• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Peacekeeping Operation African Union Mission In Sudan (AMIS) & UN African Union Mission In Darfur (UNAMID)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektifitas Peacekeeping Operation African Union Mission In Sudan (AMIS) & UN African Union Mission In Darfur (UNAMID)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Efektifitas Peacekeeping Operation

African Union Mission In Sudan (AMIS)

& UN – African Union Mission In Darfur (UNAMID)

Aditya Noer Cakranegara 211000044

ABSTRACT

The United Nations (UN) was created to create harmony and balance throughout the international world. To pursue that purpose, UN has created various bodies and institutions, including Peacekeeping Operations (PKO) to guard world peace. Africa has always been in UNs’ radar because of the number of conflicts, especially the intra-state conflicts. After cold war has ended, the quantity of those intra-state conflicts had been rapidly increasing with enormous casualties, both in the side of the government and rebels. What’s more displeasuring, the civilians are standing in the middle of it as an innocent side, with thousands of dead bodies on their side. PKOs were deployed, and yet the conflicts still remain. This writing is made to analyze the challenges that PKOs have been faced, and at the same time what should’ve been done. With Kumar’s peace constituency theory, I notice a few challenges that every regional PKO faces: (1) government-building measures should be the top mandate and (2) every non-state actors that took part in the conflicts had to be included in every strategic solutions made. In this writing, the efficacy and efficiency between UNs’ PKOs and regional PKOs are going to be analyzed. Furthermore, we need to understand that PKOs are actions taken when a conflict is happening, when peacebuilding is the actions after the conflict have been dealt with.

Keyword: United Nations, PKO, Peacekeeping, Operations, Africa, intra-state, conflicts, civil, war

Salah satu tujuan penciptaan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB/UN) sebagai organisasi antar pemerintahan adalah untuk mencegah meletusnya perang seperti Perang Dunia I dan II. Untuk itu dibentuklah berbagai mekanisme seperti Dewan Keamanan yang menggunakan metode kolektif kolegia dalam menentukan keputusan. Yang menjabat sebagai kepala sekretariat PBB disebut sebagai Sekretaris Jenderal (SekJen), dipilih berdasarkan mandat lima tahun sekali untuk berperan sebagai ‘world moderator’1. Untuk membantu peran

SekJen PBB dalam menjalankan fungsi PBB, dibuat berbagai badan dibawahnya seperti

International Court of Justice (ICJ), UN Economic and Social Council (ECOSOC), dan

1World Moderator adalah sebutan yang digunakan oleh Franklin D. Roosevelt untuk menggambarkan peran

(2)

organisasi seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Health Organization

(WHO). Bergerak di bidang yang berbeda – beda, badan – badan tersebut berfungsi sebagai kepanjangan tangan PBB.

Pada saat Perang Dingin terjadi, tidak lama setelah terbentuk, PBB ikut serta dalam resolusi konflik di Timur Tengah, antara negeri Arab dan Israel. Pada tahun 1947, PBB memberikan solusi berbentuk Partition Plan untuk Israel dan Palestina, meskipun belum berhasil menghentikan perselisihan antara kaum Yahudi dan Arab. Personil PBB saat itu hanya mendapatkan mandat untuk menganalisa dan memonitori keadaan di Palestina dalam operasi UN Truce Supervision Organization dan UN Military Observer Group in India and Pakistan. Setelah itu, operasi bersenjata UN melalui United Nations Emergency Force

(UNEF) dilakukan pertama kali untuk merespon krisis di Terusan Suez pada tahun 1956. Ide untuk mengirimkan personil ke pusat konflik disampaikan oleh Leaster Pearson, seorang diplomat Kanada. Menurut Pearson, berkembang menjadi Peacekeeping Operations (PKO).

Peacekeeping Operation (PKO) adalah aktifitas PBB untuk menjaga perdamaian di pusat – pusat konflik dunia dengan menempatkan personil militer untuk melaksanakan fungsi observasi, perlindungan, dan penyelamatan.2 Didalam piagam PBB bab enam, disebutkan bahwa Dewan Keamanan memiliki kewajiban untuk menyelesaikan konflik yang mengancam keamanan dan kedamaian internasional.3 Selain itu, bab tujuh dan delapan dari piagam tersebut menyebutkan tindakan – tindakan apa saja yang dapat diambil untuk merespon konnflik di lapangan. Saat PBB melaksanakan PKO, International Human Rights Law dan

International Humanitarian Law menjadi dasar setiap operasi yang berjalan.4 Keduanya membatasi aktifitas yang dilaksanakan oleh personil di lapangan, seperti target penyerangan, jenis senjata yang digunakan, hingga perlakuan kepada tawanan perang. Karena itu, aktifitas

peacekeeping berpusat pada usaha – usaha di lapangan, dimana pusat konflik (yang biasanya muncul baku tembak) terjadi.

Ada tiga elemen yang menjadi prinsip dasar pelaksanaan PKO, yaitu consent of the parties, impartiality, dan self-defence. Agar solusi dapat berfungsi dengan baik, maka

2Civil Affairs Handbook, New York: United Nations Department of Peacekeeping Operations, 2012, hlm. 13 3 UN Charter - Bab VI

4International Human Rights Law adalah hukum yang menjadi dasar – dasar hak asasi manusia seperti hak untuk

berbicara, hak untuk dilindungi, dan hak untuk kewarganegaraan. International Humanitarian Law adalah hukum yang membatasi aktifitas disaat perang terjadi.

(3)

komitmen dari seluruh pihak yang bertikai wajib adalah hal yang krusial. Komitmen tersebut memberikan ruang bagi PKO yang dilaksanakan di lapangan dapat beroperasi dengan efektif sebagai pihak netral dibanding pihak ketiga. Untuk mendapatkan komitmen tersebut maka para personil PKO yang bertugas di lapangan harus menunjukkan netralitas sebagai citra utamanya. Itu membuktikan bahwa PBB datang membawa kepentingan kedamaian dibanding mendukung salah satu pihak. Sejak saat pengiriman pasukan peacekeeping PBB di tahun 1956, penggunaan senjata menjadi usaha terakhir setelah seluruh usaha soft diplomacy selesai dilaksanakan. Penggunaan senjatapun menjadi aktifitas yang menggunakan jargon self-defence. Ketiganya adalah nilai yang saling mendukung sehingga satu tidak bisa berdiri tanpa yang lain ditegakkan.5

Kuantitas PKO mulai meningkat drastis pasca berakhirnya Perang Dingin. Ketegangan antara blok Barat dan blok Timur memunculkan beberapa proxy wars seperti perang Vietnam dan perang Korea. Pada saat ini, konflik yang bermunculan kebanyakan adalah inter-state

sehingga jelas pembagian pihak yang bertikai. Contohnya adalah di tahun 1960 dilaksanakan

Opération des Nations unies au Congo (ONUC) yang bertujuan untuk membantu Republik Kongo melakukan dekolonialisasi dari Belgium. Di saat akhir Perang Dingin, kuantitas PKO melonjak tinggi untuk merespon konflik hingga 20 misi dilancarkan antara 1989 – 1994.6 Dengan bertambahnya negara demokrasi yang baru seperti Indonesia, Rwanda, Liberia, Yugoslavia dan lainnya, konflik mulai merambat dari “tradisional” dan “multidimensional”.7

Disebut multidimensional karena banyak terjadi perang saudara di negara benua Afrika dan Asia. Tugas yang tadinya hanya sebatas observasi lapangan mulai bertambah menjadi pelaksanaan, pembuatan, dan penjagaan peace agreements. Fokus PBB dalam menjaga perdamaian dunia mulai bertambah dalam konteks dimensi, karena kemunculan banyak konflik inter-state.

