• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN HUKUM KEHUTANAN DAN FAKTOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKEMBANGAN HUKUM KEHUTANAN DAN FAKTOR "

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Seiring perkembangan kemajuan peradaban yang semakin pesat, tanpa kita sadari maka kebutuhan akan sumber daya alam juga semakin meningkat. Ditambah lagi dengan populasi manusia yang semakin hari semakin bertambah, maka kebutuhan manusia untuk dipenuhi semakin banyak dan perindustrian semakin gencar berusaha memenuhi kebutuhan manusia tersebut, dan juga manusia tersebut menginginkan kemudahan untuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhannnya meskipun harus rela merogoh kocek pribadi dalam-dalam.

Lalu selanjutnya berlakulah prinsip ekonomi dimana adanya masyarakat yang membutuhkan, bertemu dengan pasokan barang yang dibutuhkan akan menghasilkan untung dan rugi. Jika kebutuhan lebih banyak dari ketersediaan barang maka akan diperoleh keuntungan tinggi. Masyarakat tidak segan-segan membeli kebutuhannya tersebut dengan nilai yang tinggi. Dan kebalikannya yang terjadi jika masyarakat yang menginginkan barang kebutuhan tersebut ternyata sedikit bahkan tidak ada maka kerugian akan didapat dari produsen kebutuhan tersebut, karena harga akan terus merosot bahkan jauh dibawah biaya produksi.

(2)

dan dikeringkan. Lalu siapa yang dapat menyagkal bahwa industry kayu merupakan industry yang menjadi idaman bagi semua negara.

Dengan demikian maka Indonesia yang merupakan negara dengan status paru-paru dunia menjadi primadona bagi para industrialis kayu di seluruh dunia. Menurut Kementrian Kehutanan , hutan Indonesia memiliki luas sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia tetapi kerusakan hutan atau deforesttasi yang terjadi di Indonesia amat menyedihkan dan mengkhawatirkan. Luas hutan di Indonesia kian hari kian menyusut akibat pemanfaatan hutan tak terkendali. Laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 Ha per tahun (2011) dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia.

Dengan luas hutan hujan tropist yang amat luas tentunya membuat Indonesia menjadi seakan-akan, gadis perawan yang cantik dan seksi bagi para industrialis. Namun rasa penasaran dan ketertarikan mereka terhadap hutan hujan tropis Indonesia tidak dilakukan dengan melamar dengan baik kepada pemerintah Indonesia dan mengikuti peraturan yang berlaku. Dengan alasan rumitnya birokrasi dan besarnya biaya birokrasi tersebut mereka mencoba mencuri-curi kesempatan dengan melakukkan perambahan hutan secara illegal, atau yang lazim disebut dengan illegal logging.

Illegal logging didalam UU no 18 tahun 2013 di sebutkan di dalam Pasal 1 , butir ke-4 dengan sebutan pembalakan liar. Yang dimaksud dengan pembalakan liar dalam UU terebut ialah “Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi”. Pembalakan liar bukanlah masalah yang hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara pemilik hutan yang menghasilkan kayu yang lain juga mengalami permasalahan yang sama terutama Brasil yang terkenal dengan hutan hujan tropisnya amazon.

Namun yang berbeda dengan yang lain ialah Indonesia mengalami deforestasi yang amat cepat dibandingkan negara lain yang sama-sama menjadi negara penghasil kayu lainnya. Sedangkan secara kasat mata Indonesia tidak mengalami kemajuan ekonomi yang mumpuni dan signifikan dengan kehilangan kayu sedemikian banyaknya tersebut.

(3)

mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat sebuah film documenter yang amat mengejutkan sekaligus membuat hati kita menjadi sedih dan miris ketika menontonnya. Yayasan tersebut bernama Telapak, yayasan ini melalui sebuah video yang ditayangkan diyoutube yang berjudul “The Last Frontier” meakukan sebuah investigasi mngenai apa yang terjadi sebenarnya.

Yayasan ini melakukan pelacakan kayu merbau yang berasal dari Papua Barat hingga ke negeri China. Kayu-kayu merbau tersebut berasal dari hutan belantara tanah Papua. Diperoleh dengan cara yang tak halal, yaitu dengan pembalakan liar. Para penjual kayu yang disebut “cukong” di documenter ini, melakukan segala macam upaya untuk mendapatkan kayu dengan kualitas terbaik dari belantara Papua. Ada dengan cara yang sah, namun kebanyakan dilakukan dengan cara yang illegal. Cara yang sah mereka anggap membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang cukuup banyak berbeda dengan cara illegal cukup dengan mengerahkan masyarakat yang kelaparan , dan menyogok sana-sini oknum aparat yang membutuhkan uang untuk biaya hidup mereka dan itupun tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya pengurusan birokrasi.

Kayu-kayu tersebut lalu diangkut menggunakan tongkang yang cukup besar, melintasi dan membelah hutan belantara Papua dengan membawa ratusan kubik kayu merbau, menuju kapal cargo yang jauh lebih besar berada ditengah laut. Kapal cargo tersebut memiliki kapasitas lebih hebat lagi, mungkin puluhan ribu kubik bisa diangkutnya dalm sekali jalan menuju pelabuhan Zingjiang di China. Disana ratusan Kapal kargo bermuatan kayu seharga ratusan ribu dolar melintas dan berlabuh setiap harinya, dan siap untuk diperdagangkan. Namun ada yang menarik karena kayu-kayu merbau dari Papua tersebut ternyata tidaklah terdaftar berasal dari Indonsia melainkan , terdaftar berasal dari Malaysia. Hebatnya lagi semua kayu tersebut turut dilengkapi dengan surat dan administrasi dari Malaysia. Sehingga secara tertulis maka kayu tersebut berasal dari Malaysia, dan sedihnya lagi itu diakui oleh seluruh dunia.

(4)

apa yang sebenarnya menjadi masalah dari upaya pemberantasan pembalakan liar itu sendiri?. Apkah permasalahan itu desbabkan oleh Undang-undang yang terlalu lemah, atau dikarenakan oknum aparat penegak hokum yang sudah “masuk angin” dengan uang yang tidak seberapa nilainya dibandingkan dengan besarnya dampak dari pengrusakan hutan itu sendiri.

Oleh karena itu tulisan ini saya buat untuk meluapkan ketertarikan saya akan permasalahan hokum pembalakan liar yang terjadi di negeri kita tercinta ini dan juga sebagai salah satu penilaian dalam mata kuliah hokum lingkungan.

1.2. Rumusan Permasalahan

Permasalahan pembalakan liar itu sendiri sejatinya menyimpan banyak masalah yang belum terpecahkan dan terjelaskan, namun tentunya hal tersebut tak akan mampu kita bahas dalam makalah yang ditulis dengan singkat ini . untuk itu maka penulis mempersempit permasalahan yang terjadi kedalam dua permasalahan yang diharapkan dapat mewakili permasalahan yang terdapat di dalam maraknya pembalakan liar yang terjadi di Indonesia dipandang dari sisi penegakkan hokum dan sosiolog hokum yang berlaku di negara dan masyarakat.

Untuk membahas bagaimana penegakkan hokum dan upaya hokum yang telah dilakukan oleh aparat penegak hokum dan pemerintah tentunya kita harus melihatnya melalui satuan waktu yang berjenjang. Itu berarti kita harus melihat Undang-undang yang diterapkan dan digantikan dari waktu kewaktu sehingga kita dapat membandingkan dan menemukan upaya perbaikan dari Undang-undang apa yang dilakukan dari waktu untuk melindungi hutan kita dari pembalakkan liar.

(5)

1. Bagaimana perkembangan hokum kehutanan di Indonesia dalam upayanya mengantisipasi pembalakkan liar dari waktu ke waktu?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pembalakkan liar semakin marak dan massive di Indonesia dari sisi hokum dan undang-undang yang berlaku?

1.3. Ruang Lingkup

Penulisan ini dibuat dengan bahasan yang dibatasi kedalam ruang lingkup permasalahan hokum dalam upaya penegakkan hokum dalam mengantisipasi pembalakkan liar, serta faktor –faktor yang mendukung pembalakkan liar tesebut sehingga menjadi semakin massive dan parah.

1.4. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memahami bagaimana perkembangan hokum kehutanan dari waktu-kewaktu dalam rangka mengatasi pembalakan liar dan mengetahui faktor- faktor apa saja yang menghambat upaya pemberantasan pembalakan liar, serta sebagai persyaratan penilaian mata kuliah Hukum Lingkungan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Perkembangan Hukum Kehutanan Indonesia

(6)

undang-undang sebagaimana yang kita ketahui saat ini. Untuk memahami bagaimana perkembangan hokum kehutanan berkembang berikut urutan perkembangan hokum kehutanan. Berikut sejarah hokum kehutanan dimulai dari zaman sebelum penjajahan:

1. Sebelum Penjajahan

Sebelum kedatangan penjajah ke Indonesia , nusantara kita terpecah belah dengan kerajaan-kerajaan yang memiliki wilayah dan hokum yang berbeda satu sama lain. Kondisi hokum pada saat itu, hokum bisa berasal dari perkataan raja, ataupun berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Namun dalam kehidupan sehari-hari kearifan local yang berdasarkan adat istiadatlah yang berlaku di kalangan masyarakat. Sehingga hokum adat pada saat itu menjadi hokum yang mengatur tentang hak penggunaan tanah dan sumber daya lainnya, termasuk hutan. Menurut Von Savigny bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan. Hukum adat sendiri menurut Iman Sudiyat, merupakan hukum yang terutama mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.

(7)

sakit bahkan bermimpi sekalipun. Dan orang yang dianggap paling mampu dan kompeten atas permasalahan itu ialah para pemangku adat. Sehingga para pemangku adat dianggap sebagai orng yang lebih tahu bahkan sebagai orang yang serba tahu, dan yang paling penting mereka dianggap sebagai orang yang sakti. Oleh karena itu maka perkataan dari para pemangku adat terkadang dijadikan hokum dan tidak ada yang berani menentang bahkan terkadang raja sekalipun masih terpengaruh dengan perkataan dari para pemangku adat yang tergabung didalam kelompok penasehat kerajaan.

Selain adat istiadat hokum kehutanan pada saat itu juga dipengaruhi oleh agama. Bagi kerajaanyang mnganut agama hindu, sebagai contoh Kerajaan Toulodong (mataram), penguasaan hutan dilakukan oleh raja yang mana letak dan luasnya ditentukan sendiri oleh raja. Hanya saja raja tetap tidak boleh mnguasai tanah pertanian milik rakyat jika raja ingin memperluasnya maka raja harus membeli tanah pertanian tersebut dengan harga yang pantas. Mengapa keputusan luas dan letak terletak pada raja, itu karena system kekastaan yang dimiliki umat hindu pada saat tersebut membuat raja memiliki kedudukan yang tinggi dan juga kekuasaan terhadap rakyat jelata termasuk kelas pekerja.

(8)

komersial maka aka nada kewajiban pajak bagi yang mengambilnya , dan hasil pajak tersebut digunakan untuk menjalankan pemerintahan dan kemakmuran rakyat lainnya. Dan menurut penulis tujuan luhur inilah yang menjadi pedoman dan urat nadi dari Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria .

2. Masa Penjajahan

Saat pertama kali penjajah menginjakkan kaki di nusantara mereka tidaklah dating dan bertindak sebagai penjajah yang ingin mengambil dan menguasai sumber daya alam nusantara. Melainkan mereka dating sebagai rombongan pedagang yang berniat untuk membeli barang dagangan, berupa rempah-rempah yang berasal dari para petani di nusanatara.

Namun apa yang terjadi seiring dengan perjalanan waktu, merekamelihat sesuatu yang lebih seksi di dalam hutan belantara nasional yang lebih menggiurkan yaitu bermacam mineral yang bisa ditambang bahkan hanya dengan tangan kosong. Sehingga moto 3G sebenarnya memiliki arti yang benar-benar nyata yaitu: Gold, Glory dan Gospel, yang berarti Gold ialah emas sabagaimana kata yang sebenarnya, Glory ialah kejayaan dan Gospel menyebarkan agama nasrani. Jadi jika pemahaman kita Gold yang dimaksud berarti uang hasil dari penjualan rempah-rempah ialah salah, karena di nusantara mineral emas amatlah banyak dan masyarakat kita belum mampu menambangnya.

Didalam masa penjajahan terdapat 3 (tiga) masa antara lain:

a. Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799)

(9)

menjadi andalan komoditi perdagangan mereka.Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan. Pada waktu VOC mulai terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timberm extraction), para pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh VOC.

(10)

kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan.

Maka dengan demikian maka hak rakyat nusantara terutama rakyat jelata terhadap tanah dan hutan sudah tidak ada, bahkan para raja akhirnya tunduk dan tidak berdaya terhadap kehendak penjajah saat itu. Namun pada massa tersebut telah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat yang dibuat oleh VOC. Tetapi pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam. Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan kompeni.

Dengan demikian juga maka hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC secara tidak langsung hilang dan musnah tidak berlaku lagi. Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan, harus minta izin kepada demang atau VOC.

b. Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942)

(11)

(Boschreglement) 1865. Ditengah maraknya pengrusakan dan pembalakan liar dihutan nusantara oleh VOC, disisi lain mereka menyadari untuk perlunya melakukan pencegahan pengrusakan yang lebih parah lagi.

Reglemen tentang hutan (boschreglement) menjadi peraturan pertama yang meimikirkan keberangsungan keragaman hayati di hutan nusantara. Meskipun pada pelaksanaannya reglement tersebut diingkari sendiri oleh hindia belanda demi mengejar keuntungan.

Pada tahun 1927 pihak Hindia Belanda mngeluarkan Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, sebagai aturan yang memperjelas tentang pengelolaan hutan dan sumber daya alam didalamnya.

c. Masa penjajahan Jepang (1942-1945)

Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu: (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur.

(12)

Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hokum kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening 1932)

3. Masa setelah kemerdekaan

Meskipun hokum di Indonesia dipengaruhi dan bahkan beberapa undang-undang Indonesia merupakan warisan dari Belanda, sejatinya hokum Indonesia yang sebenarnya dimulai setelah zaman kemerdekaan. Setelah dikumandangkannya kemerdekaan, pemerintah langsung membentuk badan legislative sebagai langkah awal menetapkan konstitusi nasional, termasuk hokum kehutanan.

Hokum kehutanan yang sekarang telah beberapa kali mengalami perubahan, diakibatkan suasana politik dan perekonomian saat itu. Secara hokum kehutanan terbagi dalam 3 masa.Dalam masa , yaitu :

a) Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965)

(13)

memproklamirkan diri sebagai sebuah negara karena Indonesia mereka anggap sebagai Hindia-Belanda yang mereka tinggalkan sementara.

Namun hal tersebut segera diselesaikan melalui konfrensi meja bundar, bahkan saat itu Irian Jaya disahkan menjadi bagian Indonesia.Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya Indonesia. hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun.Produk perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku.

b) Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998)

Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan

nasional, dan sekaligus pula mengakhiri

keberlakuanBoschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya

c) Masa Pemerintahan Reformasi dan demokrasi (1998 – sekarang)

(14)

diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).

Seiring perjalanannya UU no 41 Tahun 1999 di berikan sedikit perubahan pada pasal 83 yang dijadikan bab penutup yaitu, menambahkan point “A” dan “B”, berisikan sebagai berikut:

"Pasal 83A

Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud."

“Pasal 83B

Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83A ditetapkan dengan Keputusan Presiden."

Dengan hadirnya UU no 41 tahun 1999 tidak serta merta membuat , pembalakan berhenti begitu saja. Bahkan sakan membuat sebuah blunder , pemerintah daerah diberikan hak dan kuasa untuk memberikan izin perambahan hutan. Dan jadilah zaman baru permasalahan kehutanan, yang sebelumnya penuh dengan pembalakan liar menjadi pembalakan sah yang tidak terkendali dengan atas izin pemerintah daerah.

Melihat semakin maraknya pembalakan liar yang semakin tidak terkendali, pemerintah pun segera membuat langkah cepat dengan mengeluarkan UU no 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-undang ini diharapkan dapat mampu menjadi tameng dan pemicu pemberantasan perusakan hutan yang semakin massive terjadi di tanah air.

(15)

Undang-undang ini tidak hanya permasalahan pembalakan dan perambahan hutan saja , namun juga diatur sanksi terkait dengan pertambangan yang berlangsung di kawasan hutan, yang diatur di dalam UU tersebut. Didalam UU no 18 tahun 2013 ini berbeda dari Undang-undang sebelumnya didalam Undang-undang ini dicantumkan korporasi sebagai subyek pelanggar hokum yang memungkinkan tidak hanya pesuruh dan perorang saja yang di tindak tetapi juga termasuk perusahaan yang melakukan kegiatan tersebut juga dapat disanksi akan perbuatan melanggar hokum yang dilakukannya.

2.2 Faktor Penghambat Pemberantasan Pembalakan Liar Dari Sisi Hukum dan Undang-Undang yang berlaku.

Undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan sejatinya menjadi tonggak tegaknya pelestarian dan perlindungan sumberdaya hutan, dan semestinya berjalan seiring dengan UU terkait dengan domain yang hamper sama yaitu UU no 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria yang kebermanfaatannya ditujukan demi kemakmuran rakyat Indonesia. Namun apa yang terjadi kemakmuran yang dimaksud tidak tercapai bagi rakyat Indonesia.

(16)

Berikut faktor-faktor penghambat pemberantasan pembalakan liar dan pengrusakan hutan dari sisi undang-undang dan hokum yang berlaku:

1. Pada UU no 5 tahun 1967 dan UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 Tahun 2004 , yang menjadi subyek pelanggar hanyalah perorangan , maka keuntunganlah bagi koorporasi yang melakukan pelanggaran maka yang selalu menjadi tersangka ialah para pelaku langsung tetapi actor intelektualnya tidak pernah terjerat.

2. Pada UU no 5 tahun 1967 yang bernuansa pembangunan diseluruh lini dinilai terlalu membuka lebar-lebar pintu bagi pengusaha local dan asing untuk beramai-ramai melakukan perambahan hutan dengan tujuan kemakmuran rakyat Indonesia, tetapi yang terjadi ialah perambahan dan hutan menjadi tidak terbatas dan kita sulit membedakan mana pembalakan yang illegal dan mana pembalakan yang sah, karena tidak diatur jelas di dalam Undang-undang tersebut, melainkan melalui peraturan pemerintah yang cenderung terlambat keluar.

3. Pada UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 tahun 2004 tidak mengatur secara jelas apa dan dimana hutan kawasan yang dapat diambil hasil hutannya dengan yang dilarang untuk diambil. Ditambah lagi tidak adanya transparansi dalam penentuannya.

4. Pada UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 tahun 2004 yang bersemangatkan dengan semangat reformasi, menyebabkan pembagian wewenang kepada daerah untuk memberikan izin perambahan hutan. Namun yang menjadi masalah ialah timbulnya ledakan izin perambahan hutan. Belum lagi permasalahan izin yang diberikan tidak diikuti dengan survey yang mumpuni, sehingga terkadang hutan kawasan negara yang dilindungi seperti cagar alam pun terkadang menjadi korban illegal logging.

(17)

6. Pada UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 tahun 2004 tidak diaturnya tentang kerugian ekologi yang disebabkan dan tata cara pengembalian kondisi ekologi yag telah dirusak oleh pelaku pembalakan liar.

7. Pada UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 tahun 2004 tidak dijelaskan sanksi bagi penegak hokum dan pejabat yang berwenang yang turut melanggar dan melindungi aksi pembalakan liar.

8. Belum adanya sanksi bagi warga asing yang melakukan pembalakan liar, walaupun pelaku tersebut menjadi actor intelektual dari balik meja mereka di negara mereka masing-masing.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

(18)

orde baru. Belum tercantumnya korporasi sebagai subyek hokum dalam UU no 41 tahun 1999 juga menjadi polemic, selain memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk memberikan izin pengelolaan hasil hutan, yang menyebabkan melonjaknya perizinanan yang terkesan dinilai mengenyampingkan prinsip kehati-hatian. Karena dengan banyaknya izin maka akan ada kelalaian dan bahkan pembiaran penggunaan hutan kawasan yang dilindungi negara.

Namun harapan kembali muncul bagi kelestarian dan keberlangsungan hutan nasional. UU no 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan memiliki hamper semua yang tidak dimiliki oleh UU sebelumnya. Dimana korporasi dijadikan sebagai subyek hokum dan ancaman pidana dan denda yang lebih berat. Sesuai dengan judulnya UU ini memang dibuat dengan harapan menjadi instrument yuridis yang kuat dan membuat jera bagi pelanggar hokum tersebut. Sehingga apa yang diupayakan oleh penegak hokum terhadap pelanggar dan pembalak liar tidaklah sia-sia. Para tersangka dapat dihukum dengan maksimal.

Namun ada hal yang jangan dilupakan sebaiknya UU apapun tentang kehutanan sebaiknya tidak terlepas dari nilai luhur yang tercantum didalam UU no 5 tahun 1960 tentang ketentuan Pokok- Pokok Agraria. Karena bagaimanapun juga sesuai amanat yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 , seharusnya UU kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Bukannya kemakmuran para elit dan cukong pelaku pembalakan liar, sehingga perlunya penyamaan semangat antara UU Pokok Agraria dengan UU Pokok Kehutanan.

3.2 Saran

(19)

sengajadi abaikan. Untuk menutupi kekurangan tersebut maka, perlu adanya saran untuk UU selanjutnya agar lebih baik dalam mencegah pembalakan liar:

Berikut saran yang dimaksud:

1. Hendaknya perlunya penyelarasan nilai dan tujuan antara UU kehutanan dengan UU Pokok Agraria, sehingga kemakmuran masyarakat tercapai. 2. Perlunya memperketat dan memperjelas aturan dalam pengurusan izin

pengelolaan hasil hutan, serta transparansi administrasi bagi pemilik izin, sehingga penegak hokum dapat membedakan mana pelaku usaha yang sah dan mana yang illegal.

3. Perlunya sarana teknologi yang memadai guna melacak pelaku pembalakan liar dan hasil dari pembalakan liar tersebut.

4. Perlunya kerjasama dengan negara tujuan penjualan kayu hasil pembalakan liar, agar para pelaku pembalakan liar kehilangan pasar mereka

5. Perlunya meningkatkan kesadaran bagi seluruh rakyat Indonesia dan Dunia tentang pentingnya kelestarian hutan Indonesia demi kelangsungan hidup manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muis Yusuf, Hukum Kehutanan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta 2011.

Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada bulan Juli 2012

Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003

SEJARAH HUKUM PENGELOLAAN HUTAN DI

(20)

https://www.youtube.com/watch?v=dGTn70qRkJ8. Diakses pada tanggal 25 februari 2015.

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menentukan dan mengendalikan space area diperlukan data stock lapangan yang didapat dari konversi unit of measurement, dimensi ruang gudang dan barang,

Martanagara berhasil memperoleh cerita lisan mengenai kerusuhan yang melibatkan Munada dan mengaki­ batkan tewasnya Asisten Residen Nagel dari Raden Demang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki psychological well being yang tergolong baik, hal ini ditandai dengan penerimaan diri kedua subjek yang tergolong

Dari Tabel 2 dapat dilihat perbedaan yang sangat besar antara bahan organik pada lokasi hutan pinus dibandingkan dengan ladang tomat dan kebun alpukat.. Hal ini kemungkinan

Dalam rangka menunjang visi dan misi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian sebagai sumber informasi bagi peneliti/penyuluh dan pengambil kebijakan untuk mendukung kegiatan

Tabel 1 menunjukkan status kesehatan perempuan kelompok usia muda 15–34 sedikit lebih baik dibandingkan lelaki, terlihat dari lebih rendahnya prevalensi penyakit pada hampir

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini guna

Untuk mempercepat perkembangan ekowisata harus dilakukan suatu kajian yang mendalam, karena metoda dan pendekatan ekowisata di setiap daerah akan berbeda-beda; proses