• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. SIKAP 1. Definisi Sikap - Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. SIKAP 1. Definisi Sikap - Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SIKAP

1. Definisi Sikap

Sikap atau attitude dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin yaitu aptus. Kata ini memiliki arti fit atau siap untuk beraksi. Jika mengacu pada definisi ini, maka sikap merupakan sesuatu yang langsung dapat diobservasi. Namun saat ini, para ahli melihat sikap sebagai sebuah konstruk yang mengawali perilaku dan sebagai panduan individu dalam membuat pilihan dan keputusan untuk melakukan tindakan (Hogg & Vaughan, 2002).

Baron & Byrne mendefenisikan sikap sebagai bentuk evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap berbagai aspek yang ada di dunia sosial dan bagaimana evaluasi tersebut dapat memunculkan rasa suka atau tidak suka seseorang terhadap sebuah isu, ide, seseorang, kelompok sosial dan objek yang dievaluasi (Baron & Byrne, 2004).

(2)

berperilaku terhadap suatu objek. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah bentuk evaluasi dan kecenderungan untuk bereaksi secara positif atau negatif yang relatif permanen dan merupakan hasil interaksi dari komponen kognitif, afektif dan konatif.

2. Komponen Sikap

Menurut skema triadik, sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen kognitif (cognitive), afektif (affective), dan konatif (conative) (Azwar, 2013).

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif terdiri dari pemikiran seseorang tentang sebuah objek tertentu. Komponen kogtitif juga meliputi fakta, pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap apa yang benar dan apa yang berlaku pada objek sikap. Ketika kepercayaan ini telah terbentuk, maka kepercayaan ini akan menjadi dasar pengetahuan yang diyakini oleh seseorang tentang apa yang dapat diharapkan dari sebuah objek tertentu. Kepercayaan inilah yang menyederhanakan dan mengatur apa yang kita lihat dan temui dalam hidup kita.

b. Komponen Afektif

(3)

pribadi yang dimiliki oleh seseorang itu terkadang jauh berbeda jika dihubungkan dengan sikap. Secara umum, reaksi emosional yang merupakan komponen afektif banyak dipengaruhi oleh sebuah kepercayaan mengenai sesuatu yang benar dan berlaku terhadap objek yang dimaksud.

c. Komponen Konatif atau Perilaku

Komponen konatif atau perilaku merupakan tendensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan objek sikap. Komponen ini menunjukkan bagaimana kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap sebuah objek sikap yang dihadapinya. Kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap objek sikap cenderung konsisten dan juga sesuai dengan kepercayaan dan perasaan yang akan membentuk sikap individu. Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila kita mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkan atau dimunculkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek sikap tersebut.

3. Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Azwar (2013) menyimpulkan bahwa ada enam hal yang dapat mempengaruhi sikap seseorang, yaitu:

a. Pengalaman pribadi

(4)

sikap tersebut. Agar pengalaman dapat dijadikan dasar dalam pembantukan sikap, pengalaman tersebut harus sangat kuat dan meninggalkan kesan yang cukup kuat.

Sikap lebih mudah terbentuk jika pengalaman pribadi yang terjadi ikut melibatkan faktor emosional dari individu itu sendiri. Namun, pembentukan sikap dari pengalaman pribadi ini tidaklah sederhana, dimana satu pengalaman tunggal belum tentu dijadikan dasar dalam pembentukan sikap. Namun beberapa pengalaman yang dialami oleh individu yang bersifat relevan dan bisa saja terjadi di masa lalu yang mungkin dapat membentuk sikap.

b. Pengaruh orang yang dianggap penting

Sikap juga dapat dipengaruhi oleh significant others, yaitu orang-orang yang dianggap penting dan memiliki arti khusus pada seorang individu. Secara umum, individu akan lebih cenderung untuk memilih sikap yang sesuai atau searah dengan significant others yang dianggapnya penting. Hal ini dapat dikarenakan adanya motivasi untuk berafiliasi dengan orang tersebut ataupun dilakukan dikarenakan individu tersebut berusaha menghindari konflik yang mungkin terjadi antara dia dan orang yang dianggapnya penting.

c. Pengaruh kebudayaan

Disadari ataupun tidak, sikap seorang individu dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan kebudayaan di tempat ia tinggal. Kebudayaan menanamkan bagaimana arah sikap seorang individu terhadap barbagai macam masalah.

d. Media massa

(5)

utamanya, media masa juga membawa pesan yang bersifat sugesti yang mungkin mengarahkan opini seseorang.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama merupakan pendidikan dasar yang meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Konsep moral dan ajaran agama sangat berperan penting dalam membentuk kepercayaan yang dirasakan oleh individu tersebut. Hal ini juga dapat membentuk dan menentukan arah sikap pada seorang individu terhadap objek sikap.

f. Pengaruh faktor emosional

Sikap tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan saja, namun sikap dapat juga dipengaruhi oleh faktor emosional dari diri individu itu sendiri. Terkadang sikap didasari oleh emosi yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Dimana emosi itu dapat juga membentuk arah sikap pada seseorang.

B. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL 1.Defenisi Pendidikan Multikultural

(6)

Sedangkan menurut Gollnick & Chinn (2013), pendidikan multikultural merupakan suatu konsep yang mengakui pentingya perbedaan di dalam kehidupan peserta didik serta mendorong kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan. Disadari bahwa, budaya dari setiap individu mempengaruhi keseluruhan hidup individu tersebut. Budaya mendefenisikan siapa manusia. Budaya mempengaruhi bagaimana individu makan, berpakaian, berbicara, berpikir, dan lain sebagainya. Di dalam konteks pendidikan, siswa berasal dari budaya yang berbeda-beda. Tidak semua siswa dapat diajari dengan cara yang sama. Guru perlu menyadari bahwa budaya dari setiap siswa akan mempengaruhi bagaimana mereka belajar, dan setiap siswa memiliki perbedaan kebutuhan, kemampuan dan pengalaman.

Gollnick & Chinn (2013) menyatakan beberapa dasar-dasar dari pendidikan multikultural ini adalah:

a. mengakui bahwa setiap budaya memiliki kekuatan dan nilai

b. sekolah haruslah menjadi model dari ekspresi hak-hak manusia serta dalam menghargai perbedaan antar budaya dan kelompok.

c. kesetaraan dan keadilan menjadi yang terpenting di dalam kurikulum d. sikap dan nilai yang diperlukan dalam berpartisipasi di masyarakat harus

dipromosikan di sekolah.

e. guru adalah kunci untuk pembelajaran siswa (pengetahuan, watak, skill) untuk menjadi masyarakat produktif.

(7)

2. Sejarah Pendidikan Multikultural

Gollnick & Chinn (2013), di dalam bukunya yang berjudul Multicultural Education in a Pluralistic Society memaparkan sejarah dari pendidikan multikultural. Pada awalnya, pendidikan multikultural bertujuan untuk menghargai para imigran yang ada di Eropa dan Amerika, dengan tujuan kesatuan nasional dan sebagai kontrol sosial. Pada tahun 60an, anak-anak dari keluarga miskin dan berkulit gelap kerap dicela dan tidak mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan. Hal ini akhirnya melahirkan Head Start, yaitu program pendidikan bagi mereka yang dianggap sebagai culturally deficit atau tidak memiliki budaya. Namun pada tahun 70an, mulailah mereka dianggap sebagai culturally different atau memiliki budaya yang berbeda dari budaya dominan. Mulai diajarkan, agar kaum mayoritas dapat bergabung dengan kaum minoritas. Namun, saat itu, kaum disable masih tetap dibedakan.

(8)

3. Pembelajaran Bermuatan Multikultural

Gollnick & Chinn (2013) menyatakan bahwa, di dalam pendidikan multikultural, guru harus memperhatikan bahwa setiap siswa belajar dengan memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa. Guru harus mengenali beberapa siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan berbagai strategi yang tepat bagi setiap siswa. Guru harus mencoba berbagai cara untuk menolong siswa untuk belajar dan menghargai pembelajaran.

The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, telah mengidentifikasi lima standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur :

a. Aktifitas Produktifitas Bersama (Joint Productivity Activity)

Guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Untuk tujuan ini, guru dan siswa harus bekerjasama untuk sebuah proyek. Dalam sebuah proyek, guru membagi siswa ke dalam kelompok berdasarkan kriteria yang berbeda, seperti minat, ragam budaya, ragam kemampuan. Guru mengawasi dan mendorong interaksi diantara siswa serta dengan dirinya, selama bekerjasama untuk memecahkan masalah atau sebuah proyek.

b. Perkembangan Bahasa (Language Development)

(9)

menghargai bahasa ibu dan dialek semua siswa dan mendorong mereka untuk tetap menggunakan bahasa ibu mereka dalam proses pembelajaran. Guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi.

c. Kontekstualisasi (Contextualisation)

Dalam hal ini, guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Guru perlu menghubungkan informasi yang baru dengan pengalaman siswa, bukan dengan pengalaman guru. Dengan terlibat dalam komunitas sekolah dan dengan orangtua siswa, guru dapat mengembangkan dasar pengetahuan mereka mengenai budaya dan pengalaman siswa mereka, yang mungkin sangat berbeda dari guru.

d. Percakapan Instruksional (Instructional Conversation)

(10)

e. Aktifitas Menantang (Challenging Activities)

Mengajarkan pemikiran kompleks menantang siswa untuk mengembangkan kompleksitas kognitif. Beberapa guru mungkin tidak memberikan kesempatan yang sama bagi siswa-siswa yang memiliki status sosial ekonomi rendah, disabilitas, karena anggapan mereka mungkin sudah memiliki berbagai tantangan di dalam pengalaman hidup mereka atau dianggap tidak dapat menghadapi tantangan yang sama dengan teman mereka yang lain. Seringkali, siswa-siswa tersebut justru diberikan tugas-tugas yang berulang, latihan yang tidak menarik dan membosankan. Guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran.

Kunci untuk menolong siswa belajar adalah dengan menghubungkan kurikulum dengan budaya dan pengalaman nyata siswa. Siswa harus dapat melihat diri mereka sendiri dalam kurikulum yang diajarkan untuk memberikan makna dari setiap hal yang diajarkan dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, mungkin saja mereka bisa menolak pembelajaran yang ditawarkan karena dipandang sebagai budaya dominan yang kurang sesuai dengan budaya mereka. Peneliti di CREDE telah menggunakan dan menguji standar ini di berbagai sekolah dengan berbagai populasi.

C. YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA

(11)

Sofyan Tan. Sejak awal didirikan, Yayasan ini sudah memiliki visi untuk mengatasi dua permasalahan besar yang ada di Indonesia yakni kemiskinan, dan diskriminasi yang merugikan masyarakat marjinal di Indonesia. Sofyan Tan percaya bahwa kondisi tersebut dapat diatasi lewat pendidikan. Kemiskinan yang dikarenakan oleh kebodohan dapat berkurang jika generasi muda mendapatkan akses pendidikan pendidikan yang murah dan berkualitas. Inilah yang menjadi kerinduan sang pendiri, agar generasi muda Indonesia dapat bersekolah dengan mutu dan fasilitas yang baik tanpa membeda-bedakan (YPSIM, 2012).

Yayasan ini didirikan dengan prinsip memberikan kesempatan kepada semua anak bangsa, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, gender dan tingkat sosial dan ekonomi untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas yang ditawarkan adalah pendidikan yang mengedepankan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap memprioritaskan pembelajaran budi pekerti dan pembentukan karakter anak yang berpedoman pada nilai-nilai saling menghargai, saling menghormati dan gotong royong di dalam bingkai keberagaman (YPSIM, 2012).

(12)

komunikasi, Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda juga menyediakan berbagai fasilitas olahraga, seni, radio dan juga simpul siswa. Selain itu, di lingkungan sekolah juga berdiri pendopo sebagai tempat diskusi dan pertemuan yang terbuka, juga mesjid, vihara dan gereja sebagai tempat ibadah dari para anak didik, guru, staf dan orang tua murid (YPSIM, 2012).

Untuk siswa yang kurang mampu secara ekonomi, yayasan ini mengadakan program anak asuh silang dengan sistem silang dan berantai, yaitu program yang bertujuan untuk memberikan beasiswa bagi anak yang kurang mampu, serta bertujuan untuk meminimalisir prasangka terhadap kelompok etnis atau agama tertentu dengan memasangkan anak dan orangtua asuh yang berbeda etnis maupun agama. Misalnya, anak beretnis Jawa mendapatkan orangtua asuh beretnis Batak, dan sebagainya. Sedangkan bagi mereka yang tidak lulus anak asuh, YPSIM memberikan alternatif pengurangan uang sekolah yang tercipta dengan adanya inisiatif subsidi silang yang dilakukan. Hal ini menunjukkan inisiatif YPSIM untuk turut melibatkan pihak orangtua dan masyarakat luas untuk turut serta menyukseskan pendidikan multikultural di Indonesia (YPSIM, 2012).

(13)

pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas. Sebagai contoh, dalam pelajaran IPA SD, ketika mempelajari bahwa pohon menghasilkan oksigen, guru menambahkan ilustrasi, bahwa mungkin saja pohon tersebut terdapat di rumah keluarga orang Batak, namun oksigen tersebut tetap dapat dirasakan oleh tetangga mereka yang adalah orang Jawa. Dalam hal ini guru mengajarkan arti berbagi tanpa membeda-bedakan. Ini adalah contoh kecil yang dapat diterapkan oleh guru di YPSIM dalam mengajarkan siswa untuk menjadi pribadi yang menghargai keberagaman (YPSIM, 2012).

YPSIM telah merancang pedoman pembelajaran yang disusun berdasarkan sejumlah nilai, deskripsi, maupun indikator yang menjadi acuan kompetensi yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran multikultural. Nilai-nilai tersebut yang akhirnya dipakai untuk kemudian merancang Rencana Kegiatan Harian (bagi tingkat TK), serta Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (bagi tingkat SD, SMP, SMA/SMK). Dengan adanya RKH, RPP, dan Silabus inilah guru dapat mengintegrasikan nilai dan indikator multikultural ke dalam setiap pembelajaran di kelas.

(14)

D. SIKAP SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL (STUDI PADA SISWA SMA YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA KOTA MEDAN)

Sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, khususnya bagi siswa SMA di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda merupakan bentuk evaluasi siswa SMA terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yang didasarkan pada persepsi, perasaan dan kecenderungan untuk berperilaku. Dalam hal ini, pembelajaran bermuatan multikultural adalah pembelajaran yang diterapkan pada SMA YPSIM, yang memuat nilai-nilai atau indikator multikultural pada yayasan tersebut. Adapun nilai dan indikator yang dipakai dalam pembelajaran multikultural di YPSIM adalah sebagai berikut: : nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, nasionalisme, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggungjawab, kesetaraan gender, dan pluralisme.

(15)

Nilai disiplin mencakup perilaku tertib dan patuh pada berbagai peraturan dan yang berlaku di sekolah dan di luar sekolah. Nilai kerja keras mencakup upaya siswa yang sungguh-sungguh dalaam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas. Nilai kreatif dan mandiri mencakup berpikir dan melakukan sesuatu dengan menggunakan cara yang baru dan inovatif serta tidak mudah bergantung pada orang lain dalam pelaksanaan suatu tugas. Nilai demokratis ditunjukkan oleh cara berpikir, bersikap dan bertindak yang memberikan kesempatan yang sama bagi dirinya dan orang lain dalam berekspresi, memberikan pendapat, menjalankan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan.

(16)

berupaya mencegah kerusakan alam dan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Nilai peduli sosial dan kesejahteraan ditunjukkan oleh kerelaan memberi bantuan pada setiap orang yang membutuhkan. Nilai tanggungjawab ditunjukkan dari sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara, dan Tuhan. Nilai kesetaraan gender mencakup sikap dan perilaku yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban dalam lingkungan keluarga, sekolah dam masyarakat. Nilai pluralisme ditunjukkan oleh sikap dan perilaku yang mampu mengakui, memahami, dan menghargai berbagai perbedaan yang meliputi perbedaan suku, ras, agama, gender, status sosial, status ekonomi, kondisi fisik, kemampuan akademis, bahasa.

(17)

Dalam kontekstualisasi guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Dalam aktifitas menantang, guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran. Dalam percakapan instruksional, guru menggunakan dialog antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa.

Azwar (2013) menyatakan bahwa seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu objek ketika kepercayaan, perasaan dan prilaku mereka menunjukkan bahwa mereka memihak atau favorability terhadap objek, sebaliknya seseorang mempunyai sikap negatif terhadap objek ketika kepercayaan, perasaan dan perilaku mereka menunjukkan mereka tidak berpihak atau unfavorability terhadap objek. Ada tiga komponen yang terkait dengan sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan psikomotorik. Komponen kognitif merupakan bagian sikap siswa SMA yang muncul berdasarkan kognisi dan persepsi atau kepercayaan mereka terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

(18)

Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang.

Dalam aktifitas produktif bersama, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid setuju bahwa guru selalu menolong siswa ketika menghadapi tugas yang rumit. Dalam perkembangan bahasa, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid yakin bahwa guru dan teman-teman tidak akan mengejek dialeknya ketika berbicara. Dalam kontekstualisasi, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid setuju bahwa guru sering mengaitkan topik pembelajaran dengan pengalaman nyata murid. Dalam percakapan instruksional, salah satu contoh aspek kognitif adalah guru meminta murid untuk aktif berbicara menyampaikan pendapat. Contoh aspek kognitif dari aktifitas menantang yaitu guru tugas tambahan yang lebih rumit agar merangsang kreatifitas murid.

(19)

Contoh aspek afektif dari standar perkembangan bahasa adalah murid merasa senang karena guru dan teman-teman menghargai bahasa ibunya. Contoh aspek afektif dari standar kontekstualisasi adalah murid merasa tertarik belajar suatu topik ketika guru mengaitkan topik tersebut dengan pengalaman mereka sehari-hari. Contoh aspek afektif dari standar percakapan instruksional adalah murid suka ketika guru meminta mereka menceritakan pengalaman terkait topik tertentu. Contoh aspek afektif dari standar aktifitas menantang misalnya, murid merasa tertarik untuk menyelesaikan tugas tambahan yang diberikan guru.

(20)

percakapan instruksional adalah murid tidak sungkan untuk menyampaikan pendapat di dalam kelas. Contoh aspek konatif dari aktifitas menantang adalah murid akan mengerjakan tugas tambahan dengan sebaik-baiknya.

Sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural tentu beragam, yaitu sikap positif, sikap negatif, dan sikap netral. Sikap positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural dapat terbentuk, mungkin disebabkan oleh faktor keluarga, misalnya karena orangtua terbiasa menanamkan pentingnya toleransi terhadap orang lain sejak dini. Ketika orang tua atau orang-orang terdekat memiliki sikap yang positif maka orang tersebut juga memiliki kecenderungan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Sikap positif dapat juga disebabkan karena faktor guru-guru di sekolah yang berhasil menanamkan konteks multikultural ini dengan cara yang menyenangkan dan tidak memaksa. Dapat disimpulkan bahwa sikap positif yang diperlihatkan akan menggambarkan kesesuaian persepsi, perasaan dan perilaku terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Cara dari permainan ini adalah menggerakkan papan pantul dengan menekan tombol 􀃆 untuk menggerakkan papan kearah kiri, 􀃅 untuk menggerakkan papan kearah

Pada saat Peraturan Walikota ini mulai berlaku, Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Khusus Bulan Ketiga Belas di

Akhirnya aplikasi ini dapat membantu pengguna jasa layanan internet dalam pencarian data, dikarenakan cara penggunaannya sangat simpel, dan terdapatnya fasilitas Internet Tools

Pada saat Peraturan Walikota ini mulai berlaku, Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Khusus Bulan Ketiga Belas di

Banyak bahasa pemrograman saat ini yang diminati oleh para programmer untuk membuat atau mengembangkan program/aplikasi komputer, salah satunya adalah bahasa pemrograman Java,

Saat langkah bebas kopling terlalu jauh maka unit kopling tidak dapat merededam daya dari mesin bakar karena realese bearing tidak dapat menekan pegas diafragma dengan maksimal

Penerapan Metode PRIM Pada Minimum Spanning Tree merupakan sebuah program yang berisi tentang metode PRIM sebagai metode yang dipakai untuk mencari minimum spanning tree pada graf,

28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, kembali Tim Badan Sertifikasi Asosiasi (BSA) HATTI akan mengadakan Sertifikasi Ahli Muda dan Ahli Madya