ADOPSI, DIFUS TE
KEMENT UNIV
PAPER PENYULUHAN
USI, INOVASI DAN PENDIDIKAN ORANG TERHADAP DINAMIKA KELOMPOK
MOHAMMAD RIFKY F D1E011090
KELAS A
NTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYA FAKULTAS PETERNAKAN
NIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2014
NG DEWASA
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah segala puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya paper ini terselesaikan. Penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada dosen – dosen pengampu mata kuliah penyuluhan atas bimbingannya dan teman – teman kuliah atas dukungannya dalam penyusunan dan penyelesaian paper ini
Munculnya berbagai permasalahan penyuluhan yang di hadapi oleh masyarakat Indonesia merupakan suatu yang fenomenal. Masalah-masalah tersebut sering di jumpai dalam kehidupan terutama dalam bidang peternakan, sehingga atas dasar permasalahan tersebut penyusun membuat paper penyuluhan berdasarkan kumpulan – kumpulan karya hasil penelitian dimana karya tersebut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk pemecahan masalah penyuluhan di bidang peternakan.
Paper tersebut di susun agar pembaca dapat mengetahui dan memahami Penyuluhan. Semoga dengan makalah yang berjudul “Adopsi, Difusi, Inovasi dan Pendidikan Orang Dewasa terhadap Dinamika Kelompok” menjadi acuan dan perhatian para pembaca.
Penyusunan paper ini, masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Berdasarkan hal tersebut, selaku penyusun, meminta maaf sebesar-besarnya serta senantiasa terbuka menerima kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah berikutnya. Semoga bermanfaat bagi kesejahteraan bangsa dan membangun masyarakat Indonesia yang di cintai ke arah perbaikan dan kemajuan di masa mendatang.
Purwokerto, 6 Juni 2014
DAFTAR ISI
JUDUL ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... ii
I. PENDAHULUAN ...1
1.1.Latar Belakang ...1
1.2.Tujuan ...1
II. ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI ...2
2.1. Adopsi Inovasi ...2
2.1.1.Pengertian Adopsi Inovasi ...2
2.1.2.Tahapan Adopsi Inovasi...4
2.1.3.Faktor yang Memengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi ...7
2.2.Difusi Inovasi ...17
III. PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI ...22
3.1.Konsep Dasar Pendidikan Orang Dewasa ...22
3.1.1.Definisi Pendidikan Orang Dewasa ...22
3.1.2.Tujuan Pendidikan Orang Dewasa...26
3.2.Hambatan Pendidikan Orang Dewasa (10) ...27
3.2.1.Hambatan Fisiologik ...27
3.2.2.Hambatan Psikologik ...32
3.2.Hambatan Perilaku ...38
IV. PRINSIP DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI ...42
4.1.Suasana...42
4.1.1.Suasana Pendidikan Aktif ...42
4.1.2.Suasana Saling Menghormati...43
4.1.3.Suasana Saling Percaya...44
4.1.5.Suasana Tidak Mengancam...46
4.1.6.Suasana Keterbukaan ...47
4.1.7.Suasana Membenarkan Perbedaan ...49
4.1.8.Suasana Mengakui Hak untuk Berbuat Salah ...50
4.1.9.Suasana Membolehkan Keraguan ...51
4.1.10.Suasana Evaluasi Bersama dan Evaluasi Diri ...52
4.2.Belajar ...53
4.2.1.Jenis–Jenis Belajar ...53
4.2.2.Cara–Cara Belajar ...55
4.2.3.Prinsip–Prinsip Belajar ...57
4.2.4.Ciri–Ciri Belajar...58
4.2.5.Faktor–Faktor Psikologis yang Memengaruhi Belajar ...61
V. DINAMIKA KELOMPOK (DK) ...62
5.1. Konsep Dasar Dinamika Kelompok...62
5.1.1.Definisi Dinamika Kelompok ...62
5.1.2.Analisis Dinamika Kelompok ...64
5.2. Unsur Sosiologi Dinamika Kelompok ...66
5.2.1. Tujuan Kelompok...66
5.2.2. Pembagian Tugas dan Hak serta Kewajiban Kelompok ...68
5.2.3. Aturan dan Kebiasaan Kelompok ...69
5.2.4. Kemudahan dan Tegangan Kelompok ...71
5.2.5. Kegiatan Sosial Kelompok...72
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peternakan merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Pembangunan ekonomi akan tetap berbasis peternakan secara luas, dengan kata lain kegiatan agribisnis peternakan akan menjadi salah satu kegiatan unggulan pembangunan ekonomi nasional dalam berbagai aspek yang luas. Penyuluhan peternakan sebagai bagian integral pembangunan peternakan merupakan salah satu upaya pemberdayaan peternak-peternak dan pelaku usaha peternakan lain untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka kegiatan penyuluhan peternakan harus mengakomodasikan aspirasi dan peran aktif peternak-peternak dan pelaku usaha peternakan lainnya melalui pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif dalam praktiknya memerlukan pemahaman terhadap adopsi, difusi dan inovasi, pendidikan orang dewasa dan faktor yang memengaruhinya serta dinamika kelompok. Pemahaman tersebut diperlukan oleh seorang penyuluh karena diperlukan untuk pengembangan pembangunan peternakan di masa mendatang, sebab melalui pemberian pemahaman tersebut, peternak-peternak ditingkatkan kemampuannya baik secara afektif, kognitif dan psikomotor agar dapat mengelola usaha ternaknya dengan produktif, efisien dan menguntungkan, sehingga peternak-peternak dan keluarganya dapat meningkatkan kesejahteraannya. Meningkatnya kesejahteraan peternak – peternak dan keluarganya adalah tujuan strategis utama dari pembangunan peternakan.
1.2 Tujuan
1. Mengkaji adopsi, inovasi dan difusi melalui pendekatan psikologi 2. Mengkaji pendidikan orang dewasa melalui pendekatan psikologi
3. Mengkaji prinsip dan faktor yang berpengaruh dalam pendidikan orang dewasa melalui pendekatan psikologi
II. ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI PETERNAKAN MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI
2.1 Adopsi Inovasi
2.1.1 Pengertian Adopsi Inovasi
Adopsi merupakan proses keluarnya ide (inovasi) sampai diterima dan dilaksanakan masyarakat maupun peternak sehingga menjadi perilaku. Perilaku dalam hal ini adalah perpaduan antara pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Menurut Suprapto dan Fahrianoor, (2004), adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya.
Ibrahim dkk (2004) menyebutkan adopsi adalah proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsinya. Peternak sasaran mengambil keputusan setelah melalui beberapa tahapan dalam proses adopsi. Beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tingkat adopsi sangat dipengaruhi tipe keputusan untuk menerima atau menolak inovasi. Tipe keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat tahap yaitu: tahap mengetahui (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan keputusan (decision) dan konfirmasi (confirmation) dimana konfirmasi merupakan bagian dari perefleksian dan pengembangan adopsi secara berkelanjutan (Hughes dkk, 2012).
Penyuluh dalam melakukan adopsi dan inovasi ke masyarakat harus memperhatikan tiga pokok falsafah penyuluhan antara lain:
1. penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat,
2. penyuluh tidak menciptakan ketergantungan, tetapi menciptakan kemadirian sehingga tercapai kesejahteraan,
1. Perubahan Kognitif
Terjadi melalui penyampaian info inovasi sehingga masyarakat menjadi tahu. Teknik penyampaian pengetahuan ada dua macam yaitu pertama adalah penyampaian secara massal dan kedua adalah penyampaian secara individual. Menurut Ban dan Hawkins (2010) perubahan kognitif seseorang menyebabkan perbedaan persepsi seseorang walaupun dalam situasi yang sama, sehingga dalam tahap ini harus dilakukan redundancy (pengulangan pesan) yaitu menentukan suatu strategi yang dapat mewakili suatu gagasan yang mengacu pada sebagian besar gaya kognitif.
2. Perubahan Afektif
Terjadi ketika masyarakat tahu dan memahami informasi inovasi yang diberikan dimana pemahaman tersebut diperoleh dengan belajar secara lebih mendalam terhadap informasi inovasi yang disampaikan. Perubahan ini terjadi berkenaan dengan sikap, kemampuan, dan penguasaan segi–segi emosional yaitu perasaan dan nilai. Menurut Tika (2010) nilai yang dimaksud adalah asumsi dasar mengenai hal – hal yang ideal diinginkan atau berguna antara lain : hakikat dengan lingkungan, hakikat orientasi waktu, hakikat sifat manusia, hakikat aktivitas manusia, hakikat hubungan manusia, hakikat kebenaran dan hakikat universalisme / partikularisme.
