• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Pendidikan Inklusi 2.1.1 Pendidikan Inklusi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Pendidikan Inklusi 2.1.1 Pendidikan Inklusi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Program Pendidikan Inklusi 2.1.1 Pendidikan Inklusi

(2)

15 Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak, keadilan dan perluasan akses pendidikan, meningkatkan mutu pendidikan, sebuah upaya strategis penuntasan wajib belajar 9 tahun, serta sebagai upaya mengubah sikap masyarakat terhadap ABK (Ilahi, 2013: 25). Permendiknas No. 70 tahun 2009 didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki keterbatasan, memiliki cerdas dan bakat istimewa untuk mendapatkan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

(3)

16 PKLK Dikdas dalam Sartika dan Ismanto (2016: 51) menyebutkan bahwa pendidikan inklusif diberikan kepada “semua anak terlepas dari kemampuan ataupun ketidakmampuan mereka, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa dan agama menyatu dalam komunitas sekolah yang sama”.

Dari uraian diatas, pendidikan inklusi merujuk pada suatu sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah-sekolah terdekat, konsep terbuka bagi semua serta tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid yang sama, mengakomodasi semua kebutuhan kondisi masing-masing individu karena keterbatasan fisik maupun mental, serta sekolah juga menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid, dengan dukungan yang diberikan oleh guru dapat membantu agar anak-anak berhasil.

(4)

17 untuk menciptakan pembelajaran lingkungan ramah untuk anak, penyandang cacat, serta semua anak dapat terlepas dari kemampuan dan ketidakmampuan mereka kemudian menyatu dalam satu komunitas sekolah yang sama, tanpa memandang adanya perbedaan diantara satu sama lainnya.

Pendidikan inklusi dalam penelitian ini, peneliti memberikan batasan penelitian yaitu terkhusus pada ABK yang ada di SMP Negeri 7 Salatiga. ABK yang dimaksud yaitu anak-anak yang mengalami hambatan keterbatasan fisik maupun mental.

2.2 Tujuan dan Manfaat Program Pendidikan Inklusi

Menurut Alfian (2013: 75) program pendidikan inklusi di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan: a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya

kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya

(5)

18 c. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.

d. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran

e. Memenuhi amanat konstitusi/ peraturan perundang-undangan:

1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) 2) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2); 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003;

4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002; 5) Permendiknas No 70 tahun 2009

Manfaat program pendidikan inklusi menurut Lab PAUD Inklusi Fakultas Psikologi UGM menerapkan prinsip pendidikan inklusi yang melibatkan anak dari berbagai latar belakang kemampuan belajar dan kondisi jasmani, yaitu: a. Bagi anak berkebutuhan khusus: 1) memiliki

(6)

19 realistis sebagai persiapan kehidupan di masyarakat; 4) Dapat belajar langsung dari teman sebaya tentang berbagai macam kemampuan. b. Bagi anak tidak berkebutuhan khusus: 1) dapat

mengembangkan kecerdasan emosional dengan berkembangnya rasa empati dan solidaritas; 2) memiliki kesempatan belajar secara langsung,nyata, serta objektif mengenai berbagai karakteristik teman sebaya; 3) menyadari bahwa setiap individu adalah unik dengan ciri karakteristik yang khas dan kemampuan yang berbeda-beda.

2.3 Implikasi Manajerial Program Pendidikan Inklusi

Direktorat PPK-LK (2011: 11) untuk mengoptimalkan layanan pendidikan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dalam pengelolaannya perlu memperhatikan hal-hal berikut:

(7)

20 2. Sekolah menyiapkan sistem pengelolaan kelas yang mampu mengakomodasi heterogenitas kebutuhan khusus peserta didik

3. Sekolah menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan

4. Guru memiliki kompetensi pembelajaran bagi semua peserta didik termasuk kompetensi pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus

5. Guru memiliki kemampuan dalam mengoptimalkan peran orang tua, tenaga professional, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komite sekolah dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran di sekolah.

2.4 Karakteristik Pendidikan Inklusi

Zakia (2015: 111-112) menyatakan Pendidikan Inklusi memiliki karakteristik, yaitu:

(1)Pendidikan Inklusi adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak;

(8)

21 (3)Pendidikan inklusi membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan untuk hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya; dan

(4)Pendidikan inklusi diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

(9)

22 harus melibatkan seluruh komponen pendidikan terkait).

Kualitas pendidikan inklusi sangat berpengaruh pada mutu pendidikan, maka dari itu komponen dalam berbagai bidang harus diperhatikan, komponen-komponen tersebut antara lain:

1. Kurikulum

(10)

23 2. Tenaga Pendidik (Guru)

Sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusi harus memenuhi standar kualifikasi yang telah ditentukan dan guru harus memiliki kompetensi dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Guru yang yang berperan dalam pelaksanaan program pendidikan meliputi guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus (GPK) (Kemendikbud, 2012: 43, Kustawan, 2012: 73)

3. Peserta Didik

Tujuan pendidikan inklusi agar setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan memiliki bakat istimewa atau potensi kecerdasan mendapatkan hak belajar yang sama dengan anak normal lainnya (Kemendikbud, 2012: 40).

4. Pendekatan Pembelajaran

(11)

24 5.Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran yang ramah esensinya pada seorang guru yang memahami setiap anak didiknya sebagai individu yang memiliki keunikan, kemampuan, minat, kebutuhan, dan karakteristik yang berbeda-beda, pemahaman tersebut sangat penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Kompetensi dan materi pelajaran disesuaikan dengan potensi atau kebutuhan individu yang bersangkutan. Terlaksananya proses pembelajaran yang ramah didasarkan oleh pelaksanaan observasi dan asesmen yang terencana (Maftuhatin, 2014: 208). 6. Sistem Evaluasi

(12)

25 diberlakukan anak pada umumnya. Dan jika, sekolah itu memakai kurikulum modifikasi tentunya sistem evaluasinya pun harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, tehnik cara evaluasi, atau tempat evaluasi dan lain-lain. Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem kenaikan kelas, bentuk raport, ijazah dan lain-lain (Maftuhatin, 2014: 209).

7. Sarana dan Prasarana

Sekolah yang melaksanakan program pendidikan inklusi hendaknya menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dan dapat menjamin kebutuhan peserta didik, sehingga proses pembelajaran dapat dilakukan dengan baik khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 80).

8. Keuangan

(13)

26 kegiatan identifikasi input siswa, modifikasi kurikulum, pemberdayaan peran masyarakat, dan pemberian insentif tenaga pendidik membutuhkan biaya (Kartikha, 2016).

2.5 Evaluasi Program

2.5.1 Konsep Evaluasi Program

(14)

27 yang ingin dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan kondisi nyata sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat di pahami bahwa evaluasi program adalah rangkaian kegiatan dalam upaya untuk mengumpulkan informasi yang dilakukan dengan sengaja dalam tingkat keterlaksanaan secara cermat, valid dan dapat dipercaya serta berguna untuk di evaluasi, untuk mengetahui tingkat keberhasilan kebijakan suatu program dengan cara mengetahui efektivitas dari masing-masing komponen terhadap program yang sedang berjalan maupun program yang berlalu sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai tujuan dan mendapat hasil yang maksimal.

(15)

28 dalam mengambil keputusan tentang keberlanjutan dan perbaikan Program Pendidikan Inklusi.

2.5.2 Tujuan Evaluasi Program

Suharsimi (2010) menjelaskan bahwa tujuan diadakannya evaluasi adalah untuk mengetahui keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagian mana dari komponen dan subkomponen program yang belum terlaksana dan apa sebabnya. Secara umum penelitian evaluasi diperlukan untuk merancang, menyempurnakan, dan menguji pelaksanaan suatu praktik pendidikan (Sukmadinata, 2010: 121). Sejalan dengan pendapat tersebut Wirawan (2012: 22) menyatakan bahwa evaluasi dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan sesuai dengan objek evaluasinya, tujuan melaksanakan evaluasi yaitu: a) mengukur pengaruh program terhadap masyarakat, b) menilai apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, c) mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar, d) evaluasi program dapat mengidentifikasi dan menemukan mana dimensi program yang jalan dan mana yang tidak berjalan.

(16)

29 untuk mengetahui, merancang keterlaksanaan berbagai tujuan kegiatan program untuk menyempurnakan sesuai dengan objek evaluasinya. Evaluator ingin mengetahui dan menguji tujuan dari pelaksanaan evaluasi dengan melihat bagaimana komponen dan subkomponen dalam suatu praktik yang belum terlaksana dalam bidang pendidikan dengan mengukur, menilai, megidentifikasi dan menemukan mana dimensi program yang jalan dan mana yang tidak berjalan.

Taylor-Powell, dkk (Arikunto dan Jabar, 2009: 86) mengidentifikasi beberapa dimensi umum yang biasanya ingin digali dalam tujuan evaluasi suatu program, yaitu:

1. Dampak/ pengaruh program. Dalam dimensi ini, evaluator akan mengkaji seberapa jauh program yang akan, sedang atau telah dijalankan memiliki konsekuensi terhadap konteks, partisipan dan subjek, sistem atau lainnya

2. Implementasi program. Evaluator melakukan kajian terhadap seberapa jauh pelaksanaan program ini akan dan sedang dijalankan

(17)

30 seberapa jauh keterkaitannya dan apa saja konteksnya

4. Kebutuhan program. Evaluator mrnkaji tentang faktor-faktor penentu keberhasilan program dan keberlanjutan program dan keberlanjutannya di masa yang akan datang

2.5.3 Manfaat Evaluasi Program

(18)

31 dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit); 3) melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat; 4) menyebarluaskan program, karena program tersebut berhasil dengan baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain.

Dari penjelasan diatas, manfaat evaluasi program adalah memberikan informasi yang akurat dan objektif bagi pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan, dengan keputusan yang dapat diambil ialah menghentikan program, merevisi program, melanjutkan program dan menyebarluas program.

(19)

32 digunakan yaitu Goal Oriented Evaluation Model dikembangkan oleh Tyler, Goal Free Evaluation Model dikembangkan oleh Scriven, Formatif Sumatif

Evaluation Model dikembangkan oleh Michael

Schiven, Countenance Evaluation Model and

Responsive Evaluation Model dikembangkan oleh

Stake, CSE-UCLA Evaluation Model menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan, CIPP Evaluation

Model dikembangkan Stufflebeam dan Discrepancy

Model dikembangkan oleh Malcolm Provus.

2.6 Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model)

Evaluasi terhadap Program Pendidikan Inklusi pada dasarnya membutuhkan jenis model yang sesuai. Dilihat dari substansinya bahwa evaluasi ini berupaya untuk melihat rancangan, pengoperasian, hasil sementara dan hasil akhir dari program yang dijalankan. Pada bagian akhir evaluasi yang dilakukan akan memberikan rekomendasi terhadap program yang dijalankan. Jika dilihat dari setiap substansi yang ada, tidak semua model evaluasi yang sama dapat digunakan pada evaluasi program.

(20)

33 Model) yang dikembangkan oleh Malcolm Provus

(1971) dalam bukunya berjudul Discrepancy

Evaluation. Provus percaya bahwa evaluasi

merupakan suatu seni (arts) melukiskan ketimpangan antara standar kinerja dengan kinerja yang terjadi (Wirawan, 2012: 106).

(21)

34 membuat keputusan untuk mengembangkan, melanjutkan, atau menghentikan program tersebut (Fitzpatrick, Sanders & Worthen dalam Wahyu, 2015: 182). Berdasarkan pemahaman tersebut, peneliti memandang bahwa Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model) memiliki beberapa keunggulan, yaitu: 1) model ini merupakan prosedur dari problem solving, 2) dapat melakukan perbandingan pada pencapaian program, 3) dapat membuat pertimbangan atas kekurangan dan kelebihan suatu program berdasarkan standar yang telah ditetapkan, 4) dapat mengidentifikasi standar yang akan digunakan selanjutnya.

(22)

35 mencapai tujuan yang diharapkan. 4) produk merupakan hasil dari tujuan program yang telah dicapai. 5) analisis biaya dan manfaat merupakan suatu kegiatan membandingkan penggunaan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang dicapai (Clare Rose & Glenn F Nyre, 1977: 15, Wirawan, 2012). Pada penelitian ini, peneliti memberikan batasan evaluasi pada tahap desain, instalasi, proses dan produk.

Menurut Suharsimi (2010) Tujuan dari evaluasi kesenjangan adalah (1) untuk menentukan apakah program perlu diperbaiki, dipertahankan atau dihentikan, (2) untuk mengidentifikasi kelemahan (sesuai dengan standar yang dipilih) dan untuk mengambil tindakan perbaikan dengan penghentian program sebagai pilihan terakhir, (3) langkah-langkah dalam evaluasi kesenjangan.

2.7 Penelitian Yang Relevan

Berikut ini beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian evaluasi Program Pendidikan Inklusi dan dapat dijadikan sebagai bahan referensi, antara lain:

(23)

36

to Implement Inclusive Education”. Hasil penelitian

menemukan bahwa walaupun ada beberapa peluang yang mendukung pendidikan inklusi, hal itu tidak dapat dianggap sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan kerjasama. Serta ada tantangan nyata yang menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusif. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tantangan lebih besar daripada kesempatan pada implementasi penuh dari pendidikan inklusif dan harus ada kerjasama yang kuat antar pemangku kepentingan, LSM, dan badan-badan yang bersangkutan untuk mewujudkan perjalanan menuju pendidikan inklusi.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Sunardi, dkk (2011) dengan judul “The Implementation of Inclusive Education for Students with Special Needs in

Indonesia”. Hasil penelitian menunjukkan,

kebanyakan sekolah-sekolah telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), namun masih banyak sekolah yang belum menata ulang struktur organisasi mereka.

(24)

37 RPP, PPI, tanggung jawab dan peranan guru, sarana dan prasarana penting dilakukan serta menjadi penentu keberhasilan program inklusi di SD Negeri 14 pakan Sinayan Payakumbuh. Sebaiknya para guru, GPK, kepala sekolah memang benar-benar melakukan tanggung jawabnya dan tahu tugasnya sebagai penyelenggaraan sekolah inklusi.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Sartika dan Ismanto (2016), dengan hasil penelitian bahwa program pendidikan inklusi sudah memenuhi kebutuhan siswa, fasilitias khusus tidak mencukupi bagi anak berkebutuhan khusus, kompetensi guru cukup baik, belajar secara umum dengan memperhatikan setiap individu, prestasi akademik dan non akademik adalah siswa dengan kebutuhan khusus yang cukup baik.

(25)

38 mereka, disertai dengan portofolio yang mencatat perkembangan mereka selama pembelajaran.

Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Sulistyadi (2014) dengan judul “Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Layanan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Sidoarjo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalannya implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Sidoarjo telah terlaksana sebagaimana yang diharapkan.

(26)

39 pemerintah terkait demi kelanjutan pelaksanaan program.

Penelitian yang dilakukan oleh Lukitasari (2017) dengan judul “Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota Salatiga”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Salatiga ini dinilai baik, yaitu dengan pencapaian 65%. Komunikasi merupakan aspek yang paling baik adalah sumber daya. Dampak kebijakan ini terlihat dari meningkatnya jumlah peserta didik ABK di sekolah regular dari tahun ke tahun dan berkurangnya diskriminasi yang dialami siswa ABK oleh teman sebaya, guru dan masyarakat.

(27)
(28)

41 keberlanjutan program. Lukitasari (2017) hasil penelitian menunjukkan bahwa impelementasi kebijakan pendidikan inklusi di kota Salatiga dinilai baik dengan pencapaian 65%, terlihat dari meningkatnya jumlah peserta didik ABK dan kurangnya diskriminasi terhadap siswa ABK.

Penelitian diatas menyatakan bahwa sekolah yang menyelenggara program pendidikan inklusi telah mengembangkan rencana strategis untuk program inklusi dengan memodifikasi berbagai komponen seperti kurikulum dan pembelajaran. Namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Sekolah belum mampu menyediakan tenaga pendidik yang terampil sesuai dengan kebutuhan siswa ABK. Tidak ada atau kurangnya Guru Pembimbing Khusus (GPK) bagi sekolah inklusi dalam proses pembelajaran bagi siswa. Sarana dan prasarana sekolah tidak dapat menyediakan pelayanan kepada semua siswa yang memiliki kebutuhan khusus.

(29)

42 Perbedaan dengan penelitian yang terdapat di atas. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan model evaluasi yang berbeda. Dimana penelitian ini menggunakan Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model).

Model Evaluasi Kesenjangan memiliki kelebihan dalam tahap menganalisis berdasarkan komponen-komponen yang ditentukan. Model Evaluasi Kesenjangan dapat mengidentifikasi adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program antara yang seharusnya dicapai dengan yang sudah rill di capai. Model evaluasi ksenjangan memiliki karakteristik khusus disbandingkan dengan model-model evaluasi yang lain. Model ksenjangan merupakan model yang “luwes” karena dapat digunakan pada semua jenis program, dapat disimpulkan bahwa model kesejangan tepat dan sesuai digunakan untuk mengevaluasi program layanan (Arikunto & Jabar, 2008: 58-59).

(30)

43 telah ditetapkan, 4) dapat mengidentifikasi standar yang akan digunakan selanjutnya. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga dievaluasi dengan menggunakan Model Evaluasi Kesenjangan.

2.8Kerangka Berpikir

Evaluasi terhadap penyelenggaraan program Pendidikan Inklusi di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga bertujuan untuk mengukur sejauh mana efektivitas program tersebut. Model evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model).

Berdasarkan tujuan penelitian ini, kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan inklusi berupaya untuk menganalisis keadaan rill pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga dengan standar yang telah ditetapkan, berdasarkan Permendiknas No 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusi melalui empat komponen yaitu tahap desain, instalasi, proses dan produk dalam model evaluasi kesenjangan.

(31)

44 Apabila hasil evaluasi tidak sesuai maka dilakukan perbaikan. Apabila hasil evaluasi sesuai kriteria maka dipertahankan. Kemudian, pada akhirnya memberi kesimpulan untuk dapat dijadikan rekomendasi dalam berkelanjutan program.

Berdasarkan uraian tersebut, kerangka berpikir penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga Evaluasi Program Pendidikan Inklusi

Keadaan rill Pelaksanaan program

pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

Permendiknas No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi

Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model)

Hasil Evaluasi

Tidak Sesuai Sesuai Kriteria

Diperbaiki Dipertahankan

n

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Mahasiswa mampu menjelaskan berbagai proses yang terdapat dalam suatu siklus proyek konstruksi secara umum, menyeluruh dan memahami sisi manajerial dari suatu proyek

Umum : Mahasiswa mampu menjelaskan berbagai proses yang terdapat dalam suatu siklus proyek konstruksi secara umum dan mampu mengintegrasikan perencanaan manajemen konstruksi

[r]

[r]

• The expectations for post-bid deliverables including such items as the schedule of values, cash flow projections, the construction schedule, payment and performance

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio likuiditas (Current Ratio, Quick Ratio, dan Working Capital to Total Assets), rasio solvabilitas

Teknik Analisis Korelasi Pearson dan Analisis Regresi Linier Berganda Regresi Linier Berganda Regresi Linier Berganda Regresi Linier Berganda Hasil Bahwa Kualitas

UPAYA MENINGKATKAN KREATIVITAS MATEMATIK SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN AUDITORY INTELLECTUALY REPETITION (AIR) (Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas II SMKN 12