• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRESISI KATA DAN MAKNA DALAM KUMPULAN PUISI JANTUNG LEBAH RATU KARYA NIRWAN DEWANTO ANALISIS TEKSTUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PRESISI KATA DAN MAKNA DALAM KUMPULAN PUISI JANTUNG LEBAH RATU KARYA NIRWAN DEWANTO ANALISIS TEKSTUAL"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PRESISI KATA DAN MAKNA

DALAM KUMPULAN PUISI

JANTUNG LEBAH RATU

KARYA NIRWAN DEWANTO

ANALISIS TEKSTUAL

Oleh M. Helmi, S.Pd.

PENDAHULUAN

Dialektika sajak yang ditulis oleh Subagio Sastrowardoyo tersebut lahir sebagai bentuk penguatan mengenal puisi. Mengingat substansi puisi sarat dengan pengandaian bentuk-bentuk misteri sebagai yang berpusat pada manusia itu sendiri. Misteri bukan teks yang yatim piatu dari antroposentrisme, yang wujudnya dianggap memperlihatkan diri pada kreativitas. Puisi seperti media yang mencari kekhususan untuk melihat yang umum, yang berkesan personal dan subjektif (Darmanto, 1982), sehingga dari dalamnya imaji muncul atau bermunculan bebas. Tentunya imaji yang yang dimaksud adalah daya pikir yang dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana pikiran, yang tidak berperan sebagai lambang tetapi mandiri (Mohamad, 1975: 264-265). Atas kemandiriannya itu, selanjutnya penyair akan dikatakan telah lahir, seperti yang disebutkan oleh Ajip Rosidi (1970: 24) yang menyatakan kelahiran seorang penyair sama dengan membangkitkan

kematian para penyair, yang dengan kata-kata kembali menjelmakan kehidupan.

Perpuisan Indonesia demikianlah seterusnya, hingga terus bergerak mencapai satu titik kemutlakan untuk terjun menjadi kenyataan khazanah sastra yang hidup pada takaran sastra modern dalam kualitas.

(2)

berlandas antara kata sebagai diksi telah berubah wujud ketika bertemu dengan penyampaian-penyampaian yang memiliki fungsi kerahasiaan, yang tidak hanya mengkomunikasikan kehidupan manusia. Artinya, pencapaian puisi tidak selalu terdiri dari penyampaian yang dikeluarkan manusia.

Kemandirian puisi sejalan dengan

perkembangannya yang mulai

menemukan titik temu sebagai media baca yang tidak hanya menjadikan puisi sebatas media komunikasi, tetapi juga sebagai alienasi komunikasi untuk membentuk presisi berpikir yang berfungsi menemukan, kemudian menandai kesadaran tanda batas. A. Teeuw pernah menanggapi pandangan ini dengan istilah sastra modern (perspektif aktif). Menurut Teeuw, sastra modern, sebagai sastra tulisan, kian dilepaskan dari situasi komunikasi yang normal (1977: 5-6). Selain itu, kata yang semula menjadi media dasar puisi akan berpontesi kehilangan otoritasnya sebagai praksis benda, sifat atau bahasa. Kata, sebagai prevalensi benda dan sifat yang harus ditulis atau diucap, akan berunit ke dalam bahasa di belakang komunikasi, dan itu akan berpeluang menciptakan makna-makna yang mampu beraktivitas di luar jangkauan ikhwalnya (Prasetya, 2010:2).

Kata-kata dalam puisi sangat mungkin tidak lagi berproyeksi sebagai sebuah wilayah yang evidensis, tetapi

menjadi suatu wilayah di luar pencapaian kenyataan, yang lahir dari lapisan baru, yang akarnya tumbuh dari resik genetis, dan dengan sendirinya keadaan tersebut tetap mengacu pada sifat-sifat umum yang disebut Wellek dan Warren (1995: 18) menyebut bahwa salah satu sifat sastra adalah framing (penciptaan karya seni), di samping disinterested contemplastion, (kontemplasi objektif), dan aesthetice (jarak estetis), bahkan berpotensi menjadi semakin berkembang. Atau jika otoritasnya tidak tidak dihilangkan, maka kata kembali menjadi utuh dalam diam dan artinya sendiri.

Penciptaan kerangka seni,

kontemplasi objektif, dan jarak estetis adalah tiga bagian yang dimaksudkan untuk pembangunan keutuhan karya sastra, utamanya untuk tubuh puisi, dengan pengembangan-pengembangan yang persepsinya lebih mendewasakan sifat.

Sifat-sifat tersebut berperan memperkuat definisi manusia membentuk keramain misteri, di samping pancarannya yang melahirkan kreativitas selain penopangan konsep identitas penggalian karya yang berkecendrungan ditarik dari pelanggaman etnitas sendiri (konsep filsafat Timur).

Secara garis besar, berpuisi Indonesia, diakui berada di tangan Deru Campur Debu (Chairil Anwar), Asmaranda

(3)

Orang-orang Tercinta (W. S Rendra),

Meditasi (Abdul Hadi W. M), Duka-Mu Abadi (Sapardi Djoko Damono). Di atas adalah sederet karya dan nama yang telah menemukan masa depan puisinya diranah kesusastraan Indonesia. Bentuk-bentuk persajakan mereka berhasil menutup ruang gerak motif-motif persajakan generasi sebelumnya dengan gaya-gaya pencapaian vitalitas diri tinggi. Periodisasi yang dilingkupi puisi-puisi mereka itu (angkatan 45), sampai tahun 1970-an akhirnya jati diri puisi Indonesia benar-benar terangkat. Hal ini berkisar dari pengakuan Sitor Situmorang dalam (Malna, 2000: 20) yang percaya bahwa adanya iklim sastra, suatu proses formasi, atau suatu pembentukan puisi Indonesia modern muncul sejak tahun 1930-1940-an.

Pelajaran puisi kemudian sampai pada generasi O Amuk Kapak (Sutardji Calzoum Bachri), Arsitetur Hujan (Afizal Malna), Tamparlah Mukaku (Acep Zamzam Nor), Nikah Ilalang (Dorathea Herliany), Air Mata Diam (Jamal D Rahman), Malam 1000 Bulan (Agus R Sarjono), yang juga tidak kalah bagus dalam menggali dan mengenali esensi sajak dengan bentuk-bentuk yang lebih membentangkan laras-laras arti tentang gagasan kekaryaan sebelumnya. Sederet nama di atas adalah generasi perkembangan puisi baru, yang terkesan lebih mampu memvisualkan teks sebagai medium kerja di luar arahnya, meski

secera orinilitas sedikit banyak mendapat guncangan penolakan. Jika diteliti struktur etalase judul dari rentetan generasi tersebut jelas ada perbedaan yang menjadi acuan arahan perkembangan puisi Indonesia yang patut kiranya dicermati. Apalagi pada isi sajak-sajak semakin tampak menjulangkan aspek.

Fenomena di atas menunjukkan arah perkembangan puisi telah merambah ke wilayah yang semakin dalam. Semacam kewajiban yang tidak hanya menuntut bahwa karya puisi tidak selalu mengedepankan sisi empiris saja guna menciptakan ukuran penting, melainkan sudut pandang mengenai rangsangan awal yang diharapkan mampu mengelabui pembaca.

DUNIA KATA DAN MAKNA

Jantung Lebah ratu, diterbitkan Gramedia pustaka Utama pada April 2008. Buku ini adalah himpunan puisi pertama Nirwan Derwanto yang dicetak resmi untuk menambah kekayaan perpuisian Indonesia. Sebuah puisi bermotif klasik dengan judul yang berhiperkinesis dari sumblimasi jantung, Lebah, dan Ratu. (Selanjutnya ditemukan

sytle Nirwan Dewanto dari kemasan judul:

(4)

sebagai peraih khatulistiwa Literary Award 2008 dalam kategori puisi, menyisihkan buku-buku puisi berkelas lainnya seperti

Teman-temanku dari Atap Bahasa (Afrizal Malna), Pandora (Oka Rusmini), Sajak-Sajak Menjelang Tidur (Wendoko), dan

Orgasmaya (Hasan Aspahani). Jantung Lebah Ratu dinilai punya daya tarik tersendiri sebagai kekuatan baru perpuisisan Indonesia, sehingga banyak asumsi yang menyebut bahwa himpunan puisi yang ditulis oleh Nirwan Dewanto ini memang amat sulit dicari maksud yang terkandung di dalamnya.

Nirwan Dewanto, sang kreator, menyadari progresivitas sajak agar terhindar dari stagnasi penciptaan-penciptaan yang anualis. Inilah bagian tersulit ketika seorang penyair hidup dalam dekade seperti sekarang. Seperti sentilan kekhawatiran Acep Zamzam Noor dengan bunyi sajaknya: Tak ada benda-benda yang bisa kutandai dengan bahasa. Semua serba angin. Mengacu dari hal itu, kesadaran bahwa ruang dan waktu dalam puisi amatlah sulit, namun kesulitan tersebut sejauh mana sang kreator menyibak untuk mencari temuan-temuan yang belum pernah ada sebelumnya. Paling tidak sebagai tindakan satu ukuran dari banyaknya kecemasan kepada nasib penyair yang hidup dalam dekade kemutakhiran dunia puisi. Sebuah petunjuk imaji, atau mungkin peringatan kepada para penyair untuk terus menggali kreativitas.

Apa yang dikhawatirkan Acep Zamzam Noor sangat terkait dengan 46 sajak dalam Jantung Lebah Ratu yang ditulis Nirwan Dewanto pada kurun waktu antara tahun 2005-2007. Puisi-puisi tersebut lahir dari dilema kreativitas yang telah melalui berbagai tahap. Hal yang paling menonjol adalah bagian yang menjadi penegasiannya dalam menjawab kekhawatiran terhadap miskinnya kreativitas perpuisian Indonesia. Kritisnya ide pilihan dan cara, kritisnya dan penautan hubungan makna, kritisnya pembangunan keutuhan keseluruhan sajak. Nirwan Dewanto dalam hal ini menempuhnya tidak dengan cara yang sepi, cenderung menyukai konstruksi sepi yang berlatar belakang sebatas hal-hal yang dapat merenggangkan diri dari sedih, lantas diolahnya menjadi bagian-bagian yang menunjang keramaian.

(5)

sublimasi metafora, komunikasi subjektif, dan arah-arah yang bersifat pedagogis, serta ditemukannya motif kemutkahiran sajak (bertemunya gaya puisi lama-puisi modern) dengan keterpaduan realita konteks pengusungan idiom-idiom pada tingkat yang elastis, bandingan-bandingan, serta sejauh mana akhir pencapaian karya puisi itu berada.

HIPERKINESIS JUDUL; PETUNJUK SEMIOTIK

Mengamati judul yang cenderung dipakai Nirwan Dewanto, pembaca tentu meresponnya dengan banyak tanda tanya di kening. Hendak kemana puisi ini, apa maksudnya, arahnya ditujukan atas dasar apa, dan sebagainya. Apalagi setelah menggenapi membaca keseluruhan isi sajak. Banyak pertanyaan yang didapat, dan akhirnya diasumsikan bahwa sajak Nirwan Dewanto tidak lebih baik dari Hasan Aspahani, Binhard Nurrahmad, Isbendy Stiawan, dan sebagainya. Simak kata yang menjadi judul buku himpunan puisinya. Serta judul-judul sajak di dalamnya. Nirwan Dewanto memakai lapisan kata dasar. ―Jantung‖, ―lebah‖, dan ―Ratu‖. Substansi kata berdiri pada masing-masing pencernaan rasa. Diambil dari tiga dunia yang berbeda, meski pada kata ―Lebah‖ dan ―Ratu‖ sebenarnya pemisahan kesatuan frase antara kata Lebah dan Ratu, yang artinya pimpinan Lebah. Pertama, dari judul tersebut didapati dunia histologi tubuh yang diikat

pada kata ―Jantung‖. Bagian ini menjadi penadaan hal-hal yang sifanya sangat penting bagi Nirwan Dewanto, selain juga dapat memperkuat aspek psikologis sajak-sajaknya dari porsi terkecil. Sacara ilmu pertumbuhan jantung adalah yang menghidupkan sesuatu. Tanpa jantung sesuatu tidak akan hidup. Jika jantung mati semua akan mati. Nirwan Dewanto dalam mengesensikan jantung adalah konsep kehidupan paling vital dan pasti dimiliki oleh semua mahkluk yang hidup. Kedua adalah ditariknya unsur tubuh itu sendiri. Bagian ini digerakkan menjadi kemasan-kemasan yang memiliki perilaku sebagai identitas makhluk yang bertubuh, seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Bagi Nirwan Dewanto tubuhlah pelaksana pertama proses kehidupan yang sudah dihidupkan oleh jantung. Pilihannya jatuh pada kata ―Lebah‖ yang diambil oleh Nirwan Dewanto sebagai simbol identitas dunia yang bertubuh tersebut. Bagian ketiga adalah kata ―Ratu‖ yang fungsinya jika diamati menunjukkan bahwa dalam kehidupan yang dihidupkan jantung dan dilaksanakan oleh tubuh (sebagai idiom Lebah) akan menghasilkan pencapaian nilai. Bagian ini rasa yang bangkit dari

intusi akan bermain, sebelum

(6)

kalimat, maka seperti berikut: 1) Buah yang lebat dan manis pada pohon bisa jadi karena rajin disiram air. 2) Kepercayaan akan didapat bagi orang yang gemar berkata jujur. 3) Hati rindu

kepada kekasih saat lama sekali tidak berjumpa.

Ketiga contoh pengintian kalimat di atas kemudian dirinci ke dalam konsep hiperkenisis judul melalui kata Jantung— Lebah—Ratu berikut:

Contoh Kata/Kalimat Hiperkinesis Judul

1. Buah yang lebat dan manis 2. kepercayaan hati rindu

Ratu Ratu

1. Pohon 2. Orang 3. Kkasih

Lebah Lebah Lebah 1. rajin disiram air

2. berkata jujur 3. tak berjumpa

Jantung Jantung Jantung

Persaman dari keterangan di atas, jika mengacu pada puisi yang tersusun dalam Jantung Lebah Ratu paling mencolok terjadi pada puisi berjudul ―Pengantin Remaja‖.

Aku tak bisa menangis, sebab kulitmu coklat manis. Kau tak lagi mampu melompat, sebab perasku hampir berkarat. Sesungguhnya sejak kanak aku

hanya mengenal

bayang-bayangmu: sebab aku penjinak binatang, kau peniti tali.

(Dewanto, 68)

(7)

Sajak ―Kopi‖ pun demikian. Sajak tersebut adalah sebuah dunia tentang tubuh kopi itu sendiri, seperti yang juga terjadi pada sajak ―Apel‖, ―Semangka‖, dan sajak ―Garam‖.

Sajak dengan menggunakan dua kata judul seperti ―Perenang Buta‖, ―Daun Bianglala‖, ―Pengantin Remaja‖, ―Lonceng Gereja‖, ―Madah Marah‖, ―Putri Malu‖, ―Lembu Jantan‖, adalah sekian sajak yang juga berorientasi sama. Tantu saja sajak dengan judul tiga kata atau lebih pun demikian, seperti sajak ―Di Restoran Turki‖, ―Fajar di Gelena‖, ―Tiga Biola Juan Gris‖.

Apa yang dilakukan Nirwan Dewanto dalam judul himpunan puisinya, serta judul-judul puisinya, di dalamnya telah melahirkan vitalitas kompleks yang tunggal. Kelihaian membuat metafora hingga ke tingkat sublim telah memposisikan puisinya semacam kesatuan dunia yang utuh, dua dunia bertemu, tiga dunia memandu, empat dunia saling memberi restu, dan begitulah terusnya. Sehingga tidak memberi kesempatan kepada unsur lain untuk cemburu. Hal serupa ini hampir ditempuh oleh Dorothea Rosa Herliany selain pada generasi yang telah disebut sebagai perkembangan puisi baru. Namun tetap ada perbedaan ketika ditinjau dari cara penyublimannya. Nirwan Dewanto tanpa ragu membuat judul yang sepertinya tanpa kesan, namun di balik itu justru kesan-kesan anehlah bermunculan. Hal

yang paling nampak untuk kesiapannya adalah satu konsep alienasi telah berdiri pada kesadaraan seluk beluk yang memang ingin sengaja ditawarkan. Seperti dipilihnya fenomena-fenomena kata ―Jantung‖, ―Lebah‖, dan ―Ratu‖. Mengambil contoh ini, sebut saja pilihan tiga judul yang paling aneh dalam kumpulan puisinya, yakni ―Perenang Buta‖, ―Anjing Kidal‖, ―Kancing Gaya Lama‖ benar-benar menandakan bahwa Nirwan Dewanto tidak hanya sekedar bermain-main dalam makna, tetapi ruang untuk puisi yang diciptakannya melebihi pemahaman makna itu sendiri.

Judul-judul sajak Nirwan Dewanto mengundang pertanyaan besar, yang posisinya tidak hanya sebatas tebakan eksotik, tetapi menuntut kepada siapa pun

yang membacanya mau menjadi

perenang buta, harimau, ubur-ubur, tukang kebun, atau bahkan bersedia menjadi keledai. Inilah sekaligus yang menjadikan Nirwan Dewanto berada sejajar dengan penyair-penyair sebelum-nya dalam urusan memberangkatkan sebuah puisi ketika ditinjau dari hiperkinesis judul. Selangkah, Nirwan Dewanto layak disebut professor atas gagasan-gagasannya meramu sekum-pulan sajak yang berbeda dari umumnya.

METAFORA SIMPANG DAN PRESISI LARIK-LARIK SAJAK

(8)

dengan cara kompleks, dari alas dasar hingga kontruksi keseluruhan. Dimulai dari persentuhan-persentuhan frase yang hampir semua ditemukan berada dalam sajaknya. Frase tersebut mandiri karena tidak hanya melepas fungsi kata yang nonpredikat, tetapi juga tidak adanya tujuan untuk membentuk atau mencari arti makna posisi yang tak mengenal disengaja atau tidak. Seperti kata ‗jubah tanjung‘ pada puisi ‖Perenang Buta‖, ‗sebutir telum malam‘ pada puisi ―Kunang -Kunang‖, ‗duri bintang‘ dan ‗bulu bulan‘ pada puisi ‖Cumi-Cumi‖, ‗tangan jantan‘ pada puisi ―Gerabah‖, ‗pecahan pedang‘ pada puisi ‖Gong‖, ‗daging kata‘ pada puisi ―Semu‖, ‗ungu hujan‘ pada puisi ―Kucing Persia‖, ‗pecahan palu sabit‘ pada puisi ―Anjing Kidal‖, ‗batang jantan‘ pada ‖Semangka‖, ‗roti udara‘ dan ‗roti batu‘ pada puisi ―Gandrung Campuhan‖, ‗cakram matahari‘ pada puisi ―Sarapan di Undak Sayan‖, ‗Malam pencemburu‘ pada puisi ―Putri Malu‖, ‗manis gremis‘ pada puisi ―Keroncong Tenggara‖, ‗susu musim panas‘ pada puisi ―Es Krim‖, ‗gemetar payu dara‘ pada puisi ―Serupa Haiku‖, ‗saputangan matahari‘ dan ‗ke tepi nyanyi‘ pada puisi ―Mawar Terjauh‖, ‗jembataan mawar‘ pada puisi ―Pengantin Remaja‖, ‗kaus kaki Januari‘ pada puisi ―Boogie-woogie‖, ‗malam di usus besarnya‘ dan ‗matahari di peparunya‘ pada puisi ―Kopi‖, ‗buah hati batu‘ pada puisi ―Bubu‖, dan ‗telur-telur yang keras kepala‘ pada puisi ―Lebah Ratu‖.

Hal dengan gaya pendeviasian tersebut memang tidak asing dalam dunia puisi. Dunia puisi memang sarat dengan interpretasi perlambangan, dan yang berdiam dalam keharfiahnya sedikit dikucilkan, sehingga muncullah kata metafora. Eksplorasi yang terjadi dalam puisi, yang dibuat oleh beberapa penyair dengan banyak tujuan dan gaya seperti yang disebutkan di atas sudah ada sebelumnya. Sejak amukan O Amuk Kapak Sutardji colzoum Bachri, kemudian tradisi demikian berlanjut masuk dan populer dalam dunia arsitektur Afrizal Malna. Namun, apa yang dilakukan Nirwan Dewanto kepada sajaknya adalah kepercayaan diri yang lain. Kepercayaan diri yang ulung, di mana baginya kata seakan-akan benar-benar telah diultimatum agar tidak menjadi sesosok kata yang epigonistik. Penggunaan fungsi kata-kata yang berbau mitos dan legenda misalnya. Kandungan mistis pada kata ‗beras kuning‘ dan ‗daun sirih‘ pada puisi ―Gong‖, ‗telur paskah‘ pada puisi ―Apel‖, ‗dewi batari‘ pada puisi ―Torso Pualam‖, ‗bunga bakung‘ pada puisi ―Kucing Persia‖, ‗kembang sepatu‘ pada puisi ―Anjing Kidal‖, ‗pisang raja‘ pada puisi ―Semangka‖, difungsikan oleh Nirwan Dewanto atas pengertian yang sadar bahwa di balik itu ada esensi peristiwa-peristiwa kuat, baik dalam konteks sejarah atau pun penanaman kepercayaan.

(9)

larik dalam penggunaannya bertemu pada kutipan berikut.

… di antara tirai ungu hujan dan sejambangan bunga bakung merah padam…

(Dewanto, 26)

Berdasarkan kutipan di atas, kata ‗ungu hujan‘ tercipta sebagai metafora simpang, ‗bunga bakung‘ sebagai mitos. Kedua tautan kata tersebut menjalin hubungan menjadi satu dunia, menjadi ikatan yang beresonansi nyaris tak terasa. Keduanya adalah bagian larik yang

mengandung dunia-dunia dalam

pengistilahan kata Jantung—Lebah— Ratu. Keutuhan lariknya berpotensi untuk melahirkan sajak-sajak yang lengkap dan bau-bau alam semacam batu gerinjam dan kembang api, rerumbai, marun guci, dayang, yang turut melengkapi permainan bias yang dilakukan dalam membentuk epilogi sajak, seperti kutipan puisi berikut.

… atau batu gerinjam jika aku hampir mati, atau kembang api jika aku tak sengaja menge-nyangkanmu, mengejangkanmu. (Dewanto, 4)

Jangkauan larik di atas juga melahirkan aspek bunyi yang tipis, sehingga subtil. Aspek ini secara tidak langsung membuat sajak tetap luas, padat, dan bertendensi mandiri dalam menciptakan pengoptikan ruang-ruang yang tetap ingin dipertahankan. Seperti

yang terjadi pada sajak jenis Haiku berjudul ―Museum‖ berikut.

Muram guci di dalam lemari Si pelukis meninggikan hati, ―Itu milik selir dari Shanxi?‖ (Dewanto, 53)

Berdasarkan kutipan puisi di atas muncul kesan suatu ikhwal tentang kepadatan sebuah hal yang melahirkan keutuhan, sehingga sajak-sajak yang ditulis Nirwan Derwanto merupakan susunan presisi larik-larik yang tidak hanya kompleks, tetapi juga mengorbitkan proses terjadinya sesuatu tersebut seperti mengalir dalam keadaan diam, yang alirannya bergemuruh di dalam, tapi di atasnya selalu tampak tenang. Konsep metafora simpang seperti penjelasan di atas lantas masuk ke hal yang lain, yang berbau ketidakbakuan bahasa, mitos-mitos, artefak dan senyawanya, kemudian menggabungkannya ke dalam ketepatan kepercayaan larik. Pencapaiannya adalah estetisnya larik-larik sajak dalam membentuk bait, secara keseluruhan puisi. Prosesi ketepatan larik ini juga hadir dalam puisi ―Gong‖ berikut.

(10)

PENCAPAIAN MAKNA

Sutisna Adji dalam (Ali, 1978: 91)

menyatakan bahwa puisi yang

mempunyai metafor gelap, kalimat panjang yang hampir-hampir tak terpahami dan tema-tema subjektif yang asal terlontar saja dari penyairnya, telah menyebabkan puisi Indonesia pada suatu masa tersisih, menjadi semacam benda-benda asing yang tak mempunyai peranan sama sekali dalam kehidupan bersama. Lalu bagaimana dengan puisi Nirwan Dewanto dalam Jantung Lebah Ratu?

Melihat pencapaiannya, mayoritas sajak-sajak Nirwan Dewanto yang terdiri dari nalar-nalar intuisi, yang ditimbulkan sebagai pembatas antara prevalensi realita dan penegasiannya secara tidak langsung telah memberikan jawaban. Setelah mempelajari kekonsistenan sajak-sajak Nirwan Dewanto hal yang membat tersisih tidaknya sebuah puisi tidak hanya ditentukan dari penerangan metaforanya. Penentuan baik buruknya sebuah puisi juga bukan ditentukan oleh kalimat pendek yang dapat dipahami. Hal yang terjadi pada puisi Nirwan Dewanto adalah dimensi keteraturan gerak yang menghubungkan masing-masing konteks yang bertugas menjalin pengkompromian terhadap hal-hal yang melompat dari kodrat. Seperti fungsi mata yang seharusnya digunakan untuk melihat digeserfungsikan sebagai pengingat (mata

menjadi akal), yang tampak pada kutipan puisi …. Berikut.

Tapi segera aku tahu ia tak bermata, maka ia lupa siapa bundanya.

(Dewanto, 4)

Kutipan di atas pada satu sisi memang menunjukkan seakan Nirwan Dewanto dalam mengemas objek selalu

menampakkan kesan-kesan yang

bersahabat, tatapi tak langung. Semacam mengajaknya berkenalan, berasmara, bertamasya sekali berkunjung ke suatu tempat, kemudian pergi sejenak untuk kembali menengok untuk dipeluknya. Nirwan Dewanto sangat memperhatikan objek agar tak sia-sia. Agar objek tidak lantas pergi karena diposiskan tak punya arti.

Tidak hanya itu, progresivitas sajak-sajak Nirwan Dewanto, utamanya dalam

Jantung Lebah Ratu menjangkau sebuah tahap yang mungkin pada perpuisian Indonesia tidak sempat terjadi. Kemurnian

dan keberaniannya dalam

(11)

sebagai usaha pengkayaan kreativitas dalam menggali sajak, tentunya secara personal akan berpengaruh sebagai hasil dari pencarian yang orisinil. Amati puisi yang berjudul ―Daun Bianglala‖, yang pembentukannya memadukan dua gaya, puisi gaya lama dan puisi modern.

(Bagian pertama)

Terbaring di talapak tanganku selembara daun,

daun biru teramat biru, sebab terlalu lama

ia memandang angkasa-…..

(Bagian kedua)

Maka, sekali tak berumah ia tak akan lagi menyerah Ungu, jika ia tidur.

Putih, jika ia mimpi. Jingga, jika ia dahaga. Kuning, jika Ia sembunyi. (Bagian ketiga)

Tapi tak ada daun mati, cintaku sebab daun itu berdegup seperti jantungmu,

tapi degup yang tidak bisa lagi kudengar

ketika aku bangun, tersadar di pangkal jalan

(Dewanto, 10)

Temuan lain yang menampakkan bagaimana kayanya ide penggalian Nirwan Dewanto dalam himpunan puisi Jantung Lebah Ratu terdapat pada ungkapannya menyampaikan peralihan prinsip puisi. Prinsip di mana isi sebuah puisi berkecendrungan mengangkat segala hal yang berurusan dengan manusia beserta pengalamannya. Baik

pengalaman tentang sebuah tragedi, ketimpangan sosial, asmara, hubungan dengan Tuhan, pendidikan dan sebagainya. Hal-hal tersebut adalah bahan-bahan praksis yang memang tak pernah bisa dilepas dari unsur manusia sebagai makhluk yang menjalani kehidupan. Sifat karya sastra yang ditarik dari hal-ahal yang empiris ini merupakan pencerminan realita yang dianggap sah dan juga ada, kerena potensinya untuk membangun tema sangat memungkinkan.

Sajak Nirwan Dewanto mampu

berdimensi lain. Artinya keluar dari hukum-hukum dasar sebab akibat, diri keluar dari fungsi diri itu sendiri, dan yang paling kental adalah bagaimana konsep ‗aku‘ dalam tubuh benda menjadi hidup dan beraktivitas. Hal ini disebabkan karena jangkauan persepsinya tidak sebatas mengiyakan bahwa hanya manusia berhak menulis sajak. Di sini

sang penyair benar-benar

menenggelamkan diri dan melepas identitas manusianya, bahkan menjadi di luar manusianya seperti menjadi binatang, yaitu ―Ular‖ seutuhnya.

Membaca keberadaan puisinya tersebut, benar-benar ditemukan bahwa Nirwan Dewanto berada di dalamnya, bahkan melampaui pencapian Sutardji Colzoum Bachri dalam sajak ―Kucing‖ nya. Baca kutipannya berikut.

(12)

semuanya di pintu

gerbang/setiap mereka hendak melangkah keluar/sebab aku aku tahu sang Wajah nun di sana/akan menjadikan mereka sekedar ibu-pak/Merekalah makhluk terindah di Taman ini:/lebih licin daripada harimau tembus-cahaya/lebih lesat daripada balam berwarna jantung/lebih berbiasa daripada diriku sendiri (Dewanto, 22).

Demikian pula yang terjadi dengan puisi ―Kopi‖. Susunan sajaknya

menampakkan pencapaian daya

represinya yang benar-benar dalam. Sajak ―Kopi‖, di dalamnya sang penyair meleburkan diri menjadi kekentalan dari secangkir air yang hitam: „Di tangan laki -laki itu, kami coba bersabar‘. Kata kami

adalah maksud dari yang bercokol di antara manis dan pahit, panas dan dingin, dan bergetar karena diaduk. Kata kami tidak lain adalah objek kopi itu sendiri:

Namun betapa cangkir ini gemetar/ oleh tubuh kami, gairah kami/yang luas seperti langit potasi‘. Sampai pada sifat-sifat fisik dari kopi itu sendiri, yang di dalamnya ‗kami‘ berada, dan ‗kami‘ telah menjadi dua jenis kelamin: ‗dan aku betina, bening. Betapa laki-laki itu/mengaduk si

serbuk jantan ke dalamku‟. Di sini, Nirwan

Dewanto tidak hanya berhasil masuk di bawah batasan-batasan pikiran, tetapi perolehan seluruh isi jiwa raga yang telah masuk dan menjadi ―Kopi‖ sepenuhnya. Berikut kutipan penguat kalimat puisi yang menjadi pembahasan, di mana kekentalan kopi tampak menceritakan

situasi atau keadaannya ketika mereka (kopi) tengah siap diminum hingga masuk ke dalam perut si peminum.

Kami akan naik ke mulut lelaki itu/aku dan kembaranku/aku dan seteruku:/kami akan berpisah selepas leher lelaki itu:/dia ke arah malam di usus besarnya/aku ke arah matahari di peparunya (Kopi, hal. 72)

Berdasarkan kutipan di atas, keutuhan yang menunjukkan bahwa sang penyair menjadi ―kopi‖ pada penekanan sebenarnya, yaitu sebagai sesuatu yang dirasakan pahit dan pada bagian akhir membuat orang tidak ngantuk:

Kukatakan pada dia, baiklah/kita akan berpisah (mungkin aku alah)/setelah menaklukkan lidah/ lelaki itu. Tapi kami cuma bisa bertarung/bersetubuh, (makin pahit), membubung

menghujani bentang koran pagi/yang terkulai di pangkuan lelaki itu.

Penderita insomnia lelaki itu. (Dewanto, 73)

(13)

menuliskan sajak. Seperti kecenderungan kebanyakan penyair-penyair terkini yang semata-mata lebih suka kepada hal yang akarnya adalah rasa, atau perasaan manusia. Apalagi pembawaan itu berbau sensasi dan segepok tendensi agar cepat menuai kepopuleran.

Inilah kekayaan penggalian yang telah dicapai Nirwan Dewanto dalam mengolah sajak-sajaknya sebagai satu bagian dari generasi yang berdiri dalam kemutakhiran puisi terkini. Jantung Lebah Ratu mampu melahirkan satu cara bagaimana keluar dari kungkungan

kebiasaan-kebiasaan umum.

Keberhasilannya menciptakan sebentuk identitas sajak ―Kopi‖ yang berperilaku, berbuat, dan beridentitas seperti manusia yang merasakan getaran, berjenis kelamin, tahu diri, mampu mengajari sesuatu, menunjukkan bahwa si penyair memandang di luar manusia juga punya perasaan seperti yang dimiliki manusia. Sajak ―Garam‖ juga menunjukkan arah seperti maksud di atas.

Temuan sisi kreatifnya yang lain adalah adanya kemunculan tuturan yang mendiami kata yang merancang jarak estetika puisinya. Yakni jarak yang didapat dari hasil perengkrutan bahasa kata yang yang diambil dari jauh dekatnya konteks. Misalnya terdapat pada kutipan puisi ―Bayonet‖ berikut.

―Memuntahkan peluru‖ adalah

peribahsa yang tak

kupahami/‖Bermain api‖ terlalu

mudah bagiku. Aku selalu mencatat ulang ―tumbang‖….. (Dewanto, 84)

Bahasa kunci kalimat di atas adalah

„Bermain api‟ dan „terlalu mudah bagiku‟.

Kalimat tersebut berperan elastis, sebab

„Bermain api‘ sebagai pengertian dari

pekerjaan sulit atau jauh, dan kata „terlalu

mudah‟ sebagai pengertian dari pekerjaan

yang enteng atau dekat.

Banyaknya unsur yang memperkaya sajak-sajak dalam Jantung Lebah Ratu ini membuktikan bahwa sebenarnya puisi tidak akan gelap jika konsep-konsep yang menjalankan unsur tersebut mampu menempuh suatu kepentingan, apapun bentuknya. Kepentingan, seperti dirasakannya sebuah hal yang tidak tumbuh dengan sia-sia, atau kembali pada kegelisahan Subagio Sastrowardoyo, dengan preservasi sastranya yang menyebut istilah ―nyawa‖ sebagai langkah untuk mencari kerahasiaan-kerahasiaan yang menghuni sebuah karya satra, yakni penulis dan pembaca. ―Buatlah nyawa sajak‖ bagi pembaca.

SIMPULAN

(14)

sebuah karya prosa dengan cemerlang. Di wilayah puisi terdapat nama Sanusi Pane, Amir Hamzah, Charil Anwar, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri yang juga kerap menampilkan karya dengan tampilan kekuatan yang luar biasa. Namun ada catatan penting tentang bagaimana kondisi minat baca masyarakat Indonesia sudah terlalu sering dilupakan. Pemetaan secara minat pun terbagi. Genre sastra yang bertendensi ke arah konsumtif lebih bisa punya peluang hidup di tengah masyarakat Indonesia. Misalnya pada prosa (cerpen) yang berkisar pencintaaan, kemasan perselingkuhan, dan seputar seks dengan bau-bau vulgar serta sejenisnya. Ini jelas telah membunuh usaha pencapaian yang kerap dialami seorang penulis. Selain keterdesakan karena minimnya media dalam memberikan ruangan khusus untuk kesusastraan. Hal ini menunjukkan kondisi sastra Indonesia belum siap untuk dapat dikatakan maju.

DAFTAR PUSTAKA

Sastrowardoyo, Subagio. 1982. ―Salam

Kepada Heidegger, dalam

Simpfoni Dua. Jakarta: Balai Pustaka.

Darmanto, Jt. 1982. Manusia dalam Puisi dan Psikologi. Yogyakarta: Majalah Basis.

Mohamad, Goenawan. 1975. Pokok-Pokok Ceramah untuk Fakultas Sastra UI. Jakarta: Majalah Harison No. 9.

Rosidi, Ajib. 1970. ―Penyair‖, dalam

Jeram. Jakarta: Gunung Agung. Adi, Janus Mukri. 1971. Pembicaraan

Sajak-Sajak W.S Rendra. Jakarta: Harian Kompas.

Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.

Teeuw, A. 1977. Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dengan Pembaruan. Jakarta: Majalah Bahasa dan Sastra.

Malna, Afrizal. 2000. Sesuatu Indonesia.

Yogyakarta: Bentang Budaya. Ali, Lukman. 1978. Tentang Kritik Sastra

Referensi

Dokumen terkait