• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Aspek Pengaruh Bentuk Kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Identifikasi Aspek Pengaruh Bentuk Kota"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

Identifikasi Aspek

Pengaruh Bentuk Kota

Studi Kasus Kota Denpasar, Bali

Dosen Pembimbing :

Dr. Ir. Rima Dewi Supriharjo, MIP.

Disusun Oleh :

I Putu Praditya Adi Pratama

3611100020

R.M Bagus Prakoso

3611100021

Jodi Rahadian

3611100056

Yasser Basuwendro

3611100068

Nizar Harsya Wardhana

3611100046

Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota

Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya

(2)
(3)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya

makalah “Identifikasi Aspek Pengaruh Bentuk Kota, Studi Kasus : Kota Denpasar, Bali ”

ini dapat terselesaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Morfologi Kota.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Bapak

Ir. Heru Purwadio, MSP. selaku dosen mata kuliah Morfologi Kota, Dr. Ir. Rima Dewi

Supriharjo, MIP selaku dosen pembimbing tugas, serta pihak-pihak yang telah membantu

proses pembuatan makalah ini.

Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi perbaikan dan kelancaran

pembuatan makalah yang selanjutnya, mengingat makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan dan kami masih dalam proses belajar. Semoga makalah ini dapat

memberikan manfaat bagi pembaca.

Surabaya, Mei 2013

(4)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | ii

2.1 Gambaran Umum Kota Denpasar ... 4

2.2 Sejarah dan Proses Perkembangan Kota Denpasar ... 5

2.2.1 Masa Kerajaan Badung dan Puri Denpasar (1788 – 1906) ... 6

2.2.2 Masa Kolonialisme (1906 – 1950) ... 9

2.2.3 Masa Pasca Kemerdekaan (1950 – 1992) ... 12

2.2.4 Masa Pasca Terpisah Dengan Kabupaten Badung (1992 – Sekarang) ... 14

2.3 Karakteristik Fisik dan Non-Fisik Kota Denpasar ... 16

2.3.1 Topografi ... 17

2.3.2 Penggunaan Lahan ... 18

2.3.3 Kosmologi Tradisional ... 20

2.3.4 Kondisi Sosial Budaya ... 27

2.3.5 Kondisi Perekonomian ... 28

2.4 Aspek/ Faktor yang Dominan Mempengaruhi Bentuk Kota Denpasar ... 29

(5)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ... 4

Gambar 2 ... 6

Gambar 3 ... 8

Gambar 4 ... 9

Gambar 5 ... 12

Gambar 6 ... 13

Gambar 7 ... 15

Gambar 8 ... 19

Gambar 9 ... 19

Gambar 10 ... 21

Gambar 11 ... 22

Gambar 12 ... 24

Gambar 13 ... 26

Gambar 14 ... 30

Gambar 15 ... 31

(6)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | iv

DAFTAR TABEL

(7)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan

kehidupan sosial budaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya. Perkembangan

tersebut ditunjukkan dengan adanya perubahan yang terjadi secara terus menerus

sebagai fenomena tersendiri yang tidak bisa dihentikan (Sijmon dalam Zahnd, 1999).

Perubahan yang terjadi dikarenakan adanya kegiatan pembangunan yang selalu berjalan

di setiap bagian kota, terutama di pusat kota. Perkembangan kota dari masa ke masa

sangat berpengaruh terhadap penataan kota. Aktivitas masyarakat juga sangat

mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan suatu kota. Menurut Rapoport (1977),

aktivitas rutin masyarakat memiliki nilai sosial budaya yang mendasari, dan nilai sosial

budaya tersebut melandasi bagaimana masing-masing individu berperilaku, sehingga

aktivitas yang terbentuk mempunyai ciri khas. Selanjutnya aktivitas yang terjadi

memunculkan bentuk kawasan yang terlihat dari penggunaan ruangnya, karena apapun

aktivitas yang dilakukan terkait dengan ruang dan waktu. Hal ini memperlihatkan bahwa

pola struktur ruang dapat diidentifikasi melalui pendekatan yang bersifat non fisik dalam

hal ini aktivitas masyarakatnya, yang secara langsung terkait juga dengan penggunaan

ruang (space use).

Selain karena aktivitas masyarakatnya, perkembangan kota juga dipengaruhi oleh

faktor sejarah. Kota sebagai Urban Artifact dalam perjalanan sejarahnya telah dan akan

terus membentuk suatu pola morfologi sebagai implementasi bentuk perubahan sosial

budaya masyarakat yang membentuknya. Morfologi kota merupakan kesatuan organik

elemen-elemen pembentuk kota yang didalamnya mencakup aspek detail (bangunan,

sistem sirkulasi, open space, dan prasarana kota), aspek tata bentuk kota/townscape

(terutama pola tata ruang, komposisi lingkungan terbangun terhadap pola bentuk disekitar

kawasan studi), dan aspek peraturan (totalitas rencana dan rancangan kota yang

memperlihatkan dinamika kawasan kota). Perencanaan dan perancangan kota sebagai

pengendali perkembangan kota sebagai proses formal, membawa implikasi pola

morfologi kota. Untuk mengetahui struktur ruang suatu kota dapat diidentifikasi melalui

pendekatan morfologi kota. Menurut Herbert (Yunus, 1999) dikatakan bahwa tinjauan

terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisik lingkungan perkotaan dan

hal ini dapat diamati dari kenampakkan kota secara fisikal yang antara lain tercermin

(8)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 2

(perdagangan/industri) dan juga bangunan-bangunan individual. Sedangkan tiga unsur

dalam morfologi kota adalah unsur-unsur penggunaan lahan, pola jalan dan tipe

bangunan (Smailes dalam Yunus, 1999). Dengan kata lain pendekatan ini lebih

menekankan pada kondisi fisik.

Hal ini dilakukan untuk mengungkapkan struktur ruang serta faktor-faktor yang

mempengaruhi perkembangan Kota Denpasar yang dilihat dari morfologi dan penataan

ruang serta sejarah pembentukannya yang sangat berpengaruh terhadap penataan ruang

Kota Denpasar. Banyak permasalahan dalam perancangan kota yang secara khusus

berkaitan dengan bentukan fisik kota yang tidak terkendali hingga menembus batas

administrasinya; adanya ketidakjelasan kaitan fungsional kawasan akibat perkembangan

penggunaan lahan, masalah pengendalian tata bangunan meliputi pemadatan,

pelanggaran ketentuan ketinggian bangunan, pelanggaran garis sempadan, hilangnya

ruang terbuka digantikan dengan massa bangunan padat; dan ketidakjelasan karakter

kota. Hal ini menujukkan secara garis besar masalah-masalah bentukan fisik ini terfokus

pada masalah kesatuan ruang fisik dengan disebabkan oleh banyak faktor yang saling

menstimulasi. Oleh karena itu adanya masalah fisik kota tersebut yang dibenturkan

dengan tuntutan perancangan kota yang baik telah mendorong pada kebutuhan mengkaji

kota secara khusus dari aspek morfologinya (Weishaguna, 2008).

Pemahaman tentang morfologi kota tidak dapat dilepaskan dari wujud fisik kota

yang terbentuk. Sebagai sebuah cabang ilmu geografi dan arsitektur, morfologi

mempelajari perkembangan bentuk fisik di kawasan perkotaan, yang tidak hanya terkait

dengan arsitektur bangunan, namun juga sistem sirkulasi, ruang terbuka, serta prasarana

perkotaan (khususnya jalan sebagai pembentuk struktur ruang yang utama). Secara garis

besar, wujud fisik kota tersebut merupakan manifestasi visual dan parsial yang dihasilkan

dari interaksi komponen-komponen penting pembentuknya yang saling mempengaruhi

satu sama lainnya (Ernawi, 2010). Morfologi berawal dari tipologi yang memiliki

kaidah-kaidah atau norma-norma yang membentiknya dan dapat dilihat pula dari segi yang

mempengaruhinya sehingga terjadinya perubahan-perubahan wujud fisik yang

ditimbulkannya. Terjadinya morfologi pola permukiman adat Bali dimulai semenjak

adanya perkembangan kemampuan, dan keinginan masyarakat untuk merubahnya.

Keinginan untuk merubah, gagasan, produk, dan pembangunan yang dating dari luar ini

semuanya ikut memberikan andil dalam perkembangan morfologi kotanya terutama di

Denpasar.Untuk itu perlu sekali kita untuk mempelajari dan mendalami sejarah kota,

proses perkembangan serta ciri-ciri fisik dan non fisik kota. Dalam penulisan ini, perlu

diketahui bagaimanakah proses transformasi morfologi di Kota Denpasar, Bali. Selain itu

(9)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 3

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini yaitu :

 Bagaimana sejarah dan perkembangan Kota Denpasar?

 Apa saja karakteristik fisik dan non-fisik dari Kota Denpasar?

 Apa saja aspek dominan yang mempengaruhi morfologi Kota Denpasar?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini, antara lain :

 Mendeskripsikan sejarah dan perkembangan Kota Denpasar.

 Mendeskripsikan karakteristik fisik dan non-fisik Kota Denpasar.

 Mengidentifikasi aspek dominan yang mempengaruhi bentuk Kota Denpasar.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, berisi latar belakang, tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan makalah.

BAB II PEMBAHASAN, berisi review penjelasan mengenai sejarah dan perkembangan morfologi Kota Denpasar serta identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk kota

ini.

(10)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Kota Denpasar

Denpasar pada mulanya merupakan pusat Kerajaan Badung. Sempat menjadi

Ibukota Kabupaten Badung, Pada tahun 1992 Kota Denpasar menjadi kotamadya mandiri

dan mulai tahun 1958 Denpasar dijadikan pusat pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I

Bali. Dengan dijadikan Denpasar sebagai pusat pemerintahan Tingkat I Bali, kota ini

mengalami pertumbuhan yang sangat cepat, baik dalam hal fisik, ekonomi, maupun

sosial budaya. Keadaan fisik Kota Denpasar dan sekitarnya sedemikian maju dan pola

kehidupan masyarakatnya telah banyak menunjukkan ciri-ciri dan sifat perkotaan.

Denpasar menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat

industri dan pusat pariwisata. Denpasar terdiri atas empat kecamatan, yaitu Kecamatan

Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Utara

(ciptakarya.pu.go.id).

Gambar 1. Peta Wilayah Kota Denpasar.

(11)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 5

Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali dan sekaligus sebagai pusat

pemerintahan, pendidikan, serta perekonomian. Letak yang sangat strategis ini sangatlah

menguntungkan, baik dari segi pusat pendidikan, ekonomi, maupun kepariwisataan

karena merupakan titik sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung dengan

kabupaten lainnya. Luas seluruh Kota Denpasar adalah 12.778 Ha, termasuk tambahan

dari reklamasi pantai serangan seluas 380 Ha. Kota Denpasar berada di antara 08° 35

31”-08° 44 49 Lintang Selatan dan 115° 10 23-115° 16 27 Bujur Timur, yakni

berbatasan dengan:

 Utara : Kabupaten Badung

 Timur : Kabupaten Gianyar

 Selatan : Selat Badung

 Barat : Kabupaten Badung

Pembangunan Kota Denpasar diarahkan untuk tetap mempertahankan tingkat laju

pertumbuhan perekonomian yang tinggi serta meningkatkan pemerataan dengan struktur

perekonomian yang mantap. Peranan sektor-sektor lain, seperti: pariwisata, seni dan

budaya, serta pendidikan sangat menunjang laju pertumbuhan pembangunan di Kota

Denpasar, apalagi kota ini mencanangkan diri sebagai kota berwawasan budaya. Dengan

sendirinya peningkatan dan pelestarian budaya perlu dipertahankan. Wawasan budaya menempatkan kebudayaan dalam kategori dasar atau asasi, yaitu berfungsi sebagai potensi dasar, cara/pendekatan, di samping sebagai tujuan. Sebagai potensi dasar unsur-unsur kebudayaan Bali bersifat khas, unggul, dan menyiratkan nilai-nilai luhur yang sangat perlu dikedepankan. Unsur-unsur tersebut mencakup: pura, puri, arsitektur Bali, kesenian daerah, upacara, hukum adat, konsepsi-konsepsi budaya, serta unsur-unsur yang lainnya.

2.2 Sejarah dan Proses Perkembangan Kota Denpasar

Sejarah dan perkembangan Kota Denpasar terdiri dari beberapa fase, diantaranya

adalah fase awal berdiri, zaman Puri Denpasar (1788-1906), zaman masuknya pengaruh

kolonial, zaman kemerdekaan, serta fase setelah berpisah dengan Kabupaten Badung

(12)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 6

Gambar 2. Diagram perkembangan Kota Denpasar

Sumber : Berbagai literatur.

2.2.1 Masa Kerajaan Badung dan Puri Denpasar (1788 – 1906)

Kota Denpasar merupakan dahulu merupakan ibukota dari Kerajaan Badung,

sehingga sejarah perkembangan Kota Denpasar berkaitan erat dengan perkembangan

Kerajaan Badung pada masa pra-kolonial, lalu menjadi ibukota Kabupaten Badung pada

masa pasca kemerdekaan, hingga terpisah dengan Kabupaten Badung dan menjadi

Ibukota Provinsi Bali pada tanggal 27 Februari 1992 (Sujaya, 2013). Denpasar Pada

mulanya adalah sebuah taman. Taman ini merupakan kesayangan Raja Badung Kyai

Jambe Ksatrya yang beristana di Puri Jambe Ksatrya di Pasar Satria sekarang hingga ke

utara. Taman ini dilengkapi dengan tempat peraduan yang diperuntukkan khusus bagi

tamu-tamu yang datang dari luar Badung. Jika dibandingkan dengan zaman sekarang,

(13)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 7

Sang Raja dikenal suka bermain adu ayam. Pada masa itu, raja kerap

mengundang raja-raja lain di Bali untuk bermain adu ayam. Raja-raja undangan itulah

yang kerap ditempatkan di taman sang Raja. Taman itu diserahkan pengelolaannya

kepada I Gusti Ngurah Made Pemecutan dari Puri Kaler Pemecutan atau Puri Kaler

Kawan. Taman itu terletak di sebelah utara pasar, tepatnya di rumah jabatan Gubernur

Bali sekarang (Jaya Sabha). Awalnya pasar terletak di lapangan Puputan Badung

sekarang, tapi pada zaman Belanda pasar itu dipindah ke dekat Tukad (sungai) Badung

sehingga dikenal sebagai Pasar Badung. Karena terletak di utara pasar, taman itu diberi

nama Taman Denpasar. Kata den dalam bahasa Bali memang berarti „utara‟. Banyak

daerah di Bali yang diawali dengan kata den yang menunjuk makna utara, seperti

Denbukit (nama lain Kabupaten Buleleng yang berlokasi di sebelah utara gunung/bukit).

Pada tahun 1779 terjadi konflik antara Kyai Jambe Ksatrya dengan I Gusti Ngurah

Rai. Padahal, I Gusti Ngurah Rai tak lain orang kepercayaan Kyai Jambe Ksatrya,

terutama dalam hal permainan aduan ayam. Konflik ini berujung pada terbunuhnya Kyai

Jambe Ksatrya. Pascaterbunuhnya Kyai Jambe Ksatrya, kekuasaan dilimpahkan kepada

I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Pelimpahan kekuasaan kepada I Gusti Ngurah Made

Pemecutan menandai berakhirnya kekuasaan Puri Jambe Ksatrya. Pasalnya, I Gusti

Ngurah Made Pemecutan mendirikan istana baru di Taman Denpasar. Istana baru itulah

dinamai Puri Denpasar. I Gusti Ngurah Made Pemecutan pun dinobatkan sebagai Raja

Denpasar I.

Puri Denpasar ini di-pelaspas pada tahun 1788. Dalam tradisi Bali, upacara

pemelaspas adalah bentuk peresmian sebuah tempat. Itu sebabnya, tim peneliti merekomendasikan tahun 1788 sebagai tonggak kelahiran Kota Denpasar. Alasannya,

ketika sebuah puri berdiri, itu berarti munculnya sebuah kota. Pasalnya, pada masa

kerajaan puri menjadi pusat pemerintahan. Selain itu, puri juga menjadi pusat budaya

serta pusat perekonomian masyarakat karena di dekat puri berdiri alun-alun serta pasar.

Sebelumnya nama Denpasar memang sudah muncul, tapi belum sebagai kota. Begitu

dijadikan puri, saat itulah Denpasar itu berubah menjadi sebuah kota. Wilayah Kota

Denpasar saat itu baru mencakup di sekitar Puri Denpasar, dimana di sekitar puri

dibangun Catus Patha, yaitu terdiri dari pasar, alun-alun, puri (pusat pemerintahan dan

kediaman raja), dan pura sebagai lokasi persembahyangan. Catus Patha ini bertahan

hingga sekarang dan menjadi pusat Kota Denpasar saat ini, berupa perempatan yang

(14)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 8

Gambar 3. Foto Puri Denpasar yang diambil pada tahun 1900.

Sumber : den-pasar.blogspot.com, 2010.

Merunut pada Raja Bandana Purana disebutkan Puri Denpasar dipelaspas pada

hari Tumpek Landep, 1 Februari 1788. Tumpek Landep memang menjadi hari petoyan,

wedalan atau patirtaan (hari suci) di Pemerajan Agung Puri Denpasar. Jika merujuk pada

kalender 2200 tahun karya IB Suparta Ardana, pada tahun 1788 ada dua hari Tumpek

Landep yakni 5 April 1788 dan 1 November 1788. Akan tetapi, Pemerintah Kota

Denpasar memutuskan tetap menggunakan tanggal 27 Februari sebagai hari jadi, tetapi

tonggak tahun diambil 1788. Wirawan menyatakan hal itu sebagai bentuk kompromi

sejarah. Tanggal 27 Februari tetap dipilih karena didasari pertimbangan masyarakat

Denpasar sudah terbiasa merayakan hari jadi kotanya pada tanggal itu. Tapi, untuk

kepentingan membangun kesadaran sejarah, tahun 1788 dipilih sebagai momentum

tahun pendirian Kota Denpasar.

Sebelum wilayah Badung yang dipimpin oleh Kyai Tegeh Kori, wilayah ini dikuasai

oleh penguasa tingkat desa (mekel desa) yang umumnya dipegang oleh para Pasek. Sebagian wilayah Kerajaan Badung saat itu merupakan wilayah Kertalangu yang

sebelumnya dikuasai oleh I Gusti Ngurah Penatih. Sekitar tahun 1505, I Pasek Bendesa

beserta pasek-pasek lain membangun puri untuk Kyai Anglurah Tegeh Kori di ujung utara Desa Tonjaya, di pinggir Sungai Ayung sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Badung.

Puri ini ditempatkan di sudut timur laut Catus Patha, di sebelah barat SungaiAyung

kemudian disebut Puri Benculuk. Di samping Puri Benculuk juga dibangun dua buah puri

yakni Pura Dalem Bengkasa (Pura sebelah timur puri untuk pemujaan Batara Tohlangkir

(Gunung Agung) dan Pura Gde Batur Sari (yang dulu bernama Pura Batur Sari untuk

(15)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 9

Pusat pemerintahan Kerajaan Badung dalam periode 1788 –1906 terletak di Puri

Denpasar (Artana & Arimbawa). Catus Patha yang terletak di halaman luar Puri Denpasar

merupakan Catus Patha Agung atau Catus Patha yang paling utama di Kerajaan Badung.

Puri Denpasar merupakan puri yang paling utama di kerajaan Badung di atas puri-puri

lain. Keutamaan puri terlefleksi dari luas, jumlah mandala (palebahan, pelataran), dan

jumlah mandala inti (mijil) suatu puri. Sedangkan ke-utama-an suatu Catus Patha

tergantung dari ke-utama-an puri dan kelengkapan fasilitas kota yang ada di sekitar

catuspatha yaitu pasar, wantilan, dan taman/alun-alun.

Gambar 4. Struktur kekuasaan puri dan catuspatha kerajaan Badung.

Sumber : J.M Nas, 1995

2.2.2 Masa Kolonialisme (1906 – 1950)

Setelah peristiwa Puputan Badung 20 September 1906, kekuasaan kerajaan

Badung telah dikuasai oleh Belanda, sehingga Belanda membuat sistem pemerintahan

sementara dengan menempatkan seorang Asisten Residen dan seorang Adspirant Controleur (Artana & Arimbawa, 2012). Tempat kedudukan pemegang pemerintahan kerajaan Badung dan juga tempat kedudukan Asisten Residen Bali Selatan sudah mulai

disebut dengan Kota Denpasar bukan Puri Denpasar. Selanjutnya, setelah Kerajaan

Klungkung dapat ditaklukkan Belanda pada 28 April 1908, Belanda mulai menerapkan

sistem pemerintahan kolonial, maka pemimpin pemerintahan Belanda untuk kerajaan

(16)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 10

Ngurah, putra Cokoda Alit Ngurah disingkirkan ke Lombok tahun 1907 dan pada tanggal

15 Oktober 1916, dipulangkan kembali ke Bali dan kemudian ditampung di Jro Blaluan

sampai Tahun 1933. Pada Tahun1918, I Gusti Alit Ngurah bekerja sebagai mandor di

Kantor BOW (Bouw Werkplaats), sejenis Kantor Pekerjaan Umum sekarang. Kemudian

menjadi Juru Tulis di Kantor Asisten Residen (1920-1924) dan kemudian menjadi Manteri

Polisi (1925-1926). Kemudian pada Tahun 1929 diangkat menjadi negara-bestuurder

dengan sebutan regent atau kepala pemerintahan daerah Badung dengan gelar Cokorda. Pembangunan kembali Puri Satrya mulai dirintis sejak tahun 1930 dan selesai tahun

1933.

Pada tanggal 1 Juli 1938 Cokorda Alit Ngurah (II) diangkat sebagai zelfbestuurder

untuk memimpin daerah Swaprajayang disebut zelfbestuurend landschappen dan berakhir ketika mulai pendudukan Jepang sejak tahun1942. Ketika menduduki jabatan

sebagai zelfbestuurder, Cokorda Alit Ngurah(II) telah menempati Puri Satrya. Di bawah pemerintah Belanda cakupan wilayah Badung ditata kembali dan menjadi seperti Daerah

Kabupaten Badung sebelum terpisah dengan Kota Denpasar. Pada masa ini Belanda

yang menempati lokasi di sekitar Catus Patha memulai berkembangnya daerah pecinaan

Gajah Mada. Selain itu, pemerintahan kolonial juga membangun sebuah jam/lonceng di

lokasi yang saat ini menjadi perempatan catur muka sebagai landmark untuk memperlihatkan hegemoni pemerintahan kolonial. Fasilitas-fasilitas seperti

gedung-gedung pemerintahan dan rumah sakit bermunculan, salah satunya berada di daerah

Wangaya yang kini dikenal sebagai Rumah Sakit Wangaya. Belanda juga membangun

hotel-hotel sebagai fasilitas pariwisata mereka. Pada masa ini juga lokasi-lokasi

pariwisata terkenal di Bali dan terletak pada cakupan Kabupaten Badung, seperti Kuta

dan Sanur mulai berkembang dan didatangi banyak wisatawan. Kedatangan Belanda

serta pembangunan dan penataan sarana prasarana di Kota Denpasar pada masa itu

secara tidak langsung membuka pintu gerbang pariwisata ke Bali.

Menurut Dharma Putra (2010), saat itu di sebelah utara alun-alun, yang kini

menjadi rumah jabatan Gubernur Bali, ada tiga kompleks bangunan: kantor Asisten

Resident (paling barat), rumah Asisten Resident (tengah), dan Kantor Pos dan Telegraf

sekaligus rumah pimpinannya (timur). Kantor Pos itu masih bercokol sampai sekitar 1979.

Setelah pindah ke Renon awal 1980, sesekali masih ada wisatawan asing pangling di

utara Alun-alun mencari-cari kantor pos. Ini terjadi karena turis itu membawa buku

panduan wisata (guide book) lama. Di sebelah timur kompleks perumahan Gubernur atau

Jalan Kaliasem terdapat tiga kompleks bangunan yaitu kantor telepon serta rumah

pimpinan dan karyawannya. Sampai sekarang, properti itu masih ada, walau instansi

(17)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 11

Hadirnya Kantor Pos dan Kantor Telepon tahun 1915, sekitar satu dasawarsa

setelah Puputan Badung, bisa dilihat sebagai tanda kemajuan kota Denpasar. Bagi

pemerintah kolonial, komunikasi lewat surat dan telepon tampaknya merupakan prioritas,

untuk memperlancar birokrasi atau memperteguh kekuasaannya. Tanda kemajuan

Denpasar bisa juga dilihat dengan hadirnya dua sekolah modern Belanda. Pertama,

sekolah untuk pribumi (Schoolen voor Inlanders), lokasinya di seberang selatan

Alun-alun, kira-kira di lokasi kantor Pertamina (sekarang). Di sebelah timur sekolah ada kantor

polisi dan di timurnya lagi kantor Irigasi dan perumahan pejabatnya. Di ujung timur, yang

kini kantor Garuda Indonesia adalah tanah kosong. Beberapa tahun kemudian, di leretan

itu dibangun kantor KPM (perusahaan kapal layar Belanda) yang berurusan dengan

pariwisata, pendiri Bali Hotel tahun1928. Sekolah yang kedua adalah Hollandsch

Inlandsch School (HIS) lokasinya di Jalan Surapati, di seberang jalan dari sekolah itu ada

dua perumahan untuk kepala sekolah dan guru. Untuk tambahan sekolah, sudah

disediakan lahan di Jalan Kartini, ini yang kemudian menjadi sekolah Cina yang

gedungnya pernah dipakai oleh Universitas Bali (1980-an) dan kantor sementara

(1990-an) Pemkot Denpasar.

Gudang opium dan rumah penjaganya berlokasi di Jalan Veteran, kira-kira tepat di

lokasi Bali Hotel sekarang. Opium atau madat candu lainnya pada zaman Belanda

beredar legal. Beberapa raja ada yang senang mengonsumi candu, begitu juga

masyarakat biasa. Belanda mendapat banyak pajak dari opium, jaringan perdagangan

biasanya dikuasai etnik Cina. Untuk di Denpasar, opium masuk lewat pelabuhan Benoa.

Belakangan Belanda sadar, opium tidak baik. Raja-raja yang kecanduan disarankan

berhenti menghisapnya karena bisa merepotkan roda pemerintahan. Konon, ada dua raja

yang menyerahkan alat sedot opiumnya kepada Belanda, tanda berhenti nyandu. Untuk

mengurangi pecandu, Belanda sengaja membuat rumah penjualan candu di kota dan

desa-desa yang banyak pemadatnya. Ini bukan untuk meningkatkan penjualan dan pajak

tetapi untuk mengontrol peredaran opium, dan lama-lama mengurangi pemadat. Lewat

rumah penjualan opium yg terpusat, harga candu pelan-pelan dinaikkan sehingga tidak

banyak orang yang mampu membeli, dan rasa madat dihambarkan sehingga tidak

membuat orang sakit. Karena hambar, orang tidak suka madat lagi!

Satu-satunya rumah sakit (Zieken huis) yang sudah ada tahun 1915 adalah RS

Wangaya. Selama ini, RS ini dianggap berdiri 1921, mungkin perlu direvisi karena sudah

ada dalam peta 1915. Penjara (gevangenis) berlokasi di Jalan Diponegoro yang di

selatan dan utaranya (agak jauh) ada kantor polisi. Selama ini Penjara Denpasar

dianggap berdiri 1916, nyatanya sudah ada dalam peta 1915. Di sinilah pelaku

(18)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 12

Tahun 1986, Penjara Denpasar dipindahkan ke Kerobokan. Peta Denpasar 1915

menunjukkan ada dua kantor Pemadam Kebakaran. Satu terletak di Jalan Beliton

(seberang jalan selatan Kantor Kodam), satu lagi di pojok Jl. Wahidin dan Thamrin ujung

barat Jl. Gajah Mada. Sampai tahun 1970-an, daerah itu dikenal dengan Batan Moning.

Di barat Alun-alun, di sekitar Kantor Walikota Denpasar sekarang, berdiri kantor kontrolir

(pejabat di bawah asisten resident). Di sebelah selatan–belakangnya adalah rumah

kontrolir. Kompleks kantor dan rumah kontrolir berdekatan dengan Kantor dan Rumah

Assisten Resident.

Gambar 5. Peta Kota Denpasar yang dibuat tahun 1915 oleh pemerintah Belanda.

Sumber : dasarbali.wordpress.com, 2010

2.2.3 Masa Pasca Kemerdekaan (1950 – 1992)

Cokorda Alit Ngurah (II) kemudian digantikan oleh I Gusti Ngurah Gde dari Puri

Agung Pemecutan sebagai pemimpin Kerajaan Badung dengan gelar Ida Cokorda

Ngurah Gde Pemecutan (Cokorda Pemecutan X) yang memimpin sejak 1 Mei 1947 sampai 23 Desember 1959 (Artana & Arimbawa, 2012). Pemerintah Kabupaten Badung

selanjutnya terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang

(19)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 13

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pada Tahun 1992 Kota Administratif

Denpasar ditetapkan menjadi Kotamadya Denpasar berdasarkan Undang-Undang No. 2

Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar. Sejak 27

Februari 1992, Kota Denpasar memisahkan diri dari Kabupaten Badung dan secara

difinitif menjadi wilayah otonom. Selain menjadi Ibukota Provinsi, Kota Denpasar juga

menjadi Ibukota Dati II Badung. Terbentuknya Dati II ini tidak bisa dilepaskan dari

Undang-undang No. 1 tahun 1957 yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat di Jakarta.

Undang-undang ini kemudian diperkuat oleh Undang-undang No. 69 tahun 1958,

yang mengatur Pembentukan Daerah Swatantra. Berdasarkan UU No. 18 tahun 1965

(disahkan pada tanggal 1 September 1965) tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah,

maka status Badung berubah dari Daerah Swatantra Tingkat II menjadi Kabupaten

dengan Ibukotanya Denpasar. Semua infrastruktur politik seperti lembaga-lembaga

pemerintahan dan infrastruktur ekonomi yang dibangun sejak zaman Belanda yang

dipusatkan di Denpasar dan sekitarnya mengalami perkembangan hingga sekarang

sehingga menyebabkan Kota Denpasar mengalami perubahan fisik dan non fisik.

Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 28 Februari 1975 No. B.K.T 3/1/12,

pemerintah pusat mengadakan penelitian mengenai kelayakan Denpasar menjadi sebuah

kota administratif. Surat dari Bupati Badung bernomor Pemb. 1/299/77, tanggal 5 Maret

1977 akhirnya menjadi surat yang bersejarah dalam perkembangan pembangunan kota

yang ideal, kota administratif, karena tanpa adanya inisiatif ini maka PP No. 20 tahun

1978 yang menjadi landasan yuridis formal kota administratif Denpasar tidak akan keluar.

Gambar 6. Pengembangan kawasan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung pasca kemerdekaan.

(20)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 14

Sebagai sebuah kota administratif yang diresmikan pada tanggal 28 Agustus

1978, maka wilayah kota Denpasar yang sebelumnya hanya sebuah kecamatan,

kemudian dipecah menjadi tiga kecamatan yakni; Denpasar Barat, Denpasar Timur, dan

Denpasar Selatan. Semakin meningkatnya masalah sosial dan semakin mampunya Kota

Denpasar menjawab tantangan-tantangan itu, maka akhirnya berhasil mengubah

statusnya dari kota administratif menjadi Kotamadya Denpasar pada tanggal 27 Februari

1992. Saat ini Kota Denpasar memiliki empat kecamatan dengan ditambahnya satu

kecamatan lagi, yaitu Denpasar Utara. Pemerintah kota mencanangkan proyek-proyek

besar pada masa itu, seperti pusat pemerintahan di kawasan Renon, pembangunan

kompleks kesenian Art Centre, terminal penumpang di Ubung, serta perumahan militer di kawasan Jalan Jendral Sudirman. Kota Denpasar mulai berkembang sebagai sebuah

kota dengan masyarakat yang heterogen.

2.2.4 Masa Pasca Terpisah Dari Kabupaten Badung (1992 – Sekarang )

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar

menetapkan wilayah Kota Denpasar menjadi wilayah otonom terpisah dari Kabupaten Badung (Artana & Arimbawa, 2012). Hal ini menjadi babak baru perkembangan Denpasar sebagai sebuah kota. Pada tahun 1970-an, Kota Denpasar tidaklah seramai kini. Jalan-jalan yang ada masih lebih lengang. Selain berjalan kaki, orang-orang lebih

banyak berkendara sepeda gayung. Di setiap ruang sirkulasi publik, dokar masih hilir

mudik. Sepeda motor tak seberapa jumlahnya. Terlebih mobil, amat jarang lalu lalang,

kecuali bemo roda tiga. Hampir semua jalan bisa dilalui dua arah. Banjir dan tanah

longsor jarang terjadi. Udara pun nyaman dihirup, jauh dari polusi, tak banyak kebisingan.

Mengamati perkembangan kota Denpasar khususnya, tentu disertai pula dengan melihat

beragam problema, peluang dan tantangan serta langkah-langkah yang perlu dilakukan

guna meningkatkan peran Denpasar-sebagai kota berwawasan budaya-dalam

pembangunan wilayah. Untuk itu, perlu dituangkan kebijaksanaan pembangunan kota

Denpasar dan aspek-aspek penting yang mesti diperhatikan operasionalisasinya, dalam

rangka mencapai tujuan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat secara merata, seimbang, harmonis, serasi secara berkesinambungan.

Pada tahun 1990-an hingga 2000-an, Kota Denpasar menghadapi beberapa

kecenderungan pokok yang mempunyai implikasi luas bagi terbukanya beragam peluang

dan terjadinya berbagai gangguan dan tantangan yang mempengaruhi kebudayaan,

(21)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 15

membesarnya tekanan terhadap kehidupan manusia dan komunitas kota. Aplikasi

konsepsi Tri Hita Karana menghadapi gangguan, distorsi, dan kesemrawutan, sehingga

cenderung menimbulkan pola habitat yang memberikan ketegangan dibandingkan

dengan harmoni dan kesejukan. Di bidang transportasi, fenomena kemacetan makin

meluas dan insentif. Makin padat dan heterogennya penduduk kota sebagai akibat dari

membesarnya arus urbanisasi secara berkelanjutan. Heterogenitas meliputi segi budaya,

agama, ras, etnik, dan keterampilan. Kondisi penduduk cenderung memperbesar beban

kota dibandingkan dengan potensi dan sumberdaya. Komunitas kota cenderung makin

berkembang sebagai masyarakat multikultural.

Gambar 7. Peta Tata Ruang Kota Denpasar.

Sumber : www.denpasarkota.go.id.

Makin berkembangnya format ekonomi industri dan jasa dengan menurunnya

ekonomi agraris, Pada satu sisi membuka beragam peluang kesempatan kerja baru,

namun di sisi lain makin kuatnya ancaman komersialisasi, meterialisme, pragmatisme

(22)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 16

diversisikasinya kelembagaan sosial dan sikap hidup sebagai manifestasi demokratisasi,

nasionalisasi, meluas, namun konflik kepentingan tidak terelakkan, khususnya

kepentingan sektor tradisional dan sektor modern, dalam hal ini yang pertama cenderung

kurang berdaya. Makin mengentalnya komitmen otonomi daerah dengan kebangkitan

semangat primordial. Aktualisasi otonomi daerah cenderung memberikan vitalisasi

semangat lokal yang dapat bergerak konstruksif bagi pengembangan hak-hak lokal

termasuk politik, ekonomi, sosial, dan kultural.

Saat ini Kota Denpasar direncanakan untuk dikembangkan lagi menjadi

megapolitan, melalui kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan).

Kawasan Perkotaan Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita) merupakan

kawasan strategis nasional dengan sudut kepentingan ekonomi yang berbentuk kawasan

metropolitan, yang merupakan rencana rinci dari Rencana Tata Ruang Nasional

(RTRWN). Wilayah kawasan perkotaan Sarbagita adalah Kota Denpasar dan kawasan

perkotaan di tiga wilayah Kabupaten (Badung, Gianyar, Tabanan) yang berdekatan dan

berjarak maksimal ±30 km, memiliki kecenderungan penglaju (commuter) dari/ke Kota

Denpasar dan kawasan sekitarnya (Kuta, Nusa Dua, Tabanan, Gianyar, Ubud) dan

sebaliknya. Kawasan metropolitan Sarbagita sebagai tulang punggung perekonomian

Provinsi Bali dan salah satu pusar perkembangan nasional dengan tiga sektor utama

yaitu pariwisata, pertanian dan industri pendukung pariwisata. Metropolitan Sarbagita

berbeda dengan metropolitan lain, dimana sektor pertanian masih dipertahankan

keberadaannya untuk kepentingan pariwisata maupun kepentingan ekonomi. Struktur

sosial budaya masyarakat dipengaruhi tata kehidupan Agama Hindu (Tri Hita Karana)

yang unik dan berjati diri akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan Bali dan Kota

Denpasar.

2.3 Karakteristik Fisik dan Non-Fisik Kota Denpasar

Kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam dan

non-alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak

kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah lainnya

(Ridwanaz, 2012). Karakteristik kota dapat dibagi menjadi dua, yaitu karakteristik fisik dan

karakteristik masyarakat kota atau non-fisik. Karakteristik Kota Denpasar dapat dilihat dari

bentuk topografinya, penggunaan lahan, filosofi kosmologi tradisional, serta kondisi sosial

(23)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 17

2.3.1 Topografi

Topografi dan iklim wilayah Kota Denpasar sebagian besar merupakan dataran,

dan secara umum miring kearah selatan dengan ketinggian berkisar antara 0-75 m di

atas permukaan laut, dataran pantai dengan kemiringan lahan berkisar 0-5%, di bagian

tepi kemiringannya bisa mencapai 15%. Wilayah Kota Denpasar sebagian besar berada

pada ketinggian tempat antara 0-75 m dari permukaan air laut. Denpasar Selatan

seluruhnya terletak pada ketinggian 0-12 m di atas permukaan air laut. Sedangkan

Denpasar Timur, Denpasar Barat dan Denpasar Utara terletak pada ketinggian 0-75 m

diatas permukaan air laut. Panjang pantai kurang lebih 11 km, berupa perairan laut pantai

Padang Galak dan Pantai Sanur serta pantai Pulau Serangan (Merti, 2010). Kota ini

berada di jalur gunung api yang terdapat di Pulau Bali. Batuan padat dan keras hasil

kegiatan vulkanik membentuk tebing curam pantai jalur gunung api, diselingi lereng landai

kaki gunung berbatuan lepas dan pasir membentuk pantai sempit datar. Aliran lava atau

lahar seringkali langsung masuk ke laut, membentuk lereng dasar laut dengan kemiringan

dan jenis batuannya tergantung dari komposisi magmanya. Pantai sempit landai dengan

sungai kecil disekitarnya memungkinkan bakau tumbuh, adakalanya bersisian atau

menumpang di atas substrat pasiran dan terumbu karang.

Tabel 1. Tabel Ketinggian Tiap Kecamatan Kota Denpasar. Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2007.

Kondisi alam yang subur menjadi salah satu faktor perkembangan perekonomian

Bali. Selain kondisi alam yang demikian, adanya sistem pengaturan air yang baik seperti

dilakukan organisasi tradisional seperti subak, telah memungkinkan pula terjadinya

sistem pengaturan pengairan yang lebih baik. Selain sebagai kota pusat kebudayaan,

Kota Denpasar juga dapat dikategorikan sebagai kota sungai dan kota pesisir. Sistem

aliran Sungai Ayung yang melalui Kota Denpasar bagian timur dan Sungai Badung di

Denpasar bagian barat telah memungkinkan wilayah ini dipilih sebagai pusat

pemerintahan, baik pada masa kerajaan hingga sekarang (Sunaryo, 2003). Lokasi ini

juga menjadi pusat kegiatan perekonomian, perumahan, dan kegiatan lain masyarakat

(24)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 18

wilayah terbangun dengan aktivitas pariwisata dan pemukiman penduduk. Garis

pantainya membentang mulai dari Pantai Padanggalak, Sanur, Mertasari dan Pantai

Serangan. Pantai yang belum padat terbangun adalah Padanggalak dan Serangan.

2.3.2 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan Kota Denpasar didominasi oleh permukiman. Dari 12.778 ha

luas total Kota Denpasar, penggunaan lahan untuk permukiman adalah 7.831 ha atau

61,29%. Diikuti oleh sawah dengan luas 2.717 ha (21,26%), hutan negara seluas 538 ha

(4,21%), Tegalan 396 ha (3,10%), hutan rakyat 75 ha (0,59%), perkebunan 35 ha (

0,27%), tambak dan kolam 10 ha (0,08%), dan sisanya seluas 1.176 ha (9,20%)

termasuk penggunaan lainnya seperti rumput, pasir, rawa, dan tanah kosong. (SLHD

Kota Denpasar, 2008). Sementara menurut BPS dan Bapeda Kota Denpasar (2008), luas

wilayah menurut jenis penggunaan lahan meliputi lahan sawah 2. 717 Ha dan lahan

kering 10,051 Ha. Tanah kering terdiri dari tanah pekarangan 7,832 Ha, tanah tegalan

396 Ha, tanah yang belum diusahakan 166 Ha. Hutan Negara 538 Ha, hutan rakyat 75

ha, perkebunan 35 Ha, rawa-rawa 10 Ha, tanah lain-lain 1.175 Ha. Penggunaan lahan di

Kota Denpasar sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan sawah irigasi (21,26%),

lahan kering (78,66%), dan lahan lainnya (0,08%). Luas kawasan rakyat sebesar 0,59%

yang ditanami tanaman Tanaman Hutan Rakyat terdiri dari hutan bakau (mangrove) yang berfungsi sebagai hutan pencegah abrasi, terletak di kawasan Suwung, Benoa, dan

Serangan.

Hampir semua jenis penggunaan lahan tersebar di masing-masing kecamatan,

kecuali hutan negara hanya terdapat di Kecamatan Denpasar Selatan, sedangkan

perkebunan hanya ditemukan di Kecamatan Denpasar Timur dan Denpasar Selatan,

sementara, tegalan, hutan rakyat, dan tambak/kolam tidak terdapat di Kecamatan

Denpasar Barat (SLHD Kota Denpasar, 2008). Pemukiman yang merupakan penggunaan

lahan terluas di Kota Denpasar terdistribusi paling luas di Kecamatan Denpasar Selatan

seluas 2.591 ha atau 33,08% dari luas seluruh permukiman di Kota Denpasar atau

20,28% dari luas total Kota Denpasar, kemudian diikuti oleh Kecamatan Denpasar Utara

2.189 ha (27,95% dari luas permukiman yang ada atau 17,13% dari luas Kota Denpasar),

Kecamatan Denpasar Barat 1.834 (23,42% dari total luas permukiman atau 14,35% dari

luas Kota Denpasar), dan luasan permukiman terkecil terdapat di Kecamatan Denpasar

(25)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 19

Gambar 8. Peta Penggunaan Lahan Kota Denpasar.

Sumber : SLHD Kota Denpasar, 2008.

Sawah merupakan penggunaan lahan terluas kedua setelah permukiman (SLHD

Kota Denpasar, 2008). Denpasar Selatan merupakan Kecamatan dengan luasan sawah

terbesar, yaitu 935 ha (34,41% dari luas keseluruhan sawah di Kota Denpasar).

Kemudian diikuti oleh Kecamatan Denpasar Utara seluas 772 ha (28,41%), Kecamatan

Denpasar Timur 726 ha (26,72%), dan Kecamatan Denpasar Barat 284 ha (10,45%).

Penggunaan lahan tegalan tersebar di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Selatan

seluas 183 (46,21%), Kecamatan Denpasar Timur 144 ha (36,36%), dan Kecamatan

Denpasar Utara seluas 69 ha (17,42%). Hutan rakyat terdistribusi di 3 kecamatan,

masing-masing Kecamatan Denpasar Selatan 53 ha (70,67%), Kecamatan Denpasar

Timur 15 ha (20,00%), dan Kecamatan Denpasar Utara 7 ha (9,33%).

Gambar 9. Diagram proporsi penggunaan lahan Kota Denpasar.

(26)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 20

Tambak dan Kolam juga terdapat di 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Kecamatan

Denpasar Selatan 6 ha (60,00%), Kecamatan Denpasar Utara 2 ha (20,00%), dan

Kecamatan Denpasar Timur 2 ha (20,00%). Perkebunan hanya terdapat di 2 kecamatan,

yaitu Kecamatan Denpasar Selatan 21,00 ha (60,00%) dan Kecamatan Denpasar Timur

14 ha (40,00%). Sementara hutan negara (Tahura) hanya terdapat di Kecamatan

Denpasar Selatan seluas 538,00 ha. Penggunaan lahan lain termasuk diantaranya

rumput, pasir, rawa, dan tanah kosong terdapat di semua kecamatan. Di Kecamatan

Denpasar Selatan terdapat 672 ha (57,19%), Kecamatan Denpasar Barat 288 ha

(24,51%), Kecamatan Denpasar Timur 112 ha (9,53%), dan Kecamatan Denpasar Utara

103 ha (8,77%).

2.3.3 Kosmologi Tradisional

Terdapat beberapa konsep kosmologi yang mempengaruhi struktur ruang Kota

Denpasar, antara lain seperi konsep orientasi arah mata angin, konsep Sanga Mandala, konsep Catus Patha, serta konsep Tri Hita Karana. Konsep-konsep tersebut merupakan orientasi tradisional yang sejak dulu telah digunakan oleh masyarakat Bali pada

umumnya.

Konsep Orientasi Mata Angin

Denpasar bisa dipandang sebagai „kota gunung‟, dimana warganya –

sebagaimana halnya orang Bali lainnya- menghadapkan diri ke arah Gunung Agung,

gunung yang mendominasi seluruh Bali (J.M Nas, 1995). Gunung Agung adalah gunung

suci, „pusar bumi‟ yang menurut legenda berasal dari sepotong Gunung Mahameru di

India, gunungnya dewa-dewi. Pura utama Bali, Pura Besakih, terletak di gunung ini.

Gunung suci ini menguasai tata kehidupan masyarakat di Kota Denpasar dan Bali pada

umumnya, bahkan hingga posisi tidur seseorang yang menghadap ke arah gunung ini. Di

Kota Denpasar, timur-laut ditetapkan sebagai arah suci, karena ini adalah letak Gunung

Agung. Sebaliknya, bagi orang Bali Utara, arah suci adalah arah tenggara. Di Kota

Denpasar, arah dari laut ke barat-daya dianggap profan.

Oposisi suci-profan, ditunjukkan oleh kaja-kelod (timur laut), menguasai divisi

ruang kota dan rumah di Denpasar, dan juga suatu oposisi yang „hidup‟, yang setiap hari

mengambil bentuk aktivitas profan dan ritual. Dari pembuatan persembahyangan kepada

(27)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 21

dalam banyak cara, sampai mengeluarkan sampah rumah tangga, segalanya dikuasai

oleh dikotomi ini. Arah orientasi ruang dalam skala wilayah yang lebih luas dan

berkeseimbangan secara keseluruhan di Kota Denpasar, dengan konsep arah orientasi

yang berdasarkan mata angin (pengide-ider) yang bersifat universal, dan yang

berdasarkan konsep segara (lautan) -gunung yang bersifat lokal.

Sumbu ritual di Kota Denpasar berorientasi pada timur-barat atau surya-sewana, yaitu arah matahari terbit dan terbenamnya matahari, dimana orientasi timur tempat

matahari terbit lebih utama dari barat (Arif, 2012). Sumbu yang kedua adalah konsep

sumbu natural spiritual kaja-kelod yang dikaitkan dengan arah orientasi kepada gunung dan lautan (nyegara gunung, segara-wukir), luan-teben, sekala-niskala, suci-tidak suci dan sebagainya. Segala sesuatu yang dikategorikan bersifat suci dan bernilai sakral akan

menempati letak di baian kaja (utara) mengarah ke gunung, seperti letak pura, arah sembahyang, arah tidur dan sebagainya. Sebaiknya, segala sesuatu yang dikategorikan

kurang suci dan bernilai profan, akan menempati letak bagian kelod (selatan), seperti letak kuburan, letak kandang, tempat pembuangan sampah/ kotoran,dan sebagainya.

Gambar 10. Struktur Kota Denpasar yang disesuaikan dengan orientasi timur-laut sebagai arah utama dan

barat-daya sebagai arah profan.

(28)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 22Konsep Sanga Mandala

Dalam kasus perumahan masyarakat Kota Denpasar, prinsip kaja-kelod jelas berperan penting. Rumah Bali terdiri atas daerah yang bertembok yang di dalamnya

sejumlah bangunan mengelompok di seputar sebuah ruang terbuka. Tempat kedudukan

berbagai bangunan di tanah itu tergantung pada prinsip sanga-mandala (J.M. Nas, 1995). Hal ini meyebabkan perumahan masyarakat Kota Denpasar di masa lalu pada umumnya

memerlukan ruang yang cukup luas untuk menerapkan konsep ini. Selain perumahan

masyarakat umum, beberapa Puri (tempat tinggal keluarga kerajaan) yang tersebar di

Kota Denpasar, misalnya Puri Pemecutan, Puri Satria, Puri Kesiman, dan Puri Tainsiat,

menerapkan konsep sanga-mandala yang dikombinasikan dengan konsep nista-madya-utama dengan cukup megah. Namun, seiring berkembangnya jaman, keberadaan perumahan sederhana, arus penduduk pendatang, serta tradisi pembagian tanah warisan

di Bali menyebabkan konsep ini mulai sulit diterapkan di Kota Denpasar yang semakin

padat.

(kaki) (tubuh) (kepala)

Terbenam Zenit (Terbit)

C B A Gunung (kepala, utama)

F E D Tanah (tubuh, madya)

I H G Laut (kaki, nista)

Gambar 11. Konsep Sanga Mandala.

Sumber : J.M Nas, 1995.

Dalil-dalil dua tripartisi ini diambil dari alam, yakni gunung, tanah, laut, serta

matahari terbit, zenit, matahari terbenam. Kedua tripartisi ini masing-masing berhubungan

dengan kombinasi utara-selatan dan timur-barat. Kombinasi ini mewakili rumah sebagai

suatu antrpomorf dengan kepala, tubuh, dan kaki, yang juga berkaitan dengan empat titik

mata angin. Sembilan bidang ini memiliki konotasi sendiri-sendiri. A adalah pura rumah

sebagai lokasi paling suci yang mengarah ke Gunung Agung. Daerah B diisi dengan

kamar tidur orang tua yang menjaga benda-benda suci, seperti keris. C sering dipakai

(29)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 23

berlokasi bangunan untuk anak yang sudah menikah (D) dan yang belum menikah (F).

Gudang beras terletak di G, dan H adalah ruang yang digunakan untuk upacara

kematian. I merupakan dapur, dimana pintu gerbang juga terletak di bagian itu.

Sebagai konsekuensi urbanisasi dan semakin padatnya penduduk, masyarakat

Kota Denpasar sekarang mulai kesulitan menerapkan konsep ini dalam membangun

rumah mereka. Kesulitan tersebut hanya menyangkut bangunan-bangunan yang

multifungsi, untuk posisi pura masih berkiblat ke timur-laut. Konsep ini biasanya hanya

diterapkan pada „rumah tua‟ atau rumah utama keluarga besar yang juga memiliki pura

atau pemerajan utama bagi keluarga besar. Sedangkan bagi anak laki-laki yang mesepih

atau pindah dari „rumah tua‟, rumahnya hanya terdiri dari satu bangunan rumah

sederhana dan tugu pemujaan atau pelinggih. Hal ini jamak terlihat di perumahan-perumahan sederhana di Kota Denpasar saat ini, misalnya pada wilayah Monang Maning

atau Denpasar Selatan. Pencampuran komposisi penduduk dari berbagai etnik yang ada

di Kota Denpasar saat ini juga mengurangi penerapan dari konsepsi ini.

Konsep Catus Patha

Catus Patha adalah konsep tradisional tentang perempatan jalan yang digunakan

sebagai pusat pertumbuhan kota dengan elemen Puri (Istana), Wantilan (Ruang Terbuka

Publik), Alun-alun (Ruang Terbuka Hijau) dan Peken (Pasar) (Juliarthana, 2012). Catus

Patha memberi pengertian bertemunya pengaruh yang datang dari empat arah mata

angin (Timur, Selatan, Barat dan Utara). Jika konsep Catus Patha digabung dengan

Panca Aksara maka akan melahirkan konsep Dasa Aksara. Filosofi ini kemudian

menjiwai konsep Astha Dala (delapan penjuru mata angin) dengan satu inti di tengah,

yang akhirnya melahirkan konsep Dewata Nawa Sanga. Konsep ini merupakan

kristalisasi filosofi yang menggambarkan pengendalian ketertiban proses keseimbangan

alam, mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat dan sebagai jiwa dalam

perencanaan fisik/tata ruang yang telah melahirkan konsep Nawa Sanga atau sembilan

(30)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 24

Gambar 12. Konsep Catus Patha Kota Denpasar.

Sumber : J.M Nas, 1995.

Di Denpasar terdapat satu perempatan pusat yang berfungsi sebagai Catus Patha

wilayah, yaitu perempatan Patung Catur Muka. Pada masa kolonial tempat ini ditandai

oleh sebuah jam besar, tidak jauh dari hotel paling penting pada masa itu itu, Hotel Indies

(J.M Nas, 1995). Jam tersebut menyimbolkan pentingnya waktu yang tercatat secara

mekanis serta pentingnya supremasi kolonial. Pada tahun 1972, jam ini diganti dengan

patung Dewa Brahma dengan empat wajah atau Catur Muka. Patung ini menunjukkan

kesucian empat titik mata angin dan kosmos. Dengan dibangunnya patung ini,

perempatan ini sekali lagi menjadi pusat kota, perempatan suci, dan simbol restorasi

identitas masyarakat Bali. Hingga akhir tahun 1980-an, lapangan di arah tenggara patung

masih digunakan sebagai lapangan sepak bola, namun pada tahun itu lapangan tersebut

diubah menjadi alun-alun untuk melengkapi konsepsi Catus Patha. Lapangan tersebut

kini dikenal sebagai Lapangan Puputan Badung, alun-alun yang dibangun untuk

mengingat peristiwa Puputan atau perang berani mati masyarakat Denpasar (atau Badung pada saat itu) dalam melawan tentara kolonial.

Pada tahun 1980-an, setelah alun-alun pusat dan perempatan tersebut

direstorasi, pusat Kota Denpasar memperoleh kembali bentuk simbolis yang sudah hilang

dengan berjalannya waktu. Kebudayaan Bali dinilai kembali, yang tercermin dalam

struktur ruang kota tersebut. Hal ini memenuhi cita-cita kota itu menurut masyarakat Bali.

Perempatan jalan ini ditandai oleh patung Catur Muka, yang menetapkan empat daerah,

masing-masing dengan fungsi khususnya. Daerah tenggara terbentuk oleh sebuah

tempat terbuka, alun-alun. Daerah timur-laut didominasi oleh istana, puri, serta bangunan

(31)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 25

seperti pasar dan pusat-pusat kegiatan penduduk lainnya. Sektor barat-laut digunakan

sebagai pusat kegiatan keagamaan atau pura, dan rumah-rumah penduduk berkelompok

di sekitar area ini. Pura-pura berlokasi ke arah utara dan selatan Kota Denpasar,

masing-masing Pura Puseh (tergabung dengan Pura Desa) dan Pura Dalem. Ini menghasilkan

tiga tingkat yang mewakili kepala, tubuh, dan kedua kaki antropomorfis. Di samping itu,

perempatan jalan suci tersebut membentuk sintesis dari empat bagian kota tersebut,

yang mengungkapkan pengaturan kosmisnya, suatu pengaturan yang diduga berakar

pada zaman pra-Hindu (Swellengrebel, 1984 dalam J.M nas, 1995).

Pola ini berakar dari fakt bahwa selama Puputan orang Belanda telah

menghancurkan puri yang paling penting, sekarang di tempat ini berdiri kediaman

Gubernur Bali, istana baru yang efektif. Alun-alun, pura, dan pasar semua berlokasi

dimana masyarakat dengan mudah menemukan tempat tersebut. Demikian pula halnya

dengan rumah penduduk, meskipun pertumbuhan Kota Denpasar berarti

rumah-rumah akan banyak dibangun di sekitar lokasi tersebut. Namun, terdapat puri –puri

penting di Kota Denpasar, termasuk Puri Pemecutan yang merupakan cabang kecil dari

puri agung yang dihancurkan Belanda. Kajian pada situasi ketiga puri agung dan

pusat-pusat perbelanjaan paling penting menunjukkan adanya oposisi utara-selatan. Alun-alun

Puputan badung sendiri mempunyai struktur simbolis lebih mendetil. Sepanjang

perempatan pusat di sudut barat-laut dan kediaman Gubernur Bali sebagai perwakilan

kekuasaan temporal, pura agung, museum, markas militer dan balai kota berlokasi

disana. Semua kekuasaan duniawi diwkili dalam satu sisi di utara dan barat alun-alun. Di

sisi timur, adalah kekuasaan spiritual dalam bentuk Pura Jagatnatha. Konsep Catus

Patha ini menyebabkan pola ruang di Kota Denpasar menyerupai bentuk konsentris,

dimana berpusat pada perempatan patung Catur Muka. Sedangkan, pada arah utara

patung Catur Muka pola jaringan jalan berbentuk grid, dimana terdapat banyak

perumahan masyarakat di lokasi tersebut.

Konsep Tri Hita Karana

Konsep Tri Hita Karana merupakan sebuah konsep dimana penataan ruang dan

kehidupan masyarakat didasari pada tiga konsep utama, yaitu hubungan manusia

dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan), serta hubungan manusia dengan alam/ lingkungannya (Palemahan). Hakekat Tri Hita Karana adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi pada

(32)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 26

Kesimbangan hidup sangat penting artinya dalam kehidupan manusia, baik untuk menata

kehidupan sekarang maupun untuk menata kehidupan yang akan datang. Ajaran

keseimbangan hidup menuntun manusia agar memperoleh kehidupan yang aman, damai

dan sejahtera (Artaya, 2012). Dalam konteks pembangunan secara global hal ini

diterapkan dalam pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan (sustainable

development) yang selaras dengan alam sehingga membawa dampak positif tidak hanya

bagi kehidupan manusia tetapi juga bagi lingkungan.

Penerapan Konsep Tri Hita Karana di Kota Denpasar berupa Pura Jagatnatha,

Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem sebagai simbol Parahyangan. Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem berfungsi sebagai tempat pemujaan tiga dewa besar, Tri Murti,

yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, sedangkan Pura Jagatnatha berfungsi sebagai pura bagi

masyarakat umum, dimana di pura ini terdapat Padmasana, simbol gunung tempat pemujaan Tuhan. Pasar Badung, pusat-pusat perdagangan jasa, gedung-gedung

pemerintahan, serta ruang publik seperti alun-alun mewakili Pawongan dimana masyarakat bertemu dan melakukan kegiatan sehari-hari. Sedangkan Palemahan

disimbolkan dengan ruang terbuka seperti Lapangan Puputan Badung, Lapangan

Puputan Margarana, GOR Ngurah Rai, Pantai Sanur, dan jalur hijau yang berfungsi

sebagai „halaman‟ dari Kota Denpasar.

Gambar 13. Konsep Tri Hita Karana.

Sumber : id.wikipedia.org, 2013.

Tri Hita Karana dan konsepsi-konsepsi ruang dan orientasi sangat berperan

dalam landasan pembentukan ruang yang terjadi, yang selanjutnya kemudian diikuti oleh

budaya aktivitas. Budaya aktivitas seperti perilaku disiplin, taat aturan, pola hidup bersih

(33)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 27

yang baik dan akan sangat mendukung kemajuanpembangunan identitas dan karakter

Kota Denpasar. Demikian besar peran budaya Bali dalam kontelasi pembentukan

identitas kawasan perkotaan yang berkarakter budaya. Sehingga, beberapa fitur yang

terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dilandaskan pada norma

dan filosofiske-Bali-an yang ada.

2.3.4 Kondisi Sosial Budaya

Budaya tradisional Bali yang didasari oleh Agama Hindu, dalam kehidupan

sehari-hari berhubungan dengan Tatwa, Susila, dan Upacara guna mencapai tujuan (Dharma),

yaitu “Moksartham Hagadhita Ya Ca Iti Dharma”, dumana harus tercapai hubungan yang

harmonis antara alam semesta yang merupakan Bhuana Agung (Makro kosmos) dengan

manusia sebagai Bhuana Alit (Mikro Kosmos) (Bagus, 2012). Dalam hal ini, bentuk kota

Denpasar (Bhuana Agung) dan manusia (Bhuana Alit) yang mendirikan, membangun dan menempati tempat tersebut. Hubungan antara tempat tinggal dan manusia yang

harmonis dapat tercapai melalui unsur-unsur kehidupan yang sama yaitu “Tri Hita

Karana” (Tiga Unsur Kehidupan). Penerapan konsepsi-konsepsi perumahan tradisional

Bali sesuai dengan konsep Tri Pramana (Desa, Kala, Patra) yang menjadi landasan

taktis operasional, mewujudkan pola perumahan yang bervariasi di Bali, namun dapat

diidentifikasi 4 (empat) atribut antara lain:

 Aspek Sosial; yang menyangkut sistem kemasyarakatan yang dikenal desa/banjar(adat), yang memiliki ciri-ciri, seperti: adanya legitimasi dan atribut

desa adatatau banjar.

 Aspek Simbolik; berkenaan dengan orientasi kosmologis antara lain orientasi arah sakral (kaja-kangin) dan Sanga Mandalaatau Tri Mandala.

 Aspek Morfologis; yang secara morfologis kegiatan-kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: inti (fasilitas banjar/pura),

terbangun (perumahan) dan pinggiran (belum terbangun).

 Aspek Fungsional; berkaitan dengan orientasi kosmologis (Sanga Mandala) yang tercermin pada tata letak ruang. Dalam skala rumah, Sanggah (Utama),

Meten/tempat tidur (Madya) dan yang kotor (KM/WC) pada daerah Nistha. Dalam

skala perumahan sesuai dengan peletakan fasilitas dan jaringan jalan melahirkan

(34)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 28

Secara umum ciri-non fisik yang dapat dilihat dari morfologi kota Denpasar adalah

dari aspek religius, sosial budaya serta factor filosifi tata ruang tradisional Kota Denpasar.

Sejak dahulu kota Denpasar dipengaruhi oleh beberapa konsep yang bersumber dari

kearifan local masyarakat Bali dimana adanya konsep Catus Patha; yang mementuk

perempatan Patung Catur Muka yang membentuk pola kota menjadi konsentris, Konsep

Sanga Mandala dan konsep orientasi mata angin,seta Konsep Tri Hita Karana (Tiga

Unsur Kehidupan). Selain itu ciri non fisik juga ditunjukkan dengan penduduk yang

mayoritas saat awal terbentuknya Kota Denpasar beragama Hindu menyebabkan

pemanfaatan ruang-ruang di Kota Denpasar digunakan sebagai tempat-tempat yang

penting bagi ritual keagamaan, misalnya Pura sebagai tempat pemujaan. Faktor Sosial

Budaya masyarakat Bali juga membentuk morfologi kota Denpasar yang unik dimana

kota-kota Bali memiliki desa adat ataupun banjar (J.M Nas, 1995).

Beberapa perumahan yang dihuni warga pendatang juga mulai menerapkan

sistem banjar, tetapi tidak dengan desa adat karena itu merupakan warisan turun temurun dan berkaitan erat dengan aspek-aspek ritual. Keberadaan desa adat dan banjar

ini menyebabkan di Kota Denpasar banyak terdapat bale banjar serta elemen-elemen yang terdapat pada setiap desa adat seperti Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, Setra, serta tanah adat. Sejarah Kota Denpasar sebagai sebuah kerajaan juga masih

bertahan hingga saat ini dilihat dari eksistensi Puri-Puri yang ada di Kota Denpasar.

Kehidupan adat di Kota Denpasar berorientasi kepada Puri-Puri yang tersebar, seperti

Puri Pemecutan, Puri Satria, Puri Kesiman, yang masih menjalankan fungsi sebagai

„pemerintahan‟ adat bagi masyarakat Kota Denpasar. Kegiatan ekonomi Kota Denpasar

juga sudah dimulai sejak pada saat masa kerajaan, dimana Pasar Badung menjadi

pusatnya. Sampai saat ini kegiatan ekonomi mulai berkembang dengan pesat seiring

dengan berkembangnya sektor pariwisata di Bali. Saat ini kota Denpasar dikenal dengan

berbagai kegiatan keagamaan, budaya dan pariwisata nya yang memukau. Semua hal itu

menjadi ciri non fisik yang melekat dan mencerminkan morfologi Kota Denpasar.

2.3.5 Kondisi Perekonomian

Kota Denpasar ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Provinsi bali pada tahun

1958 (Merti, 2010). Hal ini berimbas terhadap perekonomian Kota Denpasar yang

semakin berkembang. Awalnya, mayoritas masyarakat Kota Denpasar hidup dari aspek

pertanian. Pola permukiman masyarakat dipengaruhi oleh pola irigasi dan terasiring

sawah. Namun, seiring kebutuhan lahan yang kian meningkat, banyak terjadi perubahan

(35)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 29

hanya tersisa 2.717 ha (21,26%) dari keseluruhan 12. 778 ha. Masyarakat kini lebih

beralih terhadap mata pencaharian di bidang non-pertanian, misalnya perdagangan.

Berkembangnya perekonomian juga menyebabkan Kota Denpasar menjadi tujuan utama

masyarakat di luar Kota Denpasar untuk datang mencari pekerjaan. Hal ini menjadikan

pola permukiman semakin padat dan tidak beraturan.

2.4 Aspek/ Faktor yang Dominan Mempengaruhi Bentuk Kota Denpasar

Sejarah perkembangan kota-kota di dunia menunjukkan bahwa pola dan bentuk

kota dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu antara lain pengaruh dari kondisi topografi,

sosio-kultur masyarakat, kehidupan perekonomian, kepentingan pertahanan, kegiatan

politik, dan kehidupan religius masyarakat (Supriharjo, 2005). Aspek-aspek yang

mempengaruhi morfologi Kota Denpasar, antara lain adalah :

2.4.1 Aspek Fisik

Aspek fisik yang mempengaruhi bentuk kota ataupun perubahan bentuknya

(morfologi) terdiri dari berbagai faktor, yaitu faktor kondisi fisik yang meliputi letak secara

fisik, kondisi topografi, yaitu lokasi dan unsur alam yang ditempati, serta berbagai

pengaruh lain dari lingkungan sumber daya alam yang terkandung di dalam dan di

atasnya (Supriharjo, 2005). Kondisi fisik Kota Denpasar dipengaruhi oleh kondisi

geografis yang dipengaruhi oleh garis pantai dan banyak sungai. Panjang pantai kurang

lebih 11 km, berupa perairan laut pantai Padang Galak dan Pantai Sanur serta pantai

Pulau Serangan (Merti, 2010). Garis pantainya membentang mulai dari Pantai

Padanggalak, Sanur, Mertasari dan Pantai Serangan. Garis pantai ini menimbulkan

munculnya kegiatan pariwisata di sekitarnya yang menjadi sumber tumbuhnya

perekonomian masyarakat. Di beberapa pantai seperti Padanggalak dan Serangan juga

masih terdapat masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.

Terdapat dua sungai utama yang melintasi Kota Denpasar, yaitu Sungai Ayung

dan Sungai Badung (Sunaryo, 2003). Hal ini mendorong tumbuhnya kegiatan berupa

subak (pertanian), permukiman, dan pemerintahan di sepanjang sungai. Di sisi Sungai

Badung misalnya, terdapat pusat kegiatan ekonomi seperti Pasar Badung dan Pertokoan

Gajah Mada. Pusat pemerintahan juga berada di sisi sungai tersebut. Kota Denpasar

terletak di lahan dengan ketinggian rata-rata 0-75 m dan kemiringan yang landai, yaitu

(36)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 30

memadai untuk digunakan sebagai pusat kegiatan, utamanya pemerintahan. Karena

kondisi lahan yang datar pula, Kota Denpasar banyak dipilih untuk menjadi lokasi

permukiman.

Gambar 14. Peta aliran Sungai Badung.

Sumber : www.denpasarkota.go.id.

2.4.2 Aspek Religi

Kota yang terbentuk bedasarkan aspek religi adalah kota yang memilki dimensi

kesakralan, yaitu kota-kota yang mempunyai kegiatan ritual yang sangat intens

(Supriharjo, 2005). Kota Denpasar memiliki nuansa religi yang cukup kental,

sebagaimana umumnya daerah-daerah yang kental dengan pengaruh Agama Hindu. Hal

yang paling kental terlihat adalah penerapan konsep Tri Kahyangan Desa di setiap desa

adat (Sanjaya, 2010). Tri Kahyangan Desa adalah konsep tiga pura suci (Pura Desa,

Puseh, dan Dalem) yang dimiliki setiap desa adat di Bali dan di Kota Denpasar pada

khususnya. Pencetus pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman adalah Mpu

Kuturan kira-kira pada abad ke-11. Pada abad tersebut yang menjadi raja di Bali adalah

Raja Udayana yang didampingi oleh permaisurinya dari Jawa bernama Mahendradatta

dengan gelar Gunapriya Dharma Patni. Pura ini digunakan untuk memuja tiga dewa

besar Hindu (Brahma, Wisnu, dan Siwa). Hal ini menyebabkan kekhasan setiap lokasi di

(37)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 31

Aplikasi pengaruh religi yang kental adalah pada intensnya upacara agama yang

digelar. Di Bali dan Kota Denpasar pada khususnya, banyak sekali upacara adat yang

dilakukan pada skala besar maupun kecil (Suarcani, 2011). Walaupun demikian

pelaksanaan upacara yadnya bisa dilakukan dengan tingkatan nista (bawah), madya

(menengah), utama (tinggi) tergantung kemampuan finansial dan keikhlasan

masing-masing individu, tidak ada satu keharusan harus ambil tingkatan yang mana, walaupun

tingkatan ini berbeda tapi tetap memiliki arti dan tujuan yang sama. Aktivitas upacara adat

di Bali, ada 5 macam jenis yadnya atau disebut Panca Yadnya, yaitu Dewa yadnya, pitra

yadnya, rsi yadnya, manusia Yadnya dan Bhuta Yadnya. Adanya keperluan ritual ini

mempengaruhi tingkat kebutuhan akan barang-barang ritual yang mempengaruhi

perekonomian masyarakat Kota Denpasar. Hal ini juga mempengaruhi pemanfaatan

ruang, khususnya pada setiap banjar yang merupakan pusat kegiatan terkecil dari ritual

keagamaan. Contohnya, setiap banjar memiliki jalur/ jalan utama yang digunakan untuk

ritual-ritual seperti ngaben dan mepeed (berjalan beriringan menuju pura). Rumah-rumah warga biasanya tersebar di sepanjang jalur ini.

2.4.3 Aspek Sosial Budaya

Kehidupan sosio-kultur yang khas dari masyarakat yang khas dari masyarakat

yang tinggal di suatu daerah, yang terbentuk kekhasan etnis dan suku, dalam beberapa

hal juga mempengaruhi pola dan bentuk kotanya (Supriharjo, 2005). Faktor lain yang

Pura Desa Pura Puseh Pura Dalem

Desa Pekraman/ Adat

Gambar 15. Konsep Tri Kahyangan Desa.

(38)

Morfologi KotaPWK-ITS 2013 | 32

mempengaruhi morfologi kota adalah tatanan sosial yang dicerminkan dalam wujud

lingkungan permukiman bedasarkan kedekatan kekerabatan, afiliasi kesukuan, dan etnis.

Kota Denpasar memiliki konsep desa tradisional, yang disebut desa adat, seperti Desa

Badung/Denpasar, Desa Yangbatu, Desa Pagan, Desa Sumerta, dan Desa Kesiman (J.M

Nas, 1995) Di dalam desatersebut, berfungsi satuan yang disebut banjar. Banjar adalah

kelompok-kelompok yang melaksanakan kegiatan budaya dan religius secara komunal.

Di atas banjar dan desa adat ada struktur administrasi yang lebih tinggi, seperti

kelurahan, kecamatan, dan kotamadya. Struktur tradisional itu kokoh, dan bersama

dengan keluarga dianggap sebagai batu landasan kebudayaan Bali. Banyak aktivitas

kebudayaan dan religius yang mengambil bentuk di dalam kerangka keluarga, desa adat,

dan banjar. Selain mempengaruhi bentuk kegiatan, konsep ini juga mempengaruhi bentuk

pesebaran permukiman yang pada umumnya berkelompok pada masing-masing banjar.

Gambar 16. Peta pembagian wilayah desa adat per-kecamatan di Kota Denpasar.

Gambar

Gambar 1. Peta Wilayah Kota Denpasar. Sumber : www.denpasarkota.go.id, 2013
Gambar 2. Diagram perkembangan Kota Denpasar
Gambar 3. Foto Puri Denpasar yang diambil pada tahun 1900.
Gambar 4. Struktur kekuasaan puri dan catuspatha kerajaan Badung.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian yang berjudul “Perilaku Remaja Putri Dalam Perawatan Genetalia Saat Menstruasi Pada Siswi Kelas II SMKN 2 Magetan”,saya mohon dengan

Jika dilihat dari korelasi antar indicator (table 5), hanya indicator NPL yang memiliki hubungan negative dengan fee-based income. Selanjutnya, setelah dilakukan pengujian untuk

Penggunaan teknologi internet ini dapat membantu tugas dan fungsi Pegawai Pemerintah Kota Bitung dalam menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat, seringkali

Nyanyian tradisional kematian dalam masyarakat waropen terdiri dari dua jenis, yaitu nyanyian yang dilantunkan pada saat jenasah masih berada didalam rumah duka, yang disebut sebagai

Penelitian ini akan membangun suatu aplikasi yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaaan hematologi di RSUD Curup Kabupaten Rejang

1) Pertambahan bobot mutlak Gracilaria sp. 2) Laju pertumbuhan rumput Gracillaria sp yang ditanam pada permukaan air lebih baik dibandingkan laju pertumbuhan pada

PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL PAJAK BUMI BANGUNAN BAGIAN PEMERINTAH PUSAT YANG DIBAGIKAN KE SELURUH.. KABUPATEN DAN KOTA TAHUN

Kemampuan intelektual ini dibutuhkan dalam mengatasi masalah ( problem solving ), menerapkan taktik dan strategi dalam latihan, dan menghadapi pertandingan”. 24)