• Tidak ada hasil yang ditemukan

Case Report CEREBRAL SALT WASTING SYNDROME IN TRAUMATIC BRAIN INJURY: PITFALL AND MANAGEMENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Case Report CEREBRAL SALT WASTING SYNDROME IN TRAUMATIC BRAIN INJURY: PITFALL AND MANAGEMENT"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Case Report

CEREBRAL SALT WASTING SYNDROME IN TRAUMATIC BRAIN INJURY: PITFALL AND MANAGEMENT

*Dinar Ayu Pratiwi, **Tjok Gd Bgs Mahadewa

* Resident of Surgery, Faculty of Medicine Udayana University, Sanglah General Hospital, Denpasar – Bali

** Neurosurgery Department Faculty of Medicine Udayana University, Sanglah General Hospital, Denpasar – Bali

ABSTRAK

Cerebral salt wasting syndrome (CSW) is defined as a renal loss of sodium during intracranial disorders leading to hyponatremia and a decrease in extracellular fluid volume. It is essential to differentiate it from the syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion to avoid complications of hypovolaemia and reduced cerebral perfusion. Brain natriuretic peptide may be responsible for this syndrome. In this case, a 12th years old male patient had admitted to the hospital because of traumatic brain injury due to traffic accident, he had epidural hematoma at temporoparietal dextra region. During the time patient was treated with conservative treatment, on fourth day he complaint that he has higher volume urine not like usual and the condition getting worse, on fifth day he had tonic clonic convulsion then he undergo head CT Scan control and checked BGA also electrolyte status. Laboratory Result: ; pH 7,45; pO2 225mmHg; pCO2 31 mmHg; BE -2,5mmol/L; HCO3-21,5 mmol/L; SO2 100%; BS: 105 g/dL, Na 117 mmol/L K 4,28 mmol/L; Cl 98,6 mmol/L. Patient was diagnosed with Cerebral Salt wasting Syndrome because of traumatic brain injury then transferred to the intensive care unit to get further treatment. This patient was treated by conservative treatment and observation, the treatment focus on replacement of the sodium and water that is lost as a result of pathologic natriuresis and diuresis. In this case sodium replacement in order to compensate renal salt wasting using either isotonic or hypertonic saline. After close monitoring the patient well recovered after 13 days hospitalized, then discharge from the hospital. Distinguishing between CSW and SIADH is crucial importance because therapy indicated for one disorder but used in the other can result in negative clinical consequences. Volume and sodium repletion are the goals of treatment of patients with CSW, and this can be performed using some combination of isotonic saline, hypertonic saline, and mineralocorticoids and patient requires closed monitoring and appropriate management and treatment to reduce morbidity and mortality.

(4)

PENDAHULUAN

Hiponatremia merupakan gangguan elektrolit yang sering dijumpai pada pasien kritis yang dirawat dirumah sakit dengan gangguan saraf pusat. Ketika hiponatremia dihubungkan dengan penyakit sistem saraf pusat maka kemungkinan yang ada adalah SIADH (Syndrome Inappropriate Anti Diuretic Hormone) dan Cerebral salt Wasting Syndrome.1,2

Cerebral salt wasting Syndrome (CSW) adalah kondisi dimana terjadinya kehilangan sodium dari ginjal akibat gangguan intrakranial sedangkan fungsi dari ginjal masih dalam batas normal, kondisi ini menyebabkan terjadinya hiponatremia dan penurunan volume cairan ekstraseluler.3 Patogenesis dari gangguan ini masih belum sepenuhnya dimengerti. Respon simpatik seperti faktor natriuretik berperan penting dalam terjadinya sindrom ini.3,4 Perbedaan antara SIADH dan CSW mungkin akan sulit untuk dibedakan, poin penting dari dua kelainan tersebut terletak pada status volume pasien.5 Penatalaksanaannya CSW memerlukan penggantian volume dan pemeliharaan keseimbangan garam yang positif. Mineral kortikoid dapat berguna pada kasus yang sulit.2,3

Berikut akan dilaporkan sebuah kasus Cerebral Salt Wasting Syndrome akibat cedera kepala pada seorang anak usia 12 tahun yang dirawat di RSUP Sanglah denpasar Bali. Pada kasus ini kondisi pasien membaik dengan terapi konservatif.

LAPORAN KASUS

Pasien laki laki 12 tahun mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda gayung, ia tertabrak sepeda motor dari arah belakang kemudian terjatuh kearah kanan dengan kepala membentur aspal. Pasien kemudian tidak sadarkan diri sekitar 5 menit, setelah sadar dia tidak ingat dengan apa yang terjadi, pasien mengeluh nyeri kepala serta muntah. Pasien lalu di bawa ke RSPAD Denpasar dalam keadaan sadar, kemudian disana dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala dan pemeriksaan laboratorium, pada CT scan kepala didapatkan hasil adanya epidural hematom pada region temporoparietal dextra dan hasil laboatorium masih dalam batas normal. Pasien didiagnosis dengan cedera kepala ringan, epidural hematom temporoparietal dextra.

Gambar 1 CT Scan kepala hari pertama setelah trauma

Di rumah sakit tersebut pasien direncanakan untuk observasi dan diberikan tindakan konservatif, tetapi atas permintaan keluarga pasien diminta untuk dirujuk ke RS Sanglah Denpasar, dua jam setelah kejadian pasien tiba di RS Sanglah Denpasar. Pada primary survey, airway breathing dan sirkulasi aman, tanda vital tekanan darah 100/60 mmHg, Nadi 90 kali permenit, suhu axilla 36,4o C, VAS 4 dan GCS E3V5M6, pupil isokor dengan

(5)

diameter 3mm/3 mm, tidak ada tanda lateralisasi, secondary survey hanya ditemukan cefalhematom pada region parietal dexter berdiameter 4 cm. Pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sudah tidak ada muntah. Pasien kemudian didiagnosis dengan Cedera kepala ringan, epidural hematom regio temporoparietal dextra. Pasien ini kemudian diterapi dengan head up 300dan O2masker 8 literpermenit untuk dekompresi internal, pasien juga mendapat

terapi obat obatan seperti citicoline, fenitoin dan paracetamol serta observasi yang dititikberatkan pada tanda vital, penurunan GCS dan tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial. Dilakukan 4 jam observasi di Unit gawat darurat, setelah jangka waktu tersebut tidak ditemukan adanya perubahan kearah perburukan, maka pasien dipindahkan di ruangan intermediate (Medical Surgery) untuk diobservasi lebih lanjut. Pada saat masuk ke ruangan intermediate pasien dalam kondisi keluhan nyeri kepala berkurang dari sebelumnya dengan tekanan darah 110/70 N 90 kali permenit, suhu axilla 36,30C, VAS 3, GCS E3V5M6, pupil isokor dan tidak terdapat tanda lateralisasi lainnya.

Pada perawatan hari kedua dan ketiga, kondisi pasien stabil dengan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 90x permenit, VAS 3, GCS E4V5M6 dan keluhan nyeri lebih berkurang sehingga terapi yang diberikan dilanjutkan. Pada hari keempat kondisi pasien, tekanan darah 120/80 mmhg, nadi 88 kali permenit VAS 4, GCS E3V5M6 dan pasien mengeluh nyeri kepala bertambah, selain itu orangtua pasien mulai mengeluhkan anaknya banyak minum, sering haus dan sering kencing serta volume urin mulai bertambah, saat itu volume urine belum dilakukan pengukuran. Sehingga tindakan yang dilakukan adalah CT scan kepala ulang, serta pengukuran volume urine dengan urine tampung. Hasil yang diperoleh dari CT scan kepala ulang didapatkan adanya penambahan volume perdarahan dan lesi yang menunjukkan proses perdarahan bisa saja masih berlangsung, tetapi belum ada tanda tanda lesi desak ruang. Pasien kemudian diagnosis menjadi CKR memburuk dengan EDH frontoparietobasal dextra dan contusion hemorargik parietal dextra dan disarankan untuk trepanasi evakuasi clot untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, tetapi keluarga belum menyetujui tindakan operasi, sehingga terapi yang ditambahkan adalah pemberian asam traneksamat injeksi dan vitamin K serta observasi ketat untuk keadaan umum, tanda vital, penurunan GCS dan tanda tanda peningkatan tekanan intracranial serta observasi diuresis dengan urine tampung.

(6)

Observasi urine tampung kurang dari 24 jam berikutnya diperoleh jumlah volume urine sebanyak 4000 ml dan total intake 2350 ml, dengan diuresis per jam diperkirakan 4-5cc/KgBB. kondisi pasien mulai memburuk dan gelisah pasien juga mengalami kejang tonik klonik sekitar 2 menit, dilakukan intervensi dengan pemberian diazepam injeksi, setelah masuk 2mg, kejang berhenti dan pemberian diazepam dihentikan. Setelah kejang GCS pasien E3V5M6. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium cito termasuk elektrolit dan cito CT scan kepala ulang. Hasil laboratorium menunjukkan nilai yang kritis pada nilai elektrolit, hasil tersebut adalah pH 7,45; pO2 225mmHg; pCO2 31 mmHg; BE -2,5mmol/L; HCO3-21,5 mmol/L; SO2 100%; BS: 105 g/dL, Na 117 mmol/L K 4,28 mmol/L; Cl 98,6 mmol/L.

Gambar 3 CT scan kepala control hari perawatan ke 5 pasca kejang

Hasil CT scan kepala menunjukkan volume perdarahan tampak lebih berkurang daripada CT scan sebelumnya dan tidak ada tanda tanda lesi desak ruang. Selama 24 jam berikutnya pasien di diagnosis dengan CKR, epidural hematoma frontoparietobasal dextra, Intra cerebral bleeding parietal dextra, post traumatic seizure dan hiponatremia berat. Dilakukan terapi tambahan yaitu koreksi natrium dengan NaCl 3%, balance cairan dan cek elektrolit serial. hasil pemeriksaan kadar elektrolit berikutnya adalah Na 110 mmol/L; K 3,4 mmol/L, Calsium yaitu 7,86 mg/dL. Tujuh jam dari kejang pertama pasien kembali mengalami kejang tonik klonik sekitar 5 menit, dilakukan pemberian loading fenitoin, kejang berhenti. Memasuki hari keenam, kondisi pasien sadar dengan GCS E4V5M6 mengeluh haus terus menerus, hasil urine tampung adalah 4800 ml dengan total intake 2200 ml, diuresis diperkirakan sekitar 5cc/KgBB perjam. Pasien kemudian didiagnosis dengan cerebral salt wasting syndrome dd SIADH ec Cedera kepala ringan, EDH frontoparietobasal dextra dan ICB parietal dextra. Tindakan yang dilakukan pada pasien tersebut adalah pemasangan kateter urin, pemasangan central line untuk observasi volume, balance cairan dan dilanjutkan koreksi Na dengan pemberian drip NaCl 3%, pasien juga disarankan untuk dirawat diruang intensif dan dikonsulkan ke bagian neuroanestesi. Oleh bagian neuroanestesi pasien juga disaran kan dirawat di ICU dan dilakukan pemasangan CVC, tetapi keluarga belum setuju dengan tindakan yang disarankan.

(7)

Pada hari ketujuh, kondisi pasien mulai membaik tidak ada lagi kejang, tetapi volume urine masih banyak dengan diuresis perjam sekitar 6cc/KgBB, pemeriksaan elektrolit yaitu Na 138 mmol/L; K 3,54 mmol/L,. Koreksi Na dihentikan,kemudian obat obatan injeksi diganti dengan dengan obat oral, seperti paracetamol, fenitoin, vitamin K dan asam tranexamat meskipun demikian pasien masih tetap disarankan untuk pemasangan CVC dan dirawat di ruangan intensif tetapi pihak keluarga masih belum setuju. Pada hari kedelapan keluarga menyetujui untuk dirawat diruangan intensif, pasien kemudian dipindahkan ke ruangan intensif dengan kondisi tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 90x permenit, GCS E4V5M6, diuresis 7cc/KgBB per jam dan kadar serum Na 132mmol/L. Diruang intensif dilakukan pemasangan catheter vena central didapatkan tekanan vena central adalah 7 cmH2O, dilakukan monitoring intensif pada status volume. 2 jam kemudian diuresis bertambah menjadi 13cc/KgBB perjam, dan terjadi penurunan tekanan vena central menjadi 4 cmH20 namun kondisi umum pasien masih baik dengan GCS E4V5M5 dan mengeluh haus, terapi yang diberikan adalah balance cairan dengan pemberian larutan NaCl secara intravena, setelah pemberian cairan, diuresis berkurang dan tekanan vena central naik menjadi 6cmH20.

Gambar 4 Kondisi pasien saat dirawat di ICU

Empat hari perawatan intensif kondisi pasien membaik baik namun urine output masih sekitar 6cc/KgBB perjam, tetapi tekanan vena central stabil 8 cmH2O, pasien di ijinkan pindah kembali ke ruangan intermediate. Pasien kemudian dirawat diruang intermediate selama 2 hari, manajemen dititikberatkan pada observasi balance cairan, selama waktu tersebut kondisi pasien baik, diet bebas per oral dan tanda vital tetap stabil dengan diuresis sekitar 3 cc/KgBB per jam, pasien kemudian diijinkan pulang.

(8)

Tabel 1. Ringkasan keseimbangan cairan dan perubahan serum Na Har i ke-keluhan Urine Output

Intake Planning Hasil Tindakan Evaluasi

4  gelisah  pusing  vol kencing banyak  Sering merasa haus Belum di ukur Belum di ukur  Ct scan kepala  Urine tampung  Observasi Pe>> vol perdarahan Belum ada tanda tanda lesi desak ruang  Trepanasi evacuasi clot  Keluarga belum setuju Observasi 5  Kejang 2x 4000 ml 2350 ml  Ct scan kepala  Cek AGD elektrolit  Observasi  Ct scan: Vol perdarahan tampak berkurang, tidak ada lesi desak ruang  Elektrolit: Na: 117 K: 4,28 GDS:105g/dL Koreksi Na dengan NaCl 3% Cek Na,K serial 6  Kejang (-)  Pusing << 4800 ml 2200 ml  Cek elektrolit  Observasi  Elektrolit: Na: 110 K: 3,4 Na: 108 K:3,7  Susp CSW dd SIADH  Rawat ICU, pasang CVP, keluarga belum setuju  Observasi status vol  Lanjutkan koreksi Na dengan NaCl 3% Observasi Cek Na, K serial 7  Kejang (-)  Pusing <<  Banyak minum 5250 ml 3700 ml  Cek elektrolit  Observasi  Elektrolit: Na: 114 K: 3,97 Na: 111 K:3,8  Susp CSW dd SIADH  Rawat ICU, pasang CVP, keluarga belum setuju  Balance cairan  Lanjutkan koreksi Na dengan NaCl 3% Observasi status vol Cek elektrolit serial 8  Kejang (-)  Pusing <<  Banyak minum 6800 ml 4200 ml  Cek elektrolit  Observasi  Elektrolit: Na: 138 K: 3,54 Na: 132 K:3,7  Susp CSW dd SIADH  Rawat ICU, pasang CVP, keluarga baru setuju  Observasi Pasang CVP Tek VC 7 cmH2O, diureis >> tek VC turun menjadi 4 cmH2O, Loading

(9)

status volume  Balance  Stop koreksi Na NaCl 0,9% 9  Banyak minum 5550 ml 3850 ml  Cek elektrolit  Elektrolit: Na: 133 K: 4,32 Na: 130 K:4,12  Observasi status volume  Balance CVP: 7 cmH2O 10  Kondisi klinis pasien baik  Keluhan banyak minum 5850 ml 4750 ml  Cek elektrolit  Elektrolit: Na: 136 K: 4,61 Na: K:  Observasi status volume  Balance CVP: 8 cmH2O Diet bebas 11  Kondisi semakin membaik 5600 ml 4000 ml  Cek elektrolit  discharge  Elektrolit: Na: 140 K: 4,08  Observasi status volume  Balance Evaluasi lanjutan di intermediate room 12  Kondisi baik 4200 ml 3600 ml  Cek elektrolit  Elektrolit: Na: 138 K: 4,18  Balance cairan Diet bebas 13  Kondisi baik 3000 ml 2800 ml  Cek eletrolit  Elektrolit: Na: 145 K: 4,27  Balance cairan Poliklinis DISKUSI

Cerebral salt Wasting Syndrome didefinisikan sebagai kehilangan sodium dari ginjal selama terjadinya gangguan pada intracranial yang mengakibatkan terjadinya hiponatremia dan berkurangnya volume cairan extraseluler. Kelainan ini pertama kali dijabarkan oleh Peter et al tahun 1950.5 Mekanisme penyakit intrakranial mana yang menyebabkan CSW masih belum dimengerti sepenuhnya. Cerebral Salt Wasting Syndrome terjadi karena natriuresis primer yang menyebabkan terjadinya hipovolemia dan deplesi dari sodium (Na), tanpa diketahui stimulus apa yang mampu mengeksresi sodium dalam jumlah yang besar.1 Telah dipercaya bahwa faktor natriuretik seperti atrial natriuretic peptide (ANP), brain natriuretic peptide (BNP), C-type natriuretic peptide (CNP), dan dendroaspis natriuretic peptide (DNP) mungkin berperan dalam terjadinya CSW.2,3 Sampai saat ini masih berkembang studi mengenai hubungan penyebab antara natriuretic peptide dengan terjadinya CSW. Dari beberapa variasi natriuretik, BNP merupakan peptida yang paling mungkin untuk memediasi terjadinya CSW, dipercaya bahwa peningkatan volume plasma dapat menyebabkan pelebaran dinding atrial, sehingga merangsang respon simpatik atau terjadinya peningkatan angiotensin II atau endotelin yang mampu menyebabkan peningkatan pelepasan peptida ini.1

Natriuretic peptides dilepaskan oleh sistem saraf pusat untuk mengatur muatan air dan Na dalam otak dan produksi liquor cerebrospinalis. Hubungan langsung antara ANP atau BNP dengan tekanan intrakranial telah diketahui yaitu untuk pelepasan peptida peptida tersebut yang merupakan mekanisme kompensasi sehingga menyebabkan terjadinya renal salt wasting untuk menjaga tekanan tetap konstan, sehingga mampu mengurangi peningkatan tekanan intrakranial yang ekstrim dan kecenderungan untuk terjadinya vasospasme pada kasus seperti subarachnoid hemorarge.1,7 Meskipun dengan bukti tersebut, beberapa peneliti masih belum menemukan hubungan langsung antara BNP dengan terjadinya CSW.

(10)

Pada pasien dengan cedera neurologikal sangat penting untuk membedakan antara CSW dan SIADH karena keduanya memiliki krteria diagnostik yang berbeda. Kedua diagnosis tersebut dilakukan penilaian dan monitoring terhadap Na, kehilangan air dan volume ekstraseluler. Perbedaan utama pada kelainan tersebut adalah volume plasma dan ekskresi Na dan Cl dari urine.3,5 Cerebral Salt Wasting Syndrome ditandai oleh volume plasma yang rendah dengan gejala dehidrasi, osmolalitas serum yang rendah dan banyaknya eksresi Na dan Cl melalui urine, sedangkan SIADH menunjukkan volume plasma yang tinggi dengan osmolalitas yang rendah. Tekanan vena sentral yang rendah mengkonfirmasi deplesi volume sehingga mengindikasikan diagnosis kepada Cerebral Salt Wasting Syndrome.1 Temuan laboratorium lainnya yang berguna adalah hemokonsentrasi pada CSW, kompilasi karakteristik utama untuk membedakan antara CSW dan SIADH ditunjukkan pada tabel 2 dibawah ini. Penentuan status volum menjadi esensial untuk diagnosis, dikarenakan pasien dengan SIADH menunjukkan kondisi euvolemic atau hipervolemic, dimana CSW menunjukkan kondisi hipovolemic.3Biasanya sulit bagi klinisi untuk mengkonfirmasi apakah pasien memiliki volume ekstraseluler yang rendah hanya dengan observasi. Keseimbangan elektrolit harus dipantau setiap hari untuk menghindari kesalahan diagnostik sehingga tatalaksana menjadi tidak tepat.8,9 Onset dari kelainan ini muncul pada sepuluh hari pertama sejak terjadinya penyakit intrakranial.1

Tabel 2. Perbedaan karakteristik CSW dan SIADH1,5

Cerebral salt Wasting Syndrome

(CSW)

Syndrome Inappropriate Anti Diuretic Hormone

(SIADH)

Volume plasma Turun Meningkat atau normal

Keseimbangan garam Negatif Bervariasi

Keseimbangan cairan Negatif Meningkat atau normal

Gejala dan tanda dehidrasi Ada Tidak ada

Volume urine Sangat meningkat Turun atau normal

Tekanan vena sentral Turun Meningkat atau normal

Osmolalitas serum Turun Turun

Hematokrit Meningkat atau normal Tidak berubah

Konsentrasi plasama albumin

Meningkat Normal

Sodium urine Sangat meningkat Meningkat

Pengobatan Normal saline

Hipertonik saline Mineralkortikoid Restriksi cairan Hipertonik saline Democycline Furosemid

Dasar diagnosis cerebral salt wasting syndrome pada kasus ini adalah dari anamnesis diketahui bahwa pasien merupakan pasien dengan gangguan sistem saraf pusat, yaitu akibat cedera kepala yang ditandai dengan adanya riwayat trauma pada kepala yang jelas, disertai hilangnya kesadaran. Cedera kepala yang dialami pasien ini mengarah pada adanya perdarahan intrakranial, dicurigai karena setelah mengalami cedera kepala pasien tersebut memiliki keluhan nyeri kepala yang menetap dengan gejala tambahan muntah dan kesadaran GCS E3V5M6. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan tekanan intracranial akibat penambahan volume, tetapi belum terdapat tanda tanda lesi desak ruang yang diketahui dari ketiadaan lateralisasi, kecurigaan kecurigaan tersebut dibuktikan dengan gambaran Ct scan kepala yaitu pasien mengalami perdarahan intracranial berupa epidural hematom. Beberapa hari setelah cedera kepala tersebut pasien mengalami kondisi penurunan kondisi umum, mengalami keluhan sistem saraf pusat seperti kejang general tonik klonik dan keluhan nyeri

(11)

kepala, serta pasien mengalami diuresis yang berlebihan, akibat diuresis tersebut pasien mengalami dehidrasi yang ditandai dengan penurunan status mental dan kondisi yang haus terus menerus serta keseimbangan cairan yang negatif. Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang diketahui bahwa pasien dalam kondisi hiponatremia berat, dengan kadar Na 117 mmol/L. Dan dari status volume pasien yang dinilai dengan pengukuran tekanan vena central diketahui bahwa pasien sempat mengalami kondisi hipovolemia, dengan nilai tekanan vena central 4 cmH2O. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan maka diagnosis kerja pada pasien ini adalah cerebral salt wasting syndrome e.c cedera kepala ringan, epidural hematom frontoparietobasal dextra dan ICB parietal dextra, meskipun tidak dilakukan pemeriksaan kadar natrium urine, untuk membuktikan berkurangnya kadar natrium serum diakibatkan oleh pembuangan natrium pada urin dalam jumlah besar.

Terapi utama dalam penatalaksanaan CSW adalah penggantian dari sodium dan air yang hilang sebagai hasil dari kelainan natriuresis dan diuresis. Hal ini sangat bertentangan dengan penatalaksanaan pada pasien dengan SIADH, dimana pasien SIADH lebih ditekankan untuk dilakukan restriksi cairan. Pasien dengan CSW menunjukkan pengurangan volume ekstraseluler yang signifikan dan defisit total sodium tubuh sedikitnya sekitar 2mmol/KgBB. Pada pasien dengan kondisi hipovolemia, strategi manajemen pertama yang dilakukan adalah pemberian normal saline dengan tujuan mencukupi volume intravaskular. Restriksi cairan dapat memperburuk kondisi pasien dengan CSW, sebaliknya pada pasien SIADH jika diberikan larutan saline dapat menyebabkan semakin berkurangnya konsentrasi serum natrium dan dapat menyebabkan hiponatremia simptomatik. Ketika kondisi euvolemia sudah tercapai, perhatian selanjutnya ditujukan pada koreksi hiponatremia. Koreksi hiponatremia dapat dilakukan dengan terapi penggantian Na menggunakan larutan saline hipertonik, teutama dilakukan jika serum sodium mencapai nilai yang sangat rendah yaitu <125 mEq/L, penggunaan saline hipertonik ini juga dapat digunakan ketika volume dari cairan intravena yang digunakan untuk koreksi volume sangat besar untuk mencapai kondisi euvolemia. Terapi penggantian harus dilakukan dengan perlahan, hal ini dilakukan untuk menghindari kompilkasi lebih lanjut seperti pontine myelinolysis. Kenaikan serum sodium tidak boleh lebih dari 0,7 mEq per liter per jam, dan maksimum total perubahan harian adalah tidak boleh lebih dari 20 mEq per liter.1,2,3

Selain itu salah satu metode untuk memperbanyak serum sodium dan volume intravaskular adalah dengan pemberian mineralkortikoid. Salah satu mineralkortikoid yang digunakan dalam hal ini adalah fludokortison yang dapat diberikan 0,05-0,1 mg dua kali sehari, dimulai saat diagnosis CSW dibuat dan dilanjutkan sampai konsentrasi sodium kembali normal dan konsentrasi volume intravaskular stabil normal.1 Penggunaan fludokortison untuk mengobati CSW pertama kali dilaporkan pada tahun 1980 pada orang dewasa dengan cedera kepala. Pada penerapannya masih sulit untuk menentukan waktu yang tepat kapan digunakannya fludokortison, tetapi obat ini direkomendasiakan digunakan setelah beberapa hari ketika diagnosis sudah ditegakkan dan manajemen dengan terapi penggantian cairan dan garam telah dilakukan dengan baik namun masih belum memberikan hasil yang memuaskan.6 Fludokortison bekerja langsung pada tubulus renal untuk meningkatkan reabsorbsi dari sodium, tetapi memiliki efek sekunder seperti hipokalemia, edema paru dan hipertensi yang dapat terjadi pada pemakaian jangka panjang. Oleh karena itu penggunaan flidokortisone hanya digunakan apabila penggantian garam dan cairan tidak dapat menangani kelebihan natriuresis.10

Cerebral salt wasting syndrome merupakan proses alami yang bersifat sementara, dengan bukti bahwa renal salt wasting akan teratasi setelah tiga sampai empat minggu.5Pada kasus ini penatalaksaan yang dilakukan terhadap pasien adalah ditujukan untuk pemenuhan volume intravaskular dan koreksi hiponatremia yaitu dengan pemasangan kateter urin dan

(12)

pemasangan central line yang ditujukan untuk observasi volume dan balance cairan dengan pemberian larutan NaCl 0,9% dan koreksi Na dilakukan pemberian drip NaCl 3% dengan monitoring pemeriksaan elektrolit serial. Selama beberapa hari dengan terapi yang telah dilakukan kondisi pasien berangsur angsur mulai membaik, sehingga pada hari perawatan ke 13 pasien di ijinkan untuk pulang.

PENUTUP

Cerebral salt wasting syndrome merupakan kondisi hipovolemia hiponatremia yang disebabkan natriuresis dan diuresis yang terdapat pada pasien dengan gangguan sistem saraf pusat seperti traumatic brain injury. Kelainan ini jika tidak didiagnosis dengan tepat dan dikelola dengan baik maka dapat menimbulkan konsekuensi yang negative dan komplikasi yang lebih berat. Volume dan pemenuhan kadar natrium merupakan tujuan dari penatalaksanaan pasien dengan CSW, hal ini dapat dicapai dengan kombinasi pemberian larutan saline isotonik, saline hipertonik dan mineralkortikoid.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

1 Esteva MC, Godia EC, Chillaron JJ, Sunyer CP, Cucurella G, Fernandez M, Goday A, Perez JF, Campello AR dan Roquer J. Cerebral salt wasting syndrome: Review. European Journal of Internal Medicine 19 (2008) 249–254

2 Singh S, Bohn D, Carlotti AP, Cusimano M, Rutka JT dan Halperin ML. Cerebral salt wasting: Truths, fallacies, theories, and challenges. Crit Care Med 30:11 (2002); 2575-2579

3 Yee Do AH, Burns JD dan Wijdicks FM. Cerebral Salt Wasting: Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment. Neurosurg Clin N Am 21 (2010); 339–352

4 Lu DC, Binder DK, Chien B, Maosel A dan Manley GT. Cerebral salt wasting and elevated brain natriuretic peptide levels after traumatic brain injury: 2 case reports. Surgical Neurology 69 (2008); 226-229

5 Palmer BF. Hyponatremia in patients with central nervous system disease: SIADH versus CSW. TRENDS in Endocrinology and Metabolism 14 (2003)

6 Taplin CE, Cowell CT, Silink M dan Ambler GR. Fludrocortisone Therapy in Cerebral Salt Wasting. Pediatrics (2006);118;e1904-e1909

7 Hedge RM. Cerebral Salt Wasting Syndrome: A Case Report. Critical Care and Resuscitation 1 (1999) 180-183

8 John CA dan Day MW. Central Neurogenic Diabetes Insipidus, Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone, and Cerebral Salt-Wasting Syndrome in Traumatic Brain Injury. Critical Care Nurse. 32 (2012) e1-e8

9 Lo KL, ramachandran R, Abdullah BJ, Chow SK, Goh EML dan yeap SS. Cerebral Infarction and Cerebral Salt Wasting Syndrome In a Patient With Tuberculosis Meningoenchepalitis. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 34 (2003) 636-640 10 Zomp A and Alexander E. Syndrome of Innappropriate Anti diuretics Hormone and

cerebral Salt Wasting in Criticalli Ill Patients. AACN Advance Critical care. 23 (2012) 233-239

Gambar

Gambar 1 CT Scan kepala hari pertama setelah trauma
Gambar 2 CT scan kepala control, perawatan hari ke 4
Gambar 3 CT scan kepala control hari perawatan ke 5 pasca kejang
Gambar 4 Kondisi pasien saat dirawat di ICU
+3

Referensi

Dokumen terkait