Respon yang muncul dari jumlah PKO dan konflik yang bertambah banyak ini adalah PKO regional. untuk organisasi regional seperti African Union (AU) dan European Union

(EU), mereka berada lebih dekat dengan pusat konflik dibanding PBB yang pusat

5Civil Affairs Handbook, New York: United Nations Department of Peacekeeping Operations, 2012, hlm. 14 6 Post Cold-War surge, United Nations Peacekeeping, Diakses pada 14 Juni 2015 pukul 16.42 WIB,

http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/surge.shtml

7Handbook on United Nations Multidimensional Peacekeeping Operations, New York: United Nations

(4)

administrasinya berada di Amerika Serikat. Selain itu, pemahaman yang dalam terhadap daerah serta kultur yang ada didalam area pengawasannya akan menjadi kekuatan utama dalam melaksanakan misi perdamaian. Sejauh ini, hal ini disetujui oleh PBB dalam bentuk izin untuk melakukan beberapa PKO, seperti AMIS di Sudan, ECOWAS di Liberia, dan

Indian Peacekeeping di Sri Lanka.8 Organisasi tersebut wajib mendapatkan izin dari Dewan Keamanan (DK) PBB terlebih dahulu untuk dapat melakukan PKO di area – area konflik. Contohnya adalah resolusi 1809 tahun 2008, saat DK PBB memberikan izin kepada AU untuk tetap melaksanakan PKO di daerah – daerah konflik seperti Sudan dan Burundi.9

Sebagai daerah yang rawan konflik tersebut, Afrika adalah daerah yang masuk didalam radar pengawasan utama PBB untuk pelaksanaan PKO. Sejak berakhirnya zaman kolonialisme, ada banyak konflik bersenjata yang terjadi di Afrika pada tahun 1990an. Justru yang paling menonjol adalah intra-state conflicts dibanding inter-state conflicts.10 Semenjak 1945 hingga sekarang, jumlah misi PKO di benua Afrika berjumlah 30 misi, hampir setengah dari total PKO yang dilaksanakan oleh PBB. Dibandingkan dengan benua lain, jumlah intra-state conflicts yang terjadi di Afrika juga jauh lebih banyak seperti seperti perang sipil di Pantai Gading, Liberia, Sudan, dan Mali. Saat negara kolonial meninggalkan daratan Afrika di akhir Perang Dingin, tidak ada jejak edukasi yang ditinggalakan tentang bagaimana mengatur etnis dan kultur yang jumlah yang banyak. Menurut Richard Robbins, profesor antropologi dari State University of New York mengatakan bahwa Kanada membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menjaga hubungan antara dua bahasa – Inggris dan Perancis – dengan hasil yang dapat dikatakan belum ‘sempurna’.11 Sehingga dengan asumsi yang sama, Afrika yang

memiliki puluhan etnis dan bahasa yang berbeda meskipun berada di tanah yang sama, akan memiliki kompleksitas yang jauh berbeda dalam proses harmonisasi perbedaan tersebut. Tidak heran apabila muncul gesekan – gesekan bahkan dalam negara yang sama, karena perbedaaan yang terlalu banyak menjadi halangan utama dalam membangun sebuah negara.

Sudan adalah salah satu negara yang mengalami konflik berkepanjangan di benua Afrika. Perang saudara di Sudan mulai pada tahun 1955 hingga 1972, saat pemberontak dari

8 Walter Dorn, Regional Peacekeeping is Not The Way, Peacekeeping & International Relations vol. 2, Iss 3/4,

1998, hlm. 1

9UNSC resolution 1809

10 Debay Tadesse, Peacekeeping successes and failures in Africa, Reliefweb 29 April 2009, diakses dari

http://reliefweb.int/report/angola/peacekeeping-successes-and-failures-africa pada 14 Juni 2015 pukul 17.09 WIB

(5)

Selatan Sudan meminta pemerintahannya untuk memberikan otonomi khusus bagi mereka. Konflik ini berakhir dengan di keluarkannya perjanjian Addis Ababa oleh pemerintah Sudan. Pada tahun 1983 pecahlah perang saudara kedua, dikarenakan akan diberlakukannya hukum Shariah oleh Presiden Jaafar Nimairi hingga pada akhirnya pada tahun 2011 resmi didirikan negara Sudan Selatan. Untuk Sudan sendiri, konflik tidak berakhir sampai disitu. Di tahun 2003, Sudan Liberation Movement (SLM) dan Justice and Equality Movement (JEM) memerangi pemerintahan Sudan karena dianggap telah melakukan tindakan opresif terhadap penduduk non – Arab. Pemerintahan yang dipimpin oleh mantan Komandan Garnisun Pasukan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces / SAF) Omar Al – Bashir pada saat itu melakukan tindakan genosida yang memberantas kaum non – Arab Sudan. Di tahun 2011 juga muncul kegaduhan di Kurdufan Selatan hingga Nil Biru karena pemerintah pusat mencabut posisi Gubernur Malik Agar yang merupakan tokoh politik Sudan People’s Liberation

Movement-North (SPLM-N). Kejadian ini memicu baku tembak antara SAF dan SPLM-N hingga saat ini, dengan perkiraan korban yang berjatuhan hingga 1,500 korban jiwa dari kedua pihak. Konflik – konflik yang pelik ini menandakan dibutuhkannya langkah solutif untuk mencegah korban yang berkelanjutan, dimana salah satu langkahnya adalah dilakukan PKO.

Dari beberapa PKO yang dilancarkan di Sudan, ada dua yang menjadi analisa utama tulisan ini : African Union Mission In Sudan (AMIS) & UN – African Union Mission In Darfur (UNAMID). Dari keseluruhan konflik yang terjadi di Sudan, Darfur adalah area yang menimbulkan korban jiwa terbanyak dari pihak PBB, militer Sudan, maupun warga sipil. AMIS adalah misi perdamaian yang dilaksanakan oleh African Union (AU) pada tahun 2004 dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB. Dalam resolusi DK PBB 1564, mandat yang diberikan kepada AMIS adalah untuk melakukan ‘koordinasi’ dengan situasi di Darfur. Penambahan pasukan serta persenjataan terbukti belum cukup untuk mengatasi baku tembak yang terjadi antara pihak pemerintah dan pemberontak, sehingga pada tahun 2007 dilaksanakan UNAMID sebagai pengganti AMIS. Posisi AMIS yang digantikan oleh UNAMID dapat menjadi bahan analisa tentang bagaimana kondisi di Sudan saat ini, dan pada saat yang bersamaan di Afrika.

Rupesinghe Kumar menggunakan pendekatan multi-sektoral dengan kriteria yang cocok dengan konflik yang terjadi di Darfur. Proses peace-building yang seharusnya dilakukan di daerah intra-state conflicts adalah dengan melihat seluruh faktor yang ada

(6)

dibanding menggunakan satu standar yang dianggap sama untuk seluruh jenis konflik. Proses penyelesaian konflik dan transformasinya memiliki faktor seperti geografis dan jumlah kultur, sehingga masing – masing memiliki proses serta standar yang berbeda.12

Kumar menyebutkan beberapa faktor yang perlu di perhatikan dalam membentuk sebuah ‘peace constituencies’, yaitu kepemilikan, peran, dan aktor non-negara.13 Yang dimaksud dengan kepemilikan adalah seluruh komunitas yang berada didalam bagian dari proses peacekeeping harus menjadi pemilik atas keberhasilan yang menjadi tujuan dari misi tersebut. Di kasus Darfur misalnya, maka pihak pemberontak, pemerintah, dan sipil harus mendapatkan ‘saham’ atas perdamaian yang akan dibentuk oleh PKO. Peace constituencies

yang akan terbangun juga akan merepresentasikan seluruh negara dibanding salah satu pihak. Kedua, dalah peran dari konstituen ini wajib dimunculkan pasca rekonstruksi konflik. Ketika pihak yang bertikai dan warga sipil mendapatkan peran dalam suatu PKO, maka mereka akan mendapatkan rasa kepemilikan atas apa yang diperjuangkan di negara tersebut. Bentuk

transfer of power antara PKO dan peace constituencies adalah bentuk pemberian peran yang membantu proses pembangunan negara pasca konflik. Ketiga, aktor non-negara harus berada didalam peace constituencies sebuah intra-state conflicts. Mengapa? Karena masih ada banyak kasus membuktikan pejabat negara melaksanakan tidak menunjukkan sikap serta aktifitas yang merepresentasikan rakyatnya. PKO pantang memiliki mendukung salah satu pihak didalam tindakannya, sehingga wajib mengajak seluruh pihak didalam pembentukan

peace agreement, operasi militernya, dan seluruh bentuk aktifitas di lapangan.

Secara kesimpulan, ada beberapa bagian yang menurut Kumar adalah krusial didalam proses perdamaian konflik intra-state:14

Understanding root causes

Ownership of the peace process

Identifying all the actors

Identifying facilitators

Evaluating success and failure

The role of outside peacemakers

The role of local peacemakers

12 Rupesinghe Kumar, Conflict Transformation, Palgrave Macmillan, 1995 ; hlm. 26 13Ibid

(7)

Elemen – elemen yang disampaikan Kumar adalah hal – hal yang hanya dapat didapat dengan menganalisa kondisi di lapangan, bukan suatu standar yang dapat disamakan untuk setiap jenis konflik. Memahami elemen tersebut adalah kriteria dari PKO yang baik, karena sifatnya yang fleksibel. Setiap konflik memiliki alasan yang berbeda dengan konstituen yang berbeda. Dengan demikian, untuk konflik di Darfur yang memiliki banyak faktor seperti kultur, budaya, dan suku, model ini cocok untuk diterapkan.

