• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjadi Perempuan Sebagai Jawaban Atas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menjadi Perempuan Sebagai Jawaban Atas"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN

Semenjak akhir tahun 1980-an, fenomena pengelolaan tubuh menjadi semakin intens dan kompleks. Hal ini disebabkan karena adanya perkembangan pasar global dimana Indonesia terintegrasi ke dalamnya. Faktanya semenjak tahun 1980an tersebut, berbagai kebijaksanaan deregulasi dan integrasi ekonomi seperti WTO dan APEC telah menciptakan kondisi dan kesadaran bahwa Indonesia telah menjadi bagian dari system dan struktur ekonomi global. Berbagai dampak positif dan negative hadir sebagai implikasi dari semakin terbukanya pasar dan struktur ekonomi Indonesia. Golongan-golongan masyarakat tertentu seperti kelas menengah-atas dan menengah-atas tentu dapat menikmati dan “berselancar” di menengah-atas fakta semakin terbukanya pasar kita, namun tidak demikian dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang notabenenya unskilled dan dipersepsikan tidak siap menghadapi semakin meningginya persaingan lahan pekerjaan sebagai dampak dari semakin kompleksnya system dan struktur ekonomi Indonesia. Bagi mereka yang tergolong unskilled, “kreatifitas” mungkin akan menjadi satu-satunya jalan keluar dari kondisi ketertekanan ini. Salah satu manifestasi dari “kreatif” ini kemudian adalah munculnya fenomena transgender atau yang umum kita sebut sebagai waria/banci yang sekarang ini bertransformasi menjadi basis ekonomi.

Secara sederhana, kita dapat mengartikan transgender sebagai keinginan untuk “menjadi” lawan gender dari dirinya sendiri. Hal ini tidak mempersempit kemungkinan terjadinya trans perempuan menjadi lelaki, namun dewasa ini kita semakin terjebak dalam konsep bahwa transgender adalah lelaki yang ingin menjadi perempuan yang kemudian kita beri stigma sebagai waria. Maka kemudian jelaslah bahwa dalam konteks ini, transgender berarti keinginan untuk menjadi perempuan. Sekarang ini, perempuan dan kecantikannya telah diindustrikan menjadi sebuah lahan konsumsi yang tidak akan berhenti oleh karena proses produksi mitos “cantik” yang terjadi terus menerus dan hal ini sangat wajar sebagai bentuk kapitalisasi akan hasrat untuk merih kecantikan. Oleh karena itu, perempuan kini memiliki posisi strategisnya sendiri dalam tatanan structural ekonomi, dan hal ini telah memberikan perempuan power tersendiri. Oleh karena itulah kita dapat mengatakan bahwa “menjadi perempuan” berarti “menjadi golongan berada”. Menjadi perempuan telah bertransformasi menjadi basis ekonomi.

(2)

mungkin dapat kita asumsikan sebagai efek dari konsumsi simbolik perempuan di iklan terhadap lelaki. Namun faktanya, setelah golongan lelaki ini bertransformasi “menjadi perempuan” atau waria, ternyata masyarakat tidak memberikan power dan apresiasi seperti yang diidealkan. Bahkan golongan ini banyak dipandang sebelah mata dan “diharamkan” oleh kelompok tertentu.

B. PERMASALAHAN

“Menjadi perempuan” yang diidealkan sebagai jalan keluar dari ketertekanan ekonomi ternyata tidak memenuhi harapan golongan waria. Permasalahan ini menghadirkan beberapa pertanyaan penting terkait perempuan dan mereka yang ingin menjadi perempuan. Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini diharapkan dapat menjawab satu Pertanyaan-pertanyaan inti yang menjadi dasar dari terbentuknya makalah ini.

