SKRIPSI
Oleh
MUHAMMAD IKHWAN AMIN NIM : C01211043
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al-Syakhsiyah
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan , yang berjudul “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Tradisi Mbayar Tukon Dalam Pernikahan Di Desa
Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang)” guna menjawab
pertanyaan bagaimana Proses Pelaksanaan Pemberian Wajib Mbayar Tukon
dalam pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang? dan bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap Proses Pelaksanaan
Pemberian Wajib Mbayar Tukon dalam pernikahan di Desa Gejagan
Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang?
Penelitian ini menggunakan teknik penelitian deskriptrif analisis yaitu metode yang menggambarkan tentang penetapan jumlah pemberian wajib
mbayar tukon dalam perkawinan bagi masyarakat di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Analisis data yang dilakukan menggunakan pola pikir deduktif yaitu penulis terlebih dahulu menjelaskan teori tentang perkawinan dan mahar dalam Hukum Islam kemudian praktek
pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan di Desa Gejagan
Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.
Hasil penelitian menyimpulkan mbayar tukon adalah pemberian wajib
calon mempelai laki-laki-kepada calon mempelai prempaun yang berbentuk
uang yang sudah menjadi tradisi masyarakat setempat. Ketentuan mbayar
tukon ini memang tidak ada kesepakatan secara lisan akan tetapi sudah menjadi tradisi yang harus terlaksana di dalam pernikahan. Dalam kitab fiqh atau pun kitab kuning memang tidak ada bab yang menjelaskan tentang
pemberian wajib selain Mahar. Status hukum tradisi mbayar tukon di Desa
Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang ini adalah sebagai ‘Urf
karena sudah menjadi kebiasaan turun menurun di masyarakat, tidak hanya di Desa Gejagan namun di beberapa desa lainnya yang masih kental adat istiadatnya.
Tradisi mbayar tukon merupakan adat-istiadat semata namun tidak ada
kewajiban dalam Islam untuk memberikan sebagai keharusan jika tetap ada maka di harapkan sesuai dengan keadaan keluarga calon mempelai laki-laki dan tidak berlebihan serta tidak memberatkan pihak laki-laki. Adat
kebiasaan atau ‘Urf sahih yang berlaku dan berkembang dimasyarakat di
harapkan dapat dipertahankan keberadaannya. Jika mbayar tukon ini
memberikan keridhoan dari semua pihak dan tidak mendatangkan beban
dari pihak laki-laki maka akan lebih baik lagi jika adat mbayar tukon ini
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 8
C.Rumusan Masalah ... 8
D.Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G.Definisi Operasional ... 12
H.Metode Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN, MAHAR, DAN ‘URF A.Pernikahan ... 19
2. Hukum Melaksanakan Pernikahan ... 22
3. Rukun dan Syarat Pernikahan ... 26
4. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ... 31
B. Mahar (Mas Kawin) ... 33
1. Pengertian Mahar ... 33
2. Dasar Hukum Mahar ... 36
3. Syarat-Syarat Mahar ... 38
4. Macam-Macam Mahar ... 39
5. Hikmahnya Mahar ... 41
C.‘URF ... 43
1. Pengertian Al-‘Urf ... 43
2. Pembagian Al-‘Urf ... 44
3. Kedudukan Al-‘Urf Sebagai Dalil Syara’ ... 46
BAB III TRADISI MBAYAR TUKON DALAM PERNIKAHAN DI DESA GEJAGAN KECAMATAN PAKIS KABUPATEN MAGELANG A.Keadaan Wilayah Desa Gejagan ... 49
1. Letak Geografis ... 49
2. Keadaan Sosial ... 50
3. Kondisi Pendidikan ... 53
4. Kondisi Sosial Keagamaan ... 54
B. Proses Pelaksanaan Tradisi Mbayar tukon Di Desa Gejagan ... 55
1. Pengertian Mbayar tukon ... 56
2. Tujuan Mbayar tukon ... 58
3. Manfaat dan Kekurangan Mbayar tukon ... 59
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI MBAYAR TUKON DALAM PERNIKAHAN DI DESA GEJAGAN A.Analisis Terhadap Deskripsi Tradisi Mbayar tukon Di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang ... 61
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ... 70 B. Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah agama yang dirid}ai oleh Allah SWT. Islam pada
hakikatnya membawa ajaran yang bukan dilihat dari satu segi kehidupan
manusia melainkan membawa ajaran kebenaran yang mengandung nilai-nilai
universal yang terdiri dari pada Akhlaq dan Aqidah yang dijadikan sebagai
panduan dan pedoman hidup sebagai manusia. Oleh sebab itu, sebagai
manusia wajib beriman kepada kitab Allah supaya bisa melaksanakan syariat
Islam sebagai pedoman dengan rasa takwa kepada Allah.
Salah satu dari segi aturan syariat Islam yang terdapat dalam al-Quran
adalah tentang perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin
diantara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah
tangga yang sah dengan melahirkan keturunan-keturunan yang sesuai dengan
syariat Islam.
Bagi umat Islam, pernikahan adalah merupakan suatu perbuatan yang
suci dan mulia sekaligus merupakan dinding yang kokoh untuk membentengi
manusia dari dosa-dosa yang dilakukan karena dorongan hawa nafsu melalui
pernikahan orang dapat menyalurkan biologisnya secara halal dan sah. Selain
itu pernikahan sebagai sarana untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan
Hukum perkawinan Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Oleh karena itu, aturan-aturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan
dengan jelas dan terperinci, sebagaimana yang tercantum dalam Surat
Az-Zariyat ayat 49 yang berbunyi:
َْقَلَخ ٍءْيَش ِلُك ْنِمَو
َنوُرَكَذَت ْمُكَلَعَل َِْْجْوَز ا
Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”.1
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya, setelah
masing-masing pasangan siap melakukan peranan yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan.2
Sebagaimana dipahami dari teks-teks ayat suci Al-Qur’an dan as
-sunnah (hadis Nabi), perkawinan juga dimaksudkan sebagai usaha
menyelamatkan dan mengamankan alat-alat kelamin dari berbagai bentuk
penyimpangan seksual yang pada gilirannya dapat merusak fungsi-fungsi
reproduksi.
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsa>qan ghal>iz}an untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah,
warah}mah.3
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Cahaya Qur’an, 2006),522.
2
Moh. Thalib, Fikih Sunnah 6 terjemahannya, (Bandung: Alma’arif, 1990), 9.
3
Demikian juga halnya dengan target yang ingin diraih dalam
Undang-Undang perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.4
Perkawinan bisa dikatakan sah menurut hukum apabila sudah
memenuhi syarat-syarat sah dan rukun pernikahan. Salah satu syarat sah
pernikahan adalah dengan adanya pemberian mahar atau maskawin kepada
calon mempelai perempuan.5 Menurut kesepakatan para ulama, mahar adalah
pemberian wajib bagi calon suami kepada calon isteri yang merupakan salah
satu syarat sahnya pernikahan.6
Mahar secara etimologiartinya maskawin. Secara terminologi, mahar
adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
isteri kepada calon suaminya.7
Kata mahar ini berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa
Indonesia, akan tetapi di Indonesia ada juga yang memakai perkataan mas
kawin.8 Dalam Al-Qur’an kata mahar tidak digunakan, akan tetapi digunakan
kata s}aduqah.9
4
R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), 537-538.