Perang Darfur (2003 – 2014)

Daerah Darfur di Sudan adalah area yang memiliki mayoritas penduduknya Islam, bahkan sebelum berdirinya Republik Sudan. Sejak abad ke 14, sudah ada kesultanan yang berdiri di tanah Darfur hingga kedatangan kolonial Inggris. Di awal tahun 1972, kekeringan di Darfur membuat peternak non-Arab dan keturunan Arab berebut lahan untuk bercocok tanam. Hal ini terjadi terus menerus, hingga pada kepemimpinan Sadiq al – Mahdi pada tahun 1986 membuat peternak non-Arab merasa kepentingannya dikesampingkan. Puluhan tahun kedepannya, keadaan tidak berubah banyak dan bahkan membelah Darfur menjadi tiga daerah untuk memisahkan suku – suku disana. Pemimpin dari suku Zaghawa bernama Khalil Ibrahim mendirikan Justice and Equality Movement (JEM) di tahun 2001, dan koalisi dengan suku Fur memunculkan Sudanese Liberation Army (SLA) pada tahun yang sama. Dengan kata lain, salah satu faktor utama dalam konflik di Darfur adalah pemerintahan opresif sehingga mendorong rakyat sipil untuk melawan balik.

Kelanjutan dari kemunculan JEM dan SLA adalah perang yang berkepanjangan di Darfur. Pada tahun 2003, kelompok SLA dan JEM menyerang pos polisi di daerah Golo yang disebut sebagai pembuka perang oleh pemberontak. Pada 25 Maret 2003, para pemberontak juga mengambil alih pusat garnisun di kota Tine, dekat perbatasan Chad, untuk merebut persenjataan dan ransum. Merespon hal ini, pemerintah Sudan yang dipimpin oleh al-Bashir mengancam untuk menjalankan militernya demi melawan mereka. Pada saat yang bersamaan, pasukan militer Sudan sudah dikerahkan di daerah selatan untuk mengatasi perang saudara. Pada 25 April 2003, SLA dan JEM menyerang garnisun daerah al-Fashir dengan total korban jiwa sekitar 100 orang dan 32 orang menjadi tawanan.15 Mei 2003, SLA menghancurkan garnisun kembali di daerah Kutum, menimbulkan korban jiwa sebanyak 500 orang dan

(8)

menawan 300 personil militer Sudan. Kekalahan ini menimbulkan kesan lemah bagi militer Sudan yang tidak mampu memahami medan konflik dan pada saat yang bersamaan merubah fokus misi menjadi intelijen, serangan udara, dan membentuk pasukan Janjaweed16.

Untuk membalas atas penyerangan kelompok pemberontak, pemerintah melalui kekuatan militernya menggerakan kelompok Janjaweed untuk menebarkan terror ke masyarakat non-Arab. Di tahun 2004, ribuan orang non-Arab menjadi korban pembunuhan pasukan Janjaweed, termasuk menimbulkan krisis kemanusiaan yang pelik karena banyak dari warga sipil di Darfur terpaksa menjadi pengungsi dan pencari suaka di Chad. Menurut laporan yang dikelola oleh United States Agency for International Development (USAID), kasus pemerkosaan hanya terjadi pada saat Janjaweed mulai beroperasi pada tahun 2004.17 Jumlah yang kemudian dicatat oleh USAID mencapai 400 wanita berumur mulai dari 10 tahun hingga 70 tahun. Selain pemerkosaan, pada saat Janjaweed mulai beroperasi, ada sekitar 574 desa yang diporak-porandakan, meningkat lebih dari 200% dibanding saat SAF sendiri. Jumlah pengungsi yang menjadi akibat penyerangan oleh Janjaweed dan SAF secara bersamaan meningkat hingga 110% dibanding saat hanya SAF sendiri. Penyerangan kepada sumber makanan dan minuman meningkat hingga 129% pada saat Janjaweed datang menyerang dibanding dengan SAF. Secara kesimpulan, kerusakan yang ditimbulkan oleh Janjaweed

memperburuk kondisi di Darfur, bukan memperbaikinya.18

Kekerasan berkepanjangan ini memicu dibuatnya African Union Mission in Sudan

(AMIS). Pada 8 April 2004, pemerintahan Chad menawarkan kesempatan diskusi kepada pemerintahan Sudan dan pihak pemberontak (SLA & JEM) di N’Djamena, Chad. Diskusi tersebut berujung pada pembentukan Humanitarian Ceasefire Agreement antara pihak yang bertikai. Namun penyerangan oleh Janjaweed tetap berlanjut meskipun SAF berhenti, sehingga African Union (AU) membentuk Ceasefire Commission (CFC) untuk melakukan observasi di Darfur. Pada Agustus 2004, AU mengirim 150 pasukan Rwanda untuk melindungi kegiatan CFC, yang pada akhirnya mendapat bantuan dari Nigeria dalam bentuk 150 pasukan militer. Pada 18 September 2004, Dewan Keamanan PBB melalui resolusi 1564

16 Julie Flint, Darfur: A Short History of a Long War. Zed Books, 2005, hlm. 101 – 103

17 Andrew Natsios, Genocide in Darfur: Investigating the Atrocities in the Sudan, Routledge, 2006, hlm. 33 18 Rozanne Larsen, Displaced and dispossessed of Darfur: Explaining sources of genocide, Journalist’s Resouce

15 Juni 2011,diakses dari http://journalistsresource.org/studies/international/conflicts/darfur-sources-genocide

(9)

menyatakan ketidakmampuan pemerintahan Sudan untuk menyelesaikan konflik di negaranya, sehingga mempersilahkan kegiatan AU untuk melakukan observasi. Bentuk misi tersebut adalah AMIS, dan belum berhasil untuk menghentikan serangan dari pemberontak.

Pada Mei 2006 pemerintahan Sudan menandatangani Darfur Peace Agreement sebagai bentuk power transfer antara pemerintahan dan pemberontak. Beberapa bagian dari perjanjian itu adalah untuk menghentikan Janjaweed dari beroperasi dan menyertakan SLA & JEM ke dalam SAF sebagai pasukan militer resmi. Perjanjian ini ditolak oleh SLA & JEM dengan alasan tidak menjanjikan hilangnya tindakan opresif terhadap kaum non-Arab. Meskipun begitu, Sudan menolak kedatangan PKO dari PBB dengan alasan bahwa usaha yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah cukup. Pada 25 Agustus 2006, Sudan menolak untuk datang ke pertemuan Dewan Keamanan PBB untuk menjelaskan rencana mengirimkan 10,000 pasukan militer Sudan dibandingkan menerima 20,000 pasukan peacekeeping PBB. 5 September 2006, pemerintahan Sudan meminta pasukan AMIS untuk memberhentikan operasi dan meninggalkan Sudan di akhir September 2006. Tanpa ayal, al-Bashir juga menyatakan bahwa AU tidak berhak mempersilahkan PBB menggantikan operasi yang mereka jalankan karena keputusan tersebut berada di tangan pemerintahan Sudan.19

Usaha untuk memunculkan peace agreement kembali dilakukan di Sudan, oleh Gubernur New Mexico Bill Richardson dan al-Bashir pada 10 Januari 2007. Isi dari perjanjian tersebut adalah dilakukannya gencatan senjata selama 60 hari antara pihak yang bertikai di Darfur, untuk memperlancar bantuan humanitarian dan akses media disana. Setelahnya rentang waktu itu selesai, pada 31 Maret 2007 Janjaweed kembali membunuh sekitar 400 orang di area timur Sudan yang berbatasan dengan Chad. Menurut laporan dari UNHCR, muncul pula serangan pada 14 April 2007 di daerah Tiero dan Marena. Pada 31 Juli 2007, akhirnya Dewan Keamanan PBB melalui resolusi 1769 menyetujui dilakukannya PKO bernama UNAMID untuk menggantikan aktifitas AMIS paling lama pada 31 Desember 2007 dengan mandat awal hingga 31 Juli 2008. Kedatangan UNAMID dengan perlengkapan yang lebih baik membuat JEM pada 18 September meminta kemerdekaan untuk Darfur apabila

peace talks di Khartoum tidak berhasil. Pada 15 November akhirnya sembilan kelompok pemberontak (Enam fraksi SLM, Democratic Popular Front, Sudanese Revolutionary Front,

19 Khartouom, Defiant Sudan sets deadline for Darfur peacekeeper exit, Taipei Times 5 September 2006, diakses

dari http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2006/09/05/2003326213 pada 15 Juni 2015 pukul 11.40 WIB

(10)

dan Justrice and Equality Movement)20 bergabung untuk melakukan negosiasi formal dengan

pemerintah.