1. Apakah seluruh golongan perempuan dinilai oleh masyarakat sebagai ideal, ataukah ada kriteria tersendiri?

2. Bagaimanakah definisi cantik yang sejauh ini ditempatkan menjadi basis ekonomi dari perempuan?

3. Bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap golongan transgender atau waria?

4. Seperti apa definisi cantik menurut waria sendiri?

Pada akhirnya, keseluruhan pertanyaan ini akan mengerucut pada satu pertanyaan utama yang ingin diketahui dan dijawab oleh penulis:

(3)

C. KERANGKA PEMIKIRAN

Dibalik terjadinya fenomena transgender ini, kita dapat melihat adanya faktor lain yang mempengaruhi pola interaksi dalam masyarakat yang dalam konteks ini berarti berinteraksi dalam tatanan ekonomis. Munculnya faktor ini tidak lain adalah manifestasi dari apa yang Karl Marx sebut sebagai superstructure. Teori Marx ini mengindikasikan akan adanya lembaga-lembaga baru serta keyakinan dan pandangan pandangan yang baru yang tentu saja tak lepas dari faktor ekonomi (Soule, 1994:88). Teori superstructure Marx menjelaskan bahwa dibalik interaksi yang menurut Levi-Strauss terjalin secara structural, sebenarnya ekonomi menjadi salah satu basis pendorong terjadinya interaksi tersebut. Hal inilah yang kemudian menurut penulis memunculkan sebutan homo economicus. Sehingga kita kemudian dapat membayangkan bahwa konsep superstructure Marx memiliki kedudukan yang melingkupi atau bahkan menduduki struktur sosial seperti yang selama ini telah kita kenal dengan alasan-alasan ekonomisnya. Penerapan teori ini sebenarnya tidak lepas dari penggabungan produk-produk budaya yang merupakan manifestasi dari terjadinya interaksi secara structural tersebut dengan konteks sosial ekonominya. Sehingga kemudian kita dapat mengasumsikan bahwa keseluruhan konsep “perempuan” sebagai produk budaya memiliki nilai ekonomisnya sendiri, dan menjadi perempuan mungkin menjadi salah satu dari banyak pintu masuk untuk memperoleh capital.

Menurut penulis, fenomena transgender ini tidak lepas dari transformasi keseluruhan konsep perempuan yang tadinya hanya sebagai pelaku kegiatan domestic, sebagai pekerja keluarga, atau bahkan “kelas rendah” menjadi perempuan yang sangat otonom dan penuh kebebasan dewasa ini (sebagai efek dari mitos-mitos yang dibentuk oleh industry kecantikan). Pada akhirnyanya, perempuan membentuk economic capital untuk golongannya sendiri yang kemudian mengatur hubungan-hubungan sosial antar perempuan dan laki-laki. Hal inilah yang kemudian memberikan perempuan power untuk menempatkan dirinya sendiri dalam tatanan struktural ekonomi, Dengan demikian, “menjadi perempuan cantik” berarti menjadi golongan pemegang capital ekonomi atau menjadi basis ekonomi dan memiliki kemampuan untuk melakukan konsumsi real, bukan hanya konsumsi simbolik yang diakibatkan oleh iklan-iklan dan mitos-mitos terkait perempuan dan kecantikan.

(4)

golongan di luar perempuan tidak lekat dengan label estetika, keindahan, kecantikan, dll yang tidak dapat ditransformasikan menjadi basis ekonomi dan tidak menguntungkan.

Oleh karena itulah muncul golongan waria yang hadir dengan latar belakang ekonomi. Dengan berdandan dan bertingkah laku sepeti para pemegang capital, mereka berharap akan memperoleh posisi yang strategis pula dalam struktur ekonomi. Dari sana, mereka mulai merawat dirinya sendiri dalam artian mempercantik diri sehingga sedapat mungkin “menjadi perempuan”. Jika kita menuruti teori psikologi terkait penampilan, yang Nancy Etcoff (1999) sebut sebagai lookism, maka seharunya dengan penampilan yang lebih baik, seseorang akan lebih sukses dalam kehidupannya. Dalam masyarakat yang terkungkung dengan banyak iklan pembentukan mitos yang bergambar perempuan, kita kemudian dengan sendirinya terkonsepsikan dengan definisi cantik itu sendiri. Hal ini merupakan implikasi dari kecenderungan iklan untuk memotret aspek tertentu saja dari perempuan, yaitu bentuk tubuh, keindahannya dan kesegaran tubuh yang kemudian memproduksi nilai tentang “kewanitaan” / seharusnya wanita itu seperti apa (Abdullah, 2001:33) Bahkan, pusat-pusat kebugaran telah menjadi agen yang berperan penting dalam menegaskan ukuran-ukuran tubuh yang ideal. Sehingga kemudian kita dapat mengasumsikan bahwa para waria sebenarnya sedang berusaha untuk terlihat seperti wanita yang secara spesifik mampu dihadirkan dalam iklan. Hal inilah yang kemudian mendorong mereka untuk suntik silicon di bagian-bagian tubuh tertentu, memakai dandanan yang tebal, dll yang diharapkan dapat memenuhi imaji ideal masyarakat akan definisi dari cantik.