5
Idris Lamulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 16.
6
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 101.
7
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka setia, 1999), cet ke-1, 105.
8
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,1974), 77.
9
Mahar dalam bahasa Arab disebut dengan berbagai macam nama,
yaitu: mahar, s}adaq, nih}lah, farid}ah, hibah, ujr, uqar, dan alaiq, tetapi ada
juga yang mengatakan dengan kata thaul.10 Keseluruhan kata tersebut
mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang
diterima.
Dalam Kompilasi Hukum Islam mahar adalah pemberian dari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang
atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.11
Dari definisi mahar tersebut di atas jelaslah bahwa hukum takli>fi>
dari mahar itu adalah wajib, dengan arti seorang yang mengawini seorang
perempuan wajib menyerahkan mahar kepada isterinya itu dan berdosa suami
apabila tidak meyerahkan mahar kepada isterinya.
Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu telah ditetapkan dalam
Al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 4, yang
berbunyi:
ْنَع ْمُكَل َِْْط ْنِإَف ًةَلِِْ َنِِِاَقُدَص َءاَسِلا اوُتآَو
اًئيِرَم اًئيَِ ُوُلُكَف اًسْفَ ن ُِْم ٍءْيَش
Artinya: “berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”12
Maksudnya berikanlah mahar kepada para isteri sebagai pemberian
wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Jika isteri setelah menerima
10
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-
Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), 84.
11
Kompilasi Hukum Islam,14.
12
maharnya tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan maharnya
sebagian kapadamu, maka terimalah dengan baik. Hal tersebut tidak
disalahkan atau dianggap dosa. Bila isteri memberikan maharnya karena
malu, takut atau terkicuh, maka tidak halal menerimanya.13
Begitu juga surat An-Nisa’ ayat 25 yang berbunyi :
ِفوُرْعَمْلاِب َنَُروُجُأ َنُوُتآَو َنِهِلَْأ ِنْذِإِب َنُوُحِكْناَف
Artinya: “karena itu kawinlah mereka wanita dengan seizin
keluarganya dan berikanlah kepada mereka maskawinnya”.14
Berdasarkan penjelasan di atas, maka mahar adalah harta yang
diberikan oleh suami kepada istrinya sebagai pemberian wajib dalam suatu
ikatan perkawinan yang sah merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari
mereka untuk hidup sebagai suami isteri.
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang
wanita dengan memberikan hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk
menerima mahar. Ini berarti bahwa mahar adalah hak milik si wanita itu
sendiri, bukan milik ayah atau saudara lelakinya dan merupakan pemberian
dari pria kepada wanita dengan dasar kerelaan dan keikhlasan.15
Pemberian mahar ini wajib hukumnya atas laki-laki, akan tetapi tidak
menjadi rukun nikah dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad,
pernikahan itupun sah. Banyaknya maskawin tidak dibatasi oleh syari’at
Islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhoan isteri.
Sungguhpun demikian, suami hendaknya benar-benar sanggup membayarnya
13
Sayyid Sabiq, Fikih sunnah 7, (Bandung: Al-Ma’Arif, 1990), 52-53.
14
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, 121.
15
karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi hutang
atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya hutang kepada orang
lain.16
Berdasarkan teori mahar di atas, dalam praktiknya mengenai mahar
ini, tidak mustahil terdapat suatu hal yang berlebihan, seperti masih adanya
kewajiban pemberian mbayar tukon dalam suatu pernikahan oleh calon suami
kepada calon isteri.
Mbayar tukon merupakan pemberian wajib seorang laki-laki kepada
perempuan yang akan dinikahinya selain dari mahar yang telah ditetapkan
dalam bentuk uang dan dilakukan jauh-jauh hari sebelum akad pernikahan
dilangsungkan.
Ketika Hukum Islam dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat yang
memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda sering kali wujud yang
ditampilkan tidak selalu sama dan seragam dengan pranata-pranata Islam.
Seringkali disesuaikan dengan hukum-hukum adat yang berlaku di
masyarakat yang bersangkutan dengan berbagai ciri khasnya. Sebagaimana
yang terjadi di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang terdapat
tradisi yang sampai saat ini tetap berlangsung dan dilaksanakan dalam
pelaksanaan pernikahan, yaitu ketika seorang laki-laki dan perempuan ingan
melaksanakan sebuah pernikahan, maka si calon pria diwajibkan mbayar
tukon kepada calon perempuan yang pemberiannya tersebut dilaksanakan
sebelum akad nikah atau dilaksanakan jauh-jauh hari sebelum acara
16
pernikahan dilangsungkan, dengan ketentuan yaitu jumlah pemberian mbayar
tukon harus sebesar mungkin yang disanggupi oleh si calon pria.
Apabila ada kemungkinan pihak laki-laki tidak bisa memenuhi
kewajiban mbayar tukon tersebut atau mungkin si calon pria sanggup
memenuhi mbayar tukon namun jumlahnya sedikit dan tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah berlaku ada tradisi tersebut maka si calon pria dianggap
tidak bisa menghargai calon isteri serta keluarga si calon isteri, karena di
masyararat setempat menganggap perempuan adalah suatu hal yang sangat
berharga dan dijunjung tinggi keberadaannya. Di samping itu pula calon
laki-laki dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan ada
kemungkinan akan mempermalukan pihak perempuan, tradisi tersebut
berlaku bagi semua kalangan baik itu orang kaya maupun orang tidak mampu
(miskin).
Adapun pemberian tersebut bersifat wajib apabila tidak terpenuhi
maka akan menghambat pernikahan tersebut. Oleh karena itu muncul inti
permasalahan yang menarik untuk ditinjau lebih jauh dan dikaji dalam bentuk
skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Mbayar tukon
Dalam Pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Diskripsi pemberian wajib calon suami kepada calon isteri.
3. Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pemberian wajib mbayar
tukon dalam pernikahan.
4. Apa saja dampak dari tidak terlaksananya pemberian wajib mbayar tukon.
5. Pandangan masyarakat dan tokoh masyarakat di Desa Gejagan Kecamatan
Pakis Kabupaten Magelang.
6. Pendapat para tokoh ulama’ di masyarakat di Desa Gejagan Kecamatan
Pakis Kabupaten Magelang.
7. Akibat hukum dari pemberian mbayar tukon di Desa Gejagan Kecamatan
Pakis Kabupaten Magelang.
8. Tinjauan Hukum Islam terhadap tradisi mbayar tukon dalam pernikahan.
Dari identifikasi masalah tersebut, maka penulis membatasi masalah
dalam beberapa aspek yaitu :
1. Proses terjadinya tradisi mbayar tukon dalam pernikahan di Desa Gejagan
Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.
