UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERMATEMATIKA SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL-METAKOGNITIF
Oleh:
Nanang
Abstrak
Permasalahan dalam penelitian ini adalah rendahnya kemampuan berpikir matematik siswa dalam pembelajaran matematika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir matematik siswa yang mendapatkan pendekatan kontekstual dengan strategi metakognitif (PKM) dan perbedaan peningkatan kemampuan berpikir matematik antara siswa yang mendapatkan PKM, pendekatan kontekstual (PKT), dan pendekatan konvensional (PKV). Penelitian ini berupa eksperimen dengan disain kelompok kontrol pretes- postes. Subjek populasi dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Instrumen yang digunakan terdiri dari: tes pengetahuan awal matematika (PAM) dan tes kemampuan berpikir matematik. Analisis data dilakukan dengan uji gain ternormalisasi dan uji anova. Hasil utama dari penelitian ini adalah peningkatan kemampuan berpikir matematik siswa yang mendapatkan PKM tergolong sedang dan secara keseluruhan siswa yang pembelajarannya dengan PKM dan PKT secara signifikan kemampuan berpikir matematiknya lebih baik dibandingkan siswa yang pembelajarannya dengan PKV.
Kata kunci: bermatematika, Kontekstual-Metakognitif.
PENDAHULUAN
Pendidikan di sekolah melalui pembelajaran matematika diharapkan dapat meningkatkan daya saing bangsa dengan menghasilkan lulusan yang bermutu, terampil, profesional, mampu belajar sepanjang hayat, serta memiliki kecakapan hidup, sehingga siswa mampu menghadapi tantangan dan perubahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi (1991) bahwa melalui pendidikan matematika, siswa diharapkan memiliki kepribadian yang kreatif, kritis, berpikir ilmiah, jujur, hemat, disiplin, tekun, berperikemanusiaan, mempunyai perasaan keadilan sosial, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan negara.
Namun berdasarkan hasil penilaian Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) tahun 1999 tentang kemampuan penguasaan matematika kelas 8, posisi Indonesia berada pada peringkat 25 dari 29 negara yang dilibatkan dalam penelitian ini (Asmin, 2003). Pada periode berikutnya (tahun 2003) dengan penekanan pada kemampuan pengetahuan fakta, prosedur dan konsep, aplikasi pengetahuan matematika dan pemahaman, serta penalaran siswa kelas 8, Indonesia berada pada posisi ke-30 dari 34 negara (Mullis et al, 2004).
Agar siswa memiliki kemampuan berpikir matematik, Depdiknas (2006) menyarankan supaya pembelajaran matematika dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Sabandar (2003) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika yang dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi dinamakan pembelajaran contextual teaching and learning (CTL). Menurut Johnson (2002), CTL adalah salah satu sistem pengajaran yang didasarkan pada alasan bahwa pengertian atau makna muncul dari hubungan antara konten dan konteks. Konteks memberi makna pada konten. Berpikir yang lebih terhadap suatu konten dapat dicapai jika diberikan konteks yang lebih luas dan membuat hubungan-hubungan.
Siswa dalam berpikir matematik (mengingat, memahami, dan memecahkan masalah) menurut Depdiknas (2004) perlu mendapat dorongan dari guru untuk berpikir logis. Salah satu pendekatan dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir siswa, menurut Schoenfeld (1992) adalah pembelajaran metakognitif.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menerapkan pembelajaran kontekstual dengan metakognitif (PKM) dan menelaah pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir matematik ditinjau dari kategori sekolah dan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa. Untuk mengetahui pengaruh PKM terhadap kemampuan berpikir siswa, penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Sejauh mana peningkatan kemampuan berpikir matematik siswa yang mendapatkan PKM?
2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir matematik antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV?
3. Apakah terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan kategori sekolah dalam kemampuan berpikir matematik?
4. Apakah terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan pengetahuan awal matematik (PAM) siswa dalam kemampuan berpikir matematik?
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Peningkatan kemampuan berpikir matematik siswa yang mendapatkan PKM.
2. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir matematik antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV.
3. Interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan kategori sekolah dalam kemampuan berpikir matematik.
4. Interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan PAM siswa dalam kemampuan berpikir matematik.
KAJIAN TEORI
1. Berpikir Matematik
Berpikir matematik menurut Sabandar (2007) meliputi ”mengingat”,
”memahami”, dan ”memecahkan masalah”. Kemampuan berpikir mengingat berguna untuk mempermudah dan memperlancar seseorang dalam menyelesaikan suatu masalah. Oleh karena itu melatih keterampilan mengingat pun seyogyanya
mendapat perhatian yang proporsional. Pada kemampuan mengingat, siswa dituntut untuk mengenal fakta, konsep atau rumus matematika.
Sementara, Skemp (Sumarmo, 2003) berpendapat bahwa aspek berpikir memahami matematik meliputi dua jenis yaitu berpikir instrumental dan berpikir relasional. Berpikir instrumental hanya hapal rumus dan menggunakannya dalam perhitungan sederhana. Sedangkan berpikir relasional sifat pemakaiannya lebih bermakna, termuat suatu struktur dalam menyelesaikan masalah yang lebih luas.
Selanjutnya, pemecahan masalah (problem solving) menurut Polya (Silver, 1997) adalah suatu cara untuk menyelesaikan masalah matematika dengan menggunakan penalaran matematika yang telah dikuasai sebelumnya. Sabandar (2007) mengungkapkan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan tantangan dan saat kritis bagi siswa dalam upaya mencari solusi.
Dalam memilih strategi pada pemecahan masalah, kita tidak terlepas dari kontribusi ahli matematik Polya (Biryukov, 2003) yaitu:
a. Mengidentifikasi masalah untuk menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari setiap aspek permasalahannya.
b. Menemukan hubungan antara kondisi dan yang ditanyakan.
c. Menyelesaikan rencana yang telah ditentukan.
d. Memeriksa jawaban yang telah diperoleh dan melihat kembali langkah-langkah yang telah dilakukan.
2. Pembelajaran Kontekstual dengan Strategi Metakognitif
Di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 2004, konsep pembelajaran kontekstual mulai diperkenalkan dan diimplementasikan dalam pembelajaran matematika. Konsep pembelajaran kontekstual yang dianjurkan dalam Kurikulum 2004 (Sabandar, 2003) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran sebagai berikut.
a. Konstruktivisme (constructivism), merupakan landasan filosofis pembelajaran kontekstual.
b. Menemukan (inquiry), merupakan siklus observasi, mengajukan pertanyaan, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan.
c. Bertanya (questioning), pertanyaan tantangan seperti: “coba selesaikan dengan cara lain!, apa yang salah dalam penyelasaian?, apa yang diperlukan?, apa yang dapat kamu lakukan?, bagaimana jika ....?”
d. Komunitas belajar (learning community), merupakan sharing ide antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu.
e. Pemodelan (modeling), suatu proses yang ingin dilakukan siswa.
f. Refleksi (reflection), siswa melakukan refleksi baik berupa pernyataan lisan atau tertulis, kesan, dan saran siswa mengenai pelajaran hari itu.
g. Penilaian sebenarnya (authentic assessment), penilaian yang dilakukan secara komprehensif berkenaan dengan seluruh aktivitas pembelajaran.
Pembelajaran yang mengedepankan bagaimana seharusnya siswa berpikir, dan bagimana berpikir terbaik untuk dapat memecahkan permasalahan matematika adalah pembelajaran dengan strategi metakognitif. Pandangan
mengenai strategi metakognitif menurut Meyer (Muin, 2005) adalah upaya penyadaran kognisi siswa. Blakey dan Spence (1990) mengembangkan prilaku metakognitif yang disusunnya dalam enam strategi, yaitu: a) Mengidentifikasi apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui, b) Menceritakan tentang pemikirannya, c) Menjaga catatan pemikiran, d) Merencanakan dan melakukan pengaturan diri, e) Menanyakan proses berpikir, dan f) Evaluasi diri.
Berlandaskan pada uraian di atas, penulis mencoba mengembangkan model pembelajaran kontekstual dengan strategi metakognitif sebagai berikut.
a. Pendahuluan. Guru membuat persiapan pembelajaran kontekstual dengan strategi metakognitif, yaitu: pembentukan kelompok (komunitas belajar), menginformasikan tugas, dan pelatihan cara belajar dalam kelompok.
b. Diskusi. Guru menyajikan masalah kontekstual dan siswa melakukan sharing ide dengan teman kelompoknya untuk mengidentifikasi masalah dengan menentukan yang diketahui dan ditanyakan. Guru mengajukan pertanyaan kepada kelompok yang mengalami kesulitan dengan teknik scaffolding. Berdasarkan paham konstruktivisme, siswa diarahkan untuk merumuskan masalah dan membuat model matematika. Melalui pendekatan inkuiri, siswa mempraktekkan penggunaan strategi metakognitif untuk menemukan jawaban.
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawabannya.
Setelah diskusi kelompok selesai, guru mempersilahkan kepada setiap kelompok secara bergiliran menyajikan hasil kerja kelompoknya ke depan, kemudian diadakan diskusi kelas. Pada saat diskusi kelas, kelompok yang tidak menyajikan memberikan tanggapan. Melalui metode penemuan, guru membantu siswa menarik kesimpulan.
c. Kemandirian. Setelah siswa diperkirakan memahami konsep, kegiatan belajar dilanjutkan dengan menyelasaikan soal-soal latihan yang telah dipersiapkan.
Siswa bekerja secara mandiri untuk menyelesaikan soal latihan yang diberikan.
d. Refleksi dan Merangkum. Melalui tanya jawab (debriefing) guru melakukan refleksi dengan memberikan pertanyaan langsung kepada siswa secara random tentang hal-hal menarik apa saja yang diperoleh pada saat pembelajaran.
Guru bersama-sama dengan siswa melakukan refleksi. Apabila proses pemecahan masalah sudah benar, guru mengajukan pertanyaan, misalnya:
bagaimana jika…?, apakah ada cara lain? Coba kerjakan dengan cara lain!
Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah dan kajian teori yang dikemukakan di atas, penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut.
1. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir matematik antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV.
2. Terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan kategori sekolah dalam kemampuan berpikir matematik.
3. Terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan PAM siswa dalam kemampuan berpikir matematik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitian:
A O X1 O
A O X2 O
A O O
Keterangan:
X1: Pendekatan PKM; X2: Pendekatan PKT;
O: Pretes atau Postes A: Pengelompokan subjek secara acak
Pengelompokan siswa didasarkan pada hasil tes pengetahuan awal matematika (PAM) siswa. Banyaknya siswa yang berada pada kelompok atas, tengah, dan bawah pada kategori sekolah baik dan cukup disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelompok PAM Siswa berdasarkan Kategori Sekolah Kelompok Siswa
(berdasarkan PAM)
Kategori Sekolah Total
Baik Cukup
Atas 20 12 32
Tengah 62 43 105
Bawah 46 72 118
Total 128 127 255
Pengambilan subjek sampel dilakukan dengan dua langkah. Pertama, memilih secara acak dua sekolah (satu sekolah berkategori baik dan satu sekolah lagi berkategori cukup). Kedua, memilih secara acak tiga Kelas VIII yang paralel pada masing-masing sekolah tersebut, untuk ditetapkan sebagai: kelas Eksperimen-1 (E1), kelas eksperimen-2 (E2), dan kelas kontrol.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Peningkatan Kemampuan Berpikir Matematik
Untuk mengetahui sejauh mana peningkatan kemampuan berpikir matematik siswa yang mendapatkan PKM, digunakan uji gain ternormalisasi menurut Meltzer (2002) dengan rumus:
Gain ternormalisasi (g) =
etes Skor
Ideal Skor
etes Skor
Postes Skor
Pr Pr
Kategori gain ternormalisasi (g) adalah: g 0,3: rendah; 0,3 g 0,7: sedang;
0,7 g: tinggi. Berdasarkan hasil analisis data penelitian, diperoleh data yang disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Peningkatan Kemampuan Berpikir Matematik Siswa Kelompok PKM Jumlah
Subjek
Rerata Postes
Rerata Pretes
Rerata Gain Ternormalisasi
Kriteria
86 20,61 2 0,62 Sedang
Keterangan: Skor Ideal 32
Pada Tabel 2, diperoleh rerata gain ternormalisasi (g) =0,62 dengan kriteria sedang. Hal ini berarti peningkatan kemampuan berpikir matematik siswa-siswa yang mendapatkan PKM rata-rata termasuk sedang.
2. Perbandingan Kemampuan Berpikir Matematik
Pengujian Hipotesis 1:
Hipotesis 1 diuji dengan anova 1 jalur. Hipotesis yang diuji adalah:
Ho: Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir matematik antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV
Rangkuman hasil uji Anova satu jalur disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi Uji Perbedaan Berpikir Matematik
Sumber Jumlah
Kuadrat df Rerata Kuadrat F Sig.
Antar Kelompok 1243,345 2 621,673 61,883 0,000
Inter Kelompok 2531,557 252 10,046
Total 3774,902 254
Dari hasil uji Anova satu jalur pada Tabel 3 diperoleh nilai F = 61,883 dengan nilai probabilitas (sig.) = 0,000. Oleh karena nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari = 0,05, maka hipotesis nol (Ho) ditolak. Hal ini berarti terdapat perbedaan kemampuan berpikir matematik antara siswa-siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV.
Untuk mengetahui rerata gain mana yang berbeda secara signifikan dalam kemampuan berpikir matematik, dilanjutkan dengan uji Scheffe, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji Scheffe Skor Rerata Gain Kemampuan Berpikir Matematik Pendekatan
(I)
Pendekatan (J)
Perbedaan Rerata
(I-J) Std. Error Sig. Ho PKV
PKT -2,87742 0,48770 0,000 Tolak
PKM -5,42393 0,48770 0,000 Tolak
PKT PKV 2,87742 0,48770 0,000 Tolak
Pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai probabilitas (sig.) untuk setiap pasangan pendekatan pembelajaran lebih kecil dari = 0,05, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan berpikir matematik siswa yang memperoleh pendekatan PKM
secara signifikan berbeda dengan siswa yang memperoleh pendekatan PKT dan PKV. Demikian pula, kemampuan berpikir matematik siswa yang memperoleh pendekatan PKT secara signifikan berbeda dengan siswa yang memperoleh PKV.
Pengujian Hipotesis 2:
Hipotesis 2 diuji dengan anova dua jalur. Hipotesis yang diuji adalah:
Ho : Tidak terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan kategori sekolah dalam kemampuan berpikir matematik.
Rangkuman hasil uji Anova dua jalur disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbedaan Berpikir Matematik berdasarkan Pendekatan dan Kategori Sekolah Sumber Jumlah
Kuadrat df Rerata
Kuadrat F Sig. Ho
Kategori Sekolah 191,679 1 191,679 20,491 0,000 Tolak Pendekatan 1264,981 2 632,491 67,614 0,000 Tolak
Interaksi 11,231 2 5,615 0,600 0,549 Terima
Total 68895,000 255
Dari hasil uji anova dua jalur pada Tabel 5, diperoleh nilai F = 0,600 dengan nilai probabilitas (sig.) = 0,549 lebih besar dari = 0,05, maka hipotesis nol (Ho) diterima. Hal ini berarti tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran (PKM, PKT, dan PKV) dengan kategori sekolah terhadap kemampuan berpikir matematik.
Pengujian Hipotesis 3
Untuk menguji hipotesis 3 digunakan uji anova dua jalaur. Hipotesis yang diuji adalah:
Ho : Tidak terdapat interaksi antara pendekatan (PKM, PKT, dan PKV) dengan PAM (atas, tengah, an bawah) dalam kemampuan berpikir matematika.
Rangkuman hasil uji Anova dua jalur disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbedaan Berpikir Matematik berdasarkan Pendekatan dan PAM Siswa Sumber Jumlah
Kuadrat df Rerata
Kuadrat F Sig. Ho
Pendekatan 899,850 2 449,925 101,827 0,000 Tolak
PAM 1324,096 2 662,048 149,834 0,000 Tolak
Interaksi 10,489 4 2,622 0,593 0,668 Terima
Total 68895,000 255
Dari hasil uji Anova pada Tabel 6, diperoleh nilai F = 0,593 dan nilai probabilitas (sig.) = 0,668 lebih besar dari = 0,05, maka hipotesis nol (Ho)
diterima. Hal ini berarti tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan PAM terhadap kemampuan berpikir matematik siswa.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok pendekatan pembelajaran, kemampuan berpikir matematik siswa pada pendekatan PKM secara signifikan lebih baik dari siswa yang memperoleh pendekatan PKT dan PKV.
Demikian pula, kemampuan berpikir matematik siswa yang memperoleh pendekatan PKT secara signifikan lebih baik dari pada siswa yang memperoleh PKV. Kemampuan berpikir matematik siswa dalam pembelajaran matematika berdasarkan hasil postes dikelompokan ke dalam klasifikasi baik, cukup, dan rendah berdasarkan pada prosentase skor rerata dari skor ideal (P), dengan ketentuan sebagai berikut.
P 80% : Siswa berkemampuan baik 60% ≤ P < 80% : Siswa berkemampuan cukup
P < 60% : Siswa berkemampuan kurang
Berdasarkan pengelompokan di atas, kemampuan berpikir matematik siswa yang mendapatkan pendekatan PKM dan PKT berada pada klasifikasi cukup, sedangkan kemampuan berpikir matematik siswa yang mendapatkan pendekatan PKV berada pada klasifikasi kurang.
Semua itu memberikan gambaran bahwa pendekatan PKM lebih berpengaruh terhadap kemampuan berpikir matematik dibandingkan dengan pendekatan PKT dan PKV. Hal ini disebabkan pada pendekatan PKM selain menggunakan pendekatan PKT juga menerapkan pendekatan metakognitif.
Sehingga pada pendekatan PKM lebih memberi kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi suatu situasi atau masalah dengan mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan, melakukan investigasi, eksplorasi, memecahkan masalah, refleksi, dan guru aktif mengajukan pertanyaan-pertanyaan apabila ada siswa atau kelompok belajar yang mengalami kebuntuan dalam memecahkan masalah agar sampai pada solusi akhir yang benar.
PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
a. Peningkatan kemampuan berpikir matematik kelompok siswa yang mendapatkan PKM berada pada klasifikasi sedang.
b. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir matematik antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV. Kemampuan berpikir matematik siswa yang memperoleh pendekatan PKM lebih baik daripada pendekatan PKT dan PKV, pendekatan PKT lebih baik daripada PKV.
c. Tidak terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan kategori sekolah dalam kemampuan berpikir matematik.
d. Tidak terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa dalam kemampuan berpikir matematik.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mengusulkan beberapa saran sebagai berikut.
a. Pendekatan PKM dan PKT hendaknya terus dikembangkan dan dijadikan sebagai alternatif pilihan guru dalam pembelajaran matematika sehari-hari.
b. Dalam mengimplementasikan PKM atau PKT perlu mempertimbangkan pengetahuan awal matematika siswa, bahan ajar agar berbasis masalah yang menantang dan memicu terjadinya konflik kognitif siswa, sehingga dapat mengembangkan setiap aspek kemampuan berpikir siswa secara optimal.
c. Dengan memperhatikan temuan bahwa pendekatan PKM dan pendekatan PKT berhasil dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematik siswa, maka diharapkan penerapan pendekatan PKM dan PKT menjadi bahan masukkan bagi pengambil kebijakan untuk mengembangkan potensi berpikir.
DAFTAR PUSTAKA
Biryukov, P. (2003). Metacognitive Aspects of Solving Combinatorics Problems.
Berr-Sheva: Kaye College of Education.
Blakey, E dan Spence, S. (1990). Developing Metacognitive. Dalam Eric Degests on Information Resource [Online]. Tersedia: [- November 2008].
Depdiknas (2004). Kurikulum Matematika SLTP 2004. Jakarta: Dirjend Dikdasmen Direktorat PLP.
Depdiknas (2005). Paparan Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas (2006). Kurikulum Matematika SMP/M.Ts. Jakarta: Dirjend Manajemen Dikdasmen.
Johnson, EB. (2002). Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.
Meltzer, D.E. (2002). Addendum to: The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostics Pretest Scores. [Online]. Tersedia: http://www.
physics.iastate.edu. [9 Oktober 2009].
Muin, A. (2005). Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Matematika Siswa SMA. Tesis pada SPS UPI: Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung : Tarsito.
Sabandar, J. (2003). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika.
UPI Bandung: Makalah: tidak diterbitkan.
Sabandar, J. (2007).Berpikir Reflektif. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Schoenfeld, AH. (1992). „Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense Making in Mathematics”. Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company.
Silver, E.A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. [Online]. Tersedia:http://www.fiz- karlsruhe.de/fiz. [ Oktober 2007].
Sumarmo, U. (2003). “Pembelaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah Menengah“. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika UPI, Bandung.
Riwayat Penulis
Dr. Nanang, lahir di Bandung tanggal 1 Juli 1964. Menyelesaikan Pendidikan Matematika: S-1 IKIP Bandung 1989, S-2 IKIP Surabaya 1999, dan S-3 UPI Bandung 2009. Bekerja sebagai dosen Kopertis Wilayah IV dpk. pada Jurusan Pendidikan Matematika STKIP Garut dengan jabatan Lektor Kepala.