3. Perubahan Psikomotorik
2.1.2 Tahapan Adopsi Inovasi 1. Kesadaran (Awareness)
Merupakan kesadaran terhadap permasalahannya, sehingga masyarakat akan terpacu berfikir kreatif dimana terfokus pada unsur pribadi dengan segala keunikannya (Rivai dan Arifin, 2009). Menurut Hughes dkk (2012) unsur pribadi (kepribadian) merupakan struktur tak terlihat dan proses yang mendasari di dalam diri seseorang yang menjelaskan alasan berperilaku yang cenderung relatif sama di situasi yang berbeda dan ataupun berbeda dari perilaku orang lain. Unsur pribadi tersebut biasanya terjadi karena kekuatan sifat– sifat yang mereka miliki. Sifat – sifat ini biasanya akan berinteraksi dengan faktor eksternal terutama pada berbagai faktor situasional. Tika (2010) menguatkan bahwa emosi memainkan peranan utama dalam membentuk persepsi. Misalnya emosi negatif dijumpai menghasilkan penyederhanaan berlebihan terhadap isu – isu inovasi, mengurangi kepercayaan dan penafsiran yang negatif terhadap perilaku pihak lain. Sebaliknya, emosi positif dapat meningkatkan hubungan yang potensial di antara unsur – unsur suatu masalah, mengambil pandangan yang luas di antara unsur – unsur suatu masalah dan mengembangkan penyelesaian yang lebih inovatif. Berdasarkan hal tersebut hendaknya penyuluh memahami konsep ini karena masyarakat (sasaran adopsi) memiliki emosi yang berbeda ketika hendak diberdayakan melalui adopsi inovasi, sehingga bukan sesuatu yang mengherankan apabila terdapat persepsi yang berbeda–beda.
2. Minat (Interest)
3. Evaluasi (Evaluation)
Menimbang manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi. Tahap ini merupakan titik kritis karena merupakan faktor yang paling menentukan dalam menimbulkan semangat akan suatu program inovasi yang di jalankan (Musyafak dan Ibrahim, 2005). Hughes dkk (2012) menerangkan, selain manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi, salah satu yang menjadi pertimbangan lain dalam melakukan adopsi adalah keahlian masyarakat, sifat pribadi masyarakat akan perkembangan serta hierarki kebutuhan masyarakat. Sifat pribadi masyarakat akan perkembangan yang perlu di pertimbangkan lebih dalam adalah kemampuan dalam menerima dan menerapkan inovasi serta mencurahkan waktu dan usaha yang diperlukan untuk menerima dan menerapkannya. Pada hierarki kebutuhan masyarakat hal – hal yang harus dipertimbangkan lebih dalam ialah kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan rasa memiliki, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.
4. Percobaan/Demplot/Percontohan (Trial)
Melakukan percobaan untuk menguji sendiri inovasi dalam skala kecil. Pada tahap ini, penyuluh harus membuat miniatur/model inovasi terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk meyakinkan penilaian inovasinya sehingga ketika penyuluh melakukan demplot pada peternak, maka peternak merasa ingin menerapkan dalam usaha peternakannya. Sederhananya, penyuluh berperan untuk menuntun peternak agar secara teknis dapat mempraktekan inovasi secara mandiri. Penyuluh harus aktif melakukan supervisi, karena apabila mengalami kegagalan maka kepercayaan peternak akan inovasi yang diberikan akan sirna seketika. Hilangnya kepercayaan akan menyulitkan untuk mengadopsi kembali inovasi yang telah disuluhkan (trauma) (Baba, 2008).
5. Menerima dan Menerapkan (Adopsi) :
Menerima dan menerapkan inovasi dengan penuh keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah dilakukan atau di amatinya sendiri sehingga tercapai ketepatan umpan balik. Hal tersebut karena umpan balik berkaitan dengan kecepatan pelaksanaan dimana pada akhirnya akan memengaruhi ketepatan pengambilan keputusan (Ban dan Hawkins, 2010). Menurut King (2010) adanya kecepatan pelaksanaan kemungkinan dipengaruhi oleh tujuan dan minat. Tujuan dan minat tersebut dipengaruhi oleh motivasi. Motivasi tersebut merupakan kekuatan yang menggerakkan sasaran untuk berperilaku, berpikir dan merasa seperti yang mereka lakukan. Motivasi ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain.
Dorongan (drive)
Adalah keadaan tergugah yang terjadi karena adanya kebutuhan fisiologis Kebutuhan (need)
Adalah keadaan kekurangan sesuatu yang memberikan energi untuk menghilangkan atau mengurangi keadaan kekurangan tersebut
Homeostasis (homeostasis)
2.1.3 Faktor yang Memengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi 1. Sifat Inovasinya Sendiri
Menurut Musyafak dan Ibrahim, (2005) inovasi memiliki sifat “baru”. Sifat “baru” tersebut kemudian dapat di introduksi oleh masyarakat tani yang belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi, sifat “baru” pada suatu inovasi harus dilihat dari sudut pandang atau persepsi masyarakat tani (calon adopter), bukan kapan inovasi tersebut dihasilkan. Ia juga menegaskan bahwa inovasi akan menjadi kebutuhan peternak apabila apabila inovasi tersebut dapat memecahkan masalah yang sering dihadapi peternak, sehingga identitikasi masalah secara benar menjadi sangat penting, paling tidak dua alasan yaitu sesuatu yang dihadapi oleh peternak dan jika masalah tersebut ternyata benar merupakan masalah peternak belum tentu pemecahannya sesuai dengan kondisi peternak. Ban dan Hawkins (2010) menambahkan, sejumlah studi telah menganalisis hubungan antara ciri –ciri suatu inovasi dan tingkat adopsinya. Sebagian besar studi tersebut menggunakan pertimbangan objektif, atau menganggap bahwa semua peternak mempunyai persepsi sama. Hal tersebut menyebabkan hasil studi tidak dapat mencapai kesimpulan sama.
Ban dan Hawkins (2010) menjelaskan terdapat lima sifat inovasi antara lain: Keuntungan relatif, maksudnya adalah apakah inovasi tersebut
memungkinkan peternak mencapai tujuannya dengan lebih baik, atau dengan biaya yang lebih rendah daripada yang telah dilakukan sebelumnya Kompabilitas (kemudahan untuk dipahami), berkaitan dengan nilai sosial
budaya dan kepercayaan dengan gagasan yang diperkenalkan sebelumnya atau dengan keperluan yang dirasakan oleh peternak.
Komplesitas (kerumitan), yaitu inovasi tersebut memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus dan sangat terkait dengan displin ilmu.
Triabilitas (dapat dicoba), yaitu kecenderungan peternak untuk mengadopsi inovasi dalam skala kecil dan terbukti lebih baik.
Observalibitas (dapat diamati dan dipahami), sehingga terdapat proses pembelajaran dan diskusi dari peternak yang bersangkutan.
King (2010) menambahkan bahwa untuk memunculkan lima sifat inovasi tersebut penyuluh harus memunculkan solusi kreatif terhadap suatu masalah. Memunculkan solusi kreatif pada suatu masalah dapat dideskripsikan sebagai sebuah 5 tahap proses yang berurutan yaitu :
Persiapan : Tahap dimana seseorang terlibat dalam suatu situasi masalah yang menarik dan membangkitkan kengintahuan
Inkubasi :tahap dimana seseorang membuar beragam hubungan yang tidak biasa dalam proses berpikir
Pencerahan :tahap dimana semua potongan informasi tentang masalah tampak saling melengkapi dan cocok
Evaluasi :tahap dimana untuk menentukan apakah gagasan tersebut baru atau apakah tampak jelas
2. Sifat Sasarannya
Penyuluh juga disamping memperhatikan tahap – tahap inovasi, juga harus memperhatikan pengadopsi yaitu masyarakat itu sendiri. Berdasarkan kategori dan ciri–cirinya, pengadopsi dibedakan menjadi lima antara lain:
Perintis / Inovator :
Cepat menerima sesuatu hal yang baru, banyak membaca, kaya, berpengaruh dan terpandang, hubunngan dengan kaum atas lebih banyak dari pada dengan peternak, pergaulan peternak baik tetapi sangat terbatas (Sinaga, 2004). Feldman (2012) mengemukakan bahwa inovator cenderung memiliki kreativitas tinggi yaitu merupakan kemampuan untuk membangun ide – ide orisinil atau mengatasi masalah dengan cara – cara baru. Pengadopsi ini biasanya memiliki cara berpikir yang divergen, kemampuan untuk mengembangkan respon yang tidak biasa, namun sesuai terhadap masalah atau pernyataan. Aspek lain yang menyebabkan pengadopsi ini memiliki kreativitas adalahkomplesitas kognitifatau pilihan terhadap stimulus dan pola berpikir yang rumit sehingga mereka seringkali memiliki ketertarikan yang sangat luas dan lebih mandiri serta lebih tertarik dengan masalah–masalah abstrak.
