• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROYEK KEHUTANAN SOSIAL DAN PENGANGGARAN BERWAWASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PROYEK KEHUTANAN SOSIAL DAN PENGANGGARAN BERWAWASAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PROYEK KEHUTANAN SOSIAL DAN PENGANGGARAN BERWAWASAN

GENDER :

SUATU ULASAN TEORITIS

Oleh: Kresno Agus Hendarto

ABSTRACT

Women and men have different gender-based roles and responsibilities in their own lives, families, household and communities. They have different knowledge of, access to, and control over natural resources, and different opportunities to participate in decisions regarding natural resources use. Social forestry is one among a number of policy measures in Indonesia, which embraces poverty alleviation as a mean to environment protection. It is designed to promote forest development and watershed protection by raising social welfare in surrounding villages. Some studies in Indonesia showed that men dominated in forestry project. It means women obtained benefit less than men. This paper described about how women can give her potential by policy in gender budget. Over all this paper showed that policy in gender budget was made compulsory to realize women participation in social forestry project.

Key words:

Social forestry, women participation, gender budget

I.

PENDAHULUAN

Pada Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) Kehutanan, 10-12 Juli 2002, Menteri Kehutanan Republik Indonesia (M. Prakosa) menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat desa hutan yang sejahtera akan diluncurkan program nasional yang disebut “Social Forestry”. Dalam bahasa Indonesia, istilah social forestry ini biasa diterjemahkan menjadi kehutanan sosial.

Mengapa kehutanan sosial? Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi yang rusak. Kerusakan ini disebabkan oleh banyak hal. Beberapa diantaranya adalah adanya over ekplorasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan hutan menjadi lahan non hutan (misalnya perkebunan, transmigrasi, jalan raya), timber ekstraksion yang merupakan tujuan utama dalam pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan, adanya illegal logging dan kebakaran hutan, penegakan hukum yang lemah, pemberian fasilitas konsesi hutan kepada sekelompok kecil kroni, korupsi dan inefisiensi peraturan pemerintah dalam proses pengusahaan hutan.

Beberapa hal tersebut di atas, ditambah dengan kegiatan pengelolaan hutan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk pemerataan terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai akibatnya adalah timbulnya kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar areal hutan, dengan para pekerja dan pengusaha di bidang kehutanan. Dengan adanya program (proyek) pembangunan kehutanan dengan pendekatan kehutanan sosial yang berorientasi pada pelestarian hutan, diharapkan pada gilirannya nanti akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Seperti halnya proyek-proyek kehutanan lainnya, partisipasi perempuan adalah sangat kurang. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bagaimana dan apa upaya yang dapat dilakukan agar peran perempuan dalam kehutanan sosial dapat lebih efektif dilakukan. Dimulai dengan apa yang dimaksud dengan batasan kehutanan sosial menurut beberapa ahli, gender dan peran domestik yang merupakan stereotipe bagi perempuan, dan terakhir bagaimana perempuan dapat lebih berperan dalam proyek kehutanan sosial.

II.

SOCIAL FORESTRY

(KEHUTANAN SOSIAL)

Pada umumnya, community forestry (hutan kemasyarakatan) digunakan dalam dunia kehutanan dengan pengertian yang sama dengan kehutanan sosial, sementara disisi lain dibedakan dari istilah farm forestry

(2)

Nguyen (2001) mendefinisikan bahwa kehutanan sosial adalah sesuatu ketika hutan, lahan hutan, dan produksi (yang berasal dari hutan) dikelola oleh masyarakat lokal (yaitu masyarakat yang hidup di sekitar atau masyarakat yang mempunyai concern/ perhatian penuh pada hutan) dimana dalam partisipasinya tersebut mereka memperoleh keuntungan. Dari definisi ini ada dua masalah pokok, yaitu target dan

partner dari kehutanan sosial adalah masyarakat setempat.

Noronha dan Spears (1988) menyatakan bahwa arti kehutanan sosial tidak dapat dikumpulkan dari suatu gambaran berbagai kegiatan yang dilakukan di bawah proyek-proyek. Inti baru dari proyek-proyek ini terletak pada kata “sosial”- yaitu proyek-proyek melayani kebutuhan lokal melalui keterlibatan aktif pemanfaat dalam rancangan dan pelaksanaan upaya penghutanan kembali dan bersama-sama memanfaatkan hasil-hasil hutan. Hal ini dapat berarti bahwa keberhasilan sebuah proyek tergantung pada respon masyarakat yang hidup di kawasan proyek. Dinyatakan pula bahwa tujuan kehutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang biasa (dan komersial) dalam 3 (tiga) hal. Yaitu

(1) kehutanan sosial meliputi produksi dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian, terutama yang tidak diedarkan sebagai uang (non-monetized);

(2) Menyangkut partipasi langsung pemanfaat;

(3) Termasuk sikap dan ketrampilan yang berbeda dari segi ahli kehutanan yang harus memberikan peranannya sebagai pelindung hutan terhadap penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam pohon-pohon.

Di dalam seminar internasional yang bertema “Social Forestry and Sustainable Development” di Yogyakarta tahun 1994, ada beberapa pengertian yang disepakati tentang kehutanan sosial (Awang, 2000), yaitu:

(1) Kehutanan sosial adalah nama kolektif untuk strategi-strategi pengelolaan hutan yang memberikan perhatian khusus kepada pemerataan distribusi produksi hasil hutan dalam kaitannya dengan kebutuhan berbagai kelompok dalam masyarakat dan partisipatif aktif dari organisasi dan penduduk lokal di dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan biomasa kayu;

(2) Kehutanan sosial dapat diartikan sebagai suatu strategi pembangunan atau intervensi rimbawan profesional dan organisasi pembangunan lainnya dengan tujuan untuk menstimulasi keterlibatan aktif penduduk lokal dalam berbagai macam kegiatan pengelolaan hutan skala kecil, sebagai suatu tujuan antara untuk meningkatkan keadaan kehidupan masyarakat tersebut;

(3) Kehutanan sosial adalah suatu strategi yang difokuskan pada pemecahan masalah penduduk lokal disamping mengelola lingkungan wilayah. Oleh karena itu hasil utama dari kehutanan sosial tidak hanya kayu, namun hutan dapat diarahkan untuk memproduksi beragam komoditas sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut, termasuk kayu bakar, bahan makanan, pakan ternak, buah-buahan, air, hewan, alam, keindahan, perburuan dan sebagainya;

(4) Kehutanan sosial secara mendasar ditujukan kepada peningkatan produktivitas, pemerataan dan kelestarian dalam pembangunan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi aktif masyarakat. Paradigma kehutanan sosial memiliki nilai-nilai esensial dalam pembangunan kehutanan, yaitu memposisikan rakyat/ masyarakat yang utama dalam pengelolaan, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan pemerataan sosial dan pentingnya peranan sistem asli masyarakat serta mempertahankan biodiversitas.

Kegiatan kehutanan sosial mempunyai variant (dapat dikategorikan) ke dalam 4 (empat) kelompok besar (Anonim, 2002a), yaitu:

(1) Farm forestry;

(2) Community forestry;

(3) Extension forestry; dan

(4) Agro-forestry.

Gambar 1 di bawah ini menunjukkan pembagian katagori kegiatan dari kehutanan sosial tersebut.

(3)

Sumber: Anonim (2002)

Secara singkat keterangan dari Gambar 1 di atas adalah sebagai berikut:

Farm forestry.

Di Indonesia istilah farm forestry dikenal sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tidak berada di atas lahan yang dikuasai oleh pemerintah, jadi hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh rakyat (Hardjosoediro, 1980 dalam PKHR, 1999). Menurut Undang-undang no 5 tahun 1967 tentang kehutanan, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya, dengan ketentuan luas minimum 0,25 hektar dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 persen atau minimal jumlah pohonnya 500 batang setiap hektarnya. Sedangkan menurut Undang-undang no 41 tahun 1999, pengertian hutan rakyat ini hanya disebutkan sebagai hutan hak, yang membedakannya dengan hutan negara.

Community forestry.

Di Indonesia, istilah community forestry diartikan sebagai hutan kemasyarakatan. Munggoro dan Aliadi (1999) menyatakan bahwa konsep hutan kemasyarakatan secara tegas menegasikan praktek-praktek pengelolaan hutan yang berbasis negara (sentralistik, seragam, komersial, anti ekologi, dan anti rakyat). Masih dalam tulisan yang sama, LATIN (sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Bogor) cenderung memposisikan konsep hutan kemasyarakatan ini sebagai paradigma pengelolaan sumberdaya hutan yang memegang teguh prinsip-prinsip populis, partisipatif, desentralisasi, spesifik lokal dan pluralisme.

Extension forestry.

Istilah extension forestry dapat diartikan sebagai ekstensifikasi hutan, analog di sektor pertanian dengan ekstensifikasi pertanian. Anonim (2002b) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekstensifikasi hutan adalah penanaman tanaman keras (pohon) pada sisi jalan raya, canal (terusan) dan di sisi jalan kereta api, sepanjang tidak mengganggu dan dilakukan di tanah yang tersisa (kosong). Melihat definisi di atas, maka dapat dipastikan bahwa ekstensifikasi hutan berada di atas lahan milik negara.

Agro-forestry.

Foresta dan Michon (2000) menyatakan bahwa secara ilmu, agroforestri adalah penggabungan antara ilmu kehutanan dan agronomi, serta memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Sedangkan Pramuharsanto (2002) menyatakan bahwa agroforestri merupakan salah satu sistem yang dikembangkan dalam pengelolaan lahan yang berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan. Sistem ini mengkombinasikan antara produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/ atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama. Cara-cara yang diterapkan untuk pengelolaan lahan merupakan cara/ sistem yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat.

(4)

Tetapi satu hal yang dapat dijadikan patokan adalah bahwa “pintu masuk” dari kegiatan kehutanan sosial adalah masyarakat pedesaan di sekitar hutan.

III.

GENDER

dan DOMESTIKASI PEREMPUAN

Gender sebagai istilah, pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller pada tahun 1968, untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendifinisian yang bersifat sosial-budaya dengan pendifinisian yang bersifat biologis (Wahyuni, 2002). Masih dalam tulisan yang sama, Ann Oak Ley pada tahun 1972, menyatakan bahwa gender adalah suatu kontruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia.

Mengapa gender perlu dibedakan dengan jenis kelamin, dan mengapa gender merupakan kontruksi sosial? Jenis kelamin merupakan sifat biologis bawaan yang tidak bisa diubah. Dimanapun ia, ciri tersebut tidak akan berubah. Seorang dikatakan perempuan bila ia memiliki rahim, vagina dan payudara, sedangkan dikatakan laki-laki bila ia memiliki buah zakar, penis dan sperma. Berdasarkan sifat biologis tersebut kemudian dibangunlah asumsi, perilaku sosial, dan pranata yang berlaku di masyarakat. Seperti misalnya perempuan bermain boneka, menangis dan warna merah muda (pink) adalah perempuan, sedangkan laki-laki bermain pedang-pedangan, berkelahi dan biru. Wahyuni (2002) menyatakan bahwa perbedaan peran akibat perbedaan sifat biologis ini tergantung pada dimana kita dilahirkan dan posisi kita didalamnya, kemiskinan atau kekayaan relatif kita, dan kelompok kesukuan kita.

Sebagai akibat dari perbedaan sifat biologis tersebut, yang tertanam sejak lama di masyarakat, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki berbeda. Perempuan untuk urusan dalam (domestik) sedangkan laki-laki urusan luar (publik). Perempuan untuk pekerjaan yang halus, sedangkan laki-laki untuk pekerjaan kasar.

Acharya (1983) dalam Kusnadi (2001) menyatakan bahwa dalam kenyataannya aktivitas-aktivitas yang dilakukan perempuan secara umum dapat dikatagorikan ke dalam aktivitas ekonomi dan domestik. Keterlibatan perempuan- seperti dalam bidang pertanian, industri, perdagangan dan jasa- dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan ekonomi. Kegiatan-kegiatan lain, seperti pemrosesan bahan makanan, pengambilan air, dan pengumpulan bahan makanan liar adalah bagian integral dari reproduksi ekonomi rumah tangga, yang secara umum untuk memenuhi ekonomi subsistensi. Katagorisasi hal-hal tersebut sebagai aktivitas ekonomi karena kelompok aktivitas ini dapat ditampilkan secara komersial, dan nilai ekonomisnyapun dapat diukur. Sementara itu, aktivitas-aktivitas lainnya seperti memasak, melayani suami dan anak-anak, membersihkan rumah, menyeterika, berbelanja dan mengasuh anak dapat diklasifikasikan ke dalam aktivitas domestik. Kelompok aktivitas ini adalah inti dari proses reproduksi rumah tangga yang tidak diukur secara ekonomis.

Dari beberapa uraian di atas, bagaimana dengan kondisi dan posisi perempuan di Indonesia? Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah.

Tabel 1. Kondisi Perempuan Indonesia

1. Ranking HDI dan GDI 1995 1998 2001

* Human Development Index 96 109 (174) 102 (174)

* Gender Development Index 88 90 (174) 92 (174)

* Gender Empowerment Measure

- -

-2. Pendidikan dan Kesehatan

* Pendidikan a. SD/SLTP L:P (seimbang)

b. SLTA L>P (perempuan DO meningkat)

c. AK/PT L>P (perempuan DO tinggi)

d. Buta Huruf L<P (1 laki: 2-3 perempuan)

* Kesehatan a. AKI 390/100.000 (SDKI’94), 373/100.000 (SKRT’98)

b. Berat badan bayi lahir rendah masih tinggi

c. Lahir dibantu dukun bayi > 54%

d. Peserta KB perempuan . 98%

Sumber: Heru (2002)

(5)

negara-negara yang ada di dunia. Klasifikasi ini difokuskan pada aspek-aspek pembangunan manusia yang mencakup variabel ekonomis dan non ekonomis. Variabel ekonomis yang digunakan adalah Gross Domestic Product (GDP) perkapita, sedangkan variabel non ekonomis adalah usia harapan hidup, tingkat kematian bayi dan pencapaian pendidikan. HDI didapat dari merangking 174 negara ke dalam tiga kelompok, yaitu katagori “tinggi” (64 negara), “medium (65 negara) dan “rendah” (45 negara). Sedangkan GDI hampir sama dengan HDI, hanya saja dalam penghitungan rangkingnya dibedakan secara gender.

Bila dilihat dari Tabel 1 di atas, terlihat bahwa HDI Indonesia turun dari peringkat 96 di tahun 1995 ke peringkat 109, di tahun 1998, dan meningkat lagi ke peringkat 192 di tahun 2001. Sedangkan GDI Indonesia terjadi penurunan dari tahun 1995 di peringkat 88 menjadi peringkat 90 pada tahun 1999, dan menurun lagi ke peringkat 92 di tahun 2001.

Tabel 2. Posisi Perempuan Indonesia

1. Pekerjaan (Susenas’99) Laki-laki Perempuan

* Tingkat partisipasi angkatan kerja 83,6% 51,2%

* Perbandingan upah 100 46

* Kerja sektor formal 70,0% 42,0%

2. Posisi Perempuan dalam Pemerintah/ Politik

* DPR 43 ( 8,3%)

* MPR 63 ( 9,1%)

* DPA 1 ( 2,5%)

* BPK 0

* MA 7 (14,8%)

* KPU 2 (18,1%)

* Gub/ Wakil Gub 0

* Bupati/ Walikota 7 ( 6,0%)

* Dubes 4 ( 0,5%)

* Ketua Partai Politik 1

3. Kemiskinan

Sumber: Heru (2002)

Dari Tabel 2 di atas, meskipun terlihat adanya peningkatan yang cukup besar bagi

perempuan, tetapi keberwujudan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam

pengelolaan sumber daya alam (hutan) masih belum dapat terlihat jelas.

Kembali pada bagian awal, pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam

peran-peran, penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam, hak dan posisi, ternyata

mengakibatkan ketidakadilan gender (Simatauw et al, 2001). Lebih lanjut dinyatakan

ada lima bentuk ketidak adilan gender dalam hubungannya dengan sumberdaya alam,

yaitu:

(1) Marjinalisasi (peminggiran) ekonomi, salah satu yang terlihat nyata adalah lemahnya

kesempatan perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi seperti tanah, kredit

dan pasar;

(2) Subordinasi (penomorduaan), subordinasi perempuan ini berkaitan erat dengan

masalah penguasaan terhadap sumber daya alam. Sejarah membuktikan, pemilik,

atau penguasa sumber daya alam cenderung memiliki kekuasaan lebih besar dan

membawahi serta berhak memerintah kelompok-kelompok tidak bermilik, termasuk

perempuan. Bentuk lain dari subordinasi perempuan juga terdapat pada hak waris.

Banyak budaya tidak memberikan hak waris apapun pada perempuan karena

perempuan dianggap akan masuk ke dalam keluarga suaminya ketika menikah;

(6)

(4) Cap-cap negatif (stereotype), maksudnya adalah perempuan sering digambarkan

pada bentuk-bentuk tertentu yang belum tentu benar, seperti emosional, lemah,

tidak mampu memimpin, tidak rasional dan lain-lain. Sukarno (1963) menuliskan

bahwa sebagai akibat dari cap-cap negatif ini, perempuan diumpamakan sebagai

“sebutir mutiara”. Para suami memuliakan istri mereka, mereka mencintainya

sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikan sebagai mutiara, tetapi

justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pulalah

mereka menyimpan istrinya di dalam kurungan atau pingitan. Bukan untuk

memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya,

melainkan justru untuk menjaganya, untuk menghormatinya, untuk

memuliakannya;

(5) Kekerasan, kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai kekerasan terhadap

perempuan. Bentuknya bermacam-macam mulai dari bentuk kekerasan fisik

maupun psikologis. Pada konflik sumber daya alam kekerasan terhadap

perempuan seringkali meningkat baik itu yang dilakukan oleh aparat (militer atau

sipil) serta pihak-pihak investor maupun juga terjadi di ruang-ruang keluarga, oleh

suami, tetangga atau saudara.

IV. PEREMPUAN, KEHUTANAN SOSIAL dan

GENDER BUDGET

Sejak diadakannya Kongres Kehutanan Dunia, dengan tema “Hutan untuk Masyarakat” tahun 1978, terjadi perubahan perspektif dalam pengelolaan hutan. Konsep pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat dapat diterima secara internasional. Para pengambil keputusan di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia, menyadari bahwa yang paling tahu tentang pengelolaan hutan adalah mereka yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan (Anonim, 2002b).

Bagaimana peran perempuan dalam kehutanan sosial? Cernea (1988) menyatakan bahwa pengalaman dengan kelompok-kelompok perempuan dalam bidang kehutanan jauh lebih terbatas (bila dibandingkan dengan laki-laki). Karena perempuan bertanggung jawab dalam banyak kegiatan untuk mengumpulkan kayu bakar, mereka menjadi pihak yang secara langsung paling tertarik dalam menghasilkannya. Masih dalam tulisan yang sama, walaupun perempuan telah diorganisasi untuk kegiatan produktif yang lain atau yang berkaitan dengan kegiatan rumah tangga di berbagai negara, hanya sedikit yang benar-benar telah melibatkan mereka dalam tanggung jawab pengusahaan di bidang kayu. Bahkan di negara seperti Kenya, dimana kelompok-kelompok perempuan tersebar luas dan efektif, sebuah studi lapangan sosiologi melaporkan bahwa dari 100 kelompok perempuan yang aktif di satu kabupaten (Mbere), tidak ada yang secara langsung dilibatkan dalam penanaman pohon. Di kabupaten lain, kelompok-kelompok perempuan dewasa ini telah mulai menanam beberapa bidang untuk dipakai sendiri.

Tujuan utama dari adanya pembangunan berwawasan gender adalah terciptanya gender equality, equity,

efficacy dan women’s enpowerment di segala bidang. Konperensi Perempuan se-dunia di Beijing tahun 1995 menghasilkan apa yang dikenal sebagai Platform Beijing. Dalam platform tersebut ada tiga hal penting, yaitu

(1) Mengakui adanya ketidak samaan antara perempuan dan laki-laki;

(2) Mengakui bahwa kemiskinan membuat lebih buruk lagi ketidak samaan (ketidak setaraan) tersebut;

(3) Menunjukkan dan menghilangkan pembatas ke arah kemajuan pemberdayaan perempuan.

Dalam hubungannya dengan hal tersebut, Asian Development Bank (2002) menuliskan beberapa kegiatan yang merupakan platform kebijakan bagi perempuan dalam perannya di sektor kehutanan seperti dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

(7)

Sumber: Asian Development Bank (2002)

Banyak upaya yang telah dilakukan di berbagai negara seperti di Afrika Selatan, Australia, bahkan di negara Inggris dan Amerika Serikat untuk memperbesar peran perempuan dalam sektor kehutanan. Tetapi dalam pelaksanaannya tetap terdapat kesenjangan (gap) antara kebijakan yang telah disusun pemerintah dengan masalah pendanaan atau anggarannya. Hidajadi (2001) menyatakan bahwa hal-hal tersebut diakibatkan dari program dan kebijakan yang disusun tidak diakomodasi oleh anggaran pemerintah yang berprekspekif gender.

Masih dalam tulisan yang sama (Hidajadi, 2001), memberi ilustrasi satu contoh kasus dalam evaluasi

budget yang dibuat oleh Departemen Keuangan dari pemerintah di Afrika Selatan pada tahun 1998. Diketahui bahwa pada tahun 1997 di Afrika Selatan telah dibuat 599 proyek untuk masyarakat miskin yang tersebar di 9 propinsi sesuai dengan tingkat kemiskinannya. Dari sekian banyak proyek tersebut, mereka merekrut pekerja perempuan sebesar 41 persen dan pekerja anak sebesar 12 persen. Sayangnya, dari hasil evaluasi diketahui bahwa perempuan yang bekerja untuk proyek tersebut sering hanya mengerjakan pekerjaan yang kurang membutuhkan ketrampilan, dengan masa kerja yang lebih pendek dibanding pekerja laki-laki, dan otomatis menerima upah lebih rendah. Lebih dari itu ternyata hanya 32 persen pekerja perempuan yang mendapatkan kesempatan mengikuti training kerja, dibanding pekerja laki-laki yang mencapai 37 persen.

Dari ilustrasi di atas tergambar bahwa walaupun proyek tersebut telah memberikan kesempatan yang besar pada perempuan, tetapi ternyata “ketidak adilan” masih tetap ada. Lalu bagaimana agar dalam proyek-proyek kehutanan sosial di Indonesia nantinya dapat lebih efektif bagi perempuan? Salah satu caranya adalah dengan apa yang disebut dengan gender budget.

Gender budget adalah konsep baru yang ditawarkan untuk membantu mengatasi kesenjangan (gap) yang terjadi, agar anggaran pemerintah dapat dikumpulkan dan dibelanjakan dalam proyek kehutanan sosial dengan lebih efektif. Gender budget juga dapat membantu pemerintah supaya tujuan pembangunan yang bersifat ekonomi dan sosial dapat dicapai secara lebih seimbang. Hidajadi (2001) menyatakan bahwa konsep gender budget sebenarnya tidaklah ditujukan untuk membuat anggaran secara khusus bagi perempuan, atau untuk meningkatkan anggaran lebih bagi perempuan. Tetapi, pada dasarnya, konsep ini bertujuan untuk membantu menganalisa anggaran pemerintah dengan perspektif

gender.

V. PENILAIAN ANGGARAN PROYEK BERDASARKAN

GENDER

(8)

teknik dalam menilai apakah suatu anggaran proyek berpihak kepada kaum perempuan

atau tidak, yaitu:

(1) Penilaian kebijakan (anggaran) yang sadar gender;

(2) Penaksiran manfaat berdasarkan pemilahan gender;

(3) Analisis luasnya akibat yang ditimbulkan berdasarkan pemilahan gender;

(4) Analisis dampak dari budget dalam alokasi waktu berdasarkan pemilahan gender.

Penjelasan secara ringkas dari teknik penilaian ini dalam proyek kehutanan sosial

adalah sebagai berikut:

Penilaian kebijakan (anggaran) yang sadar gender

Metode ini adalah metode yang paling sering digunakan untuk menilai apakah suatu

anggaran berpihak kepada perempuan atau tidak. Metode ini dimulai dengan asumsi

bahwa anggaran harus mencerminkan kebijakan. Sehingga kebijakan yang bertujuan

untuk pengarusutamaan gender (gender meanstreaming) akan membuat hubungan

yang kuat dan langsung pada alokasi sumber dana dan sumber daya. Cara yang

digunakan dalam metode ini adalah dengan memberikan pertanyaan kepada

mereka-mereka yang akan terlibat dalam proyek, apakah kebijakan pengalokasian sumber dana

dan sumber daya dapat mengurangi, menambah atau menghilangkan ketidaksetaraan

antara laki-laki dan perempuan.

Penaksiran keuntungan dari pemilahan gender

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dan menganalisis pendapat-pendapat pria dan wanita yang secara aktual atau potensial diuntungkan oleh proyek yang akan dilaksanakan. Polling opini, survei perilaku dan diskusi fokus grup adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan data metode ini. Dengar pendapat atau public hearing dapat pula dilakukan untuk membahas mana prioritas pengeluaran yang berperspektif gender.

Analisis luasnya akibat yang ditimbulkan dari pengeluaran publik berdasarkan pemilahan gender

Metode ini membandingkan secara luas bagaimana laki dan perempuan, anak

laki-laki dan anak perempuan diuntungkan dari pengeluaran proyek. Metode ini

menggunakan data survei pengeluaran rumah tangga untuk memperoleh distribusi

pengeluaran masyarakat tersebut.

Analisis dampak dari budget dalam penggunaan waktu berdasarkan pemilahan gender.

Metode ini menganalisis hubungan antara anggaran proyek dengan waktu digunakan

(oleh perempuan) di dalam rumah tangga. Dengan kata lain, metode ini didasarkan

pada penggunaan waktu yang digunakan oleh perempuan, dimana penggunaan waktu

ini dapat digolongkan dalam waktu untuk bekerja dan waktu luang. Seperti diketahui,

perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan dibanding laki-laki di dalam pekerjaan

informal, pekerjaan domestik atau reproduksi dan pekerjaan penunjang di masyarakat.

Sehingga metode ini mencari hubungan antara penggunaan anggaran proyek dan

waktu digunakan perempuan dalam keluarga, dengan maksud agar perempuan dapat

ikut terlibat di dalam proyek diluar waktu dimana mereka bekerja untuk rumah tangga

dan pekerjaan informal lainnya.

VI. PENUTUP

(9)

dapat pula diikutsertakan sejak awal perencanaan proyek dibuat dan termasuk kontrol terhadap proyek kehutanan sosial.

Agar tidak terjadi kesenjangan antara peran laki-laki dan perempuan, dalam proyek

kehutanan sosial, perlu adanya gender budget yang dapat menyeimbangkannya.

Konsep gender budget sebenarnya tidaklah ditujukan untuk membuat anggaran secara

khusus bagi perempuan, atau untuk meningkatkan anggaran lebih bagi perempuan.

Tetapi, pada dasarnya, konsep ini bertujuan untuk membantu menganalisis anggaran

proyek pemerintah dengan perspektif gender.

Gender budget digunakan untuk mengididentifikasi bagaimana alokasi anggaran dapat

memberi kontribusi untuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Jika anggaran

tersebut hanya memberi sedikit atau bahkan tidak sama sekali terhadap kesetaraan

antara laki-laki dan perempuan maka dapat dikatakan bahwa anggaran tersebut tidak

digunakan secara efisien. Gender budget tidak hanya menyoroti berapa banyak

anggaran yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan, tetapi harus juga menunjukkan

bagaimana anggaran tersebut digunakan. Sehingga dalam penyusunannya diperlukan

akuntabilitas dan transparansi baik dari sisi pengeluaran maupun pendapatan yang

akan diterima.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Lukas Rumboko Wibowo, MSc., Ir. Subarudi, MSc., dan Ir. Eko Budi Susantyo, MSc dari PUSLITBANG Sosial, Budaya dan Ekonomi Kehutanan, serta reviewer

Jurnal Hutan Rakyat atas komentar dan sarannya pada draft awal tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2002a. Social Forestry. URL: http://edugreen.teri.res.in/explore /forestry/social.htm

Anonim. 2002b. Social Forestry: Refleksi Kehutanan Pasca Reformasi. Workshop Social Forestry, 10 September, Cimacan, Bogor.

Asian Development Bank. 2002. Gender in Forestry: When Mother Nature Suffers, Women Suffer Too. URL: http://www.adb.org/Document/Events/2002/ForestryStrategy/Gender_Torres.pdf

Awang, S.A., 2000. Hutan Desa: Peluang, Strategi dan Tantangan. Jurnal Hutan Rakyat, Volume 3

(November). Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 19-32.

Budlender, D., R. Sharp., and K. Allen. 1998. How to Do A Gender-Sensitive Budget Analysis:

Contemporary Research and Analysis. Australian Agency for International Development, Canberra and the Commonwealth Secretariat, London.

Cernea, M.M. 1988. Unit-unit Alternatif Organisasi Sosial untuk Mendukung Strategi Penghutanan

Kembali. Dalam: Cernea, M.M. (ed.) Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan. Alih bahasa oleh Teku, B.B. Universitas Indonesia Press, Jakarta: 341-378.

Elson, P. 1999. Gender Budget Initiative. Gender and Youth Affairs Division Background Papers. Commenwealt Secretariat, London.

Foresta, H. dan G. Michon, 2000. Agroforestri Indonesia: Beda Sistem Beda Pendekatan. Dalam: Foresta, H., A. Kusworo., G. Michon., dan W.A. Djatmiko, (ed.) Ketika Kebun Berupa Hutan-Agroforestri Khas Indonesia-Sumbangan Masyarakat Bagi Pembangunan Berkelanjutan.

International Centre for Research in Agroforestry, Institut de Recherche Pour Le Développment dan Ford Foundation, Indonesia. pp 1-18.

Heru, H. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Nasional. Makalah Pelatihan “Analisis Gender dengan GAD”, 20-21 Nopember. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Hidajadi, M. 2001. Perempuan dan Pembangunan. Jurnal Perempuan. Nomer 17. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta: 7-18.

Kusnadi. 2001. Pengamba’ Kaum Perempuan Fenomenal. Humaniora Utama Press, Bandung.

(10)

Nguyen. 2001. Social Forestry: Terminology Forum. URL:

http://www.socialforestry.org.un/forum/sfforum/english/term01.htm

Noronha, R. dan Spears, J.S. 1988. Variabel-variabel Sosiologi dalam Rancangan Proyek Kehutanan. Dalam: Cernea, M.M. (ed.) Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan. Alih bahasa oleh Teku, B.B. Universitas Indonesia Press, Jakarta: 287-340.

Pramuharsanto, Y., 2002. Kajian Komposisi Jenis Pohon pada Pola Agroforestry Sepanjang Jalan Patuk-Wonosari Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Proposal Penelitian, Jurusan Budi Daya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR), 1999. Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Rakyat: Studi Kasus Desa Kedung Keris, Gunung Kidul, Yogyakarta. Laporan Penelitian, Ford Foundation dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Simatauw, M., Simanjuntak, L., dan Kuswardono, P.T. 2001. Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Yayasan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL), Kupang.

Sukarno. 1963. Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia.

Penerbit Buku- Buku Karangan Presiden Sukarno, Jakarta.

Vermaulen, S. 2002. Memahami Komuniti Forestri: Lima Hal Pokok yang Perlu Dipertimbangkan. Seri Kajian Komuniti Forestri, Seri 5 Tahun V, (April). Pustaka Latin, Bogor: 29-37.

Wahyuni, E.S. 2002. Konsep Jenis Kelamin dan Gender. Makalah Pelatihan Analisis Gender dengan GAD, 20-21 Nopember. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Sumber: Artikel pada Jurnal Hutan Rakyat, Pusat Kajian Hutan Rakyat (Center For Community Forestry Studies) Fakultas Kehutanan UGM, Volume V No. 3 Tahun 2003, Halaman 1- 16.

Anggota Kelompok Kerja Gender Mainstreaming Badan Litbang Departemen Kehutanan RI dan Staf Peneliti pada PUSLITBANG Sosial, Budaya, dan Ekonomi Kehutanan.

Referensi

Dokumen terkait

Maka tabel routing yang akan terbentuk dapat terlihat seperti pada gambar 4.68.Namun yang terlihat pada tabel routing tersebut hanya routing statik dan routing

Elkoga Radio adalah suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa, maka Elkoga Radio dituntut untuk memberikan pelayanan yang dianggap paling memuaskan bagi

Dengan model rancangan arsitektur enterprise yang digunakan dalam makalah ini sepenuhnya mengadopsi pada penerapan TOGAF ADM sebagai salah satu metode yang bisa digunakan

Disinilah muncul fungsi positif dari konflik, karena dari konflik yang terjadi dalam perundingan perumusan PKB tersebut menghasilkan sebuah PKB yang disepakati

Memang tepat kiranya jika fenomena ini kita sebut dengan istilah ‘lokalisasi agama’, karena lokalisasi memang identik dengan pelacuran, dan tawar-menawar dengan ‘aqidah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pembelajaran model PBL dengan pendekatan saintifik terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian belajar peserta didik kelas VII

Sehingga perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perubahan pendapatan dari hasil tangkapan nelayan sebelum dan sesudah adanya penambangan pasir

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana hasil pemahaman membaca mahasiswa, bagaimana kemampuan menulis paragraf mahasiswa, apakah ada hubungan yang