71
ANALISIS GENDER DAN UMUR PADA ANAK SEKOLAH
DASAR NEGERI KAMPUNG BARU, KEC. KUSAN HILIR, KAB.
TANAH BUMBU TERHADAP INFEKSI CACING DAN ATOPI
GENDER AND AGE ANALYSIS OF CHILDREN OF SDN
KAMPUNG BARU, KUSAN HILIR SUB DISTRICT, TANAH
BUMBU DISTRICT TO HELMINTH INFECTION AND ATOPY
Dicky Andiarsa
Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu
Jl. Lokalitbang Ds. Gunung Tinggi, Kec. Batulicin, Kab. Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan
andiarsa@gmail.com
ABSTRAK
Penyakit infeksi cacing merupakan penyakit terabaikan yang masih tinggi di Indonesia.Sanitasi dan kurangnya perilaku sehat menjadi penentu utama penyakit ini.Atopi yang dinyatakan berkaitan dengan infeksi cacing ini juga cukup tinggi di Indonesia.Atopi atau alergi dikaitan dengan kejadian akut dan kronis infeksi cacing.Gender dan umur diduga berkaitan pula dengan hubungan infeksi cacing dan atopi. Penelitian ini ingin mengetahui keterkaitan gender dan kelompok umur anak sekolah terhadap infeksi cacing dan atopi sebagai bahan pertimbangan kebijakan program pengendalian infeksi cacing pada anak usia sekolah dan mengetahui efek infeksi cacing itu sendiri terhadap timbulnya suatu atopi. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2011 dengan desain penelitian potong lintang.Sampel pada penelitian ini adalah murid kelas 3-5 Sekolah Dasar Negeri Kampung Baru, Kec. Kusan Hilir, Kab. Tanah Bumbu. Setiap anak dibagikan pot tinja untuk mendapatkan tinjanya dan diambil darahnya.Tinja diperiksa keberadaan telur cacing dan darah diambil serumnya untuk diperiksa dengan prosedur ELISA untuk menentukan status atopi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih rentan terhadap infeksi cacing dan atopi, demikian pula anak dengan umur lebih muda, lebih rentan terinfeksi cacing dan menderita atopi dibandingkan dengan anak yang berusia lebih tua.Kedua penyakit berkaitan dengan faktor sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat.Direkomendasikan untuk meningkatkan program pengobatan infeksi cacing secara menyeluruh setiap enam bulan, meningkatkan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat, memperbanyak fasilitas cucitangan ditempat-tempat umum, memperbaiki sanitasi lingkungan agar lebih sehat, dan lebih sering melakukan surveilans infeksi cacing pada anak sekolah.
Kata kunci: Infeksi cacing, atopi, gender, usia.
ABSTRACT
72
Gender and age suggested relating with correlation between helminth infection and atopy.The aim of the study is determined correlation gender and age factor toward helminth infection and atopy as the consideration policy to control this diseases and study the effect of helminth infection to atopy. The cross sectional study held on March-April 2011. Sample wasstudent grade 3-5 at Sekolah Dasar Negeri Kampung Baru, Kec. Kusan Hilir, Kab. Tanah Bumbu. Each child given feces container and their blood drawn up to revealed serum. Feces examined to found worm eggs and serum examined by ELISA to determine the atopic status.The result showed that boys more prone to both helminth infection and atopy than the girls, also the younger children more susceptible to helminth infection and atopi than the older ones. Both diseases related to sanitation and health behavior. Enhanced entire helminth infection cure is advice each six month gradually,increase health behavior education, upgrade the public sanitation in order to give more cleanly and healthy public area, and more often carry out the surveillances program.
Kata kunci: Helminth infection, atopy, gender, age.
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi cacing adalah penyakit terabaikan yang seringkali menyerang anak usia sekolah. Beberapa penelitian survei menyatakan prevalensi infeksi cacing masih tinggi di Indonesia,
1-5kebanyakan kasus berisiko pada anak
dengan kondisi sanitasi dan perilaku yang kurang bersih.
Anak-anak juga seringkali menjadi subyek yang menderita atopi atau alergi. Prevalensi asma di Indonesia mencapai 4% dengan kabupaten tertinggi adalah Aceh Barat sebesar 13,6%, persentase nasional dermatitis adalah 6,8% (berdasarkan keluhan responden), serta persentase nasional rhinitis adalah 2,4% (berdasarkan keluhan responden).6 Di Kalimantan, prevalensi asma sebesar 5,4% (1,8%-9,2%).6 Dermatitis di Provinsi Kalimantan Selatan paling tinggi (113,0 per seribu penduduk), diikuti rhinitis (27,7 per seribu penduduk).6
Atopi dinyatakan berkaitan dengan infeksi cacing pada beberapa penelitian,7,8 bahkan beberapa infeksi
cacing dapat memicu timbulnya atopi.7Atopi dan infeksi cacing ini berkaitan dengan peningkatan respon
Immuno globulin E (IgE) sebagai awal mula munculnya hipersensitif tipe 19-11 yang merupakan manifestasi klinis atopi yang biasa disebut dengan alergi. Beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan yang tidak konsisten antara infeksi cacing dan atopi atau alergi, hubungan bisa positif, negatif, atau bahkan tidak berhubungan sama sekali.7 Hal ini terkait dengan variasi endemisitas dan derajat kronis suatu infeksi cacing pada suatu daerah,12jika suatu komunitas dengan prevalensi infeksi cacing rendah karena kasus sporadik atau musiman,efek alergi akut akan dapat terlihat,13 namun jika komunitas dengan kasus infeksi cacing yang tinggi dan kronis maka hubungan infeksi cacing menjadi negatif.12
73 paparan terhadap infeksi cacing.
Penelitian ini ingin mengetahui keterkaitan gender dan kelompok umur anak sekolah terhadap infeksi cacing dan atopi sebagai bahan pertimbangan kebijakan program pengendalian infeksi cacing pada anak usia sekolah dan mengetahui efek infeksi cacing itu sendiri terhadap timbulnya suatu atopi.
BAHAN DAN METODA
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2011 dengan desain penelitian potong lintang.Sampel pada penelitian ini adalah murid kelas 3-5 Sekolah Dasar Negeri Kampung Baru, Kec. Kusan Hilir, Kab. Tanah Bumbu. Setiap anak dibagikan pot tinja untuk mendapatkan tinjanya dan diambil darahnya. Sampel yang akan dianalisis adalah responden yang memiliki data lengkap yaitu anak yang mengembalikan pot berisi tinja dan bersedia diambil darahnya serta mendapatkan persetujuan dari orang tuanya untuk berpartisipasi pada penelitian ini dengan menandatangi
informed consent.
Spesimen tinja dikumpulkan dari anak yang mengikuti penelitian dengan menggunakan pot ukuran 5x5x5cm.Anak diminta mengambil sebagian tinja (sekitar 5-10 gram) mereka dengan menggunakan tongkat kayu kecil dan diusahakan tidak mengandung kontaminasi air atau urin. Waktu pengambilan tinja dicatat dan tinja disimpan dalam ruangan yang sejuk jika tidak segera diserahkan kepada tim peneliti. Tinja yang diterima harus segera diperiksa tidak kurang dari 12 jam untuk menghindari adanya kontaminasi bakteri dan jamur. Tinja diperiksa dengan metode teknik Kato15 untuk menemukan telur cacing
seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan hookworm diperiksa secara kualitatif melalui mikroskop.
Hasil pemeriksaan positif jika tinja mengandung satu atau lebih telur cacing dari masing-masing spesies atau campuran ketiganya.
Spesimen serum hanya diambil dari darah anak yang telah mengumpulkan kembali pot yang berisi tinja serta orang tuanya setuju anaknya diambil darah secara verbal yang dibuktikan dengan tanda tangan dari orang tua atau wali murid. Pemeriksaan IgE total dilakukan dengan menggunakan metode Elisa (menggunakan kit ELISA untuk
Human IgE total: Diagnostic
Automation, Inc., No. Katalog: 1801Z) untuk melihat konsentrasi IgE total dari sampel serum yang diperiksa.
Konsentrasi titer serum yang telah diketahui kemudian ditentukan dalam kategori atopi atau tidak. Sampel dikategorikan atopi apabila konsentrasi IgE total melebihi nilai cut off untuk anak usia 6-15 tahun yaitu 115 IU/ml,16-18dan dikategorikan tidak
atopi jika konsentrasi IgE totalnya kurang dari nilai normal.
Gender dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin anak.Kelompok umur anak
dikategorikan dengan ‘younger’ jika
anak berumur 8-11 Tahun dan
dikategorikan ‘older’ jika anak
berumur 12-14 Tahun.
74
dari 32 anak laki-laki dan 44 anak perempuan. Pada tabel 1 menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih berisiko terinfeksi cacing 2,7 kali dibandingkan anak perempuan dengan nilai P yang hampir signifikan
(p=0,059). Pada atopi proporsi anak laki-laki yang menderita atopi sedikit lebih tinggi dibandingkan anak perempuan (1,6 kali), walaupun hasil tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
Tabel 1. Gambaran infeksi cacing dan atopi berdasarkan gender
Gender
Laki-laki Perempuan RR (95% CI) p
Infeksi Cacing
Ya 12/32 8/44 2,7(0,946-7,703) 0,059
Tidak 20/32 36/44
Atopi
Ya 16/32 17/44 1,588(0,632-3,990) 0,324
Tidak 16/32 27/44
Tabel 2 Menunjukkan bahwa anak yang lebih muda lebih mudah 2,3 kali menderita infeksi cacing daripada anak yang lebih tua, begitu pula atopi bahwa anak yang lebih muda lebih
rentan 2,3 kali menderita atopi dibandingkan anak yang lebih tua walupun kedua data tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
Tabel 2. Gambaran infeksi cacing dan atopi berdasarkan kelompok umur
Kelompok Umur
Younger Older RR (95% CI) p
Infeksi Cacing
Ya 14/42 6/34 2,3(0,784-6,946) 0,123
Tidak 28/42 28/34
Atopi
Ya 22/42 11/34 2,3(0,899-5,886) 0,08
Tidak 20/42 23/34
PEMBAHASAN
Gender telah lama menjadi isu penting dalam penularan infeksi cacing, namun hasil beberapa penelitian tidak konsisten.12Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih mudah tertular infeksi cacing dibandingkan perempuan.Pada beberapa penelitian melaporkan infeksi Ascaris lebih banyak diderita perempuan, sedangkan Hookworm lebih prevalen pada laki-laki.12, 19-21
Hal ini berkaitan dengan aktifitas anak laki-laki yang lebih sering bermain di
atas tanah tanpa mengenakan alas kaki, sedangkan anak perempuan yang lebih sering bermain di dalam rumah. Walaupun demikian keduanya berisiko terinfeksi soil-transmitted helminth (STH) karena faktor PHBS dan cuci tangan dengan menggunakan sabun sebelum makan.22
75 perempuan.Studi yang dilakukan
Prayudi Santoso menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pada jenis kelamin.23Hasil penelitian ini meskipun tidak signifikan menunjukkan bahwa seiring dengan infeksi cacing, anak laki-laki lebih banyak mengalami atopi, hal ini dimungkinkan bahwa anak laki-laki lebih berisiko menderita atopi sebagai respon dari infeksi cacing.Namun demikian, penelitian Arshad dkk, menyatakan adanya interaksi reaksi sensitisasi pada anak perempuan yang lebih kuat secara statistik.24
Pada kelompok umur
menunjukkan bahwa anak dengan usia lebih muda sedikit lebih rentan terhadap infeksi cacing dan atopi meskipun data menunjukkan nilai p
yang tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di Nigeria yang melaporkan anak usia 6-10 tahun memiliki prevalensi tertinggi dari kelompok umur yang lebih tua.22, 25, 26 Hal ini berkaitan dengan
perhatian terhadap kebersihan diri sendiri 22 di mana anak dengan usia lebih muda kurang memperhatikan tingkat kebersihan dirinya. Hal tersebut semakin dipengaruhi pula dengan kondisi lingkungan yang kumuh, kurangnya pengetahuan tentang PHBS, kurangnya jamban sehat, serta kurangnya tempat cuci tangan umum terutama di daerah sekitar sekolah. Anak dengan usia yang lebih muda lebih beresiko 2,3 kali terinfeksi cacing dibandingkan anak dengan usia yang lebih tua.
Hasil serupa dengan infeksi cacing, anak dengan usia lebih muda 2,3 kali lebih rentan menderita atopi. Hasil ini tidak dapat disimpulkan apakah mereka lebih rentan atopi karena infeksi cacing atau tidak, karena data tidak dianalisis secara bersama.Atopi dapat berkaitan dengan gagalnya proses perubahan Th2
menjadi Th1 sebagai bentuk pertahanan tubuh terhadap alergen dan infeksi pada masa awal kehidupan.
27-29Risiko tertinggi munculnya atopi
terjadi pada anak dengan orang tua yang atopi30, 31 dan kondisi lingkungan yang tidak bersih (penuh dengan alergen),sehingga dalam ‘konsep
sensitisasi’,interaksi gen dan
lingkungan menjadi salah satu faktor utama yang dapat meningkatkan percepatan perkembangan atopi pada anak.32
Pada aspek efek infeksi cacing pada atopi, anak dengan umur lebih muda dianggap sebagai infeksi baru yang akut, pada infeksi ini kemungkinan besar atopi akan nampak dengan meningkatnya konsentrasi IgE total pada serum. Pada anak dengan usia lebih tua infeksi yang terjadi dianggap infeksi berulang atau bahkan kronis, pada tahap ini anak tidak menampakan tingginya level IgE total karena tingginya IgG4.7Pada
penelitian ini IgG4 tidak diperiksa, sehingga tidak dapat dilihat pengaruhnya pada kedua umur.
KESIMPULAN DAN SARAN Infeksi cacing masih merupakan penyakit yang terabaikan, sehingga penyelesaiannya relatif kurang dan tidak tuntas.Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih rentan terhadap infeksi cacing dan atopi, demikian pula anak dengan umur lebih muda, lebih rentan terinfeksi cacing dan menderita atopi dibandingkan dengan anak yang berusia lebih tua.Kedua penyakit berkaitan dengan faktor sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat.
76
meningkatkan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat terutama kepada anak-anak, memperbanyak fasilitas cucitangan ditempat-tempat umum terutama disekitar sekolah, memperbaiki sanitasi lingkungan agar lebih sehat, dan lebih sering melakukan surveilans infeksi cacing pada anak sekolah.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Dr. Suprapto Maat, dr. Juli Soemarsono, Sp.PK(K), Dr Sidarti Soehita, Sp.PK(K) atas bimbingnnya sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Penghargaan setinggi-tingginya kepada anak-anak murid SDN Kampung Baru, Kec. Kusan Hilir, Kab. Tanah Bumbu yang telah bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hairani B, Andiarsa D, Fakhrizal D. Risiko infeksi cacing usus pada anak sekolah dasar berdasarkan ekosistem yang berbeda di Kab. Tanah Bumbu Tahun 2019. Jurnal Buski. 2013;4(3):109-14.
2. Rahayu N, Ramdani M. Faktor risiko terjadinya kecacingan pada anak sekolah di Kab. Balangan Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Buski. 2013;4(3):150-4. 3. Chadijah S, Anastasia H, Widjaja
J, Nurjana MA. Kejadian penyakit cacing usus di Kota Palu dan Kab. Donggala Sulawesi Tengah. Jurnal Buski. 2013;4(4):184-7. 4. Mardiana, Djarismawati.
Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008;7(2):769-74.
5. Marleta R, Harijani D, Marwoto A. Faktor lingkungan dalam pemberantasan penyakit cacing usus di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2005;4(3):290-5. 6. Kemenkes. Riskesdas 2007
(Laporan Nasional). Jakarta: Badan Litbang Kesehatan, 2008. 7. Cooper P. Interactions between Poor Sanitation and Helminth Infection Protect against Skin Sensitization in Vietnamese Children: A Cross-Sectional Study. J Allergy Clin Immunol. 2006;118(6):1305-11.
9. Maizels R, Bundy D, Selkirk M, Smith D, Anderson R. Immunological modulation and evasion by helminth parasites in human population. Nature 1993;365:797-805.
10. Holt P, Macaubas C, Stumbles P, Sly P. The role of allergy in development of Asthma. Nature. 1999;402:B12-B7.
11. Yazdanbakhsh M, Den BV, Maizels R. Th2 Responses without Atopy: Immunoregulation in Chronic Helminth Infections and Reduce Allergic Disease. Trends Immunol 2001;22:372-7. 12. Wahyuni S. Helminth infection,
allergic disorders and immune responses:studies in Indonesia. Polmas, Indonesia2006. 176 p. 13. Cooper P. Can intestinal helminth
infection (geohelmints) affect the development and expression of asthma and allergy disease? ClinExpImmunol. 2002;128:398-404.
14. Terhell A, Wahyuni S, Pryce A,
Koot JW, Abadi K,
77 and total IgG4 and IgE antibody
levels are correlated in mothers and their offspring. In: Wahyuni S, editor. Helminth infections, allergic disorders and immune responses:studies in Indonesia. Polmas, Indonesia2006. p. 51-62. 15. Rusmartini T. Parasitic worm
exammination techniques. In: Natadisastra D, Agoes R, editors. Medical Parasitology, Judging from the organs attacked. 1 ed. Jakarta: EGC; 2009. p. 383-93. 16. Pauwels R, Straeten MVd. Total
serum IgE levels in normal and in patients with chronic-nonspecific lung diseases. Allergy. 1978;33:254-60.
17. Berg T, Johansson S. Immunoglobulin Levels during Childhood, With Special Regard to IgE. Acta Paediatry Scand. 1969;58:513.
18. Seagroatt V, Anderson S. The Second International Reference Preparation of Human Serum of soil-transmitted helminth infections in the rural population of Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2000;31:454-9.
20. Higgins D, Jenkins D, Kurniawan L, Purnomo, Harun S, Juwono S. Human intestinal parasitism in three areas of Indonesia: a survey. AnnTropMedParasitol.
1984;78:637-48.
21. Cross J, Clarke M, Durfee P, Irving G, Taylor J, Partono F, et al. Parasitology survey and seroepidemiology of amoebiasis in South Kalimantan (Borneo), Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 1975;6:52-60.
22. Damen JG, Lar P, Mershak P, Mbaawuga EM, Nyary BW. A comparative study on the prevalence of intestinal helminthes in dewormed and non-dewormed students in the rural area of north-central Nigeria. Labmedicine. 2010;41(10):595-89.
23. Santoso P, Dahlan Z. Diferensiasi asma atopic dengan non atopic pada pasien rawat jalan di Klinik
Paru-Asma. MKB.
2013;45(2):105-11.
24. Arshad S, Karmaus W, Raza A, Ramesh J, Kurukulaaratchy, Matthews S, et al. The effect of parental allergy on childhood allergic diseases depends on the sex of the child. J Allergy Clin Immunol. 2012;130(2):427-34. 25. Ilesanumi O, Ilesanmi I. Parasitic
helminthes screening of food vendors in Iseyin. Specialist Doc. 2003;10:10-2.
26. Jombo G, Egah D, Akosu J. Human Intestinal Parasitism in arural settlement of northern Nigeria. A Survey. NigMedPract. 2007;51:11-5.
27. Prescott S, Holt P. Abnormalities in cord blood mononuclear cytokine production as a predictor of later atopic disease in childhood. ClinExpAllergy. 1998;28:1313-6.
28. Holt P. Development of T-cell memory against inhalant allergens: risks for the future. ClinExpAllergy. 1999;29:8-13. 29. Andiarsa D. Atopic disorders in
school children in Indonesia: A study on characteristics and helminth infections. Int J Med Health Sci. 2015;4(2):202-5. 30. Bjorksten B. Risk factor in early
78
31. O'Donnell AR, Toelle BG, Marks GB, Hayden CM, Lalng IA, Peat JK, et al. Age-specific relationship between CD14 and atopy in a cohort assessed from age 8 to 25 years. Am J Respir Crit Care Med. 2003;169:615-22.