Pengerap Dini / Early adopter :
Daya penerimaannya cepat, mudah diyakini, pendidikannya tinggi, rata – rata umur muda, keadaan ekonomi baik, aktif dalam masyarakat pergaulan dengan peternak baik. Pengadopsi ini cenderung memiliki motivasi yang tinggi., terutama pada motivasi yang memberi atribusi pada dorongan yang dinamis untuk proses kognitif (berpikir). Pengadopsi ini biasanya memiliki rencana dan intensi yang kuat dan konsisten dimasa depan (Fiest dan Fiest, 2010).
Pengetrap Awal / The Early Majority :
Pengetrap Akhir / The Late Majority :
Daya penerimaannya sangat lambat, apa yang dilakukannya selalu melihat orang lain dulu, rata – rata umur sudah tua, tidak aktif dalam masyarakat dan kurang bergaul karena ekonominya kurang cukup. Feldman (2012) mengemukakan bahwa pengetrap ini mengalami penuaan fisik karena rata – rata sudah berumur 40 tahunan (masa dewasa akhir). Pada masa dewasa akhir ini seseorang cnderung menerima orang lain dan kehidupan mereka sendiri serta tidak terlalu memedulikan mengenai masalah – masalah yang mengganggu mereka. Disisi lain sebagian mereka juga mengalami krisis paruh baya. King (2010) menambahkan pada usia ini manusia cenderung lebih buruk pada wilayah ingatan dibandingkan dengan yang lebih muda. Pada usia ini mereka jarang mengingat dimana dan kapan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupannya terjadi lebih baik dibandingkan mereka yang lebih muda dan biasanya mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengingatnya. Akan tetapi beberapa aspek yang membaik seiring pada usia ini adalah kebijaksanaan. Berdasarkan hal tersebut maka penyuluh disarankan melakukan pelatihan dengan tujuan meningkatkan kemampuan kognitif mereka.
Penolak / laggards :
3. Cara Pengambilan Keputusan
Terlepas dari ragam karateristik individu dan masyarakat. Cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu inovasi juga akan memengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal tersebut, apabila keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi (individu) relatif lebih cepat dibanding pengambilan keputusan berdasarkan keputusan bersama (kolektif) warga masyarakat lain, bahkan jika harus menunggu peraturan – peraturan tertentu (seperti rekomendasi pemerintah / penguasa).Musyafak dan Ibrahim (2005) menyarankan keputusan secara individu dapat dapat dilakukan dengan beberapa teknik antara lain : konsultasi, diagnosa resep dan partisipastif.
Teknik diagnosa resep dilakukan dengan prosedur penyuluh/peneliti mengambil inisiatif mengajukan pertanyaan yang mungkin peternak tidak memahami kenapa hal tersebut ditanyakan, selanjutnya penyuluh/peneliti mendiagnosis penyebab masalah atas dasar jawaban peternak dan memberikan resep sebagai pemecahan masalah. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat di analisis bahwa teknik ini mengacu pada pendekatan psikodinamika terhadap kepribadian. Feldman (2012) menjelaskan psikodinamika kepribadian didasarkan pada ide bahwa kepribadian dimotivasi oleh kekuatan dan konflik dalam diri yang tidak terlalu disadari oleh individu dan tidak dapat mereka kontrol, dengan kata lain teknik ini dibuat dengan berdasarkan pada teori psikoanalisis yaitu teori dimana banyak perilaku individu di motivasi oleh ketidaksadaran. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan Feist dan Feist (2010), melalui teori Skinner bahwa ketidaksadaran terjadi karena manusia jarang mengobservasi hubungan antara variabel genetik dan lingkungan dan perilaku mereka sendiri sehingga hampir semua perilaku individu yang bersangkutan termotivasi secara tidak sadar.
4. Saluran Komunikasi yang digunakan
Adopsi inovasi dapat mudah dan jelas disampaikannya melalui saluran komunikasi yang relevan dengan melihat ukuran populasi dari sasaran. Saluran komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penyuluh/peneliti dalam mengomunikasikan secara langsung dan tidak langsung, harus bersikap persuasif. Menurut Feldman (2012) persuasi adalah proses mengubah sikap, salah satu konsep sentral dari psikologi sosial. Sikap adalah evaluasi tentang seseorang, perilaku, kepercayaan, atau konsep tertentu. Kemudahan dimana kita dapat mengubah sikap sasaran bergantung pada sejumlah faktor diantaranya sebagai berikut.
Sumber pesan. Karakteristik pesan Karakteristik target
Karakteristik pesan. Setiap pesan mempunyai karakteristik yang berbeda dan karakteristik tersebut akan menghasilkan respon sikap yang berbeda baik itu mempunyai pengaruh maupun tidak. Umumnya pesan memiliki dua sisi yang menyebutkan posisi sebagai komunikator dan posisi dari lawan mereka (sasaran) dipandang lebih efektif dibandingkan pesan yang memiliki satu sisi. Dengan asumsi bahwa argumentasi bagi sisi yang lain dapat dimentahkan secara efektif dan audensi mengetahui mengenai topik tersebut (Feldman, 2012). Adanya dua sisi tersebut disebabkan adanya atribusi. Menurut King (2010) atribusi merupakan suatu motivasi untuk menemukan penyebab dasar perilaku individu sebagai bagian dari upaya mereka untuk memahami perilaku. Dengan demikian, atribusi adalah mengenai mengapa orang–orang berprilaku seperti yang mereka lakukan.
5. Keadaan Penyuluh
Berdasarkan keadaannya terdapat lima dimensi pelayanan penyuluhan antara lain:
Tangible(Pelayanan Fisik)
Kemampuan penyuluh peternakan dalam menunjukkan tingkat kualitas pelayanan kepada para peternak yang meliputi ketersediaan fasilitas fisik, keadaan fasilitas dan kelengkapan fasilitas yang merupakan bukti nyata dari pelayanan penyuluh peternakan dalam pemberian jasa kepada peternak.
Reliability(Kendala)
Kemampuan penyuluh peternakan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya (Abubakar dan Siregar, 2010).
Responsiveness(Ketanggapan)
Ketanggapan penyuluh peternakan terhadap permasalahan yang diperoleh peternak dan cara penyuluh peternakan memecahkan masalah bersama peternak dalam kelompok tani-ternak. Feldman (2012) menguatkan dalam pengambilan keputusan ini diperlukan unsur kreativitas dan cara berpikir yang kovergen (mengarah pada logika dan pengalaman).
Insurance (Jaminan)
Meliputi kredibilitas (sifat jujur dan dipercaya), kompetensi (penguasaan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar penyampaian materi penyuluhan sesuai dengan kebutuhan peternak.
Empaty (Empati)
6. Ragam Sumber Informasi
Ragam informasi diperlukan untuk mendukung proses adopsi inovasi informasi tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti informasi interpersonal, media cetak, media elektronik, publikasi ilmiah, dan pertemuan ilmiah/teknis. Kebutuhan informasi dan motivasi kognitif dapat mempengaruhi penggunaan sumber informasi. Feldman (2012) menerangkan bahwa yang dimaksud motivasi kognitif adalah produk dari pikiran, harapan dan tujuan manusia. Misalnya tingkat ketika orang termotivasi dalam belajar untuk menghadapi tes berdasarkan harapan mereka mengenai seberapa baik belajar dapat menghasilkan dalam bentuk nilai yang baik.
2.2 Difusi Inovasi
Difusi inovasi merupakan perembesan atau penyebaran adopsi inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke individu yang lain dalam sistem sosial masyarakat sasaran yang sama. Berlangsungnya proses difusi inovasi sebenarnya tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Bedanya adalah jika dalam proses adopsi pembawa inovasinya berasal dari “luar” sistem sosial masyarakat sasaran. Sedang dalam proses difusi, sumber informasi berasal dari sistem sosial masyarakat sasaran itu sendiri. Kecepatan difusi juga tergantung kepada aktivitas yang dilakukan oleh penyuluhnya sendiri. Berdasarkan hal tersebut setiap penyuluh diharapkan dapat mempercepat proses difusi inovasi, melalui:
2. Membuat masyarakat sasaran menjadi tidak puas dengan kondisi yang dialaminya, dengan cara menunjukkan kelemahan – kelemahan mereka, masalah – masalah mereka, adanya kebutuhan – kebutuhan baru yang memacu mereka untuk siap melakukan perubahan –perubahan; sedemikian rupa hingga dengan kesadarannya sendiri mereka termotivasi untuk melakukan perubahan–perubahan. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005), agar mereka termotivasi melakukan inovasi, penyuluh harus menyampaikan inovasinya dengan cara yang bermutu. Giblin (2004) menambahkan bahwa untuk memotivasi sasaran mendifusi inovasi, langkah yang harus dilakukan adalah mengetahui apa yang akan membuat sasaran melakukannya (apa yang mereka inginkan, apa yang mereka cari, apa yang mereka suka) karena apabila penyuluh mengetahui apa yang menggerakkan sasaran, penyuluh akan mengetahui bagaimana caranya menggerakkan sasaran. Langkah selanjutnya adalah penyuluh hanya menunjukkan bagaimana sasaran bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan melakukan
apa yang anda (penyuluh) ingin mereka (sasaran) lakukan.Tentu saja dalam
3. Menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat sasaran dan bersamaan dengan itu semakin menunjukkan kesiapannya untuk membantu mereka serta membuat mereka yakin bahwa dia mampu membantu mereka untuk memecahkan masalahnya serta mewujudkan terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan baru tadi. Abubakar dan Siregar (2010) menyatakan bahwa untuk menjalin hubungan yang erat dengan sasaran salah satu cara yang tepat adalah dengan menekankan perlakuan penyuluh terhadap para peternak sebagai individu – individu. Penekanan perlakuan tersebut bertujuan agar sasaran mempunyai kesadaran terhadap dirinya. Menurut King (2010), kesadaran yang dimaksud disini adalah merujuk pada kawasan kejadian eksternal dan sensasi internal, termasuk keawasan terhadap diri dan berbagai pikiran tentang pengalaman sendiri; kawasan ini terjadi dalam suatu kondisi tergugah(arousal), keadaan fisiologis saat seseorang sedang terlibat dengan lingkungan. Dengan demikian, seseorang yang dalam keadaan tidur tidak sama kesadarannya dengan ketika ia sedang dalam keadaan terjaga, hal tersebut karena arus kesadaran dari pikiran seperti sensasai, citra, pikiran dan perasaan akan terus berubah.
III. PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI
3.1 Konsep Dasar Pendidikan Orang Dewasa 3.1.1. Definisi Pendidikan Orang Dewasa
Pendidikan Orang Dewasa (POD) merupakan proses pendidikan yang di organisasikan melalui pesan atau isi, metode dan pelaksanaan yang ditujukan pada orang dewasa dengan rentang usia antara 17 –45 tahun. Eryanto dan Rika (2013) manyatakan pendidikan merupakan kegiatan yang mengatur perkembangan manusia secara terarah untuk menjadi manusia yang baik dan berguna. Pendidikan tersebut berdasarkan komponenya terdiri atas tujuh poin yaitu:
1. Masukan Sarana (Instrumental Input)
Keseluruhan sumber dan fasilitas yang memungkinkan bagi kelompok masyarakat dapat melakukan kegiatan belajar, dalam masukan ini termasuk tujuan program, kurikulum, pendidik, tenaga kependidikan lainnya, tenaga pengelola program, sumber belajar, media, fasilitas, biaya, dan pengelolaan program (Sudjana, 2004).
2. Masukan Mentah (Raw Input)
3. Masukan Lingkungan (Environmental Input)
Merupakan faktor lingkungan yang menunjang atau mendorong berjalannya program pendidikan yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sosial seperti teman bergaul atau teman bekerja serta modal budaya dimana dapat memberikan pengetahuan baru (Eryanto dan Rika, 2013), lapangan kerja, kelompok sosial dan sebagainya, serta lingkungan alam seperti iklim, lokasi, tempat tinggal. Masukan tersebut meliputi lingkungan wilayah atau daerah, lingkungan nasional dan lingkungan internasional. Lingkungan wilayah atau daerah mencakup kebijakan dan perkembangan pendidikan, sosial ekonomi dan budaya, lapangan kerja / usaha dan potensi lain yaitu minat / kecenderungan yang menyebabkan sesorang berusaha untuk mencari ataupun mencoba aktifitas – aktifitas dalam bidang tertentu (Yetti, 2009).
4. Proses yang Menyangkut Interaksi antara Masukan Sarana terutama Pendidik dengan Masukan Mentah
5. Keluaran (Output)
6. Masukan Lain
Komponen ini lebih menekankan pada daya dukung lain yang memungkinkan para peserta didik dan lulusan dapat menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk kemajuan kehidupannya dimana ada upaya untuk mengarah pada tercapainya perkembangan yang dapat merangsang suatu cara berpikir yang rasional, kreatif dan sistematis sehingga memperluas keilmuan, meningkatkan kemampuan dan potensi serta membuat seseorang lebih peka terhadap setiap gejala – gejala sosial yang muncul (Eryanto dan Rika, 2013). Masukan lain ini meliputi dana, lapangan kerja / usaha, informasi, alat dan fasilitas, pemasaran, lapangan kerja, paguyuban peserta didik (warga belajar), latihan lanjutan, bantuan eksternal dan lain sebagainya (Sudjana, 2004).
3.1.2. Tujuan Pendidikan Orang Dewasa
Perubahan perilaku yang lebih baik dari pada saat ini, baik secara kognitif, afektif dan psikomotor agar terjadi peningkatan dalam hal merubah dan mendapatkan material sehingga tercapai kesejahteraan. Aspek kognitif berupa konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek tersebut. Aspek afektif nampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap obyek tersebut (Sudjana, 2004).
3.2 Hambatan Pendidikan Orang Dewasa 3.2.1 Hambatan Fisiologik
Fisiologik berasal dari kata fisio yaitu fungsi atau faal organ tubuh dan logik yaitu ilmu, sehingga fisiologik merupakan ilmu yang mempelajari fungsi faal organ - organ tubuh. Pada orang dewasa secara fisiologik terjadi penurunan fungsi organ dimana menjadi salah satu kendala penghambat pendidikan. Penurunan fungsi tersebut antara lain:
1. Titik penglihatan
2. Kemampuan mendengar
King (2010) dalam penelitiannya menerangkan bahwa penurunan kemampuan bunyi secara fisiologis di tandai dengan beberapa gejala. Beberapa gejala tersebut adalah penurunan kemampuan pada kedua telinga untuk menentukan lokasi suara, hal tersebut karena setiap telinga menerima rangsangan yang agak berbeda dari sumber bunyi. Akibat dari hal tersebut, maka individu seringkali menemui kesulitan menentukan arah bunyi yang datang tepat dari depan mereka, karena suara tersebut sampai ke telinga mereka pada waktu yang bersamaan. Hal tersebut juga terjadi pada suara yang datang tepat dari atas dan dari belakang individu.
Feldman (2012) menambahkan bahwa penurunan fisiologi pendengaran disebabkan penurunan kepekaan terhadap frekuensi yang berbeda seiring dengan pertambahan usia terutama rentang frekuensi yang didengar. Ia pun juga menguatkan melalui teori frekuensi tentang pendengaran bahwa area yang berbeda dari membran basilar merespon frekuensi yang berbeda pula, hal tersebut karena keseluruhan membrane basilar bertindak sebagai microphone, bergetar sebagai suatu keseluruhan respon terhadap suatu suara. Menurut penjelasan ini, saraf reseptor mengirimkan sinyal - sinyal yang terkait langsung dengan frekuensi (jumlah gelombang per detik) dari suara yang di tampilkan pada individu, dengan jumlah impuls saraf menjadi suatu fungsi langsung dari frekuensi suara tersebut. Setelah suatu pesan auditori meninggalkan telinga, pesan tersebut dialirkan ke korteks auditori di otak melalui suatu rangkaian koneksi neural yang rumit. Di dalam korteks auditori sendiri, terdapat neuron –neuron yang memberikan respon secara selektif terhadap suara yang sangat spesifik.
3. Penurunan Merespon Warna,
yaitu merasa pusing atau tidak nyaman jika melihat warna kontras, seperti merah, kuning. ketidaknyaman dalam merespon warna kontras disebabkan oleh penurunan fungsi atau degenerasi dua macam sel reseptor dalam retina yang peka terhadap cahaya. Menurut Feldman (2012) nama yang diberikan kepada mereka mencerminkan bentuknya : batang dan kerucut. Sel batang adalah reseptor yang tipis dan berbentuk silinder yang sangat sensitif terhadap cahaya. Sel kerucut adalah reseptor yang berbentuk kerucut dan peka terhadap cahaya, serta bertanggung jawab untuk fokus yang jelas dan persepsi warna, terutama pada cahaya yang terang. Sel batang dan kerucut ini tersebar secara tidak merata di seluruh bagian retina. Sel kerucut terkonsentrasi pada bagian tertentu yang disebut fovea. Fovea adaah bagian yang sangat sensitif dari retina. Sel batang dan kerucut
4. Penurunan Konsentrasi
3.2.2 Hambatan Psikologik
Psikiologik secara harfiah berasal dari kata psiko yaitu mental / jiwa dan logik yaitu ilmu, sehingga psikologi merupakan ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia atau hal – hal yang berhubungan dengan sifat kejiwaan seseorang. Pada orang dewasa hambatan psikologik yang sering terjadi antara lain,
1. Tidak suka digurui
Program pendidikan orang dewasa, pesertanya adalah orang dewasa yang mempunyai (merasa mempunyai) keahliannya sendiri, pengalamannya dan seringkali memimpin dalam lingkungannya. Sikap atau tingkah menggurui dapat dirasakan peserta sebagai peremehan terhadap dirinya. Hal tersebut karena setiap peserta didik mempunyai emosi yang berbeda – beda. King (2010) menyatakan bahwa emosi adalah persaan atau afeksi yang dapat melibatkan rangsangan fisiologis (seperti denyut jantung yang cepat), pengalaman sadar, dan ekspresi perilaku (sebuah senyuman atau raut muka cemberut)
Menurut Feldman (2012), emosi tersebut dilakukan oleh seseorang karena beberapa hal antara lain
a. mempersiapkan kita untuk bertindak sebagai tautan antara kejadian di lingkungan dan respon yang kita keluarkan
b. membentuk perilaku orang dimasa depan yaitu emosi memfasilitasi pembelajaran yang akan membantu seseorang membuat respons yang sesuai di masa depan
c. membantu seseorang berinteraksi secara lebih efektif dengan orang lain. Seseorang mengomunikasikan emosi yang dirasakan melalui perilaku verbal dan non verbal sehingga emosi kita dapat dilihat oleh pengamat disekeliling kita.
2. Lebih suka di motivasi
Orang dewasa dalam proses pembelajaran cenderung lebih suka motivasi ketimbang di gurui, karena dengan motivasi akan menumbuhkan minat belajar atau mempunyai keinginan untuk melaksanakan kegiatan belajar (Eryanto dan Rika, 2013). Menurut Lepper et al., (2005) melalui pendekatan kognisi menyatakan bahwa motivasi adalah produk pikiran, harapan dan tujuan manusia– kognisi mereka. Teori kognitif dari motivasi tersebut menggambarkan kunci perbedaan antara motivasi intrinsik menyebabkan kita untuk berpartisipasi dalam aktivitas bagi kesenangan kita bukan untuk imbalan konkrit dan nyata apa pun yang dapat kita terima. dan ekstrinsik motivasi ekstrinsik menyebabkan kita melakukan sesuatu demi uang, nilai dan imbalan lainnya yang konkret dan nyata.
3. Lebih Suka Memakai Kebiasaan dan Cara Berpikir Lama
King (2010) menyatakan bahwa berpikir (thinking) melibatkan proses memanipulasi informasi secara mental, seperti membentuk konsep – konsep abstrak, menyelesaikan masalah, mengambil keputusan dan melakukan refleksi kritis atau menghasilkan gagasan kreatif. Ia juga menambahkan bahwa cara berpikir akan menentukan proses kognitif yang terjadi dalam pemecahan sebuah masalah, penalaran, dan pengambilan keputusan yang akhirnya berpengaruh pada konsep berpikir dari peserta didik yang bersangkutan. Konsep berpikir tersebut adalah kategori – kategori mental yang digunakan untuk mengelompokkan objek – objek, kejadian – kejadian, dan beragam sifat, hal tersebut karena manusia memiliki kemampuan khusus untuk menciptakan kategori – kategori makna terhadap informasi yang ada di dunia (Fiest dan Fiest, 2010).
4. Lebih Suka pada Hal yang Bersifat Pengalaman
King (2010) menyatakan bahwa orang dewasa cenderung menyukai pada hal yang bersifat pengalaman karena beberapa aspek kognisi (pikiran) yang membaik seiring dengan bertambahnya usia salah satunya adalah kebijaksanaan (wisdom). Kebijaksanaan ini meliputi pengetahuan peserta didik mengenaik aspek praktis dalam hidup. Kebijaksanaan ini mungkin meningkat seiring bertambahnya usia karena bertambahnya pengalaman hidup. Dengan kata lain orang dewasa cenderung dapat mengembangkan dirinya melalui pengalaman dan kesulitan hidup yang dilaluinya akibatnya pengalaman dari peserta didik akan bertentangan dengan struktur pemikiran dari pendidik. Ia juga menyarankan bahwa untuk mendidik pada situasi semacam ini pendidik / penyuluh perlu melakukan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dilakukan dengan menjelaskan keadaan lingkungan yang bersangkutan melalui struktur pemikiran dari si pendidik dan akomodasi dilakukan dengan memodifikasi struktur pemikiran pendidik (dengan kata lain mengubah cara berpikir dari peserta didik).
5. Perlu bukti konkrit
Pendidik / penyuluh dalam mendidik perlu memberikan bukti konkrit ke peserta didik. Pemberian bukti konkrit tersebut dapat berupa demonstrasi ataupun memberi contoh fakta kepada peserta didik dalam bentuk media visual, audio maupun kinestetik kepada peserta didik. King (2010) melalui penelitian longitudinal K.Warner Schaie tentang kemampuan intelektual orang dewasa, menyatakan bahwa orang dewasa perlu di berikan bukti konkrit karena pada masa dewasa mengalami penurunan dua dari keenam kemampuan intelektual yaitu kemampuan numerik (kemampuan untuk mengenali dan mengingat unit bahasa, seperti daftar kata –kata) dan kecepatan penginderaan (kemampuan untuk secara cepat dan tepat membuat pembedaan dari rangsang visual) terutama pada masa dewasa tengah. Kecepatan pengideraan menunjukan penurunan terlebih dahulu, yaitu dimulai pada masa dewasa awal.
6. Harus sesuai dengan kebutuhan
Kegiatan pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan dari orang dewasa yang bersangkutan. Feldman (2012) menyatakan melalui teori self-determination (teori determinasi diri) bahwa kebutuhan pendidikan berkaitan dengan tiga kebutuhan dasar yaitu kompetensi, otonomi dan keterikatan. Kebutuhan – kebutuhan ini bersifat bawaaan dan ada dalam setiap orang. Kebutuhan ini mendasar untuk pertumbuhan dan fungsi manusia, seperti air, tanah, dan sinar matahari yang penting untuk pertumbuhan tumbuhan. Serupa dengan itu, teori determinasi diri menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk tumbuh dan memenuhi diri, dan siap untuk muncul ketika diberikan konteks yang tepat. King (2010) secara rinci menjelaskan tiga kebutuhan dasar tersebut antara lain
Kompetensi. Kebutuhan organismik pertama yang sebutkan dalam teori determinasi diri. Kebutuhan ini dapat dipenuhi ketika individu merasa mampu untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan.
Keterhubungan. Kebutuhan organismik kedua yang sebutkan dalam teori determinasi diri sebagai kebutuhan untuk terlibat dalam hubungan yang hangat dengan orang lain.
Otonomi. Merupakan kebutuhan terakhir yang disebutkan dalam teori determinasi. Kebutuhan ini dideskripsikan sebagai perasaan bahwa individu dapat mengendalikan kehidupan kita. Otonomi berarti menjadi mandiri dan data mengandalkan diri. otonomi merupakan aspek penting dalam perasaan bahwa perilaku seseorang termotivasi oleh diri sendiri dan muncul dari murni minat.
3.2.3 Hambatan perilaku 1. Harapan Penyelenggara
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dipertimbangkan pendidik diantaranya adalah keselarasannya (harapan penyelenggara), dengan harapan peserta didik. Menurut Feldman (2012) dalam mempertimbangkan harapan pada peserta didik, pendidik harus memperhatikan tiga kebutuhan yang menyebabkan seseorang mempunyai harapan antara lain
Kebutuhan berprestasi adalah karakteristik yang stabil dan dipelajari ketika seseorang mendapatkan kepuasan dengan berjuang untuk dan mencapai tingkat kesempurnaan.
Kebutuhan berafiliasi adalah ketertarikan untuk membangun dan mempertahankan hubungan dengan orang lain (berusaha menjalin pertemanan). Para individu dengan tingkat kebutuhan berafiliasi yang tinggi biasanya sensitif terhadap hubungan dengan orang lain. Mereka ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman–teman mereka dan lebih sedikit waktu untuk menyendiri.
Kebutuhan berkuasa adalah tendensi untuk mencari pengaruh, kontrol atau pengaruh terhadap orang lain dan untuk dilihat sebagai seorang individu yang berkuasa (berusaha memberikan pengaruh pada orang lain). Individu tipe ini biasanya lebih cenderung terlibat dalam organisasi. Mereka juga cenderung bekerja dalam profesi yang kebutuhan berkuasa mereka akan mendapat pemenuhan seperti manajemen bisnis
2. Harapan Peserta
Jarang sekali orang dewasa menghadiri suatu program pendidikan dengan harapan tertentu. Makin tinggi harapan peserta didik, akan menjadi semakin sulit pendidik untuk dapat memenuhi harapan tersebut. Menurut Fiest dan Fiest (2010) harapan memiliki keterkaitan erat dengan efikasi diri. Efikasi diri pada setiap orang bervariasi dari satu situasi ke situasi lain, tergantung pada kompetensi yang dibutuhkan untuk kegiatan yang berbeda; ada atau tidaknya orang lain; kompetensi yang dipersepsikan dari orang lain tersebut, terutama apabila mereka adalah kompetitor; predisposisi dari orang tersebut yang lebih condong terhadap kegagalan atas performa daripada keberhasilan; kondisi psikologis yang mendampinginya, terutama adanya rasa kelelahan, kecemasan, apatis dan ketidakberdayaan.
3. Ragu Apakah dapat diterapkan / Tidak
Ketidakselarasan antara harapan peserta didik dengan harapan penyelenggara menimbulkan keraguan. Keraguan (skeptis) tersebut biasanya sering di alami oleh penyelenggara / pendidik / penyuluh apakah materi yang di ajarkan pada peserta sesuai atau tidak dengan harapan peserta didik, hal tersebut keraguan muncul karena diawali dari kecemasan. Menurut Fiest dan Fiest (2010), kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai kesadaran bahwa kejadian yang dihadapkan pada seseorang berada di luar jangkauan praktis dari sistem konstruk orang tersebut. Cervone dan Pervin (2012) menambahkan seseorang akan merasa cemas jika tidak memiliki konstruk, ketika seseorang telah “kehilangan pegangan strukturalnya pada peristiwa, ketika seseorang terjebak dalam konstruk yang buruk”. Orang melindungi dirinya dari kecemasan dalam berbagai cara diantaranya individu mungkin memperluas suatu konstruk dan memudahkannya untuk bisa diaplikasikan pada berbagai jenis peristiwa, atau mereka mungkin membatasi konstruk mereka dan berfokus pada detail tertentu.
4. Sulit Menerima Perubahan
Pendidik tidak jarang menghadapi peserta didik yang sulit menerima perubahan. Berdasarkan hal tersebut maka pendidik perlu mengubah jenis sasaran peserta didik ke pengetrap awal. Menurut King (2010) pengetrap awal yang di jadikan sasaran pendidikan adalah mereka yang mengalami perubahan fisik pada masa dewasa awal dan mereka yang mengalami perubahan fisik pada dewasa tengah.
Peserta didik dewasa awal biasanya berumur sekitar 20 – 30 tahun dimana pada masa ini kondisi fisik mereka mengalami puncak produktivitas baik fisik, mental dan kognitifnya, ia juga menambahkan bahwa pada masa dewasa awal mereka memiliki pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis, berpikir secara relatif dan reflektif, mampu mengenali sudut pandang dunia yang bersifat subjektif dan memahami perbedaan – perbedaan sudut pandang dunia yang harus diakui (dengan kata lain, kemampuan intelektual mereka sangat kuat pada masa dewasa awal). Peserta didik dewasa tengah biasanya berumur sekitar 30 – 50 tahun. pada masa ini peserta didik sudah mengalami penurunan pada penampilan fisik diantaranya adalah kulit yang keriput dan kendur karena hilangnya sejumlah lemak dan kolagen, performa reproduksi yang menurun. Sedangkan pada aspek kognitif terjadi penurunan fluid intelligence (yang melibatkan kecerdasan pemrosesan informasi, seperti memori, kalkulasi dan pemecahan analogi) namun di sisi lain terjadi kestabilan dan peningkatan crystallized intelligence(kecerdasan berdasarkan akumulasi informasi, kecakapan dan strategi yang dipelajari melalui pengalaman) (Feldman, 2012).
IV. PRINSIP DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI
4.1. Suasana
4.1.1. Suasana Pendidikan Aktif
Suasana dimana seluruh sasaran pendidikan (dalam bentuk individu maupun kelompok) yaitu manusia aktif secara fisiologi (panca indera) dan psikologi (mental). Aktif secara fisiologi yang dimaksud adalah sasaran pendidikan aktif secara jasmaniah atau berkaitan dengan faktor – faktor fisik antara lain pendengaran, penglihatan, struktur tubuhnya, (Eryanto dkk, 2013) sedangkan aktif secara psikologi adalah sasaran pendidikan aktif secara non–fisik di mana terdiri atas faktor intelektif dan faktor non – intelektif. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004) faktor intelektif meliputi (1) faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat; (2) faktor kecakapan nyata berupa prestasi yang telah di miliki sedangkan faktor non – intelektif berupa (1) unsur – unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi dan penyesuaian diri; (2) faktor kematangan fisik maupun psikis; (3) faktor lingkungan spiritual dan keamanan. Feldman (2012) mengatakan bahwa emosi merupakan perasaaan yang secara umum memiliki elemen fisiologis dan kognitif serta memengaruhi perilaku terutama dalam proses pembelajaran, dalam hal ini adalah terjadinya reaksi intingtif terhadap kejadian tubuh yang terjadi sebagai respon terhadap beberapa situasi atau kejadian lingkungan.
4.1.2. Suasana Saling Menghormati
Merupakan suasana di mana ada rasa menghormati (penghargaan) antara orang sasaran pendidikan dengan pendidik. Suasana tersebut tercermin dengan adanya keseimbangan antara tuntutan hak dan kewajiban dari masing - masing sasaran pendidik dan pendidik (King, 2010). Menurut Arliani (2012), sikap saling menghormati merupakan bagian dari pendidikan di mana merupakan upaya untuk memperbaiki karakter bangsa dengan cara memberikan harga atau memberikan penilaian yang baik karena suasana saling menghormati atau menghargai tersebut muncul karena setiap orang (termasuk sasaran pendidikan dan pendidik) ingin di hargai.
4.1.3. Suasana Saling Percaya
Merupakan suasana di mana peserta didik dan pendidik saling percaya sehingga tercipta suasana saling keterbukaan dan mempunyai keinginan untuk memperbaiki diri. Menurut Kementan (2012), suasana saling percaya di pedesaan, terutama peternak – peternak baik antar anggota maupun kelompok pendidikan dapat di wujudkan dengan menciptakan suasana keterbukaan di dalam kelompok pendidikan dengan langkah–langkah yang terdiri atas:
Menetapkan tujuan secara bersama
Pemilihan pengurus kelompok pendidikan secara demokratis Menciptakan suasana keterbukaan dalam kelompok
Mendorong anggota kelompok berperan aktif
Melakukan pergantian pengurus kelompok pendidikan Menguatkan organisasi kelompok
Langkah – langkah tersebut di atas dapat berjalan dengan baik apabila terdapat komunikasi yang baik dengan pihak peternak – peternak sebagai peserta didik terhadap pendidik. Arliani (2012) menambahkan memahami orang lain merupakan salah satu kunci dalam berkomunikasi. Berdasarkan teori tersebut, maka pemahaman orang lain dapat dilakukan melalui pendekatan teori Giblin (2004), dengan cara mengenali dan mengakui KODRAT MANUSIA karena ini merupakan pengetahuan dasar yang kokoh ketika berkomunikasi dengan orang, selanjutnya adalah berkomunikasi sesuai dengan topik yang paling menarik pada peserta didik yaitu DIRI PESERTA DIDIK tersebut atau permasalahan dari peserta didik yang bersangkutan, karena dengan cara ini pendidik mengusap mereka dengan cara yang benar. Teknik ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama sebisa mungkin singkirkan tiga kosa kata yaitu “Saya, Aku, Milikku” dan kedua memancing mereka untuk berbicara tentang diri atau
4.1.4. Suasana untuk Menemukan Jati Diri
Suasana pendidikan harus di arahkan agar peserta didik menemukan kata kunci diri mereka, dengan dua cara pertama adalah mendeteksi diri apakah peserta sudah mengalami perubahan signifikan menuju arah yang sesuai atau mengalami penurunan dan kedua adalah arahkan peserta untuk mengikuti perubahan luar dengan cara perlahan – lahan mengubah kebiasaan dari segala sesuatu yang diperlukan hingga pada akhirnya sepenuhnya berubah mengikuti alur irama baru selanjutnya adalah pendidik harus melihat passion atau sesuatu kegiatan atau aktivitas membuat peserta didik merasa senang, rela mengorbankan waktu, tenaga dan dana untuk melatihnya sehingga pendidik dapat mengarahkan peserta peserta didik sesuai minat dan bakatnya (Azzaini, 2013).
4.1.5. Suasana Tidak Mengancam
Suasana pendidikan yangaman merupakan suasana lingkungan yang tidak adaancaman dimana menyebakan peserta didik mengalami stress. Misal: tempat yang tidak mengalami musibah seperti gempa, gunung meletus, banjir dan lain – lain. Menurut King (2010) dari sisi psikologi stress di definisikan sebagai respon individu terhadap stresor yaitu lingkungan atas peristiwa yang mengancam mereka dan membebani kemampuan coping peserta didik. Coping yang dimaksud di sini merupakan salah satu jenis pemecahan masalah yang prosesnya melibatkan mengelola situasi yang berlebihan, meningkatkan usaha untuk menyelesaikan permasalahan – permasalahan kehidupan dan mencari cara untuk mengalahkan stress atau menguranginya. Definisi tersebut muncul karena manusia dapat berpikir dan bernalar serta mengalami banyak situasi sosial dan lingkungan. Ia juga menjelaskan berdasarkan hasil penelitian Hans Selye yaitu seorang pelopor penelitian stress kelahiran Austria, bahwa stres merupakan sejumlah perubahan fisiologis pada tubuh saat mempersiapkan dirinya sendiri untuk menangani stres yang berakibat kerusakan pada tubuh di karenakan tuntutan yang diberikan kepadanya.
4.1.6. Suasana Keterbukaan
Mengakui kekhasan kepribadian sehingga perlu dilakukan remediasi dengan mendidik orang secaraindividu bukan secara umum biasanya di lakukan pada orang yang berkepribadian menyimpang. Teknik remediasi tersebut di lakukan bertujuan untuk mengubah keadaan individu dengan memperbaiki keterampilan kognitif (King, 2010). Konsep dalam teknik tersebut meliputi latihan berulang, modifikasi instruksional dan memberikan instruksi rinci dan mendapatkan umpan balik segera serta penguatan positif berupa benda lain sebagai penghargaan terhadap reaksi yang diharapkan muncul. Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa proses penguatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan penguatan internal dimana penguatan internal tersebut terkait dengan persepsi peserta didik dan persepsi tersebut pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan penguatan eksternal dimana merujuk pada kejadian, kondisi atau tindakan yang diberikan nilai oleh masyarakat atau budaya seseorang.
Semiun Y (2006) berpendapat bahwa penyebab terhambatnya sikap keterbukaan adalah aspek kognitif dan aspek hati. Aspek kognitif meliputi gangguan kecemasan yang menunjukkan kekhawatiran dan keprihatinan mengenai bencana yang diantisipasi individu. Aspek suasana hati. Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah kecemasan, tegang, panik dan kekhawatiran, individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu yang tidak diketahui. Aspek-aspek suasana hati yang lainnya adalah depresi dan sifat mudah marah. Taylor (2011) menambahkan bahwa untuk memunculkan suasana keterbukaan pendidik harus memunculkan rasa percaya diri pada peserta didik, yang dimaksud rasa percaya diri tersebut adalah keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Dengan kata lain, kepercayaan diri adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikan tanpa kita sadari.
Giblin (2004) menambahkan, cara yang paling praktis dalam memunculkan suasana keterbukaan adalah membuat peserta didik merasa penting, karena sifat paling umum dan melekat begitu kuat pada manusia sehingga membuat orang melakukan apa yang mereka lakukan walaupun itu baik atau buruk. Sifat tersebut adalah hasrat untuk menjadi penting, hasrat untuk di akui karena bagi orang lain, Dia sama pentingnya bagi dirinya sendiri seperti Anda penting bagi diri Anda maka sebagai pendidik memanfaatkan sifat ini adalah salah satu cara untuk menciptakan suasana keterbukaan karena semakin anda membuat orang merasa penting maka semakin besar tanggapan mereka pada anda.
4.1.7. Suasana Membenarkan Perbedaan
Pendidik harus menciptakan suasana membenarkan perbedaan kebenaran karena perbedaan kepribadian maksudnya adalah pendidik memberikan toleransi terhadap berbagai jenis kepribadian peserta didik yang berbeda. Purba dan Ali (2004) dalam penelitiannya mengidentifikasi bahwa berbagai jenis kepribadian peserta didik dipengaruhi olehtrait extraversionyang ditampilkan dalam bentuk mudah bergaul dan aktif, trait openness to experience yang ditampilkan dalam bentuk imajinatif dan kreatif, trait conscientiousness yang ditampilkan dalam bentuk bertanggung jawab, tekun, dan berorientasi pada keberhasilan.
Ketiga jenis sifat tersebut berpengaruh terhadap persepsi dan kemampuan peserta didik dalam memberikan pertanyaan maupun pendapat (King, 2010), sehingga pendidik harus mempunyai cara terampil dalam menyetujui pendapat orang lain (peserta didik). Giblin (2004) menyarankan salah satu hal yang dapat di lakukan untuk menjadi terampil dalam menyetujui pendapat orang lain adalah pendidik harus menguasai Seni Bersedia Menyetujui karena hal tersebut merupakan salah satu mutiara kebijaksanaan di mana akan sangat membantu pendidik dalam mendidik peserta didik dan ini membutuhkan, kepandaian, hati yang kuat. Teknik ini dibentuk karena mempunyai beberapa alasan yaitu orang menyukai mereka yang setuju dengan mereka; orang tidak menyukai mereka yang
tidak setuju dengan mereka dan orang tidak suka bila tidak di setujui. Seni Bersedia Menyetujui mempunyai enam bagian antara lain:
Belajar untuk mau menyetujui, setuju dengan orang lain Katakan pada orang bila anda setuju dengan mereka
Jangan katakan pada orang bila anda tidak setuju dengan mereka, kecuali mutlak perlu
Akuilah bila anda salah
4.1.8. Suasana Mengakui Hak untuk Berbuat Salah
Suasana yang di maksud disini adalah bahwa baik peserta didik dan pendidik dalam proses pembelajaran, mengakui secara lantang atau bersikap jujur jika melakukan suatu kesalahan saat proses pendidikan berlangsung apabila kesalahan yang di lakukan tersebut secara sengaja atau tidak di sengaja merugikan pendidik maupun peserta didik. Menurut Giblin (2004) dibutuhkan sikap berjiwa besar untuk melakukan hal tersebut dan orang akan kagum pada siapapun yang melakukan ini. Arliani (2012), menambahkan sikap seperti yang disebutkan oleh Giblin diatas termasuk sikap saling menghargai. Sikap saling menghargai tersbut merupakan bentuk pengendalian diri. Orang semacam ini adalah orang yang dapat menghargai orang lain tidak akan menyakiti siapapun, baik dalam bentuk perkataan (lisan maupun tulisan) maupun perbuatan, tahu berterimakasih, memahami orang lain peduli sekeliling, senang membantu orang lain, dan bersedia antri sehingga peserta didik akan tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan kognisi ketika saat memasuki masa tua. King (2010) menambahkan bahwa beberapa aspek kognisi yang membaik seiring dengan bertambahnya usia terutama pada orang dewasa yang lebih tua salah satunya adalah kebijaksanaan (wisdom), pengetahuan pakar mengenai aspek praktis dalam hidup. Kebijaksanaan mungkin meningkat seiring bertambahnya usia karena bertambahnya pengalaman hidup, akan tetapi tidak semua orang dewasa yang lebih tua memiliki kebijaksanaan hal tersebut karena perbedaan tersebut dipengaruhi oleh tiga tahap dewasa Erickson di mana terjadi sepanjang hidup manusia, tiga tahapan tersebut antara lain:
Intimacy versus isolation (masa dewasa awal): Merupakan masa dimana seseorang menghadapi tugas perkembangan antara menjalin hubungan intim dengan orang lain atau terisolasi secara sosial.
Generativity versus stagnation (masa dewasa tengah): Masa dimana seseorang cenderung membantu generasi yang lebih muda untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna
4.1.9. Suasana Membolehkan Keraguan
Orang dewasa yang berkumpul untuk belajar bersama, sering kali menghasilkan beberapa alternatif atau teori. Pemaksaan untuk menerima salah satu sebagai yang paling tepat, paling benar, dapat menghambat proses belajar. Keraguan harus diperkenankan dalam waktu yang cukup, agar tercapai keputusan akhir yang memuaskan, dengan kata lain pendidik memberikan waktu bagi peserta didik untuk berfikir. Menurut King (2010), berpikir melibatkan proses memanipulasi informasi secara mental, seperti membentuk konsep – konsep abstrak menyelesaikan beragam masalah, mengambil keputusan, dan melakukan refleksi kritis atau menghasilkan gagasan kreatif sehingga pada bagian tersebut akan di lihat karakteristik dasar konsep–konsep yaitu komponen mendasar dalam proses–proses kognitif (berpikir) yang terjadi dalam pemecahan sebuah masalah, penalaran dan pengambilan keputusan. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan bahwa proses – proses kognitif berkaitan dengan afektif dimana meliputi semua aspek psikologis, sosial, dan fisiologis dari manusia yang menyebabkan mereka berinteraksi dengan lingkungan mereka dengan variasi yang lebih stabil. Contoh dari interaksi tersebut antara lain berpikir, membuat rencana, merasa dan mengevaluasi; tidak hanya sekadar tindakan.
4.1.10. Suasana Evaluasi Bersama & Evaluasi Diri
4.2. Belajar
4.2.1. Jenis–Jenis Belajar
1. Berdasarkan Konsep
King (2010) berpendapat berdasarkan teori psikologi behaviorisme bahwa konsep pembelajaran dalam pendidikan orang dewasa di bagi menjadi dua jenis yaitu pembelajaran asosiasi dan pembelajaran melalui pengamatan. Konsep Pembelajaran asosiasi merupakan pembelajaran yang muncul ketika sebuah hubungan dibuat untuk menghubungkan dua peristiwa dan prosesnya disebut dengan pengondisian. Pengondisian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu: pengondisian klasik dan pengondisian instrumental.
Pembelajaran melalui pengamatan merupakan proses belajar yang terjadi ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Pembelajaran ini melibatkan empat proses antara lain :
Perhatian
Merupakan proses awal di mana peserta didik harus benar – benar memperhatikan apa yang di katakan dan di lakukannya.
Pengendapan,
proses kedua yang diperlukan agar pembelajaran melalui pengamatan sehingga untuk mereproduksi tindakan seorang model (yang di tiru), peserta didik harus menyimpan setiap informasi dalam setiap ingatannya sehingga dapat mengeluarkan ingatan tersebut saat diperlukan. Sebuah deskripsi verbal yang sederhana (bercerita) atau gambar detail dari tindakan model dalam sebuah buku catatan dari tindakan model dapat membantu proses pengendapan (Bani 2012). Reproduksi motorik
merupakan proses peniruan terhadap tindakan model. Proses ini melibatkan divisi somatis, yang berfungsi mengontrol pergerakan volunteer dan pengomunikasian informasi ked an dari organ–organ indera (Feldman, 2012). Pengamatan
2. Berdasarkan Prinsip,
Jenis belajar tersebut di lakukan berdasarkan prinsip penguatan (reinforcement). Feldman (2012) menyatakan bahwa penguatan adalah proses di mana stimulus meningkatkan kemungkinan terjadinya pengulangan perilaku yang telah dimunculkan, dengan kata lain stimulus ini bertindak sebagai penguat sehingga dalam hal ini pendidik harus mengetahui jenis stimulus yang cocok bagi peserta didik. Satu – satunya cara untuk mengetahui apakah stimulus merupakan penguat untuk organisme adalah dengan mengobservasi apakah frekuensi perilaku sebelumnya menjadi meningkat setelah pemunculan stimulus tersebut. Giblin (2004), menambahkan bahwa cara praktis agar pendidik mengetahui jenis stimulus yang cocok bagi peserta didik adalah pendidik memberikan stimulus sesuai denganKODRAT MANUSIAitu sendiri.
3. Berdasarkan pemecahan masalahnya
Jenis belajar tersebut di lakukan dengan melakukan usaha untuk menemukan cara yang tepat dalam mencapai sebuah tujuan ketika tujuan tersebut tidak langsung dapat di raih. King (2010) menyarankan empat langkah dalam pemecahan masalah antara lain sebagai berikut:
Menemukan dan membatasi masalah
Pendidik harus menyadari permasalahan peserta didik setelah itu definsikan dengan jelas. Pendefinisian secara jelas tersebut merupakan langkah pertama untuk memunculkan solusi
Mengembangkan beberapa strategi pemecahan masalah yang baik
pendidik membuat dan menetapkan tujuan-tujuan yang lebih kecil dan sederhana (subgoaling). Hal tersebut bertujuan untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam penyelesaian masalah.
Mengevaluasi solusi–solusi
Artinya adalah dengan menilai seberapa efektif solusi yang di gunakan Memikirkan dan mendefinisikan kembali masalah dan solusi yang
4.2.2. Cara–Cara Belajar
1. Kesadaran:
Fiest dan Fiest (2010) menerangkan bahwa tingkat kesadaran yang meliputi pengalaman yang diterima dalam bentuk terdistorsi dimana pengalaman ini disimbolisasikan secara akurat dan dimasukan dengan bebas ke dalam struktur diri. Menurut King (2010) menyatakan kesadaran terutama dalam belajar melibatkan dua aspek yaitu keawasan dan ketergugahan. Kedua aspek ini berhubungan dengan bagian – bagian yang berbeda di otak. Aspek Keawasan merupakan keadaan subjektif dimana merasa sadar terhadap apa yang sedang terjadi, biasanya melibatkan korteks serebrum, terutama daerah – daerah asosiasinya dan lobus frontal dimana kemungkinan integrasi masukan dari berbagai indra, beserta informasi tentang emosi dan ingatan terdapat di daerah – daerah asosiasi tersebut. Aspek ketergugahan adalah keadaan fisiologis yang ditentukan oleh sistem aktivasi retikular atau merupakan suatu struktur jaringan yang mencakup batang otak, medula, dan talamus. Terdapat lima tingkatan kesadaran yaitu
kesadaran tinggi (higher-level consciousness),
kesadaran tingkat- rendah (lower-level consciousness), keadaan kesadaran terubah (altered state of consciousness) kawasan bawah kesadaran
tidak ada kawasan kesadaran (no awareness)
2. Peniruan
3. Kebiasaan / Kondisi
Kebiasaan adalah serangkaian perbuatan seseorang secara berulang-ulang untuk hal yang sama dan berlangsung tanpa proses berfikir lagi. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa kebiasaan belajar merupakan serangkaian tingkah laku yang dilakukan secara konsisten/berulang oleh peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Dengan kata lain kebiasaan belajar merupakan prilaku peserta didik yang ditunjukkan secara berulang tanpa proses berfikir lagi dalam kegiatan belajar yang dilakukannya. Istilah belajar menunjukkan pada kegiatan dan peranan peserta didik yang menerima pelajaran atau belajar yang artinya suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan mengenai suatu pekerjaan yang dapat dicapai melalui proses berpikir atau dengan cara melakukan praktek (Siagian 2010).
4. Mengartikan
Mengartikan merupakan cara belajar yang dilakukan untuk memahami materi pelajaran yang diberikan oleh pendidik. Bani (2012) membagi pemahaman dalam tiga kategori antara lain
Pertama adalah pemahaman terjemahan mulai dari terjemahan dalam arti yang sebenarnya
Kedua, pemahaman penafsiran, menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok.
Ketiga, pemahaman ekstrapolasi yaitu mampu melihat sesuatu dibaliknya dan dapat memperluas persepsi terhadap sesuatu sehingga dapat mengembangkan makna yang terkandung dalam pernyataan
4.2.3. Prinsip–Prinsip Belajar
1. Prinsip Latihan
Prinsip latihan harus dilakukan untuk meningkatkan pengalaman pada peserta didik. Azzaini (2013) menambahkan bahwa peningkatan pengalaman dari peserta didik berawal dari pembentukan myelin (ingatan otot) yaitu merupakan sumber dari segala talenta yang dibentuk melalui pelatihan yang terprogram dan berulang–ulang.
2. Prinsip Menghubungkan
Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mampu menghubungkan apa yang telah di pelajarinya sebelumnya dengan materi pelajaran baru yang diberikan oleh pendidik ataupun di lingkungan disekitarnya.
3. Prinsip Akibat
Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mengetahui konsekuensi saat belajar. Konsekuensi belajar tersebut biasanya mengorbankan waktu, tenaga, uang, mental dan pikiran dimana pengorbanan tersebut ada kalanya menyebabkan seseorang dalam kondisi tertekan atau stress dimana membebani kemampuan mereka dalam memcahkan masalah (King, 2010).
4. Prinsip Kesiapan
Prinsip ini menjelaskan, peserta didik harus siap secara fisik dan psikis untuk menerima karena belajar bersifat terus – menerus dan berulang – ulang (rutinitas).
5. Mental dan Semangat
4.2.4. Ciri–Ciri Belajar
1. Prosesnya bersifat aktif
Belajar mengajar ini pada prosesnya melibatkan peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran sehingga dalam hal ini pendidik harus mengorientasikan strategi pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik selain itu juga harus didukung oleh hubungan interpersonal yang baik antara pendidik dengan peserta didik (Mulyatiningsih, 2010). Menurut King (2010) keaktifan belajar dapat terjadi apabila pendidik dan peserta didik memiliki kesadaran penuh dan keterbukaan pikiran. Kesadaran penuh yang dimaksud adalah terjaga dan secara mental hadir dalam kegiatan pembelajaran sedangkan keterbukaan pikiran yang dimaksud adalah mampu menerima sudut pandang yang lain dalam melihat suatu hal, dalam pendidikan orang dewasa, hendak penyuluh / pendidik perlu menerangkan pada peserta didik untuk memiliki keterbukaan yang sederhana pada suatu sudut pandang sehingga peserta didik tidak melompat terlalu cepat pada kesimpulan. Cara lain agar tercapai keaktifan belajar adalah penyuluh bersikap rendah hati dan mendengarkan dengan baik apa yang peserta didik ungkapkan berdasarkan lima aturan yaitu tatap ketika ia berbicara, condongkan badan ke si pembicara dan dengarkan dengan penuh perhatian, ikuti topic pembicaraannya dan jangan memotong atau menyela, gunakan kata “anda” dan “milik anda” (Giblin, 2004).
2. Proses Belajar Sifatnya individu