• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIPERSENSITIVITAS AKUT ET CAUSA SENGATAN TAWON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HIPERSENSITIVITAS AKUT ET CAUSA SENGATAN TAWON"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

HIPERSENSITIVITAS AKUT ET CAUSA

SENGATAN TAWON

Oleh:

Mona Mentari Pagi Surbakt dr. Tjok Istri Anom Sturti,SpPD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

rahmat-Nya, Laporan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) yang berjudul

“Hipersensitivitas Akut et causa Sengatan Tawon” ini dapat selesai tepat pada waktunya. Laporan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini, diantaranya:

1. dr. Tjok Istri Anom Saturti, Sp.PD selaku dokter pembimbing yang telah banyak memberikan didikan dan masukan yang membangun dalam penyusunan laporan kasus ini.

2. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM selaku kepala bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar.

3. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

4. Pasien NIS sebagai pasien pada pelaksanaan pengalaman belajar lapangan kali ini.

5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.

Akhir kata semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat sesuai tujuan penulisan dan dapat memberikan sumbangsih dalam ilmu pengetahuan terkait reaksi alergi khususnya hipersensitivitas akibat sengatan tawon. Serta tak lupa penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna meningkatkan kualitas laporan ini. Terima kasih.

Denpasar, 31 Agustus 2016

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 Definisi Hipersensitivitas ... 2

2.2 Imunopatofisiologi Hipersensitivitas ... 3

2.3 Etiologi Hipersensitivitas ... 9

2.4 Faktor Risiko Hipersensitivitas ... 10

2.5 Diagnosis Hipersensitivitas ... 11

2.6 Penatalaksanaan dan Pencegahan Hipersensitivitas ... 13

2.7 Reaksi Hipersensitivitas Akibat Sengatan tawon ... 14

BAB III LAPORAN KASUS ... 18

3.1 Identitas Pasien ... 18

3.2 Anamnesis ... 18

3.2.1 Keluhan Utama ... 18

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang ... 18

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu ... 19

3.2.4 Riwayat Keluarga ... 19 3.2.5 Riwayat Sosial ... 19 3.3 Pemeriksaan Fisik ... 19 3.4 Pemeriksaan Penunjang ... 21 3.5 Diagnosis... 22 3.6 Penatalaksanaan ... 22 3.6.1 Terapi ... 22 3.6.2 Planning Diagnosis ... 22 3.6.3 Monitoring ... 22

BAB IV KUNJUNGAN LAPANGAN ... 23

(4)

DAFTAR PUSTAKA ...31 LAMPIRAN

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Tipe I: Alergen IgE, sel mast, mediator ... 1

Gambar 2 Tipe II: IgM, IgG terhadap permukaan sel atau antigen matriks ekstraseluler1Patogenesis Dengue Shock Syndrome (DSS) ... 4

Gambar 3 Tipe III: Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 yang diendapkan dalam membran basal seluler...5

Gambar 4. Reaksi hipersensivitas lambat...5

Gambar 5. Pembentukan granuloma...7

Gambar 6. Patogenesis pada Hipersensivitas Tipe I...8

Gambar 7. Etiologi dari reaksi hipersensitivitas...10

Gambar 8. Algoritma Penanganan Syok Anafilaktik...13

Gambar 9. Tawon dan sarangnya...15

DAFTAR TABEL Tabel 1. Faktor Risiko Hipersensitivitas...10

(6)

BAB I PENDAHULUAN

Reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Hipersensivitas akut atau alergi akibat sengatan tawon dapat berupa reaksi lokal maupun sistemik yang dapat menimbulkan efek ke berbagai organ sampai menyebabkan kematian. Kematian akibat sengatan tawon dilaporkan 40 sampai 50 kasus per tahun di Amerika Serikat. Prevalensi reaksi alergi akibat sengatan tawon bervariasi antara 0,4 sampai 4% bahkan lebih, dengan angka mortalitasnya berkisar antara 0,09 sampai 0,45 per sejuta populasi setiap tahun. Untuk di Indonesia sendiri kejadian tersengat tawon merupakan hal yang cukup sering dijumpai, mengingat Indonesia merupakan negara tropis dimana serangga dapat berkembang biak dan tumbuh dengan baik pada area tropis. Namun untuk prevalensi pasti kejadian tersengat tawon di Indonesia belum diperoleh angka laporan untuk kasus tersebut. Manifestasi alergi akibat sengatan tawon bergantung pada pembentukan antibodi terhadap substansi antigen pada bisa tawon. Gambaran klinis dapat berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat atau reaksi hipersensitifitas tipe cepat yang dapat mengancam kehidupan dan memerlukan penanganan yang tepat dan cepat.

Di Bali terkhususnya di Denpasar, terdapat banyak tempat-tempat yang memungkinkan tawon banyak berkebang biak, sehingga cukup sering dijumpai kejadian tersengat oleh tawon. Tapi tak banyak yang mengganggap hanya biasa saja, sehingga jika tersengat kembali atau memilki alergi lain dapat mempengaruhi respon dalam tubuh dalam orang tersebut. Padahal sengatan tawon dapat menimbulkan suatu masalah kesehatan yang berupa reaksi hipersensitivitas bahkan sampai terjadinya kondisi gawat darurat berupa reaksi anafilaktik hingga kondisi syok anafilaktik yang dapat menyebabkan kematian. Pada karya tulis terkait pengalaman belajar lapangan ini akan dibahas suatu laporan kasus mengenai hipersensitivitas akut akibat sengatan tawon serta hasil kunjungan kami ke rumah pasien untuk identifikasi masalah serta pemberian usulan terkait masalah-masalah tersebut.

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipersensitivitas

Sistem kekebalan tubuh merupakan bagian penting dari perlindungan manusia terhadap penyakit, tetapi mekanisme perlindungan imun terkadang dapat menyebabkan reaksi merugikan pada host. Reaksi tersebut dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas.1 Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas

terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.

Hipersensitivitas juga diartikan sebagai respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.2 Adapun klasifikasi untuk reaksi hipersensitivitas dari Gell dan Coombs yang saat ini, merupakan sistem klasifikasi yang paling umum digunakan yang membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 jenis menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi yaitu3:

a. Reaksi Tipe I (reaksi hipersensitivitas cepat)

Reaksi anfilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai "reaksi pejamu yang berubah" bila terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih. Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel TM. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti sel zasr, basofil dan eosinofil. Bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesif,ft) pada permukaan sel mast yarrg menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin yang didapat dalam granul-granul sel dan menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.

(8)

Gambar 1. Tipe I: Alergen IgE, sel mast, mediator1

Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma bronkial, rinitis, urtikaria dan dermatitis atopik. Di samping histamin, mediator lain seperti prostagladin dan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I yang sering timbul beberapajam sesudah kontak dengan alergen.

b. Reaksi Tipe II (reaksi hipersensitivitas sitotoksik)

Reaksi tipe II yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi oleh karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Ikatan antibody dengan antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu tersebut dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis (Gambar 2). Lisis sel dapat pula terjadi melalui sensitasi sel NK sebagai efektor Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Contoh reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang baru dilahirkan dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe II. Anemia hemolitik dapat ditimbulkan oleh obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid.

(9)

Gambar 2. Tipe II: IgM, IgG terhadap permukaan sel atau antigen matriks ekstraseluler1

c. Reaksi Tipe III (reaksi kompleks imun)

Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage chemo tacti c fac t or. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi tersebut disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tidak disertai dengan respons antibodi efektif. Pembentukan kompleks imun yang terbetuk dalam pembuluh darah terlihat pada Gambar15. Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentuk kompleks imun. Selanjutnya kompleks imun mengaktifkan C yang melepas Cru dan Cru dan merangsang basofil dan trombosit melepas berbagai mediator antara lain histamine yang meningkatkan permeabilitas vaskular. Sebab-sebab reaksi tipe III dan alat tubuh yang sering merupakan sasaran penyakit kompleks imun terlihat pada Tabel 1. Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear terutama dalam hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks imun merupakan faktorpenting. Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan cepat dimusnahkan dalam hati. Kompleks yang larut terjadi bila antigen ditemukanjauh lebih banyak dari pada antibody yang sulit untuk dimusnahkan dan oleh karena itu dapat lebih lama ada dalam sirkulasi. Kompleks imun yang ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun menembus dinding pembuluh darah dan mengendap di jaringan. Gangguan fungsi fagosit diduga dapat merupakan sebab mengapa kompleks imun sulit dimusnahkan.

(10)

Gambar 3. Tipe III: Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan

IgM atau IgG3 yang diendapkan dalam membran basal seluler1

d. Reaksi Tipe IV (reaksi hipersensitivitas lambat) dimediasi oleh sel T.

Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Dewasa ini, reaksi Tipe 4 dibagi dalarn Delayed Type Hyper-sensitivity yang terjadi melalui sel CD4 dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8.

Gambar 4. Reaksi hipersensivitas lambat1

Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Pada DTH, sel CD4.Thl yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. CD4*Th1 melepas sitokin (IFN-y) yang mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah makrofag. Contoh-contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut4:

(11)

1. Reaksi tuberkulin. Reaksi tuberkulin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear (50%o adalah limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 iam, timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Bila reaksi menetap, reaksi tuberkulin dapat berlanjut menimbulkan kavitas atau granuloma.

2. Dermatitis kontak. Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respons terhadap bahan yang tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis kontak. Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal tet'adi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhats sebagai antigen presenling cell (APC), sel Thl dan makrofag memegang peranan pada reaksi tersebut.

3. Reaksi granuloma. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan hancurnya mikrooorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. Pada beberapa keadaan terjadi hal sebaliknya, antigen bahkan terlindung, misalnya telur skistosoma dan mikobakteriumyang ditutupi kapsul lipid. DTH laonis sering menimbulkan fibrosis sebagai hasil sekresi sitokin dan gro wth factor oleh makrofdg yang dapat menimbulkan granuloma. Reaksi granuloma merupakan reaksi tipe IV yang dianggap paling penting oleh karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi oleh karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik. Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi kehadiran antigen yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkulin merupakan respons imun selular yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi terhadap antigen mikroorganisme yang sama misalnya M tuberkulosis dan M lepra. Granuloma terjadi pula pada hipersensitivitas terhadap zerkonium sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talcum). Dalam hal ini makrofag tidak dapat memusnahkan benda inorganik tersebut. Granuloma nonimunologis dapat dibedakan dari yang imunologis oleh karena yang pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga berasal dari sel-sel makrofag. Sel-sel raksasa yang memiliki banyak nukleus disebut sel raksasa Langhans. Sel tersebut mempunyai beberapa nukleus yang tersebar di bagian perifer sel dan oleh karena itu diduga sel tersebut merupakan hasil diferensiasi terminal sel monosit / makrofag. Granuloma imunologik ditandai oleh inti yang terdiri atas sel epiteloid dan makrofag, kadang-kadang ditemukan sel

(12)

raksasa yang dikelilingi oleh ikatan limfosit. Di samping itu dapat ditemukan fibrosis (endapan serat kolagen) yang terjadi akibat proliferasi f,rbroblas dan peningkatan sintesis kolagen. Pada beberapa penyakit seperti tuberkolusis, di bagian sentral dapat ditemukan nekrosis dengan hilangnya struktur jaringan (Gambar 4 ).

Gambar 5. Pembentukan granuloma1

2.2 Imunopatofisiologi Hipersensivitas Tipe 1

Mekanisme dasar dari hipersensivitas tipe 1 adalah degranulasi sel mast tiba-tiba pelepasan mediator inflamasi, dipicu oleh antibodi spesifik kelas IgE. Ini adalah suatu contoh inflamasi akut, tetapi lebih dicetuskan oleh suatu kehadiran antigen tertentu bukan oleh cedera atau infeksi. Dengan pelepasan sistemik (anafilaksis), muncul bronkospasma, muntah, ruam kulit, edema hidung dan tenggorokan, kolaps vaskular, yang kadang fatal, sedagkan jika pelepasan hanya bersifat setempat, maka salah satu gejala ini akan mendominasi, tergantung pada lokasi paparan terhadap antigen. Hipersensivitas tipe 1 juga menjadi dasar dari sejumlah kasus asma, dimana pemicuan inflamasi lokal yang terus menerus menimbulkan hipersensivitas dinding paru dan mengakibatkan bronkokonstriksi berkepanjangan dan obstruksi saluran nafas.

(13)

Gambar 6. Patogenesis pada Hipersensivitas Tipe I1

Mekanisme dasar dari hipersensivitas adalah degranulasi sel mast tiba – tiba pelepasan mediator inflamasi, dipicu oleh antibodi spesifik kelas IgE. Ini adalah suatu contoh inflamasi akut, tetapi lebih dicetuskan oleh suatu kehadiran antigen tertentu bukan oleh cedera atau infeksi. Dengan pelepasan sistemik (anafilaksis), muncul bronkospasma, muntah, ruam kulit, edema hidung dan tenggorokan, kolaps vaskular, yang kadang fatal, sedagkan jika pelepasan hanya bersifat setempat, maka salah satu gejala ini akan mendominasi, tergantung pada lokasi paparan terhadap antigen. Hipersensivitas tipe 1 juga menjadi dasar dari sejumlah kasus asma, dimana pemicuan inflamasi lokal yang terus menerus menimbulkan hipersensivitas dinding paru dan mengakibatkan bronkokonstriksi berkepanjangan dan obstruksi saluran nafas. Antigen yang dapat memicu reaksi ini disebut ‘alergen’. Orang yang menderita alergi biasanya memiliki peningkatan kadar IgE dalam darah mereka dan disebut ‘atopik’, suatu ciri yng biasanya diwariskan.3 Reaksi hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan kejadian anafilaksis adalah sebagai berikut:

(14)

1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang menimbulkan reaksi.

3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.7

2.3 Etiologi Hipersensitivitas

Terdapat beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan. Secara umum penyebab anafilaksis dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Obat

• Antibiotik : penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide, kanamisin, dll.

• Kemoterapeutik : carboplatin and doxorubicin.

• Vaksin : difteri, morbili, parotitis, influenza, pertusis, rabies, tetanus, tipoid.

2. Makanan

Kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur, jamur, udang, ikan, kerang,

nasi.

Buah : nanas, mangga, nangka, apel, rambutan

3. Bisa/cairan binatang: serangga, ular, laba-laba, ubur-ubur, nyamuk.

4. Natural rubber latex (NRL): Dalam dunia kesehatan seperti masker, alat tensimeter, stetoskop, handschoen, kateterm tourniquets. Selain itu barang - barang yang mengandung NRL lain seperti, sarung tangan, kondom, dot bayi, balon, mainan, dan alat olahraga.

5. Faktor lisis : panas, dingin, getaran, cahaya, tekanan. 6. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani

(15)

7. Idiopatik

Gambar 7. Etiologi dari reaksi hipersensitifitas7 2.4 Faktor Risiko Hipersensitivitas

Faktor risiko terjadinya alergi antara lain usia, jenis kelamin, rute pajanan, maupun riwayat atopi. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada wanita dewasa (60%) yang umumnya terjadi pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak – anak usia dibawah 15 tahun. Rute pajanan parenteral biasanya menimbulkan reaksi yang lebih berat dibandingkan oral.4

Tabel 1. Faktor Risiko Hipersensitivitas

Riwayat Keluarga Respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk

sejak dini pada masa gestasi. Berbagai lokus genetik mempunyai asosiasi dengan penyakit alergi.

Allergic March Perjalanan alamiah penyakit alergi mengikuti kurve yan disebut dengan allergic march, dimana dermatitis atopic dan alergi makanan sering menjadi manifestasi klinis pertama penyakit atopi pada usia sekitar 6 bulan/tahun pertama dan dermatitis atopic ini akan menjadi asma atau riniti alergik di kemudian hari

Faktor Lingkungan Faktor lingkungan adalah factor yang cukup banyak

(16)

Terdapat banyak allergen yang dapat mencetuskan rekasi alergi.

Faktor Regulasi

Sitokin

Sel mast juga merupakan sumber dari bebrapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi. Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE

2.5 Diagnosis Hipersensitivitas

Untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi diawali dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.4

1. Anamnesis

Reaksi anafilaksis merupakan reaksi akut, sistemik yang melibatkan lebih dari satu sistem organ seperti kulit dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal yang dapat mengancam nyawa. Gambaran atau gejala klinik suatu alergi berbeda-beda gradasinya sesuai dengan tingkat sensivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Gejala pada alergi dapat dimulai dengan bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian dapat diikuti dengan sesak nafas. Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada alergi, salah satunya bias menimbulkan oedem. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini terpenting untuk diperhatikan sebab ini merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastroinstensinal berupa perut kram, mual, muntah sampai diare yang dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi. Disamping itu alergi ini juga dapat menimbulkan pusing.

Diagnosis anafilaksis berdasarkan kriteria Sampson HA adalah sebagai berikut 3

1) Onset akut (dalam hitungan menit sampai beberapa jam) dengan melibatkan jaringan kulit dan mukosa atau keduanya (pruritus generalisata, flushing sembab bibir, lidah dan ovula). Dan minimal salah satu yang berikut :

a. Keluhan sistem respirasi (sesak nafas, wheezing, stridor, hipoksemia). b. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia.

(17)

2) Dua atau lebih dari gejala gambaran klinis yang terjadi segera paska paparan a. Keterlibatan jaringan kulit dan mukosa, (pruritus generalisata, flushing

sembab bibir, lidah dan ovula)

b. Keterlibatan sistem respirasi (sesak nafas, wheezing, stridor, hipoksemia).

c. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia. d. Gejala gastrointestinal (mual, muntah, kram perut)

Penurunan tekanan darah segera paska paparan. Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan lebih dari 30% dari tekanan darah sebelumnya. Dimana apabila dari manifestasi klinis ditemukan gejala di luar dari kriteria tersebut maka digolongkan ke dalam reaksi hipersensitivitas akut.

2. Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak sesak, frekuensi nafas meningkat. Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa urtikasia dan eritema.5

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium hitung eosinophil darah tepi dapat normal ataupun meingkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit (skin prick test/SPT) untuk mencari faktor pencetus yang disebabkan allergen hirup dan makanan dapat dilakukan setelah pasiennya sehat.5

(18)

Pada reaksi hipersensitivitas akut penatalaksanaan yang dilakukan adalah : Evaluasi ABC-Airway, Breathing dan Circulation. Selanjutnya apabila ABC stabil kita dapat memberikan antihistamin dapat berupa dypenhhidramin 10 mg secara intramuskular, selanjutnya pasien dapat diobservasi selama 4 sampai 6 jam. Apabila keluhan pasien membaik pasien dapat dipulangkan dan diberi obat oral berupa ceterizine 1x1.

Gambar 8.

Algoritma Penanganan Syok Anafilaktik

Apabila keluhan pasien tidak membaik maka pasien dapat dirawat opname kemudian diberikan steroid dan diobservasi selama 4 jam apabila kondisi membaik maka pasien boleh dipulangkan. Sedangkan apabila keluhan belum kunjung hilang maka dicari tau apa penyebabnya, atau apabila terjadi syok anafilaktik maka dilakukan injeksi epinefrin dengan dosis 0,01 ml/kg/BB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali. Seandainnya kondisi semakin memburuk atau memang kondisinya sudah buruk, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler dan bisa dinaikan sampai 0,5

(19)

ml selama pasien diketahui tidak mengidap penyakit jantung Dosis maksimal epinefrin untuk orang dewasa adalah 0,5 miligram dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB dimana pemberian epinefrin harus dimonitor secara ketat pada pasien dengan gangguan jantung serta pasien geriatri.

Pencegahan terhadap paparan alergen merupakan penatalaksanaan terbaik. Untuk mengetahui secara pasti alergen yang berpotensi menyebabkan hipersensitivitas dapat dilakukan uji cukit (Skin Prick Test) agar dapat menghindari paparan alergen yang berpotensi tersebut.8

Pencegahan merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam tatalaksana reaksi anafilaksis. Pencegahan dapat berupa :8

1) Riwayat penyakit : apakah ada reaksi alergi sebelumnya. Pemberian antibiotic dan obat-obatan lainnya secara rasional (tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan cara pemberian, serta waspada efek samping). Pemberian oral lebih dianjurkan daripada parenteral.

2) Informed consent / persetujuan keluarga

3) Bila terjadi reaksi, berikan penjelasan dasar kepada pasien dan keluarga agar tidak terulangnya kejadian tersebut.

2.7 Reaksi Hiipersensitivitas Akibat Sengatan Tawon

Tawon merupakan serangga yang termasukke dalam ordo Hymenoptera dimana tawon memiliki alat perlindungan diri berupa sengat berisi toksin yang berada pada bagian belakang tubuhnya. Toksin tawon mengandung apamin, melitin, histamin, asetilkolin, 5-hidroksitriptamin, enzim, dan substansi serupa protein. Zat-zat ini bersifat anafilaktogenik, hemolitik, neurotoksik, antigenik, dan sitolitik. Apabila terjadi se3ngatan tawon maka akan terjadi reaksi lokal pada kulit yang biasanya berlangsung singkat. Reaksi normal akan menimbulkan nyeri, bengkak, dan kemerahan pada daerah sengatan. Kadang-kadang timbul reaksi lokal yang luas pada tempat sengatan, namun hal ini akan hilang dalam waktu 2 sampai 3 hari.

(20)

Gambar 9. Tawon dan sarangnya9

Pada reaksi hipersensitifitas tipe lambat ditandai dengan timbulnya lesi yang mengeras bila disertai papul yang persisten dan berkembang menjadi hiperpigmentasi, bahkan sering menimbulkan ekskoriasi dan krusta. Rasa gatal dapat ringan sampai berat, bersifat sementara atau menetap. Cekungan pada bagian sentral sering terlihat tetapi akan menghilang kemudian. Reaksi anafilaksis dimulai dalam beberapa detik atau beberapa menit setelah terjadinya sengatan. Gejala pada kulit berupa rasa gatal, kemerahan, urtikaria, dan angioedema. Gejala kardiovaskular berupa hipotensi disertai sinus takikardi atau bradikardi, yang menunjukkan tipe reaksi vasovagal.4,9

Gejala respirasi berupa bronkospasme (dengan mengi pada ekspirasi), edem laring (stridor inspirasi) atau timbulnya dispne dengan suara napas yang normal. Gejala sistim pencernaan berupa kaku pada usus, muntah dan diare (kadang-kadang berdarah), dan kaku pada uterus. Reaksi yang berat dapat disertai perasaan akan datangnya malapetaka dan syok. Akibat lanjut dari sengatan tawon dapat menimbulkan komplikasi ke berbagai organ. Dilaporkan adanya kasus neuropati optikus setelah mengalami sengatan tawon, ditandai dengan hilangnya kemampuan visual, perdarahan dan edem pada diskus optikus dan skotoma sentralis. Komplikasi sengatan tawon juga dapat mengenai organ ginjal dan hati. Dilaporkan terjadinya kasus gagal ginjal akut dan gangguan hati akibat sengatan

(21)

tawon, yang menyebabkan timbulnya hipotensi, hemolisis intravaskular, rhabdomyolisis sebagai akibat efek toksik dari bisa tawon.

Diagnosis alergi sengatan tawon ditegakkan berdasarkan timbulnya gejala dan tanda akibat alergi sengatan tawon disertai ditemukannya tawon sebagai penyebab. Pada daerah sengatan akan disertai timbulnya reaksi lokal dan dapat ditemukan alat sengat tawon pada kulit pasien.

Pada reaksi lokal diperhatikan apakah tawon meninggalkan sengatnya pada kulit pasien. Singkirkan sengat tersebut dengan menggunakan penjepit atau dengan kuku jari. Jangan lakukan penekanan pada sengat tersebut karena dapat mengakibatkan pelepasan bisa lebih banyak kedalam kulit. Untuk mengurangi rasa nyeri dan pembengkakan cukup digunakan kompres dingin, tetapi reaksi lokal yang luas membutuhkan pengobatan dengan antihistamin dan kortikosteroid (prednison). Jika terjadi reaksi anafilaksis, obat pilihannya adalah epinefrin dalam larutan 1:1000, diinjeksikan secara intramuskular atau subkutan dengan dosis 0.2- 0.5 ml atau 0.01 ml/kg berat badan. Pemberiannya dapat diulangi dalam 15 menit jika masih diperlukan. Pada reaksi berat yang persisten dapat digunakan infus intravena epinefrin (1:10.000) dengan dosis 0.1 ug/kg/menit dengan pemantauan jantung yang ketat untuk mempertahankan tekanan sistolik 80 mmHg. Jika hipotensi dan syok tidak respon terhadap epinefrin, harus diberikan cairan intravena dengan larutan garam isotonis (NaCl 0.9%) secara cepat (>100 ml/menit). Pasien diletakkan pada posisi Trandelenberg dengan meninggikan kedua kakinya. Timbulnya edema laring mungkin menyulitkan pemasangan selang endotrakeal maka diperlukantindakan bedah trakeostomi untuk mempertahankansaluran napas. Tindakan krikotirotomi diperlukan jika belum dapat dilakukan trakeostomi.Pada keadaan timbulnya obstruksi bronkus penanganannya sama seperti asma bronkial. Diberikan aminofilin 6 mg/kg berat badan dalam 20 ml dextrose 5% secara intravena dalam masa 10-15 menit sebagai dosis awal , dilanjutkan dengan 0.9 mg/kg/jam sebagai dosis pemeliharaan. Jika bronkospasme menetap diberikan bronkodilator β adrenergik secara nebulisasi. Jika terdapat tanda gagal napas dengan nilai PaCO2 >65 mmHg diperlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Pada reaksi tipe lambat yang terjadi kemudian cukup diberikan antihistamin oral seperti difenhidramin 1-2 mg/kg BB. Kombinasi antagonis H1 dan antagonis H2 seperti simetidin dengan dosis 4 mg/kgBB memberikan hasil yang lebih baik. Pengobatan topikal dengan krem kortikosteroid kurang efektif dan penggunaan antihistamin topikal dapat berpotensi timbulnya sensitisasi dan tidak berperan pada pengobatan alergi sengatan tawon Untuk pengobatan jangka panjang pada pasien dengan alergi

(22)

sengatan tawon dapat dilakukan pengobatan secara imunologis yang efektif untuk mencegah reaksi alergi akibat sengatan tawon.9

(23)

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : NIS

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan Tanggal Lahir : Denpasar, 26 Juni 1966

Umur : 50 tahun

Alamat : Jalan Tukad Pakerisan Gang V, Denpasar

Bangsa : Indonesia

Suku : Bali

Agama : Hindu

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Tanggal MRS : 24 Agustus 2016

3.2 ANAMNESIS

Keluhan utama : bengkak pada kelopak mata kanan Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dalam keadaan sadar ke RSUP Sanglah tanggal 24 Agustus 2016 dengan keluhan bengkak pada kelopak mata kanan. Bengkak dirasakan sejak 2 jam SMRS setelah tersengat tawon di rumah. Bengkak pada kelopak mata dirasakan tebal, panas, dan mengganggu lapang pandang. Saat itu pasien sedang sembahyang di pelinggih rumahnya dan tiba-tiba pasien disengat tawon sebelum sempat menghindar. Pasien mengatakan tersengat di dua lokasi yaitu di kelopak mata kanan bagian atas dan di belakang leher. Keluhan lainnya adalah pasien merasakan gatal dan bentol kemerahan yang terasa panas di sekujur tubuhnya yakni di bagian perut, wajah, kedua kaki dan tangan yang dirasakan beberapa menit setelah tersengat tawon. Pasien menyatakan hanya mengoleskan minyak

(24)

bokashi pada lokasi bengkak dan kemerahan di kulitnya, namun karena tidak kunjung membaik pasien memutuskan untuk datang ke UGD RSUP Sanglah. Keluhan lain seperti adanya sesak, mual, muntah, nyeri perut disangkal oleh pasien. Riwayat pingsan juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, dan ginjal disangkal oleh pasien. Adanya riwayat atopi seperti adanya rhinitis, asma, serta dermatitis disangkal. Untuk riwayat alergi obat disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan pernah memiliki keluhan yang sama sebelumnya yakni gatal-gatal di kulit serta bentol kemerahan setelah mengkonsumsi telor asin. Namun dulu pasien hanya membiarkan keluhannya dan mengoleskan minyak bokashi saja, dan gatal-gatal serta bentol kemerahan tersebut hilang setelah kurang lebih satu jam.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan di keluarganya tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, dan ginjal dalam keluarga disangkal oleh pasien. Untuk riwayat alergi terhadap obat dan makanan di keluarga pasien disangkal. Adanya riwayat atopi seperti adanya rhinitis, asma, serta dermatitis di keluarga pasien juga disangkal.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien adalah ibu rumah tangga yang sehari-harinya lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Pasien mengatakan dia sudah menyadari adanya sarang tawon di dekat pelinggih di halaman rumahnya. Pasien sudah sempat meminta suami pasien untuk membersihkan sarang tawon tersebut, namun suami pasien tidak juga membersihkan sarang tawon tersebut.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK Status Present

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

(25)

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 82x/menit, regular

RR : 20x/menit Suhu badan : 36,5oC Tinggi badan : 155 cm Berat badan : 58 kg BMI : 24,14 kg/m2 Status Generalis

Mata : anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema

palpebra +/-

THT : sekret -/- , hiperemis pada faring (-), Tonsil T1/T1

Leher : JVP PR+0 cmH2O , Pembesaran limfe (-), urtikaria (+)

Thorak

Cor Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V MCL S

Perkusi : batas kiri: ICS V MCL S

batas kanan: 1 cm PSL D batas atas : ICS II

Auskultasi : S1S2 tunggal reguler murmur (-)

Po Inspeksi : gerak pernapasan simetris statis dan dinamis,

retraksi (-) suprasternal, barrel chest (-)

Palpasi : Vokal fremitus N/N, nyeri tekan (-)

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : Vesikuler Ronki Wheezing

+ + + + + + - - - - - - - - - - - -

(26)

Abdomen Inspeksi : distensi (-), terdapat urtikaria (+)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar : tidak teraba

Lien : tidak teraba

Perkusi : timpani (+)

Ekstremitas: hangat edema sianosis

Terdapat urtikaria di sekujur ekstremitas. 3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tabel 3.1 Darah Lengkap ( 24 Agustus 2016 )

PARAMETER RESULTS REMARKS UNIT REFERENCE

WBC 6.60 103µL 4,10-11,00 % neut 60.70 % 47,00-80,00 % lymph 30.11 % 13,00-40,00 % mono 7.34 % 2,00-11,00 % eos 0.77 % 0,00-5,00 % baso 1.07 % 0,00-2,00 # neut 4.01 103µL 2,50-7,50 # lymph 1.99 103µL 1,00-4,00 # mono 0.48 103µL 0,10-1,20 # eos 0.05 103µL 0,00-0,50 # baso 0.07 103µL 0,00-0,10 + + + + - - - - - - - -

(27)

Tabel 3.2 Kimia Klinik (24 Agustus 2016 )

Parameter Hasil Satuan Remarks Nilai Rujukan

SGOT 15,80 U/L 11,00 - 33,00 SGPT 14,10 U/L 11,00 – 50,00 BUN 7,10 mg/dL Rendah 10,00 – 23,00 Creatinine 0,63 mg/dL 0,50 – 1,2 Random blood glucose 97,00 mg/dL 70,0 – 140,0

Natrium (Na) 136 mmol/L 136 - 145

Kalium (K) 3,89 mmol/L 3,50 – 5,10

3.5 DIAGNOSIS

Hipersensitivitas akut tipe I et causa gigitan tawon (insect bite)

RBC 4.79 106µL 4,50 – 5,90 HGB 14.98 g/dL 12,0-16,0 HCT 46.59 Tinggi % 36,00-46,00 MCV 97.24 fL 80,00-100,00 MCH 31.28 Pg 26,00-34,00 MCHC 32.16 g/dL 31,00-36,00 RDW 11.57 Rendah % 11,60-14,80 PLT 290.80 103µL 150,00-440,00 MPV 8.49 fL 6,80-10,00

(28)

3.6 PENATALAKSANAAN Rencana terapi :

 IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

 Methyprednisolone 62,5 mg intravena tiap 12 jam

 Dipenhydramin 10 mg intravena tiap 8 jam

Planning Diagnostic:

 Total IgE

Monitor:

 Keluhan (gatal dan bengkak)

 Vital Sign

(29)

BAB IV

KUNJUNGAN LAPANGAN

4.1 ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN

Kunjungan dilakukan pada hari Rabu, 31 Agustus 2016. Kami mendapat sambutan yang baik dari pasien dan keluarga. Adapun tujuan diadakannya kunjungan lapangan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien serta mengidentifikasi masalah yang terdapat pada pasien. Selain itu kunjungan lapangan ini juga memberikan edukasi tentang penyakit yang dialami pasien dimana diharapkan untuk di kemudian hari penyakit yang sama, yakni reaksi hipersensitivitas tidak terulang kembali. Pasien dalam kasus ini baru pertama kali terkena gigitan tawon. Untuk keluhan gatal-gatal dan kemerahan sebelumnya pernah juga dialami pasien yakni setelah mengkonsumsi telor asin. Namun gejala tersebut tidak selalu muncul setiap pasien mengkonsumsi telor asin, sehingga pasien masih mengkonsumsi telor asin meskipun jarang-jarang. Saat kami melakukan kunjungan, keluhan bengkak, kemerahan, dan gatal-gatal yang dialami pasien sudah tidak ada dan pasien sudah bisa melakukan aktivitas seperti semula.

4.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal menghadapi penyakitnya antara lain:

1. Pasien masih belum mengetahui bahwa gigitan serangga, khususnya disini sengatan tawon dapat berpotensi untuk menimbulkan kondisi emergency yakni berupa reaksi anafilaksis bahkan bisa sampai terjadi syok anafilaktik. Dan pasien mengira bahwa gejala berupa kemerahan, bengkak, gatal serta sensasi panas yang dirasakannya saat tersengat tawon tersebut tidak akan menjadi suatu kondisi yang serius sehingga pasien hanya melakukan pengobatan dengan mengoleskan minyak bokashi saja ke sekujur urtikaria yang terbentuk tersebut.

2. Pasien tidak mengetahui apa saja pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada kejadian gigitan serangga khususnya pada sengatan tawon.

3. Pasien tidak mengetahui bahwa kondisi terdahulu yang pernah dialami pasien yakni gatal-gatal dan kemerahan setelah mengkonsumsi telor asin tersebut merupakan suatu reaksi hipersensitivitas akut atau alergi.

(30)

4. Pasien merupakan warga yang tinggal di Indonesia, dimana kita ketahui bahhwa Indonesia merupakan negara tropis dimana terdapat berbagai jenis spesies serangga yang dapat hidup dan berkembang biak. Kejadian tersengat tawon memang dapat terjadi pada setiap orang. Pada kasus pasien, pasien memang telah menyadari adanya sarang tawon di pelinggih di pekarangan rumahnya, namun karena pasien tidak berani membersihkan sarangnya tersebut dan suaminya selalu menunda ketika diminta membersihkan pasien menjadi korban sengatan tawon tersebut.

4.3 ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN a. Kebutuhan fisik-biomedis

1. Kecukupan Gizi

Menurut pengakuan pasien, biasanya pasien makan 3 kali dalam sehari, sehingga nutrisi harian pasien dapat tercukupi dengan baik. Makanan disiapkan oleh pasien sendiri dengan menu nasi dan lauk pauk seperti tempe, tahu, sayuran, dan terkadang mengonsumsi daging babi, sapi, ikan, atau ayam. Pasien juga rutin mengkonsumsi buah-buahan dan terkadang meminum minuman probiotik. Pasien juga mengatakan suka mengemil dan makan snack. 2. Kegiatan fisik

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Kegiatan pasien sehari-harinya adalah mengurus cucu dari anak pertamanya yang masih berusia 1 tahun, memasak, membersihkan rumah, dan mebanten. Aktivitas pasien merupakan aktivitas yang sedang, tetapi pasien mengaku tidak pernah berolahraga karena pasien merasa takut jika terlalu lelah dan beraktivitas terlalu berat.

3. Akses ke tempat pelayanan kesehatan

Jarak dari rumah pasien ke RSUP Sanglah ± 1 km. Dimana jarak ini tergolong relatif dekat dan mudah untuk ditempuh. Akses dari rumah pasien menuju Puskesmas maupun Rumah Sakit Swasta yaitu RS BROS juga relatif dekat yaitu ± 2 km, selain itu terdapat pula klinik dokter umum yang berjarak + 500 meter namun hanya buka pada sore hari.

4. Lingkungan

Pasien tinggal di sebuah rumah yang beralamat di Jalan Pakerisan Gang V

Denpasar dengan luas tanah 2 are (200 m2) dan luas bangunan 1,75 are (175

m2). Pasien tinggal dengan suami, ketiga anaknya yang berusia 26 tahun, 24 tahun dan 19 tahun, sorang menantu yang berusia 23 tahun dan seorang cucu yang berusia 14 bulan dengan total penghuni sebanyak 7 orang. Terdapat halaman rumah yang relatif sangat kecil dimana sekaligus difungsikan untuk

(31)

parkir motor. Selain itu terdapat 1 buah ruang tamu yang menyatu dengan area terbuka sebagai teras rumah, 4 buah kamar tidur, 1 buah dapur, dan 1 buah kamar mandi. Rumah pasien terletak di tengah kota Denpasar, namun akses menuju ke rumah pasien cukup sulit karena terletak di sebuah gang yang tidak terlalu mudah diidentifikasi dari jalan Tukad Pakerisan yang merupakan jalan utama serta gang tersebut sangat sempit dan diameternya hanya cukup untuk dilewati satu buah sepeda motor. Dari segi lingkungan, lingkungan rumah pasien tergolong pemukiman yang sangat padat.

Untuk kondisi dalam rumah, secara keseluruhan terlihat rapi dan kebersihannya juga cukup. Area dalam rumah memiliki ventilasi dan sirkulasi udara di dalam rumah utama dan cukup memadai. Sumber masuknya cahaya matahari pagi dan sore ke dalam rumah memadai karena adanya ruang terbuka berupa teras. Rumah pasien beratapkan genteng dengan tembok batako semen yang diplester dan dicat. Plafon terbuat dari triplek kayu dan lantai dilapisi keramik.

Pasien tinggal di kamar tidur utama, secara keseluruhan kamar pasien terkesan rapi dan bersih. Untuk ventilasi dan sirkulasi didalam kamar cukup memadai karena terletak dekat dengan akses masuk ke dalam rumah dan terdapat jendela yang terbuka ke halaman rumah. Sinar matahari dapat masuk ke kamar tidur pasien. Pasien sering tidur di kamar bersama dengan suami. Tempat tidur pasien tampak bersih dan rapi.

Di rumah pasien juga terdapat satu buah dapur dan satu buah kamar mandi, dan tempat untuk menjemur baju yang terletak di area samping rumah. Dapur pasien relatif sempit dan terletak di bagia samping depan rumah. Dinding dan lantai dapur terbuat dari batako yang diplester dan dicat. Untuk kamar mandi cukup bersih dan rapi, dinding dan lantai kamar mandi terbuat dari batako yang diplester dan dicat. Kamar mandi tersebut terdiri dari satu jamban jongkok yang bersih,1 buah bak yang rutin dikuras, 1 buah keran pancuran dan saluran pembuangan limbah yang lancar. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk mandi, mencuci baju, air minum, dan keperluan memasak.

Halaman rumah pasien tergolong sangat sempit, ditambah lagi halaman rumah ikut difungsikan sebagai tempat parkir Kendaraan pribadi yaitu 3 buah sepeda motor sehingga halaman rumah pasien terkesan padat dan sumpek. Di halaman rumah juga terdapat satu buah pelinggih dan beberapa tanaman, namun di bagian pelinggih tampak berdebu dan terlihat jarang dibersihkan. Tempat pembuangan sampah diletakkan di pojok halaman rumah. Pasien tidak memelihara hewan peliharaan. Lingkungan rumah pasien berada di sebuah gang yang terbuat dari paving-paving. Diameter gang sangat sempit dan hanya

(32)

cukup untuk dilewati satu buah sepeda motor. Warga di sekitar rumah cukup ramah dan hubungan pasien dengan tetangga dikatakan baik.

b. Kebutuhan bio-psikosoial 1. Lingkungan biologis

Dalam lingkungan biologis atau keluarga pasien tidak terdapat riwayat alergi, ataupun adanya kondisi atopi seperti adanya penyakit asma, dermatitis, serta rhinitis. Adanya alergi makanan pada anggota keluarga pasien juga disangkal. Saat proses kunjungan, pasien mengatakan kondisi kesehatan dirinya dan keluarganya dalam keadaan baik. Jika terdapat anggota keluarga yang sakit, maka akan segera dibawa ke RSUP Sanglah karena RSUP Sanglah merupakan fasilitas kesehatan terdekat dari rumah pasien.

2. Faktor psikososial

Dari segi psikologis pasien mengaku tidak memiliki permasalahan yang dapat memicu terjadinya stres atau berpengaruh terhadap kesehatan. Dari segi sosial, keluarga pasien merupakan keluarga yang harmonis dimana saat ini pasien sedang menikmati kesehariannya sebagai seorang nenek dengan mengurus cucu semata wayangnya. Hubungan pasien dengan tetangga juga cukup dekat, dimana walaupun biasanya pada siang hari pasien hanya berada berdua di rumah dengan sang cucu pasien bisa emminta pertolongan kepada tetangga apabila terjadi suatu kondisi emergency.

3. Faktor spiritual

Pasien serta keluarga sangat menjunjung tinggi nilai keagamaan, sehingga pasien dan keluarga jauh dari pikiran– pikiran negatif.

(33)

BAB V SARAN

5.1 Usulan Penyelesaian Masalah

Berdasarkan masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami mengusulkan penyelesaian masalah yakni:

1. Mengedukasi pasien mengenai efek serta komplikasi yang dapat ditimbulkan dari gigitan serangga (insect bite) khususunya sengatan tawon. Disini pasien diedukasi bahwa sengatan tawon dapat menimbulkan masalah kesehatan mulai dari yang ringan sampai berat. Kondisi yang sebelumnya dialami pasien tergolong kondisi yang ringan karena berefek pada kulit dan mukosa saja. Pada kasus lain, sengatan tawon dapat berakibat pada terjadinya reaksi anafilaktik bahkan sampai terjadinya syok anafilatik yang dapat menyebabkan kematian. Dimana hal tersebut tergolong kepada kondisi alergi berat. Disini pasien diedukasi mengenai tanda-tanda terjadinya reaksi anafilaktik yaitu apabila terdapat manifestasi klinis berupa: pada saluran napas bisa terjadi sesak tiba-tiba, sulit bernafas dan detak jantung tiba-tiba meningkat, adanya keluhan pada saluran cerna seperti kesulitan menelan, mual muntah, serta diare serta manifestasi pada kulit berupa adanya gatal, bengkak, dan kemerahan. 2. Mengedukasi pasien mengenai pertolongan pertama yang dapat

dilakukan pada kondisi tersengat tawon. Pada kondisi tersengat tawon hal yang dapat dilakukan yakni mencabut sengatan itu dengan menggunakan benda-benda yang permukaannya pipih dan keras, misalnya dengan menjepit menggunakan dua kartu yang tipis. Hindari menekan-nekan bekas sengatan, sebab akan membuat racun sengatan menyebar ke tubuh. Selanjutnya cuci bagian yang tersengat dengan menggunakan sabun. Setelah itu berikan salep antibiotik. Hal lain yang bisa dilakukan yakni setelah sengatan berhasil dicabut, letakkan es batu di handuk kecil atau lap, lalu tempelkan pada kulit yang bengkak karena tersengat. Dan

(34)

berikan obat pereda nyeri seperti ibuprofen, parasetamol, atau aspirin. Selanjutnya dilakukan observasi apabila terdapat gejala yang mengarah ke alergi berat yaitu adanya reaksi anafilaktik agar segera ke fasilitas kesehatan terdekat.

3. Mengedukasi pasien bahwa pasien memiliki riwayat alergi dan berpotensi untuk memiliki alergi terhadap makanan lain. Pasien sebelumnya pernah gatal-gatal di sekujur tubuh setelah makan telor asin. Disini kami mengedukasi pasien bahwa pasien memiliki potensi alergi terhadap benda atau makanan lain dan tidak ada salahnya untuk melakukan tindakan preventif agar reaksi hipersensitivitas tersbut tidak terulang.

4. Mengedukasi pasien mengenai cara menjaga kebersihan lingkungan rumah agar kejadian serupa yakni sengatan tawon tidak terulang kembali. Dimana hal-hal yang dapat dilakukan adalah rajin membersihkan rumah dan memperhatikan apakah terdapat sarang tawon di rumah, apabila iya cara membersihkan sarang tawon adalah yang pertama yakni menggunakan alat perlindungan diri yang dapat menutupi seluruh permukaan tubuh yakni baju lengan panjang, sweater untuk menutupi leher, kacamata, tudung kepala, sepatu bot, dan sarung tangan. Selanjutnya untuk membersihkan sarang tawon tersebut dapat menggunakan pestisida, dimana lebih baik membasmi sarang tawon pada malam hari atau subuh karena waktu-waktu tersebut adalah periode dimana tawon tidak terlalu aktif. Selain menggunakan pestisida dapat juga menggunakan asap api (hanya untuk di area terbuka), menggunakan larutan air sabun cuci piring, atau dapat juga menggunakan vacuum cleaner. Dan yang paling penting adalah apabila merasa tidak yakin utnuk membersihkan sarang tawon tersebut sendiri pilihan memanggil jasa profesional dapat dipertimbangkan.

5.2 Saran

(35)

1. Menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan berupa skin prick test untuk mengetahui apakah pasien memiliki alergi lain. Mengingat sebelumnya pasien memiliki riwayat gatal-gatal dan kemerahan sesudah mengkonsumsi telor asin. Sehingga apabila pasien telah mengetahui agen-agen lain yang dapat menjadi pemicu alergi pada tubuhnya, pasien dapat menghindari agen kausatif tersebut.

2. Menyarankan pasien untuk senantiasa menjaga kebersihan rumah. Dan menyarankan apabila melakukan pekerjaan seperti berkebun untuk menggunakan alat perlindungan diri seperti topi dan sarung tangan untuk menghindari gigitan serangga.

(36)

DAFTAR PUSTAKA

1. Simons FER et al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and Management of Anaphylaxis. WAO Journal. 2011.

2. Lieberman P, et al. Epidiemology and diagnosis: An update practice parameter. J Allergy Clin Immunol. 2012; 115:S483-523.

3. Simons FER. Anaphylaxis pathogenesis and treatment. Allergy 2011; 66 (Suppl. 95): 31–34.

4. Simons FER, et.al.2012 Update:World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and Management of Anaphylaxis. WAO Journal 2011; 4:13-37

5. Baratawidjaya KB. Hipersensivitas Tipe I. Imunologidasar. Edisike – 6. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI; 2004. p. 1-31.

6. Baratawidjaya KB. Reaksi hipersensivitas. Imunologi dasar. Edisike – 6. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI;2004. p.73-90

7. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Dasar edisi ke – 1. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. h. 457-95.

8. Markum H.M.S, editor. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005.

9. Faisal, H.M, Loebis Sjabaroeddin. Peran Imunoterapi pada Alergi Sengatan Lebah. Sari Pediatri 2004; 6(3): 104-109

Gambar

Gambar 1.  Tipe I: Alergen IgE, sel mast, mediator 1
Gambar  2.  Tipe  II:  IgM,  IgG  terhadap  permukaan  sel  atau  antigen  matriks  ekstraseluler 1
Gambar 3.  Tipe III: Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan  IgM atau IgG3 yang diendapkan dalam membran basal seluler 1
Gambar 5.  Pembentukan granuloma 1
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari pengujian Eksperimental perbandingan variasi sengkang miring terhadap kuat geser balok beton bertulang, berdasarkan analisa dan pembahasan pada Bab IV dapat

Nilai potensial korosi logam yang telah dilapisi pada umumnya pada angka -320 mV, tetapi pada waktu pelapisan 30 menit diperoleh nilai potensial korosi yang paling

Dari histogram di atas (Gambar 2) dapat dilihat bahwa Dicranaceae merupakan suku yang dapat ditemukan pada semua lokasi penelitian meskipun kondisi lingkungannya sangat

Keuntungan proses kempa langsung yaitu lebih ekonomis, prosesnya singkat, tenaga dan mesin yang digunakan sedikit, dapat digunakan untuk zat aktif yang tidak tahan panas dan

Bilangan bulat kurang dari 10 harus ditulis dengan huruf, sedangkan untuk bilangan sepuluh atau lebih ditulis dengan angka kecuali penulisan bilangan pada nomor

purposive dari tiga dusun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara

Dengan menggunakan hukum II Newton. Ini adalah besar gaya normal benda yang diletakkan pada bidang miring. Jika massa balok 18 kg dan percepatan 3 m/s 2 maka gaya gesekan yang