2. Tinjauan Hukum Islam terhadap tradisi mbayar tukon dalam pernikahan di
Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan dalam batasan masalah di atas, maka yang
dapat dijadikan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pelaksanaan Tradisi Mbayar tukon dalam pernikahan di Desa
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Tradisi Mbayar
tukon dalam pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten
Magelang?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi singkat tentang kajian atau penelitian
yang pernah sudah dilakukan diseputar masalah yang diteliti sehingga terlihat
jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan
atau duplikasi dari kajian atau penelitian tersebut.17
Sebelumnya masalah kewajiban pemberian dalam perkawinan telah
banyak yang membahas diantaranya membahas tentang mahar, akan tetapi
masalah kewajiban pemberian mbayar tukon dari calon suami kepada calon
isteri yang praktek pelaksanaannya sebelum akad nikah belum ada yang
pernah mengangkat masalah ini dan penelitian ini adalah yang pertama kali
dikupas dan dibahas.
Adapun pembahasan tentang kewajiban pemberian dalam perkawinan
sebagaimana yang telah dibahas oleh para mahasiswa adalah :
1. Skripsi Atiqah yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi
Pemeberian Dalam Pernikahan Ngelangkahi di Desa Sumbangan
Kecamatan Bumi Jawa Kabupaten Tegal” disini dijelaskan tentang
kewajiban suami untuk memberikan barang atau uang sebagai syarat
selain dari mahar untuk menikah dengan isterinya yang masih mempunyai
kakak perempuan untuk memenuhi tradisi pemberian barang atau uang
17Fakultas Syari’ah,
tersebut dalam perkawinan ngelangkahi (seorang adik perempuan yang
ngelangkahi kakaknya untuk menikah).18
2. Skripsi Silfi Listiani yang berjudul “Tinjauan hukum Islam mengenai tradisi pemberian almari oleh suami kepada isteri dalam pernikahan (Studi
Kasus di Desa Buko Kecamatan Wedung Kabupaten Demak Jawa Tengah)” di sini dijelakan tentang kesepakatan anatara pihak laki-laki dan
pihak perempuan mengenai pemberian wajib selain mahar yang sudah
menjadi tradisi di desa buko kecamatan wedung kabupaten demak jawa
tengah, yakni sebuah almari yang diberikan suami kepada isteri sebagai
tradisi pemberian wajib almari oleh suami kepada isteri dalam
pernikahan.19
3. Skripsi Huzairi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Kewajiban Pemberian Bereget Dalam Pernikahan (Studi Kasus di Desa
Pacentan Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan)”. Dalam skripsi
tersebut dijelaskan pemberian wajib sejumlah uang yang disebut dengan
bereget oleh seorang laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya
yang dilakukan sebelum akad atau jauh-jauh hari sebelum akad nikah
dilangsungkan.20
18Atiqah, “
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemeberian Dalam Pernikahan Ngelangkahi di Desa Sumbangan Kecamatan Bumi Jawa Kabupaten Tegal” (Skripsi Tidak Diterbitkan UIN Sunan Kali Jaga, 2008).
19
Silfi Listiani “Tinjauan hukum Islam mengenai tradisi pemberian almari oleh suami kepada isteri dalam pernikahan (Studi Kasus di Desa Buko Kecamatan Wedung Kabupaten Demak Jawa Tengah” (Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007).
20
4. Skripsi Athiyah yang berjudul “Tradisi Penyerahan Perabot Rumah Tangga dalam Perkawinan (Studi Kasus di Desa Karduluk Kec. Pragaan Kab. Sumenep Madura)”. Skripsi ini berisi tentang tradisi wajib
memberikan perabot rumah tangga seperti satu set kursi, kasur, bantal
guling, seprei, alat-alat kecantikan beserta lemari hiasnya, dan lain-lain.
Pemberian ini diberikan secara wajib oleh pihak laki-laki untuk pihak
perempuan dan mahar atau pemberian ini diluar dari mahar yang
disebutkan secara langsung saat akad nikah berlangsung.21
Secara singkat, bahwa dari semua pembahasan tentang kewajiban
pemberian di atas, semuanya adalah hasil penelitian yang berdasarkan kasus
di suatu daerah. Sedangakan bahasan yang akan dibahas disini lebih
ditekankan pada suatu kasus mengenai kewajiban pemberian mbayar tukon
oleh calon suami kepada calon isteri sebelum pernikahan dilaksanakan yang
terjadi di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Serta
Tinjauan Hukum Islam terhadap masalah tersebut dan masalah tersebut
terangkum dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Mbayar tukon Dalam Pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten
Magelang”.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitiannya adalah sebagai berikut :
21
Athiyah, “Tradisi Penyerahan Perabot Rumah Tangga dalam Perkawinan (Studi Kasus di Desa
1. Untuk mengetahui kewajiban pelaksanaan tradisi mbayar tukon dalam
pernikahan diDesa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.
2. Untuk mengetahui Analisis Hukum Islam terhadap tradisi mbayar tukon
dalam pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten
Magelang.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat dan
berguna dalam dua aspek:
1. Aspek keilmuan (teoritis)
Dari hasil penelitian ini, di harapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan dan memperkaya wawasan keilmuan. Khususnya bagi
mahasiswa UIN Sunan Ampel bidang Ahwal Al-Syakhsiyyah yang
berkaitan dengan masalah mbayar tukon dalam pernikahan di Kabupaten
Magelang.
2. Secara terapan (praktis)
Penelitian ini kiranya dapat berguna bagi penerapan suatu ilmu
pengetahuan.
G. Definisi Operasional
Berdasarkan judul skripsi yang telah di angkat oleh penulis yaitu “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Wajib Mbayar tukon Dalam
Pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang” maka
dapat diberikan suatu pendefinisian yang lebih terperinci jelas guna
1. Hukum Islam, adalah Hukum Islam tentang perkawinan khususnya yang
berkaitan dengan mahar yang akan mengacu pada Al-Qur’an, al-Hadis,
maupun beruapa hukum yang ditetapkan dengan jalan al-Ijma’ dan al
-Ra<’yu (Ijtihad).
2. Tradisi mbayar tukon, adalah pemberian wajib yang berupa uang dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan proses pemberiannya paling
tidak satu minggu sebelum terjadinya perkawinan, dan jumlah uang yang
diberikan minimal berkisar antara 3 juta rupiah sampai lebih sesuai dengan
tradisi yang sudah berlaku di desa tersebut.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat lapangan, yaitu di Gejagan Kecamatan Pakis
Kabupaten Magelang, oleh karena itu, supaya peneliti dapat menyusun
dengan benar maka penulis menggunakan metode penulisan yaitu:
1. Data yang dikumpulkan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu
penelitian yang menggunakan data dalam bentuk informasi, komentar
pendapat atau kalimat. Data tersebut berupa informasi berupa proses dan
faktor-faktor apa yang melatar belakangi terjadinya pemberian wajib mbayar
tukon dalam pernikahan, pendapat masyarakat dan tokoh masyarakat Desa
Gejagan mengenai pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan tersebut.
Penelitian ini bersifat lapangan, maka untuk mendapatkan data
yang konkrit dalam penelitian ini dibutuhkan sumber data. Berdasarkan
data di atas perlu data-data sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya,
diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.22 Dengan kata lain, data lain
diambil oleh peneliti secara langsung dari objek penelitiannya, tanpa
diperantarai oleh pihak ketiga, keempat dan seterusnya. Dalam penelitian
ini data diperoleh langsung dari lapangan yaitu berupa hasil wawancara
tentang bagaimana tradisi pemberian wajib mbayar tukon dalam
pernikahan di Desa Gejagan, Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.
Adapun data primer dalam penelitian ini diperoleh dari sumber individu
atau perseorangan yang memiliki pengetahuan dalam permasalahan yang
diteliti, seperti dari tokoh agama ataupun tokoh masyarakat setempat.
b. Sumber Data Sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen
resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku
harian dan seterusnya.23 Adapun data ini diperoleh dari sumber tidak
langsung, seperti buku-buku kepustakaan yang masih besangkutan dengan
pembahasan dalam penelitian ini yang diantaranya :
1. Abd. Rahman Dahlan, Usul Fiqh,
2. Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia
3. Idris Lamulyo, Hukum Perkawinan Islam
4. Kitab Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
22
Umar Husein, Metode Riset Komunikasi Organisasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), 56.
23
5. Kompilasi Hukum Islam
6. Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam
7. Sayyid Sabiq, Fiqqih Sunnah
8. Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I
9. Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, J.9,
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini
digunakan teknik :
a. Dokumentasi, yaitu merupakan metode untuk memperoleh data-data
dan buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian
diantaranya meliputi arsip jumlah penduduk, pekerjaan, agama,
ekonomi, dan pendidikan penduduk, dan catatan lapangan atau hasil
wawancara yang nantinya akan diolah menjadi analisis data.24
b. Interview, yaitu melakukan wawancara dan tanya jawab dalam
penelitian yang berlangsung secara lisan dimana terdapat dua orang
atau lebih untuk bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan.25
4. Teknik Pengolaan Data
Setelah terkumpul, maka penulis mengadakan analisis data, dalam
hal ini tahapan-tahapan yang akan ditempuh adalah sebagai berikut:
24
Irawan Soehartono , Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 70.
25
a. Editing adalah pemeriksaan kembali terhadap data-data yang
diperoleh.26 Tentang pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan
di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang yang telah
diperoleh dalam kejelasan untuk penelitian.
b. Organizing adalah menyusun secara sitematis data yang diperoleh
tentang pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan di Desa
Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang dalam kerangka
paparan yang telah di rencanakan sebelumnya untuk memperoleh
bukti-bukti dan gambaran secara jelas tentang permasalahan yang
diteliti.
5. Teknik Analisis Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya
menganalisis data tersebut menggunakan metode deskriptif, yaitu
menggambarkan tentang penetapan jumlah pemberian wajib mbayar
tukon dalam perkawinan bagi masyarakat di Desa Gejagan Kecamatan
Pakis Kabupaten Magelang, ialah apabila seorang laki-laki ingin menikahi
seorang perempuan maka dia wajib memberikan mbayar tukon yang telah
ditetapkan oleh masyarakat desa Gejagan. Penelitian ini dalam analisisnya
juga menggunakan metode deduktif yaitu cara analisis yang digunakan
dalam sebuah penelitian disaat penelitian berangkat dari sebuah teori
yang kemudian dibuktikan dengan pencarian fakta.
26
Dalam analisis data yang dilakukan, pola pikir deduktif yaitu
bahwa penulis terlebih dahulu menjelaskan teori tentang perkawinan dan
mahar dalam Hukum Islam, bagaimana praktek dan kebiasaan yang
diajarkan oleh Rasulullah. Kemudian setelah itu baru penulis
menganalisis praktek pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan di
Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang, apakah ada
kesesuaian dan titik temu dengan landasan teori dan praktek pemberian
wajib dalam Hukum Islam dan yang dilakukan oleh Rasulullah.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang
masing-masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan
saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan berisi latar belakang,
identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, identifikasi masalah, definisi operasional, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, berisi landasan teori yang tentang perkawinan meliputi :
pengertian perkawinan, hukum perkawinan, syarat dan rukun perkawinan,
tujuan perkawinan, tentang mahar (maskawin) dan juga tentang Ur’f.
Bab ketiga, merupakan uraian tentang data laporan hasil penelitian
yang meliputi: profil keadaan Desa Gejagan berupa letak geografis, keadaan
sosial, keadaan ekonomi, kondisi pendidikan dan Agama, dan proses
Bab keempat, merupakan bab yang menganalisis lebih mendalam
mengenai Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Wajib Mbayar tukon
Dalam Pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang,
Yaitu Analisis Terhadap Deskripsi Pemberian Wajib Mbayar tukon Dalam
Pernikahan dan Analisis Terhadap Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Pemberian Wajib Mbayar tukon Dalam Pernikahan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TANTANG PERNIKAHAN, MAHAR, DAN ‘URF
DALAM ISLAM
A. PERNIKAHAN
1. Pengertian Pernikahan
Perkawinan menurut bahasa (az-zawaj) diartikan pasangan atau
jodoh. sedangkan menurut syara’, fuqaha’telah banyak memberikan
definisi. Secara umum di artikan akad zawaj adalah pemilikan sesuatu melalui jalan yang disyari’atkan dalam agama. Sebagai mana kata zawaj
diucapkan pada akad atau transaksi, menurut fuqoha’ kata nikah juga
banyak diucapkan dalam akad. Menurut bahasa nikah diartikan adh-dham
(berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtilah (bercampur).
Para ulama merinci makna lafadz nikah ada empat macam.
1. Nikah diartikan akad dalam arti yang sebenarnya dan diartikan
percampuran suami istri;
2. Nikah di artikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan
akad;
3. Nikah dalam lafadz (mempunyai dua makna yang sama);
4. Nikah di artikan ad-dham meliputi gabungan fisik yang satu dengan
fisik yang lain dan gabungan ucapan satu dengan ucapan lain; yang
pertama gabungan dalam bersenggama yang kedua gabungan dalam
Sedangkan para ahli fikih lainnya berbeda pendapat dalam hal
makna hakiki nikah:
1. Ada yang berpendapat bahwa makna hakikinya adalah akad dan
makna kiasannya (majaz) adalah bersetubuh. 1 Para fukaha
mengatakan, ketika makna kiasan lebih diutamakan atas makna
sinonim, maka hal ini menunjukkan bahwa makna kiasannya adalah
bersetubuh. Oleh karena itu, makna hakiki nikah dalam syariat adalah
akad dan makna kiasannya adalah bersetubuh.
2. Sebagian berpendapat bahwa makna hakiki nikah adalah akad dan
persetubuhan, karena ia digunakan dalam kedua makna ini. Kami
sangkal bahwa ia lebih umum dari pada kedua makna ini.
3. Sebagian lain berpendapat bahwa makna kiasannya adalah akad dan
makna hakikinya adalah persetubuhan, karena keduanya diambil dari
makna “memeluk dan bercampur”.2
Sumber hukum pernikahan dalam Islam adalah al-Quran dan
Sunnah Rasul. Dalam al Quran banyak sekali ayat-ayatnya, seperti dalam
surat an Nisa ayat 1:
اَهَجْوَزَاَهْ نِمََقَلَخَو...
َ
اَمُهْ نِمََثَبَو
َ
اَجِر
اسنلا(..ًءآسِنَوَاًرْ يِثَكَ ًً
َ:َء
۱
)
َ
Artinya: “…Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”(QS. An Nisa: 1)3
1
Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab III, 300 2
Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, 302 3
Rasulullah saw juga menegaskan: “nikah adalah termasuk sebagian dari sunnahku. Maka barang siapa yang tidak senang (benci) terhadap sunnahku, ia bukanlah dari umatku.”(HR. Ibnu Majah dari Aisyah ra.)
Dalam sebuah hadits riwayat al Baihaqi Rasulullah saw
menyatakan: “apabila seseorang telah melaksanakan perkawinan, berarti ia
telah menyempurnakan separuh dari agamanya (karena telah sanggup
menjaga kehormatannya), oleh karena itu berhati-hatilah kepada Allah
dalam mencapai kesempurnaan pada paruh yang masih tertinggal”.4
Oleh karena itu dapat disimpulkan pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan ulama’ seorang wanita atas dasar kerelaan dan
kesukaan belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan percampuran
antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi
sekutu sebagai teman dalam rumah tangga.
Pernikahan adalah pintu gerbang yang sakral yang harus dimasuki
oleh setiap insan untuk membentuk sebuah lembaga yang bernama
keluarga. Perhatian islam terhadap keluarga begitu besar, karena keluarga
merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih luas.
Keluarga adalah pemberi warna dalam setiap masyarakat. Baik tidaknya
sebuah masyarakat tergantung pada masing-masing keluarga yang terdapat
dalam masyarakat tersebut.
4
Pernikahan merupkan sunnahtullah yang umum dan berlaku semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia
adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT. Sebagai jalan bagi makhluknya
untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. Pernikahan akan
berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya
yang positif dalam newujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. Allah
SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungn antara jantan dan betina secara
anergik atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan
martabat manusia, maka Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan
martabat tersebut.
2. Hukum Melaksanakan Pernikahan
Nikah ditinjau dari segi syar’i ada lima macam. Terkadang hukum
nikah itu bisa wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah atau hukumnya
hanya boleh menurut syariat. Dijelaskan sebagai berikut:
1. Wajib, bagi orang yang takut akan terjerumus ke dalam lembah
perzinaan jika ia tidak menikah. Karena, dalam kondisi semacam ini,
nikah akan membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan.
Dalam masalah seperti ini Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “jika seseorang membutuhkan nikah, dan takut berbuat zina jika tidak
melaksanakannya maka ia wajib menikah dari pada melaksanakan kewajiban ibadah haji. “Para Ulama berkata: dalam kondisi seperti ini
nafkah dan yang belum mampu untuk menafkahi.”Syekh taqiyyuyuddin berkata: “apa yang dikatakan kebanyakan para Ulama adalah jelas dan benar. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak
disyaratkan bagi orang tersebut untuk mampu memberi nafkah, karena
Allah menjanjikan bagi orang yang mau melaksanakan nikah akan
menjadi kaya.5 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an Nur
ayat 32:
اْوُحِكْناَو
َ
ََصلاَوَْمُكْنِمَىماَيًَا
َْمُكِءآمِإَوَْمُكِداَبِعَْنِمََْيِحِل
َ
َُهاَُمِهِنْغُ يََءآرَقُ فَاْوُ نْوُكَيَْنِإ
ٌَمْيِلَعٌَعِساَوَُهاَوَهِلْضَفَْنِم
:رونلا(
)
Artinya: “Dan nikahlah orang-orang sendiriran di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan karuniaNya, dan Allah maha luas
(pemberianNya) lagi maha mengetahui.” (QS. An Nur: 32)6َ
2. Sunnah, ketika seorang laki-laki telah memiliki syahwat (nafsu
bersetubuh), sedangkan ia tidak takut terjerumus ke dalam zina. Jika ia
menikah, justru akan membawa maslahat serta kebaikan yang banyak,
baik bagi laki-laki tersebut maupun wanita yang dinikahinya.
3. Mubah atau dibolehkan, bagi orang yang syahwatnya tidak bergejolak,
tapi ia punya kemauan serta kecenderungan untuk menikah. Hukum
mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan
penghambatnya untuk nikah itu sama, sehingga menimbulkan
keraguan orang yang akan melakukan nikah, seperti mempunyai
5
Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 640 6
keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai
kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang
kuat.
4. Haram, bagi seorang muslim yang berada di daerah orang kafir yang
sedang memeranginya. Karena hal itu bisa membahayakan anak
keturunannya. Selain itu pula orang-orang kafir itu bisa
mengalahkannya dan menjadikannya di bawah kendali mereka.7
Namun Syafii mengatakan bahwa bagi orang yang tidak mempunyai
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya maka hukum
melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah haram. Firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
ًَََو...
َ
اْوُقْلُ ت
َ
:ةرقبلا(َ...ِةَكُلْهَ تلاَ َلِإَْمُكْيِدْيَاِب
٢١
)
Artinya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan…” (QS. Al-Baqarah: 195)
Termasuk juga hukumnya haram pernikahan bila seseorang
nikah dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, termasuk pada
orang gila, yang tidak pernah mengurusi antar orang lain (suami atau
istrinya), masalah wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar
wanita itu tidak dapat nikah dengan orang lain.8
7
Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, 641 8
5. Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina
sekiranya tidak nikah, hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan
yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.9
Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Malik bin
Anas hakikat pernikahan itu pada awalnya memang dianggap sebagai
perbuatan yang dianjurkan. Namun bagi beberapa pribadi tertentu,
pernikahan itu dapat menjadi kewajiban. Walaupun demikian, Imam Syafii
beranggapan bahwa menikah itu mubah atau diperbolehkan.
Keluar dari pertimbangan perintah al-Quran dan Hadits Nabi saw
adalah pernikahan itu diwajibkan bagi seorang lelaki yang memiliki
kekayaan yang cukup untuk membayar mahar, memberi nafkah kepada
istri dan anak-anak, sehat jasmani dan khawatir kalau tidak menikah itu
justru akan menimbulkan perbuatan zina. Pernikahan juga diwajibkan bagi
orang perempuan yang tidak memiliki kekayaan apa pun untuk membiayai
hidupnya, dan dikhawatirkan kebutuhan seksnya akan menjerumuskan ke
dalam perzinaan. Namun nikah itu sifatnya mubah dan sunnah bagi orang
yang mempunyai dorongan seksual yang kuat. Maka dengan pernikahan
tidak akan terjerumus ke dalam bujukan setan. Sebaliknya, berkeinginan
9
untuk menikah itu tidak akan menjauhkannya dari mengabdi kepada Allah
SWT.10
3. Rukun dan Syarat Pernikahan
Mengenai rukun akad nikah ada beberapa hal, yaitu:
1. Adanya calon mempelai wanita dan mempelai pria yang tidak
memiliki hambatan untuk mengadakan akad nikah yang sah.
Misalnya, calon mempelai wanita yang dinikahi bukanlah wanita yang
haram untuk dinikahi bagi calon mempelai pria.11
2. Adanya wali, yaitu orang yang akan menikahkan perempuan, dari
keluarga (laki-laki) yang terdekat. Apabila tidak ada, maka qadhi
bertindak sebagai wali, kalau wali tidak ada pernikahan tidak sah.
Wali yang dapat memberikan haknya dalam pernikahan yang dalam
kehendaknya apabila dia (perempuan) masih kecil, tetapi manakala sudah
(dewasa) dia punya hak penarikan kembali. Tetapi ada juga yang
berpendapat bahwa dia (istri) tidak punya hak apabila ayahnya adalah
orang yang telah memberinya hak dalam pernikahan. Aturan-aturan serupa
itu, berlaku pula apabila pengantin laki-laki yang masih kecil dinikahkan
oleh wali, begitu pula dengan budak perempuan yang tuannya telah
menikahkannya, kemudian bertentangan dengan kehendak (perempuan),
punya hak menolak apabila dia sudah merdeka. Seorang perempuan
10
Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 155
11
merdeka yang bertanggung jawab penuh, boleh menikahkan dirinya
sendiri tetapi walinya berhak menolak apabila suaminya tidak sekufu.12
Adapun hukum perwalian terhadap orang gila itu persis dengan
anak kecil, dan di kalangan ulama mazhab terdapat kesamaan pendapat
dalam hal ini, baik orang tersebut gila sejak kecil maupun sesudah baligh
dan mengerti.Berbeda dari pendapat di atas, adalah pendapat segolongan
mazhab Imamiyah, yang disebutkan dalam ini membedakan antara
orang-orang gila sejak kecil dengan orang-orang-orang-orang yang gila sesudah mereka
menginjak dewasa dan mengerti. Para ulama mazhab Imamiyah ini
mengatakan: perwalian ayah dan kakek berlaku atas orang gila yang sejak
kecil, sedangkan orang gila yang sesudah menginjak dewasa,
perwaliannya berada di tangan hakim.13
Syarat-syarat wali ialah:
a. Islam
b. Baligh (dewasa)
c. Berakal
d. Merdeka
e. Adil
f. Laki-laki
12
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, diterjemahkan oleh Moh. Said, (Jakarta: Depag RI, 1985), 207
13
3. Adanya saksi.14 Kesaksian dalam suatu pernikahan mempunyai arti
yang khusus, hingga ia menjadi salah satu dari rukun pernikahan, atau
menjadi salah satu syarat sahnya suatu pernikahan. Dalam pernikahan
maka saksi itu dimaksudkan untuk memuliakan pernikahan itu sendiri,
dan untuk menolak berbagai prasangka yang mungkin timbul. Firman
Allah surat at Talaq ayat 2:
يَوَذَاْوُدِهْشَأَو...
َ
اوُمْيِقَاَوَْمُكْنّمَ لْدَع
َ
ََةَداَهَشلا
َ
َِهّلِل
َ:قاطلا(...
)
Artinya: “…persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…”(QS. At Talaq: 2)
Imam Abu Hanifah, Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal
menegaskan bahwa sesungguhnya pemberitahuan itu sudah terpenuhi
dengan adanya saksi-saksi waktu akad nikah. Kesaksian dua orang
saksi itu adalah pemberitahuan yang minimal. Dan tidak sah suatu
pernikahan tanpa adanya dua orang saksi, sekalipun ada
pemberitahuan yang lain, seperti upacara pesta pernikahan dan
sebagainya yang hukumnya hanya sunnah.15
4. Adanya ijab atau penyerahan, yaitu lafazh yang diucapkan oleh
seorang wali dari pihak mempelai wanita atau pihak yang diberi kepercayaan dari pihak mempelai wanita dengan ucapan “saya
nikahkan kamu dengan... dengan mahar…”
5. Adanya kabul atau penerimaan, yaitu suatu lafazh yang berasal dari
calon mempelai pria atau orang yang telah mendapat kepercayaan dari
14
Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafii II, 270 15
pihak mempelai pria, dengan mengatakan “saya terima nikahnya…,
dengan mahar…”16
Ijab kabul itu suatu yang tidak dapat dipisahkan sebagai salah
satu rukun nikah. Teknik mengijabkan dan mengkabulkan dalam akad
nikah itu ada empat macam, yaitu:
a. Wali sendiri yang menikahkan perempuan.
b. Wali-wali yang menikahkan (pihak yang diberi kepercayaan dari
pihak mempelai wanita)
c. Suami sendiri yang menerima nikah
d. Wakil suami yang menerima nikah.17
Dalam masalah sighat ijab kabul ini ada beberapa hal yang
perlu diketahui, antara lain:
a. Lafalz nikah itu harus dengan kata-kata “nikah”, “tazwij” atau
terjemahannya seperti kawin atau dijodohkan. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim: “berhati
-hatilah terhadap wanita (istrimu), karena kalian mengambil mereka
(sebagai istri) dengan dasar amanat dari Allah, dan kehormatan
mereka dihalalkan bagi kalian dengan menggunakan kalimat Allah.”
b.Lafalz ijab kabul harus didengar oleh kedua belah pihak dalam
suatu majlis yang khusus diadakan untuk keperluan itu. Begitu pula
16
Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, 649 17
sighat ijab kabul itu tidak boleh dipisahkan oleh ucapan-ucapan
lain atau dengan pembicaraan lainnya.18
Untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hukum
pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kedua belah pihak sudah tamyiz, bila salah satu pihak ada yang gila
atau masih kecil dan belum tamyiz (membedakan benar dan salah),
maka pernikahannya tidak sah.
2. Ijab kabulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab kabul
tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain. Tetapi didalam ijab kabul
tak ada syarat harus langsung, bilamana majlisnya berjalan lama dan
antara ijab kabul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi
upacara ijab kabul, maka tetap dianggap satu majlis, sama dengan
pendapat golongan Hanafi dan Hambali, yang menyatakan bila ada
tengggang waktu antara ijab kabul, maka hukumnya tetap sah, selagi
dalam satu majlis juga tidak diselingi sesuatu yang mengganggu.
3. Hendaklah ucapan kabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau
lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan
persetujuannya lebih tegas. Jika pengijab mengatakan: aku nikahkan
kamu dengan anak perempuanku si A, dengan mahar seratus rupiah,
umpamanya lalu kabul menjawab: aku menerima nikahnya dengan
mahar dua ratus rupiah, maka nikahnya sah, sebab kabulnya memuat
18
harga yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari yang dinyatakan
pengijab.
4. Pihak-pihak yang melakukan akad harus dapat mendengarkan
pernyataan masing-masingnya dengan kalimat yang maksudnya
menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah, sekalipun
kata-katanya ada yang tidak dapat difahami, karena yang dipertimbangkan
di sini ialah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang
dinyatakan dalam ijab dan kabul.19
4. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Allah SWT mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang
kuat bagi kehidupan manusia karna adanya beberapa nilai yang tinggi dan
beberapa tujuan utama yang bagi manusia, mahluk yang dimuliakan Allah
SWT. Untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan menjahui dari
ketimpangan dan penyimpangan, Allah SWT telah membekali syariat dan
hukum-Hukum Islam agar dilaksanakan manusia dengan baik.
