• Tidak ada hasil yang ditemukan

10 PEMIKIRAN BESAR DARI SEJARAH GEREJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "10 PEMIKIRAN BESAR DARI SEJARAH GEREJA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

1

0

0

P

P

E

E

M

M

I

I

K

K

I

I

R

R

A

A

N

N

B

B

E

E

S

S

A

A

R

R

D

D

A

A

R

R

I

I

S

S

E

E

J

J

A

A

R

R

A

A

H

H

G

G

E

E

R

R

E

E

J

J

A

A

P

PAANNDDUUAANNPPEENNGGAAMMBBIILLAANNKKEEPPUUTTUUSSAANNYYAANNGG A

AKKAANNMMEENNEENNTTUUKKAANNAARRAAHHGGEERREEJJAA AANNDDAA

9

MA RK SHA W

(2)

10 Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja

(10 Great Ideas from Church History)

Oleh: Mark Shaw

Penerjemah : The Boen Giok

Editor : Thomy J. Matakupan dan Solomon Yo Tata Letak : Djeffry

Desain Sampul : Bing Fei Editor Umum : Solomon Yo

Originally published by InterVarsity Press as

10 Great Ideas from Church History by Mark Shaw.

© 1997 by Mark Shaw

Translated and printed by permission of InterVarsity Press, P.O. Box 1400, Downers Grove, IL 60515, USA

All rights reserved

Hak cipta terbitan bahasa Indonesia pada

Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature)

Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia. Copyright © 2000

Telp.: +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275 e-mail: momentum@sby.centrin.net.id

Perpustakaan LRII: Katalog dalam Terbitan (KDT)

Shaw, Mark,

10 pemikiran besar dari sejarah gereja/Mark Shaw,

terj. oleh The Boen Giok – cet. 1 – Surabaya: Momentum, 2003. viii + 320 hlm.; 14 cm.

ISBN 979-8131-00-2

1. Teologi Pastoral 2. Sejarah Gereja

2003 253–dc21

Cetakan pertama: April 2003

(3)

Daftar Isi

PRA KA TA PENERBIT VII

PENDA HULUA N 1

1. SUA TU VISI BA GI KEBENA RA N

Teologi Salib dari Martin Luther 11

2. SUA TU VISI BA GI SPIRITUA LITA S KRISTEN

Pandangan John Calvin Mengenai Kehidupan Kristen 45

3. SUA TU VISI BA GI KESA TUA N

Jeremiah Burroughs dan Teori Denominasional Gereja 75

4. SUA TU VISI BA GI KEYA KINA N

Model Pertobatan dan Keyakinan dari William Perkins 93

5. SUA TU VISI BA GI IBA DA H

Petunjuk-petunjuk Richard Baxter untuk Bersuka

(4)

6. SUA TU VISI BA GI KEBA NGUNA N

Teologi Kebangunan dari Jonathan Edwards 143

7. SUA TU VISI BA GI PERTUMBUHA N

Konsep Pemuridan dari John Wesley 177

8. SUA TU VISI BA GI KA UM YA NG TERHILA NG

Model Misi dari William Carey 201

9. SUA TU VISI BA GI KEA DILA N

Model A ksi Sosial Kristen dari William Wilberforce 229

10.SUA TU VISI BA GI KEBERSA MA A N

Prinsip-prinsip Komunitas Kristen dari Dietrich Boenhoeffer 255

KESIMPULA N

Dari Visi Menuju A ksi 287

(5)

P

ENDAHULUAN

i bagian selatan kota Boston, Massachusetts, terdapat se-buah kota bernama Quincy. Terletak di antara lautan dan d rban kota Boston, kota Quincy terkenal dengan dua orang presidennya, yaitu John Adams dan John Quincy Adams, yang di-lahirkan sekaligus dikebumikan di sana. Seperti kebanyakan kota di New England, kota Quincy dipenuhi dengan gereja-gereja ber-sejarah. Salah satu di antaranya adalah Gereja First Presbyterian, yang didirikan pada akhir abad kesembilan belas – tepat terbentuk-nya standar-standar New England. Gereja tersebut didirikan pada tahun 1884 oleh para imigran dari Skotlandia.

aerah u

D

D

Dalam kurun waktu lima puluh tahun pertama, “First Pres” menikmati pertumbuhan yang mantap dan stabil. Pada tahun 1950-an, keturunan rohani dari anggota charter [para imigran yang me-nandatangani perjanjian] yang berjumlah 62 orang telah bertumbuh menjadi tujuh ratus orang. Yang menjadi gembala jemaat dalam dekadeOzzie and Harriet dan “I like Ike” ini adalah Pendeta Roy

(6)

Pada tahun 1961, semua ini berubah dengan pensiunnya Schoaf dan dimulainya pelayanan Pendeta David Muir. Muir se-orang yang peka dalam menyikapi perubahan yang sedang terjadi di Amerika. Hak-hak sipil dan revolusi kebudayaan telah menge-sampingkan dunia Ike dan Ozzie. Namun, khotbah-khotbah kon-frontatif dan antusiasme Muir terhadap keadilan sosial itu belum juga berhasil memobilisasi gerejanya untuk melakukan sesuatu. Justru yang membuat Muir sangat terkejut ialah pelayanan peng-gembalaannya itu ternyata menghasilkan pengaruh sebaliknya dari yang ia harapkan. Jemaat mulai mengalami penyusutan dalam jum-lah yang besar, mereka mengeluhkan terjadinya pelanggaran terha-dap nilai-nilai tradisional. Penyusutan jumlah jemaat tersebut se-gera mengakibatkan krisis finansial yang mempercepat perginya Muir pada tahun 1964.

Pada tahun 1967, Steve Brown menjadi pendeta baru Gereja First Presbyterian. Ia mendapati suatu jemaat yang terpecah-belah dan rapuh secara finansial. Brown memilih gaya penggembalaan yang sama sekali berbeda dengan kedua pendahulunya. Khotbah-khotbahnya lebih banyak diisi dengan janji dan pengharapan dari-pada konfrontasi dan kritisisme. Ia mengurangi bahasan mengenai masalah-masalah politik dan lebih menekankan kebenaran Injil dari Alkitab. Terciptalah sebuah atmosfer komunitas baru, dan jumlah anggota jemaat pun perlahan-lahan meningkat kembali.

Dalam laporan tahunannya pada tahun 1967, Brown menyusun sebuah rencana bagi gerejanya: “Setiap gereja, pada saat-saat ter-tentu, berada di persimpangan jalan dalam kehidupan bergerejanya. Jalan yang satu menuntun pada mediokritas, keputusasaan, dan ke-gagalan; sedangkan jalan yang lain memimpin pada keagungan, pengucapan syukur, dan kemajuan Kerajaan Allah. Saya percaya, sekaranglah saatnya untuk membuat keputusan.”2 Brown menyu-sun sebuah kerangka jalan keagungan, menekankan pada nilai-nilai Kristen klasik seperti mempercayai kebenaran Injil (kērygma),

(7)

Pendahuluan 3

Sepeninggal Brown dari gereja itu, gereja tersebut kembali berada di sebuah persimpangan jalan yang lain. Tidak semua orang menyukai teologi konservatif Brown. Namun daripada harus me-mutar haluan, para pemimpin gereja memilih untuk melanjutkan pelajaran yang telah dimulai oleh Brown. Roger Kvam menjadi pendeta pada tahun 1974. Selama masa penggembalaannya yang panjang, Kvam telah memprakarsai program penginjilan yang agresif dan membawa gereja menjadi suatu arus utama kaum Injili, tanpa menimbulkan perpecahan antara “cahaya lama” (anggota jemaat pada masa sebelum Brown) dan “cahaya baru” (anggota jemaat pada masa sesudah Brown). Sepanjang tahun 1980 dan memasuki tahun 1990-an, Gereja First Persbyterian di kota Quincy ini mengikuti jalan lama yang meliputi kērygma, diakonia, dan

koinōnia, dan semua ini terpenuhi. Orang-orang yang mengambil

keputusan untuk mengikuti “jalan keagungan” ini telah menjadikan gereja bertumbuh, baik secara kuantitas maupun kualitas.

JALAN YANG LAMA

Ini adalah sebuah buku mengenai mengikuti jalan yang lama – se-jumlah pemikiran yang agung dalam sejarah gereja – untuk mene-mukan jalan keagungan bagi gereja Anda hari ini. Tujuannya ada-lah untuk menolong Anda membuat keputusan-keputusan yang lebih baik, sekaligus menjadi seorang pengambil keputusan yang lebih baik pula. Salah satu asumsi buku ini adalah bahwa sejarah gereja dapat menjernihkan visi Anda dan membantu Anda untuk melihat ke mana Anda akan melangkah.

(8)

Setiap orang Kristen yang menjadi pengambil keputusan perlu menjaga kedua belah matanya tetap dalam kondisi yang baik. Saya percaya bahwa keputusan-keputusan yang dihasilkan melalui peng-lihatan dengan kedua belah mata adalah lebih baik daripada yang lain. Di halaman-halaman berikut ini, saya akan menjelaskan bah-wa kita dapat membuat keputusan dengan lebih baik bila kita menghindari proses pengambilan keputusan yang membabi-buta seperti yang dilakukan oleh mereka yang mengabaikan sejarah se-bagai hal yang tidak relevan dan yang mengambil keputusan de-ngan sebelah mata karena terikat oleh tradisi lama, yaitu orang-orang yang menjadi tawanan masa lalu dan buta terhadap berbagai kesempatan dan kebutuhan masa kini.

Para pengambil keputusan dari kalangan manakah yang akan memperoleh manfaat dari buku semacam ini? Mereka yang ada dalam pikiran saya khususnya adalah para pemimpin gereja lokal (seperti para pendeta, para penatua, maupun para diaken), selain itu juga para pemimpin organisasi Kristen. Oleh karena itulah, contoh-contoh pengambilan keputusan yang diberikan pada akhir setiap bab cenderung berorientasi pada gereja lokal.

Tetapi mungkin ada orang yang akan bertanya, “Bagaimana dengan melihat sejumlah kasus dan pemikiran klasik di masa lalu dapat menolong saya membuat keputusan yang lebih baik?” Perta-nyaan ini cukup beralasan. Saya sendiri mempertanyakan hal yang sama selama tahun-tahun pergumulan saya untuk menjadi seorang pengambil keputusan yang baik. Dalam usaha menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, saya menemukan sejumlah hal. Dalam bab-bab berikut ini, saya akan membagikan penemuan-penemuan tersebut – pemikiran-pemikiran agung dari para tokoh penting pengambil keputusan di masa lampau. Anda dapat mempe-lajari bagaimana ...

teologi salib dari Martin Luther akan memperkokoh iman je-maat Anda.

(9)

Pendahuluan 5

teori denominasional gereja dari Jeremiah Burroughs akan menjadi kekuatan dahsyat dalam mempersatukan jemaat di ge-reja Anda.

Pemikiran William Perkins tentang keyakinan (assurance) me-lalui suatu pertobatan sejati akan mengatasi sikap apatis mau-pun kekhawatiran yang berlebihan di dalam gereja Anda. petunjuk Richard Baxter untuk bersuka di dalam Allah

(de-lighting in God) akan menghidupkan kembali ibadah jemaat

Anda.

visi kebangunan dari Jonathan Edwards akan membentengi ge-reja dari serangan-serangan sekularisme.

strategi kelompok kecil dari John Wesley akan mengubah para pengunjung gereja yang malas-malasan menjadi murid-murid yang saleh.

model misi dari William Carey akan mendorong generasi kita untuk menggenapi Amanat Agung.

paradigma aksi sosial Injili dari William Wilberforce akan mengarahkan umat Kristen menentang kejahatan yang terjadi di zaman mereka.

visi komunitas Kristen dari Dietrich Bonhoeffer akan memim-pin jemaat Anda ke dalam kebersamaan, dan mengatasi se-mangat kesukuan dan individualisme radikal dari alam kehi-dupan postmodern.

(10)

Beberapa tahun yang lalu Richard Neustadt dan Ernest May dari Kennedy School of Government di Harvard University, mem-prakarsai suatu kursus mengenai penggunaan sejarah dalam peng-ambilan keputusan politik. Segera saja, ruang pertemuan mereka dipadati oleh “para senator, para birokrat, para kolonel, para jen-deral, para duta besar, dan orang-orang dari kalangan sejenis.”3 Demikian juga, Chicago University telah memulai suatu program kebijakan publik yang menunjukkan kepada para pemimpin untuk melibatkan sejarah dalam upaya meningkatkan efektivitas dalam pengambilan keputusan. Para pemimpin pun berbondong-bondong menghadirinya. Berangkat dari arus kepentingan yang sama inilah – signifikansi suatu studi historis dalam proses pengambilan ke-putusan – Carnegie-Mellon’s School of Urban and Public Affairs menawarkan sebuah program yang diberi nama “Perspektif Historis terhadap Masalah-masalah Perkotaan.” Kemudian, The Harriman School of Urban and Public Affairs (bagian dari the State University of New York) juga menawarkan program serupa. Sejarah berbicara dan para pemimpin pemerintahan mendengar-kannya.

Dunia bisnis juga mulai menyadari nilai sejarah bagi seorang pengambil keputusan. The Rand Corporation’s Graduate Institute di California menawarkan sebuah program “pemanfaatan sejarah” bagi para kandidat Ph.D. yang bekerja paruh waktu di proyek-pro-yek Rand. Sekolah-sekolah bisnis telah memahami fenomena terse-but. Program Master of Business Administration dalam the Graduate School of Business Administration di University of North Carolina di Chapel Hill mencantumkan suatu program yang melibatkan sejarah dalam proses pengambilan keputusan.

(11)

sa-Pendahuluan 7

ngat besar terhadap nilai sejarah gereja dan mempertanyakan me-ngapa gereja dan organisasi Kristen (termasuk gereja atau organi-sasi mereka) gagal untuk mempertimbangkan sejarah dalam mem-buat keputusan. Mahasiswa ini umumnya sudah terbiasa dengan cara pengambilan keputusan gereja yang pada dasarnya merupakan suatu reaksi pragmatis terhadap krisis dari suatu peristiwa ataupun tekanan-tekanan dari arus bawah. Pengambilan keputusan yang berdasarkan prinsip atau visi yang jelas secara relatif sangat jarang terjadi.

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN YANG BERDASAR

Para pakar ilmu manajemen seperti George Barna (The Power of

Vision) dan Stephen Covey (The Seven Habits of Highly Effective People) menekankan manfaat jangka panjang (maupun jangka

pen-dek) yang dapat diperoleh dengan selalu mendasarkan keputusan kita pada prinsip dan konsep. Barna menganjurkan para pengambil keputusan untuk menggunakan visi dan bukannya menganut prag-matisme yang tak berdasar sebagai landasan melakukan pemilihan:

Para pendeta yang secara aktif berusaha untuk menggenapi visi Allah bagi pelayanan mereka adalah harta tak ternilai bagi gereja. Mereka bukanlah pemimpin yang digerakkan oleh keinginan akan kebesaran diri mereka atau kepuasan diri sendiri, tetapi semata-mata oleh kerinduan yang menyala-nyala untuk melihat pengge-napan kehendak Allah.... Gereja mereka akan mencapai sesuatu yang unik, berarti, dan istimewa, karena Roh Kudus akan me-mampukan mereka untuk menangkap suatu gambaran tentang masa depan dan untuk merencanakan serangkaian tindakan untuk mencapai tujuan tersebut.4

(12)

Tradisi pada hakikatnya merupakan refleksi dari masa lalu. Visi selalu merupakan refleksi dari masa depan. Adakah peluang bagi keduanya untuk bersatu? Tentu saja! Sebab, Allah yang mencipta-kan dan menguasai masa lalu, juga berkuasa memanfaatmencipta-kan se-jarah agar mendatangkan berkat dalam kehidupan dan pelayanan Anda.... Ia akan memanfaatkan masa lalu tersebut untuk mening-katkan masa depan Anda.5

Allah dapat memanfaatkan sejarah untuk meningkatkan masa de-pan Anda. Sesungguhnya, kuasa Allah dalam memanfaatkan masa lalu untuk membentuk suatu masa depan yang signifikan melalui proses pengambilan keputusan di masa kini menjadi premis dari buku ini.

Dalam bab-bab selanjutnya, kita akan membahas sejumlah pe-mikiran agung dari lima abad terakhir dalam sejarah gereja. Sekali-pun dapat memilih pemikiran-pemikiran dari abad-abad yang lebih awal, saya meyakini bahwa kesepuluh pemikiran yang saya pilih ini merupakan yang paling signifikan bagi para pemimpin gereja masa kini. Saya bukan hanya akan memperlihatkan bagaimana masing-masing pemikiran tersebut dapat membangun visi kita, namun juga akan menyarankan sejumlah keputusan yang bersum-ber dari visi tersebut. Kesepuluh pemikiran tersebut dipilih dari kehidupan dan tulisan para reformator (Luther dan Calvin), tokoh kebangunan rohani (Wesley dan Edwards), aktivis sosial (Wilberforce dan Bonhoeffer), pendeta dan pionir (Baxter, Perkins, Burroughs, dan Carey). Dua macam ujian telah digunakan untuk menyeleksi pemikiran-pemikiran yang dapat meningkatkan peng-ambilan keputusan Anda: (1) Apakah pemikiran atau model terse-but berakar kuat dalam kebenaran Alkitab? (2) Apakah model atau pemikiran tersebut memiliki catatan keberhasilan dalam memba-ngun orang-orang Kristen dan gereja secara lebih efektif?

(13)

Pendahuluan 9

sehubungan dengan cara pengaplikasian pemikiran tersebut pada gereja masa kini, selain sejumlah keputusan yang bersumber dari pemikiran tersebut. Beberapa pertanyaan sebagai sarana refleksi dan diskusi diberikan pada akhir setiap bab untuk menolong Anda merenungkan pemikiran tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk menerapkannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebelum memulai studi kita ini, izinkan saya mengungkapkan rasa terima kasih kepada mereka yang telah memberikan banyak kon-tribusi bagi penyelesaian proyek ini. Saya berhutang budi kepada para mahasiswa yang telah merelakan diri mereka menjadi kelinci percobaan, baik untuk pemikiran maupun pendekatan dalam buku ini. Saya juga ingin berterima kasih kepada para mahasiswa Gordon-Cornwell Theological Seminary, Conservative Baptist Seminary of the East, Nairobi Evangelical Graduate School of Theology, dan Scott Theological College. Terima kasih juga untuk teman-teman yang terkasih, Karl dan Debbie Dortzbach, yang telah membantu mewujudkan buku ini dengan mengundang Lois dan saya untuk mengadakan suatu “retret penulisan” di rumah mereka. Cindy Bunch-Hotaling dari IVP telah menjadi editor dari dua buku saya, dan saya telah menjadi sedemikian bergantung pada saran dan pertimbangannya yang bijaksana itu. Dua profesor dari Wheaton College, Timothy Beougher dan Mark Noll, telah mem-beri saya dorongan dengan kesediaan mereka untuk membaca bab-bab tertentu. Tiga teman baik, yang juga adalah pendeta yang he-bat, telah membaca dan mengkritik naskah buku ini. Terima kasih juga saya tujukan kepada Pendeta Irfon Hughes, Tom Kenney, dan Ron Sylvester, yang memberi umpan balik yang jujur dan yang sangat membantu saya.

(14)

sendiri. Dan saya tidak dapat melanjutkan tanpa mengingat dua anak terbaik dalam sejarah gereja, Anne Bradstreet Shaw dan Jonathan Edwards Shaw, yang dengan karunia mereka untuk men-ciptakan tawa riang di rumah kami telah berhasil mencegah ayah mereka yang adakalanya begitu membosankan itu untuk tidak men-jadi terlalu serius. Terakhir, saya juga berhutang budi kepada pria yang nama mereka telah disebutkan di dalam “persembahan” dalam buku ini.

(15)

1

S

UATU

V

ISI BAGI

K

EBENARAN

Teologi Salib dari Martin Luther

ois dan saya merupakan pendatang baru di kota maupun di gereja, sebuah gereja Injili konservatif yang telah dikenal baik oleh masyarakat di tempat itu. Pada dua minggu pertama, kami menemukan suasana ibadah yang penuh sukacita dan keha-ngatan, yang membawa kami kembali hadir di sana. Suasana iba-dah tersebut terasa begitu menggairahkan sehingga kami pun ber-harap banyak terhadap program kelas Sekolah Minggu Dewasa yang diadakan di sana.

Kelas tersebut dimulai dengan baik. Guru kami seorang yang sangat ramah. Kami duduk di samping George dan Jane, anggota jemaat yang aktif mengikuti program penjangkauan orang baru bagi Injil. Mereka berdua pun sangat ramah. Guru kami mengawali diskusi dengan sejumlah studi kasus. Cerita yang disampaikannya benar-benar berhasil memicu diskusi sehingga kami tidak sempat masuk ke bagian Alkitab yang diperuntukkan untuk dibahas pagi itu. Para peserta mulai saling berbagi dan berinteraksi, dan mereka terlihat benar-benar membutuhkan kesempatan untuk menceritakan persoalan-persoalan mereka.

Ketika kami menghadiri kelas tersebut Minggu berikutnya, hal serupa terulang kembali. Banyak waktu diberikan untuk saling ber-bagi dan melontarkan pendapat pribadi. Tak ada waktu untuk

pem-L

(16)

bacaan Alkitab. Sepuluh menit menjelang kelas bubar, barulah guru kami membacakan satu bagian Alkitab dari kitab 1 Korintus, dan meminta pendapat kami mengenai bagian Alkitab tersebut.

Jane mengemukakan pendapatnya, “Saya tidak setuju dengan bagian ini. Saya kira Rasul Paulus sedang payah ketika menulis ini. Saya juga tidak akan membiarkan anak saya membaca bagian ini.” Keheningan meliputi seluruh kelas ketika kata-kata Jane itu sema-kin menghilang. Guru kami pun tidak berkomentar apa-apa.

Sekalipun saya seorang peserta baru, saya merasa perlu ada yang mengomentari pernyataan Jane tersebut. Dengan selembut yang dapat saya lakukan, saya pun melontarkan pendapat saya ber-kenaan dengan inspirasi, otoritas, dan kemutlakan Kitab Suci. Para peserta lain hanya saling berpandangan … dan akhirnya, pendapat saya itu pun tidak memperoleh tanggapan apa-apa.

Kelas pun berakhir, dan kami sempat sejenak berbicara dengan George dan Jane sementara kelas bubar. Terus terang, saya sangat terperanjat mendengar perkataan Jane itu, karena secara langsung membeberkan seperti apa reputasi gereja tersebut. Saya mulai mempertanyakan apakah saya sudah berada di tempat yang benar. Para anggota jemaat membawa Alkitab mereka ke gereja, namun – setidaknya sebagian dari mereka – meninggalkan teologi mereka di rumah masing-masing. Saya tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada hari Minggu berikutnya.

DIBUTUHKAN: SUATU KESADARAN TEOLOGIS

(17)

Suatu Visi bagi Kebenaran 13

dalam Yesus Kristus menurun dari sekitar 12% dari total penduduk Amerika pada tahun 1992 menjadi hanya sekitar 7% pada tahun 1994. Barna memberikan menyimpulkan, “Perubahan data tersebut menunjukkan bahwa mungkin kita masih akan melihat kemero-sotan yang terus berlanjut dalam ranking Injili dalam waktu dekat, berkurangnya pencurahan kuasa Roh Kudus atas masyarakat negeri ini.”1

Kepada mereka yang menunjuk perdebatan kaum Injili me-ngenai Alkitab pada tahun 1970-an dan 1980-an sebagai bukti masih adanya kepedulian masyarakat Amerika terhadap kebenaran Alkitab, David Wells memberikan sanggahannya dengan menyo-dorkan sebuah ironi yang mengejutkan. Ia menyatakan, “Semen-tara natur Alkitab masih diperdebatkan, Alkitab itu sendiri sudah tidak dipakai lagi di dalam gereja.”2 Pola pikir konsumerisme telah merasuk bukan hanya pada gereja kita, tetapi juga pada teologi kita. Suatu paham Kekristenan terapeutik – yang menolong saya dalam mendidik anak-anak saya, memperbarui kehidupan seks saya, dan yang dapat menjadi apa saja bagi saya – telah menggan-tikan Kekristenan doktrinal dan teologis klasik yang membahas hal-hal mengenai Allah, dosa, keselamatan, dan salib. Sebagai-mana asumsi sebuah judul buku terbitan tahun 1990-an, gereja tampaknya semakin tidak memiliki tempat bagi kebenaran [No

Place for Truth oleh David Wells – ed].

(18)

Hal ini tampak seperti suatu kebodohan. Mengatakan bahwa visi mengenai salib itu lebih memiliki kuasa pembaruan dibanding-kan dengan aksi penginjilan atau suatu strategi pemasaran me-rupakan semacam skandal yang digambarkan oleh Paulus dalam 1 Korintus 1:27, “Apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat.” G.K. Chesterton suatu kali menyatakan bahwa diagram mengenai pemi-kiran Kristen itu hendaknya tidak digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang mencakup segala sesuatu dalam suatu sistem; tetapi seperti sebuah salib, yang berawal dari sebuah paradoks di bagian pusatnya, bergerak ke segala arah untuk memancarkan cahaya di setiap aspek realitas. Sesungguhnya, salib merupakan dasar dari semua pengambilan keputusan klasik yang akan kita bicarakan dalam buku ini.

Melepaskan kuasa dan signifikansi salib untuk masuk ke se-mua aspek kehidupan merupakan kunci bagi dinamika dan keutuh-an jkeutuh-angka pkeutuh-anjkeutuh-ang gereja Kristen. Menyingkapkkeutuh-an signifikkeutuh-ansi sa-lib secara tuntas merupakan keputusan terpenting yang dapat di-buat oleh seorang pemimpin gereja.

Tidak ada tokoh di dalam sejarah yang memahami kuasa salib lebih mendalam daripada Martin Luther, seorang reformator abad ke-16. Terobosan teologis Luther itu sering kali diringkas dalam ungkapan “pembenaran oleh iman hanya di dalam Kristus.” Na-mun jarang sekali orang memahami dengan apresiasi bahwa pema-haman Luther tentang salib itu melampaui kuasanya untuk menye-lamatkan, tetapi juga mencakup kuasanya dalam menolong kita untuk melihat. Teolog Oxford, Alister McGrath menyebut teologi salib Luther ini sebagai “salah satu pemahaman tentang natur teologi Kristen yang paling radikal dan berpengaruh dalam sejarah gereja.”4

(19)

Suatu Visi bagi Kebenaran 15

yang terpecah-pecah di dunia modern ini. Teologi salib Luther mengarahkan kita, seperti jarum kompas, menuju lorong kemajuan yang tanpa itu, mungkin akan terlewatkan atau terabaikan oleh kita.

Tetapi, bagaimana kematian Kristus dapat memberi solusi kepada orang-orang Kristen dan para pemimpin Kristen yang ber-ada dalam keber-adaan yang kacau balau? Apakah yang dimaksud Luther dengan “teologi salib”? Bagaimana para pengambil kepu-tusan mengaplikasikan visi tersebut hari ini? Sekarang giliran per-tanyaan ini yang akan kita bahas.

KEHIDUPAN LUTHER

Martin Luther (1483-1546) lahir ke dunia pada saat kerinduan akan kebenaran sedang memudar dan kejenuhan terhadap Injil semakin menjadi-jadi. Kekristenan di Eropa sedang berada dalam kesulitan. Tiga di antara permasalahan-permasalahan yang paling serius ada-lah orang-orang Kristen yang diliputi oleh kekhawatiran, gereja-gereja yang sekuler, dan reformator-reformator moralis.

Referensi

Dokumen terkait