Sebenarnya pola fikir ini sederhana sekali dan logis bagi sebagian anggota masyarakat. Namun, ada pula beberapa kelompok masyarakat yang seolah menajiskan golongan ini. Namun, focus utama di sini adalah bahwa golongan waria yang berusaha “menjadi perempuan” nyatanya tidak direspond sesuai dengan pandangan public terhadap perempuan pada umumnya yang diselimuti dengan kecantikan. Hal inilah yang kemudian menurut penulis menjadi akibat dari gagalnya waria dalam memperoleh capital. Di sini, penulis mengasumsikan bahwa bentuk tubuh merupakan syarat atau faktor dominan di dalam berbagai pertukaran sosial. Penerimaan sosial dan batas-batas hubungan sosial mungkin dipengaruhi oleh bentuk tubuh seseorang yang kemudian menjadi standart menarik atau tidaknya orang tersebut.

D. METODOLOGI

(5)

pustaka terkait system ekonomi dan hubungannya dengan gender juga harus dilakukan. Di sini penulis akan cenderung menggunakan sudut pandang Marx terkait Superstructure. Hal ini dikarenakan masalah kecantikan dan ekonomi merupakan topic utama yang ingin diangkat.

Di samping itu, wawancara yang bersifat terbuka juga diperlukan terhadap golongan perempuan sendiri mengenai “kecantikan”, terhadap golongan lelaki terkait bagaimana mereka menyikapi kondisi “semakin cantik, semakin sukses ini”, dan yang terakhir tentu saja terhadap golongan waria mengenai bagaimana mereka menyikapi kehidupan ekonomi mereka, alasan dibalik mem-waria, terlebih-lebih konsep mereka sendiri terkait kecantikan.

(6)

BAB II

ANALISA HASIL OBSERVASI

A. SOSOK WANITA YANG IDEAL

Berbicara mengenai sosok ideal, tentu saja berbagai macam konsep dan pandangan dapat dimunculkan secara bebas. Hal tersebut terbukti melalui beragamnya pandangan para informan ketika dihadapkan dengan pertanyaan “wanita yang ideal itu yang seperti apa?”. Namun dari banyak pendapat terkait pertanyaan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa sosok ideal merupakan gabungan dari hasrat, tuntutan komunitas, idolizing, dan juga penabrakan dengan realita. Demikianlah muncul jawaban-jawaban seperti: “bersikap sesuai tuntutan”, “yang kayak mongoloid”, “secara fisik menarik”, “bodynya oke punya”, Dll. Di sini proses idolizing atau idolisasi dan juga mengikuti tuntutan komunitas / masyarakat menjadi point yang sangat penting.

Proses idolisasi yang terbentuk melalui iklan produk kecantikan jelas memberikan definisi utama dalam pengkonsepan sosok yang ideal. Implikasi dari kecenderungan iklan untuk memotret aspek bentuk tubuh, keindahannya dan kesegaran tubuh wanita saja yang kemudian memproduksi nilai tentang “kewanitaan” / seharusnya wanita itu seperti apa (Abdullah, 2001:33) diproyeksikan oleh artis-artis wanita yang banyak ditampilkan di iklan, baik iklan-iklan produk kecantikan ataupun tidak. Dengan semakin terbatasnya definisi kecantikan pada aspek fisik saja, atau secara spesifik sesuai fisik sosok yang diidolakan, proses perawatan kecantikan dan juga merebaknya pusat-pusat kebugaran menjadi idola baru dalam penentuan batas-batas ideal seorang wanita. Sehingga, tidak mengherankan jika perempuan berlomba-lomba dalam mengusahakan kecantikan fisiknya, dan siapapun yang “menang” di perlombaan kecantikan tersebut menjadi sosok ideal dalam pembentukan citra wanita yang “seharusnya”.