Tujuan dan hikmah agama Islam dalam mensyariatkan pernikahan
diantaranya sebagai berikut:
1. Membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rohmah.20 Firman Allah
SWT dalam surat ar Rum ayat 21:
ََوَ
َِم
َْنَ
آََياَ
ِتَِهَ
ََأَْن
َ
ََخََل
ََقََ
َلَُك
َْمَ
َّمَْن
َََأَْ ن
َُف
َِس
َُك
َْمَََأ
َْزََو
ًَجا
َّلَا
ََتَْس
َُكَُن
َوَا
َِإََلَْ ي
ََه
ََوَا
َ
ََجََع
ََلَ
ََ بَْ يََن
َُك
َْمَ
ََمََو
ََدًَة
َََوََر
ََْح
ًَةَ
َِإََن
َ
َِف
ََذََ
ِل
ََك
َ
آَ
َي
َ تا
ََّل
ََقَْو
َ مَ
ََ يََ تََف
ََك
َُرَْو
ََنَ
َمورلا(
٢
)
19Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah VI, 49-51 20
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kemahabesaran)-Nya adalah bahwa Dia mencipta jodoh-jodohmu dari kalanganmu
sendiri agar kamu merasa tenang (li taskunu) bersama mereka
dan Dia menjadikan rasa cinta kasih di antara kamu.
Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda
(kemahabesaran Allah) bagi orang-orang yang mau
berfikir.”(Q.S. Ar Rum: 21)21
2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah
SWT mengerjakannya.
3. Untuk menghormati sunnah Rasulullah saw. Beliau mencela
orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun dan beribadah
setiap malam dan tidak akan nikah-nikah. Beliau bersabda:
...
ََفََم
ََرَن
ََبغ
َََع
َْنَ
َُسََن
َِت
ََ فَََل
َْي
ََس
ََِم
َّّ
َ َ.)ملسموَيرَاخبلاَ اور(
Artinya: “…Maka barangsiapa yang benci kepada sunnahku
bukanlah ia termasuk (umat)ku”. (H.R.Bukhari dan Muslim).
4. Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan
rasa kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya
rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Rasa cinta dan
kasih sayang dalam keluarga ini akan dirasakan pula dalam masyarakat
atau umat, sehingga terbentuklah umat yang diliputi cinta dan kasih
sayang.22
5. Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas
ayah, kakek dan sebagainya hanya diperoleh dengan pernikahan.
Dengan demikian akan jelas pula orang-orang yang bertanggung jawab
terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga
21
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 324 22
menjadilah ia seorang muslim yang dicita-citakan. Karena itu agama
Islam mengharamkan zina, tidak mensyariatkan poliandri, menutup
segala pintu yang mungkin melahirkan anak di luar pernikahan, yang
tidak jelas asal usulnya.23
Naluri seksual merupakan naluri yang paling kuat, yang selalu
mendesak manusia untuk mencari dan menemukan penyalurannya.
Oleh karena itu jika jalannya tertutup dan tidak menemui kepuasan,
manusia akan mengalami kegelisahan dan keluh kesah, yang akan
menyeretnya kepada penyelewengan-penyelewengan yang tidak
diinginkan. Pernikahan adalah suatu cara yang alamiah yang
sebaik-baiknya dan corak kehidupan yang paling tepat untuk memuaskan dan
menyalurkan naluri ini. Dengan demikian badan jasmani tidak akan
menderita kegoncangan lagi, nafsu kelamin dapat dikendalikan, dan
hasrat keinginannya dapat dipenuhi dengan barang yang dihalalkan
Allah.24
B. MAHAR (Mas Kawin)
1. Pengertian Mahar
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi,
mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih
bagi seorangisteri kepada calon suaminya.25
23 Ibid, 15 24
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, 248
25
Kata mahar ini berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa
Indonesia terpakai, akan tetapi di Indonesia ada juga yang memakai
perkataan mas kawin.26Dalam Al-Qur’an kata mahar tidak digunakan,
akan tetapi digunakan kata shaduqah.27
Mahar dalam bahasa Arab disebut dengan berbagai macam nama,
yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba, ujr, uqar, dan alaiq,13 tetapi
ada juga yang mengatakan dengan kata thaul. Keseluruhan kata tersebut
mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang
diterima.28
Menurut Sayyid Sabiq mahar adalah pemberian wajib suami pada
isteri sebagai jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan ridha
menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.29
Sebagian ulama’ Hanafiah mendefinisikan mahar sebagai berikut :
ََاَْل
ََمَْه
َُرَ
َََُوَ
ََماَ
ََيَْس
ََتَِح
َ قَُهَ
ََاَْل
ََمَْر
َََءَُة
ََِب
ََعَْق
َِدَ
َّنلا
ََكَا
َِح
َََاَِو
ََْلا
ََوَ
َْط
َ ء
َ
Artinya : “mahar adalah suatu yang berhak dimiliki oleh seorang
wanita sebab adanya akad nikah atau wat}”.30
Sedangkan menurut sebagian ulama’ Malikiyah mahar adalah:
ََاَْل
ََمَْه
َُرَ
َََُوَ
ََم
ََْيَا
ََعَُل
ََِلَْل
ََزَْوَ
ََجَِة
َ
َِْفَ
ََنَِظ
َِْيَ
َِْلا
َْساَِت
َْمََت
َِعا
ََِب
َِه
Artinya: “Mahar adalah sesuatu yang dijadikan (dibayarkan) kepada isteri sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksualitas ”.31
26
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 77.
27
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 100.
28
Darmawan, Mahar dan Walimah,(Surabaya : Srikandi, 2007), 3.
29
Sayyid Sabbiq, Fiqqih Sunnah 7, (Bandung : Alma’arif, 1990), 53.
30
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, J.9, (Beirut : Dar al-Fikr,t.t), 6758.
31
Malikiyah memandang mahar bahwa mahar yang diwajibkan
dalam nikah sebagai alat pembayaran bagi isteri atas jasa pelayanan
seksualitas pada suami, dan yang ini adalah pandangan yang materialis.
Imam Zakariya Al-Anshari mendefinisikan Sidhaq mahar sebagai
berikut:
ِ بِ ن
ِ ك
ِ حا
ِِ ا
ِ وِ
ِ ب ج وا م
ِ و
ِ ط
ِ ء
ِ و اِ
ِ تِ ف
ِ وِ
ِ يِ ظ
ِ
ِ ره قِ ع ض ب
ِ كِا
ِ إِ رِ
ِ ض
ِ عا
Artinya: “Sesuatu yang diwajibkan sebab nikah, persetubuhan atau hilangnya manfaat budak dengan terpaksa seperti terjadinya susunan”32
Dalam Kompilasi Hukum Islam mahar adalah pemberian dari
calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.33
Dari definisi mahar tersebur di atas jelaslah bahwa hukum taklifi
dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang
perempuan wajib menyerahkan mahar kepada isterinya itu dan berdosa
suami yang tidak menyerahkan mahar kepada isterinya.
Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami
terhadap istri. Selain itu mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami
hidup bersama istri serta sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah
tangga dan keluarga. Ia juga merupakan penghormatan seorang suami
terhadap istri.
Walau bagai manapun mahar tidaklah merupakan rukun nikah atau
syarat sahnya suatu pernikahan. Sekiranya pasangan setuju menikah tanpa
32
Zakariyah al-Anshari, Fath al-Wahhab, j.2, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), 54.
33
menentukan jumlah mahar, pernikahan tersebut tetap sah tetapi suami
diwaibkan membayar mahar misil (yang sepadan). Ini berdasarkan satu
kisah yang berlaku pada zaman Rasululah SAW dimana seorang
perempuan menikah tanpa disebutkan maharnya. Tidak lama kemudian
suamnya meninggal dunia sebelum sempat bersama dengannya
(melakukan persetubuhan) lalu Rosulullah mengeluarkan hukum supaya
perempuan tersebut diberikan mahar misil untuknya. 34
2. Dasar Hukum Mahar
Suatu kelebihan syari’at Islam dengan Syri’at yang lainnya antara
lain dalam hal memulyakan wanita. Dalam Hukum Islam diwajibkan
seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang wanita untuk
memberikan mahar. Meskipun pemberian mahar tersebut hanya sebagai
sebagai symbol atas kecintaan seorang calon suami, bahwasannya dia
benar-benar mencintai calon isterinya. Demikian juga calon isteri, bahwa
penerimaan mahar tersebut sebagai simbol tanggung jawab seorang wanita
terhadap harta atau bentuk pemberian lain yang diamanatkan suami
kepadanya.
Perintah pembayaran mahar ini didasarkan atas firman Allah SWT
dalam surat An-Nisa: 4 yang berbunyi :
ََاَو
اًئيِنََُْوُلُكَفَاًسْفَ نَُهْنّمَ ءْيَشَْنَعَْمُكَلََِْْطَْنِإَفًَةَلََِِْنِهِتقُدَصََءآسّنلااوُت
َََم
َ:ءاسنلا(َ.اًئيِر
٤
)
Artinya:“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
34
dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4).35
Perintah pembayaran mahar juga tercantum dalam firman Allah
SWT dalam surat An-Nisa: 25 yang berbunyi :
ِ نا ف
ِ ك
ِ ح
ِ وِ
ِ ا
ِ نِ
ِ بِ ا
ِ ذ
ِ نِ
ِ اِ
ِ لِ ه
ِ نِ
ِ وِ اِ ت
ِ و
ِ ِا
ِ نِ
ِ اِ ج
ِ وِ ر
ِ ِ ن
ِِ با
ِ مل
ِ عِ ر
ِ و
ِ ف
ِِ
ا(
ِ نل
ِ س
ِ ءا
ِ:
)
Artinya: “……karena itu kawinlah mereka dengan seizin keluarga
(orang tua) dan berilah mas kawin menurut yang patut…..”36
Dari kedua ayat tersebut diatas diperoleh ketentuan bahwa mahar
adalah merupakan pemberian wajib dari suami kepada isterinya. Terutama
untuk isteri-isteri yang telah dicampuri mahar merupakan kewajiban atas
suami dimana si isteri harus tau berapa besar dan wujud dari mahar yang
menjadi haknya itu. setelah si isteri mengetahuinya, boleh terjadi
persetujuan lain tentang mahar yang menjadi hak isteri itu. misalnya ia
membebaskan suami untuk pemberiaan mahar itu atau ia mengurangi
jumlah, merubah wujud dan lain sebagainya.
Dengan demikian mahar yang menjadi hak isteri itu dapat
diartikan sebagai tanda bahwa suami sanggup untuk memikul
kewajiban-kewajiban sebagai suami dalam hidup perkawinannya selanjutnya. Jadi
jangan di artikan bahwa pemberian mahar itu sebagai pembelian atau upah
bagi isteri yang telah menyerahkan dirinya kepada suami.
Adapun jumalah besarnya dan wujudnya mas kawin itupun tidak
ditentukan dengan pasti. Hal ini tergantung pada kemampuan calon sumai
35
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 61 36
dan persetujuan dari masing-masing pihak yang akan menikah. Janganlah
hendaknya ketidak sanggupan membayar mas kawin yang jumlahnya
besar menjadi penghalang bagi berlangsungnya suati perkawinan. Yang
penting calon suami wajib member mahar kepada isterinya dalam bentuk
atau wujud apapun asal mempunyai nilai dan halal. Bahkan mahar adapula
yang berwujud upah. Dalam hal ini seoarang laki-laki yang hendak
menikahi seorang wanita melakukan suatu pekerjaan pada pihak isteri
yang bisa mendatangkan upah, dan upah yang diterimanya itu dipakai
untuk membayar mahar kepada calon isterinya. Perkawinan dengan mahar
berupa upah ini disebut nikah bil ijarah.37
3. Syarat-Syarat Mahar
Mahar boleh berupa uang, perhiasaan, perabot rumah tangga,
binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya yang
mempunyai harga. Disyarakan bahwa mahar harus diketahui secara jelas
dan global, misalnya sepotong emas atau sekarung gandum.
Syarat lain bagi mahar adalah hendaknya yang dijadikan mahar itu
adalah barang yamg halal dan berharga dalam syariat Islam.38Mahar yang
diberikan kepada calon isteri, harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Harta atau bendanya berharga.
Tidak sah mahar yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun
tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar.
37
Soemyati, Huukum Perkawinan Islam dan Undang –Undang Perkawinan, (Yogyakarta: liberty, 1986), 58.
38
b. Barangnya suci dan bisa di ambil manfaatnya.
Tidak mahar dengan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram
dan tidak berharga
c. Barangnya bukan barang gasab.
Gasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya,
namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk
mengembalikan kelak.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas
keadaaanya, atau tidak disebutkan jenisnya.39
4. Macam-Macam Mahar
Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fikih sepakat
bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Mahar yang Disebutkan (Musamma)
Mahar yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati
oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti
membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa
menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak
mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
Berdasarkan bentuk atau cara pembayarannya, mahar
musamma dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Mahar Mu ‘ajjal ialah yang segera diberikan kepada isterinya
39
2) Mahar Mu ‘ajjal ialah Mahar yang pemberiannya di tangguhkan,
jadi tidak seketika dibayarkan sesuai dengan persetujuan kedua
belah pihak.40
b. Mahar yang Sepadan (Mitsil)
Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk
wanita yang menikah tanpa menyebutkna mahar dalam akad, ukuran
mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika
menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan
sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.
Dalam menetapkan jumlah mahar yang sepadan, lazimnya
hendaklah dipertimbangkan dan didasarkan pada jumlah mahar yang
telah ditetapkan dalam pernikahan anggota keluarga dari prempuan yang bersangkutan. Demikian menurut Imam Syafi’I, Hanafi, dan
Ahmad bin Hambal. Sedangkan menurut Imam Malik dalam
menetapkan mahar yang sepadan ini haruslah dipertimbangkan dan
didasarkan pada keadaan wanita itu dari segi kecantikan, kesucian
rohani, dankedudukan sosial dari keluarga isteri.
Mahar mitsil juga terjadi apa bila alam keadaan sebagai berikut
1. Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad
nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau
meninggal sebelum bercampur.
40
2. Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah
bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.41
Dalam hal ini nikah tidak disebutkan dan tidak ditetapkan
maharnya, maka nikahnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama’ diperbolehkan. Karena berdasarkan Firman Allah :
ًَََ
ََحاَنُج
َ
َْمُكْيَلَع
َ
َْنِإ
َ
َُمُتْقَلَط
َ
ََءاَسّنلا
َ
اَمَ
ََْلَ
ََنُو سَََ
َ
َْوَأَ
اوُضِرْفَ ت
َ
ََنََُ
َ
(ًَةَضيِرَف
:ُةاَرَقَ بْلَا
)
َ
Artinya : “tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka