TESIS
PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN
BUDAYA
PATIENT SAFETY
TENAGA KESEHATAN
AYU DIANDRA SARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
i
TESIS
PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN
BUDAYA
PATIENT
SAFETY
TENAGA KESEHATAN
AYU DIANDRA SARI NIM: 1290662022
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN
BUDAYA
PATIENT SAFETY
TENAGA KESEHATAN
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia Program Pascasarjana Universitas Udayana
AYU DIANDRA SARI
NIP. 129062022
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis Ini Telah Disetujui
Tanggal………
Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,
Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE., MSi Dr. Gede Riana, SE., MM NIP. 19590801 198601 2 001 NIP. 19631127 198601 1 001
Mengetahui
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Ketua Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal ……….
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: ……… Tanggal………
Ketua: Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE., MSi Anggota:
1. Dr. Gede Riana, SE., MM
v
SURAT PERSYARATAN BEBAS PLAGIAT
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat
Apabila di kemudian hari terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar,
(AYU DIANDRA SARI)
NAMA : AYU DIANDRA SARI
NIM : 1290662022
PROGRAM STUDI : MAGISTER MANAJEMEN
JUDUL TESIS : PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE., MSi sebagai Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti pendidikan pada program Magister Manajemen, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. I Gede Riana,SE.,MM sebagai Pembimbing Pendamping yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
vii
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah dan Ibu, Putu Linarta (alm) dan Ida Ayu Gde Candra Suryani yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik dan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada suami tercinta, I Made Junior Rina Artha, yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan, dukungan, kasih sayang, dan pengertian untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa penulis ucapkan terimka kasih atas bantuan teman-teman angkatan XXIX Program Magister Manajemen Universitas Udayana dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.
Semoga Ida Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini serta kepada penulis sekeluarga.
viii ABSTRAK
PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN BUDAYA PATIENT SAFETY TENAGA KESEHATAN
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran mediasi kepuasan kerja pada kepemimpinan transformasional dan budaya patient safety tenaga kesehatan. Populasi penelitian adalah tenaga kesehatan puskesmas rawat inap yang ada di Kota Denpasar dengan jumlah responden adalah 86 orang. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan analisis Structural Equation Model-Partial Least Square (SEM-PLS). Hasil penelitian menunjukkan (1) kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja (2) kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap budaya patient safety (3) kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap budaya patient safety (4) kepuasan kerja memediasi secara parsial dan positif serta signifikan hubungan antara kepemimpinan transformasional dan budaya patient safety. Implikasi penelitian ini yaitu perlunya pimpinan yang mampu menerapkan gaya kepemimpinan transformasional dengan optimal agar terbentuk budaya patient safety yang kuat oleh tenaga kesehatan serta memperhatikan faktor-faktor pembentuk kepuasan kerja tenaga kesehatan.
ix ABSTRACT
JOB SATISFACTION ROLE AS MEDIATION OF
TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP AND PATIENT SAFETY CULTURE ON HEALTH WORKERS
This study aims to analyze job satisfaction role as mediation of transformational leadership and patient safety culture on heath workers in community health centers in Denpasar. The population study were health workers from community health centers in Denpasar, with number of the respondents were 86 health workes. Sampling technique conducted with a random proportional sampling technique and analyzed with Structural Equation Model-Partial Least Square (SEM-PLS). The results showed that (1) Transformational Leadership gave significant positive effect toward Job Satisfaction (2) Transformational Leadership gave significant positive effect toward Patient Safety Culture (3) Job Satisfaction gave significant positive effect toward Patient Safety Culture (4) Job Satisfaction gave positive partially mediation and significant toward relationship between Transformational Leadership and Patient Safety Culture. Implications of this research are the need of a leader who can apply transformational leadership style and could build strong patient safety culture of health workers, and also give more concern to all those factors which form job satisfaction.
x
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
2.1.3 Variabel Yang Mempengaruhi Budaya Patient Safety ... 13
2.2 Kepuasan Kerja ... 14
2.2.1 Definisi Kepuasan Kerja ... 14
2.2.2 Dimensi Kepuasan Kerja... 16
2.3 Kepemimpinan Transformasional ... 18
2.3.1 Definisi Kepemimpinan Transformasional ... 18
xi
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ... 22
3.1 Kerangka Berpikir dan Konseptual Penelitian ... 22
3.2 Kerangka Konsep ... 24
3.3 Hipotesis Penelitian ... 25
3.3.1 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan Kerja ... 25
3.3.2 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Patient Safety ... 27
3.3.3 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Budaya Patient Safety ... 28
BAB IV METODE PENELITIAN ... 30
4.1 Rancangan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 30
4.2 Variabel Penelitian ... 30
4.2.1 Identifikasi Variabel ... 30
4.2.2 Definisi Operasional Variabel ... 31
4.3 Pengumpulan Data ... 34
4.3.1 Jenis Data ... . 34
4.3.2 Sumber Data ... 35
4.3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 35
4.3.4 Instrumen dan Pengumpulan Data ... 37
4.3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 38
4.3.6 Metode Pengumpulan Data ... 40
4.4 Metode Analisis Data ... 41
4.4.1 Analisis Deskriptif ... . 41
4.3.2 Analisis Inferensial... 41
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47
5.1 Hasil Penelitian ... 47
5.1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 47
5.1.2 Karakteristik Responden ... 52
xii
5.1.3.1 Variabel Kepemimpinan Transformasional ... 55
5.1.3.2 Variabel Kepuasan Kerja ... 57
5.1.3.3 Variabel Budaya Patient Safety ... 59
5.1.4 Hasil Analisis Inferensial ... 61
5.1.4.1 Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model) .... 62
5.1.4.2 Evaluasi Model Struktural (Inner Model) ... 65
5.1.4.3 Hasil Koefisien Jalur dan T-Statistik ... 66
5.1.5 Hasil Pengujian Hipotesis... 67
5.2 Pembahasan ... 70
5.2.1 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan Kerja ... 70
5.2.2 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Patient Safety ... 72
5.2.3 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Budaya Patient Safety ... 74
xiii
DAFTAR TABEL
No. Nama Tabel Halaman
4.1 Jumlah Tenaga Kesehatan Puskemas Rawat Inap (PRI) di Kota
Denpasar ... 35
4.2 Distribusi Pengambilan Sampel Tenaga Kesehatan Puskemas Rawat Inap (PRI) di Kota Denpasar... 37
4.3 Nilai Koefisien Cronbach’s Alpha untuk masing-masing Variabel ... 40
5.1 Luas Wilayah, Penduduk dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Denpasar Tahun 2016... 47
5.2 Karakteristik Responden ... 53
5.3 Analisis Deskriptif Responden Pada Variabel Kepemimpinan Transformasional... 56
5.4 Analisis Deskriptif Responden Pada Variabel Kepuasan Kerja ... 58
5.5 Analisis Deskriptif Responden Pada Variabel Budaya Patient Safety.. 59
5.6 Pemeriksaan Outer Model ... 63
5.7 Pemeriksaan Discriminant Validity... 64
5.8 Nilai Composite Reliabilty ... 65
5.9 Hasil Evaluasi Goodness of Fit ... 66
5.10 Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung dan Pengaruh Total Antar Variabel ... 67
xiv
DAFTAR GAMBAR
No. Nama Gambar Halaman
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian ... 25
4.1 Diagram Alur (Path Diagram) atau Outer Model ... 42
5.1 Model Persamaan Struktural Penelitian ... 61
xv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Nama Lampiran Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 91
2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 98
3. Karakteristik Responden ... 105
4. Analisis Deskriptif Kepemimpinan Transformasional (X) ... 108
5. Analisis Deskriptif Kepuasan Kerja (Y1) ... 112
6. Analisis Deskriptif Budaya Patient Safety (Y2) ... 118
7. Korelasi Antar Variabel Laten ... 129
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan investasi esensial bangsa yang secara signifikan
mempengaruhi kemajuan suatu negeri. Agenda pembangunan di bidang kesehatan
menekankan pada pembenahan status kesehatan masyarakat. Peningkatan mutu
kesehatan masyarakat menuntut usaha dan perhatian berbagai pihak yaitu
masyarakat, pengambil kebijakan, dan tenaga kesehatan. Pelayanan kesehatan
biasanya berjalan dengan suatu sumber pendanaan dan sistem operasi, sehingga
terdapat perbedaan antara struktur organisasi, kualitas, keamanan serta
kenyamanan dalam pemanfaatan suatu pelayanan kesehatan yang satu dengan
lainnya (Tsang et al., 2008).
Era jaminan kesehatan nasional memberikan masyarakat keleluasaan untuk
mengakses pelayanan kesehatan yang berakibat pada meningkatnya kunjungan ke
fasilitas kesehatan. Mengacu pada alur jaminan kesehatan nasional, puskesmas
sebagai penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan untuk tingkat pertama
memiliki peran yang sangat fundamental sebagai garda terdepan akses kesehatan
yang dikunjungi masyarakat (Tjiptoherijanto, 2008). Pelayanan rawat inap
merupakan salah satu pelayanan medis yang utama di puskesmas dan merupakan
tempat untuk interaksi antara pasien dan puskesmas berlangsung dalam waktu
yang tak lama (Haryanto dan Suranto, 2012). Pelayanan rawat inap melibatkan
2
pasien dan tenaga kesehatan dalam hubungan yang sensitif yang menyangkut
kepuasan pasien, mutu pelayanan dan citra puskesmas (Jacobalis, 2000).
Hasil ekstrapolasi penyebab kematian 98.000 pasien dari total 33,6 juta
rawat inap pada tahun 1997 di Amerika Serikat merupakan kesalahan medis
(Kohn et al., 2006:43). Hasil studi dari Harvard University melaporkan bahwa 3,7
persen dari seluruh pasien yang menjalani perawatan dalam pelayanan kesehatan
primer dengan cedera medis, 28 persen diantaranya terjadi kasus penelantaran
medis, dan 76 persen dari seluruh kasus yang terjadi merupakan kasus yang dapat
dicegah (Brennan et al., 2014). Kepala Direktorat Pelayanan Medik Dasar Depkes
dan Kesos dalam Seminar Public Private Mix mengatakan bahwa kesalahan
diagnosis yang dilakukan oleh puskesmas cukup tinggi (Pohan, 2007). Indonesia
sendiri memiliki kasus kesalahan medis di puskesmas mencapai 80 persen
(Dwiprahasto, 2006).
Berdasarkan data yang sudsh dijabarkan, fenomena yang saat ini dihadapi
puskesmas adalah masih tingginya angka pelanggaran salah satu prinsip
pelaksanaan pelayanan kesehatan yaitu zero human error. Human error atau
medical error adalah kesalahan di bidang kesehatan yang didefinisikan sebagai
suatu kecelakaan yang disebabkan dari pelaksana kesehatan, bukan dikarenakan
kondisi pelaksana kesehatan (misal gangguan jiwa), bukan karena motif apapun,
tidak disertai niat kriminal atau penyakit dari pasien yang sedang dirawat
(Wetterneck dan Karsh, 2011). Puskesmas sebagai garda terdepan untuk
3
setiap harinya, dan di sinilah terlihat kualitas sistem kerja tenaga kesehatan serta
mampu tidaknya dalam memberi pelayanan maksimal.
Hasil observasi menunjukkan bahwa salah satu penyebab terjadinya human
error adalah tidak maksimalnya pelaksanaan budaya patient safety di puskesmas.
Hasil observasi juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa keluhan pasien yang
berkunjung dan menginap di puskesmas yang mereka tulis pada surat keluhan
yang ada di kotak kritik dan saran di tiap puskesmas. Rata-rata pasien
mengeluhkan bahwa layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan baik yang
berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan pasien masih belum
optimal sehingga pasien merasa tidak nyaman.
Hasil wawancara terhadap 7 (tujuh) pasien dan 5 (lima) tenaga kesehatan di
puskemas rawat inap di Kota Denpasar dapat dirangkum, diantaranya (1) Sikap
tenaga kesehatan dalam menanggapi keluhan dan masalah pasien kurang responsif
(2) Beberapa tenaga kesehatan yang sering meninggalkan tempat kerja, dan (3)
kesalahan pemberian label pada obat pasien. Memperhatikan
permasalahan-permasalahan di atas, kondisi ini tentu menuntut perlunya perubahan yang cepat,
yang mengharapkan semua pihak khususnya pimpinan dan tenaga kesehatan agar
dapat memahami benar apa sebenarnya makna dan poin-poin penting dari budaya
patient safety, sehingga dapat bekerjasama dengan baik dan budaya patient safety
dapat terlaksana secara efektif.
Keselamatan pasien atau patient safety merupakan komponen penting dari
mutu layanan kesehatan, prinsip dasar dari pelayanan pasien dan komponen kritis
4
dari harm (cedera), termasuk di dalamnya adalah penyakit, cedera fisik,
psikologis, sosial, penderitaan, cacat, hingga kematian yang tidak seharusnya
terjadi atau cedera yang potensial (KKP–RS, 2008). Budaya patient safety sangat
penting artinya untuk mencegah berbagai kesalahan medis yang dapat terjadi baik
di puskesmas, rumah sakit maupun tempat pelayanan kesehatan lainnya. Berbagai
negara di dunia telah memasukkan elemen patient safety pada peraturan
pemerintahnya (Kemenkes, 2011). Sejak tahun 2001, the Joint commission on
Accreditation of Healthcare Organization telah memberikan instruksi pada
berbagai fasilitas kesehatan guna mengaplikasikan strategi patient safety (Depkes,
2006:11). Di Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam Seminar
Nasional VII PERSI dan Hospital Expo XVIII mencanangkan Gerakan
Keselamatan Pasien, yang meliputi tujuh program, yaitu dari sosialisasi hingga
pengembangan kerja sama dalam mewujudkan patient safety (Depkes RI-PERSI,
2006: 9).
Organisasi pada bidang kesehatan tidak dapat bertahan tanpa sumber daya
manusia yang berperilaku positif dalam proses penyembuhan pasien. Sumber
Daya Manusia (SDM) adalah bagian krusial yang menjadi motor penggerak dan
kendali suatu pelayanan kesehatan baik dalam usaha pengembangan maupun
keberadaannya seiring dengan tuntutan zaman (Khan et al., 2012). Menurut Jones
et al. (2007), elemen budaya keselamatan pasien mengacu pada peningkatan
kepercayaan dan perilaku dari staf dalam mengidentifikasi dan belajar dari
5
patient safety dengan pola perilaku aman secara medis yang ditunjukkan oleh para
tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri di bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan (Republik Indonesia, 1996). Tenaga kesehatan tersebut meliputi tenaga
medis, tenaga keperawatan, tenaga farmasi, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga
gizi, tenaga terapi fisik dan tenaga teknisi medis. Tenaga kesehatan memegang
peranan sebagai garda terdepan dalam pemenuhan kebutuhan akan jasa pelayanan
kesehatan masyarakat, sehingga harus mampu memberikan pelayanan yang
ramah, menggunakan peralatan yang tersedia secara maksimal dan mampu
menyelesaikan pekerjaan tepat waktu serta terpercaya dalam mewujudkan patient
safety sebagai komitmen organisasi (Azwary, 2013). Salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan terwujudnya budaya patient safety adalah kepuasan
tenaga kerja kesehatan (Andini, 2006).
Menurut Kreitner dan Kinicki (2008) terdapat korelasi positif dan signifikan
antara kepuasan dengan pengawasan/ supervisi, di mana atasan/ manajer
disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka dapat mempengaruhi
pekerja secara potensial dan meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai
usaha, sehingga kepuasan kerja dapat tercapai optimal. Ada tiga gaya
kepemimpinan yang hirarkis terstruktur dari Bass dan Avolio (2006), diantaranya
gaya transformasional yang biasanya diterapkan oleh pemimpin yang optimal,
6
diterapkan pada tingkat yang lebih rendah (Mannheim dan Hallamish, 2008).
Gaya kepemimpinan transformasional sesuai dengan lingkungan yang dinamis
karena kepemimpinan transformasional dianggap efektif dalam situasi atau
budaya apapun, karena anggota organisasi dapat merasakan kepercayaan,
kekaguman, kesetiaan serta penghormatan terhadap pemimpin dan mereka
termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang semula diharapkan dari mereka
(Muenjohn dan Armstrong, 2007). Omar dan Hussin (2013) melakukan penelitian
terhadap kinerja 100 karyawan dari salah satu institusi akademi di Malaysia
dengan hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan
transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.
Tingginya angka kesalahan medis yang masih kerap dilakukan oleh tenaga
kesehatan sehingga pencapaian budaya patient safety menjadi tidak optimal
tentunya dapat dipengaruhi oleh motif internal lainnya seperti peran seorang
pemimpin di dalam organisasi. Kepemimpinan transformasional merupakan salah
satu diantara beberapa model kepemimpinan yang dipandang lebih lengkap dan
memiliki banyak keunggulan karena tidaklah terbatas pada subjek orang,
melainkan kepemimpinan yang lebih menyeluruh karena terkait dengan tujuan
yang ingin dicapai bersama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
menurunnya kejadian kesalahan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
(Kim, 2007). Insititute of Medicine (IOM) (2008) merekomendasikan bahwa
prinsip utama dalam mendesain sistem keselamatan pasien adalah dengan
7
menyediakan sumber daya manusia maupun dana untuk analisa kejadian dan
merancang ulang sistem. Kualitas pemimpin seringkali dipandang sebagai refleksi
keberhasilan maupun kegagalan sebuah organisasi. Untuk menjadi seorang
pemimpin efektif, seorang pimpinan harus mampu memberi pengaruh pada
seluruh elemen pada tempat pelayanan berlangsung guna mencapai tujuan yang
telah disematkan sebelumnya (WHO, 2007).
Penelitian dilakukan pada puskesmas rawat inap yang ada di Kota Denpasar
untuk mengeksplorasi variabel – variabel yang mempengaruhi budaya patient
safety di puskesmas. puskesmas rawat inap dipilih sebagai lokasi penelitian
mengingat fungsi dan keberadaannya sesuai alur jaminan kesehatan masyarakat,
merupakan garda terdepan dalam memberikan pelayanan jasa kesehatan serta
pengobatan, baik bersifat pencegahan maupun tindakan perawatan yang
dikunjungi masyarakat. Kepuasan kerja para tenaga kesehatan serta gaya
kepemimpinan yang ada di puskesmas akan menjadi penilaian kualitas pelayanan
yang diberikan puskesmas tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya
dapat disusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan
kerja tenaga kesehatan?
2) Bagaimana pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya
8
3) Bagaimana pengaruh kepuasan kerja terhadap budaya patient safety tenaga
kesehatan?
4) Bagaimana kepuasan kerja memediasi pengaruh kepemimpinan
transformasional terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah menjawab semua rumusan
masalah penelitian ini, yaitu:
1) Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kepemimpinan transformasional
terhadap kepuasan kerja tenaga kesehatan.
2) Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kepemimpinan transformasional
terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan.
3) Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kepuasan kerja terhadap budaya
patient safety tenaga kesehatan.
4) Menganalisis dan menjelaskan peran mediasi kepuasan kerja pada
pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya patient safety
tenaga kesehatan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari penelitian ini meliputi
manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu:
1) Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat
dalam bidang ilmu manajemen sumber daya manusia sebagai referensi
9
layanan jasa lainnya, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan
kepuasan transformasional, kepuasan kerja, dan budaya patient safety.
2) Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan
bahan pertimbangan untuk digunakan sebagai referensi tambahan bagi
organisasi terutama puskesmas dalam pengambilan keputusan dan
kebijakan yang berhubungan dengan kepemimpinan transformasional,
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka merupakan kerangka acuan yang disusun berdasarkan
kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang mendasari
penelitian ini. Kajian pustaka memberikan gambaran tentang kaitan antara teori
dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan para peneliti terdahulu untuk
mendekati permasalahan. Pembahasan kajian pustaka akan menjelaskan berbagai
acuan komprehensif mengenai konsep, prinsip, atau teori yang digunakan sebagai
landasan dalam memecahkan masalah. Berikut ini akan dibahas kajian pustaka
yang berkaitan dengan budaya patient safety, kepuasan kerja, dan kepemimpinan
transformasional.
2.1Budaya Patient Safety
2.1.1 Pengertian Budaya Patient Safety
Industri kesehatan merupakan industri yang memiliki banyak risiko, baik
itu risiko pada pasien maupun tenaga kesehatan sehingga pandangan bahwa
pelayanan kesehatan sebagai industri yang bebas dari kesalahan adalah pandangan
yang perlu dikoreksi (Leape, 2012). Keselamatan pasien (patient safety) adalah
suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Depkes
RI-PERSI, 2006). Sistem tersebut meliputi pengenalan risiko, identifikasi dan
11
insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi
untuk meminimalkan resiko yang meliputi penilaian risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya risiko ( Carroll, 2009).
Budaya patient safety adalah kepercayaan, sikap dan nilai sebuah
organisasi kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan
struktur, praktek, peraturan dan kontrol keselamatan pasien (Sammer et al., 2010).
Menurut Nieva dan Sorra (2003), Budaya patient safety adalah produk dari nilai,
sikap dan persepsi, kompetensi, dan pola perilaku dari individu dan kelompok
dalam sebuah organisasi (pelayanan kesehatan) yang menentukan komitmen,
gaya, dan kemahiran dalam manajemen patient safety. Budaya patient safety
terfokus pada nilai, kepercayaan dan asumsi terhadap iklim organisasi (pelayanan
kesehatan) dalam peningkatan program keselamatan pasien (Deilkas dan Hofoss,
2008).
Budaya patient safety merupakan bagian yang penting dalam keseluruhan
budaya organisasi yang diperlukan dalam institusi kesehatan sehingga budaya
patient safety dapat diartikan sebagai seperangkat keyakinan, norma, perilaku,
peran, dan praktek sosial maupun teknis dalam meminimalkan pajanan yang
membahayakan atau mencelakakan karyawan, manajemen, pasien, atau anggota
masyarakat lainnya (Hamdani, 2007). Menurut Blegen (2006), persepsi yang
meliputi kumpulan norma, standar profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung
12
untuk melindungi pasien dari kesalahan tata laksana maupun cedera akibat
intervensi, sehingga akan mempengaruhi keyakinan dan tindakan individu dalam
memberikan pelayanan. Kohn (2006) mengemukakan bila tenaga kesehatan dapat
menciptakan lingkungan yang aman bagi pasien, berarti tercipta juga lingkungan
yang aman bagi pekerja, karena keduanya terikat satu sama lain.
2.1.2 Dimensi Budaya Patient Safety
Beragam pengertian terkait budaya patient safety mencakup beberapa
dimensi umum dalam pelayanan kesehatan yang mengacu pada peningkatan
kepercayaan dan perilaku dari staf dalam mengidentifikasi dan belajar dari
kesalahan (Hellings et al, 2007). Dalam National Healthcare Quality Report,
budaya patient safety dinilai dalam 12 aspek (AHRQ, 2013):
1) Supervisor/ manager action promoting safety – pelaksanaan dari pimpinan
2) Organizational learning – perbaikan yang berkelanjutan
3) Kerja sama dalam unit di pelayanan kesehatan
4) Komunikasi yang terbuka
5) Umpan balik dalam komunikasi mengenai kesalahan
6) Respon tidak saling menyalahkan terhadap kesalahan
7) Staffing/ Staf
8) Dukungan manajemen terhadap budaya patient safety
9) Kerja sama antar unit
10) Perpindahan dan transisi pasien
11) Persepsi keseluruhan staf terkait budaya patient safety
13
Copper (2000) menyebutkan ada tiga dimensi yang mempengaruhi budaya
patient safety, yaitu:
1) Personal, dimensi yang cenderung dari orang/ manusia yang bekerja dalam
suatu organisasi kesehatan. Dimensi personal biasanya mencakup
pengetahuan, sikap, motivasi, kompetensi dan kepribadian.
2) Perilaku organisasi, dimensi yang mengukur kondisi lingkungan kerja dari
segi organisasi pelayanan kesehatan secara umum. Dimensi ini mencakup
kepemimpinan, kewaspadaan situasi, komunikasi, kerja tim, stress,
kelelahan, kepemimpinan tim dan pengambilan keputusan.
3) Lingkungan, dimensi pendukung proses pelayanan dalam organisasi
kesehatan yang meliputi perlengkapan, peralatan, mesin, kebersihan,
teknik dan standar prosedural operasional.
2.1.3 Variabel yang Mempengaruhi Budaya Patient Safety
Rathert dan May (2007) mengungkapkan dalam hasil penelitiannya
bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi budaya patient safety dari
perspektif komperehensif adalah lingkungan kerja (work environments) dan
kepuasan kerja tenaga kesehatan. McFadden et al. (2009) dalam studinya pada
tenaga kesehatan rumah sakit mengatakan bahwa beberapa faktor yang
berpengaruh secara langsung pada budaya patient safety adalah kepemimpinan
transformasional dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kepuasan kerja
tenaga kesehatan melalui adanya penghargaan (rewards). Tarcan et al. (2013)
yang melakukan studi pada para tenaga kesehatan di beberapa rumah sakit
14
dalam melaksanakan budaya patient safety sangat dipengaruhi oleh bagaimana
pelaksanaan kepemimpinan transformasional di rumah sakit masing-masing.
Gershon et al. (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan durasi
waktu kerja dan tingkat stress yang tinggi di pelayanan kesehatan, tentunya
tenaga kesehatan memerlukan sistem kepemimpinan yang efektif serta efisien
dan motivasi kerja yang sesuai, sehingga tercapai kepuasan optimal dan
pekerjaan dapat terlaksana dengan sempurna. Kunzle et al. (2012) menyatakan
bahwa suatu sistem kepemimpinan yang efektif sangatlah diperlukan dalam
mewujudkan budaya patient safety yang optimal, sehingga kepemimpinan
transformasional adalah sistem yang paling sesuai dengan para tenaga
kesehatan karena paling adaptif dan fleksibel.
2.2 Kepuasan Kerja
2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Hasibuan (2006) menyatakan bahwa kerja adalah sejumlah aktivitas fisik
dan mental yang dilakukan seseorang dalam memenuhi kebutuhan, dimana
setiap orang akan melakukan produktivitas tinggi dengan mengharapkan
mencapai status, keadaan yang lebih baik serta mencapai kondisi yang
memuaskan. Bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk memuaskan
karyawan karena kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual dan
setiap individu akan memiliki tingkat kepuasaaan yang berbeda–beda dalam
dirinya (Aziri, 2011). Studi tentang kepuasan kerja ditemukan menjadi faktor
yang penting untuk mengembangkan kemampuan kerja karyawan dan masih
15
Luthans (2011:141) menyatakan kepuasan kerja adalah hasil dari
persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal
yang dinilai penting. Handoko (2002) menyatakan kepuasan kerja adalah
keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan
mana karyawan memandang pekerjaannya. Teori tentang kepuasan kerja yang
sering diadopsi dalam studi tentang kepuasan kerja adalah teori dua faktor dari
Frederick Herzberg (Robbins et al, 2013:230) yang membagi kebutuhan
karyawan menjadi dua, yaitu hygiene dan motivator, dimana faktor – faktor
hygiene memuaskan karyawan dalam kondisi tertentu seperti pengawasan,
hubungan interpersonal, kondisi kerja fisik, gaji, dan tunjangan, sedangkan
yang menjadi faktor motivator adalah prestasi karyawan, tanggung jawab serta
perkembangan hasil kerja. Kepuasan terhadap kebutuhan hygiene dapat
mencegah ketidakpuasan dan kinerja yang buruk, sedangkan kepuasan
terhadap faktor – faktor motivasi akan meningkatkan produktifitas organisasi.
Kepuasan kerja dibentuk oleh faktor kepuasan intrinsik dan ekstrinsik,
dimana faktor intrinsik terkait dengan penggunaan kemampuan, aktivitas,
prestasi, otoritas, kemerdekaan, nilai – nilai moral, tanggung jawab, keamanan,
kreativitas, pelayanan sosial dan status sosial anggota organisasi (Furnham et
al, 2002). Faktor kepuasan kerja ekstrinsik adalah kemajuan, kebijakan
perusahaan, kompensasi, pengakuan, hubungan pengawasan sumber daya
16
2.2.2 Dimensi Kepuasan Kerja
Robbins et al. (2013:260) menyatakan ada tiga dimensi kepuasan kerja,
yaitu: 1) kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi dan
kondisi kerja, sehingga kepuasan kerja dapat dilihat dan diduga; 2) kepuasan
kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi
dan melampaui harapan; 3) kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang
berhubungan. Berdasarkan hasil penelitian Herzberg (Robbins et al., 2013),
ada beberapa faktor yang terkait dengan kepuasan maupun ketidakpuasan
kerja. Faktor yang memfasilitasi kepuasan kerja atau faktor intrinsik adalah
prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dan kemajuan;
sedangkan faktor - faktor yang menjadi penentu ketidakpuasan pekerjaan atau
faktor ekstrinsik adalah kebijakan dan administrasi, pengawasan, gaji,
hubungan interpersonal dan kondisi kerja.
Dimensi kepuasan kerja yang sering digunakan dan dikembangkan
dalam berbagai studi kepuasan kerja adalah dimensi intrinsik dan ekstrinsik
kepuasan kerja (Furnham et al, 2009; Robbins et al. 2013). Dimensi intrinsik
yang merupakan karakter dari faktor motivator yang terdiri dari: (a)
pencapaian (achievement), (b) kesempatan berkembang (development), (c)
tanggung jawab (responsibility), (d) pengakuan (recognition) dan (e) pekerjaan
itu sendiri (work itself). Dimensi ekstrinsik yang merupakan karakteristik dari
faktor hygiene. terdiri dari: (a) pengawasan (supervision), (b) kondisi kerja
(working condition), (c) kebijakan perusahaan (company policy), (d) gaji
17
Azeem (2010) dan Robbins et. al. (2013) mengungkapkan lima komponen
pengukur kepuasan kerja, yaitu:
1) Pembayaran (pay), yaitu sejumlah upah yang diterima dan dianggap pantas
sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Para karyawan juga akan
membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, para karyawan
tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda dengan karyawan lainnya.
2) Pekerjaan (job), yaitu pekerjaan yang dianggap menarik dan memberikan
kesempatan untuk pembelajaran bagi karyawan serta kesempatan untuk
menerima tanggung jawab atas pekerjaan. Karyawan akan merasa senang dan
tertantang bila diberikan pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan
semua kemampuannya.
3) Kesempatan promosi (promotion opportunities), yaitu adanya kesempatan bagi
karyawan untuk maju dan berkembang dalam organisasi, misalnya: kesempatan
untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan pangkat serta
pengembangan individu setiap karyawan.
4) Atasan (supervisor), yaitu kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan
perhatian kepada karyawan, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan
dalam memperlakukan karyawan akan mempengaruhi perilaku karyawan
dalam pekerjaannya sehari-hari.
5) Rekan kerja (co-worker), yaitu sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis,
bersahabat, dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan
kerja dalam interaksi yang terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat
18
2.3 Kepemimpinan Transformasional
2.3.1 Pengertian Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan memiliki beragam pendekatan serta perspektif sehingga
melahirkan pengertian kepemimpinan yang beragam pula. Menurut Hersey et al.
(2010), kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan individu atau
kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi. Stoner (2009)
menyatakan kepemimpinan adalah suatu proses pengarahan dan pemberian
pengaruh terhadap kegiatan – kegiatan dari sekelompok anggota yang saling
berhubungan tugasnya. Menurut Bass (2008), kepemimpinan adalah suatu
interaksi antara dua orang atau lebih di dalam suatu kelompok yang mengatur
ulang situasi, persepsi dan ekspektasi dari para anggota, sehingga dapat
dikatakan pemimpin adalah agen perubahan (agents of change), dimana
perilakunya mempengaruhi orang lain.
Beberapa pengertian kepemimpinan yang didapat membentuk suatu
esensi yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah upaya seseorang untuk
mempengaruhi orang lain agar berperilaku sesuai dengan yang diinginkan
olehnya (Sharma dan Jain, 2013). Seorang pemimpin mempunyai banyak pilihan
gaya kepemimpinan yang akan digunakannya untuk mempengaruhi orang lain,
salah satunya dengan menggunakan gaya kepemimpinan transformasional
(Sadeghi dan Pihie, 2012). Luthans (2011:430) mengatakan bahwa
kepemimpinan transformasional termasuk dalam teori kepemimpinan modern
yang gagasan awalnya dikembangkan oleh James McGroger Burns, yang secara
19
sebuah proses dimana pimpinan dan para bawahannya berusaha mencapai
tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi.
Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan seorang pemimpin
dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan
secara optimal sumber daya organisasi (pimpinan, staf, bawahan, tenaga ahli,
guru, dosen, peneliti, dll) dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai
dengan target capaian yang telah ditetapkan (Danim, 2003). Sedangkan menurut
O’Leary (2004), kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan
yang digunakan oleh seorang manajer bila ingin suatu kelompok melebarkan
batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian
sasaran organisasi yang sepenuhnya baru. Kepemimpinan transformasional
merupakan salah satu alat penting yang berpengaruh dalam perubahan organisasi
karena dapat perubahan organisasi melalui artikulasi visi, penerimaan visi, dan
mengarahkan keinginan karyawan agar sesuai dengan visi yang ingin dicapai
(Pawar dan Eastman, 2007). Kepemimpinan transformasional memiliki ciri-ciri
seperti, mampu mendorong pengikut untuk menyadari pentingnya hasil
pekerjaan, dan mendorong pengikut untuk lebih mendahulukan kepentingan
organisasi, dan mendorong untuk mencapai kebutuhan yang lebih tinggi.
(Mulyono, 2009).
2.3.2 Dimensi Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan transformasional memiliki karakteristik yang dapat
dibedakan dengan gaya kepemimpinan yang lainnya, karena karisma yang timbul
20
masuk akal, menimbulkan kebanggaan, menimbulkan rasa hormat dan percaya
(Bass, 2008). Luthans (2011:434) menyimpulkan bahwa pemimpin
transformasional yang efektif memiliki karakter sebagai berikut: 1) Mereka
mengidentifikasi dirinya sebagai alat perubahan, 2) Mereka berani, 3) Mereka
mempercayai orang, 4) Mereka motor penggerak nilai, 5) Mereka pembelajar
sepanjang masa, 5) Mereka memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas,
ambiguitas dan ketidakpastian, 6) Visioner.
Adapun, karakteristik kepemimpinan transformasional menurut Avolio et
al. (2004) adalah sebagai berikut:
(1) Idealized influence / Karisma
Idealized influence mempunyai makna bahwa seorang pemimpin
transformasional harus memiliki kharisma yang mampu “menyihir” bawahan
untuk bereaksi mengikuti pimpinan. Karisma ini biasanya ditunjukan melalui
perilaku pemahaman terhadap visi dan misi organisasi, mempunyai pendirian
yang kukuh, komitmen dan konsisten terhadap setiap keputusan yang telah
diambil, dan menghargai bawahan, sehingga pemimpin transformasional dapat
menjadi role model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya.
(2) Inspirational motivation / Motivasi inspirasional
Inspirational motivation berarti karakter seorang pemimpin yang mampu
menerapkan standar yang tinggi akan tetapi sekaligus mampu mendorong
bawahan untuk mencapai standar tersebut. Karakter seperti ini mampu
membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi dari para bawahan,
21
(3) Intellectual stimulation / Stimulasi Intelektual
Intellectual stimulation adalah karakter seorang pemimpin transformasional
yang mampu mendorong bawahannya untuk menyelesaikan permasalahan
dengan cermat dan rasional. Karakter ini mendorong para bawahan untuk
menemukan cara baru yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah,
sehingga mampu mendorong (menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan
inovatif.
(4) Individualized consideration / Perhatian Individual
Individualized consideration berarti karakter seorang pemimpin yang mampu
memahami perbedaan individual para bawahannya, mau dan mampu untuk
mendengar aspirasi, mendidik, serta melatih bawahan. Seorang pemimpin
transformasional juga harus mampu melihat potensi prestasi dan kebutuhan
berkembang para bawahan serta memfasilitasinya, sehingga pemimpin
transformasional mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan