, refleksi teologi dan tindakan.

27 Andri Budinugroho, “Mengantar Teologi Feminis Asia Berbicara di Panggung Dunia,” diunduh tanggal

(11)

19

1.5. Langkah-Langkah Studi Hermeneutik Feminis

Berdasarkan berbagai macam cara pandang, pemaknaan, dan metode yang dikembangkan dalam upaya melakukan rekonstruksi teks-teks Alkitab, maka penulis merasa perlu untuk menentukan langkah-langkah dalam melakukan suatu studi hermeneutic feminis terhadap teks Yoh 20:11-18. Untuk tujuan ini, penulis berusaha mengkombinasikan berbagai metode yang sudah disebutkan di atas dengan tujuan yang ingin dicapai dari tulisan ini.

1.5.1. Teks Yoh 20:11-18 merupakan sebuah tulisan hasil refleksi penulis terhadap

apa yang disaksikannya dan ia menulis hanya sebagian kecil yang menurutnya penting untuk disampaikan. Sepenggal kisah ini akan menjadi pintu masuk untuk melihat gunung es yang tersembunyi di bawah realitas historis yang nampak dari teks.

1.5.2. Teks ini adalah produk budaya patriarkal dan ia memperolah bias-bias

patriarkal

1.5.3. Studi hermeneutik feminis terhadap teks dengan menerapkan metode

hermeneutik kecurigaan dari Schüssier Fiorenza dengan memperhatikan kriteria pengalaman menurut Ruether

1.5.4. Merekonstruksi model pemuridan yang sederajat dari kisah Maria Magdalena

dalam teks Yoh 20:11-18 berdasarkan hasil studi hermeneutik feminis yang telah dilakukan.

KESIMPULAN

Lahirnya teologi feminis telah memberikan perspektif baru bagi perempuan dan akhir perjuangan yang melegahkan bahwa penindasan yang dialami oleh perempuan

(12)

20

tidak pernah berasal dari Allah melainkan dari budaya patriarkal. Perjuangan yang diawali oleh Christine de Pizan diikuti oleh para teolog feminis akhirnya menghantar tulisan ini pada kekayaan metode yang digunakan para teolog feminis. Berbagai pendekatan yang dikemukakan oleh Elizabeth Cady Stanton, Anne M Clifford, Elisabeth Schüssier Fiorenza, Letty M Russell, Rosemary R Ruether dan Phyllis Trible merupakan jalan masuk untuk melakukan rekonstruksi terhadap teks-teks Alkitab dan memberikan sinyal perlunya bertahan pada tradisi kekristenan dengan pembaharuan-pembaharuan paradigma terhadap teks Alkitab dan realitas historis mengenai perempuan.

Referensi

Dokumen terkait