• Tidak ada hasil yang ditemukan

TULISAN 2 KEBUDAYAAN ARAB PADA MASA ABBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TULISAN 2 KEBUDAYAAN ARAB PADA MASA ABBA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

(2)

KEBUDAYAAN ARAB PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

1. Pendahuluan

Pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan dinasti berusia paling panjang dalam sejarah Islam. Dimulai ketika Muhammad As-Saffah, nama lengkapnya Abdullah As-Shaffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas, berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayah pada 750 Masehi, dengan cara memanfaatkan ketidakpuasan orang-orang Islam non-Arab, kalangan Syiah serta keluarganya sendiri, Keluarga Hasyim. Ia membangun kekuasaan itu bersama Abu Muslim dari Khurasan. Sejak itu (750 M), Bani Abbasiyah berkuasa hingga tahun 1258 M. (Yatim, 1999:49).

Abu Abbas sendiri hanya berkuasa selama empat tahun sembilan bulan, yaitu sampai ia meninggal pada tahun 136 H di kota Anbar, suatu kota yang ia jadikan sebagai pusat pemerintahannya (Hassan, 1989:102). Setelah Abu Abbas wafat, ia digantikan oleh Abu Ja'far sebagai khalifah berikutnya (754-775). Dialah khalifah pertama yang menggunakan gelar untuk dirinya sendiri, yaitu Al-Manshur. (Hassan, 1989:102) Ciri khas dari pemerintah Al-Manshur adalah kesediaannya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Persia. Bahkan ibukota negara dipindahkan ke tepi Sungai Tigris, dekat Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Persia pada masa lalu.

Dalam beberapa literatur sejarah disebutkan bahwa Al-Manshur melakukan survei mendalam untuk penentuan lokasi ibukota. Dia mengirim staf untuk tinggal di sana guna membuat laporan keadaan wilayah itu di berbagai musim. Ia mendatangkan sekitar 100.000 pekerja dari berbagai daerah—Kufah, Bashrah, Mosul, dan Syria—untuk menjadi arsitek, tukang bangunan, juru pahat, pelukis untuk membangun tempat yang dulu dipakai sebagai peristirahatan Kaisar Kisra Anusyirwan (Sou'yb, 1977:124). Sekitar tahun 762 Masehi, lahirlah kota Baghdad sebagai salah satu kota termegah di dunia saat itu.

(2)

orang pamannya yang menolak berbaiat untuknya, dibunuh Abu Muslim atas suruhannya (Osman, 1976:108). Abu Muslim sendiri kemudian ia bunuh. Untuk militer, ia kembali melakukan ekspansi untuk menguasai kembali wilayah-wilayah yang pernah dikuasai Bani Umayyah. Ia mengenalkan konsep 'wazir' yang sekarang diistilahkan sebagai perdana menteri. Jawatan pos diberi tugas intelejen, termasuk untuk mengawasi para gubernur.

Di sisi lain, Baghdad dibangunnya sebagai pusat peradaban. Ilmu dan kesenian dikembangkan. Di masa pemerintah Al-Manshur ini, imam Abu Hanifah (700-767) yang hidup di kota Kufah diberi tempat yang baik dan terhormat. Abu Hanifah berkesempatan untuk merumuskan hukum-hukum Islam, yang kemudian dikenal sebagai mazhab Hanafi, sebuah mazhab yang sangat dipengaruhi kecenderungan kalangan intelektual muslim di Kufah, yaitu pengaruh rasionalisme.

Kemakmuran masyarakat mulai terwujud pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785). Program irigasi berhasil meningkatkan produksi pertanian berlipat kali. Jalur perdagangan dari Asia Tengah dan Timur hingga Eropa melalui wilayah kekhalifahan Abbasiyah berjalan pesat. Pertambangan emas, perak, besi dan tembaga, berjalan dengan baik. Bashrah di Teluk Persia tumbuh menjadi satu pelabuhan terpenting di dunia. (Esposito, 2001:1-2).

Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan tumbuh subur. Di Madinah, Imam Malik (713-795) juga menyusun fikih atau hukum Islam. Ia tak seperti Imam Abu Hanifah yang lebih mengandalkan rasionalitas. Imam Malik banyak menggunakan hadis secara langsung serta tradisi masyarakat Madinah. Puncak peradaban Islam terjadi pada masa Harun Ar-Rasyid (786-809). Bukan hanya kemakmurn masyarakat yang dicapai, namun juga pendidikan, kebudayaan, sastra, dan lain-lain.

Harun Ar-Rasyid membangun rumah-rumah sakit, sekolah kedokteran, serta farmasi. Saat itu, diperkirakan terdapat 800 orang dokter. Ia juga membangun pemandian-pemandian umum. Istrinya membangun saluran air dari Thaif untuk memenuhi kebutuhan air di Mekah yang tak cukup dipenuhi oleh sumur Zamzam.

(3)

Imam Syafi'i (767-820) serta Imam Ahmad bin Hanbal (780-855) juga menulis kitab fikih yang kemudian menjadi mazhab sendiri. Mazhab dengan pendekatan yang berada di antara mazhab Hanafi dan Maliki. Pemikir Islam yang mengedepankan rasionalitas, yang dikenal dengan sebutan Mu'tazilah, yakni Abu Huzail (752-849) dan An-Nazam (801-835) juga melempar gagasannya pada periode ini (Sou'yb, 1977:109).

Hingga Khalifah Al-Mutawakkil (847-861), Daulat Abbasiyah masih menampakkan kebesarannya. Namun dalam wilayah politik, Al-Mutawakkil mulai membuat sejumlah perubahan. Ia lebih berorientasi pada orang-orang Turki dibanding Persia. Paham keagamaan negara pun diubah. Khalifah Al-Ma'mun menggunakan paham rasional Mu'tazilah untuk negara. Al-Mutawakil mencabut paham itu, dan menggunakan aliran 'Salaf' dari mazhab Hanbali.

Tak banyak terkisahkan pada sejarah Daulat Abbasiyah akhir Abad ke-9 dan awal Abad ke-10. Terutama sejak Khalifah Al-Mutawakkil meninggal pada 861 Masehi. Riwayat hanya menyebut bahwa pemerintahan Baghdad terus dikuasai oleh para panglima militer berdarah Turki. Para panglima itu yang mengangkat khalifah dari keturunan khalifah-khalifah terdahulu, namun mereka hanya dijadikan simbol.

Khalifah yang diangkat dan dikendalikan oleh kekuatan militer, pada masa Dinasti Abbasiyah, yang didominasi bangsa Turki berjumlah 12 khalifah (Yatim, 1999:67). Hanya empat khalifah yang diganti karena meninggal secara wajar. Delapan lainnya diturunkan secara paksa oleh militer, bahkan juga dibunuh. Keadaan ini menjadikan wibawa Dinasti Abbasiyah semakin merosot. Satu per satu wilayah melepaskan diri dari kendali pusat.

Simbol-simbol peradaban, seperti ilmu pengetahuan, kesenian, dan sastra tidak lagi berkembang. Satu-satunya paham keagamaan yang tumbuh pada masa ini adalah pemikiran Abu Hasan Al-Asy'ari (873-935), yang kerap disebut aliran tradisional dalam teologi. Al-Asy'ari sempat belajar paham Mu'tazilah yang banyak dipengaruhi oleh logika Yunani. Ia lalu mengkritisi paham tersebut dengan mengambil pendekatan tekstual dan tradisi. Sejarah pemikiran Islam kemudian banyak diwarnai tarik-menarik kedua pendekatan tersebut, sampai sekarang.

(4)

Jepang di era Tokugawa. Ketika wazir (perdana menteri) dan militer bertikai, khalifah menyerahkan kekuasaan pada tiga kakak beradik Ali, Hasan, dan Ahmad -anak Abu Syuja' Buwaih, seorang nelayan miskin dari Dailam. Ahmad memegang kendali di Baghdad, Ali menguasai wilayah Persia Selatan yang berpusat di Syiraz, dan Hasan berkuasa di Persia Utara, termasuk kota Ray dan Isfahan (Esposito, 2001:2).

Di awal masa Bani Buwaih (945-1055), kemakmuran kembali berkembang di wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Pembangunan gedung pun semarak. Industri karpet berkembang pesat. Intelektual bermunculan. Antara lain Ibnu Sina (980-1037), penulis Qanun fit-Thibb yang menjadi rujukan ilmu kedokteran Barat sampai Abad ke-19. Pada masa ini juga muncul Al Farabi (wafat pada 950 Masehi) dan Al-Maskawaih (wafat 1030 Masehi). Namun dalam keagamaan, terjadi kerancuan paham. Kekhalifahan menganut paham Sunni, sedangkan Bani Buwaihi berpaham Syi'ah.

Muncul pertikaian keluarga yang membuat kekuatan Bani Buwaihi merosot. Kekhalifahan Abbasiyah kehilangan pamor lagi. Di Mesir, berdiri Kesultanan Fathimiyah; di Afghanistan, keluarga Ghaznawiyah memerdekakan diri, kemudian muncul dinasti Seljuk yang berawal dari kabilah-kabilah kecil di Turkistan yang berhasil dipersatukan oleh Seljuk anak Tuqaq. Pemimpin Seljuk kemudian Thugrul-Bek, berhasil merebut beberapa wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Tak seperti Bani Buwaihi, mereka menganut paham Sunni.

Atas undangan Khalifah Qaim, Thugrul-Bek memasuki Baghdad. Para keturunannya kemudian mengendalikan kekuasaan di Baghdad. Banyak keluarga Seljuk lainnya membangun kekuasaan kecil-kecil di luar Baghdad. Sejarah mencatat masa terpenting kekuasaan Seljuk terjadi pada kepemimpinan Alp Arselan (1063-1072). Khalifah masa itu adalah Sultan Malik Syah, dengan Nizham Al-Mulk sebagai Perdana Menteri.

(5)

Qusyairi di bidang tafsir, Imam Al-Ghazali sebagai tokoh tasawuf, juga sastrawan Fariduddin Attar, dan Omar Khayyam.

Dalam bidang militer, 15.000 pasukan Alp Arselan mengalahkan pasukan gabungan Romawi, Perancis, dan Armenia. Sepeninggal Arselan, pasukan itu malah merebut kota Yerusalem dari Dinasti Fathimiyah pada 471 Hijrah, atau 1078 Masehi. Inilah peristiwa yang menyulut terjadinya Perang Salib.

Waktu berlalu. Kekhalifahan melemah. Hampir setiap propinsi melepaskan diri. Pada tahun 1199 Masehi, kekuasaan Keluarga Seljuk di Baghdad berakhir. Para khalifah keturunan Abbas masih melanjutkan kepemimpinan negara. Namun hanya terbatas di sekitar Baghdad. Pada 1258, tiba-tiba sekitar 200 ribu pasukan Mongol muncul di bibir kota Baghdad di bawah komando Hulagu Khan. Dalam peperangan itu, Khalifah Al-Mu'tashim menyerah.

Ia menyangka Hulagu Khan hendak menikahkan anak perempuannya dengan Abu Bakar, putra khalifah, maka khalifah dan seluruh pembesar istana datang ke kemah Hulagu membawa berbagai hadiah. Di tempat itulah, Hulagu memenggal leher khalifah dan seluruh pengikutnya satu per satu. Kota Baghdad dihancurkan. Seluruh kegemilangan yang dibangun oleh Al-Manshur, dan kemudian juga oleh Harun Ar-Rasyid itu luluh lantak. Baghdad kembali rata dengan tanah.

2. Sistem Kebudayaan Arab

Pada masa awal Islam, ilmu pengetahuan Islam hampir secara keseluruhan berasal dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Adapun umat Islam keturunan non-Arab tidak menguasai dengan baik bahasa dan sastra Arab. Itulah sebabnya di kalangan Muslim non-Arab timbul semangat untuk mempelajari tata bahasa Arab, filologi, dan syair-syair pra-Islam yang memerlukan studi geneologi dan historiografi untuk memahami makna dan kandungan Al-Qur'an dan As-Sunnah. (Hassan, 1989:130-131).

(6)

Khaldun menyatakan bahwa ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam banyak dikembangkan oleh orang-orang Islam Persia (Khaldun, 1900:543).

Untuk mengetahui kebudayaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah, dapat dilakukan peninjauan terhadap aspek-aspek kebudayaan Islam, mulai dari sistem pemerintahan, pendidikan, kehidupan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan, hingga faktor-faktor yang menghubungkan masyarakat Islam dengan kebudayaan non-Arab lainnya.

a. Kehidupan Masyarakat

Akan sangat menarik bila ditinjau sejarah masa silam Dinasti Abbasiyah, dan dari sejarah ini dapat dibentuk suatu pemikiran tentang kondisi sosial dan ekonomi rakyat. Dalam tradisi pemerintahan Islam awal, Khalifah merupakan kepala negara. Dia memperoleh penghormatan tertinggi dari rakyat. Di bawah pemerintahan Khalifah, terdapat para pejabat tinggi kerajaan. Kaum wanita memperoleh kedudukan yang sama dalam masyarakat sebagaimana yang terjadi pada masa Dinasti Umayyah. Akan tetapi, menjelang akhir abad ke-10, sistem pemisahan kaum perempuan dari kaum laki-laki telah menjadi amat biasa. Selama masa ini banyak wanita Abbasiah seperti halnya Khaizuran, Ulayyah, Jubaedah, dan Buran unggul dalam mengurus organisasi negara dan beberapa di antara mereka aktif dalam kehidupan politik (Hitti, 2001:111). Juga banyak di antara mereka sangat yang berminat dalam kesusastraan. Ratu Jubaedah adalah wanita berbakat dan penyair ulung. Jubaedah yang memperoleh kemasyhuran nasional pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim dilukiskan oleh Kitâbul-Aghâni sebagai wanita yang sangat cantik, bajik, dan terampil. Dia juga termasyhur sebagai penyanyi dan musisi. Fazl adalah penyair berbakat dalam pemerintahan Al-Mutawakkil. Syaikha Syuhda adalah wanita berbakat lainnya yang memberi kuliah di Baghdad tentang sejarah dan kesusastraan. Jainab Umm-ul Muwayyid adalah pengacara termasyhur. Taqia, putri Abul Faraj, adalah penyair kenamaan. Ringkasnya, para wanita Muslim pada zaman Abbasiah terpelajar dan pandai (Ali, 1995:320).

(7)

pertunjukan musik dan kadang-kadang mereka mengadakan pertunjukan musik di rumah mereka. Seni tari juga dikembangkan dalam masyarakat itu. Minum-minuman juga banyak dikenal di kalangan masyarakat Abbasiyah, sebagaiman juga menjadi tradisi pada masa Dinasti Umayyah. Permainan polo, catur, memanah, berkuda, berburu, dan sebagainya menjadi sangat populer di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Terhadap tradisi yang berkembang di bidang kesenian dan musik ini, para ulama mempunyai sikap yang menentang, terutama terhadap seni rupa dalam segala bentuknya. (Hitti, 2001:153). Mereka berargumen bahwa seni rupa bertentangan dengan Al-Qur'an, sebagaimana larangan terhadap minum-minuman keras, semacam anggur, yang saat itu telah menjadi tradisi masyarakat kelas atas. Namun demikian, penentangan para ulama terhadap seni rupa ini, pada kenyataannya tidak dapat membendung laju perkembangannya, terutama dalam bentuknya yang khas Islam (Hitti, 2001:153).

Dalam membangun kota Sammara, Khalifah Al-Mu'tashim, menghiasi dinding-dinding istananya di dalam dan di luarnya dengan pelbagai fresco, semacam lukisan-lukisan yang disimpan di atas kapur dinding yang masih basah (Hitti, 2001:153). Bahkan beberapa lukisan itu menunjukkan bentuk wanita yang telanjang. Pada masa Al-Mutawakkil, didatangkan pelukis-pelukis Bizantium untuk membuat hiasan-hiasan dinding istananya, dan di antara hiasan-hiasan-hiasan-hiasan dinding itu terdapat sebuah lukisan dari suatu gereja dengan rahib-rahibnya.

Pertemuan-pertemuan sosial diselenggarakan di rumah para bangsawan dan para tokoh, yang dalam hal ini, orang yang mempunyai keterampilan dan keahlian yang berbeda-beda biasa menghadiri diskusi kesusastraan. Tujuan perkumpulan seperti itu adalah untuk mencari kebenaran bagi rakyat banyak. Kelompok ini menyusun beberapa buku tentang sejarah, kesusastraan, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Para pedagang buku menduduki tempat penting dalam masyarakat waktu itu. Toko mereka merupakan pusat perhatian para sarjana dan para murid.

(8)

kekerasan, atau yang tertawan pada masa perang, atau diburu pada masa damai. Sebagian adalah orang Negro, yang lainnya orang Turki, dan sebagiannya lagi orang kulit putih. Para budak kulit putih terutama adalah orang Yunani dan orang Slavia, orang Armenia, dan orang Barbar. Terdapat banyak sida di antara para budak yang dipekerjakan di dalam harem. Para gadis di antara para budak itu digunakan sebagai penyanyi, penari, gundik, dan sebagian dari mereka berpengaruh cukup besar terhadap para Khalifah yang menjadi tuan mereka.

Pakaian golongan ningrat dirancang menurut pakaian para penguasa. Tutup kepala yang umum berupa topi tinggi berwarna hitam, yang disebut yang disebut

qalansuwah, terbuat dari laken atau wool (Ali, 1995:321). Tutup kepala itu diperkenalkan oleh Al-Manshur. Celana asli Persia yang longgar, kemeja, rompi dan jaket dengan mantel luar melengkapi lemari pakaian seorang bangsawan. Para ahli agama mengenakan serban dan mantel hitam. Pakaian para wanita bermacam ragam sesuai pangkat dan kedudukan mereka. Tutup kepala yang biasa dari para wanita golongan tinggi yang diperkenalkan oleh Ulayyah, saudara tiri Harun Ar-Rasyid, adalah peci berbentuk kubah yang di sekeliling bawahnya terdapat kalung yang dihiasi dengan batu permata. Perhiasan wanita yang lain adalah gelang kaki dan gelang tangan. Wanita golongan menengah, umumnya menutupi kepalanya dengan perhiasan emas berbentuk gepeng, sejenis pita; sering dihiasi dengan mutiara dan zamrud.

b. Perkembangan Ekonomi

Pada masa ini, sekalipun kota Baghdad masih berusia muda, tetapi pada masa inilah Baghdad tumbuh menjadi pusat dunia yang makmur dan memiliki lambang internasional. Kegemilangan kota itu berjalan paralel dengan kemajuan kekhalifahan. Istana khalifah dengan segala gedung sayap untuk harem-harem, orang kasim, dan pegawai-pegawai istimewa merupakan sepertiga bagian dari kota bundar ini (Hitti, 2001:111).

(9)

ekonomi modern. Periode Abbasiyah menyaksikan kemajuan dalam bidang perdagangan dan perniagaan. Baghdad, Basrah, dan Alexandria pada waktu itu menjadi pusat bisnis, dan melalui mereka dunia Muslim diperkenalkan kepada negara beradab lainnya. Mereka berusaha ke dunia luar dan membawa hasil perolehan mereka yang banyak ke ibukota.

Industri sangat berkembang di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Kerajinan tangan tumbuh dengan subur di berbagai tempat di kerajaan itu. Di Asia Barat, terdapat pabrik permadani, hiasan dinding, sutra, katun, wool, saten, brokat, kain sofa, bantal, dan juga berbagai perabot rumah tangga lainnya, serta perkakas dapur. Perkakas tenun Persia dan Irak yang banyak itu menghasilkan karpet dan tekstil. Pertanian mendapat sokongan penuh di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini. Para khalifah tertarik, terutama, pada urusan pertanian, karena mereka menyadari bahwa tanah pertanian merupakan sumber utama pendapatan negara. Mereka meningkatkan kesuburan tanah dengan irigasi yang tepat dan memperbaiki status para penduduk asli yang menangani penggarapan tanah tersebut.

c. Perkembangan Pendidikan

(10)

pada tahun 1065-1067 oleh Nizamul-Muluk, Wazir Sultan Saljuk, Malik Syah, merupakan lembaga teologi paling besar di bawah pemerintahan Abbasiyah.

Pada dinasti ini, banyak berkembang halaqah atau lingkaran studi, yang biasanya murid dimbimbing oleh seorang guru. Materi yang diperbincangkan pada

halaqah-halaqah ini tidak hanya terbatas pada pengkajian agama, tetapi mengkaji juga disiplin ilmu-ilmu pengetahuan umum. Selain terjadi pengembangan materi, terdapat pula perkembangan di bidang sarana dan prasarana pendidikan, yakni adanya upaya untuk membuat tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan untuk melakukan kajian-kajian tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal sebagai maktab. Maktab inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi pendidikan Islam pada masa dinasti ini (Ali, 1995:132).

Al-Ma'mun sendiri mendirikan Baitul-Hikmah di Baghdad pada tahun 815 Masehi, sebuah institusi yang cukup layak disebut sebagai institusi pendidikan (Hassan, 1989). Pada Baitul-Hikmah ini terdapat ruang-ruang kajian, perpustakaan, dan observatorium (laboratorium). Meskipun demikian, Baitul-Hikmah belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi pendidikan yang 'cukup sempurna', karena sistem pendidikan masih sekedarnya dalam majelis-majelis kajian dan belum memiliki 'kurikulum pendidikan' yang diberlakukan di dalamnya.

Institusi pendidikan Islam ideal dari masa kejayaan dinasti ini adalah Perguruan (Madrasah) Nizamiyah. Perguruan ini diprakarsai dan didirikan oleh Nizamul-Mulk. Madrasah Nizamiyah sebenarnya didirikan sebagai upaya membendung arus propaganda Syi'ah. Madrasah Nizamiyah pun telah memiliki spesifikasi khusus sebagai sebuah institusi pendidikan, yaitu teologi dan hukum Islam. Karena spesifikasi ini pulalah Madrasah Nizamiyah sering disebut sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam.

(11)

untuk yang berprestasi. Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran, dan lailnnya). Pada masa itu pula, kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.

Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa dinasti ini, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum. Akan tetapi setelah kejatuhan Baghdad pada tahun 1258 Masehi, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.

Dalam perkembangannya, pendidikan Arab mengalami dua tahap yang nyata. Tahap pertama, pertumbuhannya bersifat alami, spontan, dan progresif sejak perempat pertama abad ke-7 Masehi hingga abad ke-9 dan ke-10. Tahap kedua dimulai pada abad ke-11 ketika sekolah menjadi lembaga negara dan pendidikan menjadi fungsi pemerintahan. Yang pertama bisa disebut benar-benar berciri Arab, sedangkan yang kedua muncul dengan pengaruh yang tumbuh dari unsur Muslim yang bukan Arab.

(12)

d. Aktivitas Keilmuan dan Sastra

Dengan munculnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah, kerajaan Islam membuka era baru dalam bidang ilmu dan kesusastraan. Pada permulaan zaman Abbasiyah, pengaruh budaya sampingan yang banyak itu menghasilkan fase pertama zaman kemajuan ilmu yang nyata dari kebudayaan Islam. Al-Mamun membuka sebuah departemen penerjemahan bagi pelestarian ilmu pengetahuan dan kebudayaan asing. Harun Ar-Rasyid menyempurnakan pekerjaan pendahulunya. Dia mengangkat para penerjemah yang pandai dari segala bangsa dan kepercayaan—bangsa Hindu, Parsi, Kristen, Yahudi, dan Islam. Semua buku dan bahan yang masih ada dikumpulkan oleh Al-Mamun dari semua negara. Dia telah meminta kepada Kaisar Bizantium untuk mengirim sarjana Leo ke Baghdad dengan imbalan lima ton emas.

Dalam bidang kedokteran, filsafat, astronomi, matematik, kimia, geografi, hukum, teologi, dan filologi, sumbangan orang Islam begitu besar dan mengesankan. Orang Eropa sangat berutang budi kepada mereka dalam ilmu kimia, kedokteran, dan matematika. Mereka melakukan pemikiran dan penelitian yang orisinal di semua cabang ilmu ini. Mereka menerjemahkan banyak karya asing ke dalam bahasa Arab dan banyak terjemahan mereka dikirim, bersama sumbangan lainnya, ke Eropa melalui Syria, Spanyol, dan Sicilia. Karya terjemahan ini merupakan hal yang penting dalam sejarah kebudayaan. Penelitian Aristotle, Galen, dan Ptolemy mungkin telah hilang dari dunia seandainya orang Islam tidak melestarikannya dengan terjemahan.

(13)

penguasaan pengetahuan mereka bagi khazanah perpustakaan Baitul-Hikmah

(Shaliba, 1973: 98-102).

Di antara buku-buku filsafat terpenting yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh tim yang terdiri atas Hunain, Hubaisy sepupu Hunain dan Isa Ibn Yahya, murid Hunain, adalah Analytica Posteriora karya Aristoteles, Synopsis of the Ethics

karya Galen serta ringkasan karya-karya Plato seperti Sophist, Permenides, Politicus,

Republic dan Laws. Sementara karya-karya Aristoteles seperti Categories,

Hermeneutica, Generation and Corruption, Nichomachean Ethics diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq Ibn Hunain dari bahasa Suryani (Fachry, 2002:9). Selain proses penerjemahan, masih cukup banyak juga buku Yunani dan Suryani yang ditafsirkan atau diringkas oleh para penerjemah yang kebetulan menguasai pengetahuan tentang isi buku tersebut (Shaliba, 1973:102-103).

Namun demikian, proses penerjemahan yang terjadi secara besar-besaran ini tidak semuanya berhasil dengan sukses sebagai sebuah terjemahan yang layak. Ada beberapa buku terjemahan yang bahkan menyulitkan pembaca untuk memahami isi buku. Di antara orang yang menderita akibat buruknya mutu sebuah terjemahan adalah Ibnu Sina. Menurut Jamil Shaliba, Ibnu Sina pernah membaca buku terjemahan Metafisika Aristoteles sebanyak empat puluh kali, tetapi ia sama sekali tidak dapat mengerti maksud tulisan tersebut. Hal ini setidaknya dikarenakan dua hal, pertama karena memang sulit dan begitu dalamnya tulisan Aristoteles tentang metafisika, dan kedua, karena kesulitan proses penerjemahannnya ke dalam bahasa Arab. Buruknya beberapa mutu terjemahan juga dikarenakan metode terjemahan yang terlalu harfiah dari bahasa non-Arab ke dalam bahasa Arab. Ibnu Abi Usbu’aih pernah mengkategorikan tingkat mutu terjemahan ketika itu, yakni kategori baik

dapat dilihat pada terjemahan Hunain Ibn Ishaq dan anaknya Ishaq Ibn Hunain,

kategori sedang dapat dilihat pada terjemahan Ibnu Na’imah dan Tsabit Ibn Qurrah, dan kategori buruk dapat dilihat pada terjemahan Ibn Al-Bitriq. (Shaliba, 1973:110).

(14)

tersebut secara praktis dapat membantu meringankan urusan-urusan yang berkenaan dengan hajat hidup umat Islam ketika itu. Yang dimaksud dengan pengetahuan-pengetahuan luar yang dibutuhkan oleh umat Islam saat itu adalah seperti ilmu-ilmu kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan falak (astronomi) (Shaliba, 1973:110). Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubungan dengan hajat hidup umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti penentuan waktu shalat, hukum

faraidh (pembagian harta waris), masalah kesehatan, dan lain sebagainya.

Motivasi yang kedua adalah motivasi kultural (ba’its tsaqafi). Ada kebutuhan pada masyarakat Islam untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan Persia dan Yunani untuk menguatkan sistem hukum Islam dan menangkal akidah yang datang dari luar Islam. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar melamda dunia Islam, yang meliputi akidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah mengangap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal akidah yang datang dari luar itu (Shaliba, 1973:107). Umat Islam dianjurkan untuk mempelajari logika Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari luar.

Selain itu, ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Ibn An-Nadim tentang motivasi penerjemahan buku-buku filsafat pada masa kekuasaan khalifah Al-Ma’mun. Ia menceritakan bahwa pada suatu malam, khalifah Al-Ma’mun bermimpi berjumpa dengan seorang laki-laki yang memakai pakaian putih, jidatnya botak, alisnya menyambung, dan mata agak kebiru-biruan. Laki-laki ini duduk di atas singgasana khalifah al-Ma’

(15)

Sepintas lalu mungkin kita akan menyimpulkan bahwa mimpi khalifah al-Ma’mun itu hanya sekedar bagian dari kembang tidur semata. Namun Ibn al-Nadim, dalam bukunya al-Fihrist, sangat meyakini bahwa mimpi itu menjadi motivator yang cukup kuat bagi al-Ma’mun untuk menggerakkan penerjemahan pada masa kekuasaannya. Sampai-sampai ia mengirim surat kepada raja Romawi untuk meminta izinnya agar buku-buku yang ada di kerajaan Romawi dapat diterjemahkan oleh para penerjemah yang ada di perpustakaan Bait al-Hikmah. Namun dalam catatan yang lain, gerakan penerjemahan itu buka semata-mata karena mimpi yang dialami oleh sang khalifah, melainkan lebih dikarenakan dari hasil renungan atas mimpi itu bahwa proses penerjemahan yang ia lakukan itu baik dari perspektif nalar maupun syariat. Selain itu mungkin saja terjadinya mimpi itu juga dikarenakan oleh kecenderungan sang khalifah pada mazhab Mu’tazilah.

Di balik gencarnya penerjemahan buku-buku Yunani yang dilakukan oleh umat Islam pada masa itu, ada sebuah bidang yang tidak terlalu diminati, yakni bidang sastra, seperti karya Homerus. Mengapa? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Di antaranya adalah karena adanya keyakinan dalam masyarakatArab bahwa sastraArab bersifat self sufficient, sehingga mereka tidak terlalu memperhatikan buku-buku sastra yang ada dalam bahasa Yunani. Selain itu sastra juga tidak memberikan pengaruh apa pun tehadap proses penguatan aqidah umat Islam. Namun argumentasi ini tidak terlalu kuat karena pada sisi yang lain umat Islam cukup gemar menerjemahkan buku-buku sastra yang berasal dari kebudayaan Persia dan India yang kebetulan beragama Majusi dan Dahriah. Sehingga muncul alasan yang lain bahwa tidak adanya minat umat Islam untuk menerjemahkan karya sastra Yunani lebih dikarenakan tidak cocoknya karya sastra Yunani bagi masyarakatArab bila dibandingkan dengan karya sastra dari Persia dan India. Sehingga dengan demikian, alasan tidak berkembangnya penerjemahan sastra Yunani tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja. (Shaliba, 1973:109).

(16)

kesepian di negerinya sendiri, di dunia Islam, karya-karya tersebut mendapatkan sambutan yang luar biasa. Sampai-sampai seorang khalifah mau membayar sebuah buku yang sudah diterjemahkan dengan nilai emas seberat buku tersebut. Selain itu, motivasi ini juga dilatarbelakangi oleh keyakinan umat Islam saat itu bahwa peradaban hanya dapat dibangun dengan ilmu pengetahuan yang kuat. Dalam melakukan proses itu, Islam yang baru saja berdiri tidak dapat melakukan tugas itu sendirian, melainkan harus dibantu dengan khazanah kebudayaan besar yang ada sebelumnya.

Pengaruh dari proses penerjemahan ini, dapat kita lihat pada perkembangan dunia kedokteran, astronomi, matematika, hukum (qiyas dalam ilmu fiqih), politik, dan filsafat. Di bidang kedokteran, kita mengenal Ibnu Sina, di bidang politik ada Al-Farabi, matematika ada Al-Biruni, astronomi ada Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi, sejarah peradaban ada Ibnu Khaldun, dan masih banyak lagi para sarjana muslim klasik yang telah menorehkan tinta emasnya bagi peradaban Islam karena bersentuhan dengan karya-karya kebudayaan pra-Islam yang sudah diterjemahkan. Dalam proses penerjemahan itu, juga terjadi penyerapan bahasa Yunani yang kemudian menjadi bahasa Arab. Seperti kata falsafah, musiqy, al-kimiya, al-jugrafiyah, dan lainnya (Shaliba, 1973:112).

Perpaduan antara semangat umat Islam dengan kebudayaan pra-Islam melahirkan sebuah sintesa yang tidak sederhana. Sintesa yang dihasilkan bukan hanya sekedar penjiplakan pengetahuan sebelumnya yang, kemudian, diberi label Islam karena telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Lebih dari itu, sintesa ini juga meliputi proses reproduksi yang giat dilakukan oleh para ilmuwan muslim. Karya-karya filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Yunani tidak berhenti hanya pada hasil terjemahan, tetapi telah merangsang para intelektual muslim untuk mengomentari atau sekedar memberikan sebuah penafsiran atas karya-karya filsuf Yunani itu.

(17)

matematika (Hodgson, 2002:235). Hukum qiyas atau analogi adalah salah satu pengaruh logika yang dapat kita lihat dalam wilayah fikih. Pengaruh-pengaruh ini menjadi inherent dalam kebudayaan Islam sehingga dalam proses sejarah yang panjang kadang kita sulit untuk membedakan mana yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut, jelas terlihat bahwa para Khalifah Abbasiyah adalah penyokong besar bagi perkembangan ilmu, mereka memelihara dan memperhatikan sekelompok sarjana yang cemerlang yang memberi banyak sumbangan yang paling berharga kepada kebudayaan dunia. Para pengarang medis yang paling cemerlang dari masa ini adalah Ali At-Thabari Ar-Razi, Ali Ibnul-Abbas, Al-Majusi, dan Ibnu Sina. Ali At-Thabari, yang tumbuh subur dalam pertengahan abad ke-9, adalah seorang dokter Khalifah Al-Mutawakkil. Ar-Razi dan Ibnu Sina merupakan dokter besar yang pernah dihasilkan dunia. Qanun karya Ibnu Sina, merupakan sebuah Bibel medis selama beberapa abad.

Orang Islam pada masa Abbasiyah mempelajari filsafat dengan semangat yang besar. Al-Ghazali, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina adalah filosof yang sangat termasyhur dalam Islam. Al-Kindi selain sebagai filosof juga seorang ahli astrologi, ahli kimia, ahli optik, dan ahli teori musik. Dia menulis lebih dari 200 buah karya tentang berbagai pokok bahasan. Al-Farabi disebut oleh orang Arab sebagai Aristoteles kedua. Dia menulis berbagai karya psikologi, politik, dan metafisika. Tulisannya yang lain membuat dia dikenal sebagai seorang dokter yang baik dan ahli matematik. Ibnu Sina adalah seorang filosof, dokter, ahli fisiologi, dan penyair. Dia menyederhanakan filsafat para pendahulunya, baik filosof Muslim maupun Yunani. Dia adalah pelopor penulis ikhtisar bagi seluruh dunia. Bersama dia berakhirlah zaman keagungan filsafat Arab.

Para khalifah Abbasiyah zaman permulaan mendirikan rumah sakit yang disebut Bimaristan. Rumah sakit pertama dibuka oleh Harun Ar-Rasyid di Baghdad. Seterusnya, 34 rumah sakit didirikan di berbagai tempat di dunia Muslim. Cabang kedokteran lainnya, seperti ilmu bedah, farmasi, ilmu kedokteran mata, dan sebagainya, sangat berkembang selama zaman Dinasti Abbasiyah.

(18)

Karya ini diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim Fazri atas perintah Al-Mamun. Selama pertengahan pertama abad ke-9, observasi regular pertama dilakukan di Jundi Syapur (S.W. Persia). Di Baghdad, Al-Mamun mendirikan sebuah peneropongan bintang di bawah arahan seorang muallaf asal Yahudi. Sind Ibnu Ali, Al-Abbas Fergani, tiga orang anak Musa Ibnu Syakir, Al-Battani, Abu Hasan, dan banyak ahli astronomi menonjol lainnya bermunculan selama masa ini. Anak Musa Ibnu Syakir melakukan studi khusus tentang perbintangan (astronomi). Mereka memastikan ukuran bumi, kemiringan ekliptik, variasi pada garis lintang bulan, presesi waktu siang dan malam, dan sebagainya. Di antara para ahli matematika – astronom yang termasyhur adalah Al-Kawarizmi yang Kitab Surat Al-Arad-nya ditulis untuk menjelaskan peta pada permulaan abad ke-9. Ibrahim Al-Fazari membangun sebuah astrolobe.

Orang Islam memberikan banyak sumbangan yang orisinal dalam matematika. Ilmu aljabar, penemuan bilangan desimal, penemuan kapal terbang, dan geometri sperikal, angka Arab, dan penggunaan lambang bilangan nol merupakan sebagian dari penemuan mereka. Tentang para ahli matematika, nama Al-Biruni dan Umar Khayyam adalah yang paling menonjol. Al-Biruni adalah seorang sarjana paling besar sepanjang masa. Dia tidak hanya seorang sarjana, tetapi juga seorang sejarawan besar. Kitab Al-Hindi-nya, yang secara populer dikenal sebagai Indianya Al-Biruni, merupakan sebuah buku termasyhur untuk studi tentang India. Umar Khayyam yang lebih dikenal sebagai seorang penyair, juga seorang ahli matematika dan astronomi terkemuka (Sou'yb, 1977:43).

Selain itu, orang Arab membuat andil ilmiah dalam ilmu kimia yang disebut al-kimia. Jabir bin Hayyan dari Kufah adalah bapak kimia modern. Dia mendirikan sebuah laboratorium di Kufah dan menemukan beberapa bahan kimia serta menulis sejumlah buku tentang kimia.

(19)

Al-Istakhri, Ibnu Haukal, Yakut, Al-Bakri, Al-Muqaddasi, dan Idrisi adalah para ahli geografi Arab yang paling masyhur.

Dalam bidang sejarah, orang Islam pun telah membuat kemajuan besar. Baladhuri, Hamadan, Mashudi, Thabari, dan Ibnu Al-Atsir adalah para sejarawan terkenal pada masa Abbasiyah. Kitab Baladhuri, yang bernama Futûhul-Buldân

ditulis dengan gaya yang mengagumkan dan menjadi tanda bagi kemajuan yang cemerlang akan semangat sejarah. Al-Mashudi termasyhur, baik sebagai seorang sejarawan maupun sebagai seorang ahli geografi, dan tentu saja merupakan salah seorang dari para penulis yang paling cakap dari abad ke-14. Dia berkelana ke seluruh negeri Muslim. Kitabnya, Mu'ujud-Dahab wa Madan al-Jawahir, adalah sebuah catatan tentang pengalaman pengembaraan dan pengamatannya (Ali, 1995:67).

Para sarjana yang menonjol yang memberi kemasyhuran kepada kesusastraan Arab dan Persia yaitu Isfahani, Ibnu Khallikan, Abu Nuwas, Buhtari, Al-Mutannabi, Ad-Dakiki, Firdausi, Unsuri, Jalaluddin, dan Abul Faraz Muhammad bin Ishak. Pada periode inilah umat Islam, setelah orang Romawi, menggali ilmu hukum dan menyusunnya dengan suatu sistem yang bebas. Sistem mereka, fiqih, didasarkan pertama kepada Al-Qur'an dan Hadis. Akan tetapi, bila tidak bisa menyelesaikan masalah yang rumit, maka penafsiran pribadi dianggap perlu. Izin penafsiran pribadi mencapai puncaknya dalam pendirian empat aliran ortodoks yang dipimpin oleh Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi'I, dan Ahmad bin Hanbali. Dengan demikian, sangat banyak sastrawan dan sarjana yang tumbuh subur selama periode itu; mereka mencurahkan pikiran mereka kepada setiap cabang studi manusia dan merevolusikan pemikiran, perasaan, dan perbuatan manusia dengan ketajaman pena mereka.

(20)

Abdul-Masih Ibn Na’imah Al-Himsi (wafat 220 H/ 835 M) yang menerjemahkan buku Sophistica karya Aristoteles. Yuhana Ibn Masawaih seorang dokter pandai dari Jundisapur (Wafat 242 H/ 857 M) yang kemudian diangkat oleh Khalifah Al-Ma’mun sebagai kepala perpustakaan Baitul-Hikmah, banyak menerjemahkan buku kedokteran klasik (Sou'yb, 1977:76).

e. Perkembangan Pemerintahan

Bentuk pemerintahan Abbasiyah ialah monarkhi absolut (raja berkuasa mutlak). Secara praktis tidak ada pengawasan terhadap kekuasaan khalifah. Dia adalah kepala negara sekaligus kepala agama. Dia adalah panglima perang dan pemberi gelar. Dia mempunyai kekuasaan untuk mencalonkan penggantinya bagi tahta mendatang dan, dalam melakukan hal ini, dia tidak mengikuti sistem penggantian (suksesi). Pada awal pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah bertujuan mengkonsolidasikan kerajaan dan untuk mencapai tujuan ini penaklukan ke wilayah asing ditinggalkan.

(21)

Pemerintahan khalifah disebut Ad-Dîwânul-Azîz atau Dewan Tertinggi, yang diketuai oleh wazir agung. Diwanul-Kharaj (Departemen Keuangan), Diwanud-Diya

(Jawatan yang mengurus kekayaan kerajaan), Diwanuz-Zuman (Kantor Pencatatan),

Diwanul-Jund (Jawatan Perang), Diwanul-Mawali-wal-Ghilman (Jawatan Perlindungan Klien dan Budak), Diwanuz-Zimanan-Nafakat (Kantor Anggaran Rumah Tangga), Diwanur-Rasail (Dewan Surat-menyurat atau Kantor Kearsipan),

Diwanun-Nazr fil Mazalim (Jawatan Pemeriksaan Keluhan), dan Diwanul-Ahdas-wasy-Syurtha (Jawatan Wamil dan Kepolisian), semua itu merupakan departemen utama negara. Di samping semua departemen ini, terdapat beberapa departemen kecil lainnya (Ali, 1995: 82).

Untuk memelihara keamanan dalam negeri, didirikanlah Departemen Kepolisian. Kepala departemen disebut Shahibusy-Syurtha. Di kemudian hari,

Shahibusy-Syurtha mengambil alih kedudukan wazir. Peradilan dikelola oleh para

qadhi, dan ketua qadhi yang disebut qadhil-qudhat adalah pejabat pengadilan tertinggi. Untuk membantu para qadhi dalam mengelola pengadilan, dibentuklah kelompok pejabat lainnya; mereka disebut Aadil. Dalam kasus hak sipil orang-orang bukan Islam, semua masalah diserahkan kepada kepala agama mereka masing-masing.

Untuk keperluan administratif, seluruh kerajaan dibagi dalam beberapa provinsi. Setiap provinsi dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut amir, yang diangkat oleh khalifah dan secara langsung bertanggungjawab kepada khalifah. Di provinsinya, kekuasaan tertinggi ada di tangannya selama dia menjalin hubungan baik dengan khalifah. Hubungan baik itu pun menentukan masa jabatannya. Akan tetapi, jabatannya tidak bisa turun-temurun; kapan saja, dia harus tunduk kepada penggantian atau pemecatan (Yatim, 1999:93). Shahibusy-Syurtha bertugas mengepalai polisi kota di setiap provinsi. Polisi kota praja berada di bawah pejabat khusus yang disebut muhtasib. Setiap kota besar mempunyai qadhi sendiri, dan di kota-kota kabupaten terdapat beberapa wakil qadhi. Pada permulaan masa pemerintahan Abbasiyah, qadhi provinsi diangkat oleh gubernur provinsi, tetapi kemudian diangkat oleh Kepala Qadhi Baghdad.

(22)

Shahibul-Barid, bertugas mengawasi pelaksanaan jawatan pos. Dia tidak hanya mengawasi pekerjaan jawatan pos, tetapi juga memberi informasi kepada khalifah tentang segala masalah penting yang terjadi di provinsi. Sebenarnya, dia adalah seorang agen rahasia yang bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat dan secara berkala menyampaikan laporan yang meyakinkan tentang keadaan provinsi itu.

f. Kekayaan Negara dan Kekuatan Militer

Pendapatam Dinasti Abbasiyah diperoleh dari pajak tanah, yaitu sumber pendapatan utama yang berasal dari orang bukan Islam, zakat atau pajak pendapatan, seperlima bagian hasil barang tambang, pajak atas orang bukan Islam (sebagai pengganti wajib militer), bea cukai, pajak garam dan ikan, pajak yang dibayar oleh para pedagang yang menggunakan tempat-tempat umum, pajak pabrik, pajak barang mewah, dan pajak barang impor. Pajak yang terakhir itu dihapus oleh Khalifah Al-Watsiq (Osman, 1976:87).

Selama masa pemerintahan beberapa khalifah pertama, organisasi militer mereka sangat mengagumkan dan menakjubkan, meskipun Dinasti Abbasiyah terakhir kehilangan keunggulan militer mereka. Telah ditunjukkan bahwa di bawah pemerintahan Marwan II pasukan Umayyah telah beranggota 120.000 tentara. Di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah zaman permulaan, jumlah anggota pasukan yang lebih besar masih tersedia untuk pekerjaan di medan perang. Khalifah Harun Ar-Rasyid mempunyai 135.000 tentara yang digaji dan mempunyai sejumlah sukarelawan ketika dia menyerbu Raja Nicephorus. Pada perang saudara antara Al-Amin dengan Al-Mamun, pasukan Al-Mamun yang menduduki Irak, diperkiran berjumlah 125.000 tentara, dan di pihak Al-Amin, khalifah yang sedang berkuasa itu, pasti berjumlah lebih besar lagi. Di samping itu, baik Al-Ma`mun maupun Al-Amin pasti telah menempatkan beberapa pasukan tambahan di wilayah timur dan di kota perbatasan. Dalam suatu parade di kota Baghdad, yang dipimpin oleh Al-Muktadir (917 M) dan disaksikan oleh para utusan Bizantium 160.000 anggota kavaleri dan infantri dilaporkan telah mengambil bagian dalam parade itu (Osman, 1976:90).

(23)

segala jenis bangsa. Pelayanan terhadap para serdadu ini menarik minat banyak orang untuk masuk Islam dan memasuki tentara khalifah. Banyak muallaf di Siria, Mesir, Afrika, Irak, Persia, dan Transoxiana memasuki militer di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Al-Manshur membentuk tiga divisi ketentaraan nasional yaitu, Divisi Arab Utara (Mudariyah), Divisi Arab Selatan (Yamaniyah), dan Divisi Kurasan. Al-Mu’tashim menambahkan dua divisi lagi: satu divisi yang terdiri atas orang Turki dan lainnya terdiri atas orang Afrika. Divisi ketentaraan yang diubah ke dalam korps nasional ini menghancurkan semangat korps pasukan Islam, dan sebagai gantinya muncul semangat pertentangan, kecemburuan, dan semangat persaingan untuk mencapai kekuasaan yang akhirnya ternyata membawa bencana bagi kerajaan.

Gaji para tentara jauh di bawah gaji tentara semasa Dinasti Umayyah. Di bawah pemerintahan Dinasti Umayah, gaji tentara rata-rata sekitar 600 dirham per tahun. Gaji tersebut meningkat di bawah pemerintahan Mu’awiyah hingga 1000 dirham per orang per tahun. Dalam pemerintahan As-Saffah, Khalifah Abbasiyah yang pertama, gaji rata-rata untuk seorang tentara infantri adalah 960 dirham per tahun ditambah tunjangan makan, pakaian, dan bagian hasil rampasan perang. Seorang anggota pasukan kaveleri menerima gaji dua kali lipat. Menjelang akhir masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, gaji pasukan infantri turun menjadi 60 dirham sebulan dan di bawah pemerintahan Al-Ma`mun gaji itu dikurangi lagi menjadi 20 dirham sebulan. Anggota pasukan kaveleri hanya menerima 40 dirham. Selama perang saudara antara Al-Amin dan Al-Ma`mun, kedua belah pihak menggaji tentara mereka 960 dirham per tahun (Ali, 1995:231).

Di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Baghdad menjadi kota yang paling makmur. Baghdad tidak hanya merupakan ibu kota Dinasti Abbasiyah, tetapi juga digunakan untuk tujuan militer. Selain membentengi kota Baghdad, Al-Manshur juga juga mendirikan benteng yang kuat dekat Ar-Raqqah, di daerah utara Sungai Eufrat, dan mensuplainya dengan tentara Khurasan. Dia menamai benteng itu Ar-Rafiqah.

(24)

beberapa kota perbatasan lainnya. Dia menempatkan pasukan yang terdiri atas 4000 tentara di Malatiah, memberi mereka upah dan berbagai fasilitas khusus. Harun Ar-Rasyid melindungi kota Massiah dengan benteng. Dia mensuplai Taurus dengan satu pasukan dan membuatnya menjadi sebuah markas besar. Dia membentengi Adana dan menempatkan satu pasukan di sana. Di Anazarbah (11 mil timur laut Massiah) dia mendirikan perkampungan militer lainnya. Dia mendirikan sebuah benteng di Mar’asy dan menamainya Al-Haruniah, sedangkan Ratu Jubaedah membangun kembali Iskandarun (Alexandretta) dengan biaya sendiri. Al-Mu’tashim menyempurnakan benteng Massiah dan menempatkan anggota militer di kota tua Tyana. Sistem pertahanan perbatasan itu juga digunakan di beberapa provinsi lainnya. Gaji yang tinggi diberikan kepada para anggota pasukan pos terdepan.

Pasukan terdiri atas infantri, kavaleri, pemanah, penembak nafta (annaffatun), para penggali lubang, dan korps pekerja kasar. Pada satuan tugas aktif terdapat dua kelompok tentara –pasukan reguler dan pasukan sukarelawan. Para tentara reguler yang tetap aktif dalam tugas ketentaraan disebut murtaziqah (tentara yang dibayar secara reguler) dan tentara sukarelawan disebut mutatawwiah. Tentara sukarelawan menerima ransum hanya selama bertugas. Para wanita dan anak-anak mereka menerima hadiah, baik berupa barang maupun uang selama mereka berada di medan perang (Ali, 1995:338).

Pasukan infantri menggunakan tombak, busur dan anak panah, lembing, pedang, dan kapak perang; pasukan kavaleri menggunakan tombak, busur-anak panah, pedang yang panjang dan besar. Pasukan pemanah mengalami banyak perbaikan di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pasukan naffatun

mempersiapkan dan menggunakan nafta (api berwarna hijau). Dalam model Romawi – Bizantium setiap 10 orang tentara dipimpin oleh seorang naqib, dan setiap 1000 orang tentara dipimpin oleh seorang quaid. Satu korps umumnya terdiri atas 1000 tentara dan dipimpin oleh seorang amir.

(25)

Abbasiyah, bangsa Arab mempunyai suatu sistem intelijen yang sangat efisien. Akan tetapi, moral serdadu itu jauh lebih rendah daripada moral para pejuang zaman permulaan.

Di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah, para pedagang Arab melintasi India dan Lautan Pasifik. Bangsa Arab memperoleh kekuasaan di Laut Tengah. Mulai dari Antiocia sampai ke Atlantik, mereka menempuh perjalanan selama 36 hari. Sungai Tigris, Eufrat, dan Teluk Persia yang berdekatan dengan ibukota, memudahkan perdagangan dan komunikasi melalui laut di Timur. Ketika Al-Manshur mendirikan Baghdad di tepi Sungai Tigris, setiap tempat dari kota itu diubah menjadi terusan. Tempat ibukota dipilih, terutama, untuk komunikasi perdagangan dengan bagian-bagian lain di dunia melalui Sungai Tigris dan Eufrat (Ali, 1995:235).

Di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah, perdagangan maritim dihidupkan dan disokong. Adan merupakan pusat perdagangan yang besar antara Afrika dan Arabia, kota itu merupakan tempat pertemuan dagang antara India dan Cina di satu pihak dengan Mesir di pihak lain. Siraf adalah pelabuhan dunia di Teluk Persia, yang dilewati barang-barang ekspor dan impor dari seluruh Persia. Basrah, Hurmuz, dan Daibul merupakan pelabuhan penting lainnya dari bangsa Arab. Orang Islam mempunyai pusat perdagangan di semua kota penting dari Timur Jauh.

Dinasti Abbasiyah menduduki Sind menggantikan Bani Umayah. Pada tahun 159 H/775 M dalam pemerintahan Khalifah Al-Mahdi, bangsa Arab menyerbu Gujarat melalui laut. Meskipun Ifriqiah menjadi merdeka di bawah pemerintahan Harun Ar-Rasyid, Al-Mahdi mampu merebut Rodesia untuk kedua kalinya. Crete dan Cyprus juga diserang olehnya pada tahun 175 H/791 M dan Laksamana Yunani ditawan. Dalam pemerintahan Al-Ma`mun, Armada Aglabiah merebut Sicily dan memporakporandakan Italia. Armada ini merupakan armada paling kuat di Laut Tengah. Selama masa pemerintahan Al-Watsiq, pasukan Aglabiah muncul di depan benteng Romawi. Angkatan laut umat Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

3. Catatan Akhir Tulisan

(26)

kebudayaan Eropa, khususnya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi unsur yang paling dominan mempengaruhi kebudayaan Arab pada masa ini, adalah kebudayaan Persia dan Turki.

Fakta mencatat bahwa beberapa jabatan penting di pemerintahan dipegang oleh orang-orang Persia dan Turki, serta pengaruh kedua bangsa ini dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi bukti adanya pengaruh kuat kebudayaan kedua bangsa tersebut terhadap perkembangan kebudayaan Arab era Abbasiyah.

Pengaruh filsafat Yunani juga tampak begitu kuat, baik terhadap pola perkembangan teologi Islam, tasawuf, dan filsafat Islam itu sendiri. Kuatnya pemikiran kaum Mu'tazilah, yang pada masa Al-Ma'mun bahkan dijadikan mazhab negara, menjadi bukti lain kuatnya pengaruh Yunani dalam bidang teologi Islam atau Ilmu Kalam.

Referensi

Dokumen terkait

pada Kinerja karyawan , dengan asumsi variabel bebas yang dianggap konstan. β2 = 0,223; berarti apabila variabel Seleksi meningkat, maka akan mengakibatkan peningkatan

Pustakawan harus mampu memberikan informasi kepada Pemustaka, juga bagaimana cara menarik pemustaka untuk selalu ingin datang ke Perpustakaan dalam rangka mencari sumber

Sebab, meskipun sastra erat kaitannya dengan bahasa, tapi proses penyajiannya perlu kreativitas dan model penyajian tersendiri (Baksin, 2008, hlm.. Namun angan-angan di

Untuk itu dengan permasalahan yang melatarbelakangi tersebut, penulis akan merancang sebuah sistem pakar yang akan mengadopsi pengetahuan seorang pakar/ahli, dalam

mengalami suatu permainan harga atau tidak, kemudian jaminan bahwa kata–kata yang tercantum dalam label kemasan sesuai dengan senyatanya serta jamianan terhadap keselamatan dan

A financial audit involves an examination of financial planning and reporting process, the conduct of financial operations, the reliability and integrity of financial records, and

Kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi dunia baru ini disebabkan beberapa hal seperti penguasaan negara dalam perusahaan-perusahaan di sektor strategis, kebijakan

Hal ini dipertegas dengan wawancara peniliti dengan kelima subjek penelitian yang bersama mengatakan bahwa dahulu subjek merasa peduli dengan keadaan dirinya, namun keadaan