• Tidak ada hasil yang ditemukan

*Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado ** Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "*Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado ** Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALISIS PENERAPAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DI POLI GIGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TOBELO KABUPATEN HALMAHERA UTARA

Fani Susan Paparang*, Starry Rampengan**, A. Joy M. Rattu**

*Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado

** Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

ABSTRAK

Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan pengunjung rumah sakit dihadapkan pada resiko terjadinya infeksi yang diperoleh di rumah sakit, baik karena perawatan atau karena datang berkunjung ke rumah sakit. Oleh karena itu rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan.

Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi pelaksanaan kebersihan tangan, penggunaan alat pelindung diri serta disinfeksi dan sterlisasi alat dan bahan di poli gigi RSUD Tobelo. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang dilakukan dengan metode kualitatif. Informan berjumlah 6 orang ditentukan berdasarkan pada prinsip kesesuaian dan kecukupan yaitu Direktur, Ketua Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), Infection Prevention Control Nurse (IPCN), Dokter Gigi, Perawat Gigi dan Pasien. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi lapangan, dan data sekunder diperoleh dari laporan dokumen yang ada di rumah sakit. Validasi data menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode. Data hasil wawancara dirangkum dalam bentuk matriks kemudian disajikan dalam bentuk narasi. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi di poli gigi RSUD Tobelo sudah dilaksanakan namun belum optimal.

Disarakan bagi manajemen rumah sakit agar melakukan pelatihan keselamatan pasien (patient safety) secara rutin bagi seluruh petugas yang memiliki risiko terinfeksi di rumah sakit.

Kata Kunci: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi, Poli Gigi

ABSTRACT

Hospitals as one of the health facilities that provide health services to the community have a very important role in improving the health status of the community. Communities receiving health services, health workers and hospital visitors are exposed to the risk of acquired infections at hospital, either due to treatment or coming to the hospital. Therefore the hospital is required to be able to provide quality services in accordance with predetermined standards. This study aims to evaluate the implementation of hand hygiene, the use of personal protective equipment and disinfection and sterilization of tools and materials in Dental Clinic RSUD Tobelo. This study is a descriptive analytic research conducted by a qualitative method. The informants were 6 persons determined based on the principle of conformity and adequacy, i.e,: The Director, Chairman of the Infection Prevention and Control Team (PPI), Infection Prevention Control Nurse (IPCN), Dentist, Dental Assistant and Patient. Primary data sources were obtained through in-depth interviews and field observations, and secondary data were obtained from document reports in hospital. Data validation uses source triangulation and method triangulation. Interview data were summarized in matrix form then presented in narrative form. The results of this study can be concluded that the application of infection prevention and control in Dental clinic RSUD Tobelo has been implemented but not optimal. It is recommended for hospital management to conduct routine patient safety training for all health workers who are at risk of infection at the hospital.

Key Words: Infection Prevention and Control, Dental clinic

PENDAHULUAN

Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki

peran yang sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan

(2)

2 dan pengunjung rumah sakit dihadapkan pada resiko terjadinya infeksi yang diperoleh di rumah sakit, baik karena perawatan atau karena datang berkunjung ke rumah sakit. Oleh karena itu rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan (Azwar, 2010).

Prinsip penting dari keberadaan institusi pelayanan kesehatan yang bermutu adalah perlindungan bagi pasien, tenaga kesehatan, tenaga pendukung dan komunitas masyarakat di sekitarnya dari penularan infeksi. Hal ini dapat diwujudkan dengan penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi yang efektif dan efisien. Kunci utama dari sebuah program pencegahan dan pengendalian infeksi yang efektif adalah melindungi pasien dari penularan penyakit menular dan dari kondisi yang disebabkan oleh perawatan yang diterima di rumah sakit. Prosedur pelaksanaan tentang pencegahan dan pengendalian infeksi tersebut harus dilaksanakan pada semua praktek pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan gigi dan mulut di seluruh Indonesia (Anonim, 2012).

Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Indonesia mempunyai kewajiban untuk selalu memenuhi salah satu kriteria standar pelayanan kedokteran gigi, yaitu melaksanakan

pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI). Program kontrol infeksi dibuat untuk mencegah atau paling tidak untuk mengurangi penyebaran penyakit dari pasien ke tenaga kesehatan gigi, tenaga kesehatan gigi ke pasien, pasien satu ke pasien lainnya, ruang perawatan gigi ke komunitas lingkungannya termasuk keluarga tenaga kesehatan gigi dan komunitas ke pasien (Mulyanti dan Putri, 2012).

Rumah Sakit Umum Daerah Tobelo berkedudukan di pusat kota Tobelo kabupaten Halmahera Utara provinsi Maluku Utara yang berdiri sejak tahun 1992 merupakan hasil pengembangan dari Puskesmas Tobelo. Visi dari rumah sakit ini adalah menjadi rumah sakit rujukan regional terpercaya dan terjangkau oleh masyarakat di propinsi Maluku Utara tahun 2021. RSUD Tobelo saat ini sedang dalam persiapan akreditasi versi 2012 menuju rumah sakit tipe B, dan baru membentuk tim pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI). Program pencegahan dan pengendalian infeksi menjadi salah satu syarat untuk akreditasi rumah sakit yang merupakan ukuran kualitas dari pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Berdasarkan pengamatan peneliti selama beberapa waktu, pelaksanaan kebersihan tangan masih belum merata dilakukan oleh para petugas paramedis, demikian juga penggunaan alat

(3)

3 pelindung diri berupa masker juga tidak

selalu digunakan oleh petugas kesehatan. Berdasarkan hal-hal di atas, maka tujuan penelitian ini untuk melakukan analisis tentang penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi di poli gigi RSUD Tobelo, dengan harapan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi tenaga kesehatan gigi sehingga pelayanan kesehatan di poli gigi RSUD Tobelo menjadi lebih maksimal dan lebih aman.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang dilakukan dengan metode kualitatif. Informan berjumlah 6 orang ditentukan berdasarkan pada prinsip kesesuaian dan kecukupan yaitu Direktur, Ketua Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), Infection Prevention Control Nurse (IPCN), Dokter Gigi, Perawat Gigi dan Pasien. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi lapangan, dan data sekunder diperoleh dari laporan dokumen yang ada di rumah sakit.

Validasi data menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode. Data hasil wawancara dirangkum dalam bentuk matriks kemudian disajikan dalam bentuk narasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan Kebersihan Tangan Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Poli Gigi RSUD Tobelo Hasil wawancara mendalam dan observasi dokumen menunjukkan bahwa pelaksanaan kebersihan tangan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di Poli Gigi RSUD Tobelo sudah dilaksanakan sepenuhnya oleh petugas namun masih ada kendala dalam ketersediaan sarana dan kepatuhan petugaskesehatan. Kebersihan tangan merupakan hal yang paling penting dan merupakan pilar untuk pencegahan dan pengendalian infeksi. Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut harus melakukan kebersihan tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir jika tangan terlihat kotor (termasuk keadaan terkena serbuk/ powder dari sarung tangan), terkontaminasi cairan tubuh, kontak langsung dengan individu pasien, setelah kontak dengan permukaan dalam ruang praktek termasuk peralatan, gigi palsu, cetakan gips. Lamanya mencuci tangan 40-60 detik. Jika tangan tidak tampak kotor lakukan kebersihan tangan dengan cara gosok tangan dengan handrub/cairan berbasis alkohol, lamanya 20-30 detik.

Hand hygiene merupakan teknik dasar yang penting dalam pencegahan infeksi namun tingkat kepatuhan petugas kesehatan khususnya perawat dalam

(4)

4 melakukan hand hygiene masih sangat rendah. Perilaku kepatuhan hand hygiene perawat merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial.

Berdasarkan hasil penelitian di Bangsal Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2011, diketahui bahwa perawat dengan tingkat pengetahuan tinggi dengan penerapan cuci tangan yang baik sebanyak 23 perawat atau 67,6%, sedangkan pada perawat dengan tingkat pengetahuan sedang dengan penerapan cuci tangan yang baik sebanyak 4 perawat atau 11,8%. Perawat dengan tingkat pengetahuan tinggi dengan penerapan cuci tangan yang cukup baik sebanyak 3 perawat atau 8,8%, sedangkan pada perawat yang tingkat pengetahuannya sedang dengan penerapan cuci tangan yang cukup baik sebanyak 4 perawat atau 11,8%.

Studi di Amerika Serikat menunjukkan tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan masih sekitar 50% dan di Australia sekitar 65%.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Karaaslan dkk (2014) di unit perawatan intensif neonatal dan anak Rumah Sakit Universitas Marmara Istanbul didapatkan angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene yaitu sebesar 43,2%. Penelitian yang

dilakukan oleh Pittet (2013) didapatkan rata-rata kepatuhan cuci tangan di rumah sakit universitas Geneva sebesar 48%.

Angka kepatuhan hand hygiene di Indonesia juga masih sangat rendah.

Dilihat dari penelitian yang dilakukan Damanik (2011), didapatkan angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene hanya sebesar 48,3%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Pratama (2015), ditemukan bahwa tingkat kepatuhan melaksanakan hand hygiene di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung masih sangat rendah yaitu sebesar 36%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suryoputri (2011), didapatkan angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene berdasarkan bangsal adalah 24,16%

(Bedah), 26,09% (Anak), 25,13%

(Interna), 25,9% (HCU), 26,11%

(PICU), dan 25,72% (ICU).

Penelitian yang dilakukan oleh Ananda (2014), didapatkan angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene di RSUP M. Djamil Padang yaitu sebesar 34,2%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kharliasni (2015) di Ruang Rawat Inap RSI Ibnu Sina Padang didapatkan kepatuhan perawat melakukan hand hygiene sebesar 41,5%. Penelitian lain dilakukan oleh Yahya (2015), didapatkan angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene di

(5)

5 RSUD dr. Rasidin Padang yaitu sebesar

51,3%. Dapat disimpulkan, angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene masih sangat rendah.

Rendahnya kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene ini dipicu oleh berbagai faktor.

Menurut teori Lawrence Green ada tiga faktor utama yang mempengaruhi setiap individu dalam melakukan sebuah perilaku dalam hal ini perilaku hand hygiene yaitu faktor pendorong (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai, persepsi. Faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam supervisi, peran kader, tokoh agama, tokoh masyarakat. Faktor pemungkin (enabling factor), yang terwujud dalam sarana dan prasarana, sumber daya, kebijakan, pelatihan (Sutiyono dkk, 2014)

Teori lain terkait faktor yang mempengaruhi perilaku yang dikemukakan oleh Gibson dan Ivancevich yaitu faktor individu, faktor organisasi, dan faktor psikologi (Yanti dan Warsito, 2013). Gibson menjelaskan bahwa faktor individu yang mempengaruhi kinerja adalah pengetahuan, umur, pendidikan, masa kerja dan status pegawai. Selanjutnya faktor organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, supervisi, imbalan, kebijakan, struktur, kerja tim. Adapun

faktor psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi (Purwanti, 2010).

Menurut teori WHO, terdapat 4 determinan mengapa seseorang berperilaku yakni : (1) Pemikiran dan perasaan yang dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pengetahuan, kepercayaan, dan sikap, (2) adanya acuan atau referensi dari seseorang yang dipercayai, (3) sumber daya yang tersedia seperti fasilitas, uang, waktu, tenaga kerja dan (4) kebudayaan, kebiasaan, nilai, maupun tradisi yang ada di masyarakat.

Menurut beberapa teori diatas dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan perawat dalam pelaksanaan langkah-langkah hand hygiene menurut teori Lawrence yaitu faktor pendorong, faktor pemungkin dan faktor penguat, menurut teori Gibson faktor yang mempengaruhi perilaku dalam hal ini perilaku hand hygiene yaitu faktor individu, faktor organisasi dan faktor psikologi dan menurut teori WHO faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu pemikiran dan perasaan, adanya acuan atau referensi dari seseorang yang dipercayai, sumber daya yang tersedia dan kebudayaan, kebiasaan, nilai, maupun tradisi yang ada di masyarakat.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dapat

(6)

6 mempengaruhi perilaku seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saragih dan Rumapea (2010) menunjukkan bahwa perawat dengan tingkat pengetahuan yang baik tentang cuci tangan mempunyai kepatuhan yang lebih tinggi. Sejalan dengan penelitian Pratama (2015) yang menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene yaitu pengetahuan.

Penelitian lain menyebutkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan perawat melakukan hand hygiene (Damanik, 2011). Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene.

Mencuci tangan sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir dan dengan sabun yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik. Mencuci tangan dengan sabun biasa dan air bersih adalah sama efektifnya mencuci tangan dengan sabun antimikroba. Ada beberapa kondisi yang mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sabun antiseptik ini, yaitu saat akan melakukan tindakan invasif, sebelum kontak dengan pasien yang dicurigai mudah terkena infeksi (misalnya: bayi yang baru lahir dan pasien yang dirawat di ICU).

Mencuci tangan sebaiknya dilakukan

sebelum dan sesudah memeriksa dan mengadakan kontak langsung dengan pasien, saat memakai melepas sarung tangan bedah steril atau yang telah di disinfeksi tingkat tinggi pada operasi serta pada pemeriksaan untuk prosedur rutin, saat menyiapkan, mengkonsumsi dan setelah makan juga pada situasi yang membuat tangan terkontaminasi (misal: memegang instrumen kotor, menyentuh membran mukosa, cairan darah, cairan tubuh lain, melakukan kontak yang intensif dalam waktu yamg lama dengan pasien, mengambil sampel darah, saat memeriksa tekanan darah, tanda vital lainnya juga saat keluar masuk unit isolasi).

Penggunaan Alat Pelindung Diri Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Poli Gigi RSUD Tobelo Hasil wawancara mendalam dan observasi dokumen menunjukkan bahwa Penggunaan Alat Pelindung Diri Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Poli Gigi RSUD Tobelo sudah diterapkan namun terkadang ada kendala.

Dokter gigi berpotensi terkena berbagai macam mikroorganisme menular dari lingkungan klinis mereka.

Transmisi dari agen infeksi dan dari orang ke orang atau dari benda mati dalam lingkungan klinis yang dapat mengakibatkan infeksi sehingga dikenal

(7)

7 sebagai infeksi silang. Protokol dan

prosedur yang terlibat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi dalam kedokteran gigi diarahkan untuk mengurangi kemungkinan atau resiko infeksi silang yang terjadi di klinik gigi sehingga menghasilkan lingkungan yang aman bagi pasien dan staf. Pada saat bekerja pemaparan darah di dapat pada saat perkutan (jarum suntik dan cedera benda tajam lainnya) dan cedera mukokutan (percikan darah ke anggota tubuh lainnya seperti mata, hidung atau mulut) atau kontak darah dengan kulit yang luka.

Dokter gigi sebagai tenaga kesehatan berperan dalam pencegahan, penatalaksanaan dan perawatan gigi mulut bagi masyarakat yang hidup dengan berbagai penyakit. Resiko pekerjaan seperti tertular penyakit menular HIV, HBV, tuberculosis dan lain-lain. Kurangnya kesadaran tenaga kesehatan dan rendahnya mutu pelaksanaan sterilisasi juga mengakibatkan tingginya prevalensi penyebaran penyakit infeksi. Untuk mengatasi hal ini, International Labour Organization (ILO), Center for Disease Control and Prevention (CDC), Occupational Safety and Health Administration (OSHA), World Health Organization (WHO) dan United

Nations and Acquired

Immunodeficiency Syndrome

(UNAIDS) menghasilkan garis pedoman internasional baru yang penting bagi tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, bidan, staf teknik, seperti apoteker dan laborat, manajer kesehatan, petugas kebersihan, dan tenaga kerja lainnya.

Pusat pengendalian dan pencegahan penyakit (CDC) mengusulkan serangkaian prosedur untuk mencegah kesalahan pekerjaan dan untuk penanganan bahan yang berpotensi menular seperti darah dan cairan tubuh.

Prosedur ini, yang dikenal sebagai tindakan pencegahan standar, menyarankan petugas kesehatan untuk biasa menerapkan kebersihan pribadi.

Menggunakan pelindung seperti sarung tangan dan gaun setiap kali ada kontak dengan membran mukosa, darah dan cairan tubuh pasien dan membuang benda tajam, cairan tubuh dan limbah klinis lainnya.

Rumah Sakit harus memberikan pelayanan yang aman dan nyaman kepada masyarakat melalui penerapan patient safety. Salah satu goal dari patient safety adalah mengurangi resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Pencegahan infeksi adalah suatu upaya kegiatan untuk mencegah, meminimalkan kejadian infeksi pada pasien, petugas, pengunjung dan masyarakat sekitar rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang meliputi

(8)

8 pengkajian, perencanaan pelaksanaan dan evaluasi.

Alat Pelindung Diri (APD) adalah pakaian khusus atau alat yang digunakan petugas untuk melindungi diri dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya di tempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik, mekanik dan lainnya. Tujuan dari pembuatan Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ini adalah untuk menjadi acuan tenaga kesehatan di lingkungan pelayanan kesehatan gigi dan mulut dalam pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang benar meskipun dalam keadaan sumber daya dan dana yang terbatas. Sasaran dari Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ini adalah semua tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di fasilitas pelayanan kesehatan.

Perlengkapan perlindungan diri yang biasa digunakan petugas kesehatan gigi adalah sarung tangan, masker, kacamata pelindung, gaun dan alas kaki.

Perlengkapan ini tidak harus digunakan secara bersamaan, tergantung dari tingkat resiko yang mengerjakan, prosedur dan tindakan medis serta perawatan (Darmadi, 2008).

Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit dan penularan infeksi ini bisa saja terjadi

diantara pasien, petugas pelayanan kesehatan dan pengunjung rumah sakit.

Infeksi nosokomial merupakan masalah besar yang dihadapi rumah sakit. Infeksi nosokomial/hospital acquired infection (HAI) adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien di rawat di rumah sakit (Anonim, 2004). Menurut Brooker (2009), infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit paling tidak selama 72 jam dan pasien tersebut tidak menunjukkan gejala infeksi saat masuk rumah sakit.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan infeksi nosokomial adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme dan bakteri yang didapat pada waktu pasien dirawat 3x24 jam di rumah sakit dimana pasien tersebut tidak menunjukkan gejala infeksi saat masuk rumah sakit.

Tingginya angka infeksi nosokomial menjadi masalah yang penting di suatu rumah sakit.

Angka kejadian infeksi nosokomial yang diperoleh dari berbagai sumber menunjukkan angka kejadian yang tinggi. Survei prevalensi yang dilakukan WHO di 55 rumah sakit dari 14 negara yang mewakili 4 Kawasan WHO (Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik Barat) menunjukkan rata- rata 8,7% dan Asia Tenggara sebanyak 10,0% pasien rumah sakit mengalami infeksi nosocomial (Utama, 2006). Di

(9)

9 Amerika Serikat, 2 juta orang

pertahunnya menderita HAI serta menyebabkan 9000 kematian. Di Inggris, terdapat 100.000 kasus HAI serta menyebabkan 5000 kematian tiap tahunnya (Anonim, 2007). Menurut Depkes RI (2011), angka kejadian infeksi di rumah sakit sekitar 3 – 21%

(rata-rata 9%) atau lebih 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia.

Di Indonesia infeksi nosokomial mencapai 15,74% jauh diatas negara maju yang berkisar 4,8 – 15,5%

(Firmansyah, 2007). Infeksi saluran kemih (ISK) adalah salah satu infeksi nosokomial yang paling sering terjadi yaitu sekitar 40% dari seluruh infeksi nosokomial yang dapat terjadi di rumah sakit setiap tahunnya (Pollack & Abel.

2010; Arisandy, 2013).

Tingginya angka prevalensi kejadian infeksi nosokomial tersebut merupakan ancaman bagi pelayanan rumah sakit. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial yang salah satunya dengan melakukan hand hygiene. Infeksi merupakan bahaya yang sangat nyata pada praktik pelayanan kedokteran gigi.

Pada kenyataannya, prosedur kebersihan tanganmerupakan komponen paling penting diantara program pencegahan dan pengendalian infeksi. Tujuan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan gigi

dan mulut adalah untuk mencegah penularan infeksi baik kepada pekerja layanan kesehatan maupun pasien ketika sedang dilakukan perawatan kesehatan gigi dan mulut. Sarana pelayanan kesehatan wajib memberikan jaminan keamanan kesehatan baik bagi tenaga kesehatan maupun masyarakat yang dilayani.

Penyebaran penyakit menular telah meningkatkan kekhawatiran masyarakat maupun petugas kesehatan dalam beberapa dekade terakhir akibat munculnya infeksi mematikan seperti infeksi HIV dan HBV. Wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2003 dan ancaman virus H5N1 (flu burung) dan H1N1 (flu babi) telah menunjukkan pentingnya 2 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang tepat pada tingkat komunitas, klinik dan personal. Tenaga pelayanan kesehatan yang berkecimpung dalam bidang kedokteran gigi memiliki risiko tinggi mengalami infeksi karena keberadaan mikroorganisme patogen dalam rongga mulut termasuksaliva dan darah, dan kemungkinkan luka akibat tertusuk jarum suntik (Porter, dkk, 1990;

Cleveland, dkk., 1995)

Pengendalian infeksi ini masuk ke dalam MDGs (Milenium Development Goals) ke-6 dan 7 yaitu pengendalian infeksi silang yang tepat diperlukan untuk mencegah penularan penyakit

(10)

10 menular selama perawatan gigi. Target WHO 2020 salah satunya adalah meningkatkan jumlah pelayanan kesehatan yang kompeten untuk mengenali dan mengurangi risiko dari transmisi penyakit menular di lingkungan pelayanan kesehatan gigi dan mulut.

Infeksi dalam pelayanan kesehatan gigi ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui tiga model penyebaran infeksi sebagai berikut: 1). Penularan melalui kontak: a. langsung dengan mikroorganisme pada sumber infeksi, contoh mulut pasien. b. tidak langsung dengan permukaan benda mati, misalnya: instrumen, alat dan permukaan terkontaminasi. 2).

Penularan melalui droplet yaitu percikan

saliva yang mengandung

mikroorganisme. 3). Penularan melalui udara yang terkontaminasi mikroorganisme, misalnya aerosol.

Alat pelindung diri yang paling baik adalah yang terbuat dari bahan yang telah diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh cairan. Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan dapat melindungi pasien dari mikroorganisme yang terdapat di tangan petugas kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (banier) yang paling penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Satu pasang sarung

tangan harus digunakan untuk setiap pasien sebagai upaya menghindari kontaminasi. Sarung tangan dipakai saat ada kernungkinan kontak dengan darah atau cairan fubuh lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas, saat akan melakukan prosedur medis yang bersifat invasif (seperti: pemasangan kateter dan infus intravena), saat menangani bahan- bahan bekas pakai yang telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang tercemar, serta memakai sarung tangan bersih atau tidak steril saat akan memasuki ruangan.

Pelaksanaan Disinfeksi Dan Sterilisasi Peralatan Serta Bahan Yang Digunakan Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Poli Gigi RSUD Tobelo

Hasil wawancara mendalam dan observasi dokumen menunjukkan bahwa pelaksanaan disinfeksi dan sterilisasi peralatan serta bahan yang digunakan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di Poli Gigi RSUD Tobelo sudah dilakukan sesuai prosedur namun masih ada kendala.

Profesi tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut tidak lepas dari kemungkinan untuk berkontak secara langsung atau tidak langsung dengan mikroorganisme dalam rongga mulut (termasuk saliva dan darah) pasien.

Sebagai hasil pemajanan yang

(11)

11 berulangkali terhadap mikroorganisme

yang ada dalam rongga mulut, insidensi terjangkit penyakit infeksi lebih tinggi padapraktik kedokteran gigi.

Mengabaikan prosedur Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang efektif dapat mengakibatkan orang lain, termasuk keluarga tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut dan pasien lain, menghadapi risiko terkena penyakit infeksi.

Status infeksi pasien terkadang tidak diketahui, untuk mencegah infeksi silang baik pada pasien atau tenaga pelayanan kesehatan gigi, penting untuk beranggapan bahwa setiap darah dan cairan tubuh pasien berpotensi berpenyakit infeksi dan dapat menular, maka penting untuk dilakukan Kewaspadaan Standar.

American Dental Association (ADA) dan CDC merekomendasikan bahwa setiap pasien harus dianggap berpotensi menular dan standard precautions harus diterapkan bagi semua pasien. Hal ini bertujuan untuk mengurangi dan mencegah infeksi Universitas Sumatera Utara iatrogenik, nosokomial atau paparan darah dan materi menular lainnya. Kontrol infeksi melalui proses sterilisasi merupakan komponen penting dalam proses control infeksi dan keselamatan pasien. Proses sterilisasi dan pengaturan area yang tepat dapat menghasilkan proses

sterilisasi lebih efisien, meminimalisasi kontaminasi lingkungan, mengurangi kesalahan, menjaga alat tetap steril dan keselamatan pasien dan staf.

Wahyudi (2016) meneliti “Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Profesi Dokter Gigi mengenai Kontrol Infeksi di RSGM kandea Universitas Hasanuddin” Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa profesi dokter gigi mengenai kontrol infeksi di RSGM Kandea Universitas Hasanuddin.

Sampel merupakan mahasiswa profesi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin yang sementara menjalani kepanitraan di bagian Bedah Mulut RSGM Kandea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 73.3% mahasiswa profesi dokter gigi mendesinfeksikan dental unit setiap harinya, 23.3% yang mendesinfeksikan dental unit sekali dalam dua hari, dan terdapat 3.3%

mendesinfeksi dental unit sekali dalam seminggu. Berdasarkan hasil pengamatan jumlah mahasiswa profesi dokter gigi tidak sebanding dengan jumlah dental unit sehingga pergantian penggunaan dental unit dilakukan dengan cepat, akibatnya tindakan desinfeksi yang dilakukan kurang maksimal. Begitupun dengan desinfeksi suction unit, terdapat 90% mahasiswa profesi dokter gigi yang mendesinfeksikan suction unit setiap hari, 6.7% yang mendesinfeksikan

(12)

12 suction unit sekali dalam dua hari, dan terdapat 3.3% medesinfeksikan suction unit sekali dalam seminggu. Pada hasil penelitian ini sebanyak 10% mahasiswa profesi dokter gigi yang menggunakan formaldehida sebagai bahan desinfeksi, 50% menggunkan fenol sebagai bahan desinfeksi, dan terdapat 36.7%

menggunakan alkohol sebagai bahan desinfeksi, tetapi pada kenyataannya bahan desinfeksi yang sediakan di rumah sakit gigi dan mulut yaitu alkohol. Terdapat 33,3% mahasiswa profesi dokter gigi yang menggunakan metode sterilisasi ultrasonic cleaning untuk menstrilkan instrumen bedah setiap kali setelah digunakan, 23,3%

yang menggunakan metode sterilisasi automatic washer stabilisier, dan terdapat 43,3% yang menggunakan metode sterilisasi manual cleaning untuk menstrilkan instrumen bedah setiap kali.

Disinfeksi adalah proses inaktivasi mikroorganisme melalui sistem thermal (panas) atau kimia, sedangkan sterilisasi adalah proses penghancuran semua mikroorganisme termasuk spora melalui cara fisika dan kimia. Antiseptik adalah cairan/bahan yang digunakan pada permukaan kulit dan membran mukosa untuk menurunkan jumlah mikroorganisme.

Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang berisiko

mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien.

Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas, mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah sakit.

Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat Penting untuk melindungi pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi karena dirawat, bertugas juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi &Housekeeping, dan lain-lain sehingga perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

Penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit kota Medan oleh Gema tahun 2013, mengenai hubungan faktor pengetahuan, kepercayaan, ketersediaan sarana, peraturan dan pengawasaan di rumah sakit dengan perilaku dokter gigi dalam menerapkan standard precautions di rumah sakit kota Medan, menunjukkan bahwa persentase pengetahuan dokter gigi yang kurang sebanyak 30-60% adalah dalam hal

(13)

13 penanganan limbah medis khusus dan

definisi standard precautions, sedangkan perilaku dokter gigi dalam menerapkan standard precautions di rumah sakit sudah baik yaitu 80-100%, dalam menggunakan autoklaf untuk sterilisasi.

Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Indonesia mempunyai kewajiban untuk selalu memenuhi salah satu kriteria standar pelayanan kedokteran gigi di Indonesia, yaitu melaksanakan Pencegahan dan Pengendalian Infeks (PPI). Prosedur pelaksanaan tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi tersebut harus dilaksanakan pada semua fasilitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut di seluruh Indonesia. Dokter gigi harus dapat memastikan seluruh tenaga pelayanan yang bekerja di dalam lingkungannya mempunyai pengetahuan dan mendapatkan pelatihan yang adekuat tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. Hal tersebut termasuk kebersihan tangan, pembersihan, disinfeksi dan sterilisasi peralatan serta bahan yang digunakan.

Teknik pembersihan, disinfeksi dan sterilisasi harus sesuai dengan perkembangan keilmuan dan secara rutin dilakukan monitoring.

Cara terbaik untuk memutus siklus penularan penyakit adalah dengan mengikuti Kewaspadaan Isolasi.

Kontaminasi silang dari mikroorganisme

yang kemungkinan dapat terjadi di tempat pelayanan kesehatan gigi (Anonim, 2012) yaitu: 1). Pasien ke tenaga pelayanan kesehatan gigi Infeksi ini dapat berasal dari penularan melalui kontak langsung, tidak langsung, penyebaran droplet dan melalui udara yang terkontaminasi mikroorganisme.

2). Tenaga pelayanan kesehatan gigi ke pasien Infeksi dapat berasal dari tenaga pelayanan kesehatan gigi yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). 3). Pasien ke pasien Infeksi dapat berasal dari kontak tidak langsung pada peralatan kedokteran gigi yang tidak dilakukan sterilisasi dengan sempurna dan permukaan peralatan dental unit yang terkontaminasi yang paling sering disentuh tenaga pelayanan kesehatan gigi. 4). Tempat pelayanan kesehatan gigi ke komunitas masyarakat, termasuk di dalamnya keluarga dari tenaga pelayanan kesehatan gigi. Infeksi dapat berasal dari kontak tidak langsung karena tidak menggunakan APD misalnya melalui baju, handphone, dll yang terkontaminasi. Limbah medis (cair dan padat) yang tidak dikelola sesuai aturan yang benar, untuk itu perlu memiliki instalasi pengelolaan limbah medis. 5). Komunitas ke Pasien Infeksi dapat berasal dari sumberair yang digunakan di tempat pelayanan kesehatan gigi.

(14)

14 Pembatasan Kontaminasi meliputi a). Peralatan kritis yaitu alat yang masuk ke dalam pembuluh darah atau jaringan mulut. Semua peralatan kritis wajib dilakukan sterilisasi dengan menggunakan panas. Sebagai contoh peralatan yang dimasukkan dalam kategori kritis adalah semua instrumen bedah, periodontal scaller, scalpel, bur diamond, bur tulang, dll. b). Peralatan semi kritis yaitu alat yang masuk ke dalam rongga mulut tetapi tidak masuk ke dalam jaringan mulut. Semua peralatan semi kritis wajib dilakukan minimal desinfeksi tingkat tinggi (DTT) atau apabila terdapat alat yang dapat bertoleransi terhadap panas, maka dapat dilakukan sterilisasi dengan menggunakan panas. Sebagai contoh peralatan yang dimasukkan dalam kategori semi kritis adalah instrumen diagnosa, kondensor, sendok cetak, handpiece dll. c). Peralatan non kritis yaitu alat yang tidak masuk ke dalam rongga mulut dan dapat dilakukan dengan menggunakan disinfektan tingkat rendah. Sebagai contoh peralatan yang dimasukkan dalam kategori nonkritis adalah tensimeter, occipital calipers, radiograph cone, glass plate, semen spatel, dll. Dental unit masuk kedalam katagori semi non kritis tetapi harus dilakukan disinfeksi karena sering terpapar percikan darah maupun air liur.

Instrumen yang bersentuhan dengan tulang atau jaringan lunak atau telah kontak dengan darah harus disterilisasi.

Apabila tidak tersedia panci tekan atau autoklaf, instrumen dapat didisinfeksi dengan direbus dalam panci berisi air selama 20 menit setelah dibersihkan dengan menggunakan air dan sabun. 20 menit dihitung sejak air mulai mendidih.

Setelah air dalam panci mulai mendidih, jangan tambahkan air ataupun instrumen selama proses disinfeksi berlangsung.

Alkohol dan yodofora tidak dipakai untuk disinfeksi tingkat tinggi (DTT) tetapi dapat untuk disinfeksi tingkat rendah dengan caramerendam alat tersebut selama 20 menit.

Instrumen dengan engsel seperti forceps untuk ekstraksi harus terbuka sebelum diletakkan dalam alat sterilisasi.

Instrumen harus diletakkan sehingga uap dapat berputar mengelilinginya. Apabila menggunakan panci tekan, instrumen diletakkan pada wadah di atas permukaan air. Pertahankan temperatur sampai 121°C (250°F) dengan tekanan 15 pound selama 20 menit untuk instrumen yang tidak dibungkus dan 30 menit untuk instrumen yang dibungkus.

Mulai penghitungan waktu ketika uap nampak terlihat dan turunkan panas sampai batas temperatur tetap menghasilkan uap panas. Pada akhir proses sterilisasi, biarkan uap keluar lalu buka tutup panci tekan untuk

(15)

15 membiarkan instrumen mendingin

secara perlahan. Bila menggunakan autoklaf digunakan temperature 121°C, tekanan 15 psi (pressure per square inch) selama 30 menit. Metode sterilisasi panas kering dilakukan dengan menggunakan oven dengan panas yang tinggi, adapun temperatur dan waktunya adalah sesuai petunjuk pabrik.

Instrumen yang sudah melewati seluruh proses sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi yang tidak dibungkus dapat segera digunakan atau disimpan dalam wadah yang juga telah disterilisasi atau didisinfeksi yang telah diberi tanda yang mengindikasikan bahwa instrumen didalamnya telah disterilkan. Instrumen harus disimpan dalam tempat tertutup (lemari, laci atau kontainer) dan harus digunakan lagi dalam waktu kurang dari satu minggu.

Penyimpanan adalah hal yang penting.

Sterilitas alat yang dibungkus dapat bertahan lebih lama kecuali apabila pembungkus sobek atau basah, yang dapat mengakibatkan kontaminasi (CDC, 2003; Mayworm, 1984).

Instrumen dalam pembungkus yang rusak harus dibersihkan, dibungkus dan disterilkan kembali.

Larutan antiseptik dapat digunakan unfuk mencuci tangan terutama pada tindakan bedah, pembersihan kulit sebelum tindakan bedah atau tindakan

invasif lainnya. Instrumen yang kotor, sarung tangan bedah dan barang-barang lain yang digunakan kembali dapat diproses dengan dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk mengendalikan infeksi. Dekontaminasi dan pembersihan merupakan dua tindakan pencegahan dan pengendalian yang sangat efektif meminimalkan risiko penularan infeksi. Hal penting sebelum

membersihkan adalah

mendekontaminasi alat tersebut. Dengan merendarn dalarn larutan kloron 0,5 % selama 10 menit. Langkah ini dapat menonaktifkan HBV, HCV dan HIV serta dapat mengamankan petugas yang membersihkan alat tersebut. Setelah melakukan langkah dekontaminasi, selanjutnya adalah pembersihan. Proses pembersihan penting dilakukan karena tidak ada prosedur sterilisasi dan DTT yang efektif tanpa melakukan pembersihan terlebih dahulu.

Pembersihan dapat dilakukan dengan menggunakan sabun cair dan air untuk membunuh mikroorganisme. Gunakan pelindung saat membersihkan alat.

Sterilisasi harus dilakukan untuk alat- alat yang kontak langsung dengan aliran darah atau cairan tubuh lainnya dan jaringan. Sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (autoclafe), pemanasan kering (oven), sterilisasi kimiawi dan fisik.

(16)

16 KESIMPULAN

1. Pelaksanaan kebersihan tangan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di poli gigi RSUD Tobelo sudah sesuai dengan prosedur dan mengikuti panduan Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, tetapi juga masih ada kendala dalam rutinitas ketersediaan sarana prasarana cuci tangan dan kepatuhan petugas kesehatan untuk mengikuti prosedur mencuci tangan yang benar.

2. Penggunaan alat pelindung diri dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di poli gigi RSUD Tobelo sudah dilaksanakan sesuai prosedur Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, tetapi juga masih terkendala dengan sarana prasarana yang tidak lengkap dan kurang adanya kesadaran dari petugas kesehatan akan pentingnya penggunaan APD ini.

3. Pelaksanaan disinfeksi dan sterilisasi peralatan serta bahan yang digunakan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di poli gigi RSUD Tobelo secara rutin dilaksanakan sesuai Standar Pencegahan dan Pengendalian

Infeksi Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, tetapi juga terkendala dengan sarana prasarana yang masih klasik dan belum menggunakan peralatan modern.

SARAN

1. Bagi RSUD agar ketersediaan sarana prasarana cuci tangan, alat pelindung diri dan peralatan sterilisasi disiapkan setiap saat melalui perencanaan tahunan yang disepakati bersama antara pihak manajemen dengan petugas di poli gigi dan mulut.

2. Pihak rumah sakit juga disarankan agar melakukan pelatihan keselamatan pasien (patient safety) secara rutin bagi seluruh petugas yang memiliki risiko terinfeksi di rumah sakit.

3. Bagi petugas kesehatanagar selalu bertindak sesuai dengan panduan Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2016. Profil Rumah Sakit Umum Daerah Tobelo.

Kabupaten Halmahera Utara.

Propinsi Maluku Utara.

(17)

17 ---. 2014. Infection Control

and Hospital Epidemiology.

Minnesota Department of Health.International Jurnal of Health Care Quality assurance, Vol. 25 (6).

Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta : Bina Rupa Aksara.

Bachri, B.S. 2010. Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian Kualitatif. Jurnal Teknologi Pendidikan. Vol.10 (1):46-62.

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial

Problematika dan

Pengendaliannya. Jakarta:

Salemba Medika.

Desiyanto, F.A. dan S.N. Djannah.

2013. Efektifitas Mencuci Tangan Menggunakan Cairan Pembersih Tangan Antiseptik (Hand Sanitizer) Terhadap Jumlah Angka Kuman. Jurnal KESMAS, Vol.7 (2): 75-82.

Referensi

Dokumen terkait

pelayanan maksimal, dengan berpedoman pada Tri Brata dan Catur Prasetya dan Komisi Kode Etik Profesi Polri sebagaimana tugas pokok kepolisian yaitu mengayomi

Lebih lanjut, Jawaher menjelaskan bahwa apabila semua bentuk kerjasama itu dan dilakukan secara intens maka diharapkan anak-anak tunagrahita mampu secara perlahan

Dari Tabel 2 diperoleh gambaran laring yang paling banyak dijumpai adalah keganasan yaitu sebanyak 21 penderita (19,6%) diikuti oleh parese/paralisa pita suara sebanyak 18

Hasil analisis Principal Component Analysis (PCA) menunjukkan bahwa gugusan sensor gas (electronic nose) dapat digunakan untuk membedakan antara cumi-cumi yang

Proses penambahan fonem terjadi sebagai akibat pertemuan morfem meN- dengan bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku, proses penambahan fonem terdapat 2 kata dasar.. Dan

Sistem pemerintahan Iran yang baru ini ternyata digunakan lebih lama dari sistem sebelumnya, hal ini karena Iran juga dikenal sebagai negara yang erat hubungan nya dengan

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok subyek berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat

Pengujian kedua menggunakan turbin aliran silang dengan busur sudu 74 o dan jumlah sudu 24 yang dibuat dari pipa dibelah, runner yang digunakan ini adalah runner yang dibuat