• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu-Isu Strategis Revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isu-Isu Strategis Revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Isu-Isu Strategis Revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

1

Dra. Mudiyati Rahmatunnisa. M.A., PhD2 ([email protected])

Pendahuluan

Sebagai bagian integral penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi Daerah, maka

desentralisasi fiscal dilaksanakan sejak Januari 2001 dengan diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-Undang ini

kemudian di revisi menjadi Undang-Undang 33 Tahun 2004 yang efektif berlaku sejak akhir

tahun 2004. Pemberlakuan kedua Undang-Undang (UU) ini merupakan era baru hubungan

keuangan Pusat dan Daerah, karena diatur secara jelas dalam UU perimbangan keuangan yang

khusus.

Keberadaan UU tersebut merupakan basis pelaksanaan desentralisasi fiscal yang memuat

tentang system pembiayaan pemerintahan yang mencakup pembagian keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil

dan transparan, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah dalam rangka

melaksanakan kewajiban dan kewenanangannya, termasuk pengelolaan dan pengawasan

keuangannya. Sidik (2001, dalam Nasution, 2011) secara singkat menjelaskan bahwa kedua UU

ini secara umum mengatur tentang dua hal penting: (1) kewenangan untuk mendayagunakan

sumber keuangan sendiri dan didukung dengan; (2) perimbangan keuangan antara Pusat dan

Daerah. Dalam perspektif teoritis, pengaturan ini sejalan dengan tujuan desentralisasi fiscal

adalah untuk perbaikan efisiensi ekonomi, perbaikan akuntabilitas, peningkatan mobilisasi dana,

dan keadilan (Bird, 2000).

Setelah UU Nomor 25 Tahun 1999 mengalami revisi mendasar hingga memunculkan

UU No 33 Tahun 2004, wacana revisi UU tersebut terus bergulir. Makalah ini mencoba

membahas berbagai isu strategis terkait revisi UU Nomor 33 Tahun 2004.

1Disampaikan pada kegiatan Workshop “Penguatan Kapasitas Pemerintahan Untuk Peningkatan Kinerja Pejabat

Struktural se-Kabupaten Cilacap Dalam Menunjang Pembangunan Daerah”, diselenggarakan oleh Institute for Community Development (ICD), Hotel Perdana Wisata Bandung, Jumat 26 April 2013.

2 Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Pemerintahan, Program Sarjana dan Pascasarjana FISIP Universitas

(2)

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Pasca Runtuhnya Rezim Orde Baru

Pengaturan tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pertama

kali diatur dalam UU No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antar Negara dengan

Daerah-Daerah. Sampai dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru, UU ini tidak pernah direvisi

atau dicabut sama sekali. Pada masa pemerintaha Suharto, yang menjadi rujukan pengaturan

keuangan daerah adalah UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah,

yang mengatur tentang : 1) sumber-sumber pendapatan daerah; 2) pajak daerah; 3) perimbangan

keuangan pusat-daerah yang diatur UU; 4) pajak dan retribusi yang diatur dalam UU; 5)

perusahaan daerah yang diatur dalam UU; 6) sumber pendapatan daerah; 7) hutang piutang

daerah; 8) pertanggungjawaban keuangan kepala daerah; 9) pengaturan barang milik daerah; dan

10) pengaturan APBN/APBD. Pengaturan lebih lanjut beberapa aspek di atas dalam UU, tidak

pernah dilakukan oleh pemerintahan Suharto. Pada saat itu, sumber keuangan daerah adalah: 1)

Pendapatan Asli daerah (PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil

perusahaan daerah, dan hasil daerah yang sah lainnya; 2) pendapatan yang berasal dari

pemberian pemerintah melalui berbagai instruksi (inpres) dan bantuan pembangunan. Sumber

kedua ini merupakan sumber utama keuangan daerah, dalam bentuk subsidi dan berbagai inpres,

misalnya inpres desa, inpres kabupaten, inpres sekolah dasar dan inpres kesehatan. Satu hal yang

pasti adalah bahwa sistem pengelolaan keuangan daerah model inpres ini merupakan bentuk

pengaturan keuangan daerah yang sentralistik dan pada gilirannya, mematikan inisiatif daerah

untuk mengatur urusan rumah tangganya (Salamm, 2005).

Runtuhnya Orde Baru telah meretas episode baru pengaturan hubungan keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Salamm (2005), UU Nomor 25 Tahun 1999 menandai

perubahan total system keuangan daerah menuju kepada system yang lebih adil dan aspiratif. Hal

pokok yang diatur dalam UU ini adalah terkait desentralisasi fiscal, pengelolaan keuangan

daerah, keuangan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pinjaman daerah dan system informasi

keuangan daerah. Berlakunya UU Nomor 25 Tahun 1999 ini telah membawa perubahan

signifikan dalam keuangan daerah, karena beberapa hal berikut ini:

1. Penetapan persentase bagi hasil yang jelas untuk PBB, BPTHTB, dan sumber daya alam

dari sector kehutanan, perikanan, minyak, mineral dan gas alam (Dana Perimbangan)

(3)

3. Adanya kebebasan daerah untuk mengadakan pinjaman dan sumber dalam negeri

4. Dibentuknya dana cadangan daerah untuk membiayai pembangunan

5. Perubahan format APBD dari “beimbang dan dinamis” menjadi format anggaran yang

memungkinkan deficit

6. Isi dari laporan pertanggungjawaban daerah yang berisi laporan keuangan dan juga

laopran kinerja keuangan

7. Kebebasan bagi daerah dalam mengelola keuangan daerah

Secara khusus, DAU3 dimaksudkan untuk menjaga perimbangan dan pemerataan

antardaerah. Penentuan DAU memperhitungkan kebutuhan daerah, dengan memperhatikan

kebutuhan dasar yang menyangkut jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis dan

tingkat pendapatan masyarakat, potens i ekonomi daerah (industri, SDA, SDM dan PDRB).

Sementara itu DAK dimaksudkan untuk membantu program nasional.

Beberapa permasalahan yang terjadi pada masa implementasi UU Nomor 25 Tahun 1999

adalah:

1. Ketidakadilan dalam pembagian DAU;

2. Pembagian DAU dianggap kurang transparan (tidak sesuai dengan rumusan

penghitungan DAU dan sangat tergantung lobi);

3. Perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan daerah terkait penggunaan DAU;

4. Kurang transparannya Pusat dalam membagi hasil sumber daya alam, padahal persentase

pembagiannya sudah jelas diatur dalam UU;

5. Egoisme sektoral beberapa kementerian yng tidak mau menyerahkan kewenangan

pengeloaan SDA kepada daerah;

6. Rebutan sumber pendapatan antarkabupaten/kota tetangga atau antara kabaupaten dengan

peopinsi;

7. Bagi hasil PPh yang tidak adil;

33 DAU digunakan sebagai instrument perimbangan keuangan antar daerah dengan konsep yang digunakan adalah

(4)

8. DAU dipandang belum cukup untuk pembangunan daerah;

9. Rumusan DAU dipandang belum mengakomodasi kebutuhan riil daerah

10.Mekanisme control atas pengelolaan keuangan daerah lemah, baik oleh DPRD maupun

Badan Pengawas Daerah (Salamm, 2005).

Permasalahan lainnnya yang tidak kalah rumit adalah terkait munculnya berbagai

pungutan daerah yang pada gilirannya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy)

dan menghambat investasi di daerah. Selanjutnya, terbatasnya kewenangan perpajakan (taxing

power) daerah sehingga mengakibatkan rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD (Zainie,

2005). Pada gilirannya, upaya untuk mewujudkan visi UU Nomor 25 Tahun 1999 untuk

mensejahterakan masyarakat daerah menjadi tidak optimal, bahkan cenderung tidak jelas.

Isu-isu Strategis Revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah

Dalam bagian sebelumnya, telah dijelaskan berbagai permasalahn terkait dengan UU

Nomor 25 Tahun 1999. Namun demikian, revisi atas UU tersebut yang terformulasi dalam UU

Nomor 33 Tahun 2004, tidak membawa perubahan yang signifikan. Hal yang baru justru peran

lebih besar dari provinsi. Selain itu, potensi penerimaan yang besar, masih dipegang oleh Pusat.

Meski formula DAU dan DAK termasuk yang dipermasalahkan dalam konstruksi UU Nomor 25

Tahun 1999, namun dalam UU 33 Tahun 2004, tidak ada yang diubah, tetap menggunakan

formula yang sama. Sementara, bagi hasil dalam penerimaan SDA sedikit mengalami perubahan,

yaitu bagi hasil panas bumi, minyak bumi dan LNG. Sumber penerimaan daerah bertambah

dengan adanya Pembiayaan, bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan

pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Wacana revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 muncul kembali sejak tahun lalu. Pada intinya,

wacana revisi itu terkait dengan isu ketidakadilan dalam pembagian dana perimbangan antara

Pusat dan daerah, khususnya Pasal 14. Selain itu, karena ada pengaturan yang tidak lengkap,

misalnya terkait dengan pembagian hasil perkebunan, sebagaimana disuarakan oleh Pemda

Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Pemprov Riau, beberapa waktu lalu (Teropong, 13

(5)

ketidaksinkronan antara UU No. 33 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Dana Bagi Hasil

dibagikan kepada daerah yang bersangkutan, dengan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana

Perimbangan yang menyebutkan bahwa terkait eksploitasi minyak dan gas bumi, daerah yang

tergabung dalam wilayah kerja berhak mendapat 10% Participating Interest oleh kontraktor. Di

beberapa kasus, daerah penghasil SDA ternyata hanya mendapat Participating Interest, seperti

dialami oleh Kabupaten Blora (Kurniawati, Widayati, & Sulitiyowati, 2013). Dengan demikian,

isu utama revisi dapat dikatakan hamper sama dengan ketika UU Nomor 25 Tahun 1999

dipandang perlu untuk direvisi.

Sesungguhnya, jika ditelaah lebih jauh, masih banyak persoalan-persoalan strategis

lainnya terkait dengan pengelolaan keuangan daerah. Jika kita menilik kriteria ideal untuk desain

keuangan dari Pusat ke Daerah berikut ini, bisa dijadikan rujukan untuk melakukan refleksi

apakah UU Perimbangan Keuangan Daerah sudah memenuhi kriteria ideal tersebut.

1. Otonomi: transfer harus dapat menjamin bahwa Pemda memiliki independensi dan

fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka. Tidak boleh ada pembatasan

yang terlalu ketat sehingga keputusan di daerah harus mengikuti atau mengacu pada

ketentuan Pusat;

2. Penerimaan yang memadai (revenue adequacy): untuk dapat menjalankan kewenangan

serta urusan yang menjadi tanggungjawabnya, transfer harus dapat mencukupi

pendapatan Pemda;

3. Keadilan (equity): dana transfer memiliki relevansi positif dengan kebutuhan fiscal

daerah;

4. Transparan dan stabil: formula transfer harus dapat diketahui oleh public atau

masyarakat. Formula ini sebaiknya stabil dipakai untuk jangka menengah (misalnya 3-5

tahun), agar dapat memberikan kesinambungan pengelolaan keuangan di daerah. Hal

lainnya yang terkait adalah perlunya Pemda memiliki perkiraan atas penerimaan total

(termasuk transfer) sehingga memudahkan penyusunan anggaran;

5. Sederhana (simplicity): proses transfer dilakukan secara objektif tanpa intervensi

individu-individu tertentu dan formulanya relative mudah untuk dipahami;

6. Insentif: desain transfer yang baik mencakup juga pemberian insentif bagi daerah yang

memiliki manajemen keuangan yang baik dan juga sebaliknya, sebagai upaya untuk

(6)

Harus diakui bahwa wacana revisi atas UU Nomor 33 Tahun 2004 belum secara komprehensif

mencakup isu-isu strategis tersebut. Jika konsepsi di atas dapat dipenuhi, maka UU Perimbangan

keuangan dapat menjadi instrument yang memiliki potensi besar untuk dapat mewujudkan

sebuah system Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah suatu

sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam

rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi,

dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan, sebagaimana dimanatkan dalam UU Nomor 33 tahun 2004 Pasal 1 ayat 3.

Simpulan

Desentralisasi fiscal memiliki tujuan strategis dalam rangka menunjang aktivitas Pemda

dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Secara spesifik, transfer dana dari Pusat menjadi

sumber utama penerimaan bagi Pemda. Eksistensi transfer ini sejatinya adalah untuk mencapai

standar pelayanan minimum terselenggara secara efektif, mengingat disparitas kondisi keuangan

dan ekonomi di berbagai daerah. Adalah menjadi tugas pemerintah untuk mengurangi

kesenjangan antar daerah. Oleh karena itu desain transfer menjadi isu strategis untuk mencapai

efektifitas, efisiensi dan terciptanya keadilan dalam penyediaan pelayanan public di berbagai

daerah (Simanjuntak, 2005).

Secara spesifik, fungsi strategis transfer dana dari Pusat kepada daerah bertujuan untuk:

pertama, untuk mengatasi vertical fiscal gap, antara Pusat yang seringkali menguasai

sumber-sumber pendapatan; kedua, untuk mengatasi horizontal fiscal gap, mengingat disparitas

kemampuan keuangan, kepemilikan sumber daya alam dan kebutuhan pembiayaan pelayanan

public berbagai daerah; ketiga, menjaga tercapainya standar pelayanan minimum; keempat,

mengatasi persoalan yang timbul dari melimpahnya efek pelayanan public (interjurisdictional

spillover effects), misalnya pelayanan pendidikan tinggi, penanganan polusi udara, pemeliharaan

jalan raya penghubung antarwilayah, yang manfaatnya tidak bisa dibatasi hanya untuk

masyarakat daerah tertentu saja. Maka perlu insentif agar Pemda mau berinvestasi; kelima, untuk

menjaga stabilitas perekonomian, karena transfer dana dapat menstimuli Pemda menjalanakan

(7)

perimbangan keuangan Pusat dan Daerah perlu berorientasi kepada upaya mewujudkan

fungsi-fungsi strategis tersebut dengan ditopang oleh prinsip perimbangan yang komprehensif.

-oOo-

Daftar Pustaka

Bird, R. M. (2000). Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang. Jakarta: Gramedia.

Kurniawati, T., Widayati, W., & Sulitiyowati. (2013). Kesenjangan Fiskal Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi atas Eksploitasi Blok Cepu. Jurnal Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro.

Nasution, F. A. (2011). Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasca Reformasi. Jurnal Hukum JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 18 JULI 2011:, 3, 381 - 404.

Salamm, A. (2005). Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. In S. Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan

Akuntabilitas Pemerintahan Daerah (pp. 277-299). Jakarta: LIPI Press.

Simanjuntak, R. A. (2005). Hubungan Keuangan Pusat dan daerah. In A. Gonggong, Pasang Surut OtonomDaerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahuni (pp. 214-325). Jakarta: Yayasan Tifa.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan studi, dapat disimpulkan bahwa pengenaan tarif 0,75% dari total peredaran usaha, sebagai angsuran PPh bagi WPOP pengguna norma dengan jumlah peredaran usaha sebesar

sensorimotor memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan dari latihan sensorimotor diantaranya latihan sensorimotor dirancang untuk bisa menjadikan konsep-konsep yang abstrak

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok.. Pertimbangan untuk nasihat lain •

57 Menurut Muljono dan Wicaksono (2009:59) koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, masa manfaat dalam

Tujuan: Mengetahui jumlah komponen senyawa dalam ekstrak ethanol rimpang bengle melalui profil kromatogram serta mengetahui aktivitas ekstrak bengle terhadap bakteri

Indeks Tendensi Bisnis (ITB) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang datanya diperoleh dari Survei Tendensi Bisnis (STB) yang dilakukan oleh BPS bekerja sama

Ini sesuai dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa email dapat mengalami erosi yang disebabkan oleh bahan makanan dan minuman yang bersifat asam.8

Berdasarkan hasil yang didapatkan pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa balsam minyak atsiri lavender tidak memiliki pengaruh yang bermakna terhadap nafsu makan