• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN SINERGITAS UNTUK PENGUATAN EKONOMI KERAKYATAN ipi48986

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MANAJEMEN SINERGITAS UNTUK PENGUATAN EKONOMI KERAKYATAN ipi48986"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN SINERGITAS UNTUK PENGUATAN EKONOMI KERAKYATAN

Rutiana Dwi Wahyuningsih

Jurusan Ilmu administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Mar et Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta

E-mail: rutiana.uns@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini menyajikan inovasi pemerintah kota Surakarta dalam membangun sinergitas antara pilar pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan. Prinsip yang dipakai adalah (1) product management, menghasilkan produk yang unggul, dan kompetitif; (2) branding management, mengelola hasil/produk kota yang mencerminnkan karakter kota; (3) dan customer management, membuat orang ingin kembali ke kota Surakarta untuk membelanja kan uangnya . Inovasi cara berpikir untuk pengembangan kota adalah (1) From top down to partnership/participatory, menekankan partisipasi stakeholder dibandingkan perintah dari pemerintah saja; (2) From bureaucratic style to entrepreneurial mindset, menekankan pola berpikir kreatif diantara para SKPD dan pro aktif mengembangkan kerjasama dengan pihak swasta dan masyarakat; (3) From procedural attitude to end-result oriented, Perubahan dari cara berpikir yang lambat dan berbelit, kepada pola pikir yang responsif terhadap peluang dan berorientasi pada kemanfaatan yang diterima masyarakat, (4) From partial handling to integrative solution, Perubahan dari cara berpikir yang sektoral, parsial, kepada pemikiran yang komprehensif, sinergis. Hal yang dibangun adalah bagaimana memberikan kenyamanan pada orang datang kekota Surakarta, mulai dari pelayanan publiknya, transportasi, penginapan,

kuliner, dan keramahan masyarakatnya. Konsep lokal yang diyakini untuk mengelola kota adalah “saiyeg saekopraja”, yaitu bersama-sama mengelola Kota, bukan hanya dari Walikota atau pemerintah, tetapi kota ini adalah milik bersama rakyat Surakarta

Kata Kunci: governance, sinergi, ekonomi kerakyatan

1.

KREATIVITAS MANAJEMEN KOTA

DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

1.1 Tujuan Otonomi Daerah

Otonomi daerah, atau yang sering disebut sebagai satu paket dengan desentralisasi daerah, yaitu mempunyai tujuan administratif dan tujuan ekonomis. Tujuan administratif mendekatkan dan menyediakan pelayanan lebih baik, dan memperbesar kedekatan dan kepemilikan masyarakat, sehingga memperbesar akuntabilitas pemerintahan (Sandee, 2009). Hal ini sejalan dengan perkembangan konsep governance, yang dilansir oleh The United Nations tahun 1990-an (Cheema dan Rondinelli, 2007:6) yaitu “the exercise of political, economic, and administrative authority in the

management of a countr’s affairs”. Dalam konsep ini desentralisasi tidak berarti hanya masalah transfer kekuasaan, otoritas dan responsibilitas di dalam pemerintahan, tetapi juga sharing otoritas dan sumber daya untuk pembentukan kebijakan publik di masayrakat. Cheema dan Rondinelli (2007:6) menyebut praktik desentralisasi dikategorikan setidaknya dalam empat kategori:

(1) Desentralisasi administratif, termasuk dekonsentrasi birokrasi dan struktur pemerintah pusat, delegasi dari otoritas pemerintah pusat dan responsibilitas kepada

lembaga negara semi otonom, dan kerjasama yang didesentralisasikan antara

(2) Desentralisasi politik, organisasi dan prosedur peningkatan partisipasi warga untuk memilih perwakilan politik, dan proses pengambilan keputusan publik dalam rnagka penyediaan pelayanan yang memberi keuntungan sosial, mendorong aktivasi sumber daya sosial dan finansial.

(3) Desentralisasi fiskal, cara dan mekanisme kerjasama fiskal dalam sharing pendapatan diantara level pemerintah

(4) Desentralisasi ekonomi, termasuk deregulasi, dan bentuk-bentuk public-privat partnership lainnya.