Terlepas dari dilaksanakannya UNAMID dan negosiasi yang terjadi, korban jiwa dan penyerangan masih tetap dilaksanakan oleh dua pihak ini. Pada 10 Mei 2008 SAF dan kelompok pemberontak bertikai di kota Omdurman. Pihak pemerintah mendorong pasukan pemberontak hingga ke jembatan Al-Ingaz untuk menuju Khartoum. Pada titik ini, pemerintah memberlakukan jam malam untuk Khartoum, dimana warga sipil tidak diperbolehkan keluar rumah dari jam lima sore hingga enam pagi.21 Korban yang berjatuhan kira2 mencapai 90 personil militer SAF dan 13 polisi, dengan korban jiwa sipil hingga 30 orang di Khartoum da Omdurman. Pada tahun 2010, muncul perundingan di Doha, Qatar untuk melancarkan negosiasi antara pemberontak dan pemerintah dengan hasil diberikannya otoritas regional untuk Darfur. Pada 29 Maret 2011, muncul keputusan dari al-Bashir untuk membuat dua negara bagian di Darfur, yaitu Central Darfur dan Eastern Darfur.22 Pada akhirnya, proses untuk membuat Darfur sebagai negara merdeka tidak berjalan dengan efektif sehingga para pemberontakpun kembali melakukan penyerangan kedepannya.

Pada 19 Maret 2014, pasukan UNAMID melaporkan bahwa jumlah pedesaan yang dibakar oleh Janjaweed bertambah secara konstan setiap tahunnya. Pada November 2014, media lokal melaporkan bahwa ada lebih dari 200 kasus pemerkosaan oleh pasukan militer SAF di area Tabit, meskipun ditepis oleh pemerintah keabsahannya. Hasil investigasi yang dilakukan oleh Human Rights Watch dilaporkan pada Februari 2014, dan melaporkan bahwa kasus pemerkosaan itu terjadi dan termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Sekitar 3,300 pedesaan hancur hanya di tahun 2014 sendiri berdasarkan data UNAMID, dan diduga karena serangan dari pihak pemerintahan Sudan. Secara total semenjak penyerangan di Golo, jumlah total korban jiwa dari pihak militer, pemberontak, maupun warga sipil sudah mencapai lebih dari 300,000 orang dengan 2,850,000 pengungsi.23 Kondisi ini menunjukkan bahwa

20 Nine Darfur rebel factions reunite under one structure, Sudan Tribune 15 November 2007, diakses dari

http://www.sudantribune.com/spip.php?article24751 pada 15 Juni 2015 pukul 12.07 WIB

21 Sudan capital after today’s attack from Darfur JEM, Sudan Tribune 10 Mei 2008, diakses dari

http://www.sudantribune.com/spip.php?article27077 pada 15 Juni 2015 pukul 12.12 WIB

22 Pasukan pemberontak menolak solusi ini karena hanya akan membelah kesatuan Darfur ; Andrew Heavens,

Darfur to be cut into smaller states; rebel protest, Reuters 8 Maret 2011, diakses dari

http://af.reuters.com/article/topNews/idAFJOE7270CL20110308?sp=true pada 15 Juni 2015 pukul 12.21 WIB

23 Darfur Conflict, Thomson Reuters Foundation 31 Juli 2014, diakses dari

(11)

kekerasan yang terjadi di Sudan masih memiliki potensi untuk bereskalasi meskipun dilakukan banyak upaya peace talks maupun peace agreements.

Ditilik melalui kerangka intra-state conflicts Kumar, kondisi di Darfur secara jelas menunjukkan kriteria yang serupa. Pihak – pihak yang bertikai hingga korban jiwa yang berjatuhanpun berasal dari negara yang sama, bahkan dari tempat lain seperti Chad. Arab Saudi dan PBB menjadi pihak eksternal yang ikut serta dalam proses perdamaian yang disebut oleh Kumar sebagai outside peacekeepers dan AU sebagai local peacekeepers.

Berikutnya akan dibahas mengenai AMIS & UNAMID tersendiri, dan melihat proses pelaksanaannya. Selain itu bahasan berikutnya juga akan menyatakan perbedaan pendekatan antara kedua misi tersebut, sehingga diketahui alasan penggantian misi dari AMIS menuju UNAMID di Darfur. Berdasarkan kriteria peace constituencies Kumar, bagian berikutnya juga akan memberikan analisa terhadap efektifitas AMIS & UNAMID didalam konflik Darfur.

Misi perdamaian di Sudan : AMIS & UNAMID

Africa Union Mission in Sudan

Africa Union Mission in Sudan (AMIS) dibentuk oleh Peace and Security Council

(PSC) AU untuk meredakan konflik di Darfur, Sudan. Pelatuk pertama dari pembentukannya adalah penandatanganan Humanitarian Ceasefire Agreement di N’djamena, Chad antara pemerintah Sudan dan pasukan pemberontak. Mandat yang diberikan kepada AMIS adalah untuk memberikan kontribusi untuk keadaan yang terjadi di Darfur dan melindungi warga sipil yang berada dibawah tekanan/ancaman, yang pada saat yang bersamaan menjadi tanggung jawab pemerintahan Sudan. Di awal pelaksanaannya pada tahun 2004, jumlah personil yang ditugaskan dibawah AMIS ada 150 orang dari pemerintahan Rwanda dan 150 orang dari pemerintahan Nigeria. Pada April 2005, jumlah tersebut naik hingga 6,171 personil dari berbagai negara seperti Senegal, Ghana, Botswana, Mesir, India, dan Mali. Di tahun 2006, angka tersebut masih naik hingga 7,000 personil ditempatkan di lapangan dengan tugas yang berbeda – beda, namun masih berada didalam ranah pengawasan dan perlindungan warga sipil. AMIS juga didukung oleh Dewan Keamanan PBB dengan resolusi 1564, sehingga memiliki keabsahan di tingkat internasional:

(12)

“Welcomes and supports the intention of the African Union to enhance and augment its monitoring mission in the Darfur region of Sudan, and encourages the undertaking of proactive monitoring”24

Dalam menjalankan mandatnya, AMIS menjawab kepada PSC-AU dan Darfur Integrated Task Force (DITF) atas apa yang terjadi di lapangan. PSC-AU bertempat di Addis Ababa, Ethiopia bersamaan dengan DITF dan memberikan saran serta komando kepada AMIS melalui pertukaran laporan dengan markas AMIS di Khartoum. Markas AMIS di Khartoum diisi oleh personil administrasi sebagai line of command utama dengan PSC-AU. Markas AMIS di El Fasher berfungsi sebagai pusat operasi misi dan Joint Logistics Operational Centre, Police, and Civilian Components. Area perlindungan AMIS dibagi menjadi delapan area pengawasan, dengan masing – masing memiliki Military Observers (MILOBS) untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian gencatan senjata dan Darfur Peace Agreement (DPA). Sebagai pasukan yang memiliki fungsi utama AMIS, saat menjalankan tugasnya, MILOBS dilindungi oleh pasukan AMIS Civilian Police (CIVPOL), dan AMIS Humanitarian & Human Rights Officer. Pasukan dari enam negara Afrika dibagi secara kemampuan kedalam pos – pos tersebut untuk menjalankan fungsi observasi dan perlindungan terhadap warga sipil di Darfur.25

Pelaksanaan AMIS di lapangan dibagi menjadi tiga momentum yang berbeda. Yang pertama adalah AMIS I, dibentuk setelah munculnya Humanitarian Ceasefire Agreement

(HCFA) antara pemerintah Sudan, SLA, dan JEM. Mandat AMIS saat itu adalah:26

1. Providing secure environment for the delivery of humanitarian relief and return of Internally Displaced Persons;

2. Monitoring and observing the compliance of the parties of the Humanitarian Ceasefire Agreement and DPA;

3. Assisting in the process of confidence building.

Karena hasil dari proses yang pertama disimpulkan bahwa jumlah personil terlalu sedikit dan mandat terlalu sederhana, maka masa dilaksanakannya bertambah hingga tahun 2005 dengan nama AMIS II. AMIS II adalah titik pertama dibuatnya CIVPOL untuk membantu misi

24 UNSC Resolution 1564

25 Military Component, AMIS, diakses dari http://www.amis-sudan.org/MilitaryComponent.html pada 16 Juni

2015 pukul 09.41 WIB

(13)

pasukan utama AMIS yang berjumlah kurang dari 7,000 orang27. Mandat pada saat itupun

bertambah banyak, namun tetap pada ranah melindungi dan observasi tanpa intervensi lebih jauh kedalam penyerangan. Saat DPA dibentuk antara pemerintah Sudan, SLA, dan JEM, AMIS III muncul dengan tantangan baru: Janjaweed. Pada titik ini, muncul mandat untuk melakukan tindakan disarmament kepada mereka yang tidak ikut serta didalam DPA:

1. Disarm (forcibly, if necessary) all Sudanese armed groups not parties to the DPA

2. Plan and train community police forces in IDP camps (determining how these forces are to interact with AMIS and parties’ police)

3. Develop and implement plans to ensure that the Janjaweed do not violate the ceasefire or threaten civilians

4. Determine which areas are to be controlled by which party

Dari tiga bagian tersebut, misi AMIS tetap menjadi entitas yang melakukan observasi dan perlindungan kepada warga sipil, dibanding menjadi pasukan yang secara aktif ikut serta didalam konflik Darfur.28

UN – African Union Mission In Darfur

Pada 16 November 2006, dilakukan diskusi di Addis Ababa untuk dibutuhkannya peran ekstra untuk membantu AMIS mengatur konflik yang berkepanjangan di Darfur. Merespon diskusi tersebut, DK PBB mengeluarkan resolusi 176929 untuk membentuk UNAMID dengan jumlah 25,987 personil30. Karena ini adalah misi PBB, maka personil yang diturunkan ke Darfur berasal dari 34 negara yang berbeda dengan jumlah dana melebihi 1 milyar US$ pada tahun 2014 kemarin. Mandat yang diberikan oleh PBB kepada UNAMID adalah:

1. Protection of civilians

2. Contributing to security for humanitarian assistance

3. Monitoring and verifying implementation of agreements

27 Target pasukan dari UNSC saat itu adalah hingga 7,000 orang.

28 Mandate, AMIS, diakses dari http://www.amis-sudan.org/amismandate.html pada 16 Juni 2015 pukul 09.58

WIB

29“Decides.. to authorize and mandate the establishment.. 12 months.. AU/UN Hybrid Operation in Darfur

(UNAMID).. which shall incorporate AMIS personnel and the UN Heavy and Light Support Packages to AMIS.. up to 19,555 military personnel..” ; UNSC Resolution 1769

30 19,555 personil militer, 360 observer & liaison officer, 3,772 penasihat polisi setempat, 2,660 Formed Police

Units (FPU). Dengan jumlah ini, UNAMID menjadi PKO terbesar yang pernah dilaksanakan PBB ; UNAMID, diakses dari unamid.unmissions.org pada 16 Juni 2014 pukul 10.34 WIB

(14)

4. Assisting an inclusive political process

5. Contributing to the promotion of human rights and the rule of law

Pada pelaksanaannya di 31 Desember 2007, markas utama UNAMID di Darfur berada di El Fasher dengan empat pos pengawasan di El Geneina, Nyala, Zalingei, dan El Daein. Mandat yang diberikan kepada UNAMID diperharui setiap tahunnya, dan masih berlanjut hingga 30 Juni 2015 nanti. Alasan mengapa dilakukannya operasi gabungan dengan AU disebutkan didalam resolusi, yaitu untuk membentuk ko-operasi antara PBB dan organisasi regional demi memelihara kedamaian dan keamanan sebagai bentuk collective security sebagaimana tertulis di Piagam PBB.31

Berbeda dengan AMIS, UNAMID memiliki fokus gerakan yang lebih pro-aktif dalam melaksanakan mandatnya. Yang pertama adalah disarmament, demobilization, and reintegration (DDR). Mekasnisme DDR UNAMID dikoordinasikan dengan UN Development Programme dan UNICEF agar tetap berada di ranah yang sesuai dengan nilai kemanusiaan dan nilai PBB. Pada dasarnya, fokus gerakan ini adalah untuk memberikan kontribusi kepada keamanan dan stabilitas saat masa post-conflict sehingga proses pemulihan paska konflik dapat terlaksana dengan baik. Prosesnya termasuk pelucutan senjata, memindahkan para pelaku konflik dari struktur militer yang ada, dan membantu mereka untuk kembali berintegrasi dengan masyarakat secara ekonomi dan sosial. Tujuan utama DDR adalah untuk memindahkan kekuatan militer dari tangan pihak yang bertikai agar mengurangi korban jiwa maupun infrastruktur lebih jauh.32 Terhitung hingga Juli 2011, program ini telah berhasil mengembalikan 4,028 militan perang di Darfur (dari SAF, SLA, JEM, dan kelompok pemberontak lainnya) ke masyarakat sosial di berbagai kota. Selain itu dengan bekerja sama dengan Sudan Disarmament, Demobilization, and Reintegration Commission (SDDRC), Menteri Kesejahteraan Sosial Sudan, dan UNICEF telah menyelamatkan 1,041 anak – anak dari daerah konflik.33

31 UNSC Resolution 1769

32Disarmament memiliki makna untuk mengumpulkan, dokumentasi, kontrol, dan menghancrkan persenjataan

dari pihak yang bertikai dan warga sipil. Demobilization adalah pemberhentian para combatant dari medan perang dan struktur militer yang ada. Reinsertion adalah usaha untuk membantu combatant tersebut kembali ke masyarakat sebagai warga sipil, termasuk bantuan dasar pangan-papan-sandang. Reintegration adalah proses akhir dimana combatant tersebut telah mendapatkan status sebagai warga sipil dan stabil dalam kondisi pekerjaan serta kehidupan ; UNAMID, diakses dari unamid.unmissions.org pada 16 Juni 2014 pukul 11.09 WIB

(15)

Selain DDR, UNAMID juga bergerak dalam sektor pemulihan nilai kemanusiaan dan perpolitikan di Darfur. Humanitarian, Protection Strategy Coordination Division (HPS) adalah hubungan utama UNAMID dengan dengan komunitas HAM internasional. Gugus tugas HPS mulai dari membagi information-sharing hingga memberikan bantuan kemanusiaan seperti pusat konseling gratis. Khususnya, HPS juga ikut serta dalam mengurusi pengungsi Sudan yang berada di Chad dan tempat lain diluar Darfur. Usaha HPS telah mengembalikan 154,883 orang yang berhasil ditempatkan kembali ke kehidupan asalnya.34 Melalui DDR dan HPS, UNAMID juga mengurusi isu politik yang menjadi dasar bagi konflik yang terjadi di Darfur, antara pemberontak dan pemerintahan. Political Affairs Division (PAD) adalah divisi yang fokus untuk memimpin proses implementasi perjanjian yang telah disahkan seperti DPA, HCFA, dan Doha Document for Peace in Darfur (DDPD). Sebagai divisi yang fokus pada administrasi dan observasi, PAD bertugas untuk mengirimkan laporan atas apa yang telah dilakukan oleh UNAMID kepada AU dan PBB. Laporan tersebut akan dianalisa oleh dua organisasi tersebut dan menentukan mandat atau langkah UNAMID berikutnya.

Analisa pendekatan AMIS & UNAMID

Selama pembentukannya hingga digantikan oleh UNAMID, AMIS belum dapat melakukan tugasnya dengan efektif untuk menjaga kedamaian di Darfur. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah mandat yang dimiliki oleh AMIS sangat terbatas. Sebagai dasar pelaksanaan misi tersebut, kata – kata ‘protect civilian.. encounters imminent threat’ membuat

aktifitas para personil di lapangan menjadi terhambat. Pada 18 September 2005, Refugee Internatioinal (RI) mewawancara seorang petugas AMIS asal Rwanda tentang bagaimana keadaan di Darfur. Jawabannya adalah, “We had genocide in our country, we are in darfur to stop it from happening again. how can we do this if we can’t protect civilians?”35. Jawaban itu

memiliki makna bahwa bahkan petugas yang ditempatkan dilapangan merasa apa yang mereka lakukan belum maksimal. Sebagai orang yang juga berasal dari tanah yang sama, normal apabila mereka ingin melindungi saudara – saudari yang berada didalam tekanan dan ancaman, namun mandat AMIS belum berada dalam dimensi tersebut. Beberapa observer dari AMIS juga frustasi atas proses observasi yang terkesan dibuat – buat. Salah satu observer

34Ibid

(16)

AMIS sempat memberi tahu RI bahwa beberapa saat sebelum AMIS melakukan observasi ke lapangan, akan ada peringatan di tempat yang menjadi tujuan pengawasan oleh representasi dari pemerintahan Sudan, SLA, dan JEM. Hal ini tentu akan memberikan waktu serta kesempatan bagi mereka yang ada di lapangan untuk mempersiapkan berbagai hal yang akan dilaporkan ke pusat. Ketua Ambassador AMIS Baba Gana Kingibe bahkan mengatakan bahwa dibutuhkannya peninjauan kembali atas prosedur yang diberikan kepada AMIS karena pihak yang bertikai memperlihatkan usaha minimal untuk patuh terhadapa perjanjian yang sudah mereka sepakati sendiri.36

Kondisi personil dilapanganpun menjadi salah satu bahan analisa antara kedua misi. AMIS memiliki jumlah personil kurang dari 7,700 orang pada saat akan digantikan oleh UNAMID, karena permasalahannya sendiri. Padahal angka 7,700 tersebut adalah target minimal di tahun 2005 dari DK PBB untuk dapat mengurusi konflik di Darfur. Dalam laporan yang disampaikan oleh RI, setiap MILOBS melakukan obeservasi lapangan, 12 personil militer bersenjata akan ditugaskan sebagai bentuk penjagaan. Dibandingkan dengan pasukan pemberontak yang jumlah hampir 30,000 orang bila seluruh kelompok digabungkan (termasuk

Janjaweed), maka jumlah tersebut cukup mengkhawatirkan. UNAMID datang dengan jumlah lebih dari 20,000 personilpun masih memiliki masalah untuk menjaga dan melakukan

sweeping persenjataan di lapangan. Selain itu, bahasa yang berbeda – beda di pasukan AMIS menjadi halangan untuk command, control-communications, and intelligence (C3I) dilaksanakan dengan efektif. UNAMID menggunakan bahasa Inggris sebagai standar operasi lapangan, sehingga bila dibandingkan, memiliki koordinasi struktural maupun verbal yang baik karena bahasa yang seragam.37

Yang terakhir adalah perlengkapan untuk menjalankan operasi. AMIS diberikan izin oleh AU untuk menggunakan tiga jenis senjata api setiap dilakukannya operasi pengawasan per-10 orang: AK-47, RPG-7, dan pistol Glock-19 (pistol untuk setiap personil). Pada saat 18 personil AMIS yang sedang melakukan operasi pengawasan di Darfur Barat berhasil di culik oleh JEM, 20 personil AMIS yang ditugaskan misi penyelamatan juga diculik, dan menurut RI itu dikarenakan persenjataan yang kurang memadai.38 Janjaweed yang juga menjadi salah satu

36Ibid ; hlm. 7

37 Sally Chin & Jonathan Morgenstein, No Power to Protect, Refugees International, 2005 hlm. 9 – 11 38Ibid ; hlm. 12

(17)

sumber kekacauan di Darfur memiliki sumber daya yang ditanggung oleh pemerintahan Sudan, dengan persenjataan yang kurang lebih sama dengan AMIS. Kemungkinan bahwa dana yang dimiliki oleh AMIS dan UNAMID berbeda jauh adalah penjelasan logis dari fakta ini, karena jumlah negara, mandat, serta dukungan yang dimiliki kedua misi tersebut berbeda. Tanpa adanya perlengkapan yang baik, maka sebaik apapun perencanaan dan personil, maka akan sulit untuk melakukan operasi di daerah konflik seperti Darfur.

Kurang lebih, tiga poin diatas yang menjadi perhatian utama dalam melaksanakan operasi militer di daerah konflik. Pembahasan Kumar tentang conflict transformation

menyebutkan bahwa dibutuhkan peace constituencies yang nantinya akan merasakan kemenangan apabila konflik sudah berada di momen akhirnya. Untuk meraih posisi itu, maka dibutuhkan usaha, SDM, serta perencanaan yang matang untuk dapat bergerak dari zona

peacekeeping menuju peacebuilding. AMIS dan UNAMID memiliki usaha yang berpotensi untuk menggerakkan konflik Darfur kearah sana, namun belum terlihat bahkan hingga sekarang. Korban jiwa tetap berlanjut di Darfur, baik dari warga sipil maupun pihak yang bertikai, bahkan setelah Omar al-Bashir ditangkap ketika menuju konferensi di Afrika Selatan.39

Jika keduanya dibandingkan, maka PKO yang digerakkan oleh PBB masih berada dalam dimensi yang lebih baik dibandingkan dengan yang regional. Setelah terlihat bagaimana upaya UNAMID dan AMIS untuk menyelesaikan konflik di Darfur, penulis merasa adanya beberapa hal yang menjadi penghalang dilakukannya operasi peacekeeping di Afrika. Kurang lebih, konflik intra-state menjadi isu mayoritas di Afrika dibandingkan dengan inter-state. Darfur menjadi contoh bagi analisa PKO di Afrika, karena berada dalam posisi intra-state conflict dan sudah merasakan PKO dari regional maupun PBB. Namun penghalang tersebut menjadi patokan atas standar yang telah dilakukan oleh kedua pihak, PBB dan regional. Dalam kasus Darfur, AMIS maupun UNAMID belum dapat menyelesaikan konflik yang terjadi disana namun dengan potensi yang berbeda.

39 Norimitsu Onishi, Omar al-Bashir, Leaving South Africa, Eludes Arrest Again, New York Times 15 Juni 2015,

diakses dari http://www.nytimes.com/2015/06/16/world/africa/omar-hassan-al-bashir-sudan-south-africa.html?_r=0 pada 16 Juni 2015 pukul 12.49 WIB

(18)

Tantangan pelaksanaan PKO di Afrika

Kondisi pemerintahan yang belum stabil

Banyak negara di Afrika memiliki pemerintahan demokratis yang dianggap sebagai baru di sejarah kenegaraan. Pantai Gading misalnya, baru mendapatkan kemerdekaan selama 55 tahun, Kenya selama 52 tahun, dan Sudan selama 59 tahun. Banyak negara di Afrika menjadi bagian dari koloni Perancis dan Inggris, dan ketika pergi tidak memberikan pengetahuan yang cukup untuk membangun satu negara yang memiliki bahasa lebih dari 3,000 total bahasa.40 Mayoritas negara di Afrika artinya mendapatkan kesempatan untuk membangun negaranya pada saat perang dingin dimulai, dimana negara lain seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis sudah berada di tahap akhir industrialisasi. Wajar bila ada pemain baru di dunia internasional yang juga dibentuk oleh para pemenang Perang Dunia II, akan menjadi tantangan besar untuk berada di standar yang sama. Itulah yang dilakukan oleh negara seperti Mali, Rwanda, dan Republik Kosovo sejak kemerdekaannya. Amerika Serikat butuh waktu ratusan tahun untuk sampai pada hari ini, Inggrispun tidak jauh berbeda. Dibandingkan dengan mereka, Sudan baru saja menginjak tahap ‘balita’ dalam sejarah kenegaraan. Mereka berusaha untuk berada di standar yang sama dengan negara ‘besar’ namun melupakan proses dibalik kejayaan itu.

Untuk pemerintahan yang belum stabil, maka wajar apabila banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah integrasi kultur yang banyak. Untuk Sudan sendiri memiliki kurang lebih 70 bahasa dengan 500an etnis. Rwanda juga memiliki banyak bahasa, meskipun menggunakan tiga bahasa (Kinyarwanda, Inggris, Perancis) sebagai bahasa sehari – harinya. Karena bahasa berarti kultur yang berbeda, maka lumrah bila sulit untuk membentuk satu representasi dalam bentuk pemerintahan. Apalagi bila timbul konflik saudara yang berasal dari suku yang berbeda, namun berada didalam area kedaulatan yang sama.41

PKO bergerak berdasarkan apa yang terjadi di lapangan, dilaporkan kepada markas utama, dan dijalankan melalui mandat kepada garnisun. Dengan kata lain, tindakan – tindakan yang diambil harus disesuaikan dengan fakta lapangan terlebih dahulu. Menurut Kumar, dibutuhkan peace constituencies untuk dapat menyelesaikan konflik. Artinya dibutuhkan

40 African Languages, African Language Program, diakses dari

http://www.alp.fas.harvard.edu/content/african-languages pada 16 Juni 2015 pukul 13.22 WIB

41 Arthur Bouttellis & Paul William, Peace Operations, the African Union, and the United Nations: Toward

(19)

analisis tentang siapa saja yang menjadi konstituen. Untuk negara yang representatif konstituennya berada dalam kondisi yang tidak stabil, bagaimana sebuah misi penyelesaian konflik dapat dilaksanakan dengan efektif? Hal ini terbukti dari kasus UNAMID dan AMIS, dimana bahkan pemerintahan Sudan menggerakkan kekuatan bersenjatanya melalui

Janjaweed, pasukan ‘gila’ yang bukan memberikan kelegaan namun menambah mimpi buruk

bagi warga sipil. Dua misi perdamaian tersebut belum berhasil menyelesaikan konflik antara non-Arab dan Arab di Sudan. Ini bukanlah konsep demokrasi ataupun pemerintahan dari Inggris atau Perancis, tapi hasil dari pengetahuan yang belum sempurna namun digunakan sebagai jargon untuk mendapatkan kekuatan. Dengan kata lain, hal – hal seperti pemerintahan dan demokrasi digunakan sebagai orang – orang seperti al-Bashir untuk tetap memegang kursi kekuasaan. Dihadapkan dengan ini, PKO akan terhambat untuk mengetahui dan memahami siapa yang perlu dibantu, siapa yang menjadi oposisi, dan siapa yang menjadi perwakilan warga sipil yang sebenarnya.

Mengahadapi hal seperti ini, PKO yang dilakukan oleh PBB maupun organisasi regional wajib melakukan identifikasi terhadap siapa yang menjadi representasi warga yang ada di tempat konflik tersebut. Dalam kasus, banyak warga yang bahkan berada di pihak dari SLA, JEM, ataupun pemerintah, tapi hanya berada disana akibat memang sudah lama tinggal di tanah itu. Alhasil ketika konflik muncul, yang mereka harapkan adalah yang bisa memberikan keamanan terhadap kehidupannya. Artinya untuk intra-state conflicts dimana seluruh pihak memberikan romansa ketidak-amanan tersebut, PKO wajib melakukan obeservasi terhadap bentuk perlindungan apa yang diharapkan oleh warga sipil, dan pendapat mereka tentang isu yang memicu konflik tersebut. Bukan tidak mungkin terjadi apabila warga pendukung SLA dan JEM justru tidak paham atas alasan mengapa mereka membawa AK-47 dan menembaki Janjaweed seiring dengan bertambahnya korban sipil.

Dengan fokus utama government-building, maka seluruh sektor kenegaraan akan ikut dengan sendirinya membentuk komunitas yang saling mendukung. PKO yang dilakukan oleh UNAMID memiliki dasar yang baik karena menggunakan prinsip DDR sebagai awalnya. Namun seharusnya pembentukan pemerintahan menjadi langkah berikutnya. Untuk suatu pemerintahan yang baik, dibutuhkan bukan sistem demokrasi ataupun sosialisme atau lainnya, tapi suatu sistem yang disepakati oleh konstituen yang ada disitu. Perlu dianalisa lebih lanjut mengenai sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi di Afrika, bukan menempatkan

(20)

standar yang sama seperti dengan Amerika Serikat atau Rusia atau Tiongkok. PKO seharusnya mengerahkan SDM dengan kemampuan analisa yang baik dan mengenali kondisi di negara yang bertikai, agar dapat memberikan saran demi pemerintahan yang baik.

Keikut-sertaan Aktor Selain Negara

Dalam kasus Darfur, beberapa kali SLA dan JEM tidak menyetujui kesepakatan yang dilakukan oleh pemerintahan Sudan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak seluruh pihak yang bertikai berada dalam kondisi yang sama. Dalam konteks ini, pemerintahan di Afrika memang memiliki status sebagai “representasi negara”, namun tidak bisa demikian apabila ada perang saudara. Berlangsungnya perang saudara artinya ada ketidak-pahaman yang terjadi antara pemerintah dan konstituennya, sehingga legalitas mereka dipertanyakan. Status pemerintah yang berfungsi sebagai badan representasi tertinggi di sistem demokrasi juga lebih diragukan apabila ada kasus seperti Janjaweed. Sudah beberapa kali ini terjadi, dan berujung kepada kekerasan yang berlanjut.

PKO yang dilakukan oleh pihak apapun nanti harus melakukan operasi yang mengikut-sertakan seluruh pihak yang bertikai tanpa terkecuali. Ini adalah bukti dari sikap yang netral dan imparsial. Sebagai entitas yang berasal dari luar negara tersebut, PKO datang dengan membawa pesan damai dalam bentuk obeservasi dan perlindungan terhadap warga sipil. PKO juga harus menunjukkan bukti bahwa mereka datang dengan tujuan tak lain adalah (atau membantu) menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung. Bila menilik kembali dasar dari suatu aksi imparsial, adalah tidak memandang sesuatu secara subjektif tapi juga tidak memihak siapapun. Artinya, PKO tidak bisa menggunakan paham bahwa negara selalu benar-kuat-representatif, non-negara sebagai salah-lemah-opresif. Bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya, dimana negara adalah pihak yang melakukan tindakan opresif dengan non-negara sebagai yang representatif. Untuk negara yang umurnya lebih sedikit dari setengah abad, sulit untuk melihat siapa yang representatif dan yang tidak. Karena itu, sikap imparsialitas dapat ditunjukkan dengan mengajak seluruh pihak yang ada di lapangan konflik dan bersama – bersama mencari jalan keluarnya.

Peace constituencies yang terbangun nantinya akan terdiri dari seluruh pihak yang menjadi bagian dari negara tersebut. Karena dalam hal ini sebuah PKO tidak seharusnya menentukan benar dan salah tapi membantu para pihak yang bertikai menyelesaikan

(21)

masalahnya sendiri. Pada saat perang sipil kedua di Republik Kongo, perjanjian perdamaian yang ditunda tangani oleh pemberontak dan pemerintah, konflik yang terjadi secara resmi berakhir. Hal yang terjadi di perang saudara pertama Kongo, saat perjanjian disepakati seluruh pihak pada 4 Maret 2007. Pada intinya, sebuah perdamaian dalam satu negara baru dapat dicapai apabila seluruh pihak menghendaki hal tersebut. Yang seharusnya dilakukan oleh PKO adalah membuat suatu kondisi / environment sehingga seluruh pihak atau peace constituencies

menghendaki hal yang sama. Dengan kata lain, aktor non-negara juga harus menjadi bagian kalkulasi strategi setiap PKO yang dilaksanakan oleh pihak manapun.

Karena dimensi PKO adalah pada saat konflik terjadi, maka langkah berikutnya dapat diserahkan kepada proses peacebuilding. Yan perlu menjadi catatan proses PKO adalah bagaimana operasi ini dapat membantu untuk menyelesaikan masalah. Upaya – upaya tersebut dapat dilihat dari pembuatan peace agreement dan kesepakatan lainnya, termasuk menjaga agar warga sipil tetap berada dalam kondisi kemanusiaan yang sepantasnya. Kumar menyampaikan teori peace constituencies yang sesuai dengan kondisi di Afrika, namun dalam pelaksanaannya PKO seperti UNAMID dan AMIS belum menghasilkan kesimpulan yang cukup. AMIS beroperasi dari tahun 2004 hingga 2007, sedangkan UNAMID dari tahun 2007 hingga 2015 ini belum dapat menyelesaikan konflik di Darfur. Dengan kata lain, SDM yang dimiliki oleh PBB belum bisa menjamin kondisi di Sudan atau negara Afrika lainnya stabil kembali. Yang bisa mewujudkan itu adalah negara itu sendiri, seperti yang terjadi di Kongo, Pantai Gading, dan Mozambik.

(22)

KESIMPULAN

Dari bagaimana UNAMID dan AMIS melakukan proses PKO di Darfur, terbukti bahwa apa yang terjadi disana cukup dapat merepresentasikan kondisi di Afrika. Konflik

intra-state lebih marak terjadi dibandingkan dengan inter-state. Hal ini dikarenakan kultur yang banyak, pengetahuan yang belum sempurna, digabung dengan pihak yang ingin berkuasa maka memicu pihak – pihak untuk bertikai bahkan dibawah naungan negara yang sama. PKO datang didalam kondisi seperti itu untuk membawa pesan perdamaian, menyediakan bantuan dalam bentuk administrasi pengungsi, perawatan korban sipil, pemberian bantuan kemanusiaan, dan melindungi daerah pemukiman yang menjadi lapangan baku tembak antara pihak yang bertikai. Hampir seluruh kasus PKO yang terjadi di Afrika memiliki latar belakang dan pola yang sama seperti di Darfur, namun hasil yang diharapkan belum juga muncul. Untuk itu dibutuhkan analisa yang sesuai atas apa yang sudah dilakukan, apa yang terjadi di lapangan, dan bagaimana langkah kedepannya.

Perlu dipahami dasar dari dilakukannya sebuah peacekeeping operations, yaitu untuk membawa kedamaian pada saat konflik terjadi. Aktifitas yang dilakukan paska konflik disebut sebagai peacebuilding, berbeda dengan peacemaking, meskipun berhubungan. Pada titik PKO, yang dibutuhkan adalah langkah – langkah agar suatu konflik berhenti berlangsung. Poin pertama yang perlu diperhatikan adalah fokus gugus tugas dari PKO seharusnya adalah government-building. Pada saat PKO dilaksanakan, pelucutan senjata atau pembangunan tenda – tenda pengungsian adalah goal jarak pendek, namun jarak panjangnya adalah

government-building. Dengan fokus tersebut, artinya suatu konflik dapat dikatakan selesai apabila minimal sudah ada rancangan sistem yang disetujui oleh seluruh pihak yang bertikai, termasuk warga sipil. Dalam hal ini, justru warga sipil yang menjadi fokus utamanya, bukan hanya pihak yang bertikai, karena bisa jadi mereka tidak memahami mengapa negaranya bisa muncul perang saudara.

Poin kedua adalah aktor non-negara tidak boleh dikesampingkan sama sekali. Darfur adalah bukti dari pernyataan ini, karena hasilnya adalah konflik yang justru semakin panjan. Seluruh pihak harus dirangkul untuk memperlihatkan kenetralan dari PKO yang dilakukan. Patokan selesainya suatu konflik seharusnya berada pada titik tidak ada lagi yang merasa kepentingannya berlawanan dengan kepentingan lain. Setidaknya, kepentingan yang berbeda dengan yang lain dapat berjalan beriringan apabila sulit dilakukan asimilasi. Saat

(23)

sudah seluruh pihak diikuti-sertakan dalam proses penyelesaian konflik, maka peace constituencies yang disampaikan oleh Kumar akan terbentuk dengan kondisi tidak ada pihak yang merasa dikesampingkan. Hal ini yang harus menjadi fokus gerakan yang dilakukan didalam PKO, regional maupun internasional. Dari dua poin diatas, maka PKO yang dilakukan oleh PBB berada di tingkat yang lebih baik daripada regional.

Meskipun keduanya belum dapat memberhentikan, namun ada tiga hal yang membuktikan PKO yang dilakukan oleh PBB masih lebih baik dibanding organisasi regional seperti AU. Yang pertama adalah jenis mandat. Yang dilakukan oleh AU dalam melaksanakan AMIS hanyalah sekedar observasi dengan aktifitas yang terbatas. Untuk melindungipun harus melihat secara visual terjadinya kekerasan, sehingga perlindungan yang ditawarkan kepada warga sipil bersifat pasif. UNAMID membawa pasukan dengan mandat yang jelas dan focus, yaitu DDR dan HPS. Keduanya adalah upaya untuk menyelesaikan konflik, layaknya makna dari peacekeeping operations : operasi menjaga perdamaian. Yang kedua adalah jumlah personil. Terlepas dari target yang diterapkan oleh PBB, pasukan UNAMID hampir 3 kali lipas lebih banyak dibanding AMIS. Hal ini membuat potensi misi yang dilakukan oleh UNAMID lebih berhasil dalam melaksanakan tujuan mereka di Darfur. Jumlah personil yang menyaingi para pihak yang bertikai menunjukkan keseriusan untuk menjaga perdamaian disana. Yang ketiga adalah sumber daya. Bukan hanya persenjatan, tapi juga teknologi serta bantuan yang dibawa oleh UNAMID lebih efektif mendukung kehidupan para pengungsi di perbatasan Chad dan Sudan. Dengan demikian, cukup terbukti bahwa yang dilakukan oleh PBB, meskipun belum membuahkan hasil, lebih memiliki potensi untuk berhasil dalam melaksanakan PKO.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Buku & Jurnal

Natsios, Andrew. Genocide in Darfur: Investigating the Atrocities in the Sudan Routledge, 2006

Bouttellis, Arthur & Paul Williams. Peace Operations, the African Union, and the United Nations: Toward More Effective Partnership. International Peace Institute, 2013 Chin, Sally & Jonathan Morgenstein. No Power to Protect. Refugees International, 2005 Dorn, Walter. Regional Peacekeeping is Not The Way.Peacekeeping & International

Relations vol. 2, Iss 3/4, 1998

Flint, Julie. Darfur: A Short History of a Long War. Zed Books, 2005 Kumar, Rupesinghe. Conflict Transformation. Palgrave Macmillan, 1995

Robbins, Richard. Global Problems and the Culture of Capitalism. Pearson, 2013

Dokumen Resmi

Civil Affairs Handbook. New York, United Nations Department of Peacekeeping Operations, 2012

Handbook on United Nations Multidimensional Peacekeeping Operations, New York: United Nations Department of Peacekeeping Operations, 2003

UN Charter

UNSC Resolution 1769 UNSC Resolution 1564

Website & Artikel Online

---African Languages. African Language Program. Diakses pada 16 Juni 2015 pukul 13.22 WIB. http://www.alp.fas.harvard.edu/content/african-languages

---Darfur Conflict. Thomson Reuters Foundation 31 Juli 2014. Diakses pada15 Juni 2015 pukul 12.36 WIB. http://www.trust.org/spotlight/Darfur-conflict

(25)

---Nine Darfur rebel factions reunite under one structure. Sudan Tribune 15 November 2007. Diakses pada 15 Juni 2015 pukul 12.07 WIB.

http://www.sudantribune.com/spip.php?article24751

---Mandate. AMIS. Diakses pada 16 Juni 2015 pukul 09.58 WIB. http://www.amis-sudan.org/amismandate.html

---Military Component. AMIS. Diakses pada 16 Juni 2015 pukul 09.41 WIB. http://www.amis-sudan.org/MilitaryComponent.html

---Post Cold-War surge. United Nations Peacekeeping. Diakses pada 14 Juni 2015 pukul 16.42 WIB

. http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/surge.shtml

---Sudan capital after today’s attack from Darfur JEM. Sudan Tribune 10 Mei 2008. Diakses pada 15 Juni 2015 pukul 12.12 WIB.

http://www.sudantribune.com/spip.php?article27077

---UNAMID. Diakses pada 16 Juni 2014 pukul 10.34 WIB.

unamid.unmissions.org

Heavens, Andrew. Darfur to be cut into smaller states; rebel protest. Reuters 8 Maret 2011. Diakses pada 15 Juni 2015 pukul 12.21 WIB,

http://af.reuters.com/article/topNews/idAFJOE7270CL20110308?sp=true

Tadesse, Debay. “Peacekeeping successes and failures in Africa”. Reliefweb, 29 April 2009. Diakses pada 14 Juni 2015 pukul 17.09 WIB.

http://reliefweb.int/report/angola/peacekeeping-successes-and-failures-africa Khartouom. Defiant Sudan sets deadline for Darfur peacekeeper exit. Taipei Times 5

September 2006. Diakses pada 15 Juni 2015 pukul 11.40 WIB,

http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2006/09/05/2003326213

Onishi, Norimitsu. Omar al-Bashir, Leaving South Africa, Eludes Arrest Again. New York Times 15 Juni 2015. Diakses pada 16 Juni 2015 pukul 12.49 WIB.

http://www.nytimes.com/2015/06/16/world/africa/omar-hassan-al-bashir-sudan-south-africa.html?_r=0

(26)

Larsen, Rozanne. Displaced and dispossessed of Darfur: Explaining sources of genocide.

Journalist’s Resouce 15 Juni 2011.Diakses pada 15 Juni 2015 pukul 10.33 WIB. http://journalistsresource.org/studies/international/conflicts/darfur-sources-genocide

Referensi

Dokumen terkait

Pintu utama dari pondok pesantren.. antara pintu masuk untuk laki-laki dan putri serta proses di dalam belajar mengajar pun juga terpisah, sehingga dapat meng- hindarkan diri

Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa yang dilakukan oleh umat Hindu adalah merupakan salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang bertujuan untuk memohon kehadapan

Deskripsi Data Hasil Penelitian Deskripsi hasil penelitian ini berkaitan dengan respon masyarakat terhadap masing-masing item pernyataan yang telah disusun dalam daftar

[r]

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Putra (2011) maka dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan antara jenis lantai dengan kejadian TB Paru dan responden

Adapun judul dari skripsi ini adalah :Pandangan Konsumen Dalam Penerapan Total Quality Management Terhadap Kemajuan Rumah Makan Lobu Bara.. Skripsi ini tidak akan terselesaikan

bahwa stock split merupakan peristiwa yang penting dalam praktik pasar modal.. Stock split tidak menambah nilai dari perusahaan atau dengan kata lain

Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data-data asli, artinya sauatu data yang sesuai ddengan keadaan yang sebenarnya serta