R E V I E W
ABSTRAK
Ditinjau dari nilai gizi dan ketersediaan bahan baku, ubijalar potensial sebagai bahan diversifikasi pangan lokal. Keberadaan beta karoten sebagai provitamin A, antosianin dan fenol sebagai antioksidan, serat pangan, dan indeks glikemiknya yang relatif rendah juga merupakan nilai tambah ubijalar sebagai pangan fungsional. Namun pemanfaatannya masih terbatas pada makanan tradisional sehingga citranya seringkali dianggap rendah (inferior). Untuk mendukung percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal (P2KP), telah dikembangkan beragam produk olahan ubijalar dari umbi segar, pasta, tepung maupun pati, diantaranya keripik, stik, jajanan basah, selai, saos, cake, kue kering, rerotian, mie, dan jus dengan proporsi ubijalar 10 - 100 persen. Untuk menjamin pasokan bahan baku, diperlukan varietas unggul ubijalar berpotensi hasil tinggi (> 25 t/ha) dan sesuai pemanfaatannya untuk produk pangan tertentu serta teknik budidaya yang tepat. Varietas Sukuh, Shiroyutaka, dan Jago sesuai untuk bahan baku tepung dan pati; Cangkuang, Sari, Kidal, Papua Pattipi, Papua Solossa untuk umbi kukus; Beta 1 dan Beta 2 kaya beta karoten; Antin 1 (putih keunguan) sesuai untuk keripik dan calon varietas Antin 2 dan Antin 3 kaya antosianin. Pengembangan agroindustri ubijalar ke depan cukup prospektif seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan makanan sehat dan adanya dukungan kebijakan untuk mengurangi impor pangan dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pangan lokal.
kata kunci: ubijalar, nilai gizi, kesehatan, diversifikasi olahan, varietas unggul.
ABSTRACT
Sweet potato is potentially used as an ingredient for local food diversification with respect to its nutrient
value and availability. The presence of beta carotene as provitamin A, anthocyanins and phenolic compounds
as antioxidants, dietary fiber, and relatively low glycemic index, give added value of sweet potato as functional
food. However, its utilization is limited to traditional foods, which are frequently assumed to be inferior. In
terms of diversification of local food-based consumption, a number of products derived from fresh tuber, paste, flour, and starch have been developed, including chips, stick, snacks, ketchup, jam, cake, cookies,
bread and bakery products, noodle, and juice with a proportion of 10-100 percent. In order to guarantee fresh tuber supply, high yielding improved varieties and appropriate cultivation technologies is required.
Sukuh, Shiroyutaka, and Jago varieties are tailored for flour and starch purposes, while Cangkuang, Sari,
Kidal, and Papua Pattipi, Papua Solossa are suitable for steamed tubers. Beta 1 and Beta 2 are rich in beta carotene; Antin 1 (white purplish) is preferred for deep-fried chips, whereas Antin 2 and Antin 3 (to be released) contain high anthocyanins. The development of sweet potato-based agro industry is promising along with the increase needs of healthy foods and supported government policy to reduce imported foods through the optimal utilization of local food.
keyword : sweet potato, nutrient, health benefit, product diversification, improved variety.
Ubijalar Sebagai Bahan Diversifikasi Pangan Lokal
Sweet Potatoes as Ingredients of Local Food Diversification
Erliana Ginting, Rahmi Yulifianti, dan M. Jusuf
EBalai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
PO Box 66 Malang 65101; Telp. 61-0341801468; Fax 61-0341801496; e-mail : [email protected]; [email protected]
Diterima : 28 Pebruari 2014 Revisi : 17 Juni 2014 Disetujui : 26 Juni 2014
I. PENDAHULUAN
Diversifikasi pangan merupakan salah satu
pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan menuju kemandirian dan kedaulatan
pangan (Nugrayasa, 2013). Oleh karena
itu, Kementerian Pertanian menempatkan
diversifikasi pangan sebagai program sukses
kedua setelah swasembada pangan dan swasembada berkelanjutan. Program ini juga diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis
Sumber Daya Lokal (P2KP). Tujuan utama diversifikasi pangan adalah mengurangi tingkat
ketergantungan yang tinggi terhadap beras dan terigu yang konsumsinya telah mencapai
139 kg/kapita/tahun dan 17 kg/kapita/tahun (Astono, 2013) dengan meningkatkan konsumsi dan produksi bahan pangan lokal. Diversifikasi
pangan akan memberi nilai manfaat yang tinggi bila mampu menggali, mengembangkan, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber
pangan lokal dan kearifan lokal (Sutrisno dan Edris, 2009).
Umbi-umbian sebagai bagian dari kekayaan hayati Indonesia merupakan bahan pangan lokal yang perlu dilestarikan budidaya dan pemanfaatannya. Namun sejauh ini, konsumsi umbi-umbian baru mencapai 40 g/kapita/hari atau sekitar 6 persen dari konsumsi ideal yang ditetapkan sebesar 100 g/kapita/hari pada
Pola Pangan Harapan (PPH) (Ariani, 2010),
bahkan cenderung mengalami penurunan. Pada saat ini kelompok padi-padian masih mendominasi, sehingga konsumsi umbi-umbian perlu didorong dan ditingkatkan agar skor PPH
yang baru mencapai 75,5 pada tahun 2012 dapat memenuhi target skor 93,3 pada tahun 2014 dan 100 pada tahun 2020 (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2013).
Ubijalar (Ipomoea batatas L.) telah cukup
lama dikenal dan dibudidayakan oleh petani Indonesia, bahkan di Papua dikonsumsi sebagai makanan pokok. Ditinjau dari nilai gizinya, ubijalar cukup memadai sebagai sumber karbohidrat, mineral, vitamin, dan serat pangan serta memiliki indeks glikemik rendah sampai medium. Keberadaan pigmen warna kuning/ jingga dan ungu serta kandungan senyawa fenol yang berkhasiat bagi kesehatan karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, juga menempatkan posisi penting ubijalar sebagai
pangan fungsional (Ginting, dkk., 2011). Dari
total produksi ubijalar sebesar 2,2 juta ton (BPS, 2012), sekitar 78,8 persen dimanfaatkan untuk
bahan pangan dengan tingkat ketersediaan
konsumsi 6,8 kg/kapita/tahun (FAOSTAT, 2009).
Namun pemanfaatannya masih terbatas pada bahan baku saos dan makanan tradisional, seperti ubi rebus/goreng, kolak, getuk, timus, dan kripik, sehingga citranya seringkali dianggap
rendah (inferior). Oleh karena itu, pemanfaatan
dan konsumsi ubijalar perlu ditingkatkan melalui introduksi beragam produk olahan yang menarik, bergizi, dan memiliki nilai tambah dengan teknologi yang sederhana.
Upaya diversifikasi pengolahan ubijalar
dapat dilakukan melalui pemanfaatan umbi segar, pasta, tepung dan pati. Produk tersebut, antara lain keripik, stik, beragam kue basah dan jajanan, selai, saos, cake, kue kering, rerotian, mie, dan jus dengan proporsi penggunaan
ubijalar 10 - 100 persen (Ginting, dkk., 2012a),
sehingga berpeluang untuk mensubstitusi sebagian penggunaan tepung terigu, beras dan ketan. Volume impor gandum pada tahun 2012 telah mencapai 6,2 juta ton atau setara dengan
US$ 2,2 miliar dan terigu sebesar 479.682 ton senilai US$ 188,8 juta (Teresia, 2013). Proporsi
penggunaan terigu terbesar adalah untuk bahan
baku mie basah dan kering (30 persen), sedang sisanya untuk mie instan (25 persen), cake
dan bakery (20 persen), snacks dan biskuit (15
persen), konsumsi rumah tangga (5 persen) dan konsumsi gorengan 5 persen (Welirang, 2002
dalam Gafar, 2010).
Diversifikasi pengolahan ubijalar
memerlukan pasokan bahan baku yang memadai dan lumintu. Peningkatan produksi ubijalar dapat diupayakan melalui penggunaan varietas unggul dengan teknik budidaya yang tepat. Sejumlah varietas unggul dengan warna
daging umbi berbeda (putih, kuning, jingga, dan ungu) telah dilepas dengan potensi hasil > 25 t/ha (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2012) dan dapat
dimanfaatkan sesuai dengan jenis produk yang diinginkan. Makalah ini membahas nilai gizi ubijalar dan potensinya untuk diolah menjadi beragam produk pangan serta ketersediaan varietas unggul ubijalar sebagai pendukung peningkatan produksi untuk penyediaan bahan baku.
II. NILAI GIZI DAN KHASIAT UBIJALAR BAGI KESEHATAN
Ubijalar kaya akan karbohidrat, mineral, dan vitamin, namun miskin akan protein dan
lemak (Tabel 1 dan 2), sehingga konsumsinya
perlu didampingi oleh bahan pangan lain yang berprotein tinggi, seperti kacang-kacangan. Sebagai sumber karbohidrat, ubijalar memberi
setara dengan ubikayu, garut, talas, kentang,
nasi maupun mie rebus (Tabel 2). Kadar abu
yang merepresentasikan kandungan mineral
ubijalar cukup tinggi (Tabel 1) dengan komponen
utama kalium (K) sebesar 342 - 488 mg/100
g bb, diikuti oleh P, Ca, Na dan Mg (Woolfe, 1992). Kandungan vitamin C ubijalar juga cukup
memadai bila dikaitkan dengan kebutuhan harian orang dewasa 60 - 100 mg/hari.
Ubijalar juga kaya akan serat pangan,
yakni 2,3 - 3,9 g/100 g bb pada ubijalar ungu
dan 2,3 - 3,3 g/100 g bb pada ubijalar kuning/
putih (Huang, dkk., 1999) yang bermanfaat bagi
kesehatan. Kandungan pektin (serat pangan larut air) minimal 1 persen dari berat umbi segar dan berbeda antar varietas ubijalar (Reddy dan Sistrunk, 1980 dalam Woolfe, 1992).
Pektin dapat meningkatkan keasaman karena mudah terfermentasi oleh bakteri baik di dalam
usus besar (kolon), sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri merugikan, seperti E. coli
dan S. faecalis sekaligus mencegah terjadinya
kanker kolon (Silalahi, 2006; Lattimer dan Haub, 2010; Chaplin, 2014). Di dalam usus halus, pektin dapat menghambat/memperlambat absorpsi gula dan asam lemak karena kemampuannya membentuk gel yang bersifat viskos, sehingga menurunkan kadar gula dan lemak di dalam
darah (Fuse, dkk., 1989; EFSA Panel on NDA, 2010). Pektin juga dapat mengikat kelebihan
asam empedu yang akan direabsorpsi oleh kolon. Hal ini memacu metabolisme kolesterol di dalam hati untuk membentuk asam empedu baru sehingga menurunkan kadar kolesterol di dalam
darah (EFSA Panel on NDA, 2010; Chaplin, 2014). Sellulosa dan hemisellulosa (serat
pangan tidak larut air) mempunyai kemampuan
mengikat air dan memperbesar volume fases sehinga dapat mencegah terjadinya sembelit
pada kolon (Silalahi, 2006).
Ubijalar sebagai sumber karbohidrat
memiliki indeks glikemik (IG) 54 - 68, lebih
rendah bila dibandingkan dengan beras amilosa
rendah (91 - 105), roti tawar putih (75) dan
kentang panggang (73 - 97), namun sedikit lebih tinggi daripada ubikayu rebus (46) (Ginting,
dkk., 2011). Indeks Glikemik menggambarkan
efek konsumsi bahan pangan dalam menaikkan kadar gula darah dan tergolong rendah bila
nilainya < 55, sedang 55 - 70 dan tinggi > 70 (Mendoza 2008 dalam Ginting, dkk., 2011).
Pangan dengan nilai IG rendah sesuai untuk penderita diabetes dan obesitas.
Beta karoten merupakan komponen utama
karotenoid pada ubijalar (86 - 90 persen), yakni
senyawa yang menyebabkan daging umbi berwarna kuning hingga jingga. Kandungan beta karoten berkorelasi positif dengan intensitas
warna kuning dan jingga umbi (Simonne,
dkk., 1993; Ginting, dkk., 2008; Ginting, dkk.,
2013). Ubijalar jingga mengandung beta
karoten 3.000 - 20.000 mg/100 g, lebih tinggi
daripada labu kuning (1.500 mg/100 g), dan setara dengan wortel (7.000-12.000 mg/100 g) (Woolfe, 1992). Beta karoten memiliki aktivitas vitamin A (provitamin A) tertinggi (100 persen) diantara karotenoid lainnya (Woolfe, 1992).
Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan pada penglihatan, seperti rabun senja, xerophthalmia (selaput lendir dan kornea
mata kering) hingga kebutaan permanen /
Tabel 1.Kandungan Gizi Ubijalar Segar Berdasarkan Warna Daging Umbi
Kandungan Gizi Ubijalar Putih Ubijalar Kuning Ubijalar Ungu
Pati (persen) 28,79 24,47 22, 64
Gula reduksi (persen) 0,32 0,11 0,30
Lemak (persen) 0,77 0,68 0,94
Protein (persen) 0,89 0,49 0,77
Air (persen) 62,24 68,78 70,46
Abu (persen) 0,93 0,99 0,84
Serat (persen) 2,79 2,79 3,00
Vitamin C (mg/100 g) 28,68 25,00 21,43
Vitamin A (SI) a 60,00 9.000,00
-Antosianin (mg/100 g) - - 110,51
keratomalacia dan terganggunya pertumbuhan
(Gopalan, 1992). Indonesia telah dinyatakan bebas xerophtahalmia pada tahun 1992, namun
sekitar 50 persen anak balita mempunyai serum retinol < 2 mg/100 ml (Kompas, 2006),
sehingga sangat beresiko terhadap defisiensi vitamin A. Penanggulangan defisiensi vitamin A
melalui konsumsi ubijalar jingga telah berhasil
dilakukan di Kenya (Hagenimana, dkk., 1998)
dan Afrika Selatan (van Jaarsveld, dkk., 2005).
Beta karoten juga memiliki kemampuan untuk
menangkap radikal bebas (Hongmin, dkk.,
1996), sehingga dapat memberi pencegahan
terhadap kanker, penuaan dini, penurunan kekebalan, penyakit jantung, stroke, katarak, sengatan cahaya matahari dan gangguan otot
(Mayne, 1996).
Antosianin, yakni pigmen yang terdapat pada ubijalar ungu memiliki kemampuan yang
tinggi sebagai antioksidan dan penangkap
radikal bebas (Oki, dkk., 2002; Kano, dkk.,
2005), lebih tinggi dibandingkan biji kedelai
hitam, beras hitam dan terong ungu (Suda, dkk.,
2003), sehingga berperan dalam mencegah
terjadinya penuaan, kanker dan penyakit - penyakit degeneratif, seperti aterosklerosis
(Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2002; Steed dan Truong, 2008; Lim, dkk., 2013). Selain itu, antosianin juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik
(Yamakawa dan Yoshimoto, 2002), mencegah
gangguan pada fungsi hati, antihipertensi dan
antihiperglisemik (Suda, dkk., 2003; Kobayashi, dkk., 2005). Kadar antosianin ubijalar bervariasi, tergantung pada intensitas warna ungu umbi
(Ginting dan Utomo, 2011) dan dapat mencapai 200 mg/100 g bb (Woolfe, 1992) hingga 211 - 243 mg/100g bb pada ubijalar ungu asal Peru
(Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos,
Tabel 2. Komposisi Kimia Umbi Ubijalar dan Beberapa Bahan Pangan Lainnya Per 100 g
Bahan pangan Kadar air
(persen) Energi(Kal) Protein(g) Lemak(g)
2002). Kadar antosianin ini tidak kalah bila dibandingkan dengan blueberry dan blackberry
(Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2002)
dan bersifat lebih stabil terhadap panas dan
radiasi ultraviolet (Suda, dkk., 2003), sehingga
dapat digunakan sebagai pewarna alami
(Wrolstad, 2004).
Senyawa fenol berperan penting dalam menentukan tingginya aktivitas antioksidan
ubijalar bersama-sama dengan antosianin (Oki,
dkk., 2002). Kandungan fenol ubi jalar ungu 4,9
- 6,7 lebih tinggi dibandingkan ubijalar kuning dan putih (Yashimoto, dkk., 1999) serta 2,5 - 3,2
lebih tinggi daripada blueberry (Cevallos-Casals
dan Cisneros-Zevallos, 2004). Bentuk ester
fenol yang menyusun sebagian besar ubijalar adalah asam klorogenat dan asam isokloregenat
(Woolfe, 1992). Kandungan senyawa fenol
tujuh varietas ubijalar ungu asal Amerika Serikat berkisar antara 14 - 51 mg setara asam
klorogenat/100 g bb (Teow, dkk., 2007). Namun
Rumbaoa, dkk., (2009) dan Cevallos-Casals
dan Cisneros-Zevallos (2002) melaporkan
angka yang lebih tinggi, yakni 50,1 - 362,8 mg setara asam galat /100 g bb pada lima ubijalar
ungu asal Filipina dan 838 - 945 mg setara asam
galat/100 g bb pada ubijalar ungu asal Peru. Semua gambaran di atas menunjukkan peran penting nilai gizi ubijalar dan manfaat komponen bioaktifnya bagi kesehatan.
III. PRODUK OLAHAN UBIJALAR
Diversifikasi pengolahan dengan bahan
baku ubijalar dapat dilakukan melalui umbi
segar, pasta, maupun bahan antara (tepung dan pati) yang perlu diolah lebih lanjut menjadi
produk makanan siap santap.
3.1. Produk Olahan dari Ubijalar Segar
3.1.1. Ubi Kukus/Goreng
Ubi rebus/kukus dan goreng merupakan produk olahan ubijalar yang paling umum dikenal masyarakat. Ubijalar putih, kuning, dan ungu
memiliki kadar air relatif lebih rendah (keset) dan
tekstur lebih mempur dibandingkan ubijalar jingga
yang cenderung lembek dan berair (Ginting,
dkk., 2008), sehingga sesuai untuk produk yang
dikukus maupun digoreng. Namun untuk ubijalar ungu, ubi kukus lebih baik daripada ubi rebus karena sebagian antosianin akan hilang/larut di dalam air rebusan.
3.1.2. Keripik
Ubijalar dengan warna umbi menarik, tekstur keset dan mempur serta tidak berserat, sesuai untuk bahan baku keripik, seperti
varietas Antin 1 (putih keunguan/putih sembur
ungu). Irisan umbi direndam sekitar 10 menit
dalam larutan soda kue untuk meningkatkan kerenyahannya. Penggorengan dengan vacuum
frying pada suhu 135oC selama 10 menit dapat
menghasilkan warna keripik yang lebih cerah dibandingkan dengan penggorengan biasa.
3.1.3. Stik Ubijalar
Stik ubijalar yang produknya mirip dengan
stik kentang (French fries) menghendaki
produk yang renyah bila digoreng, tidak mudah melempem dan rasanya gurih. Ubijalar putih, kuning, maupun ungu dapat diolah menjadi stik. Proses pembuatannya, meliputi pencucian umbi, pengupasan, perendaman dalam air, perajangan membentuk stik, blanching (perebusan 7,5 - 10
menit), penirisan, perendaman dalam air yang diberi bumbu (garam dan bawang putih) dan soda kue (10 - 15 menit), penggorengan, dan penirisan minyak (Suprapto, 2004).
3.1.4. Pasta Ubijalar
Pasta ubijalar adalah umbi kukus yang dihaluskan/digiling dan selanjutnya dapat diolah menjadi beragam produk makanan, diantaranya:
Pertama, Jus Ubijalar, jus ubijalar belum dikembangkan di Indonesia, tetapi cukup dikenal
di Filipina, Thailand (Ginting, dkk., 2006) dan Jepang (Suda, dkk., 2003). Jus dibuat dengan
cara mencampur pasta ubijalar yang berwarna ungu kemerahan atau jingga dengan air es, gula, dan asam sitrat. Untuk mendapatkan aroma buah-buahan, pasta dapat dicampur dengan
buah yang berwarna ungu (anggur) atau kuning (jeruk dan nanas).
Kedua, Saos dan Selai Ubijalar, proporsi pasta ubijalar dalam pembuatan saos 60 - 100 persen dengan penambahan asam cuka dan pewarna makanan. Saos dari ubijalar berukuran
kecil (tidak memiliki nilai jual), ternyata sama
kualitasnya dengan yang berasal dari ubijalar
berukuran besar (Ginting, dkk., 2007). Selain
ubijalar putih dan kuning muda/krem, ubijalar ungu juga dapat digunakan untuk saos karena antosianin akan berubah warna menjadi merah
Selai ubijalar diolah dari campuran 50 persen pasta ubijalar dengan 50 persen bubur
buah-buahan (Ginting, dkk., 2012a). Ubijalar
ungu dapat dicampur dengan anggur atau buah naga merah, sementara yang dagingnya kuning dicampur dengan nanas dan yang berwarna jingga dengan mangga. Pektin komersial perlu ditambahkan agar tektur selai kokoh dan pH selai sebaiknya 3 - 3,5 agar terbentuk gel yang
baik dan selai lebih awet disimpan (Ginting, dkk.,
2007).
Ketiga, Mie Ubijalar, mie dari pasta ubijalar
dapat mensubstitusi 40 persen terigu (Utomo dan Yulifianti, 2012), lebih tinggi daripada tepung ubijalar (20 persen) (Ginting, dkk., 2006). Proses
pengolahan mie, meliputi pencampuran pasta dengan telur, garam dan bumbu, dibuat adonan kemudian dicetak menggunakan gilingan mie. Selanjutnya direbus/dikukus sebentar untuk mendapatkan mie basah dan dikeringkan dengan oven untuk mendapatkan mie kering. Warna mie ubijalar cukup menarik, terutama yang berasal dari ubijalar jingga dan ungu.
Keempat, Es Krim Ubijalar, pada
pembuatan es krim, pasta ubijalar ungu (50 persen) dicampur dengan bahan pembuat es
krim komersial, susu dan air sehingga terbentuk warna ungu alami. Selanjutnya dimasukkan ke dalam kemasan dan disimpan dalam freezer
minimal 24 jam. Es krim ubijalar ungu ini sangat diminati, terutama oleh anak-anak, sehingga
merupakan sarana yang baik untuk konsumsi ubijalar pada golongan usia tersebut.
Kelima, Kue Basah/Jajanan, beragam kue basah/jajanan dapat diolah dari pasta ubijalar, baik yang kuning, orange maupun ungu, diantaranya bakpao, kue mangkok, onde-onde, bolu gulung, puding, pukis, lumpur, terang bulan, waffel, muffin dan stik dengan tingkat substitusi tepung terigu/tepung ketan yang beragam
(30 - 80 persen) (Ginting, dkk., 2012a). Selain
warna yang menarik, tekstur yang cenderung empuk, membuat produk-produk olahan ini cukup disukai dan berpeluang mengurangi penggunaan terigu.
3.2. Produk antara Ubijalar dan Produk Olahannya
3.2.1. Tepung Ubijalar
Produk antara, seperti tepung ubijalar relatif lebih awet dan ringkas untuk disimpan
serta fleksibel pemanfaatannya untuk beragam
produk berbahan baku tepung terigu, beras atau ketan. Untuk produk olahan tepung yang berwarna cerah, seperti kue kering, cake, dan roti, sebaiknya menggunakan bahan baku ubijalar putih atau kuning muda. Sementara ubijalar kuning, orange, dan ungu sesuai untuk produk olahan tepung yang berwarna gelap, seperti kue kering dan cake coklat, brownies dan dodol. Proses pengolahan tepung ubijalar disajikan pada Gambar 1. Untuk mencegah
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Ubijalar.
terbentuknya warna gelap karena aktivitas enzim polifenol oksidase, sawut ubijalar direndam
dalam larutan natrium bisulfit, kemudian dibilas. Residu sulfit relatif kecil (11,4 ppm) bila
dibandingkan dengan batas maksimal yang diijinkan untuk bahan pangan, yakni 200 ppm
(Kusumawardani, 2008). Rendemen tepung ubijalar berkisar antara 18 - 30 persen (Antarlina dan Jusuf, 2001; Kusumawardani, 2008) dan
tahan disimpan sampai 6 bulan.
Untuk kue kering (cookies), jajanan basah
dan cake, tepung ubijalar dapat mensubstitusi terigu 50 - 100 persen. Khusus untuk brownies, penggunaan tepung ubijalar ungu sekitar 50
persen (Ginting, dkk., 2012a). Sementara untuk
bahan baku roti tawar dan mie kering, tingkat substitusinya hanya 10 persen dan 20 persen
(Ginting, dkk,. 2006; Ali dan Ayu, 2009) karena
ubijalar tidak mengandung gluten seperti pada terigu yang sifatnya mudah mengembang dan elastis. Tepung ubijalar ungu dapat mensubstitusi 50 persen tepung ketan pada pembuatan jenang dan 15 persen bahan es krim komersial pada
pembuatan es krim (Ginting, dkk., 2012a).
Tepung ubijalar juga baik untuk bahan campuran tepung serealia dan kacang-kacangan sebagai makanan balita pendamping ASI. Oligosakarida
penyebab flatulensi (kembung) pada ubijalar (Palmer, 1982), sebagian besar akan hilang
selama proses perendaman dan penyangraian tepung sebelum digunakan untuk campuran makanan balita.
3.2.2. Kubus dan Granula Instan
Semua jenis ubijalar dapat diolah menjadi kubus dan granula instan, namun umbi dengan
kadar air tinggi (biasanya yang berwarna jingga)
akan memberikan rendemen lebih kecil setelah dikeringkan. Pengolahan kubus instan, meliputi pengupasan umbi, pencucian, pemotongan berbentuk kubus kecil, pengukusan, pengeringan dan pengemasan. Granula instan dibuat dengan cara menghaluskan umbi kukus, dicetak dengan gilingan daging dan dipotong-potong kecil lalu
dikeringkan (Utomo dan Antarlina, 2002). Kubus
dan granula instan dapat dikonsumsi setelah direndam dalam air dan dikukus kembali 10 - 15 menit. Kedua produk ini dapat disimpan sebagai cadangan makanan dan digiling menjadi tepung untuk substitusi terigu pada pembuatan roti manis dan donat masing-masing 20 persen
dan 25 - 40 persen (Ginting, dkk., 2006) dan 10
persen pada roti tawar (Utomo dan Antarlina, 2002) serta makanan pendamping ASI untuk balita (efek flatulensi sebagian besar hilang karena pengukusan).
3.2.3. Pati Ubijalar
Industri pati ubijalar di Indonesia belum
berkembang dibandingkan dengan di Cina,
Korea, Taiwan dan Jepang yang terutama digunakan untuk bahan baku suun. Ubijalar yang memiliki warna daging umbi putih, sesuai untuk bahan baku pati. Proses pengolahan pati ubijalar, meliputi: pencucian umbi, pemarutan,
perendaman dalam natrium bisulfit 0,1 persen (15 menit), pemerasan (2 kali), pengendapan, pencucian (2 kali), pengeringan, penggilingan dan pengayakan (100 mesh) dengan variasi rendemen 14,1 - 19,5 persen (Ginting, dkk.,
2005). Pada pembuatan roti tawar dan roti
manis, pati ubijalar dapat mensubstitusi terigu
sampai 25 persen dan 40 persen (Ginting dan Suprapto, 2005), lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ubijalar (10 persen).
IV. VARIETAS UNGGUL UBIJALAR MEN-DUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN
Antara tahun 1998 - 2013, telah dilepas 15
varietas unggul ubijalar dengan warna daging umbi yang bervariasi dan potensi hasil yang
terus meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 3).
Sebagian besar varietas tersebut sesuai untuk
tujuan konsumsi langsung (dikukus/digoreng)
dengan rasa umbi yang enak, manis, dan
tekstur remah (keset), diantaranya Cangkuang,
Kidal, Sari, dan Boko. Varietas Papua Solossa, Papua Pattipi, dan Sawentar yang sesuai untuk
dataran tinggi (> 750 m dpl), sangat disukai
rasanya oleh petani di Papua. Sebagian ubijalar kuning dan jingga cenderung memiliki tekstur
lembek dan berair (Woolfe, 1992: Ginting, dkk.,
2008), sehingga kurang disukai untuk ubi kukus/ goreng. Sebagai contoh varietas Cilembu yang
berasal dari Kuningan, Jawa Barat memiliki rasa enak/manis, namun tekstur agak lembek sehingga diolah dengan cara dipanggang dalam oven. Pada saat pemanggangan, kandungan gula bertambah karena aktivitas hidrolisis pati oleh enzim a-amilase (suhu optimum 70 - 75oC)
menjadi maltosa dan dekstrin (Losh, dkk., 1981).
(12,031 mg/100 g), namun memiliki kadar air
tinggi, tekstur umbi kukus lembek dan rasa
manis (Ginting, dkk., 2008). Oleh karena itu,
pasta umbi kukusnya lebih sesuai digunakan untuk bahan baku/campuran pada produk selai, mie, jus, bolu gulung, bakpao, dan kue mangkok
(Ginting, dkk., 2012a). Varietas Beta 2 dengan
warna umbi kukus kuning dan tekstur agak lembek, pastanya sesuai untuk diolah menjadi beragam kue basah/jajanan, seperti pukis, lumpur, bika, terang bulan, waffel, dan lain-lain dengan proporsi 50 persen menggantikan terigu. Selain itu, juga dapat digunakan sebagai
campuran 50 persen selai nanas (Ginting, dkk., 2012a).
Varietas Sukuh dan Shiroyutaka (umbi putih) dan Jago (umbi kuning muda) (Tabel 3) sesuai
untuk bahan baku tepung dan pati karena kadar bahan keringnya tinggi. Penggunaan tepung
ubijalar pada pembuatan kue kering (cookies)
dan bolu (cake) dapat mensubstitusi 50 – 100
persen terigu (Ginting, dkk., 2006). Ayamurasaki
merupakan varietas introduksi ubijalar ungu dari Jepang yang telah banyak dibudidayakan petani di daerah Malang dan sekitarnya, mengandung
antosianin 70,41 mg/100 g bb (Ginting, dkk.,
2012b). Badan Litbang Pertanian telah melepas
varietas unggul Antin 1 dengan warna daging
umbi putih keunguan dan kadar antosianin 7,96 mg/100 g bb (Ginting, dkk., 2012b) yang sesuai
untuk bahan baku keripik (Tabel 3). Dua calon
varietas unggul ubijalar ungu lainnya, yakni Antin
2 (klon RIS 03063-05) dan Antin 3 (klon MSU 03028-10) telah diusulkan untuk dilepas tahun 2013 dengan kadar antosianin 130,19 mg/100 g bb dan 150,67 mg/100 g bb (Jusuf, dkk.,
2013). Pasta umbi kukus varietas Ayamurasaki
dan Antin 2 memiliki warna ungu kemerahan sehingga sesuai untuk diolah menjadi jus, mie, selai, es krim, es puter, beragam kue basah, seperti bakpao, kue mangkok,
onde-onde, puding, bolu gulung, dan muffin dengan
proporsi 30 - 100 persen (Ginting, dkk., 2012a).
Sementara Antin 3 dengan warna ungu tua sesuai untuk bahan baku tepung dan pewarna
alami (Kusumawardani, 2008; Jusuf, dkk.,
2013).
V. PROSPEK, KENDALA, DAN STRATEGI USAHA PENGOLAHAN UBIJALAR
Sejauh ini, produk industri pengolahan ubijalar, terutama industri rumah tangga masih terbatas pada keripik dan carang mas serta saos untuk industri kecil-menengah. Oleh karena itu, beragam produk olahan ubijalar yang
Tabel 3. Varietas Unggul Ubijalar yang Telah Dirilis pada Periode Tahun 1998-2013
Varietas Warna daging umbi
Tahun Dirilis
Potensi hasil
(t/ha) Kegunaan
Cangkuang Kuning muda 1998 30-31 Konsumsi
Sewu Orange 1998 28,5-30 Konsumsi
Sukuh Putih 2001 25-30 Industri (tepung dan pati)
Jago Kuning muda 2001 25-30 Industri (tepung dan pati)
Kidal Kuning tua 2001 25-30 Konsumsi
Sari Kuning tua 2001 30-35 Konsumsi
Boko Krem 2001 25-30 Konsumsi
Cilembu Krem kemerahan/kuning 2002 20 Konsumsi
Shiroyutaka Putih 2003 25-30 Industri (tepung dan pati)
Papua Solossa Kuning tua 2006 30 Konsumsi
Papua Pattipi Kuning pucat 2006 32,5 Konsumsi
Sawentar Krem 2006 30 Konsumsi
Beta-1 Orange tua 2009 35,7 Konsumsi
Beta-2 Orange 2009 34,7 Konsumsi
Antin-1 Putih sembur ungu 2013 33,2 Industri (keripik)
Antin-2 a Ungu kemerahan 2013 37,1 Konsumsi
Antin-3 a Ungu tua 2013 30,6 Industri (tepung dan pewarna)
menarik penampilan dan citarasanya, bergizi, dan terjangkau harganya prospektif untuk dikembangkan karena bahan baku tersedia, teknologi pengolahan relatif sederhana dan dapat memberi nilai tambah sekaligus membuka peluang usaha. Pemanfaatan ubijalar juga berpeluang mensubsitusi 10 - 100 persen terigu pada produk mie dan rerotian yang mengambil porsi terbesar penggunaan terigu di Indonesia, yakni 55 persen untuk mie basah, mie kering
dan mie instan (55 persen) serta 20 persen
untuk cake dan bakery (Welirang, 2002 dalam
Gafar, 2010).
Promosi ubijalar sebagai pangan fungsional juga akan meningkatkan citra sekaligus daya saing produk di pasaran sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan pangan sehat dan aman. Hal ini tampak pada gerai Bakpao Telo, produsen beragam produk ubijalar ungu, seperti keripik, es krim, bakpao, jus, kue mangkok, kue kering, pizza, bakpia, brownies, dan mie kering yang dijual dalam kemasan menarik dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk olahan tradisional ubijalar. Dengan
tagline ‘health is our priority’, perusahaan yang
berada di perbatasan Malang dan Pasuruan ini, banyak dikunjungi oleh wisatawan dan tamu yang ingin melihat beragam produk olahan ubijalar. Peluang untuk mengembangkan usaha seperti ini juga terbuka untuk daerah-daerah lain, terutama di sentra produksi ubijalar. Harga jual ubijalar ungu di pasaran yang hampir dua kali lipat harga ubijalar putih, kuning, atau jingga juga merupakan daya tarik tersendiri bagi petani jika pasar tersedia.
Untuk mendukung usaha pengolahan ubijalar, diperlukan ketersediaan bahan baku yang lumintu dan berkualitas serta sesuai untuk produk olahan tertentu. Namun, kendalanya ketersediaan bahan baku ubijalar masih sangat
fluktuatif karena tergantung pada pola tanam
dan musim panen. Ubijalar juga tidak dapat ditanam secara terus menerus dalam satu tahun karena rentan terhadap serangan hama
boleng (Cylas formicarius) yang memberi efek
buruk terhadap kenampakan maupun citarasa
produknya. Kondisi yang berfluktuatif ini jelas
berpengaruh terhadap harga umbi yang dapat mencapai Rp 1.000 - Rp. 2.000/kg pada saat panen raya dan Rp 3.000 - Rp 4.000/kg pada
saat tidak panen raya. Hal ini akan berdampak terhadap harga jual produk dan kelangsungan usaha olahan ubijalar. Oleh karena itu, untuk menjamin pasokan dan harga bahan baku
yang fluktuasinya tidak terlalu tajam, diperlukan beberapa strategi, antara lain menanam varietas unggul yang potensi hasilnya tinggi
(> 25 t/ha) dan sesuai tujuan penggunaannya
dengan teknik budidaya yang tepat, terutama di daerah-daerah sentra produksi ubijalar, mengatur jadwal tanam dan masa panen sesuai dengan musim dan pola tanam setempat serta penanganan pasca panen yang tepat untuk
mempertahankan mutu fisik dan kimia umbi
sebelum diolah menjadi beragam produk. Hal ini dapat dilakukan dengan strategi memiliki kebun sendiri dan/atau bermitra dengan petani/ kelompok tani di sekitar lokasi usaha sehingga jadwal tanam dan panen serta kualitas bahan baku lebih mudah diatur dan dikendalikan.
Pelaku usaha olahan juga perlu jeli dalam memilih produk yang akan dihasilkan berdasarkan ketersediaan bahan baku dan fasilitas yang dimiliki. Memproduksi olahan dari bahan umbi segar dan pasta ubijalar memang lebih menguntungkan karena rendemen produk tinggi, namun membutuhkan ketersediaan bahan baku yang terus-menerus karena umbi segar tidak tahan lama disimpan. Untuk itu pasokan bahan baku harus terjamin, demikian pula keseragaman jenis/varietas dan kualitasnya. Usaha ini juga membutuhkan ruang simpan sementara untuk umbi segar dan freezer untuk
pasta. Sementara untuk produk antara (tepung),
sawut kering dapat disimpan sebagai cadangan bahan baku yang selanjutnya dapat diolah menjadi tepung saat ketersediaan umbi segar terbatas. Fluktuasi harga juga perlu menjadi pertimbangan karena saat harga umbi lebih dari Rp 2.000/kg, dengan tingkat rendemen tepung 25 persen, harga tepung menjadi lebih dari Rp
8.000/kg (belum termasuk biaya pengolahan),
sehingga akan sulit bersaing dengan tepung terigu yang harganya berkisar antara Rp 6.000
– 8.500/kg. Heriyanto dan Winarto (1999)
menyatakan, bahwa harga tepung ubijalar yang layak dipasarkan sebagai substitusi terigu
maksimal 75 persen harga terigu. Oleh karena
Dukungan nyata kebijakan pemerintah yang berpihak kepada industri berbahan baku pangan lokal dari hulu sampai hilir sangat diperlukan untuk pengembangan agroindustri berbasis ubijalar. Informasi ketersediaan beragam produk olahan ubijalar juga perlu disosialisasikan kepada konsumen sebagai pengguna maupun pengrajin/industri sebagai produsen untuk menghapus citra ubijalar yang masih dianggap inferior. Kelompok wanita
tani (KWT), ibu-ibu PKK, dan pengrajin dapat
dilatih menjadi produsen makanan dari ubijalar, didampingi untuk mendapatkan ijin edar dari dinas kesehatan dan bermitra dengan industri besar/pasar swalayan/gerai oleh-oleh untuk pemasarannya. Kebijakan pemerintah daerah untuk menyajikan makanan beras dan non-terigu pada setiap rapat dinas/kegiatan, lomba cipta menu berbahan baku lokal, penerapan program ’One day no rice’ yang mendapat
apresiasi untuk kota Depok (Astono, 2013),
bantuan bibit, modal, peralatan, dan gerai pada kegiatan pameran lokal/nasional akan memacu pengembangan usaha pengolahan dan pemasaran produk ubijalar yang dihasilkan oleh produsen lokal.
VI. KESIMPULAN
Ubijalar yang kaya akan nilai gizi dan memiliki senyawa bioaktif yang berkhasiat bagi kesehatan, potensial untuk diolah menjadi beragam produk pangan, baik dari umbi segar, pasta maupun tepung dan patinya dengan proporsi penggunaan 10 - 100 persen. Upaya ini berkontribusi besar dalam mendukung program
diversifikasi pangan karena dapat mengurangi
impor terigu, meningkatkan citra dan nilai tambah produk pangan lokal serta meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi ubijalar. Usaha pengolahan ubijalar cukup prospektif ditinjau dari ketersediaan varietas unggul ubijalar untuk penyediaan bahan baku, teknologi pengolahan yang relatif sederhana dan dukungan kebijakan yang mendorong optimalisasi pemanfaatan bahan pangan lokal,
sosialisasi/pelatihan, bantuan bibit, modal, dan peralatan serta fasilitas pemasaran. Kendala ketersediaan bahan baku perlu disiasati dengan pengaturan waktu tanam dan panen yang tepat dan pemilihan jenis produk yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. dan D.F. Ayu. 2009. Substitusi Tepung Terigu Dengan Tepung Pati Ubijalar (Ipomoea batatas L.) Pada Pembuatan Mie Kering. Sagu 8(1):1-4. Antarlina, S.S. dan M. Jusuf. 2001. Pengolahan
Tepung Ubijalar Beberapa Varietas Pada Umur Panen yang Berbeda. hlm. 227-235. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Alat dan Mesin Pertanian untuk Agribisnis. Badan Litbang Pertanian – PERTETA. Jakarta.
Ariani, M. 2010. Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian Diversifikasi Pangan. Gizi Indon. 33(1):20-28. Astono, B. 2013. Diversifikasi Pangan: Gerakan Dari
Kantin Balaikota Depok. Kompas, 18 Nopember 2013.
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 185 hlm.
BPS. 2012. Statistik Indonesia 2012. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Cevallos-Casals, B.A. and L.A. Cisneros-Zevallos. 2002. Bioactive and Functional Properties of Purple Sweetpotato (Ipomoea batatas (L.) Lam). Acta Hort. 583:195-203.
Cevallos-Casals, BA and L.A. Cisneros-Zevallos. 2004. Stability of Anthocyanin-Based Aqueous Extract of Andean Purple Corn and Red-Fleshed Sweet Potato Compared to Synthetic and Natural Colorants. Food Chem. 86:69-77. Chaplin, M. 2014. Dietary Fiber and Health. http://
www1.lsbu.ac.uk/water/hyhealth.html (accessed on 23 May 2014).
Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 57 hlm.
EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies (NDA). 2010. Scientific Opinion on Health Claims Related to Pectins and Reduction of Post-Prandial Glycaemic Responses, Maintenance of Blood Cholesterol Concentrations and Increase in Satiety Leading to Reduction in Energy Intake. EFSA Journal 8(10):1747 (17 pp).
Fuse, K., T. Bamba and S. Hosoda. 1989. Effects of Pectin on Fatty Acid and Glucose Absorption and on Thickness of Unstirred Water Layer in Rat and Human Intestine. Digestive Diseases and Sciences 34(7) :1109-1116.
Gafar, S. 2010. Diversifikasi Pangan Berbasis Tepung Belajar dari Pengelolaan Kebijakan Terigu. http://www.majalahpangan.com/2010/04/ diversifikasi-pangan-berbasis-tepung-belajar-dari-pengelolaan-kebijakan-terigu (tanggal akses 3 Desember 2010).
Ginting, E. dan Suprapto. 2005. Pemanfaatan Pati Ubijalar Sebagai Substitusi Terigu Pada Pembuatan Roti Manis. hlm 86-97. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pasca Panen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor, 7-8 September 2005. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. Bogor.
Ginting, E., Y. Widodo, S.A. Rahayuningsih dan M. Yusuf. 2005. Karakteristik Pati Beberapa Varietas Ubijalar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 24 (1):9-18.
Ginting, E., S.S. Antarlina, J.S. Utomo dan Ratnaningsih. 2006. Teknologi Pasca Panen Ubijalar Mendukung Diversifikasi Pangan dan Pengembangan Agroindustri. Buletin Palawija (11):15-28.
Ginting, E., N. Prasetiaswati dan Y. Widodo. 2007. Ubijalar Ukuran Kecil untuk Saos dan Selai. Iptek Tanaman Pangan 2(1):110-122.
Ginting, E., M. Jusuf, dan St. A. Rahayuningsih. 2008. Sifat Fisik, Kimia dan Sensoris Delapan Klon Ubijalar Kuning/Orange Kaya Beta Karoten. hlm 392-405. Dalam N. Saleh, A.A. Rahmianna, Pardono, Samanhudi, C. Anam, dan Yulianto (Ed). Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Kacang-kacangan dan Umbi-umbian: Prospek Pengembangan Agro Industri Berbasis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Fak. Pertanian UNS, Solo-Balitkabi-BPTP Jawa Tengah.
Ginting, E. and J.S. Utomo. 2011. Anthocyanins and Total Phenolic Contents of Purple-Fleshed Sweet Potato Cultivars and Their Antioxidant Activity. p.101-114. In B. Kusbiantoro, L.K. Darusman, S. Budianto and N. Bermawie (Eds). Proceedings of the International Conference on Nutraceuticals and Functional Foods in Denpasar, Bali on 12-15 th October, 2010. Indonesian Centre for Rice Research, AARD. Jakarta.
Ginting, E., J.S. Utomo, R. Yulifianti, dan M. Jusuf. 2011. Potensi Ubijalar Ungu Sebagai Pangan Fungsional. Iptek Tanaman Pangan 6(1) :116-138.
Ginting, E., J.S. Utomo dan R. Yulifianti. 2012a. Aneka Produk Olahan Kacang dan Umbi. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 48 hlm.
Ginting, E. R. Yulifianti, Suprapto dan L. Kusumawati. 2012b. Identifikasi Sifat Fisik dan Kimia Klon-Klon Harapan Ubijalar Kaya Antosianin dan Kesesuaian Pemanfaatannya untuk Produk Pangan. Laporan Teknis Penelitian No: 1807.019.001.013.3.6/DIPA/2012. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 21 hlm.
Ginting, E. J.S. Utomo dan M. Jusuf. 2013. Identifikasi Sifat Fisik, Kimia dan Sensoris Klon-Klon Harapan Ubijalar Kaya Beta Karoten. hlm 603-614. Dalam A.A. Rahmianna, E. Yusnawan, A. Taufia, Sholihin, Suharsono, T. Sundari, Hermanto (Ed). Peningkatan Daya Saing dan Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian Empat Sikses Pembangunan Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Hasil penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi tahun 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Gopalan, C. 1992. Nutrition in Development Transition in South-East Asia. WHO Regional Office for South-East Asia. New Delhi.
Heriyanto dan A. Winarto. 1999. Prospek Pemberdayaan Tepung Ubijalar Sebagai Bahan Baku Industri Pangan. hlm 17-29. Dalam A.A. Rahmianna, Heriyanto dan A. Winarto (ed). Pemberdayaan Tepung Ubijalar Sebagai Substitusi Terigu dan Potensi Kacang-kacangan Untuk Pengayaan Kualitas Pangan. Edisi Khusus Balitkabi No. 15-1999.
Hagenimana, V., L. M. K’sambo and E. E Carey. 1998. Potential of Sweetpotato in Reducing Vitamin A
Deficiency in Africa. www.cipotato.org/market/ PgmRpts/pr97-98/34vitamin.pdf (accessed on 30 June 2006).
Huang, Y.H, L. Tanudjaja and D. Lum. 1999. Content of Alpha-, Beta-Carotene and Dietary Fibre in 18 Sweetpotato Varieties Grown in Hawaii. J. Food Comp. Anal. 12:147-151.
Hongmin, L., G. Xiaoding and M. Daifu. 1996. Orange-Flesh Sweetpotato, a Potential Source for b-karoten Production. p. 126-130. In E.t. Rasco and V.R. Amante (Eds). Selected Research Papers July 1995-June 1996. Vol. 2: Sweetpotato. ASPRAD. Manila, Philippines.
Ginting, R. Yulifianti, J. Restuono dan G. Santoso. 2013. Proposal Usulan Pelepasan Varietas Ubijalar Klon Harapan RIS 03063-05 dan MSU
03028-10 Calon Varietas Unggul Ubijalar Kaya
Antosianin. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang. 129 hlm.
Kano, M., T. Takayanagi, and K. Harada. 2005. Antioxidative Activity of Anthocyanins From Purple Sweet Potato, Ipomoea batatas cultivar Ayamurasaki. Biosci. Biotechnol. Biochem. 69(5):979-988.
Kusumawardani, L.S. 2008. Pengaruh Pengolahan Tepung Terhadap Sifat Fisik-Kimia Serta Retensi
-karoten Pada Ubijalar Oranye dan Antosianin Pada Ubijalar Ungu. Skripsi S1. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 158 hlm.
Kobayashi, M., T. Oki, M. Masuda, S. Nagai, K. Fukui, K. Matsugano and I. Suda. 2005. Hypotensive Effect of Anthocyanin-Rich Extract From Purple-Fleshed Sweet Potato Cultivar ‘Ayamurasaki’ in Spontaneously Hypertensive Rats. J. Japanese Soc. Food Sci. Technol. 52:41-44.
Kompas. 2006. SDM Bangsa dan Gizi Buruk. Kompas, 18 Februari 2006.
Lattimer, J.M. and M.D. Haub. 2010. Effects of Dietary Fiber and Its Components on Metabolic Health. Nutrients 2:1266-1289.
Lim, S., J. Xu, J. Kim, T. Chen. X. Su, J. Standard, E. Carey, J. Griffin, B. Herndon, B. Katz, J. Tomich, and W. Wang. 2013. Role of Anthocyanin-Enriched Purple-Fleshed Sweet Potato P40 in Colorectal Cancer Prevention. Molecular Nutrition and Food Research on line 19 June 2013. http://onlinelibrary-wiley-com/doi/10.1002/ mnfr201300040/abstract (accessed on 17 November 2013).
Losh, J.M., J.A. Philips, J.M. Axelson and R.S. Schulman. 1981. Sweet Potato Quality After Baking. J. Food Sci. 46:283-290.
Mayne, S.T. 1996. Beta-Carotene, Carotenoids and Disease Prevention in Humans. FASEB J. 10:690-701.
Namun Rumbaoa, R.G.O., D.F. Cornago and I.M. Geronimo. 2009. Phenolic Content and Antioxidant Capacity of Philippine Sweet Potato (Ipomoea batatas) Varieties. Food Chem. 113:1133-1138.
Nugrayasa, O. 2013. Pola Pangan Harapan Sebagai Pengganti Ketergantungan Pada Beras. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. http://www.setkab.go.id/mobile/artikel-7199-
pola-pangan-harapan-sebagai-pengganti-ketergantungan-pada-beras.html (tanggal akses 21 Nopember 2013).
Oki, S., M. Masuda, S. Furuta, Y. Nishiba, N. Terahara and I. Suda. 2002. Involvement of Anthocyanins and Other Phenolic Compounds in Radical-Scavenging Activity of Purple- Fleshed Sweet Potato Cultivars. J. Food Sci. 67 (5):1752-1756. Palmer, J.K. 1982. Carbohydrate in Sweet Potato.
p.137-138. In R.L. Villareal and T.D. Griggs (Eds). Sweet Potato. Proceedings of the First International Symposium. AVRDC. Shanhua. Tainan. Taiwan.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Penjelasan umum. Buletin Konsumsi Pangan 4(1):1-5.
Silalahi, J. 2006. Makanan Fungsional. Kanisius. Yogyakarta. 175 hlm.
Simonne, A.H., S.J. Kays, P.E. Koehler and R.R. Eitenmiller. 1993. Assessment of b-carotene Content in Sweet Potato Breeding Lines in Relation to Dietary Requirements. J. Food Comp. Anal. 6:336-345.
Steed, L.E., and Truong, V. 2008. Anthocyanin Content, Antioxidant Activity and Selected Physical Properties of Flowable Purple-Fleshed Sweetpotato Purees. J. Food Sci. 73(5):S215-S221.
Suda, I., T. Oki, M. Masuda, M. Kobayashi, Y. Nishiba and S. Furuta. 2003. Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins and Their Utilization in Foods. JARQ 37(3):167-173.
Suprapta, D.N., M. Antara, N. Arya, M. Sudana, A.S. Duniaji, dan M. Sudarma. 2004. Kajian Aspek Pembibitan, Budidaya dan Pemanfaatan Umbi-Umbian Sebagai Sumber Pangan Alternatif. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Bapeda Propinsi Bali-Universitas Udayana, Denpasar.
Suprapto. 2004. Pengaruh Lama Blanching Terhadap Kualitas Stik Ubijalar (Ipomoea batatas L.) Dari Tiga Varietas. hlm. 220-228. Dalam D. Priyanto, H. Budiman, S. Askar, K. Barkah, P. Kushartono dan S. Sitompul (Ed). Prosiding Temu teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2004. Bogor, 13 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Sutrisno dan I.M. Edris. 2009. Reaktualisasi Diversifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Pangan XVIII(56):45-58.
Varying Flesh Colours. Food Chem. 103:829-838.
Teresia, A. 2013. Indonesia Didesak Kurangi Impor Gandum. http://www.tepmpo.co/read/ news/2013/07/24/090499391/Indonesia-Didesak-Kurangi-Impor-Gandum (tanggal akses 18 Nopember 2013).
Utomo, J.S. dan S.S. Antarlina. 2002. Tepung Instan Ubijalar Untuk Pembuatan Roti Tawar. Pangan (BULOG) 11(38):54-60.
Utomo, J.S. dan R. Yulifianti. 2012. Karakteristik Mie Berbahan Baku Terigu Lokal dan Ubijalar Ungu. hlm. 768-775. Dalam A. Widjono, Hermanto, N. Nugrahaeni, A.A. Rahmianna, Suharsono, F. Rozi, E. Ginting, A. Taufiq, A. Harsono, Y. Prayogo dan E. Yusnawan (Ed). Inovasi Teknologi dan Kajian Ekonomi Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
van Jaarsveld, P.J., M. Faber, S.A. Tanumihardjo, P. Nestel, C.J. Lombard, and A.J.S. Benade. 2005. Β-Carotene-Rich Orange-Fleshed Sweet Potato Improves The Vitamin A Status of Primary School Children Assessed With Modified-Relative-Dose-Response Test. American J. Clinic. Nutr. 81:1080-1087.
Woolfe, J.A. 1992. Sweet Potato an Untapped Food Resource. Cambridge University Press. Cambridge. 643 hlm.
Wrolstad, R.E. 2004. Anthocyanin Pigments— Bioactivity and Coloring Properties. J. Food Sci. 69(5):C419-C425.
Yamakawa, O and M. Yashimoto. 2002. Sweetpotato as Food Material With Physiological Functions. Acta Hort. 583:179-185.
Yashimoto, M., S. Okuna, M. Yoshinaga, O. Yamakawa, M. Yamaguchi and J. Yamada. 1999. Antimutagenicity of Sweet Potato (Ipomoae batatas) Root. Biosci. Biotech. Biochem. 63:541-543.
DATA PENULIS
Erliana Ginting, dilahirkan di Medan 14 Desember 1963. Menyelesaikan pendidikan S1 bidang Teknologi Pertanian di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1987 dan S2 Master by Research of Food Science and Tecnology, University of New South Wales, Sydney, Australia tahun 2002. Rahmi Yulifianti, dilahirkan di Sidoarjo 29 Juli 1980. Menyelesaikan pendidikan S1 bidang Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang tahun 2005.