(2)

menjadi ukuran evaluasi penyelenggaraan kinerja pemerintah daerah di Indonesia, mulai dari perencanaan, pengendalian maupun evaluasinya (PP nomor 6 tahun 2008, Permendagri no. 73 tahun 2009, Permendagri no 54 tahun 2010)

Gambar 1. Tujuan Desentralisasi/Otonomi Daerah

1.2 Kreativitas Daerah

Kreativitas daerah ternyata beragam menanggapi peluang dan tantangan dari otonomi daerah,- setelah lebih dari satu dasawarsa implementasinya. Eko (2007) mengidentifikasi variasi peran pemerintah daerah dari sisi pembangunan (ekonomi dan sosial) dan konteks politik lokal, yang menjadi fondasi struktural daerah dan mempunyai kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, antara lain (1) variasi tatakelola pemerintahan daerah (local governance), yakni tatacara mengelola kebijakan, keuangan daerah, dan birokrasi; (2) variasi peran negara, yang direpresentasikan oleh pemimpin daerah dan unsur birokrasi daerah; (3) variasi pendekatan (tatakelola) pembangunan dan sumber-sumber produksi lokal.. Eko (2007) juga menyajikan tipologi daerah berdasar kemampuan keuangan dan orientasi kebijakannya dalam tipologi (1) tipe daerah lemah; (2) tipe daerah budiman; (3) tipe daerah pelit; (4) tipe daerah sejahtera, dan; (5) tipe daerah royal. Dalam konteks kreativitas daerah, tipologi daerah budiman ini yang dinilai berhasil memainkan peran pemerintah daerah mencapai tujuan desentralisasi, yaitu kemandirian daerah melayani warganya. Daerah budiman ditandai dengan pemerintah daerah sanggup melakukan distribusi belanja sosial yang tinggi, meski pendapatan daerah rendah. Daerah-daerah budiman mempunyai karakter negara yang aktif, pemimpin lokal yang kuat dan responsif maupun reformasi birokrasi. Decentralization Support Facility (2008) menemukan banyak pemerintah daerah yang belum menyadari potensi kontribusi mereka dalam peningkatan iklim usaha di daerahnya. Terkait pengembangan ekonomi lokal, Sandee (2009:191) dengan sampel penelitian pengembangan UMKM di Jawa, menemukan bahwa

banyak pemerintah daerah kekurangan kemampuan meraup peluang dari kebijakan desentralisasi yang mempersyaratkan inovasi kreatif dalam pembuatan kebijakan dan kemampuan berpikir melalui pertimbangan biaya dan manfaat melalui kebijakan baru. Salah satu kelemahan yang ditemukan adalah kurang mengembangkan kerjasama kemitraan dengan swasta ataupun kelompok masyarakat- yang disebut sebagai pembangunan partisipatoris.

Menurut Grindle (2007:56) desentralisasi adalah suatu proses yang dinamis, riskan mengalami kemunduran-namun juga kemajuan, riskan penyelewengan- namun juga perbaikan kinerja, dan memerlukan perhatian khusus tentang respon daerah (lokal) pada tanggungjawab baru dan pengelolaan sumber daya. Menurutnya ada empat faktor yang berpengaruh pada kinerja pemerintahan lokal, yaitu (1) pemilihan kepala derah yang kompetitif (rasional-profesional); (2) kewirausahaan (entrepreneurship) sektor publik- tantangan kesempatan baru kepemimpinan; (3) Modernisasi sektor publik-penerpan ide-ide baru, penggunaan tehnologi informasi,untuk pengembangan manajemen dan administrasi yang lebih kapabel; (4) pengembangan ruang-ruang keterlibatan partisipasi masyarakat sipil.

2. PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH Konsep ekonomi kerakyatan dalam artikel ini mengacu pada konsep pengembangan kemampuan ekonomi masyarakat lokal –dalam hal ini masyarakat Surakarta-, terutama kelompok usaha non perusahaan besar, meskipun tidak menafikan keterkaitannya dengan struktur makro ekonomi kota secara keseluruhan. Pengembangan ekonomi kerakyatan merupakan bagian integral dari pengembangan ekonomi lokal. Mengembangkan ekonomi lokal berarti membangun economic competitiveness (daya saing ekonomi) suatu kota untuk meningkatkan ekonominya. Dalam konteks otonomi daerah, priroritasi ekonomi lokal pada peningkatan daya saing ini adalah krusial, mengingat kelangsungan hidup komunitas ditentukan oleh kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan yang cepat dan meningkatnya kompetisi pasar. Daya saing diukur dari beberapa indikator (Munir dan Fitanto, 2008:23), yaitu:

a. Struktur ekonomi: komposisi ekonomi, produktivitas, output dan nilai tambah, serta tingkat investasi (asing dan domestik)

b. Potensi wilayah yang non tradeable seperti lokasi, sumber daya alam, citra daerah, amenity masyarakat, biaya hidup dan iklim bisnis c. Sumber daya manusia: kualitas SDM yang

mendukung kegiatan ekonomi

d. Kelembagaan: konsistensi kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat yang pro

Desentralisasi/ otonomi

Teknik Administrasi atau Praktik Administrasi

Proses interaksi politik

Demokrasi Lokal

Pembagian kekuasaan (Sharing of power) Pembagian pendapatan (distribution of income)

(3)

pengembangan ekonomi lokal, dan budaya produktivitas.

Bercermin dari pengalaman kota Surakarta, keempat indikator daya saing ini nampaknya menjadi kompas kebijakan pengembangan ekonomi kota, sebagaimana dipaparkan berikut.

3. PENGALAMAN KOTA SURAKARTA

Kota Surakarta termasuk salah satu kota yang sering mendapatkan penghargaan atas kreativitas dan inovasi penyelenggaraan governance . Beberapa penghargaan tersebut antara lain: (1) Penghargaan Social Entrepreneurship Achievement tahun 2010 dari Majalah Swa; (2) Penghargaan Daya Saing Daerah tingkat provinsi Jawa Tengah tahun 2010; (3) Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award (BHAKA) tahun 2010 bidang reformasi dan pelayanan publik; (4) peringkat kota bersih korupsi naik menjadi nomor 3 tahun 2011; (5) anugerah kotamadya berkinerja terbaik 2011.

Dari hasil penelitian Wahyuningsih (2010), pengalaman di Kota Surakarta, menyajikan bagaimana kreativitas manajemen Pemerintah Kota Surakarta mengelola potensi ekonomi lokal melalui upaya pengembangan jeajaring/kemitraan/ membangun kaitan (linkage) antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam jaringan aktor, serta merespon tantangan perubahan dalam konteks lokalitas. Kondisi geografis kota Surakarta tidak mempunyai sumber daya alam yang besar, tetapi sebagai kota yang dikelilingi daerah produsen hasil pertanian. Sebagai kota yang memiliki peninggalan kerajaan (Kasunanan dan Mangkunegaran), Kota Surakarta memiliki warisan budaya tradisonal cukup banyak. Kota Surakarta juga pusat koordinasi karesidenan masa lampau, banyak berdiri fasilitas pemerintahan dan layanan jasa. Oleh karena itu orientasi pengembangan kota Surakarta sebagai kota jasa dan perdagangan. Dalam rangka mengoptimalkan potensi dasar kota tersebut, Pemerintah kota Surakarta –dibawah pemerintahan Walikota Joko Widodo mengembangkan manajemen city branding. Manajemen City Branding adalah upaya membuat kota Surakarta terkenal di dunia melalui pencitraan kota. Pencitraan kota didasarkan pada tiga pola utama pencitraan, yaitu produk, keunikan/kekhasan brand, dan kepuasan pelanggan. Manajemen pengembangan kota didasarkan atas manajemen, yaitu: (1) manajemen product: menghasilkan produk yang unggul, dan kompetitif; (2) manajemen brand: mengelola hasil/produk kota yang mencerminkan karakter kota; dan (3) manajemen customer: membuat orang ingin kembali ke kota Surakarta untuk membelanjakan uangnya. Hal yang dibangun adalah bagaimana memberikan kenyamanan pada orang yang datang ke kota Surakarta, mulai dari pelayanan publiknya, transportasi, penginapan, kuliner, dan keramahan masyarakatnya. Manajamen ini dilakukan secara

sinergis antar sektor dan antar stakeholder. Konsep lokal yang diyakini untuk mengelola kota ini adalah

saiyeg saekapraja”, yaitu bersama-sama mengelola

Kota, bukan hanya dari walikota atau pemerintah, tetapi kota ini adalah milik bersama rakyat Surakarta.

Manajemen City Branding memerlukan reformasi manajerial birokrat dan birokrasinya. Oleh karena itu Walikota Joko Widodo mengeinternalisi 4 cara berpikir kepada jajaran birokrasi, yaitu:

1) From top down to partnership/ participatory Prinsip ini berarti menekankan partisipasi stakeholder dibandingkan perintah dari pemerintah saja.

2) From bureaucratic style to entrepreneurial mindset

Cara berpikir ini menekankan pola berpikir kreatif di antara para SKPD dan pro aktif mengembangkan kerjasama dnegan pihak swasta dan masyarakat;

3) From procedural attitude to end-result oriented Perubahan dari cara berpikir yang lambat dan berbelit, kepada pola pikir yang responsif terhadap peluang dan berorientasi pada hasil dan kemanfaatan yang diterima masyarakat;

4) From partial handling to integrative solution Perubahan dari cara berpikir yang sektoral, parsial, kepada pemikiran yang komprehensif, sinergis.

Terkait dengan pengembangan ekonomi lokal, penerapan prinsip-prinsip tersebut terwujud dalam implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah kota Surakarta dalam kurun 7 tahun terakhir, yang akan dicontohkan dengan beberapa kasus berikut.

Prioritas pengembangan pasar tradisional menunjukkan pilihan basis ekonomi komunitarian aktif. Penataan pedagang pasar tradisional merupakan kebijakan yang pro ekonomi kerakyatan, berpihak pada kaum lemah dan perempuan. Pemba-ngunan pasar tradisional akan mampu membangun kota ke arah pemberdayaan perempuan sebagai kelompok usaha. Hasilnya, pendapatan asli daerah (PAD) dari pasar yang semula Rp 7 miliar naik menjadi Rp 12 miliar. Agar pasar tradisional unggul, selain menata fisik bangunan, Walikota berusaha mengubah pola pelayanan dan perilaku

pedagang: ”Kesan pasar kotor dan jorok harus

diubah jadi bersih dan higienis”. Dalam lima tahun

(4)

depan Pura Mangkunegaran, penataan taman-taman kota dan bantaran sungai untuk memberi kenyamanan pelancong, kesegaran psikologis warga, dan pada ujungnya mendongkrak skala ekonomi kota.

Dunia usaha juga mendapat perhatian baik dari Walikota Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta mengkondisikan supaya iklim kota kondusif bagi partisipasi dunia usaha untuk menggerakkan roda perekonomia dan pembangunan kota. Hal ini ditun-jukkan dengan program reformasi dan revitalisasi pelayanan perijinan, sehingga terbentuklah Kantor Pelayanan Ijin Terpadu, dengan penampilan budaya organisasi yang didesain mirip pelayanan dunia bisnis, misalnya dalam hal seragamnya, alur proses-nya, tata ruangnya. Reformasi ini dibuktikan dengan. Kinerja ini juga dibuktikan dengan diperolehnya piala dan piagam Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden untuk kinerja kota dalam penyediaan sarana pelayanan publik, kebijakan, deregulasi penegakan disiplin dan pengembangan manajemen pelayanan (11 Pebruari 2009), dan Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award tahun 2010 bidang reformasi dan pelayanan publik. Pada tahun 2010, peringkat kota bersih korupsi naik menjadi nomor 3 diantara 50 kota besar yang disurvey.

Keterlibatan dunia usaha dalam program pemerintah kota yang bersifat langsung ke masyarakat belum terlalu besar, tetapi sudah ada. Misalnya dalam bantuan permodalan industri kecil. Mitra usaha yang sudah bekerjasama dengan melakukan CSR (Corporate Social Responsibility) adalah Bank Indonesia, Telkom, PT. Pos, Garuda Indonesia, dan PLN. Dunia usaha ini langsung menetapkan kriteria dan pemilihan kelompok sasaran penerima bantuan. Kemitraan dengan dunia usaha ini merupakan salah satu kraeativitas untuk mengembangkan ekonomi lokal masyarakat kota Surakarta.

Di bidang sektor informal, Walikota memberikan lokasi baru pada PKL yang direlokasi dengan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600,- perhari di tempat baru yang suasananya jauh lebih baik dibandingkan tempat para PKL berdagang sebelumnya. Dengan retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Salah satu aksi kebijakan kota yang sangat menarik perhatian nasioanal bahkan internasional adalah keberhasilan pemerintah kota Surakarta menertibkan 5.817 pedagang kaki lima (PKL), tanpa kekerasan. Dari kronologis pelaksanaan penertiban PKL ini, dapat diidentifikasi kunci sukses kebijakan sebagai berikut:

a. Kebijakan didasarkan atas pengenalan kondisi masa lalu dan kondisi eksisting, serta data riil kemauan publik.

Pasca pelantikan menjadi Walikota periode 2005-2010, Walikota membentuk sebuah tim kecil untuk mensurvey keinginan warga kota Solo dimana mayoritas masyarakat Surakarta menginginkan daerah Banjarsari ditertibkan karena dirasa banyaknya PKL pasca kerusuhaan Solo 1998 sudah sangat mengganggu pengguna jalan dan pemandangan kota. Namun demikian Walikota tidak ingin memancing konflik dengan para PKL, karena keinginan sebagian masyarakat Solo yang ingin para PKL dipindahkan dari

jalan-jalan dan taman. Dengan

mempertimbangkan pengalaman masa lalu dimana Solo sudah dua kali dibakar, Joko Widodo kemudian memutuskan bahwa para PKL itu harus direlokasi dengan cara yang strategik dan hati-hati. Dengan latar belakang pengalamannya sebagai pengusaha, digunakan strategi “lobi meja makan” untuk berdialog dan mencari kesepahaman dengan para PKL. Targetnya para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo. Di sana terdapat 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban. Para koordinator paguyuban diundang dan diajak makan di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Namun pada pertemuan pertama ini hingga pertemuan yang ke 53 tidak ada pembicaraan mengenai relokasi, tetapi hanya makan bersama dan bersilaturahmi kepada para PKL. Pada jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang hendak dipindahkan hadir, Walikota mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka. Ketika hal itu diungkapkan, tidak ada satu pedagang pun yang menolak. Mereka setuju dengan kebijakan yang diambil Walikota, sepanjang mereka mendapatkan tempat yang baru untuk berdagang. Walikota berjanji akan memberikan lokasi baru. Walikota juga menjanjikan akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Infrastruktur penunjang juga disiapkan, yaitu memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru. Hasilnya, Pemerintah Kota Surakarta berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura

b. Digerakkan oleh visi

Visi menjadi titik pancang kebijakan pengembangan kota. Visi dipancangkan terutama untuk tiap bidang krusial yang memiliki spread effect atau multiflier effect besar. Sebagai contoh: di bidang budaya dan tata kota memiliki

visi “Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”,

(5)

perkembangan jaman. Misalnya berdirinya pasar Ngarsopuro, dibangunnya City Walk yang menghubungka dua pusat keraton masa lalu.

Dibidang ekonomi, ada visi “PKL menjadi Saudagar”, ini menjadi arah bagi pengembangan

ekonomi kerakyatan, mengingat Surakarta adalah kota jasa dan perdagangan. Di bidang kerjasama

antar daerah dikembangkan visi “Solo Spririt of Java” artinya Solo (Surakarta) menjadi kota simpul pengembangan produk dan potensi yang dimiliki kabupaten disekitarnya. Visi Walikota untuk mengangkat status PKL menjadi saudagar, hal ini dipengaruhi oleh latar belakang Walikota sebagai pengusaha, membentuk perspektifnya atas PKL sebagai potensi ekonomi rakyat. Visi lain adalah menjadikan Solo layaknya Singapura, sebuah kota yang bersinar dengan wisata belanjanya. Karena itu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota menjadi kunci utama. Pesrpektif ini mempengaruhi cara yang ditempuh Walikota untuk mengeksekusi kebijakan yang ditempuh untuk mewujudkan visi tersebut.

c. Kebijakan berlandaskan nilai (based value system).

Kebijakan ini menggunakan nilai lokal:

“nguwongke uwong” artinya menempatkan para PKL sebagai manusia yang mempunyai hak-hak dasar sebagai warga; hak hidup dan berusaha. Menurut Walikota, tugas pemerintah memberi ruang kepada pedagang kecil untuk maju, bukan

menggusur mereka. ”Pemimpin yang baik adalah

yang mengikuti keinginan orang yang

dipimpinnya”. Sebelum direlokasi, para

pedagang diajak berdialog hingga 54 kali pertemuan, selama tujuh bulan dengan mengajak para PKL makan bersama dan dialog. Metode dialog ini oleh Walikota disebut sebagai

“pendekatan Jawa”, yaitu “rebug bareng”

(berdialog bersama).

Nilai ideologis, diambil dari konsep Ideological State Apparatus yaitu aparat negara yang menjalankan fungsinya melalui ideologi-ideologi tertentu. Bukan menggunakan Represif State Apparatus. Dalam hal ini nilai ideologisnya adalah pemberdayaan ekonomi kerakyatan (wong cilik) supaya bisa berkontribusi lebih besar untuk negara.

d. Strategi Komunikasi politik untuk menguatkan partisipasi masyarakat sasaran. Dalam mempersiapkan implementasi kebijakan penataan kota, Walikota menggunakan pendekatan empathy dan homofili, yaitu menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain, dan menciptakan situasi kesamaan posisi. Ini terwujud dalam cara Walikota mengajak makan bersama dan dialog para PKL, yang bersuara vokal didatangi langsung untuk diketahui keinginan mereka seperti apa. Tempat dialog mulai dari warung kecil (wedangan),

pinggir jalan, lokasi PKL Banjarsari, hingga di Loji Gandrung (rumah dinas Walikota). Ketika komunikasi sudah terjalin, konsep penataan PKL disusun Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dan disosialisasikan kepada pedagang. Proses berlanjut dengan perencanaan pembangunan, pelaksanaan, baru relokasi.

Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar Klitikan dengan iringan musik “klenengan” khas Solo. Dalam acara tersebut dihadirkan Prajurit Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri para PKL. Faktanya, para PKL sangat legowo saat pindah lokasi ke tempat yang baru. Konsumsi dan perlengkapan arak-arakan dibiayai sendiri oleh para PKL. Ini jarang terjadi di daerah lain yang biasanya relokasi selalu bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989 PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara antusias para PKL itu mendukung program pemerintah dengan sukacita.

Di Kota Surakarta, kreasi pengelolaan ekonomi kerakyatan, dilakukan lintas sektoral juga, salah

satunya dengan sektor pendidikan.

Pengarusutamaan pro job di sektor pendidikan nampak dalam program pengembangan pendidikan non formal untuk meningkatkan kualitas angkatan kerja yang memenuhi kebutuhan pasar. Saat ini Kota Surakarta telah memiliki Solo Techno Park (STP). STP merupakan pengembangan Surakarta Competency and Technology Center (SCTC) yang merupakan institusi diklat hasil kerjasama antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATMI). Tujuan awal SCTC adalah untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru SMK keahlian mesin perkakas se-Indonesia agar menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sesuai standar industri. Selain itu, SCTC juga berfungsi sebagai tempat diklat pemuda penganggur sampai penyalurannya ke tempat kerja.

Saat ini, STP (Solo Techno Park) adalah pusat vokasi dan inovasi teknologi di Kota Surakarta yang dibangun dari sinergi dan hubungan yang kokoh antara dunia pendidikan, bisnis dan pemerintah (the triple helix). Dalam hal ini ada penerapan nilai-nilai governance dalam bentuk sinergitas. STP memberikan layanan pendidikan dan pelatihan bidang industri, inkubator bisnis, jasa produksi serta penelitian dan pengembangan teknologi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan daya saing dan kinerja dunia usaha dan dunia industri, meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan memperluas lapangan pekerjaan melalui pembangunan ekonomi berkelanjutan.

(6)

Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten (Sobosukowonosraten). Kebijakan pencitraan kota yang lain diwujudkan dalam konsep pembangunan

”Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”, bertujuan untuk mengubah Solo menjadi “kota yang berkarakter”. Sebagai salah satu kebijakan branding Walikota mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006.

Dunia pariwisata di Solo meningkat perkembangannya. Sejumlah potensi penggerak perekonomian rakyat yang lama meredup, seperti kerajinan batik tumbuh dengan pesat. Salah satu kluster yang menonjol perkembangannya adalah kampung Batik Laweyan. Batik berkembang tidak hanya media kain, tetapi juga media kayu, dan lainnya. Semua perkembangan ini terkait dengan pencitraan kota.

KESIMPULAN

Pengalaman kota Surakarta dalam pengembangan ekonomi daerah berbasis ekonomi kerakyatan merefleksikan implementasi decentralized governance yang menerapkan paradigma public governance yaitu penyelenggaraan administrasi publik yang dijiwai oleh kesadaran akuntabiltas dari para aktor mengenai nilai-nilai kepublikan, sehingga terbentuk relasi vertikal dan horisontal dalam networking yang luwes, responsive, dan kreatif dalam kerangka legalitas, dengan mempertimbangkan aspek lokalitas. Para aktor dalam governance ini meliputi Kepala Daerah, Satuan Kerja Perangkat Daerah, DPRD, unsur masyarakat, dan unsur privat/pengusaha/pemilik modal. Kunci pembelajaran mencakup materi tentang (1) Kepemimpinan partisipatif; (2)Perencanaan kota berbasis visi; (3) Perencanaan program pro public value (pro poor, pro people, pro job); (4) Inovasi cara berpikir untuk pengembangan kota; (5) Manajemen program integratif; (6)

Manajemen Komunikasi Pembangunan;

(7)Penguatan peran partisipatif masyarakat (dunia usaha/ privat dan masyarakat umum); (8) Mengkontekstualisasikan nilai lokal dalam menjawab tantangan intervensi nilai-nilai global

PUSTAKA

Cheema, G.S. dan Rondinelli , D.A.(2007). “From

Government Decentralization to Decentralized

Governance” in Decentralizing Governance:

Emerging Concepts and Practices, Cheema, G.S and Rondinelli , D.A (ed). Washington D.C.: Brooking Institution Press

Decentralization Support Facility (2008). Mengoptimalkan Kontribusi Desentralisasi Bagi Pembangunan

Eko, S. (2007). “DAERAH BUDIMAN: Prakarsa

dan Inovasi Lokal Membangun Kesejahteraan”

Makalah disajikan dalam Konferensi

Internasional: Lebih Dari Sekadar Penghapusan Kemiskinan: Memajukan Kebijakan Sosial yang Komprehensif di Era Desentralisasi yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Prakarsa, Ford Foundation, OXFAM Great Britain, Kantor Menkro Kesra, Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Kota Serdang Badagai, ADKASI, IESR dan KruHa. Jakarta 26-28 Juni 2007.

Grindle, M.S. (2007). “Local Governments That

Perform Well: Four Explanation” in Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices, Cheema, G.S and Rondinelli , D.A (ed). Washington D.C.: Brooking Institution Press.

Munir, R. dan Fitanto, B. (2008). Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif: Masalah, Kebijakan dan Panduan Kegiatan. Jakarta: Local Government Support Program, USAID.

Sandee, H. (2009). “Small Entreprises and Decentralization: some essons from Java” in

Decentralization and Regional Autonomy in Indonesia: Implementation and Challenges, Holtzappel, C.J.G, and Ramstedt, M. (ed). Singapore; Institutes of Southeast Asian Studies. Utomo, W. (2011). “Prospek Era Otonomi Daerah

Strategi Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam

Kumpulan Makalah Analitis Serangkaian Kajian: Konsep, Formulasi dan Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesi. Unpublished

Wahyuningsih, R.D. (2010).Kontekstualisasi Model Sound Public Governance dalam Perencanaan Pembangunan Daerah untuk Meningkatkan Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Studi Kasus Kota Surakarta). Universitas Sebelas Maret: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, Laporan Hasil Penelitian.

PP nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Permendagri no. 73 tahun 2009 tentang Tatacara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Permendagri no 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

Biodata Penulis

Gambar

Gambar 1. Tujuan Desentralisasi/Otonomi Daerah

Referensi

Dokumen terkait

Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah skala. motivasi berorganisasi yang dirancang oleh peneliti

Dari hasil perhitungan uji kelayakan Perumahan Ume Malinan Permai menggunakan cash flow dalam jangka waktu investasi selama 5 tahun dengan menggunakan 4 asumsi yang

Penulisan hukum ini diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Selanjutnya dari praktik baik ( best practice ) tersebut akan dikembangkan draft model implementasi kebijakan sistem pelayanan perijinan terpadu satu loket di Kabupaten

Meningkatkan pelayanan perpustakaan daerah melalui peningkatan kapasitas pengelola perpustakaan, penambahan koleksi perpustakaan, serta pengembangan minat baca

menjadi acuan dalam melakukan evaluasi kinerja pembangunan daerah setiap

Sedangkan jumlah kendaraan arus lalu lintas maximum (Q) 6020,6 smp/jam pada waktu pagi hari dan nilai Derajat Kejenuhan (DS) 0,87 dan Tingkat Pelayanan LOS (Level Of

Dooley KE dkk (2009) dengan melakukan prospective study di daerah Tamil Nadu (India) pada 584 pasien TB usia > 30 tahun yang dibagi 2 kelompok yaitu dengan DM dan tanpa DM,