MENCARI AGAMA UNTUK MANUSIA
Oleh : Qolbi Khoiri, M.Pd.I
Dosen Fakultas Usuhuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Bengkulu
Peneliti pada Pusat Kajian Agama, Politik dan Peradaban (PUSKAPP)
Cintaku, izinkan aku menjadi budak damaiMU
Dimanapun ada kebencian izinkan aku membawa lilin perdamaian.
Dan memercikan air cinta kasih - Santo
Agustinus-
---Merold Wespalt, seorang kritikus agama mengetengahkan sebuah pandangan yang berbanding terbalik mengenai klaim-klaim agama yang sejak lama mengendalikan streotipe bagi beberapa kata seperti kebajikan, cinta kasih, kedamaian dan keselamatan. Ia mengetengahkan tinjauan sejarah mengenai fakta bagaimana agama telah diterapkan melalui tindakan-tindakan desktruktif terhadap peradaban manusia. Ciri khas dari pola keagamaan ini adalah kecendrungan menafsirkan teks-teks suci dengan pola penafsiran yang tertutup bagi relasi kontekstualnya. Bagi beberapa kalangan pola keagamaan ini disebut juga puritanisme atau fundamentalisme agama dalam bentuknya yang lebih kaku. Baginya puritanisme agama yang berbasis pada tradisi literal telah terlanjur memposisikan orang-orang yang tidak sejalan dengannya sebagai ancaman bagi stabilitas dogma-dogma agama yang diyakini oleh para penafsir teks ini. Realitas ini memunculkan kecurigaan bahwa para pemegang otoritas dalam tradisi literal telah menggunakan fungsi otoritatif sebagai alat untuk menjustifikasi tindakan-tindakan ilegal dalam pandangan moral. Contohnya, mengambil keuntungan dalam aspek politis maupun ekonomis dengan bersandar pada teks-teks agama atau bahkan melegalkan tindakan-tindakan anti kemanusiaan dengan justifikasi teks-teks agama. Tujuan utama dari narasinya adalah untuk membiarkan para pemeluk agama untuk melihat dirinya sendiri dalam sebuah prisma pikiran-pikiran ini dan dengan jujur mengakui bahwa agama yang menelantarkan akal sehat tidak akan pernah sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Kita tidak tahu, apakah Armstrong yang datang begitu lambat atau Westpalt yang tiba terlalu cepat untuk meninjau kembali atau bahkan mengentaskan bencana kemanusiaan yang terjadi dengan keterlibatan agama didalamnya. Setidaknya, kita menemukan sebuah titik tolak dari permasalahan ini. Bahwa realitas destruktif ini setidaknya disebabkan oleh tercerabutnya kesadaran kaum beragama terhadap inti dari keberagamaan yakni cinta kasih, perdamaian dan keselamatan. Kesadaran terhadap inti agama ini menjadi basis utama bagi tindakan-tindakan keagamaan yang merespon realitas faktual dengan instrument yang telah menjadi bagian inheren dalam diri manusia yakni rasionalitas atau akal sehat yang berfungsi sebagai penakar makna-makna teks suci. Sekali lagi, kita menemukan bahwa ketercerabutan ini disebabkan oleh kecendrungan irasional dalam bentuk-bentuk keberagamaan yang berujung pada kelalaian kaum beragama untuk merekonstruksi ulang pola-pola penafsiran terhadap teks yang memungkinkan baginya untuk berdialog dengan konteks.