(7)

B. WARIA DAN MALFUNGSI PERAN DALAM MASYARAKAT MODERN

Banyak hal menarik yang penulis dapatkan ketika pertanyaan terkait waria dimunculkan dalam wawancara dengan narasumber. Salah satu jawaban yang menjadi kunci dari pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah: “usaha waria untuk menjadi cantik itu terlalu berlebihan, pake make up ketebelan, suntik silicon, dll”, “waria itu terlalu dibuat-buat perempuannya, sok-sokan pake suara perempuan, lenggak-lenggoknya kayak perempuan, sampe suntik silicon juga, kan jadinya jijik”. Dari jawaban-jawaban tersebut ada beberapa kata kunci penting yang menjadi alasan mengapa waria dianggap gagal dalam menjadi basis ekonomi, yaitu: berlebihan, terlalu dibuat-buat dan juga menjijikan.

Kata “Berlebihan” di sana merujuk secara abstrak pada keberadaan suatu garis imajiner yang membatasi keadaan “cantik” dan “tidak cantik”. Batasan imajiner ini, seperti yang telah dijelaskan pada sub bab A sebelumnya, merupakan produk dari proses idolisasi, reproduksi mitos kecantikan, tuntutan masyarakat, dan juga realita yang terbentuk. Batasan ini kemudian memberikan definisi terhadap kecantikan dan dengan demikian secara alamiah menyeleksi individu mana saja yang tergolong ke dalamnya. Ketika kelompok waria sudah dikatakan “berlebihan”, maka sebenarnya masyarakat sudah memposisikan waria di luar batas cantik, dan oleh karenanya masyarakat mengkategorikan mereka sebagai “jijik”. Dari asumsi ini, waria tidak dapat dikatakan “sepenuhnya” menjadi perempuan yang salah satu ciri kodrat gendernya adalah “cantik”. Dengan melewati batas tersebut, terbentuklah satu alasan mengapa waria tidak berhasil menjadi basis ekonomi, yakni karena waria tidak mampu memanipulasi “kecantikannya” sebagaimana wanita berhasil menjadikannya basis ekonomis, hal ini disebabkan waria bahkan tidak berada dalam kategori terendah dalam struktur kecantikan yang masyarakat kita bentuk. Walaupun demikian, tidak sedikit waria yang masih berjuang untuk kembali ke dalam batas cantik tersebut dengan melakukan perawatan, seperti yang narasumber waria penulis sebutkan “Saya perawatan kok, maskeran, luluran”. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika waria tersebut melakukan suntik silicon yang kemudian menempatkan dirinya keluar dari batas kewajaran dan “membuat-buat” kecantikannya.

(8)

Masyarakat dan pemerintah Indonesia menentukan bahwa fungsi gender yang diakui adalah perempuan dan laki-laki. Dengan cara perwujudan dan pemaksimalan fungsi gender ini melalui hubungan pernikahan, baik lelaki maupun wanita berusaha memenuhi tanggung jawab seksualnya sebagai warga negara Indonesia.

"'to make sense as a man in Indonesia' one must get married and function effec-tively as a dutiful husband and provider.... the importance of adequately performing one's familial duties and obliga- tions is now linked to notions of progressiveness and good citizenship" (Howard 1996:13,172).

(9)

BAB III KESIMPULAN

Pasca tahun 1980, wanita telah berhasil menempatkan dirinya dalam struktur ekonomi negara Indonesia sebagai sebuah basis ekonomis baru yang tercipta melalui adanya proses reproduksi mitos kecantikan yang terjadi secara konstan dan rapid. Kedudukan wanita sebagai sebuah basis ekonomi yang kuat ini membentuk sebuah konsep baru dalam masyarakat bahwa, menjadi perempuan dapat jadi lebih menguntungkan dalam segi ekonomi. Mengingat bawa sesuai dengan konsep superstructure Marx, aspek ekonomi menjadi salah satu alasan dibalik terjadinya interaksi antar individu dalam masyarakat, terbentuklah sebuah struktur yang memposisikan tiap anggota masyarakat dalam kelas Atas, menengah maupun bawah. Sukses dalam segi ekonomi tentu sudah menjadi tujuan banyak anggota masyarakat dari berbagai kelas dengan menggunakan berbagai kelebihan yang ia terima, lalu bagaimana dengan masyarakat kelas bawah? Satu-satunya pola resistensi yang tersedia bagi masyarakat kelas bawah adalah dengan memanfaatkan kekreatifitasannya, mengingat bahwa mereka berasal dari kelompok yang unskilled. “menjadi perempuan” atau dalam hal ini “mewaria” telah menjadi salah satu jalan keluar kreatif yang banyak digunakan oleh masyarkat kalangan unskilled untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomisnya, mengingat bahwa “perempuan” itu sendiri sudah menjadi basis ekonomi yang kuat di Indonesia.

Namun ternyata, faktanya dalam masyarakat kita kedudukan waria tak pernah dianggap “serius” bahkan dinajiskan oleh beberapa kelompok masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa ternyata waria gagal dalam menjadi basis ekonomi, atau dalam kata lain individu-individu non perempuan yang “menjadi perempuan” gagal dalam menempatkan dirinya sebagai basis ekonomi. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa demikian? Dari riset ini, penulis menemukan adanya dua alasan mengapa waria gagal, yaitu: 1) waria tidak mampu memanipulasi “kecantikannya” sebagaimana wanita berhasil menjadikannya basis ekonomis, hal ini disebabkan waria bahkan tidak berada dalam kategori terendah dalam struktur kecantikan yang masyarakat kita bentuk, 2) “waria” bukanlah suatu gender yang dapat dimaklumi oleh masyarakat, dan oleh karenanya mereka gagal menempatkan dirinya dalam keteraturan gender yang dibentuk oleh pemerintah dan oleh karena itu mereka tidak dapat menjalankan fungsi seksualnya sebagai warga negara. Dengan demikian mereka digolongkan ke dalam “warga negara gagal” dank arena itu mereka tidak dapat menikmati hak ekonomi seperti yang warga negara lelaki maupun perempuan terima.

(10)

REFERENSI

Abdullah, Irwan. Seks Gender dan Reproduksi Kekuasaan: Rimba Lelaki dan Kematian Perempuan: Tubuh Perempuan dalam Iklan

Boelstorff, Tom. 2005. Between Religion and Desire: Being Muslim and Gay in Indonesia. American Anthropological Association: USA

Howard, Richard Stephen. 1996 , Falling into the Gay World: Manhood, Marriage, and Fam- ily in Indonesia. Ph.D. dissertation, University of Illinois at Urbana-Champaign

Soule, George. 1994 . Pemikiran Para Pakar Ekonom Terkemuka . Penerbit Kanisius: Yogyakarta

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Petani Desa Buahan, Kabupaten Gianyar menghadapi permasalahan adanya serangan hama dan penyakit terhadap tanaman jeruk yang menyebabkan produktivitasnya sangat

1) Entity adalah orang, tempat, kejadian atau konsep yang informasinya direkam. 2) Atribut adalah merupakan data yang mewakili suatu entity. 3) Data value adalah data actual

Penelitian ini dilakukan untuk menemukan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada SMK Citra Medika Sukoharjo, sehingga diharapkan dapat merumuskan strategi yang

Berdasarkan hasil telaah dalam 10 jurnal yang sudah dilakukan, diketahui bahwa pemberian pendidikan kesehatan dengan metode video lebih efektif daripada metode

“Menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara satu

Berdasarkan data tabel 8 hasil uji organoleptik yang terbaik adalah pada perlakuan N1P1, yaitu perendamaman selama 20 menit dengan pengeringan dengan sinar

Kedua, pada kasus yang terjadi pada perdagangan orang ini, Terdakwa Wanta bersama-sama dengan Woto(dalam berkas perkara lain) pada hari Rabu tanggal 12 Desember

Penyusunan Tesis ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif (normative legal research) disebut demikian dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian